Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

SI DALUPA

Dosen Pengampu:
Teuku Bahagia Kesuma, S.Pd, M.Pd.

Disusun oleh:
Siti Wardina (1906101020028)

JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BANDA ACEH
2021
KATA PENGANTAR
Bismilaahirrahmannirrahim
Dengan menyebut nama Allah Swt yang Maha pengasih lagi Maha penyayang. Saya
ucapakan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan
inayah-Nya kepada saya. Sehingga saya dapat menyelesaikan makalah Adat dan Kebudayaan
Aceh dengan judul Si dalupa, dengan tepat waktu. Dan saya kerjakan dengan semaksimal
mungkin. Dengan bantuan dari berbagai pihak sehingga mempermudah penyelesaian makalah
ini.

Untuk itu tidak lupa saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian makalah ini. Terlepas dari itu semua, saya sadar masih banyak
kekurang dalam makalah ini. Baik, dari segi penyusuna, Bahasa, tanda baca, dan lain sebagainya.
Oleh karena itu kritik dan yang membangun dari pembaca sangat saya harapkan. Agar saya dapat
memperbaiki makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan wawasan yang
baru bagi para pembaca.
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.2. Rumusan Masalah
1.3. Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Asal Usul Sidalupa
2.2. Perkembangan Sidalupa
BAB II PENUTUP
3.1. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.508 pulau yang
dihuni, dan dihuni lebih dari 360 suku bangsa. Hal ini membuat Indonesia menjadi kaya
akan hasil alam, keragaman budaya dan tradisi dan lainnya. Indonesia merupakan negara
keupaluan, dari sekian ribu pulau terdapat lima pulau besar di Indonesia yaitu pulau,
Sumatra, Jawa, Sulawesi, Kalimantan dan Papua. Tentunya 5 pulau tersebut menghasilkan
penduduk yang padat dan kebudayaan yang bermacam ragam. Salah satunya daerah di pulau
Sumatra yaitu Aceh.
Aceh Provinsi Aceh terletak antara 01 derajat 58’ 37,2” – 06 derajat 04’ 33,6” Lintang
Utara dan 94 derajat 57’ 57,6” – 98 derajat 17’ 13,2” Bujur Timur dengan ketinggian rata-
rata 125 meter di atas permukaan laut. Pada tahun 2013 Provinsi Aceh terdiri atas 18
Kabupaten dan 5 kota. 289 kecamatan, 779 mukim dan 6.474 gampong atau desa. Tentunya
Aceh juga kaya akan adat dan budaya. Seperti seni tari, music, alat music, upacara
keagamaan, dan lain sebagainya. Aceh juga kaya akan dengan seni lisan, tulis, sampai seni
pertunjukan (teater). Salah satu seni pertunjukan yang menarik dari Aceh, tepatnya di Aceh
Barat adalah Sidalupa.
Sidalupa merupakan sebuah teater tradisional yang berasal dari desa Liceh, Kecamatan
Samatiga, Kabupaten Aceh Barat. Kesenian rakyat Aceh ini ternyata hampir punah, sanagat
disayangkan. Si Dalupa ini mengisahkan tentang dua bersaudara yang berasal dari India.
Mereka membuat suatu kesalahan dengan raja, sehingga mereka melarikan diri dengan
perahu hingga tiba di Aceh. Pada makalah ini saya akan membahasa lebih lanjut mengenai
asal usul Sidalupa dan perkembangannya.
1.2. Rumusan Masalah
Sejalan dengan latar belakang diatas, maka rumusan masalah makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana asal usul si Dalupa?
2. Bagaimana perkembangan si Dalupa?
1.3. Tujuan
Sejalan dengan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui tentang asal usul si Dalupa.
2. Untuk mengetahui perkembangan si Dalupa.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Asal usul si Dalupa
Kebudayaan merupakan seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang
dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat dan dijadikan miliknya dengan cara
belajar. Menurut KBBI budaya memiliki arti akal budi. Secara umum budaya dapar diartikan
sebagai suatu cara hidup yang terdapat pada sekelompok manusia, yang telah berkembang
dan diturunkan dari generasi ke generasi dari seluruh kelompok tersebut. Salah satu
contohnya adalah si Dalupa.
Si Dalupa merupakan teater tradisional yang berasal dari Aceh Barat. Al kisah si Dalupa
diceritakan berasal dari India. Nama mereka adalah si Dal dan Upa Maka dikenal dengan
Dalupa. Dapat juga bermakna si Dalupa akak tuwe keu adek adek lupa keuda Kakak lupa
adik adik lupa akan kakak. Dimasa tersebut terdapat sebuah kerajaan di India, Dalupa
tersebut merupakan dayang raja. Kemudian Dalupa ini membuat kesalahan pada raja,
akhirnya mereka melarikan diri agar tidak dihukum. Mereka akhirnya melarikan diri melaui
jalur air menggunakan perahu buntung. Sampai pada akhrinya mereka melihat sebuah
daratan yaitu Malaysia. Namun karena adanya angin puting beliung mereka terdampar ke
ujung pulau Sumatra atau pulau Weh. Kemudian mereka terdampar hingga ke babah kuala.
Babah Kuala Bubon.
Mereka mendayuh di Kuala Bubon, melewati sungai yang luas, rawa dan lainnya.
Tepatnya di Samatiga. Akhirrnya mereka berdua kelelahan hingga tertidur selama 4 jam.
Sehingga mereka melanjutkan perjalanannya lagi. Hingga mereka tiba di ujung desa Cot
Kuyun namun mereka dihalangi oleh seekor buaya. Buaya tersebut merupakan buaya seorang
Tengku Raya. Mereka memutar kembali perahu tersebut dan mendarat di desa Rambung.
Tiba di Rambung si Dalupa mengayuh perahu buntung sampai ke sungai Layung. Sungai ini
mempunyai dua muara, muara berakhir di dalam hutan rimba yang sekarang terletak di desa
Liceh, Kecamatan Bubon. Di daerah tersebut terdapat sebuah gunung yang Bernama gunung
Glee Tarom Pucok Sikumbang.
Mereka tinggal di gua hingga tubuhnya ditumbuhi dengan buku yang sangat lebat.
Berpuluh tahun mereka tinggal di dalam gua, dan menurut hikayat sekitar tahun 1882,
keberadaan si Dalupa diketahui oleh masyarakat sekitar. Karena penasaran dengan kabar
keberadaan makhluk didalam gua tersebut, masyarakat langsung menuju gua di Pucok
Sikumbang. Mereka melihat banyak rotan yang tumbuh disekitar gua. Dalam hikayat
diceritakan, rotan yang ada di dekat gua ditarik oleh orang-orang di kampung.
Hingga terdengarlah suara orang yang mendengkur. Tapi dengkurangnya sangat keras.
Dengan segala cara warga mengajak si Dalupa untuk turun gunung, namun usaha tersebut
gagal. Hingga akhirnya salah seorang dari warga tersebut mengusulkan untuk memancing si
Dalupa dengan cermin. Cermin tersebut diletakkan di depan wajah mereka. Mungkin karena
kaget, mereka mengikuti arah cermin tersebut. Cara ini membuat si Dalupa sempat turun dari
gua. Namun hanya sampai di pinggir desa, keduanya kembali berlari ke dalam gua Liceh.
Hingga berulang sampai tiga kali kejadian serupa. Tidak lama kemudian si Dalupa pun
meninggal, diduga akibat kelaparan.
Namun dari sumber yang lain ada juga yang mengatakan si Dalupa merupakan dua orang
kakak beradik yang diusir dari rumah karena kerbau yang dijaga oleh mereka hilang. Mereka
kemudian diperintahkan oleh ayahnya untuk mencari kerbau yang hilang tersebut. Namun
keduanya terpisah selama beberapa tahun. Mereka bertemu Kembali, namun bulu lebat mulai
tumbuh dibadannya. Ada juga yang mengatakan si Dalupa merupakan anak laki-laki remaja
kadang-kadang merayu untuk menakuti teman-temannya. Dengan cara membuat mukanya
tidak dikenali dan tubuhnya dibalut pakaian aneh, disebut dalupa. Sumber lain juga
mengatakan si Dalupa merupakan dua orang kakak beradik. Kakak tersebut buruk rupa ia
memakai topeng untuk mencari adiknya yang hilang. Ia memakai topeng agar pencariannya
berjalan dengan lancar tanpa takut ia akan di hina akan rupanya.
Sumber lain juga menceritakan si Dalupa merupakan Pari, makhluk halus yang tidak
dapat dilihat dengan mata telanjang. Pada masa itu Tgk Sabee atau raja Sabee merupakan
seorang kepala suku masa itu di kampung tersebut yang datang dari negeri luar dan menetap
di Panggong. Panggong adalah nama kampung yang masih ada sampai sekarang. Yang asal
mula panggong adalah pada saat itu didaerah tersebut ada sebatang pohon yang besar yang
tumbang akan tetapi tidak sampai ketanah, di tahan oleh pohon lain yang bercabang sehingga
terpanggung/tertupang. Oleh karena itu desa itu dinamakan dengan Panggung.
Raja Sabee sedang berjalan melewati sebatang pohon besar dan mendengar ada seorang
yang memberi salam Assalamu’alaikum. Beliau menjawab “wa’alaikumsalam” sekilas beliau
menoleh kebelakang, akan tetapi tak ada seorang pun yang ada didekatnya, sehingga Tgk
Sabee heran siapa yang memberi salam barusan, sesaat kemudian terdengar suara yang
berkata ” jika anda ingin melihat saya, tolong ambilkan kopiyah atau peci kakek saya dekat
pohon besar itu dan pakailah, sesaat tgk sabee mendekati pohon besar itu dan melihat ada
sebuah gulungan yang berbentuk peci atau bundelan yang terbuat dari “pureh jok” atau daun
lidi enau dan beliau memakainya, setelah beliau memakai pecie “kupiah” tersebut beliau
melihat kearah suara itu dan melihat sesosok orang tinggi besar yang berdiri didekatnya,
“mulai jinoe lon ikot dron” mulai sekarang saya pengikut anda ungkapnya. Sehingga setiap
perjalanan beliua pasti ada pengawalnya dan akhirnya menjadi seorang manusia biasa.
2.2. Perkembangan Sidalupa
Cerita si Dalupa dikisahkan oleh Pang Kaom kepada Buraq Lam Tapa (Syekh Din)
sekitar tahun 1962. Pada saat itu Syekh Din yang memiliki nama panggung Buraq Lam Tapa
masih muda dan sudah mementaskan si Dalupa Bersama para tetua sperti Pang Gampong,
Nektu H. Dong, Pang Kaom, Nek Tu Miom, Lem Him Sukon, Lem Marikon, mereka
mementaskan si Dalupa di acara pernikahan dan sunat rasul. Pada saat itu belum ada lampu,
yang ada hanya pelita atau yang sering disebut panyot, kain yang dibalur dengan minyak
tanah kemudia dimasukkan ke dalam bamboo lalu dibakar dan dijadikan suloh yang dipasang
di sepanjang pagar untuk penerang. Setiap pementasan si Dalupa tampil, warga kampung
tampak ruah menyaksikan pertunjukan tersebut.
Pementasan si Dalupa saat itu masih terbatas di wilayah, Woyla, Bubon dan Samatiga.
Sekitar tahun 1960-an, si Dalupa masih menggunakan kostum yang sederhana dikreasikan
dari daun pisang kering (oen keureusong). Untuk bagian wajah menggunakan bahan yang
tersedia di alam seperti jantung pisang yang dibuatkan lubang untuk hidung, mata, dan mulut.
Terlihat seperti memakai topeng. Sileupok jantong (kelopak jantung) pisang dulu berbeda
dengan sekarang. Dulu ukurannya besar, sekarang kecil.
Karena dianggap terlalu sederhana, kemudian H. Dong, Pang Gampong dan Nektu Kama,
mengkreasikan si Dalupa dan bagian wajah untuk topeng, dipasangkan ijuk dan bahan
lainnya. Menurut Syekh Din, sejak tahun 1999 si Dalupa mulai berkembang dan diketahui
oleh masyarakat luas. Dikarenakan tahun 1988 teater ini tampil di Pekan Kebudayaan Aceh
(PKA). Kemudian tahun 2001 semakin berkembang sampai sekarang. Meski sejak konflik
melanda Aceh, banyak kesenian yang mulai ditinggalkan. Namun, Syekh Din tetap tampil
mementaskan si Dalupa walau tidak rutin. Pertunjukan si Dalupa menggunakan alat musik
Serunee Kalee yang ditiup tanpa jeda sampai akhir, canang dan gendrang. Tak ada pelantung
vocal, semua babak-babak disana hanya bertumpu pada music dan instrumentalia lagu-lagu
tradisional Aceh.

Serunee Kalee Canang

Geundrang
Kostum si Dalupa
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Sidalupa merupakan sebuah teater tradisonal yang berasal dari Aceh Barat. Dikisahkan si
Dalupa berasal dari negeri India yang melarikan diri dari raja karena mereka berdua berbuat
salah. Mereka melarikan diri agar tidak dihukum. Ada juga yang mengatakan sidalupa
merupakan dua orang kakak beradik yang diperintahkan oleh ayahnya untuk menjaga seekor
kerbau. Namun kerbau tersebut hilang. Kemudian ayahnya mengusir keduanya dan mencari
kerbau tersebut. Namun keduanya terpisah. Setelah sekian lama akhirnya mereka bertemu
Kembali. Namun, keadaan mereka sudah dipenuhi bulu yang lebat di tubuh.
Cerita si Dalupa dikisahkan oleh Pang Kaom kepada Buraq Lam Tapa (Syekh Din)
sekitar tahun 1962. Pada saat itu Syekh Din yang memiliki nama panggung Buraq Lam Tapa
masih muda dan sudah mementaskan si Dalupa Bersama para tetua sperti Pang Gampong,
Nektu H. Dong, Pang Kaom, Nek Tu Miom, Lem Him Sukon, Lem Marikon, mereka
mementaskan si Dalupa di acara pernikahan dan sunat rasul. Pada saat itu belum ada lampu,
yang ada hanya pelita atau yang sering disebut panyot, kain yang dibalur dengan minyak
tanah kemudia dimasukkan ke dalam bamboo lalu dibakar dan dijadikan suloh yang dipasang
di sepanjang pagar untuk penerang. Setiap pementasan si Dalupa tampil, warga kampung
tampak ruah menyaksikan pertunjukan tersebut.
Pada saat itu alat yang digunakan masih sagat sederhana seperti daun pisang kering,
jantung pisang. Hingga berubah seiring berjalannya waktu menggunakan ijuk. Dan
topengserta tambahan pedang. Alat musik yang digunakan serunee kalee, canang, dan
geundrang. Tidak ada pelantung vocal. Semua babak-babak disana hanya bertumpu pada
musik dan instrumentalia lagu-lagu tradisional Aceh.
DAFTAR PUSTAKA
Dadek, Teuku. 2015. Asal-usul Aceh Barat. Meulaboh: OPAC Perpusnas.
https://acehkita.com/seni-tradisi-sidalupa-yang-nyaris-punah-kembali-dipentaskan/ diakses pada
5 November 2021. Pukul 22:30.
https://www.jkma-aceh.org/dalupa-teater-tradisional-pantai-barat/ diakses Pada 5 November
2021. Pukul 21:15.
https://www.google.com/amp/s/penatahati88.wordpress.com/2014/09/04/dalupa-aceh-jaya-bukti-
sejarah/amp/ diakses pada 6 November 2021. Pukul 00:13.
https://www.wisataaceh.co.id/headline/04/sidalupa-kesenian-rakyat-aceh-yang-hampir-punah/5/?
amp=1 diakses pada 5 November 2021. Pukul 21:47.

Anda mungkin juga menyukai