Anda di halaman 1dari 2

TEATER SULAWESI TENGAH

(TEATER COPO PALU)

Sejarah Tebentuknya Teater Copo Palu

Kata Copo diambil dari bahasa lokal yang berarti lampu yang pada umumnya terbuat dari kaleng
susu bekas dan berbahan bakar minyak tanah. Kata ini kemudian dipilih oleh "Etenk Irsyad S.Sn" (Pendiri
Teater Copo Palu) untuk digunakan sebagai nama Kelompok Teater di Kota Palu. Simbol lampu yang
berarti menerangi dikala kegelapan membuat karya - karya Teater Copo Palu (Sulawesi Tengah) lebih
kepada cerita - cerita Sosial Masyarakat, hal ini didasari atas kegelisahan yang terjadi dimasyarakat
khususnya para Generasi Muda yang masih menganggap Seni khususnya teater hanyalah sebatas
hiburan saja.

Teater Copo sendiri terbentuk pada Tahun 2008 dan telah banyak mementaskan Naskah Teater,
diantaranya Sang Mandor, Hilangnya Sebuah Harapan, Matahari Di Ujung Jalan Kecil, Dan Inspektur
Jendral. Prinsip Teater Copo Palu (Sulawesi Tengah) menjadikan Seni Teater tidak hanya sebagai
Sarana/Media hiburan dan Komunikasi, namun yang paling penting adalah Seni Teater sebagai Media
Pendidikan. Atas dasar itulah, Teater Copo Palu menanamkan Eksistensinya dalam dunia Teater untuk
memajukan Kreatifitas Pemuda Kota Palu.

Teater Copo Palu merupakan sebuah komunitas Teater yang berdiri sejak 4 tahun silam. Copo,
dalam bahasa lokal berarti lampu yang umumnya terbuat dari kaleng susu bekas dan berbahan bakar
minyak tanah, kata ini kemudian dipilih oleh Etenk Irsyad S.Sn (pendiri Teater Copo) untuk digunakan
sebagai nama Kelompok Teater yang dibentuknya di Kota Palu sejak kepulangannya dari Bandung dalam
rangka “belajar teater” di STSI dan sebelum hijrahnya beliau ke kampung halamannya di Kabupaten Buol.

Esensi dari tajuk komunitas mereka adalah penyimbolan terhadap makna pencarian ide dan
gagasan yang dikemas menjadi sebuah bentuk tontonan, dimana mutlak didalamnya terdapat unsur-
unsur estetika yang kental, teknik artistik, serta manusia-manusia yang sedang menjalani proses
perpindahan karakteristik dan proses mengolah rasa seutuhnya.

Ini ceritanya:

Drama Satire Inspektur Jendral, Sebuah Karya Dari Nicolai Valisevich Gogol Seorang Sastrawan
Rusia Berkebangsaan Ukraina mendeskripsikan dengan begitu gamblang borok-borok moral para
pejabat-pejabat tinggi sebuah wilayah yang kemudian mempengaruhi mereka dalam mekanisme
pengambilan keputusan atas sebuah problem individu maupun publik, bahkan kerusakan cara berpikir
para pemangku kepentingan ini mampu mengacaukan hal - hal terkecil sekaligus sensitif bagi sosok
pemimpin, Disiplin dan wibawa ! tentu kita semua sudah sangat mampu membayangkan bagaimana
dampak bagi negara jika seorang pejabat nomor satu beserta jajarannya dalam sebuah wilayah Negara
tersebut mengalami krisis disiplin dan pembawa’an.
Suasana yang ditawarkan inspektur jenderalnya Gogol terasa begitu dekat dengan morat-
maritnya Republik kita. Drama ini, menyajikan bentuk-bentuk kegelisahan serta keinginan kaum elit yang
jauh dari landasan kepentingan masyarakatnya, malah munculnya segala jenis kesibukan tersebut
berangkat dari kekhawatiran akan nasib pribadi mereka. Boleh jadi pada dua abad yang lalu Gogol
menuliskan drama ini dengan tidak terlepas dari pengaruh-pengaruh latar belakang kehidupan sosial,
politik,budaya serta kaitannya terhadap kesadaran sejarah yang bergulir di zaman Tsar nya orang-orang
Rusia dan tentu bersifat jauh lebih global. Tsar adalah gelar Kekaisaran Pertama dan Kedua Bulgaria sejak
tahun 913 dan untuk merujuk kepada pemimpin-pemimpin Rusia pada dulu kala sejak 1547 hingga 1917.
Namun di kemudian hari kepekaannya ini dengan tidak sengaja telah membidik atmosfer politik serta
dinamika kekuasaan pada negara-negara “coba terus berkembang” termasuk Indonesia yang semakin
pasti mengalami kehilangan spirit dalam menjaga komitmen terhadap sistem politik yang telah di
cetuskan guna menjalankan kehidupan yang mengutamakan prinsip keadilan sosial bagi seluruh
rakyatnya.

Kini terbukti bahwa berlandaskan kepekaan tersebut Nicolai V.Gogol mampu menemukan
sebuah strategi pembacaan yang lihai dan cerdas serta dengan bijak menempatkan kesenian sebagai
bagian dari pembentukan kultur pada masyarakat.

Alhasil, kita orang Indonesia pun seolah merasa diwakili kegundahannya akan masa depan cerah
sebuah negara oleh seseorang yang moyangnya mengaku secara kultural sebagai keturunan polandia.
Nah, ketika kita menyepakati bahwa Republik hakikinya adalah gagasan untuk mengaplikasikan
kesetaraan, persamaan di dalam kemajemukan Nusantara, maka sesungguhnya bangsa ini telah gagal
besar dalam menjalankan misi tersebut. Mengapa ? apa tolak ukurnya ? mudah saja, karena kita ternyata
masih merasakan bahwa keadaan Rusia di 2 abad silam yang dideskripsikan Gogol lewat “Inspektur
Jenderal” merupakan perwakilan yang tepat bagi perasaan ketika kita menatap wajah pertiwi ini. Begitu
jelas bagaimana pendidikan politik publik hanya sebatas retorika, dan program program yang
mendukungnya tidak ada yang mengena esensinya,justru para pejabat publik selalu saja memaksakan
pandangan pribadinya terhadap persoalan-persoalan publik, maka jadilah Republik ini sebagai lahan
instalasi politik tekhnis dengan dalih bahwa kegunaan republik adalah mengapresiasi “permohonan-
permohonan” yang sekuler.

Anda mungkin juga menyukai