Anda di halaman 1dari 3

Nama : Mohammad Ilham Ramadhan

NIM : 16407141031

Prodi : Ilmu Sejarah (A/2016)

Mata Kuliah : Sejarah Kesenian

Drama Tradisional

Pengertian drama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah komposisi syair
atau prosa yang diharapkan dapat menggambarkan kehidupan dan watak melalui tingkah laku
(peran) atau dialog yang dipentaskan. Atau pengertian lainnya adalah cerita atau kisah,
terutama yang melibatkan konflik atau emosi, yang khusus disusun untuk pertunjukan teater.

Drama merupakan salah satu kesenian yang masuk ke dalam seni pertunjukan.
Berbagai fungsi pertunjukan dapat dikenali, baik lewat data masa lalu maupun data
etnografik masa kini, meliputi fungsi-fungsi religius, peneguhan integrasi sosial, edukatif
(termasuk berkenaan dengan estetika), ekonomis dan hiburan. Yang berubah dari zaman ke
zaman adalah penekanan pada fungsi (-fungsi) tertentu maupun bentuk-bentuk
pernyataannya. Kadang-kadang muncul fungsi baru yang sebelumnya tidak dikenal, atau
dikenal secara implisit saja, misalnya seni pertunjukan sebagai saluran dakwah yang dikenal
pada masa Islam. Seni pertunjukan, seperti diisaratkan dalam karya-karya sastra (kakawin
maupun kidung), dijelaskan juga sebagai sarana pendidikan untuk memperkuat atau
memperlengkap kekuatan kepribadian seseorang.

Di Indonesia, hampir setiap daerah memiliki seni drama tradisional masing-masing.


Sebagai contoh ada Lenong Betawi di Jakarta, Lenong Betawi merupakan sandiwara rakyat
Betawi yang diadaptasi dari komedi Stamboel dan teater Bangsawan pada akhir abad ke-19
atau awal abad ke-20, yang menggunakan bahasa Melayu. Nama Lenong sendiri diambil dari
nama seorang pedagang Tionghoa, yaitu “Lien Ong”, yang sering menganggap pertunjukan
rakyat tersebut untuk memberi hiburan kepada keluarga dan masyarakat di sekitar tempat
tinggalnya.

Di daerah Jawa Tengah dan Yogyakarta terdapat seni drama tradisional, yaitu
Ketoprak. Seni pertunjukan tradisional Ketoprak terbentuk pada tahun 1908 di Surakarta
yang dipelopori oleh Raden Mas Tumenggung Wreksodiningrat. Pada awal 1908 Raden Mas
Tumenggung Wreksodiningrat mengadakan latihan ketoprak. Dalam latian ini beliau
menggunakan alat-alat tetabuhan: sebuah lesung, sebuah terbang (rebana), sebuah seruling.

Pada awalnya kesenian ketoprak lahir ketika politik massa ditandai dengan
mengutubnya dua kecenderungan kebudayaan, yaitu kebudayaan tuan-budak di satu pihak
dan budak sebagai imbangnya. Dan ketoprak lahir di tengah tradisi budak ini sebagai suatu
cara Rakyat kelas bawah menghela deritanya di lapangan kehidupan sehari-hari. Ketoprak
lahir dari keinginan rakyat untuk berekspresi dan mencari ruang-ruang kesenian. Akan tetapi
di awal berdirinya kesenian ketoprak pernah menjadi tahanan kebudayaan ketika kesenian ini
dimasukan ke istana. Hal ini terjadi karena adanya kekuatan kolonial yang bersatu dengan
feodal untuk merenggut seluruh hasil kesenian Rakyat dan memasukannya ke dalam keranti.
Sehingga pada saat itu muncul lah istilah “keraton sentries” dalam seni. Kesenian dikurung
dengan jeruji-jeruji tembok istana. Hak Rakyat sebagai produsen seni dicerabut.

Ketika tembok istana jebol masyarakat pun dapat kembali menikmati keseniannya.
Pada saat itu Ketoprak tak hanya menampilkan cerita-cerita panji, tapi juga perjuangan
kepahlawanan Rakyat. Dengan megatruh, puncung, dan sebagainya, ia menjadi menyambung
lidah dan gelar siasat politik masyarakat lewat kisah-kisah “Joko Kendil”, “Timun Mas”,
“Damar Wulan”, “Roro Mendur”. Selain itu, dibandingkan dengan seni pertunjukan lain,
cerita yang dipentaskan oleh Ketoprak lebih bebas dan bercerita tentang realitas sosial
masyarakat.

Dari Surakarta kesenian Ketoprak kemudian mulai memasuki wilayah Yogyakarta.


Menurut hasil riset diberbagai media, dan salah hasil penelitian bagian kesenian jawatan
kebudayaan kementrian pendidikan, pengajaran dan kebudayaan pun menerangkan bahwa
ketoprak masuk ke Yogyakarta pada tahun 1925. Pertama kalinya pentas seni ketoprak ini
dipertontonkan di kampung Demangan. Di Yogyakarta inilah kesenian Ketoprak kemudian
berkembang dan melekat pada kehidupan masyarakat Jawa.
Sumber:

Handung Kus Sudyarsana.1989. Ketoprak. Yogyakarta: Kanisius.

Kemenbudpar. 2003. Seni Pertunjukan Tradisional: nilai fungsi dan tantangannya.


Yogyakarta: Kemendikbudpar.

Mukhlis Paeni. 2009. Sejarah Kebudayan Indonesia: Seni Pertunjukan dan Seni Media,
Jakarta: Rajawali Pers.

Anda mungkin juga menyukai