NIM : 20201510043
Kelas : PGSD 3B
1. Drama Tradisional
Drama tradisional atau drama rakyat (folk drama) adalah drama yang lahir dan
diciptakan masyarakat tradisional (Siswanto, 2008:165). Drama tradional ini juga
diyakini sebagai warisan budaya nenek moyang yang diyakini lahir secara spontanitas
mengenai kehidupan masyarakatnya. Menurut Wiyanto (2002:11), drama tradisional
adalah tontonan drama yang tidak menggunakan naskah. Watak tokoh, dialog, dan gerak-
geriknya diserahkan sepenuhnya pada pemain. Proses terjadi atau munculnya drama
tradisional di Indonesia sangat bervariasi dari satu daerah dengan daerah lainnya. Hal ini
disebabkan oleh unsur-unsur pembentuk teater tradisional itu berbeda-beda, tergantung
kondisi dan sikap budaya masyarakat, sumber dan tata-cara dimana teater tradisional lahir
(Santosa, dkk., 2008:24). Fungsi drama tradisional ialah untuk kegiatan sosial
keagamaan seperti menyambut tamu, menyambut datangnya panen, sarana ritual ataupun
mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan. Contoh drama tradisional di Indonesia ialah
wayang orang, ludruk, ketoprak, wayang kulit, ronggeng gunung, gambuh, calon arang,
tari topeng, dan juga lenong. Cerita dalam drama tradisional didasarkan pada cerita yang
sudah baku. Selain itu drama tradisional menonjolkan prinsip kebersamaan sehingga
tidak menonjolkan satu individu saja.
2. Drama Modern
Drama modern adalah drama yang lahir pada masyarakat industri. Drama modern
di Indonesia ini muncul akibat pengaruh dari drama barat. Dalam penyajiannya drama ini
sudah memasukkan unsur teknologi modern dalam penyajiannya (Siswanto, 2008:165).
Menurut Wiyanto (2002:12), drama modern menggunakan naskah. Naskah yang berisi
dialog dan perbuatan para pemain itu benar-benar diterapkan. Cerita dalam drama
modern selalu berkembang dan tidak selalu terfokus pada satu permasalahan cerita
ataupun satu pokok cerita tertentu.
Pada Periode Drama Sesudah Kemerdekaan naskah-naskah drama yang
dihasilkan sudah lebih baik dengan menggunakan bahasa Indonesia yang sudah
meninggalkan gaya Pujangga Baru. Pada saat itu penulis drama yang produktif dan
berkualitas baik adalah Utuy Tatang Sontani, Motinggo Boesye dan Rendra. Pada
Periode Mutakhir peran TIM dan DKJ menjadi sangat menonjol. Terjadi pembaruan
dalam struktur drama. Pada umumnya tidak memiliki cerita, antiplot, nonlinear, tokoh-
tokohnya tidak jelas identitasnya, dan bersifat nontematis. Penulis-penulis dramanya
yang terkenal antara lain Rendra, Arifin C. Noer, Putu Wijaya, dan Riantiarno.
Kini kita berpaling ke drama-drama modern yang menggunakan naskah. Kiranya
sukses drama tradisional dalam kemandiriannya tidak dapat diwarisi oleh grup-grup
drama modern. Walaupun begitu kehadiran mereka dalam khasanah sastra Indonesia
merupakan fenomena yang tidak dapat dilupakan. Kita kenal nama-nama besar seperti
Bengkel Teater, Teater Populer, Teater Starka, Teater Alam, dan sebagainya.
Profesionalisme dalam berkesenian belum cukup untuk menjawab tantangan jaman.
Dibutuhkan pengelola keuangan dan organisator yang mampu memanjangkan nafas
hidup group-group teater modern. Paling tidak teater modern membutuhkan impresario
atau tokoh semacam itu.
Ciri-ciri dan bentuk teater modern Indonesia secara garis besar dan mendasar
dapat dilihat sebagai berikut Sumardjo (2004:99) dalam Dewojati (2010:112):
1) Pertunjukan telah dilakukan di tempat khusus, yakni sebuah bangunan panggung
proscenium yang memisahkan penonton dengan pemain. Di atas panggung tersebut telah
dipasang tirai-tirai yang dapat diangkat dan diturunkan sebagai tanda dimulai dan
ditutupnya sebuah babak atau pertunjukan.
2) Penonton harus membayar tiket masuk pertunjukan. Pada teater tradisional kebiasan
itu tidak pernah ada.
3) Fungsi teater adalah untuk hiburan dalam segala gradasinya, mulai hiburan yang
sifatnya
populer sampai dengan hiburan yang canggih.
4) Unsur cerita erat dengan peristiwa-peristiwa yang mewakili semangat zamannya.
5) Ungkapan bentuk teater sudah menggunakan idiom-idiom modern, seperti adanya
intermezo,
pemimpin pertunjukan, sutradara, dan iringan lagu dengan peralatan musik modern.
6) Bahasanya seperti bahasa Melayu atau Bahasa Indonesia.
7) Adanya teks drama yang tertulis.
Sumber : Dewojati, Cahyaningrum. 2010. Drama: Sejarah, Teori, dan Penerapannya.
Yogyakarta: UGM Press
6. Periode 1970-an
Munculnya angkatan 70 ditandai dengan runtuhnya pemerintahan lama (orde
lama) dan munculnya pemerintahan baru (orde baru). Semangat kemerdekaan atas orde
lama itu menular ke bidang seni sastra. Kehidupan sastra seolah-olah telah memperoleh
saluran kebebasan berkreasi. Sejak akhir tahun 1967 sampai awal tahun 1970,
bermunculan karya sastra yang memperlihatkan semangat kebebasan, yang
diimplementasikan dalam bentuk karya-karya eksperimental.
Dalam ranah drama, ciri khas yang menonjol adalah terbukanya peluang bagi para
pemain untuk melakukan improvisasi. Dalam hal ini memungkinkan seorang pemain
melakukan dua lakon sekaligus dalam satu naskah yang sama. Ciri lain adalah lepasnya
keterikatan pada panggung / setting. Jika pada angkatan sebelumnya panggung / setting
mempunyai peran penting, maka pada tahun ini, pementasan dapat dilakukan di mana
saja. Termasuk di kuburan (seperti yang dilakukan oleh teater kubur). Bahkan muncul
pula drama mini kata, yaitu drama yang mementingkan lakuan daripada dialog.
Teks drama yang mencirikan pencapaian estetik tahun 1970
a. Bel Geduwel Beh, Obrok owok-owok Ebrek ewek-ewek(Danarto, 1976)
b. Lautan bernyanyi (Putu Wijaya, 1967)
c. Kapai-kapai (Arifin C Noer, 1970)
d. Bip Bop (WS Rendra, 1972)
7. Drama Periode 1980-1990-an
Perkembangan drama Indonesia pada periode ini mulai mendapatkan perhatian
khusus dengan didirikannya lembaga drama. Dengan adanya lembaga drama tersebut,
lahirlah beragam festival teater seperti Festival Teater Jakarta, Festival Seni Pertunjukan
Rakyat di Yogyakarta, Teater Gapit di Solo, Teater Bel di Bandung, dan lainnya.
Sastra drama terkini nan dimulai sejak tahun 1970 dan sampai saat ini tak bisa
dilepakan begitu saja dengan berdirinya Dewan Kesenian Jakarta. Melalui Dewan
Kesenian Jakarta nan melakukan sayembara-sayembara naskah drama kemudian lahirlah
banyak sekali naskah drama Indonesia nan tak lagi bertema-tema tertentu, tetapi dengan
tema-tema nan lebih umum.Hal nan demikian sekaligus menjadikan sesuatu nan lebih
menarik.
Setelah mengetahui perkembangan sastra drama, tak bisa melepaskan diri pada
artis pada periode terkini ini. Berbicara mengenai Drama, tak bisa dilepaskan dari tokoh
drama nan tetap legandaris, meskipun sudah meninggal dunia. Tokoh tersebut ialah
Willibrordus Surendra Broto Rendra atau lebih dikenal dengan sebutan WS. Rendra. WS.
Rendra sendiri pendiri Bengkel Teater. Bengkel teater didirikan pada tahun 1967. W.S
Rendra nan mendapat julukan burung merah merak ini, turut membentuk sejarah drama
Indonesia. Rendra turut mewarnai global drama dengan memainkan lakon-lakon. Tidak
sporadis pula, Renda sendiri nan menulis naskah, menyutradarai, sekaligus memerankan.
Sumber : https://www.antorij.com/909/01/26/perkembangan-drama-indonesia.htm
8. Drama Kontemporer