Anda di halaman 1dari 5

Orang

by admin | Aug 23, 2017 | Budaya Indonesia, sejarah | 0 comments

Wayang Orang adalah seni drama tari yang mengambil cerita Ramayana dan Mahabarata sebagai
induk ceritanya. Dari segi cerita, Wayang Orang adalah perwujudan drama tari dari Wayang Kulit
Purwa. Pada mulanya, yakni pertengahan abad ke-18, semua penari Wayang Orang adalah penari
pria, tidak ada penari wanita. Jadi agak mirip dengan pertunjukan ludruk di Jawa Timur dewasa ini.
Dalam berbagai buku mengenai budaya wayang disebutkan, Wayang Orang diciptakan oleh Kangjeng
Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I (1757 – 1795). Para pemainnya waktu itu terdiri atas abdi
dalem istana.
Menilik dari sejarah seni pertunjukan budaya Jawa, mayoritas dipengaruhi oleh kisah Mahabharata
dan Ramayana dari India yang telah berbaur dengan budaya lokal. Tetapi dari kedua sumber budaya
ini, Mahabharatalah yang menjadi runutan hampir mayoritas seni pertunjukan Jawa seperti wayang
purwa, wayang orang dan lain sebaginya. Mahabhrata memiliki inti cerita seputar konflik antara
Pandawa dan Kurawa mengenai sengketa pemerintahan Negara Astina yang puncaknya terjadi pada
perang Bharatayudha. Mahabharata mulai populer di Jawa sekitar abad 10 masehi pada masa
pemerintahan Dharmawangsa Teguh ( 991-1016 M) dari Kediri. Lalu berkembang semakin populer
dalam bentuk Kakawin atau bentuk puisi lawas dengan metrum India berbahasa Jawa kuno. Pencipta
kakawin yang paling terkenal adalah Mpu Sedah dalam karya Bharatayudha yang ditujukan sebagai
persembahan kepada Prabu Jaya Baya diakhir pemerintahannya. Kisah Mahabharata ini mengilhami
terciptanya beragam jenis kesenia daerah jawa seperti seni arsitektur yang terlihat pada candi, seni
tari seni lukis, dan pertunjukan. Sumber-sumber Mahabharata diera kerajaan Jawa kuno banyak
ditulis di daun lontar yang berisi tentang filosofi-filosofi kehidupan sosio-budaya-politik masyarakat
Jawa.
Pertama kali Wayang Orang itu dipentaskan secara terbatas pada tahun 1760. Namun, barn pada
pemerintahan Mangkunegara V pertunjukan Wayang Orang itu lebih memasyarakat, walaupun masih
tetap terbatas dinikmati oleh kerabat keraton dan para pegawainya. Pemasyarakatan seni Wayang
Orang hampir bersamaan waktunya dengan lahirnya drama tari Langendriyan. Pada masa
pemerintahan Mangkunegara VII (1916 -1944) kesenian Wayang Orang mulai diperkenalkan pada
masyarakat di luar tembok keraton. Usaha memasyarakatkan kesenian ini makin pesat ketika Sunan
Paku Buwana X (1893-1939) memprakarsai pertunjukan Wayang Orang bagi masyarakat umum di
Balekambang, Taman Sri Wedari, dan di Pasar Malam yang diselenggarakan di alun-alun. Para
pemainnya pun, bukan lagi hanya para abdi dalem, melainkan juga orang-orang di luar keraton yang
berbakat menari.
Penyelenggaraan pertunjukan Wayang Orang secara komersial baru dimulai pada tahun 1922.
Mulanya, dengan tujuan mengumpulkan dana bagi kongres kebudayaan. Kemudian pada tahun 1932,
pertama kali Wayang Orang masuk dalam siaran radio, yaitu Solosche Radio Vereeniging, yang
mendapat sambutan hebat dari masyarakat.Wayang Orang juga menyebar ke Yogyakarta. Pada
zaman pemerintahan Sultan Hamengku Buwana VII (1877 -1921) keraton Yogyakarta dua kali
mempergelarkan pementasan Wayang Orang untuk tontonan kerabat keraton. Waktu itu lakonnya
adalah Sri Suwela dan Pregiwa – Pregiwati. Wayang Orang di Yogyakarta ini disebut Wayang Wong
Mataraman.
Pakaian para penari Wayang Orang pada awalnya masih amat sederhana, tidakjauh berbeda dengan
pakaian adat keraton sehari-hari, hanya ditambah dengan selendang tari. Baru pada zaman Mangku-
negara VI (1881-1896), penari Wayang Orang mengenakan irah-irahan terbuat dari kulit ditatah apik,
kemudian disungging dengan perada.Sejalan dengan perkembangan Wayang Orang. terciptalah
gerak-gerak tari baru yang diciptakan oleh para seniman pakar tari keraton. Gerak tari baru itu antara
lain adalah sembahan, sabetan, lumaksono. ngombak banyu, dan srisig.
Karena ternyata kesenian Wayang Orang mendapat sambutan hangat dari masyarakat, bermun-
culanlah berbagai perkumpulan Wayang Orang; mula-mula dengan status amatir, kemudian menjadi
profesional. Perkumpulan Wayang orang yang cukup tua dan terkenal, di antaranya Wayang Orang
(WO) Sriwedari di Surakarta dan WO Ngesti Pandawa di Semarang. Wayang Orang Sriwedari
merupakan kelompok budaya komersial yang pertama dalam bidang seni Wayang Orang. Didirikan
tahun 1911, perkumpulan Wayang Orang ini mengadakan pentas: secara tetap di `kebon raja’ yakni
taman hiburan umum milik Keraton Kasunanan Surakarta.
Patut juga dicatat, peranan masyarakat keturunan Cina di Surakarta dan Malang yang aktif mengem-
bangkan kesenian Wayang Orang. Mereka bergabung dalam perkumpulan kesenian PMS
(Perkumpulan Masyarakat Surakarta) yang secara berkala mengadakan latihan tari dan pada waktu-
waktu tertentu mengadakan pementasan untuk pengumpulan dana dan amal. Perkembangan seni
Wayang Orang di Surakarta lebih bersifat populer dibandingkan di Yogyakarta. Kreasi seniman
Surakarta untuk melengkapi pakaian tari Wayang Orang, mengarah pada `glamour’ dengan
kemewahan tata panggung. Untuk pemeran tokoh wayang bambangan seperti Arjuna, Abimanyu, dan
sejenisnya, digunakan penari wanita. Sedangkan di Yogyakarta tetap mempertahankan penari pria.
Di Jakarta, pada tahun 1960 – 1990, pernah pula berdiri beberapa perkumpulan Wayang Orang, di
antaranya Sri Sabda Utama, Ngesti Budaya, Ngesti Wandawa, Cahya Kawedar, Adi Luhung, Ngesti
Widada, Panca Murti, dan yang paling lama bertahan Bharata.
Pentas seni Wayang Orang juga melahirkan seniman-seniman tari yang menonjol, antara lain
Sastradirun, Rusman, Darsi, dan Surana dari Surakarta; Sastrasabda dan Nartasabda dari Semarang;
Samsu dan Kies Slamet dari Jakarta.
Eksistensi ditengah Modernitas dan Urbanisme
Semangat urbanisme yang dinamis senantiasa menjurus kepada arah modernisasi di hampir seluruh
aspek kehidupan. Peninggalan-peninggalan masa lalu yang harusnya tetap lestari hingga kini,
perlahan kian hilang pamor dan atensinya. Budaya-budaya luhur peninggalan nenek moyang
seyogyanya merupakan bentuk refleksi atas jati diri kita sebagai bangsa yang berbudaya.
Di tengah jalan yang cukup pesimis ini, menarik disimak adalah sebuah fenomena bertahannya salah
satu bentuk kebudayaan daerah, tepatnya kebudayaan Jawa, berupa seni pertunjukan wayang orang
yang mampu mencuri atensi warga ibukota, khususnya mereka-mereka yang rindu akan eksistensi
kebudayaan daerah.
Salah satu pelaku kebudayaan tersebut ialah kelompok Wayang orang Bharata. Mereka hadir dalam
bentuk kekiniannya dengan tujuan agar dapat diterima dan terus eksis di tengah gempuran
modernisasi. Menilik dari bergeliatnya kembali seni pertunjukan budaya Jawa ini, relevansi apakah
yang ada di balik kebangkitannya? Apakah ini benar-benar bentuk eksistensi atau restorasi seiring
perkembangan zaman?
Di tengah Jakarta yang bergeliat dengan modernitasnya, mungkin sudah menjadi rahasia umum
bahwa kesenian tradisional mulai kehilangan pamornya. Hampir tidak ada ada lagi bentuk kesenian
tradisonal yang mampu berdiri di tengah kehidupan ibu kota yang dinamis ini, mungkin dapat
dikecualikan untuk sebuah gedung kecil di antara penuh sesaknya deretan gedung di kawasan Senen,
Jakarta Pusat, dimana di dalam gedung yang berpapan namakan Gedung Kesenian Bharata tersebut
terdapat sekelompok penggiat seni pertunjukan Jawa yang mampu menghidupkan dan mel estarikan
salah satu kesenian tradisional dengan begitu kreatif.
Wayang orang oleh tangan mereka diubah menjadi sebuah konsep teater kota layaknya teater
Broadway di New York, Amerika Serikat, dimana wayang orang ditampilkan secara reguler setiap hari
jumat dan sabtu dengan bentuk penampilan yang telah dimodifikasi sedemikian rupa hingga menjadi
lebih terlihat kasual. Terbukti, semakin hari pertunjukan wayang orang di tempat ini semakin
mendapatkan atensi dari masyarakat ibukota dan sekitarnya, bukan hanya para warga keturunan
Jawa yang rindu kesenian daerah mereka saja yang menonton, melainkan beragam orang yang
berbeda suku bahkan berbeda kewarganegaraan pun turut mengapresiasi seni pertunjukan ini.
Seiring perkembangan zaman dengan bertambahnya masukan pengaruh budaya-budaya dari luar,
seni pertunjukan wayang orang mulai kehilangan pamornya di akhir dekade 90-an. Ketika itu wayang
orang terkena imbas kisruh politik dan ekonomi yang melanda Indonesia yang menyebabkan
masyarakat menjadi enggan untuk mengapresiasi bentuk-bentuk budaya karena harus berpikir untuk
menyelamatkan kehidupan mereka di tenga krisis. Selain karena atensi masyarakat mulai berkurang,
masalah klasik soal pendanaan juga menjadi masalah pelik kala itu hingga membuat seni pertunjukan
ini menjadi pesimis untuk bangkit.
Kita patut berterima kasih kepada mereka-mereka yang masih mau melestarikan seni pertunjukan
wayang orang ini dengan tulus walaupun tantangannya tidak bisa dibilang sepele. Salah satu penggiat
yang melestarikan seni pertunjukan ini adalah kelompok Wayang Orang Bharata yang bermarkas di
salah satu gedung di kawasan padat Jalan Kalilio, Senen, Jakarta Pusat, dimana mereka berhasil
menyajikan bentuk pelestarian yang dapat diterima dan eksis di lingkungan urban ibukota.
Sebagaimana kita tahu, bentuk kesenian tradisional di Jakarta memang mulai menurun pamornya
seiring dengan gempuran berbagai pengaruh modernisasi yang masuk, namun berkat kegigihan dan
kreativitas mereka, akhirnya seni pertunjukan wayang orang ini dapat diterima dengan baik oleh
masyarakat. Bentuk pertunjukan yang tadinya bersifat kurang terbuka dan cenderung konservatif dan
sedikit mengandung improvisasi, diubah olehmereka menjadi lebih populer. Tema-tema yang diangkat
memang masih berakar dari kisah Mahabharata dan Ramayana namun dengan sentuhan isu masa
kini yang bersifat ringan sehingga cenderung menjadi lebih sebagai bentuk hiburan yang otentik dan
kian minim filosofi.
Namun, keeksistensian wayang orang Bharata ini patut diapresiasi karena mampu kembali menggaet
atensi masyarakat untuk menyimaknya. Mungkin inilah yang disebut sebagai bentuk hiburan alternatif
di tengah hingar-bingar hiburan modern yang iu-itu saja, dan mungkin juga ini adalah bentuk
penghapusan titik jenuh masyarakat urban akan kebutuhan hiburan. Dengan bentuk yang berbeda
dengan mainstream hiburan saat ini, seni pertunjukan wayang orang Bharata menyajikan kisah epik
budaya Jawa dalam visualisasi layaknya teater yang atraktif dan murah meriah. Memang pada
umumnya yang menyaksikan wayang orang di gedung ini mayoritas adalah kalangan menengah yang
bukan hanya berasal dari para keturunan Jawa yang rindu akan seni budaya leleuhurnya, melainkan
juga apresiasi di luar etnis Jawa dan bahkan hingga orang asing yang menyebut bentuk kesenian
sepeerti ini sebagai an extraordinary thing yang memiliki niilai otentik tinggi. Media juga turut berperan
penting dalam memperkenalkan alternatif ‘hiburan’ ini kepada masyarakat luas, dan memang terbukti
atensi masyarakat kian meningkat berkat pemberitaan tersebut.
Namun ada yang disayangkan dari kebangkitan kesenian wayang orang ini, karena beberapa aspek
di dalamnya cenderung berubah menjadi minim filosofi dan pesan pembelajaran yang diberikan
kepada para penonton. Seperti ketika pementasan Srikandi dan Larasati Kembar pada tanggal 7 Mei
2011 yang lalu, fakta ini terlihat jelas. Dikisahkan pusaka keris milik Arjuna hilang dicuri oleh dua orang
yang menyamar sebagai Srikandi dan Larasati sehingga membuat dua perempuan yang tidak
bersalah ini menjadi tertuduh atas peristiwa ini. Arjuna pun marah dan mengancam akan menceraikan
Srikandi dan bahkan tak segan untuk membunuh mereka jika tidak segera mengembalikannya.
Petualangan mereka yang diselingi dengan kemunculan dua kesatria muda, Gondang Jagat dan
Gondang Dewa, yang ternyata merupakan anak kandung kesekian Arjuna hasil hubungannya dengan
sekian banyak perempuan, kemunculan Punakawan yang walaupun berkarakter merakyat namun
kurang menunjukkan fungsinya sebagai orang yang bijak (justru lebih banyak melawak) hingga
tertangkapnya dua pencuri yang ternyata adalah sepasang saudara, Sriwati dan Sriweni (adik dari
Kanjeng Prabu Witoko yang menjadi otak pencurian pusaka milik Arjuna tersebut) hingga kemunculan
beberapa tokoh yang justru membingungkan alur cerita.
Di awal mungkin penonton banyak yang mengira bahwa jalan cerita akan bergulir pada perebutan
kembali pusaka Arjuna yang dicuri tersebut dan menyampaikan pesan tentang filosofi kejahatan akan
selalu dapat diberangus dengan kebaikan, namun yang didapat justru malah menjadi semacam
humor, terutama di bagian-bagian mendekati akhir pertunjukan dan mayoritas lelucon yang
dilontarkan juga minim makna sehingga menjadi agak rancu. Hingga akhir cerita pun, penonton masih
menyimpan tanda tanya akan makna dari pertunjukan yang baru saja mereka saksikan. Mungkin ini
dapat menjadi satu masukan penting bagi perkembangan wayang orang Bharata selanjutnya, supaya
esensi dari seni pertunjukan ini tidak bergeeser dari nilai yang sebenarnya.
Diluar beberapa keluhan penonton yang diuraikan di atas, kita sebagai penikmat seni pertunjukan ini
hendaknya turut mengapresiasi dengan positif akan keberadaan wayang orang Bharata di tengah
urbanisme ibukota. Sebagai kelompok pelestari kebudayan Jawa yang independen (baca: minim
dukungan pemerintah), usaha mereka pantas untuk mendapatkan acungan jempol karena berhasil
membangun kembali reputasi pertunjukan wayang orang yang sempat terpuruk dan dengan kreatif
mengolahnya menjadi sesuatu yang kekinian tanpa menghilangkan unsur keotentikannya.
Unsur-Unsur Yang Ada Dalam Pertunjukan Wayang Orang
Gedung
Gedung adalah tempat dimana wayang orang dipergelarkan. Di dalam gedung terdapat alat dan
sarana pendukung pertunjukan, seperti panggung dan pelengkapan lain seperti layar sebagai latar
belakang untuk pergantian suasana. Layar di sini berupa kain yang berukuran cukup besar yang ada
lukisan yang menggambarkan suasana adegan yang berlangsung. Lukisan ini biasanya berupa di
dalam kraton/istana, jalan, hutan, sungai dan pemandangan yang lain.
Dalang
Dalang adalah orang yang memainkan boneka wayang. Seorang dalang mempunyai kedudukan
sentral dalam pertunjukan wayang. Seorang dalang bertanggung jawab atas seluruh pergelaran yang
sedang berlangsung, memimpin musik, membuat hidupnya pertunjukan, bertindak sebagai penyaji.
Gamelan Dan Pangrawit
Setiap penyajian wayang orang diperlukan iringan gamelan (musik). Fungsi dari gamelan beserta
pengrawitnya adalah untuk mengiringi dan mendukung suasana yang diinginkan. Juga ritme gamelan
(musik) berfungsi untuk mendukung suasana pertunjukan.
Sutradara
Sutradara dalam pertunjukan wayang adalah individu/personal yang mengarahkan dan
mengkoordinasi segala unsur pertunjukan dengan paham, serta mempunyai kecakapan, sehingga
mencapai suatu pertunjukan yang berhasil.
Gerak Tari
Gerak tari adalah tata laku gerak dalam tari. Pada hakekatnya tari dalam pertujukan wayang orang
adalah merupakan bagian keseluruhan pertunjukan wayang orang. Tari yang digunakan di panggung
wayang orang adalah tari tradisional klasik. Tari wayang orang dibagi menjadi beberapa larakter, yaitu
tari putri luruh, tari putri lanyap, tari putra luruh, tari putra lanyap, tari putra gagah dan gecul. Ragam
gerak tari yang disajikan adalah gerak baku, artinya telah ada patokannya, misalnya ; gajah-gajahan,
golek iwak, bapang, ukel wutuh, besut, sabetan, lumaksana, kebyok kebyak sampur.
Busana
Busana adalah kostum yang berfungsi untuk menghidupkan perwatakan pelaku/tokoh wayang yang
dibawakan. Artinya, sebelum dia berdialog, kustum yang dikenakan sudah menunjukkan siapa dia
sebenarnya.
Rias
Tata rias dalam wayang orang, membuat wajah dan kepala sesuai dengan peran tokoh wayang yang
dikehendaki.
Lampu Dan Suara
Pada masa lalu saat awal perkembangannya, pertunjukan tari tradisional hanya diberi penerangan
dari api, yang bersumber dari minyak kelapa atau minyak tanah. Untuk pengaturan suara
menggunakan kenthongan. Dalam perkembangan selanjutnya kemudian menggunakan penerangan
lampu listrik serta menggunakan alat pengeras suara (sound system). Semua alat berfungsi untuk
membantu pertunjukan, baik untuk menerangi maupun mengatur suara dalam pertunjukan tari.
Penataan lampu sebenarnya bukan sekedar untuk penerangan semata, namun juga berfungsi untuk
menciptakan suasana yang diinginkan, dan memberi daya hidup pertunjukan secara langsung, yaitu
efek sinar lampu dapat memberi kontribusi pada suasana dramatik pertunjukan. Dan secara tidak
langsung memberi suasana/daya hidup pada busana penari dan perlengkapan lainnya. Sedangkan
penataan suara dapat dikatakan berhasil jika dapat menjadi jembatan komunikasi antara pertunjukan
dengan penonton, artinya penonton dapat mendengar dengan baik dan jelas tanpa gangguan apapun
sehingga terasa nyaman menikmati pertunjukan tari.

Anda mungkin juga menyukai