00000099446 1. Tugu Pahlawan Tak Dikenal (SUMATERA BARAT)
Tugu Pahlawan Tak Dikenal terletak di seberang Taman Monumen Bung
Hatta atau beberapa meter dari Jam Gadang di Kota Bukittinggi, Sumatera Barat, Indonesia. Monumen ini dirancang oleh seniman Huriah Adam bersama suaminya, Ramudin. Tugu pahlawan Tak Dikenal dibuat pada 15 Juni 1963 yang kemudia diresmikan pada 20 Mei 1965. Latar belakang dan ide gagasan dari pembuatan Tugu ini adalah untuk untuk memperingati kemenangan tentara pusat dalam menundukkan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Tugu ini memiliki komunikasi berdasarkan bentuknya yang; berupa ornamen lingkaran ular naga di tengah sebuah bidang bundar yang dihiasi tanaman, kemudian di puncaknya, berdiri patung pemuda memegang semacam pedang. Patung ini aslinya digambarkan sedang memegang bendera, tetapi tersambar petir. Tugu Pahlawan Tak Dikenal memiliki unsur estetika dimana tugu ini memiliki proporsi harmonis yang kuat, elemen desain gabungan antara ular naga dengan seorang pemuda yang melambangkan perjuangan membuatnya seakan sangat bermakna dalam. Keunikan pada Tugu ini terletak pada bagaimana penamaan Tugu ini “Tugu Pahlawan Tak Dikenal” bukan dinamai secara tanpa alasan, Sajak yang tertulis dibawah Tugu berbunyi: “Mati luhur tidak berkubur. Memutuskan jiwa meninggalkan nama. Menjadi awan di angkasa. Menjadi buih di lautan. Semerbak harumnya di udara.” Hal ini memperkuat konsep Tugu yang selain untuk mengenang perjuangan untuk memperingati kemenangan tentara pusat dalam menundukkan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), namun juga untuk mengenang pahlawan negara yang Namanya tidak bisa dikenali. Pengaruh Budaya dalam Tugu ini awalnya memiliki sedikit kesalahpahaman dengan masyarakat setempat, dikarenakan bentuknya yang menampilkan ular naga, yang mana tidak sesuai dengan budaya warga setempat. Dalam Kepercayaan masyarakat Sumatera Barat, Ular Naga seringkali diasosiasikan dengan kejahatan atau hal yang bersifat negatif dalam masyarakat lokal. Tugu Pahlwan tak dikenal yang memiliki bentuk ular naga membuat kesalahpahaman kepada masyarakat lokal.
2. Relief Taman Sari (DI YOGYAKARTA)
Relief Taman sari atau Taman Sari Keraton Yogyakarta adalah situs bekas taman rekreasi Keluarga Kerajaan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Pusat kegiatan budaya, serta simbol dari status sosial Masyarakat pada zaman Sultan Hamengku Buwono I (HB I) pada tahun 1758-1765/9. Desainer dari taman sari sendiri tidak diketahui Namanya, namun pendiri pastinya adalah Sultan Hamengkubuwono I yang memiliki tujuan utama membuat Taman Sari sebagai tempat liburan kerajaan seta menjadi pusat kegiatan budaya meliputi: Acara keagamaan, pertunjukkan wayang, maupun penampilan tari tradisional. Elemen Desain Kompleks Taman Sari dapat dibagi menjadi 4 bagian. Bagian pertama adalah danau buatan yang terletak di sebelah barat yang memiliki fungsi sebagai tempat bersampan Sultan dan keluarga kerajaan. Bagian selanjutnya adalah bangunan yang berada di sebelah selatan danau buatan antara lain Pemandian Umbul Binangun, Bagian ini hanya boleh dimasuki oleh Sultan serta permaisurinya saja, dikarenakan bagian ini mengharuskan para sultan, istri, serta putri raja untuk melepas baju mereka, untuk mandi sehingga selain perempuan dan sultan dilarang keras untuk memasuki area ini. Bagian ketiga adalah Pasarean Ledok Sari dan Kolam Garjitawati yang terletak di selatan bagian kedua, bagian ini berbentuk huruf ‘U’ yang dipercaya untuk tempat meditasi Sultan. Bagian terakhir adalah bagian sebelah timur bagian pertama dan kedua dan meluas ke arah timur sampai tenggara kompleks Magangan, bagian ini hamper tidak memiliki sisa dan hanya menyisakan jembatan dermaga, informasi mengenai bagian keempat hanyalah sisaan sketsa dari penyerangan pasukan Inggris ke Keraton Yogyakarta (1812). Taman sari juga memiliki keunikan seperti pesan yang ingin disampaikan melalui beberapoa Reliefnya, contohnya pada salah satu reliefnya, Gedhong Gapura Panggung yang melambangkan tahun dibangunnya Taman Sari yaitu tahun 1758. Pengaruh Budaya taman sari ini merupakan hasil gabungan dari budaya Eropa dan jawa. Dapat dilihat dari Arsitektur Taman Sari yang menggunakan elemen desain berupa motif jawa, namun dipadukan dengan elemen eropa seperti Kolam dan Paviliun. Secara garis besar, Taman Sari merupakan representasi pengaruh kebudayaan daerah Yogyakarta (daerah Jawa) pada saat masuknya penjajahan dan kebudayaan Eropa. Pada dasarnya, Tujuan utama Taman sari memang diciptakan untuk Tempat rekreasi keluarga kerajaan, namun taman sari juga memiliki pengaruh terhadap masyarakat seperti diadakannya pertunjukkan seni dan upacara keagamaan, atau bahkan status sosial masyarakat yang tergolong tinggi jika memiliki koneksi atau akses ke Taman Sari.
3. Lukisan gua Leang-Leang (Sulawesi Selatan)
Lukisan di gua Leang-Leang merupakan salah satu artefak budaya
sebagai bukti kekayaan dan simbol peradaban manusia yang diciptakan oleh manusia prasejarah kurang lebih 3000 tahun yang lalu, namun Lukisan ini baru ditemukan pada tahun 1950 oleh dua arkeolog Belanda yaitu Mister Van Heekeren dan Miss Heeren Palm Lukisan Leang-Leang ini dipercaya merupakan abstraksi ide-ide, religi mitis, dan sumber pandangan hidup masyarakat prasejarah. Ide dan gagasan awal dari Leang-Leang sendiri merupakan bentuk ekspresi serta cara mereka berkomunikasi, Lukisan ini memiliki “gejolak ekspresi” kuat yang terlihat bagaimana gaya yang digunakan seniman prasejarah gunakan. Tujuan dibuatnya Leang-leang adalah dalam bentuk visual, lukisan ini menjadi sarana komunikasi masyarat bagi individu untuk individu yang lain. Lukisan Leang-Leang memiliki keunikan dari bagaimana semua elemen elemen dan Teknik dari lukisan ini terlihat primitif. Autensitas dari manusia prasejarah dapat terpancar langsung begitu kita melihatnya, hal ini disebabkan oleh terbatasnya alat dan bahan yang ada pada masa itu. Elemen desain yang digunakan pada lukisan ini cukup sederhana antara lain; Cap-cap tangan tangan yang dibuat dengan cara merentangkan jari-jari tangan di dinding gua, kemudian ditaburi dengan cat merah. Elemen desain lain yang ditemukan di gua tersebut adalah lukisan seekor babi rusa yang sedang melompat dengan panah di bagian jantungnya. Lukisan gua Leang Leang sendiri memiliki pengaruh budaya lokal nusantara yang kuat, yang mana pada visualisasi lukisan terlihat digambarkan cerminan dari kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan pada masa itu. Dengan penjelasan berikut, Lukisan gua Leang Leang merupakan salah satu contoh yang kuat dari ekspresi seni khusunya ekspresi seni masyarakat prasejarah di Sulawesi Selatan.
4. The Death of Subali (Bali)
The Death of Subali merupakan karya pelukis asal bali, I Nyoman
Mahnedra (1972) merupakan salah satu dari jeni lukisan, yaitu Lukisan wayang Kamasan Sarat. Lukisan Wayang Kamasan Sarat merupakan Lukisan wayang salah satu kekayaan budaya Bali yang telah berkembang pesat pada abad ke- 14, zaman Kerajaan Gelgel. Lukisan ini memiliki karakter yang unik dan berisi nilai-nilai sosial budaya maupun cerminan realitas kehidupan. Lukisan ini dapat ditemukan di berbagai tempat, termasuk di Desa Kamasan. I Nyoman Mandra merupakan salah satu pelukis dari Bali yang terkenal berkat karya-karya Lukisan Wayang Saratnya. Lukisan wayangnya menggambarkan narasi visual yang menggambarkan cerita Mahabharata (Abhimanyu) dalam seni rupa Bali. Estetika dan keunikan dari karya ini adalah karya ini menjunjung konvensi seni rupa tradisional bali yang dipadukan dengan detail kecil yang seimbang khas lukisan wayang yang terfokus pada Abhimanyu. Selain itu, Lukisan ini unik juga karena berani untuk mengekspresikan kematian dari Abhimanyu dalam peperangan sambal mengemas segalanya tetap didalam unsur wayang dan ke-khasan Bali. Tujuan dari pembuatan lukisan ini tidak hanya untuk memperlihatkan perjuangan dan pengorbanan Abhimanyu didalam peperangan, namun juga memperlihatkan kebudayaan Bali dalam bentuk Visualisasi Wayang. The Death of Subali sendiri merupakan lukisan yang terinspirasi dari kebudayaan lokal yang tidak lain adalah Bali, yang kaya akan makna dan estetika berupa Wayang Sarat.
5. Lambang Jakarta Raya (Jakarta)
Lambang daerah Ibukota Jakarta (30 Agustus 1951–26 Juni 1963)
disketsa oleh Hendrik Hermanus Joel Ngantung, seorang seniman besar yang juga pernah menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta. Gagasan awal desain lambing Kota Jakarta adalah menciptakan suatu simbol yang akan merepresantasikan seluruh Kota Jakarta yang mengandung unsur-unsur kekayaan Budaya, Sejarah, serta Identitas bagi Kota Jakarta. Tujuan dibentuknya Lambang ini mencakup; memperkuat Identitas serta kebanggaan warga Jakarta terhadap Jakarta itu sendiri, serta menyampaikan kesan kemegahan kota Jakarta melalui elemen-elemen desain yang ada pada lambang. Sama seperti tujuan, lambang ini juga mencakup komunikasi tentang kekayaan budaya, sejarah, serta identitas Kota Jakarta itu sendiri. Berbentuk Perisai persegi lima dengan sentuhan gapura, monument nasional khas Jakarta; Monas, vector gelombang, estetika dan keunikan desain lambang Kota Jakarta ini terletak pada pemilihan warna yang terang, serta penggabungan dari elemen- elemen desain yang ada pada Kota Jakarta yang harmonis. Lambang ini memiliki pengaruh budaya Lokal yang sangat kuat, setiap elemen mulai dari gambar Monas, persegi bersegi lima yang melambangkan 5 sila dari Pancasila, gapura khas pulau jawa, semua aspek elemen desain itu menuju pada pengaruh budaya lokal Nusantara.
6. My Ten Faces (Jawa)
My Ten Faces karya Hendra Gunawan yang dibuat pada tahun 1979 merupakan karya desain komunikasi visual yang menunjukkan pengaruh budaya serta identitas jawa. Lukisan ini menampilkan sepuluh wajah orang yang mencerminkan sebarapa kompleksnya manusia. Dimulai dari ekspresi senyum, hinga wajah wajah hewan yang menggambarkan kemarahan, kesedihan, kebingungan, dan lain-lain. Tujuan pembuatan lukisan ini adalah untuk menginspirasi masyarakat untuk merenungkan identitas masing-masing. Selain itu, lukisan ini tidak hanya bertujuan sebatas itu saja, tetapi juga bertujuan untuk merenungkan identitas manusia dengan visualisasi gaya khas daerah jawa, khusunya jawa barat. Keunikan dari lukisan ini terletak pada detail yang rumit serta warna warna cerah, sesuai dengan gaya seni Hendra Gunawan yang biasanya. Elemen desain yang digunakan pada lukisan ini ada pada manusia dan 10 wajah hewan representasi dari kompleksitas manusia itu sendiri yang dikemas dengan gaya khas jawa. Secara garis besar, lukisan dan gaya seni Hendra Gunawan memiliki beberapa pengaruh global, yang mana Hendra Gunawan sendiri adalah seorang pelukis sekaligus tokoh Lekra, beraliran realisme sosialis yang mana aliran realisme sosial sendiri berasal dari Uni Soviet. Meski begitu, karya Hendra Gunawan lebih dikenal sebagai karya seni khas daerah Indonesia, elemen- elemen desain dari kebanyakan karyanya adalah dari budaya lokal yang lebih merepresentasikan keauntetikan Nusantara khusunya di daerah Jawa.
7. Kawan-kawan Revolusi (Jawa Tengah)
“Kawan-kawan Revolusi” karya Sudjojono yang berasal dari daerah Jawa
Tengah tepatnya di solo pada tahun 1947 ini menggambarkan beberapa orang yang diasumsikan memiliki jasa dan peran penting dalam kemerdekaan Indonesia pada 1945. Meski beberapa Karakter dalam lukisan tidak nampak jelas dalam menggambarkan suatu tokoh, namun pesan dan komunikasi Sudjono dalam lukisan ini sudah cukup jelas, yaitu menggambarkan sosok pejuang laki-laki. Estetika dari karya ini adalah jika diperhatikan lebih jelas, dapat diperhatikan semua karakter dalam lukisan ini menghadap ke kanan, tidak satupun menghadap ke kiri. Dipercaya berdasarkan teori semiotika, hal ini berhubungan dengan semangat yang ada didalam diri Sudjono dalam membuat karya ini pada zaman tersebut. Keunikan dari karya ini adalah lukisan ini merupakan suatu pembuktian atas tantangan kritikus seni pada zama itu, Trisno Sumardjo, bahwa Sudjono tidak memiliki teknis melukis realis yang lambat. Dalam Lukisan “Kawan-kawan Revolusi” karya Sudjojono ini, terdapat pengaruh budaya yang kuat. Lukisan ini secara gambling menceritakan tentang pahlawan yang berjasa semasa kemerdekaan Indonesia dan secara jelas menampilkan elemen visual berupa karakter perjuangan pada masa itu, meski tidak terlalu jelas siapa saja. Namun, Sudjono sendiri yang mengatakan bahwa bang Dullah, pahlawan kemerdekaan Indonesia, merupakan salah satu tokoh utama dalam lukisan tersebut. Hal ini jelas menandakan bahwa lukisan ini memiliki pengaruh budaya lokal yang sangat kuat, meskipun dengan tema revolusi dan kemerdekaan yang merupakan topik global, namun lukisan ini lebih menonjolkan narasi perjuangan bangsa Indonesia dan pahlawannya sebagai visualisasinya.