Anda di halaman 1dari 12

UTS DESIGN AND INDONESIAN CULTURE (DKV212-L)

NAMA : GHOSSAN GREGAR HANDARU


00000099446
1. Tugu Pahlawan Tak Dikenal (SUMATERA BARAT)

Tugu Pahlawan Tak Dikenal terletak di seberang Taman Monumen Bung


Hatta atau beberapa meter dari Jam Gadang di Kota Bukittinggi, Sumatera
Barat, Indonesia. Monumen ini dirancang oleh seniman Huriah Adam bersama
suaminya, Ramudin. Tugu pahlawan Tak Dikenal dibuat pada 15 Juni 1963
yang kemudia diresmikan pada 20 Mei 1965. Latar belakang dan ide gagasan
dari pembuatan Tugu ini adalah untuk untuk memperingati kemenangan tentara
pusat dalam menundukkan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia
(PRRI). Tugu ini memiliki komunikasi berdasarkan bentuknya yang; berupa
ornamen lingkaran ular naga di tengah sebuah bidang bundar yang dihiasi
tanaman, kemudian di puncaknya, berdiri patung pemuda memegang semacam
pedang. Patung ini aslinya digambarkan sedang memegang bendera, tetapi
tersambar petir. Tugu Pahlawan Tak Dikenal memiliki unsur estetika dimana
tugu ini memiliki proporsi harmonis yang kuat, elemen desain gabungan antara
ular naga dengan seorang pemuda yang melambangkan perjuangan
membuatnya seakan sangat bermakna dalam. Keunikan pada Tugu ini terletak
pada bagaimana penamaan Tugu ini “Tugu Pahlawan Tak Dikenal” bukan
dinamai secara tanpa alasan, Sajak yang tertulis dibawah Tugu berbunyi: “Mati
luhur tidak berkubur. Memutuskan jiwa meninggalkan nama. Menjadi awan di
angkasa. Menjadi buih di lautan. Semerbak harumnya di udara.” Hal ini
memperkuat konsep Tugu yang selain untuk mengenang perjuangan untuk
memperingati kemenangan tentara pusat dalam menundukkan Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), namun juga untuk mengenang
pahlawan negara yang Namanya tidak bisa dikenali. Pengaruh Budaya dalam
Tugu ini awalnya memiliki sedikit kesalahpahaman dengan masyarakat
setempat, dikarenakan bentuknya yang menampilkan ular naga, yang mana
tidak sesuai dengan budaya warga setempat. Dalam Kepercayaan masyarakat
Sumatera Barat, Ular Naga seringkali diasosiasikan dengan kejahatan atau hal
yang bersifat negatif dalam masyarakat lokal. Tugu Pahlwan tak dikenal yang
memiliki bentuk ular naga membuat kesalahpahaman kepada masyarakat lokal.

2. Relief Taman Sari (DI YOGYAKARTA)


Relief Taman sari atau Taman Sari Keraton Yogyakarta adalah situs
bekas taman rekreasi Keluarga Kerajaan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat,
Pusat kegiatan budaya, serta simbol dari status sosial Masyarakat pada zaman
Sultan Hamengku Buwono I (HB I) pada tahun 1758-1765/9. Desainer dari
taman sari sendiri tidak diketahui Namanya, namun pendiri pastinya adalah
Sultan Hamengkubuwono I yang memiliki tujuan utama membuat Taman Sari
sebagai tempat liburan kerajaan seta menjadi pusat kegiatan budaya meliputi:
Acara keagamaan, pertunjukkan wayang, maupun penampilan tari tradisional.
Elemen Desain Kompleks Taman Sari dapat dibagi menjadi 4 bagian.
Bagian pertama adalah danau buatan yang terletak di sebelah barat yang
memiliki fungsi sebagai tempat bersampan Sultan dan keluarga kerajaan.
Bagian selanjutnya adalah bangunan yang berada di sebelah selatan danau
buatan antara lain Pemandian Umbul Binangun, Bagian ini hanya boleh dimasuki
oleh Sultan serta permaisurinya saja, dikarenakan bagian ini mengharuskan para
sultan, istri, serta putri raja untuk melepas baju mereka, untuk mandi sehingga
selain perempuan dan sultan dilarang keras untuk memasuki area ini. Bagian
ketiga adalah Pasarean Ledok Sari dan Kolam Garjitawati yang terletak di
selatan bagian kedua, bagian ini berbentuk huruf ‘U’ yang dipercaya untuk
tempat meditasi Sultan. Bagian terakhir adalah bagian sebelah timur bagian
pertama dan kedua dan meluas ke arah timur sampai tenggara kompleks
Magangan, bagian ini hamper tidak memiliki sisa dan hanya menyisakan
jembatan dermaga, informasi mengenai bagian keempat hanyalah sisaan sketsa
dari penyerangan pasukan Inggris ke Keraton Yogyakarta (1812). Taman sari
juga memiliki keunikan seperti pesan yang ingin disampaikan melalui beberapoa
Reliefnya, contohnya pada salah satu reliefnya, Gedhong Gapura Panggung
yang melambangkan tahun dibangunnya Taman Sari yaitu tahun 1758.
Pengaruh Budaya taman sari ini merupakan hasil gabungan dari budaya Eropa
dan jawa. Dapat dilihat dari Arsitektur Taman Sari yang menggunakan elemen
desain berupa motif jawa, namun dipadukan dengan elemen eropa seperti
Kolam dan Paviliun. Secara garis besar, Taman Sari merupakan representasi
pengaruh kebudayaan daerah Yogyakarta (daerah Jawa) pada saat masuknya
penjajahan dan kebudayaan Eropa.
Pada dasarnya, Tujuan utama Taman sari memang diciptakan untuk
Tempat rekreasi keluarga kerajaan, namun taman sari juga memiliki pengaruh
terhadap masyarakat seperti diadakannya pertunjukkan seni dan upacara
keagamaan, atau bahkan status sosial masyarakat yang tergolong tinggi jika
memiliki koneksi atau akses ke Taman Sari.

3. Lukisan gua Leang-Leang (Sulawesi Selatan)

Lukisan di gua Leang-Leang merupakan salah satu artefak budaya


sebagai bukti kekayaan dan simbol peradaban manusia yang diciptakan oleh
manusia prasejarah kurang lebih 3000 tahun yang lalu, namun Lukisan ini baru
ditemukan pada tahun 1950 oleh dua arkeolog Belanda yaitu Mister Van
Heekeren dan Miss Heeren Palm Lukisan Leang-Leang ini dipercaya merupakan
abstraksi ide-ide, religi mitis, dan sumber pandangan hidup masyarakat
prasejarah. Ide dan gagasan awal dari Leang-Leang sendiri merupakan bentuk
ekspresi serta cara mereka berkomunikasi, Lukisan ini memiliki “gejolak
ekspresi” kuat yang terlihat bagaimana gaya yang digunakan seniman
prasejarah gunakan. Tujuan dibuatnya Leang-leang adalah dalam bentuk visual,
lukisan ini menjadi sarana komunikasi masyarat bagi individu untuk individu yang
lain. Lukisan Leang-Leang memiliki keunikan dari bagaimana semua elemen
elemen dan Teknik dari lukisan ini terlihat primitif. Autensitas dari manusia
prasejarah dapat terpancar langsung begitu kita melihatnya, hal ini disebabkan
oleh terbatasnya alat dan bahan yang ada pada masa itu. Elemen desain yang
digunakan pada lukisan ini cukup sederhana antara lain; Cap-cap tangan tangan
yang dibuat dengan cara merentangkan jari-jari tangan di dinding gua, kemudian
ditaburi dengan cat merah. Elemen desain lain yang ditemukan di gua tersebut
adalah lukisan seekor babi rusa yang sedang melompat dengan panah di bagian
jantungnya.
Lukisan gua Leang Leang sendiri memiliki pengaruh budaya lokal
nusantara yang kuat, yang mana pada visualisasi lukisan terlihat digambarkan
cerminan dari kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan pada masa itu. Dengan
penjelasan berikut, Lukisan gua Leang Leang merupakan salah satu contoh
yang kuat dari ekspresi seni khusunya ekspresi seni masyarakat prasejarah di
Sulawesi Selatan.

4. The Death of Subali (Bali)

The Death of Subali merupakan karya pelukis asal bali, I Nyoman


Mahnedra (1972) merupakan salah satu dari jeni lukisan, yaitu Lukisan wayang
Kamasan Sarat. Lukisan Wayang Kamasan Sarat merupakan Lukisan wayang
salah satu kekayaan budaya Bali yang telah berkembang pesat pada abad ke-
14, zaman Kerajaan Gelgel. Lukisan ini memiliki karakter yang unik dan berisi
nilai-nilai sosial budaya maupun cerminan realitas kehidupan. Lukisan ini dapat
ditemukan di berbagai tempat, termasuk di Desa Kamasan. I Nyoman Mandra
merupakan salah satu pelukis dari Bali yang terkenal berkat karya-karya Lukisan
Wayang Saratnya. Lukisan wayangnya menggambarkan narasi visual yang
menggambarkan cerita Mahabharata (Abhimanyu) dalam seni rupa Bali. Estetika
dan keunikan dari karya ini adalah karya ini menjunjung konvensi seni rupa
tradisional bali yang dipadukan dengan detail kecil yang seimbang khas lukisan
wayang yang terfokus pada Abhimanyu. Selain itu, Lukisan ini unik juga karena
berani untuk mengekspresikan kematian dari Abhimanyu dalam peperangan
sambal mengemas segalanya tetap didalam unsur wayang dan ke-khasan Bali.
Tujuan dari pembuatan lukisan ini tidak hanya untuk memperlihatkan perjuangan
dan pengorbanan Abhimanyu didalam peperangan, namun juga memperlihatkan
kebudayaan Bali dalam bentuk Visualisasi Wayang.
The Death of Subali sendiri merupakan lukisan yang terinspirasi dari
kebudayaan lokal yang tidak lain adalah Bali, yang kaya akan makna dan
estetika berupa Wayang Sarat.

5. Lambang Jakarta Raya (Jakarta)

Lambang daerah Ibukota Jakarta (30 Agustus 1951–26 Juni 1963)


disketsa oleh Hendrik Hermanus Joel Ngantung, seorang seniman besar yang
juga pernah menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta. Gagasan awal desain
lambing Kota Jakarta adalah menciptakan suatu simbol yang akan
merepresantasikan seluruh Kota Jakarta yang mengandung unsur-unsur
kekayaan Budaya, Sejarah, serta Identitas bagi Kota Jakarta. Tujuan
dibentuknya Lambang ini mencakup; memperkuat Identitas serta kebanggaan
warga Jakarta terhadap Jakarta itu sendiri, serta menyampaikan kesan
kemegahan kota Jakarta melalui elemen-elemen desain yang ada pada
lambang. Sama seperti tujuan, lambang ini juga mencakup komunikasi tentang
kekayaan budaya, sejarah, serta identitas Kota Jakarta itu sendiri. Berbentuk
Perisai persegi lima dengan sentuhan gapura, monument nasional khas Jakarta;
Monas, vector gelombang, estetika dan keunikan desain lambang Kota Jakarta
ini terletak pada pemilihan warna yang terang, serta penggabungan dari elemen-
elemen desain yang ada pada Kota Jakarta yang harmonis.
Lambang ini memiliki pengaruh budaya Lokal yang sangat kuat, setiap
elemen mulai dari gambar Monas, persegi bersegi lima yang melambangkan 5
sila dari Pancasila, gapura khas pulau jawa, semua aspek elemen desain itu
menuju pada pengaruh budaya lokal Nusantara.

6. My Ten Faces (Jawa)


My Ten Faces karya Hendra Gunawan yang dibuat pada tahun 1979 merupakan
karya desain komunikasi visual yang menunjukkan pengaruh budaya serta
identitas jawa. Lukisan ini menampilkan sepuluh wajah orang yang
mencerminkan sebarapa kompleksnya manusia. Dimulai dari ekspresi senyum,
hinga wajah wajah hewan yang menggambarkan kemarahan, kesedihan,
kebingungan, dan lain-lain. Tujuan pembuatan lukisan ini adalah untuk
menginspirasi masyarakat untuk merenungkan identitas masing-masing. Selain
itu, lukisan ini tidak hanya bertujuan sebatas itu saja, tetapi juga bertujuan untuk
merenungkan identitas manusia dengan visualisasi gaya khas daerah jawa,
khusunya jawa barat. Keunikan dari lukisan ini terletak pada detail yang rumit
serta warna warna cerah, sesuai dengan gaya seni Hendra Gunawan yang
biasanya. Elemen desain yang digunakan pada lukisan ini ada pada manusia
dan 10 wajah hewan representasi dari kompleksitas manusia itu sendiri yang
dikemas dengan gaya khas jawa.
Secara garis besar, lukisan dan gaya seni Hendra Gunawan memiliki
beberapa pengaruh global, yang mana Hendra Gunawan sendiri adalah seorang
pelukis sekaligus tokoh Lekra, beraliran realisme sosialis yang mana aliran
realisme sosial sendiri berasal dari Uni Soviet. Meski begitu, karya Hendra
Gunawan lebih dikenal sebagai karya seni khas daerah Indonesia, elemen-
elemen desain dari kebanyakan karyanya adalah dari budaya lokal yang lebih
merepresentasikan keauntetikan Nusantara khusunya di daerah Jawa.

7. Kawan-kawan Revolusi (Jawa Tengah)

“Kawan-kawan Revolusi” karya Sudjojono yang berasal dari daerah Jawa


Tengah tepatnya di solo pada tahun 1947 ini menggambarkan beberapa orang
yang diasumsikan memiliki jasa dan peran penting dalam kemerdekaan
Indonesia pada 1945. Meski beberapa Karakter dalam lukisan tidak nampak
jelas dalam menggambarkan suatu tokoh, namun pesan dan komunikasi
Sudjono dalam lukisan ini sudah cukup jelas, yaitu menggambarkan sosok
pejuang laki-laki. Estetika dari karya ini adalah jika diperhatikan lebih jelas, dapat
diperhatikan semua karakter dalam lukisan ini menghadap ke kanan, tidak
satupun menghadap ke kiri. Dipercaya berdasarkan teori semiotika, hal ini
berhubungan dengan semangat yang ada didalam diri Sudjono dalam membuat
karya ini pada zaman tersebut. Keunikan dari karya ini adalah lukisan ini
merupakan suatu pembuktian atas tantangan kritikus seni pada zama itu, Trisno
Sumardjo, bahwa Sudjono tidak memiliki teknis melukis realis yang lambat.
Dalam Lukisan “Kawan-kawan Revolusi” karya Sudjojono ini, terdapat
pengaruh budaya yang kuat. Lukisan ini secara gambling menceritakan tentang
pahlawan yang berjasa semasa kemerdekaan Indonesia dan secara jelas
menampilkan elemen visual berupa karakter perjuangan pada masa itu, meski
tidak terlalu jelas siapa saja. Namun, Sudjono sendiri yang mengatakan bahwa
bang Dullah, pahlawan kemerdekaan Indonesia, merupakan salah satu tokoh
utama dalam lukisan tersebut. Hal ini jelas menandakan bahwa lukisan ini
memiliki pengaruh budaya lokal yang sangat kuat, meskipun dengan tema
revolusi dan kemerdekaan yang merupakan topik global, namun lukisan ini lebih
menonjolkan narasi perjuangan bangsa Indonesia dan pahlawannya sebagai
visualisasinya.

Anda mungkin juga menyukai