Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Wayang merupakan salah satu kebudayaan yang lekat dalam
kehidupan masyarakat. Fungsi wayang dari zaman dahulu saat awal
kemunculan hingga zaman sekarang selain untuk hiburan tapi juga bernilai
estetika tinggi. Adapun fungsi lain dari wayang ialah “bentuk pendidikan atau
penerangan untuk ilmu pengetahuan, dan untuk menambah nilai kejiwaan
atau rohani, serta mistik dan simbolik”.1 Beberapa fungsi wayang tersebut
tidak lepas dari peran masyarakat sebagai penonton dalam pagelarannya,
dengan melihat seberapa jauh mereka merasa terhibur dan mengambil
manfaat dari pertunjukan wayang.
Pertunjukan wayang merupakan penggabungan dari berbagai seni
yang berkembang dalam ranah kebudayaan Indonesia, meliputi: seni peran,
seni musik, seni lukis, seni pahat, seni sastra dan seni tutur. Dalang
menyampaikan lakon-lakon pewayangan merupakan kesatuan dari seni sastra,
tutur dan peran. Musik yang dimainkan oleh pengiring (nayaga) juga
merupakan upaya dalam menghibur penonton. Wayang sebagai media utama
dalam menyampaikan nasihat dalang, serta mengandung seni lukis dan pahat
yang terdapat dalam masing-masing karakter.
Wayang, dalam bahasa Jawa memiliki arti bayangan, dengan akar
katanya ialah “Yang”. Istilah tersebut menimbulkan pengertian bahwa
wayang berarti berjalan kian kemari, tidak tetap, sayup-sayup bagi substansi
bayang-bayang. Pengertian lain berdasarkan penggambaran realitas
pertunjukan wayang, kata wayang berasal dari “wewayangan” yang artinya
bayangan. Bayangan yang terlihat ialah manifestasi dari karakter
sesungguhnya di balik kelir yang digelarkan langsung oleh dalang. Karakter-
karakter tersebut memiliki keunikan tersendiri sebagai cerminan kehidupan

1
Purjadi, Pengetahuan Dasar Wayang Kulit Cirebon, (Sumber: Badan Komunikasi
dan Pariwisata Kabupaten Cirebon, 2007), h, 4
masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Jawa. Perkebangan seni
tradisional ini cukup pesat di daerah Jawa dan Bali, sehingga mendapat
pengakuan dari UNESCO pada tanggal 7 November 2003 sebagai
kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang
berharga (Masterpiece of Oral and Intengible Heritage of Humanity).2
Budaya-budaya yang berkembang dari peradaban Hindu dan Buddha
seperti: karya seni, arsitektur, literatur dan pemikiran-pemikiran merupakan
kepiawaian masyarakat Jawa pada abad ke-14 kedalam sebuah budaya yang
literer dan religious dengan memeanfaatkan warisan leluhur menjadi media
penyebaran agama Islam.3 Budaya dan ajaran dari Timur kemudian menjadi
pondasi awal akulturasi budaya Hindu-Islam. Wayang merupakan salah satu
akulturasi kesenian yang digunakan walisongo yang berandil besar dalam
mengubah kepercayaan masyarakat, sehingga Islam dapat diterima sampai
sekarang. Sunan Kalijaga misalnya, salah seorang dari anggota walisongo
yang piawai menggubah kesenian yang berkembang saat itu menjadi bernilai
Islami.
Kitab Mahabarata4 dan Ramayana merupakan pakem dasar
tertuangnya gagasan dari dalang yang menghasilkan serangkaian lakon5
dalam pewayangan.6 Epos cerita dasar yang merupakan kitab suci penganut
Hindu tersebut diadopsi oleh Sunan Kalijaga sebagai pembelajaran
masyarakat Islam tradisional Jawa hingga saat ini.7 Di Cirebon, cerita wayang
memiliki perbedaan yang mencolok dengan daerah lain yaitu pertunjukan

2
Ainul Fuadi, dkk, Budaya Nusantara kebudayaan Jawa”, (Sekolah Tinggi
Akuntansi Negara, 2007), h, 111
3
M.C. Ricklefs, “MengIslamkan Jawa”, (Jakarta: Serambi, 2013), h, 29
4
Mahabharata (Sansekerta: महाभारत) adalah sebuah karya sastra kuno yang konon
ditulis oleh Begawan Byasa atau Vyasa dari India. Buku ini terdiri dari delapan belas kitab, maka
dinamakan Astadasaparwa (asta = 8, dasa = 10, parwa = kitab). Dirujuk Dari Creative Commons,
http:// creativecommons. org/ licenses/ by-sa/ 3. 0/ Pada Tanggal 30- Agustus- 2008 Pukul 02.13
Wib.
5
Lakon merupakan sebuah alur cerita yang dipertunjukan oleh sang dalang sebagai
cerminan kehidupan manusia. Wawancara Bersama Dalang Purjadi Pada September 2016
6
Sri Mulyono, Wayang: Asal-usul, Filsafat dan Masa Depannya, (Jakarta: Cv. Haji
Masagung, 1989), h, 3
7
Nurdin M Noor, “Cirebon Doeloe dan Kini”, (Data Tanggal 21 Desember-2015),
h, 50
wayang Cirebon lebih bersifat mandiri dibanding wilayah Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Kemandirian ini menghasilkan alur cerita berdasarkan pakem
dasar yang ditransformasikan sesuai keadaan masyarakat saat ini.8 Wayang
merupakan media penerangan, dakwah, kefilsafatan serta hiburan bagi
masyarakat dengan isi cerita yang dipenuhi nilai-nilai kebijaksanaan serta
keluhuran demi mengambil pelajaran untuk perjalanan hidup di masa
selanjutnya. Ajaran kebijakan secara filsafati dapat digali dalam sebuah
tradisi wayang dengan tokoh-tokoh didalamnya.9
Wayang yang mengandung nilai-nilai kebijaksanaan menuju
spiritualitas yang sempurna dijelaskan dalam bentuk lakon.10 Adapun salah
satu lakon yang menceritakan nilai spiritualitas dalam proses pencarian Tuhan
yaitu “Rikmadenda11 Mencari Tuhan”. Membahas mengenai studi
spiritualitas, wayang dengan lakon tersebut memainkan porsi yang sederhana
tapi juga istimewa dalam penyampaiannya. Wayang yang hanya
dipertunjukan dalam bentuk bayangan dari karakter asli, namun terdapat
makna tersirat yaitu kedalaman ilmu yang dimiliki manusia hanya merupakan
bayangan dari percikan wujud Tuhan.
Lakon Rikmadenda Mencari Tuhan merupakan karya carangan12
dalang Abyor (1914 – 1969) yang digelarkan pada tahun 1962 dan direkam
oleh Ajip Rosidi. Abyor masuk dalam silsilah dalang kidulan berdasarkan
daerahnya yaitu Jemaras. Karir seni dalang Abyor Dayagung kira-kira dari
akhir masa kolonial hingga berakhirnya zaman partai. Dalang Abyor sebagai
penerus dalang Cita, telah membuat bentuk seninya sendiri masa itu dengan
pembiasaan dan keunikan yang dipancarkan. Abyor Dayagung diperkirakan
lahir antara tahun 1904 dan 1914 dari pasangan dalang Cita Janapriya dan
Rasiyem. Abyor memiliki kelebihan dalam suaranya, yakni inovasinya dalam

8
Ardian Kresna, “Mengenal wayang”, (Jogjakarta: Laksana, 2012), h, 5
10
Ibid, h, 6
11
Rikmadenda ialah Putera Prabu Mustakaluhur yang dititah untuk mencari ilmu
ketuhanan dengan naik ke Kahiangan.
12
Lakon carangan: sebuah alur cerita yang dikarang sendiri oleh dalang sebagai
manifestasi kreatifitasnya tanpa mengubah pakem dan tetap merujuk pada lakon galur yang sesuai
kisah dalam mahabarata dan ramayana.
memperkenalkan tembang melodi yang digunakan oleh dhalang bujangga
dengan pembacaan versi panjang untuk melodi suluk pada wayang kidulan.13
Walaupun pendidikan formalnya minim namun bacaan bukunya mengenai
pedalangan dan kebatinan sangat beragam. Pengetahuan yang luas membuat
karyanya cukup digemari oleh penikmat wayang. Karyanya cukup beragam
seperti “Rimadenda Mencari Tuhan”, “Gareng Mengaku jadi Tuhan”, “Semar
Naik Haji” dan lainnya. Pencarian Tuhan ini kemudian menjadi pembahasan
menarik apabila digali dalam wayang dengan lakon khas Cirebon yang dibuat
oleh Dalang legendaris, Ki Abyor Dayagung.
Lakon wayang “Rikmadenda mencari Tuhan” sebagai sebuah media
tradisional yang mencerminkan kehidupan manusia dalam upayanya
mempelajari ilmu ketuhanan dengan proses menemukan jati diri. Transkripsi
naskah lakon Rikmadenda memiliki dua versi yaitu versi asli dan versi yang
telah dianalisa oleh pentranskrip yaitu Ajip Rosidi. Awalnya pergelaran
wayang oleh dalang Abyor dengan lakon Rikmadenda Ngulati Gusti
disampaikan pada pernikahan adik Ajip yang menikah pada tahun 1961.
Pergelaran kedua kalinya diadakan di Gedung Himpunan Saudara, Bandung
oleh BPB Kiwari pada 26-27 Mei 1962.14 Transkripsi asli lakon yang
dibawakan Abyor terdapat dalam buku memelihara Sunda, berdasarkan
pengalaman merekam dan dituliskan secara detail jika ada yang tidak terekam
pun. Berbeda dengan karyanya Rikmadenda Mencari Tuhan yang pernah
diterbitkan oleh pikiran Rakyat Bandung dan lanjut diterbitkan oleh Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta pada 1991. Proses transkripsi dibantu oleh Sadjim
Sutrawan dan menggunakan alat perekam Rukasah S.W yang masih
menggunakan pita rekaman gulungan besar sehingga beberapa adegan tidak
terekam.15

13
Matthew Isaac Cohen, An Inheritance From the Friends of God: The Southern
Shadow Puppet Theater of West Java, Indonesia, (Yale University of London: Tidak Diterbitkan,
1997), h, 164
14
Ajip Rosidi, Pengalaman Merekam Pertunjukan Wayang kulit Dalang Abyor
dalam Seri Sundalana, (Bandung: Pusat Studi Sunda, 2013),h, 20
15
Ibid, h, 21
Lakon-lakon yang menarik disajikan bertujuan menarik generasi muda
untuk menggandrungi kebudayaan lokal, baik itu wayang maupun budaya
lain di Cirebon seperi tari topeng, berokan, dan ronggeng yang dapat
memperkuat spiritualitas. Masyarakat modern dapat mengambil pembelajaran
alternatif kebudayaan lokal di masa lampau, yang sekarang terjebak dalam
budaya materialisme dan juga kehilangan jati dirinya sebagai makhluk
spiritual.
Berdasar perkembangannya, Pencarian makna hidup merupakan
sebuah ciri khas yang membedakan manusia dengan hewan. Manusia mencari
makna kemudian berproses mencari jalan untuk menjadi religius. 16 Pencarian
makna kehidupan tersebut lantaran manusia merupakan makhluk spiritual,
bahwa Homo Sapience juga merupakan Homo Religious. Kesadaran manusia
terhadap dirinya sebagai makhluk yang lemah membuat mereka mulai
menyembah dewa-dewa. Hal ini bukan karena keinginan untuk menaklukan
alam, melainkan keimanan awal untuk mengekspresikan ketakjuban dan
misteri yang merupakan unsur penting pengalaman. Agama merupakan usaha
manusia untuk menemukan makna dan nilai kehidupan, ditengah derita yang
menimpa wujud kasatnya.17 Pencarian Tuhan pun merupakan pencarian
melalui jalan menjadi religius, yang pada praktiknya bersifat ubudiyah
(Ketuhanan), praktik tersebut merupakan contoh konkret pendekatan terhadap
Tuhan.
Pemaknaan kata “Tuhan” merupakan figur kabur jika di definisikan
secara teoritis. Tuhan ialah Ruh Maha Tinggi, dia ada dengan sendirinya dan
dia sempurna tanpa batas. Gagasan mengenai kandungan kata “Tuhan” tidak
ada yang berubah, yakni kata yang justru mencakup keseluruhan spektrum
makna. Sebagian diantaranya ada yang bertentangan atau bahkan saling
meniadakan. Terlihat jelas, bahwa tidak ada pandangan objektif tentang

16
Keren Armstrong, The Great Transformation – Awal Sejarah tuhan, (Bandung:
Mizan, 2007), h, xxviii
17
Keren Armstrong, Sejarah Tuhan – Kisah 4000 Tahun Pencarian Tuhan dalam
Agama-Agama Manusia, (Bandung: Mizan, 2012), h, 20
“Tuhan”. Setiap generasi harus menciptakan citra Tuhan yang sesuai bagi
mereka.18
Proses pencarian Tuhan bagi manusia di setiap generasinya
menggunakan beberapa pengenalan terhadap dirinya sebagai makhluk
spiritualis. Thomas Kristiatmo menyatakan bahwa definisi manusia tidak
pernah usai, menganggap subjek telah jelas tanpa perlu dipermasalahkan,
namun nyatanya belum pernah mencapai titik final. Pembahasan mengenai
manusia menjadi misteri yang paling agung.19 Barawal dari misteri yang
melingkupi, tak ayal Sokrates mengungkapkan gagasan “Gnothi Seauthon”,
dalam istilah Indonesia berarti kenalilah dirimu. Hal ini merupakan
pembuktian bahwa manusia ialah makhluk kompleks dengan berbagai
permasalahan serta konflik yang menyertainya.
Manusia dalam dirinya memiliki unsur jiwa yang berpotensi
mengalami konflik, misalnya dilema yang dialami dalam beberapa hal yang
tidak sesuai rasionalitasnya. Berawal dari jiwa yang berusaha menyebrang
dari jiwa irasional ke jiwa rasional maka penanaman nilai-nilai spiritualitas
diberikan sejak kecil. Pendidikan agama ditanamkan sebagai upaya penguatan
iman manusia yang mengalami proses menuju kebenaran hakiki. Namun,
Agama bukanlah satu-satunya media pemenuhan hasrat spiritualitas yang
sedang diuji. Diantara yang lainnya ialah budaya lokal yang juga
menanamkan nilai kebijaksanaan dan pendidikan spiritualitas yang tersirat.
Wayang di Cirebon misalnya, menjadi salah satu media penyampaian nilai
spiritualitas dengan varian lakon yang dipertunjukan.
Cirebon dalam beberapa literatur, ditelisik dari sisi historisnya yang
dibangun dengan semangat keagamaan – Islam, sekaligus penjagaan warisan
leluhur sebagai budaya lokal merupakan pengaruh para wali. Disamping
semangat keagamaan yang dibangun, akulturasi kebudayaan lokal dan tradisi

18
Keren Armstrong, Op Cit, h, 17 & 22
19
Any Rufaedah, Freud tentang Manusia: Sebuah Pengantar, (Malang: Averros
Press, 2012), h, v
Islam yang dibawa dari Timur20 menjadi identitas bagi Cirebon. Tradisi-
tradisi timur yang dibawa oleh para wali ini mengajarkan syari’at agar
mempermudah hubungan vertikal manusia dengan Tuhan (habluminallah).
Wilayah Timur memiliki banyak tradisi Islam, satu diantaranya ialah ajaran
Thariqah yang dibawa langsung oleh para wali untuk semakin mempermudah
upaya pendekatan terhadap Tuhan. Akulturasi kebudayaan ini dilakukan
dengan alasan agar tradisi Timur dapat mudah diserap oleh masyarakat
Cirebon.
Ajaran Tasawwuf dan kebudayaan lokal Cirebon masih bertahan
hingga sekarang di sebagian kalangan, sedangkan sebagian yang lain sudah
tidak mengenal bagaimana ajaran Timur yang tersirat dalam kebudayaan
lokal berkembang dan menjadi Identitas. Sebagian diantaranya ialah generasi
muda sekarang yang terjebak dalam arus globalisasi dan materialisme.
Mereka tidak memiliki pengetahuan mengenai tradisi lokal yang memberi
pembelajaran spiritualitas. Disisi lain, sebagian golongan yang peduli
terhadap tradisi lokal Cirebon terutama tradisi lokal Islam yang
menggambarkan proses pencarian hakikat hidup. Penggambaran tersebut
sebagai landasan memperkuat identitasnya selaku masyarakat Islam dan juga
masyarakat Cirebon.
Berawal dari kepedulian sebagian masyarakat Cirebon tersebut
membuat kebudayaan berbentuk seni gubahan sunan kalijaga yang
mengajarkan nilai-nilai spiritualitas tidak sepenuhnya hilang. Penggambaran
makna spiritualitas manusia dalam kebudayaan lokal di Cirebon yang terdapat
dalam kumpulan tembang suluk pesisiran koleksi keraton keprabonan
menyatakan: 21
1. Wayang sebagai simbolisasi Syari’at
2. Berokan atau barongan sebagai simbolisasi Tarekat

20
Wilayah Timur yaitu China, Arab dan India sebagai pembawa Islam awal ke
Indonesia pada abad ke 7 M.
21
Raffan S. Hasyim, dalam Latar Belakang Thesis Doddie Yulianto, Seni Tatah dan
Sungging Wayang Kulit Cirebon: Pengantar Reka Visual dan Makna Simbolik, (Cirebon: Dinas
Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten Cirebon, 2011), h, 7
3. Tari topeng sebagai simbolisasi Hakikat
4. Ronggeng atau Tayuban sebagai simbolisasi Makrifat
Wayang ialah satu dari keempat penggambaran makna spiritual
manusia dalam kebudayaan lokal Cirebon. Wayang dijadikan sebagai
simbolisasi syari’at dan pengaruhnya cukup mendalam dikehidupan
masyarakat. Wayang menyampaikan nilai-nilai kebijaksanaan dengan bentuk
lakon yang beraneka ragam dan dijadikan sebagai ensiklopedia orang Jawa.22
Menurut Ciptoprawiro, sebagai seni widya wayang memuat seluruh
pengetahuan yang mengandung filosofis baik dengan tujuan mencari kearifan
(ngudi kawicaksanaan) ataupun mencari kesempurnaan (ngudi
kasampurnaan) dan juga pendidikan untuk meraihnya.23
Lakon “Rikmadenda mencari Tuhan” ini diharapkan dapat menjadi
tema yang menginspirasi masyarakat luas khususnya masyarakat religius
serta akademisi agar menciptakan cara kreatif serta transformatif melalui
kebudayaan lokal sebagai alternatif pengembangan ilmu pengetahuan
berdasar proses pencarian menuju kearifan diri dan pembelajaran selanjutnya.

B. Rumusan Masalah
Bagaimana Proses Rikmadenda Mencari Hakikat Tuhan dalam Lakon
“Rikmadenda Mencari Tuhan”?

C. Tujuan Penelitian
Dengan masalah yang telah dirumuskan tersebut, tujuan diadakannya
penelitian mengenai proses pencarian Tuhan sebagai bentuk pengungkapaan
Jati Diri yang berlandaskan ilmu hakikat tervisualisasi dalam pagelaran
wayang dengan Lakon “Rikmadenda Mencari Tuhan” yaitu:
1. Mengetahui proses Rikmadenda dalam mencari hakikat Tuhan dalam
lakon “Rikmadenda Mencari Tuhan” literasi Ajip Rosidi.

22
Ardian Kresna, “Mengenal Wayang”, (Jogjakarta: Laksana, 2012), h, 20
23
Abdullah Ciptoprawiro, dalam Latar Belakang Thesis Doddie Yulianto “Filsafat
Jawa”, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), h, 79 - 82
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan mampu memaparkan fenomena budaya secara
menyeluruh di masyarakat Cirebon terhadap pengungkapan diri sebagai
makhluk sosialis dan juga spiritualis. Mengetahui seberapa besar
ketertarikan masyarakat terhadap kebudayaan lokal salah satunya ialah
wayang Cirebon yang mengungkapkan tentang ilmu ketuhanan.
Memperkaya khazanah perbendaharaan kajian spiritual, tasawwuf dan
kefilsafatan dalam kebudayaan Cirebon, sehingga dapat memperteguh
identitas kebudayaan Cirebon.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak
yang memiliki kepentingan, sebagai berikut:
a) Pemerintah, menentukan rancangan strategis dalam kebijakan di
bidang kebudayaan.
b) Budayawan, sebagai pewarta dan pelaku kebudayaan di Cirebon.
c) Kaum rohaniawan, dapat memahami dan mengarifi beragamnya
ekspresi spiritualitas, tasawwuf dan filsafat yang terdapat dalam
kebudayaan di Cirebon.
d) Akademisi, menggugah lahirnya kajian berikutnya mengenai
spiritualitas dan kefilsafatan yang ada dalam kebudayaan
Cirebon.

E. Telaah Pustaka
Lakon dalam pewayangan memang tidak asing ditelinga dan mata
masyarakat. Kajian mengenai wayang pun telah banyak dibahas sebagai
sebuah karya yang dijadikan landasan teori. Penulisan penelitian tentang
wayang dengan menceritakan pencarian tuhan, menggunakan beberapa
literatur yang dapat membantu dalam proses penelitian. Literatur yang
diambil dapat berupa buku, skripsi, makalah, ataupun jurnal. Banyaknya
penilitian mengenai wayang, dan beberapa diantaranya juga berbicara
mengenai proses pencarian Tuhan, namun pembahasan mengenai pencarian
Tuhan dalam wayang yang diambil dari lakon “Rikmadenda Mencari Tuhan”
dengan pembahasan semiotika teks dan teori tasawwuf nusantara belum
ditemukan.
Beberapa penelitian yang telah dilakukan dan dipublikasikan menjadi
sebuah karya tulis ilmiah cukup membantu. Diantara literatur yang membahas
mengenai pewayangan dan lakon “Rikmadenda Mencari Tuhan” ialah :
a. Seri Sundalana 12 berjudul Memelihara Sunda; Bahasa Seni dan Sastra
diterbitkan oleh Pusat Studi Sunda, Bandung tahun 2013. Buku terebut
merupakan kumpulan tulisan dari beberapa aspek penulisan yakni aspek
kebahasaan, aspek kesenian dan aspek kesastraan. Salah satu penulisnya
ialah Ajip Rosidi yang menyajikan aspek kesenian berupa dokumentasi
lakon wayang Cirebon yang dibawakan oleh Dalang Abyor dalam bahasa
Cirebon dan diliterasi kedalam bahasa Indonesia oleh penulisnya. Tulisan
Ajip tersebut menjadi sumber primer dalam penelitian ini. Buku tersebut
membahas mengenai keseluruhan lakon dengan memberi sedikit ulasan
sebagai pengantar. Berbeda dari penelitian ini selain membahas
rangkaian lakon “Rikmadenda Mencari Tuhan” juga menggunakan
analisa semiotika teks pada lakon yang dikaji dan analisa tasawuf
nusantara sebagai kerangka teoritiknya.
b. Matthew Isaac Cohen menulis An Inheriance from the Friends of God:
The Shouthern Shadow Puppet Theater of West Java, Indonesia tulisan
ini tidak diterbitkan, merupakan disertasinya di Yale University pada
tahun 1997. Penelitian tersebut berisikan mengenai wayang kulit purwa
Cirebon gaya kidulan, dengan sampel empat lakon, yaitu: Rikmadenda
Golat Gusti, karya Dalang Abyor Dayagung; Cungkring dadi Pendeta,
karya dalang Wari Priyadi; Titipan kitab Wedha, karya dalang Udaya
Dayagung Putra; Semar Munggah Kaji, karya dalang Purjadi. Riset
tersebut membantu penelitian ini, terutama pembahasan wayang purwa
Cirebon dengan salah satu lakon yang dikajinya ialah “Rikmadenda
Mencari Tuhan”, yang didalamnya terdapat transkrip lakon tersebut.
Berbeda dengan tulisan ini, pembahasannya hanya menggunakan satu
lakon dari keempat lakon sampel yang digunakaan oleh Matthew.
c. Ajip Rosidi menulis transkrip lakon Rikmadenda Mencari Tuhan dalam
bentuk soft file. Membehas pengalamannya dalam merekam lakon
Rikmadenda mencari tuhan serta beberapa analisa mengenai lakon dalam
pengantarnya. Berbeda dengan kajian ini yang membahas lakon dengan
analisis sufistik terkait lakon tersebut.
d. Doddy Yulianto, Ikon Tasawuf dalam Gunungan Wayang Kulit Purwa
Cirebon: Telaah Semiotika Visual merupakan Skripsi di Prodi Akhlak
dan Tasawuf Institut Studi Islam Fahmina. Tulisan tersebut membahas
mengenai makna tasawuf yang terdapat dalam gunungan Cirebon dengan
berbagai keunikan yang disajikan menggunakan telaah semiotika visual.
Tulisan Doddy membantu dalam penelitian ini dalam pemahaman
antropologis Cirebon serta Wayang Purwa Cirebon. Berbeda dengan
penelitian ini, tulisan doddy membahas mengenai gunungan dalam
wayang purwa Cirebon menggunakan analisis semiotika visual,
sedangkan penelitian ini membahas mengenai alur lakon carangan khas
Cirebon yaitu “Rikmadenda Mencari Tuhan”.
e. Sri Teddy Rusdy, Semiotika dan Filsafat Wayang; Analisis Kritis
Pergelaran Wayang diterbitkan oleh yayasan kertagama, Jakarta tahun
2015. Tulisan tersebut membahas mengenai seni pewayangan dan
pedalangan yang banyak mengandung nilai moral dalam cerita lakon,
karakter wayang, sulukan wayang, dialog antar tokoh wayang, tembang
wayang dan lainnya. Tulisan tersebut juga menggunakan analisis kritis
dengan menggunakan teori semiotika dalam penelaahan pergelaran
wayang, sedangkan analisis nilai dalam pergelaran menggunakan studi
epistemologi kritis. Berbeda dengan penelitian ini yang memfokuskan
pada satu cerita lakon untuk dianalisa menggunakan teori semiotika
naratif dan tasawuf sufisme.
Adapun beberapa literatur yang membahas mengenai spiritualisme
dan proses mencapaiannya, diantaranya ialah:
f. Agus Wahyudi, Pesona Kearifan Jawa: Hakikat Diri Manusia dalam Jagat
Jawa yang diterbitkan oleh DIPTA Jogjakarta pada tahun 2014. Metode
yang dipakai dalam pembahasan buku wahyudi ini ialah kualitatif –
deskriptif. Buku yang membahas mengenai Haji Mutamakin yang telah
mengajar Ilmu Haqq yang semestinya dirahasiakan, dan penyebaran ilmu
tersebut pun tidak bersandar pada syari’at. Buku tersebut merupakan
analisis dari naskah serat Cabolek karya R. Ng. Yasadipura yang tak
sekedar mengeksplorasi keadaan masyarakat Jawa melainkan memiliki
titik tekan pada ranah tasawuf dan pemahaman jati diri seorang manusia.
Buku tersebut terdapat kesamaan dengan tulisan ini yakni membahas
ilmu ketuhanan, juga memiliki perbedaan yang sangat mendasar yakni
media yang digunakan dalam pembahasan ilmu tersebut jika dalam buku
Agus Wahyudi terinspirasi dari naskah Serat yang menggunakan metode
filologi dalam penulisannya, sedangkan dalam tulisan ini media yang
digunakan ialah wayang sebagai salah satu pesona kearifan lokal Jawa.
Pembelajaran yang diambil dari karakter yang dipertunjukan dalam
sebuah pagelaran wayang dan dalam tulisan ini menggunakan lakon
“Rikmadenda Mencari Tuhan” karya dalang Abyor lebih membicarakan
proses penemuan jati dirinya dan hakikat ilmu ketuhanannya.
g. Laleh Bakhtiar, Mengenal Ajaran Kaum Sufi: dari maqam-maqam hingga
karya besar dunia sufi diterbitkan oleh Marja Bandung tahun 2008.
Metode yang digunakan dalam pembahasan buku tersebut ialah
kuallitatif – deskriptif. Buku tersebut membahas bagaimana seorang sufi
menyingkap adanya Tuhan dengan merasakan keberadaannya, dengan
menjelaskan maqam-maqam yang dilalui oleh seorang sufi, juga
membahas bagaimana seorang sufi yang mencapai spiritualismenya.
Pembahasan buku tersebut bersifat teoritik dalam pencapaian
spiritualisme dalam tasawuf. Buku ini penting sebagai penunjang bagian
teori proses spiritualisme sufistik melalui maqam-maqam yang harus
dilewati dalam tulisan ini, namun juga berbeda dengan tulisan ini yang
membahas ilmu ketuhanan sebagai penyingkapan jati diri dengan
menggunakan media wayang lakon “Rikmadenda Mencari Tuhan”.
h. Prof. Dr. Musa Asy’arie, Dialektika Agama Untuk Pembebasan Spiritual
diterbitkan oleh LESFI Jogjakarta pada tahun 2002. Menggunakan
metode kualitatif – deskriptif dan fenomenologis. Buku tersebut
membahas mengenai bagaimana seharusnya agama lahir sebagai
pembebasan manusia dan kedamaian hidup, dan menegaskan bahwa
agama itu mengajarkan perbuatan yang menjunjung tinggi moral bukan
sebaliknya. Pemahaman agama secara benar dan menyeluruh, maka akan
menjunjung keadilan, musyawarah serta kedamaian sebagai aplikasi
pemahamannya bukan malah melakukan kezaliman, penindasan dan
sikap amoral lain. Buku ini mencoba memahamkan manusia sebagai
makhluk spiritual dengan dasarnya ialah agama Islam sebagai rahmatan
lil ‘aalamin. Buku tersebut penting sebagai salah satu literatur yang
dipakai dalam pemahaman spiritualitas Islam dalam pembentukan jati
diri umat Muslim. Berbeda dengan tulisan ini yang membahas bagaimana
manusia berproses menemukan jati dirinya sebagai manusia bermoral
dengan menggunakan wayang, sebagai media visual yang merupakan
cerminan kehidupan manusia.
i. Sayyed Hossen Nasr (ed.), Ensiklopedi tematis Spiritualitas Islam:
Manifestasi diterbitkan oleh Mizan Bandung pada tahun 2003. Berisi
tulisan dari beberapa peneliti yang membahas mengenai spiritualitas
Islam dengan menggunakan metode kualitatif – deskriptif. Buku tersebut
membahas mengenai beberaapa aliran thariqah dalam tasawuf yang
berkembang dalam dunia Islam dan juga tokoh-tokoh yang
mengembangkan aliran tasawufnya. Buku tersebut menjadi salah satu
rujukan penting dalam kajian tradisi Islam secara menyeluruh dan
terstruktur. Buku tersebut pun menjadi sebuah rujukan yang sangat
membantu dalam penelitian ini. Kajian yang terdapat di dalamnya
membahas mengenai thariqah-thariqah dan tokohnya yang dapat
memperkuat sisi spiritualitas ini sangat membantu pembahasan mengenai
thariqah serta bagaimana thariqah menjadi media penguatan dalam
spiritualitas umat manusia untuk menemukan Identitasnya. Berbeda pula
dengan temuan dalam tulisan ini yakni menggunakan media wayang
dengan lakon pencarian Tuhan sebagai media dalam penguatan
spiritualitas manusia. Dalam buku membahas satu sisi tradisi Islam di
timur dan perkembangannya, sedangkan tulisan ini menggunakan lakon
wayang sebagaai sebuah tradisi yang juga di bawa dari timur tetapi juga
tetap mempertahankan budaya lokal warisan leluhur.

F. Kerangka Teori
Deborah L. Smith-Shank dalam Rusdi berpendapat bahwa semiotika
merupakan sebuah pendekatan yang memahami kodrat makna, pengetahuan,
budaya, bahkan kehidupan dalam penerapan semiotika yang dilakukan dalam
bidang pendidikan. Semiotika secara singkat merupakan sistem tanda, dengan
sifat tanda ialah verbal, visual, isyarat, musik, dan lainnya. 24 Pemakaian
pendekatan semiotika sebagai upaya pemahaman kodrat makna, pengetahuan,
budaya, bahkan kehidupan manusia dengan wayang sebagai aktifitas budaya
yang terdapat dalam berbagai narasi wayang. Kebebasan berekspresi dimiliki
oleh setiap dalang dalam penuangan alur cerita (lakon), namun hakikat makna
dan pengetahuan tidak boleh dilupakan agar sejalan dengan pakem
pewayangan (tidak keluar jalur).25
Bahasa merupakan sistem tanda dan perancangan teori-teori canggih
dengan konsep terapan. Kutipan buku Course in General Linguistik karangan
Ferdinand de Sausure menyatakan bahwa “Bahasa adalah sistem tanda yang
mengekspresikan ide-ide dan karena itu dapat dibandingkan dengan sistem
tulisan, huruf-huruf untuk orang bisu-tuli, simbol-simbol keagamaan, aturan

24
Sri Teddy Rusdi, Semiotika dan Filsafat Wayang; Analisis Kritis Pergelaran
Wayang, (Jakarta: Yayasan Kertagama, 2015), h, 8
25
Sri Teddy Rusdi, Ibid, h, 11
sopan santun dan lainnya, semuanya merupakan hal penting dalam
keseluruhan sistem tersebut”.26
Teks dalam arti sempit merupakan setiap produk dari diskursus, dapat
didefinisikan sebagai setiap tindak penggunaan bahasa, sedangkan teks dalam
pengertian luas ialah pesan-pesan tertulis, yakni produk bahasa dalam bentuk
tulisan (written text), seperti buku, novel, puisi, prasasti, kitab suci dan
lainnya. Penggunaan tanda dalam pesan-pesan baik yang bersifat verbal
maupun visual, kemudian menghasilkan teks verbal dan teks visual. Wayang
merupakan penggabungan antara teks verbal dan visual, dengan buah
pemikiran dalang dalam menyusun lakon carangan (diskursus) dan
disampaikan dalam pergelaran menjadi sebuah teks visual. Teks wayang yang
telah ditampilkan dapat dianalisis berdasar sudut pandang apapun.27
Analisis teks merupakan salah satu cabang semiotika teks, khususnya
mengkaji teks sebagai sebuah “produk penggunaan bahasa” berupa kumpulan
atau kombinasi tanda-tanda. Sistem tanda (sintaktik/ paradigmatik), tingkatan
tanda (denotasi/ konotasi), relasi antar tanda (metafora/ metonim), muatan
mitos, dan ideologi dibaliknya merupakan pembahasan secara khusus.28
Bertolak dari pendekatan semiotika dalam pembahasan alur lakon
“Rikmadenda Mencari Tuhan” terdapat beberapa gejala-gejala kegelisahan
agama didalamnya. Agama dan kepercayaan merupakan hal yang vital jika
dibahas dalam berbagai kajian bidang, entah dengan pendekatan kualitatif
maupun kuantitatif. Kaidah-kaidah yang diajarkan agama biasanya
mengandung nilai moral sebagai pegangan bagi penganutnya. Ajaran tersebut
kemudian menjadi budaya yang diterapkan dalam sistem kemasyarakatan
dengan adanya ketua adat di beberapa daerah. Pembahasan mengenai wayang
dengan lakon yang membicarakan mengenai ilmu ketuhanan sebagai penguat
spiritualitas, memiliki daya tarik tersendiri.

26
Arthur Asa Berger, “Pengantar Semiotika; Tanda-tanda dalam Kebudayaan
Kontemporer” (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2010), penerj. M. Dwi Marianto, h, 4
27
Yasraf Amir Piliang, Semiotika Teks: Sebuah Pendekatan Analisis Teks, (PDF:
Mediator Vol. 5 No. 2, 2004), h, 190
28
Yasraf Amir Piliang, Ibid, h, 191
Proses membentuk suatu gambaran tentang bagaimana unit sosial
melihat diri sendiri atau bagaimana semestinya melihat dirinya sendiri,
sebagai suatu kesatuan organik yang membentuk bagian-bagian yang khas.29
Bertolak dari kalimat tersebut memberi pengertian mendalam mengenai
agama, yakni; keinginan setiap manusia untuk mengenal Tuhan adalah hak
asasi yang paling dasar. Berawal dari sebab tersebut setiap agama dan hampir
setiap negara menganjurkan untuk beragama, untuk mencapai pengetahuan
spiritual dalam beragama.
Setiap agama memiliki konsep ketuhanannya masing-masing
berlandaskan sejarah dan perjalanan spiritual yang dialami. Pembahasan
utama agama sebagai pisau analisis ialah Agama Islam, karena konsep
Tasawuf Nusantara banyak diajarkan dan didalami sehingga proses kebatinan
antara satu dengan lainnya berbeda.
Pendekatan tasawwuf, merupakan sebuah ilmu yang menjelaskan sang
pencari berusaha mengangkat dirinya melalui batas-batas kediriannya melalui
beberapa maqam yang harus ditapaki sebagai manusia dalam mendekatkan
dirinya kepada Allah.30 Tasawwuf dalam hal ini berarti sebuah ilmu sebagai
proses mendekatkan diri kepada Allah dengan seperangkat ritual-ritual
seperti, meditasi, amalan-amalan, zikir, dan sebagainya yang diajarkan dalam
lingkup terkecilnya. Jiwa bisa bertemu Tuhannya melalui maqam yang
dilewatinya sebagai media pencarian mistis, lantaran jiwa ‘yang telah menjadi
sufi’ mencapai pusat illahi melalui pencarian. Menggunakan ungkapan kreatif
dengan mengingat dan menyerukan pesan illahi dengan sifatnya yang
tersembunyi dalam berbagai bentuk. Mengaktualisasikan kembali proses
penciptaan, dan Tuhan menjadikan diri-Nya diketahui. Reaktualisasi

29
Peter Connolly (ed), Aneka Pendekatan Studi Agama, (Jogjakarta: LKiS, 2012)
h, 23
30
Sri Mulyati (et.al),Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di
Indonesia,(Jakarta: Kencana, 2006), h, 1 - 3
penciptaan ini boleh jadi berbentuk luar seperti artefak atau bertransformasi
menjadi bentuk kehidupan mistikus.31
Maqam-maqam yang harus dilalui tidak sederhana ada beberapa
tingkatan dengan proses yang sangat panjang. Sebuah tingkatan yang perlu
dilakukan berulang-ulang dalam sebuah misi pencarian.

Ilustrasi Jiwa manusia yang berusaha mencapai Ruh


Illahi

(sumber: Laleh Bakhtiar, Mengenal Ajaran Kaum Sufi, 2008)

Tingkatan (maqam) dalam tasawuf menggunakan dasar dalam


beragama Islam yakni Aqidah, Syari’at dan juga hakikat. Pencarian Tuhan
berada pada usahanya mencapai hakikat, namun juga harus memperkuat ilmu
syari’atnya. tingkatan yang perlu dilewati oleh seorang yang ingin mencapai
pencariannya dari mulai taubah sampai kepada tingkat tinggi yaitu ma’rifat.
Teori maqamat dalam tasawwuf nusantara ini akan menunjang
penelitian yang mengungkapkan proses pencarian Tuhan dalam keseluruhan
sesi lakon “Rikmadenda Mencari Tuhan”, dari mulai proses awal pencarian
dengan karakter punggawa dari Rikmadenda hingga proses akhir penemuan
jawaban atas kegelisahannya. Teori maqamat lebih ditekankan pada analisis
proses menuju Tuhan yang dilakukan oleh Rikmadenda.

G. Metodologi Penelitian
1. Metode dan Pendekatan Penelitian

31
Laleh Bakhtiar, “Mengenal Ajaran Kaum Sufi: dari maqam-maqam hingga karya
besar dunia sufi (Bandung: Marja, 2008), h, 10
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Bogdan dan Taylor
mendefinisikan bahwa metode kualitatif merupakan “suatu prosedur
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang dan prilaku yang dapat diamati”.32 Penelitian kualitatif
memiliki beberapa ciri yakni salah satunya ialah deskriptif, dan penulis
menggunakan ciri deskriptif ini sebagai penggambaran peristiwa secara
sistematis dan akurat yang disesuaikan dengan data-data yang
dikumpulkan. Penelitian deskriptif tidak hanya melalui pengamatan dan
penggumpulan data, langkah selanjutnya ialah data yang diperoleh
dianalisis dan diinterpretasikan.
2. Sumber Data
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas data primer
dan data sekunder.
a. Pengumpulan data primer, yaitu data yang diperoleh dari sumber
utama secara langsung. Pertunjukan wayang dengan Lakon
Rikmadenda Mencari Tuhan oleh Dalang Abyor di
dokumentasikan dalam rekaman, kemudian diliterasi menjadi
sebuah naskah transkrip lakon “Rikmadenda Mencari Tuhan”,
tulisan Ajip Rosidi dalam buku Memelihara Sunda.
b. Pengumpulan data sekunder, yaitu data yang mendukung data
primer atau sebagai data kedua. wawancara dengan beberapa tokoh
di Cirebon, selain itu juga menggunakan beberapa buku terkait
karya dari Matthew Cohen yang membahas mengenai pewayangan
di Cirebon gaya kidulan, yang juga mengulik lakon “Rikmadenda
Mencari Tuhan”. Buku yang membahas ilmu tasawuf dan thariqah.
Penggunaan dokumen-dokumen yang ada di Cirebon pun sebagai
penunjang penelitian ini.
3. Metode Penggalian Data

32
Lexy J. Meleong, “Metodologi penelitian Kualiatif”, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 1997), h, 3 dan 6.
Dalam penelitian ini peneliti memanfaatkan beberapa tekhnik
pengumpulan data, yaitu:
a. Tekhnik Kepustakaan, yaitu tekhnik pengumpulan data dengan
mempelajari naskah-naskah, buku, tulisan dan dokumen yang
terkait dengan penelitian mengenai pewayangan berdasarkan lakon.
Lakon yang diambil ialah “Rikmadenda Mencari Tuhan”, selain itu
juga mengenai tasawuf dan thariqah sebagai penunjang analisis.
b. Wawancara (Interview) merupakan percakapan dengan maksud
tertentu bisa dilakukan oleh dua pihak atau lebih. Pewawancara
(interviewer) mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai
(interviewee) menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.
Penelitian kualitatif memiliki tiga jenis pertanyaan dalam
wawancara meliputi: 1) pertanyaan deskriptif, 2) pertanyaan
struktural, dan 3) pertanyaan kontras.33 Wawancara ini bertujuan
untuk mencari informasi yang terkait pewayangan dan proses
pencarian Tuhan. Informan yang akan diwawancarai diantaranya
ialah para dalang yang ada di Cirebon, Budayawan sebagai pelaku
kebudayaan Cirebon untuk mengetahui secara detail tentang
pewayangan Cirebon dan perkembangan budayanya yang melekat
sejak lama. tokoh-tokoh yang concern dalam bidang tasawuf baik
yang menganut suatu thariqah maupun sebagai peneliti thariqah.
4. Analisis Data
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini ialah:
a. Analisis data primer dan sekunder dalam penyusunan penulisan dalam
penelitian ini. Proses analisis bersifat mengalir (flow model) dari awal
hingga penarikan kesimpulan. Lebih jelasnya proses mengalir
digambarkan sebagai berikut:
1) Reduksi Data, yaitu proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan dan transformasi data kasar yang diperoleh di
lapangan studi. Wawancara untuk mendapatkan informasi.

33
Sanapiah Faisal, “Penelitian Kualitatif”, (Malang: YA3 Malang, 1990), h, 67
Pembahasan ini menggunakan pemilahan naskah lakon menjadi
beberapa sub bab untuk memudahkan proses analisa melalui
pendekatan tasawwuf terkait ajaran tarekat di Cirebon.
2) Penyajian data, deskripsi kumpulan informasi tersusun yang
memungkinkan untuk melakukan penarikan kesimpulan dan
pengambilan tindakan. Penyajian data yang lazim digunakan
adalah dalam bentuk teks naratif.
3) Analisa data, yaitu menelaah data yang telah dideskripsikan. Data
yang telah dianalisa sehingga menjadi data naratif dianalisa
kembali dengan teori thariqah sebagai penunjang dalam
transformasi teks dalam penganalisaan lakon wayang “Rikmadenda
Mencari Tuhan”.

Penarikan kesimpulan dan verifikasi, dari permulaan


pengumpulan data, peneliti mencari makna dari gejala yang diperoleh di
lapangan. Mencatat keteraturan dan pola penjelasan konfigurasi yang
mungkin ada, alur kausalitas dan proposisi. Selama penelitian masih
berlangsung maka setiap kesimpulan yang ditetapkan terus menerus
diverifikasi hingga benar-benar memperoleh hasil yang kokoh.34

H. Sistematika Pembahasan
Penelitian mengenai wayang dan proses pencarian Tuhan ini dalam
penulisannya menggunakan sistematika pembahasan yang telah digunakan
dalam karya-karya ilmiah sebagaimana mestinya. Sistematika pembahasan
sebagai gambaran dari pembahasan penelitian yang dikaji. Keseluruhan
penelitian ini terdiri dari lima bab yaitu:

Bab I Pendahuluan. Terdiri dari: Latar belakang, rumusan masalah, tujuan


penelitian, kegunaan penelitian, kerangka teori, telaah pustaka, metodologi
penelitian, serta pembahasan mengenai bab selanjutnya secara ringkas.

34
Agus Salim, MS, “Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2006), h, 22
Bab II Sekilas Kebudayaan Cirebon antara Abad ke 14 sampai sekarang yang
membahas mengenai (a) Cirebon secara umum; (b) wayang di Cirebon yakni
kesejarahan wayang dengan karakter yang ada dalam pagelaran wayang; dan
(c) wayang sebagai media pendidikan spiritualitas.

Bab III Tarekat sebagai metode pencarian Tuhan. Bab ini akan membahas
mengenai (a) konsep tasawuf secara umum; (b) Macam-macam Tarekat yang
ada di Cirebon; dan (c) ajaran pencarian tuhan yang dilakukan oleh beberapa
tarekat di Cirebon.

Bab IV Pendekatan tasawwuf terkait ajaran tarekat melalui Lakon


“Rikmadenda Mencari Tuhan” literasi Ajip Rosidi. Bab ini membahas
mengenai (a) struktur lakon dan karakter-karakter yang dimainkan dalam
lakon tersebut; (b) transkrip lakon yang membahas proses pencarian Tuhan
dalam lakon “Rikmadenda Mencari Tuhan”. Analisa lakon berdasarkan teori
tasawwuf terkait ajaran tarekat.

Bab V Penutup. Bab ini membahas kesimpulan dan saran.

Anda mungkin juga menyukai