Anda di halaman 1dari 8

Pengertian

Bagi masyarakat Jawa, wayang tidak saja merupakan kesenian yang dapat

menghibur hati para penontonnya, akan tetapi juga mampu menjadi pengisi hati.

Dunia pewayangan dianggap sebagai lambang dari keberadaan manusia di alam

ini. Karena lakon-lakon yang dipagelarkan dalam sebuah pertunjukan wayang,

sering begitu dekat dengan alam kenyataan. Peranan seni dalam pewayangan

merupakan unsur dominan. Akan tetapi bilamana dikaji secara mendalam dapat

ditelusuri nilai-nilai edukatif yang sangat penting dalam kehidupan manusia.

Unsur-unsur pendidikan tampil dalam bentuk pasemon atau perlambang. Oleh

karena itu seseorang dapat melihat nilai-nilai tersebut tergantung dari

kemampuan menghayati dan mencema bentuk-bentuk simbol atau lambang

dalam pewayangan, maka sangat wajar bila nilai filsafat pewayangan dapat

menjadi media edukasi tentang kehidupan.

Pada tanggal 7 November 2003 kesenian ini telah diakui oleh UNESCO

sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan

warisan yang indah dan berharga (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage

of Humanity).

Seni pewayangan sendiri, hingga sekarang masih tetap digemari di tengah-

tengah kalangan masyarakat. Wayang sebagai kesenian tradisonal mampu

bertahan dan menyesuaikan dengan perkembangan zaman dengan segala aspek-

aspek perubahannya. Di era modern, wayang tidak lantas tersingkirkan dalam

perhelatan panggung hiburan. Wayang mampu bertahan dan menjadi kesenian


yang masih menjadi favorit bagi Sebagian masyarakat dengan berbagai inovasi

dan eksperimen yang dilakukan oleh para seniman wayang.

Dengan berbagai inovasi wayang menjadi hiburan rakyat yang atraktif.

Faktanya kesenian wayang masih subur hingga saat ini apabila dibandingkan

dengan kesenian lainnya. Wayang memang wantek (tangguh) dan sudah balung

sungsum (mengakar) dalam masyarakat jawa. Sehingga wayang masih menjadi

hiburan masyarakat disaat-saat tertentu. Setiap ada pagelaran wayang

masyarakat pasti akan berduyun-duyun untuk menonton wayang. Masyarakat

rela menonton wayang sampai semalam suntuk.

Kemampuan wayang bertahan dari generasi ke generasi merupakan suatu

prestasi yang patut diapresiasi karena masih bisa tetap eksis di tengah gempuran

modernisasi. Secara sosiokultural wayang menyesuaikan dengan perkembangan

di masyarakat. Dalam pewayangan diberi “warna” atau hiburan sampingan

sebagaimana yang dijumpai baru-baru ini, seperti: lawakan, musik campursari,

sampai musik dangdut. Hal tersebut bertujuan untuk mengimbangi perubahan-

perubahan dalam masyarakat.

Jenis wayang

Ada sekitar 40 jenis macam wayang yang terdapat di Indonesia, terutama

Pulau Jawa. Bermacam-macam wayang tersebut dibedakan menurut cara


pementasannya, cerita yang dibawakan, dan menurut bahan yang digunakan

untuk membuatnya. Seperti:

(1) Wayang Kulit, wayang dengan bentuk 2 dimensi yang terbuat dari kulit,

(2)Wayang Golek, wayang dengan bentuk 3 dimensi yang dibuat dari kayu,

(3) Wayang Wong, langsung diperankan oleh lakon atau manusia

(4) Wayang Beber, pementasan wayang yang digelar pada kertas beber yang

dibentangkan dari lembaran kain,

(5) Wayang Klithik, hamper sama dengan wayang kulit namun dengan bahan

dasar kayu bukan kulit.

(6) Wayang gedhog adalah wayang yang pada pementasannya membawakan

cerita Panji

Dan masih banyak lainnya

Sejarah

Asal usul wayang sendiri memiliki banyak perdebatan dari para ahli.

Beberapa mengatakan wayang berasal dari India, sebagian mengatakan bahwa

wayang adalah kesenian asli Indonesia yang lahir di Jawa, dan sisanya lainya

berteori bahwa kesenian wayang adalah akulturasi dan perpaduan dua budaya

yaitu Jawa dengan Hindu.

Richat Pischel dalam bukunya yang berjudul “The home of the puppet

play” tahun 1902, mengatakan bahwa wayang berasal dari India hal ini dilihat
dari kata “Rupparuakam” yang terdapat dalam kitab pewayangan Mahabharata

dan kata “Ruppapanjipane” yang terdapat dalam buku Therigata, yang

keduanya berarti sama yaitu Bayangan. Richat Pischel juga mengatakan bahwa

cerita wayang purwa yang ada di Indonesia diambil dari kitab Mahabharata dan

Ramayana dimana dua kitab ini milik Bangsa Hindu dan India.

Seorang ahli lainnya yaitu Nicolaas Johannes Krom berpendapat bahwa

wayang adalah hasil perpaduan budaya Hindu-Jawa hal ini dibuktikan dengan

persebaran wayang yang hanya meliputi dua daerah saja yaitu Jawa dan Bali,

dimana dua daerah ini mengalami banyak pengaruh dari Hindu dalam

perkembangannya.

Senada dengan Krom peneliti lain yaitu Willem Huibert Rassers

menyatakan pendapat dan teorinya dengan analogi bahwa wayang adalah

budaya campuran atau hasil pertemuan dua budaya kuno yaitu Hindu dan Jawa.

Pembuktiannya adalah karakter wayang dan cerita pewayangan Purwa atau

wayang kulit yang berkembang di Jawa dan Bali menggunakan karakter khas

India, artinya bahwa ada penggabungan dan perpaduan atau akulturasi budaya

yang terjadi disini, antara budaya Jawa dengan budaya Hindu.

Namun, Pendapat ini dibantah keras oleh seyono joyokartiko humardani,

yang mengatakan bahwa kesenian wayang memiliki bahasa dan watak yang

khas beserta pengantarnya yang menggunakan bahasa Kawi tanpa ada

sedikitpun Bahasa India di dalamnya.


Menurut Sunarto dalam bukunya yang berjudul “wayang kulit purwa

khas Yogyakarta”, dikatan bahwa wayang sudah ada sejak zaman neolitikum,

yakni kira-kira 1.500 tahun sebelum Masehi. Pendapatnya ini didasarkan pada

tulisan Robert von Heine Geldern Ph. D, yang berjudul “Prehistoric Research in

the Netherland Indie” (1945). dan tulisan karya Prof. K.A.H. Hidding yang

berjudul “ Geestesstructuur en cultuur “. Sejarah wayang dalam bentuk asli

timbul sebelum kebudayaan Hindu masuk di Indonesia dan mulai berkembang

pada zaman Hindu Jawa. Bentuk wayang sendiri terukir dalam relief yang bisa

di jumpai dalam candi-candi seperti,di Prambanan dan Borobudur.

Hal ini didukung juga oleh bukti arkeolog, dengan ditemukannya sebuah

prasasti peninggalan Raja Balitung (899 – 911 M) yang berisi kisah Bima

Kumara yaitu ceritera tentang Bima di masa muda, dalam teks kuno tersebut

juga disebutkan tentang seorang Dalang beserta upah yang diterimanya. Pada

awalnya wayang erat hubungannya dengan pemujaan roh leluhur. Hal ini

dilakukan sebagai bentuk penghormatan dan pemujaan, salah satunya ialah

pertunjukan wayang. Pertunjukan wayang roh leluhur ini, terus dilakukan

sehingga menjadi suatu tradisi dalam masyarakat agraris. Cerita dalam wayang

tumbuh dan berkembang melalui jalur lisan dan tulisan. Melalui jalur lisan

wayang disebarkan oleh para dalang dan orang-orang tua yang tahu banyak

tentang wayang. Sementara melalui jalur tulisan wayang berkembang melalui

berbagai serat seperti misalnya adalah Serat Pakem Ringgit Purwa


Pendapat mengenai asal usul wayang yang berasal dari India ini pun

dibantah oleh seorang peneliti yaitu Jan Laurens Andries Brandes, ia mengatakan

bahwa bukti yang ditunjukan oleh Richat Pischel sangatlah lemah, karena hanya

merupakan hipotesa belaka. Menariknya, pendapat Pischel, Krom dan Rassers

yang dengan tegas mengatakan bahwa wayang dibawa oleh Bangsa Hindu ke

Indonesia namun dalam pembuktiannya Bangsa Hindu hingga sekarang tidak

memiliki kesenian wayang yang sama dengan wayang yang ada di Jawa, tidak

ada bukti tertulis wayang lahir di India. Bangsa India memang memiliki

kesenian teater namun berbeda sekali dengan kesenian wayang.

Pendapat ini didukung oleh seorang ahli yaitu Godard Arend Johannes

Hazeu. Bahkan pendapat ini dituangkandalam disertasinya yang berjudul

Bydrage tot de kennis van het Javaansche Tooneel (kurang lebih begitu

judulnya). Didalam karya tersebut Hazeu juga mengemukaan aspek-aspek

penting tersebut seperti kata : Wayang, kelir, blencong, kepyak, dalang, kotak

dan cempela yang ada dalam kesenian wayang, Adalah kata asli dalam Bahasa

kawi atau jawa kuno dan tidak ditemukan di tempat lain atau dalam bahasa

Hindu sekalipun.

Brandes juga menambahkan bahwa tokoh-tokoh yang ada dalam wayang

seperti yaitu Semar, Petruk, Gareng dan Bagong yang merupakan tokoh asli

yang tumbuh dari kebudayaan Jawa dan tidak ada dalam teater Hindu. Tokoh-

tokoh tersebut adalah karya dari penggubahan cerita masyarakat Jawa, terlihat

begitu erat sekali wayang dengan kehidupan sosial dan kultural masyarakat
Jawa, begitupun dengan nilai religiusnya. Sedangkan tokoh mahabarata dalam

cerita pewayangan bisa ada dalam pagelaran wayang karena Kebudayaan Hindu

masuk ke Jawa membawa pengaruh pada pertunjukan wayang. Dalam

penyebaran agama Hindu di pulau Jawa, para Brahmana menggunakan kitab

Mahabarata dan Ramayana selain kitab Weda sehingga kedua kitab ini dikenal

di masyarakat Jawa. Cerita wayang semula menceritakan petualangan dan

kepahlawanan nenek moyang yang bersifat pemujaan kemudian beralih ke

cerita Mahabarata dan Ramayana. Hal serupa pun kelak akan dilakukan oleh

sunan kalijaga saat menyebarkan agama islam di pulau jawa.

Jadi kesimpulan dari penelitian mana yang akan kamu pilih? Penelitian

karya Pischel, Krom dan Rassers yang dengan tegas mengatakan bahwa wayang

dibawa oleh Bangsa Hindu ke Indonesia hingga terjadinya alkulturasi budaya

atau penelitian karya joyokartiko, brandes dan hazeu yang mengatakan bahwa

wayang adalah kesesian asli Indonesia yang berasal dari jawa hanya saja

dijadikan media penyebaran agama?

Sri Mulyono, Wayang, Asal-Usul, Filsafat Dan Masa Depannya, Op.

Cit.,hal. 53

Drs.Sunarto, Wayang kulit purwa gaya yogyakarta , Balai Pustaka,

yoghakarta, 1979.
Nyoman S. Pendit, Mahabharata, PT Gramedia pustaka utama, Jakarta.

2003. Hal. 2

Imam, (2011) Wahyudi, Nilai-Nilai Islam dalam Cerita Wali Sanga pada

Pagelaran Wayang Kulit Lakon. IAIN Sunan Ampel, , Hal. 14.

Mahendra Sucipto, Ensikolpedia Tokoh-Tokoh Wayang Dan Silsilahnya,

Narasi,Yogyakarta. 2009. Hal 362

Dr. Seno Sastromidjojo, Renungan Tentang Pertunjukan Wayang kulit,

P.T. Kinta, Jakarta. 1964. Hal. 16-18

Soediro, Wayang Kulit Purwa Makna dan Struktur Dramatiknya,

Direktorat Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,

Jakarta. 1985. Hal. 143.

Anggoro . Bayu, (2018). Wayang dan Seni Pertunjukan: Kajian Sejarah

Perkembangan Seni Wayang di Tanah Jawa sebagai Seni Pertunjukan dan

Dakwah, Jurnal Sejarah Peradaban Islam Vol. 2 No. 2

Awalin . Fatkur Rohman Nur, (2018) Sejarah Perkembangan Dan

Perubahan Fungsi Wayang Dalam Masyarakat, Jurnal Kebudayaan, Volume

13, No 1

Herlyana . Elly, (2013), Pagelaran Wayang Purwa Sebagai Media

Penanaman Nilai Religius Islam Pada Masyarakat Jawa. ThaqÃfiyyÃT, Vol.

14, No. 1,

Anda mungkin juga menyukai