Anda di halaman 1dari 12

Tugas Akhir Seni Pertunjukan Wayang Modern : Jabang Tetuko

Oleh :

Happy Huimassa 0806465655

Fakultas Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia 2011

Pendahuluan
Kebudayaan masa lalu berupa khazanah seni budaya bukanlah hal yang baru di masyarakat dunia. Sehingga banyak nilai-nilai budaya kuno yang masih terus bertahan hingga saat ini. Karena sebagai suatu warisan, seni budaya masa lalu juga memberikan pengaruh yang sangat kuat kepada sendi-sendi kehidupan masa kini. Indonesia merupakan salah satu negara yang ikut mengambil bagian dalam penyelamatan warisan seni budayanya. Wayang adalah salah satu bagian dari warisan budaya lokal yang tetap dipertahankan dan dileastarikan oleh masyarakat Indonesia. Wayang merupakan suatu puncak perpaduan dari karya-karya seni budaya seperti seni drama, seni tari, seni music, seni sastra, seni rupa dan sebagainya. Sebagai suatu seni pertunjukan, hal yang paling mudah untuk ditangkap dan dicerna untuk dinikmati dari suatu pertunjukan seni wayang adalah keindahan dari seninya. Gerak dari tokoh-tokoh di pewayangan menampilkan suatu pertunjukan yang sangat indah. Detail dari seni rupa yang ada di wayang, gerak wayang yang serasi dengan alunan musik gamelan, keindahan seni suara dari para sinden, dan cerita pewayangan yang berasal dari seni sastra. Hal-hal tersebut saling berpadu dan menciptakan suatu pertunjukan yang sangat indah dan cukup mudah dipahami. Lebih jauh menelisik tentang seni pertunjukkannya, dalam cerita wayang juga sering disisipi oleh berbagai pesan moral yang disampaikan oleh dalang baik itu tersirat maupun tersurat. Sudah barang tentu nilai etis ini tidak tertuju pada kehidupan pribadi, melainkan menjangkau sasaran lebih luas bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Semakin asyik orang menekuni pertunjukan wayang, dalam alur estetika dan etika itu, ternyata orang juga dapat menemukan makna yang paling dalam yang terkandung dalam pertunjukan wayang, yaitu nilai-nilai hakiki, falsafah hidup. Wayang bukan sekedar permainan bayang-bayang atau shadow play seperti anggapan banyak orang, melainkan lebih luas dan dalam, karena wayang dapat merupakan gambaran kehidupan manusia dengan segala masalah yang dihadapinya. Perkembangan zaman yang disertai dengan perubahan-perubahan juga membuat banyak hal dari seni budaya wayang ikut serta mengubah beberapa hal agar bisa menyesuaikan dengan kebutuhan zaman. Wayang yang merupakan kebudayaan asli dari Indonesia ini terus berkembang mengikuti kebudayaan-kebudayaan yang berkembang di

Indonesia, baik perkembangan dari dalam kebudayaan ataupun perkembangan dari kebudayaan luar. Seperti contohnya budaya Hindu dan budaya Islam yang memberikan pengaruh ke wayang. Seiring dengan perkembangannya, wayang menjadi bersifat flexible yang mengikuti perkembangan dari zaman, namun sifat fleksibel yang dimaksudkan di sini berarti bahwa tidak semua nilai serta merta diserap oleh wayang. Wayang melakukan penyaringanpenyaringan yang apabila cocok baru akan diangkat menjadi nilai baru untuk perkembangan wayang di masa yang akan datang. Dengan bermodalkan hal inilah wayang dapat bertahan dan berkembang sesuai dengan kebutuhan akan zaman. Banyak cara-cara modern yang dikembangkan agar pertunjukan wayang bisa lebih menarik dan bisa diterima di masyarakat luas kini, sehingga eksistensi dari wayang ini sendiri bisa dipertahankan dan juga ditingkatkan.

Pembahasan
Asal Usul Wayang Secara etimologis wayang berasal dari kata wewayangan yang berarti bayangan. Karena pada pergelaran Wayang Kulit yang menggunakan kelir, secarik kain, sebagai pembatas antara dalang yang memainkan wayang, dan penonton di balik kelir itu, penonton hanya menyaksikan gerakan-gerakan wayang melalui bayangan yang jatuh pada kelir. Pada masa itu pergelaran wayang hanya diiringi oleh seperangkat gamelan sederhana yang terdiri atas saron, todung (sejenis seruling), dan kemanak. Jenis gamelan lain dan pesinden pada masa itu diduga belum ada. Sedangkan secara historis Wayang diperkirakan sudah lahir di Indonesia setidaknya pada zaman pemerintahan Prabu Airlangga, raja Kahuripan (976 -1012), yakni ketika kerajaan di Jawa Timur itu sedang makmur-makmur-nya. Karya sastra yang menjadi bahan cerita wayang sudah ditulis oleh para pujangga Indonesia, sejak abad X. Antara lain, naskah sastra Kitab Ramayana Kakawin berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan raja Dyah Balitung (989-910), yang merupakan gubahan dari Kitab Ramayana karangan pujangga India, Walmiki. Selanjutnya, para pujangga Jawa tidak lagi hanya menerjemahkan Ramayana dan Mahabarata ke bahasa Jawa Kuna, tetapi menggubahnya dan menceritakan kembali

dengan memasukkan falsafah Jawa kedalamnya. Contohnya, karya Empu Kanwa Arjunawiwaha Kakawin, yang merupakan gubahan yang berinduk pada Kitab Mahabarata. Gubahan lain yang lebih nyata bedanya dengan cerita asli versi In-dia, adalah Baratayuda Kakawin karya Empu Sedah dan Empu Panuluh. Karya agung ini dikerjakan pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya, raja Kediri (1130 - 1160). Wayang sebagai suatu pergelaran dan tontonan pun sudah dimulai ada sejak zaman pemerintahan raja Airlangga. Beberapa prasasti yang dibuat pada masa itu antara lain sudah menyebutkan kata-kata "mawa yang" dan `aringgit' yang maksudnya adalah pertunjukan wayang. Untuk lebih menjawakan budaya wayang, sejak awal zaman Kerajaan Majapahit diperkenalkan cerita wayang lain yang tidak berinduk pada Kitab Ramayana dan Mahabarata. Sejak saat itulah cerita-cerita Panji; yakni cerita tentang leluhur raja-raja Majapahit, mulai diperkenalkan sebagai salah satu bentuk wayang yang lain. Cerita Panji ini kemudian lebih banyak digunakan untuk pertunjukan Wayang Beber. Tradisi menjawakan cerita wayang juga diteruskan oleh beberapa ulama Islam, di antaranya oleh para Wali Sanga. Mereka mulai mewayangkan kisah para raja Majapahit, di antaranya cerita Damarwulan. Masuknya agama Islam ke Indonesia sejak abad ke-15 juga memberi pengaruh besar pada budaya wayang, terutama pada konsep religi dari falsafah wayang itu. Pada awal abad ke-15, yakni zaman Kerajaan Demak, mulai digunakan lampu minyak berbentuk khusus yang disebut blencong pada pergelaran Wayang Kulit. Sejak zaman Kartasura, penggubahan cerita wayang yang berinduk pada Ramayana dan Mahabarata makin jauh dari aslinya. Sejak zaman itulah masyarakat penggemar wayang mengenal silsilah tokoh wayang, termasuk tokoh dewanya, yang berawal dari Nabi Adam. Sisilah itu terus berlanjut hingga sampai pada raja-raja di Pulau Jawa. Dan selanjurnya, mulai dikenal pula adanya cerita wayang pakem, yang sesuai standar cerita, dan cerita wayang carangan yang diluar garis standar. Selain itu masih ada lagi yang disebut lakon sempalan, yang sudah terlalu jauh keluar dari cerita pakem. Karena begitu kuatnya seni wayang berakar dalam budaya bangsa Indonesia, sehingga terjadilah beberapa kerancuan antara cerita wayang, legenda, dan sejarah. Jika orang India beranggapan bahwa kisah Mahabarata serta Ramayana benar-benar teijadi di negerinya, orang Jawa pun menganggap kisah pewayangan benar-benar pernah terjadi di Pulau Jawa.

Jenis-Jenis Wayang Wayang di Indonesia puluhan jumlahnya, beberapa diantaranya adalah : 1. Wayang Beber berupa selembar kertas atau kain yang berukuran sekitar 80 cm X 12 meter, yang digambari dengan beberapa adegan lakon wayang tertentu. Satu gulung wayang beber biasanya terdiri atas 16 adegan. Pada saat pergelaran bagian gambar yang menampilkan adegan lakon itu dibuka dari gulungannya, dan sang Dalang menceritakan kisah yang terlukis dalam setiap adegan itu. Wayang Beber pada umumnya menceritakan kisah Panji. 2. Wayang Kulit Purwa merupakan jenis wayang yang paling populer di masyarakat sampai saat ini. Wayang Kulit Purwa mengambil cerita dari kisah Mahabarata dan Ramayana. Peraga wayang yang dimainkan oleh seorang dalang terbuat dari lembaran kulit kerbau (atau sapi) yang dipahat menurut bentuk tokoh wayang dan kemudian disungging dengan warna warni yang mencerminkan perlambang karakter dari sang Tokoh. 3. Wayang Golek Sunda menggunakan peraga wayang berbentuk boneka-boneka kecil, dengan semacam cempurit untuk pegangan tangan Ki Dalang. Sama dengan Wayang Kulit Purwa, Wayang Golek Sunda pun menggunakan induk cerita dari serial Ramayana dan Mahabarata. Pergelaran Wayang Golek Sunda juga diiringi oleh seperangkat gamelan, lengkap dengan pesindennya. Bedanya, Wayang Golek Sunda tidak menggunakan kelir sehingga penonton dapat langsung melihat para tokoh wayang yang diperagakan ki dalang, bukan hanya bayangannya. Jenis wayang ini tersebar hampir di seluruh Jawa Barat. 4. Wayang Orang adalah seni drama tari yang mengambil cerita Ramayana dan Mahabarata sebagai induk ceritanya. Dari segi cerita. Wayang Orang adalah perwujudan drama tari dari Wayang Kulit Purwa. Pada mulanya, yakni pertengahan abad ke-18, semua penari Wayang Orang adalah penari pria, tidak ada penari wanita. Jadi agak mirip dengan pertunjukan ludruk di Jawa Timur dewasa ini. 5. Wayang Potehi menceritakan kisah-kisah dari negeri Cina, di antaranya Si Jin Kui, Sam Pek Eng Thay. Pertunjukan Wayang Potehi tidak diiringi oleh gamelan, melainkan sejenis musik yang disebut gubar-gubar, biola, dan tik-tok.

Wayang Orang Wayang Orang merupakan bentuk perwujudan dari wayang kulit yang diperagakan oleh manusia. Jadi kesenian wayang orang ini merupakan refleksi dari wayang kulit. Bedanya, wayang orang ini bisa bergerak dan berdialog sendiri. Fungsi dan pementasan Wayang Orang, disamping sebagai tontonan biasa kadang-kadang juga digunakan untuk memenuhi nadzar. Sebagaimana dalam wayang kulit, lakon yang biasa dibawakan dalam Wayang Orang juga bersumber dari Babad Purwa yaitu Mahabarata dan Ramayana. Kesenian Wayang Orang yang hidup dewasa ini pada dasarnya terdiri dari dua aliran yaitu gaya Surakarta dan gaya Yogyakarta. Dalam pertunjukan Wayang Orang, fungsi dalang yang juga merupakan sutradara tidak seluas seperti pada wayang kulit. Dalang wayang orang bertindak sebagai pengatur perpindahan adegan, yang ditandai dengan suara suluk atau monolog. Dalam dialog yang diucapkan oleh pemain, sedikit sekali campur tangan dalang. Dalang hanya memberikan petunjuk-petunjuk garis besar saja. Selanjutnya pemain sendiri yang harus berimprovisasi dengan dialognya sesuai dengan alur ceritera yang telah diberikan oleh sang dalang. Pola kostum dan make up Wayang Orang disesuaikan dengan bentuk (patron) wayang kulit, sehingga pola tersebut tidak pernah kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Pertunjukan Wayang Orang menggunakan konsep pementasan panggung yang bersifat realistis. Setiap gerak dari pemain dilakukan dengan tarian, baik ketika masuk panggung, keluar panggung, perang ataupun yang lain-lain. Gamelan yang dipergunakan seperti juga dalam wayang kulit adalah pelog dan slendro dan bila tidak lengkap biasanya dipakai yang slendro saja. Lama pertunjukan wayang orang biasanya sekitar 7 atau 8 jam untuk satu lakon, biasanya dilakukan pada malam hari. Pertunjukan pada siang hari jarang sekali dilakukan.

Perkembangan Seni Pertunjukan Wayang Wayang sebagai seni pertunjukan tradisional sudah menjadi bagian dari identitas sosial masyarakat Jawa. Mereka mengungkapkan, memantapkan, dan merealisasikan identitasnya di seni pertunjukan Wayang. Seni pertunjukan Wayang merupakan perekam lisan atau pengungkap narasi perkembangan budaya suatu bangsa. Sebagaimana perkembangan seni pertunjukan itu sendiri yang lahir dari perkembangan sosial budaya sejak jaman kerajaan Hindu Budha di tanah Jawa. Persentuhan sosial itu menghasilkan kebudayaan berbentuk fisik. Seni pertunjukan itu salah satunya.

Pertunjukan Kesenian wayang adalah merupakan sisa-sisa upacara keagamaan orang Jawa yaitu sisa-sisa dari kepercayaan animisme dan dynamisme. Tentang asal-usul kesenian wayang hingga dewasa ini masih merupakan suatu masalah yang belum terpecahkan secara tuntas. Namun demikian banyak para ahli mulai mencoba menelusuri sejarah perkembangan wayang dan masalah ini ternyata sangat menarik sebagai sumber atau obyek penelitian. Menurut Kitab Centini, tentang asal-usul wayang Purwa disebutkan bahwa kesenian wayang, mula-mula sekali diciptakan oleh Raja Jayabaya dari Kerajaan Mamenang / Kediri. Sekitar abad ke-10 Raja Jayabaya berusaha menciptakan gambaran dari roh leluhurnya dan digoreskan di atas daun lontar. Bentuk gambaran wayang tersebut ditiru dari gambaran relief cerita Ramayana pada Candi Penataran di Blitar. Ceritera Ramayana sangat menarik perhatiannya karena Jayabaya termasuk penyembah Dewa Wisnu yang setia, bahkan oleh masyarakat dianggap sebagai penjelmaan atau titisan Batara Wisnu. Figur tokoh yang digambarkan untuk pertama kali adalah Batara Guru atau Sang Hyang Jagadnata yaitu perwujudan dari Dewa Wisnu. Pertunjukan Wayang Modern Pentas wayang diambil dari cerita karya sastra India (Ramayana dan Mahabharata) yang diadaptasikan dalam budaya Nusantara melalui falsafah Jawa yang disisipkan; dan kekhasannya menjadi lebih tampak dengan kehadiran punakawan, menjadi seperti yang dikenal sekarang ini. Kemudian, baik wayang orang maupun kulit, sejak Zaman dulu dikenal sebagai seni pertunjukan, yang mampu membawa pesan moral dan agama, baik di pedesaan maupun kota. Pada zaman dahulu belum banyak hiburan lain dari media audiovisual sehingga pertunjukan wayang dapat dianggap mewah dan spektakuler. Ketika pertunjukan ini masih jaya, juga tentu dianggap masih dapat mengikuti perubahan zaman dan masih mampu membuat daya tarik penontonnya. Dalam zaman modernisasi ini, pertunjukan wayang perlu membuka diri untuk memodifikasi dan menyesuaikan tanpa meninggalkan keasliannya. Misalnya durasi pertunjukan wayang orang dapat lebih singkat, menjadi sekitar 2 jam, sedangkan wayang kulit tidak harus semalam suntuk. Wayang orang dapat berkolaborasi dengan segmen masyarakat penggemarnya yang peduli, memasukkan unsur teknologi action dan lighting panggung yang menarik.

Pertunjukan Wayang Orang : Jabang Tetuko

Jabang Tetuko, an Immersive Cultural Experience pertunjukan Live (Live Show) yang meramu sinema, broadway, wayang kulit dan seni tari wayang orang dalam satu pertunjukan. Inilah inovasi dunia hiburan yang pertama kali diadakan di Indonesia. Menggunakan tiga layar lebar, dua panggung, musik orkestra, tata tari, serta tata laga gaya hollywood, terbentuk sebuah pertunjukan spektakuler yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Acara ini diselenggarakan pada tanggal 27-28 Mei 2011 di The Hall, Senayan City. Merupakan persembahan Djarum Apresiasi Budaya & kreasi pertama dari Saraswati Nusantara, sebuah badan usaha bimbingan Bpk. Adji Gunawan , Bpk. Aswin Hadisumarto dan sutradara Mirwan Suwarso dari PT. Destiny Films. Karya ini untuk memperkenalkan kembali kisah tokoh dunia wayang melalui inovasi dunia hiburan sehingga sesuai dengan selera ataupun pola hiburan masa kini. Menyajikan ulang kisah-kisah perwayangan sehingga tokoh-tokohnya dapat kembali dikenali dan menjadi idola yang digemari saat ini. Kami ingin menjadi bagian dari eksistensi budaya Indonesia, sebagai upaya untuk meningkatkan kecintaan masyarakat Indonesia terhadap kekayaan dan keragaman budaya. Agar generasi muda sekarang mengenal tentang cerita pewayangan dan bisa memaknai filosofi agung dalam karakter dan tokoh pewayangan. Semoga persembahan ini dapat menghibur masyarakat dan memberikan apresiasi sebesar-besarnya pada para seniman Indonesia ucap Renitasari, Program Director-Bakti Budaya, Djarum Foundation. Kami mengkombinasikan sajian film dan Live show dalam satu acara, dimana aksi live di panggung akan kerap berinteraksi dengan adegan film ataupun wayang kulit di layar lebar sehingga menghadirkan sebuah pengalaman yang pastinya sangat berbeda. Dilengkapi dengan tata musik sinematis yang dimainkan secara Live di lokasi, atmosfir pertunjukan diharapkan akan menjadi sangat hidup dan sangat menarik. ujar Mirwan Suwarso.

Jabang Tetuko, A Live Multimedia Show adalah sebuah pertunjukan spektakular, dimana untuk pertama kalinya di dunia, sebuah pertunjukan memadukan penyajian film layar lebar, wayang orang, wayang kulit dan orkestra untuk menuturkan sebuah cerita. Kisah Jabang Tetuko adalah sebuah kisah klasik perwayangan tentang lahirnya salah satu tokoh wayang ternama , Gatotkaca. Alkisah suatu hari raja raksasa Kala Pracona yang terpesona atas kecantikan Dewi Supraba berusaha mempersuntingnya. Ketika para dewa lalu menolak lamarannya, Kala Pracona pun murka dan mengerahkan ribuan pasukan raksasa untuk menggempur kahyangan. Kesaktian para dewa mampu menahan para raksasa, namun mereka pun tak berdaya menghadapi kekuatan sang raja raksasa, Kala Pracona. Para dewa terpaksa bertahan di dalam kahyangan, sampai mereka menemukan sosok seorang pahlawan yang dapat mengalahkan Kala Pracona dan pasukan raksasanya. Sosok yang diharapkan para dewa adalah seorang bayi yang baru saja lahir, putra Bimasena dari keluarga Pandawa. Bayi yang bernama Tetuko itu sedang mengalami nasib tragis dimana ari arinya tidak dapat dipisahkan dari tubuhnya. Para dewa menjanjikan salah satu senjata pusaka terkuat mereka, yaitu pusaka Konta untuk memotong ari ari bayi tersebut, dengan syarat seketika ari arinya putus, Tetuko harus segera dikirim ke kahyangan untuk melawan Kala Pracona. Berbeda dengan wayang orang konvensional, pada 'Jabang Tetuko' versi Mirwan Suwarso, para pemain memang tetap berdandan lengkap namun mereka sama sekali tidak menari. Mereka keluar-masuk panggung, dan bergerak dengan teatrikal. Iringan musiknya pun bukan gamelan, melainkan musik simfoni yang dikerjakan oleh musisi Deane Ogden. Layar sebesar layar bioskop menjadi background panggung, dan di situlah sesekali muncul adegan film yang sama dengan adegan yang sedang terjadi di panggung. Film itu dibuat Mirwan di Kebun Raya Bogor. Di kanan-kiri panggung masih ada layar lagi, dan di situlah unsur wayang kulit disisipkan, olahan Ki Dalang Sambhowo. Perhatian penonton menjadi terpecah-pecah, antara adegan di atas panggung yang dimainkan oleh para pemain wayang orang Bharata, dengan layar film dan layar wayang kulit. Namun, ketiganya sebenarnya saling melengkapi, dan saling menegaskan.

Yang paling menjadi persoalan sebenarnya justru dilenyapkannya unsur tari dari seni wayang orangnya, sehingga pertunjukan ini kehilangan potensi keindahannya. Emosi mungkin masih bisa dimainkan dari unsur musik simfoni. Belum lagi durasi yang terlalu pendek, membuat setiap adegan jadi terasa terburu-buru, dan kurang dramatik. Tapi, bagaimana pun, ini memang baru sebuah eksperimen, sebuah upaya awal, yang bertujuan mulia.

Penutup
Wayang adalah sebuah warisan kebudayaan Indonesia yang sangat berharga yang ditinggalkan oleh orang-orang terdahulu untuk diwariskan. Nilai-nilai yang terkandung di wayang sendiri sangatlah beragam, baik itu nilai estetika ataupun nilai etika yang tersirat ataupun tersurat. Perkembangan zaman menuntut beberapa hal untuk beradapatasi agar tidak habis dimakan oleh waktu. Wayang adalah salah satu hal yang bersifat fleksibel mengikuti perkembangan dari zaman itu sendiri. Seni pertunjukan wayang modern berkembang dengan cukup pesat. Banyak cara yang dilakukan agar seni pertunjukan wayang tetap diminati para penikmatnya. Dari mulai perkembangan cerita hingga perkembangan teknologi dalam pertunjukan. Seperti halnya yang terjadi pada pertunjukan Jabang Tetuko baru-baru ini, yang menggunakan kemajuan teknologi visual dalam pementasannya. Hal ini menunjukkan bahwa untuk tetap eksis, seni pertunjukan wayang orang harus selalu berkembang sesuai dengan perkembangan zaman sehingga tidak ditinggalkan oleh penggemarnya. Menggunakan perpaduan antara pertunjukan live dan sajian film dalam pertunjukan, diharapkan dapat mengundang para penikmat muda yang sangat jarang menonton pertunjukan wayang orang konvensional dengan alasan pertunjukan yang membosankan. Cara-cara kreatif dikembangkan agar pertunjukan wayang bisa diterima oleh masyarakat luas saat ini. Cara inovatif ini harus dikembangkan agar di masa yang akan datang warisan seni budaya pertunjukan wayang ini masih bisa ditonton dan juga dikembangkan lagi. Sudah menjadi sebuah keharusan bagi generasi masa kini untuk mampu melestarikan warisan budaya wayang ini dengan cara yang menarik sehingga bisa terus diterima di masyarakat. Selain itu pengajaran untuk generasi yang akan datang juga sangat

diperlukan agar nantinya muncul juga kesadaran untuk terus melestarikan warisan budaya Indonesia ini.

Referensi
http://wayang.wordpress.com/2010/03/06/perkembangan-seni-pewayangan/. Perkembangan Seni Pewayangan. (Diakses pada 24 November 2011) Darmoko. 2004. Seni gerak dalam pertunjukan wayang : tinjauan estetika. Jakarta : Universitas Indonesia. http://hot.detik.com/read/2011/05/27/111215/1648339/1059/jabang-tetuko-wayang-orangpadat-untuk-generasi-sinema. (Diakses pada 24 November 2011)

Anda mungkin juga menyukai