Anda di halaman 1dari 13

Wayang kulit merupakan salah satu kesenian tradisi yang tumbuh dan berkembang di

masyarakat Jawa. Lebih dari sekadar pertunjukan, wayang kulit dahulu digunakan sebagai
media untuk permenungan menuju roh spiritual para dewa. Konon, “wayang” berasal dari kata
“ma Hyang”, yang berarti menuju spiritualitas sang kuasa. Tapi, ada juga masyarakat yang
mengatakan “wayang” berasal dari tehnik pertunjukan yang mengandalkan bayangan
(bayang/wayang) di layar.

Wayang kulit diyakini sebagai embrio dari berbagai jenis wayang yang ada saat ini. Wayang
jenis ini terbuat dari lembaran kulit kerbau yang telah dikeringkan. Agar gerak wayang menjadi
dinamis, pada bagian siku-siku tubuhnya disambung menggunakan sekrup yang terbuat dari
tanduk kerbau.

Wayang kulit dimainkan langsung oleh narator yang disebut dalang. Dalang tidak dapat
diperankan oleh sembarang orang. Selain harus lihai memainkan wayang, sang dalang juga
harus mengetahui berbagai cerita epos pewayangan seperti Mahabrata dan Ramayana.
Dalang dahulu dinilai sebagai profesi yang luhur, karena orang yang menjadi dalang biasanya
adalah orang yang terpandang, berilmu, dan berbudi pekerti yang santun.

Sambil memainkan wayang, sang dalang diiringi musik yang bersumber dari alat musik
gamelan. Di sela-sela suara gamelan, dilantunkan syair-syair berbahasa Jawa yang
dinyanyikan oleh para pesinden yang umumnya adalah perempuan. Sebagai kesenian tradisi
yang bernilai magis, sesaji atau sesajen menjadi unsur yang wajib dalam setiap pertunjukan
wayang.

Sesajian berupa ayam kampung, kopi, nasi tumpeng, dan hasil bumi lainnya, serta tak lupa
asap dari pembakaran dupa selalu ada di setiap pementasan wayang. Tapi, karena banyak
yang menganggap sesajian tersebut merupakan suatu hal yang mubazir, belakangan ini
sesajian dalam pementasan wayang juga diperuntukkan bagi penonton dalam bentuk makan
bersama.

Wayang kulit merupakan kekayaan nusantara yang lahir dari budaya asli masyarakat
Indonesia yang mencintai kesenian. Setiap bagian dalam pementasan wayang mempunyai
simbol dan makna filosofis yang kuat. Apalagi dari segi isi, cerita pewayangan selalu
mengajarkan budi pekerti yang luhur, saling mencintai dan menghormati, sambil terkadang
diselipkan kritik sosial dan peran lucu lewat adegan goro-goro. Tidak salah jika UNESCO
mengakuinya sebagai warisan kekayaan budaya Indonesia  yang bernilai adiluhung

Wayang kulit (Wikipedia)

Dilansir jadiBerita dari berbagai sumber, ditinjau dari sejarah yang ada, asal usul wayang
dianggap telah hadir semenjak 1500 tahun sebelum Masehi. Wayang lahir dari para cendikia
nenek moyang suku Jawa di masa silam. Pada masa itu, wayang diperkirakan hanya terbuat
dari rerumputan yang diikat sehingga bentuknya masih sangat sederhana. Wayang dimainkan
dalam ritual pemujaan roh nenek moyang dan dalam upacara-upacara adat Jawa.

Pada periode selanjutnya, penggunaan bahan-bahan lain seperti kulit binatang buruan atau
kulit kayu mulai dikenal dalam pembuatan wayang. Adapun wayang kulit tertua yang pernah
ditemukan diperkirakan berasal dari abad ke-2 Masehi.
Wayang sendiri berasal dari sebuah kalimat yang berbunyi â??Ma Hyangâ?, artinya
berjalan menuju yang maha tinggi (disini bisa diartikan sebagai roh, Tuhan, ataupun Dewa).
Akan tetapi ada sebagian orang yang berpengertian bahwa kata wayang berasal dari bahasa
Jawa yang berarti bayangan, atau yang dalam bahasa Indonesia baku adalah bayang. Hipotesa
bahwa wayang berasal dari kata-kata bayang ini didapat dari bukti bahwa para penonton
dapat menyaksikan pertunjukkan wayang dengan hanya melihat bayangan yang digerakkan
oleh para dalang yang merangkap tugasnya sebagai narator.

Wayang kulit (Wikimedia)

Sementara dalang merupakan sebuah singkatan dari kata-kata ngudhal piwulang, dimana
ngudhal berarti menyebar luaskan atau membuka dan piwulang berarti pendidikan atau ilmu.
Hal ini menegaskan posisi dalang sebagai orang yang memiliki ilmu lebih dan
membagikannya kepada para penonton pertunjukkan wayang.

Catatan sejarah pertama tentang adanya pertunjukkan wayang mengacu pada sebuah prasasti
yang bisa dilacak berasal dari tahun 930, yang menyebutkan adanya sosok Galigi mawayang.
Saat itulah sampai sekarang, beberapa fitur teater boneka tradisional tetap ada. Galigi sendiri
merupakan seorang penampil yang sering dimintai untuk menggelar pertunjukkan ketika ada
acara atau upacara penting. Pada saat itu, ia biasanya membawakan sebuah cerita tentang
Bima, seorang ksatria dari kisah Mahabharata.

Penampilan yang dibawakan oleh Galigi tercatat dalam kakawin Arjunawiwaha yang dibuat
oleh Mpu Kanwa pada tahun 1035 yang mendiskripsikannya sebagai seorang yang cepat, dan
hanya berjarak satu wayang dari Jagatkarana. Kata jagatkarana merupakan sebuah ungkapan
untuk membandingkan kehidupan nyata kita dengan dunia perwayangan, dimana Jagatkarana
yang berarti penggerak dunia atau dalang terbesar hanyalah berjarak satu layar dari kita.

Perkembangan wayang terus terjadi. Cerita-cerita yang dimainkan pun kian berkembang.
Dalam pewayangan Jawa, yang terkenal adalah kisah Punakawan, yang terdiri dari Semar,
Petruk, Gareng dan Bagong. Adapun masuknya agama Hindu di Indonesia pun telah
menambah khasanah kisah-kisah yang dimainkan dalam pertunjukan wayang. Kisah
Mahabrata dan Ramayana merupakan 2 contoh kisah yang menjadi favorit pada zaman Hindu
Budha di masa itu. Kedua epik ini dinilai lebih menarik dan memiliki kesinambungan cerita
yang unik sehingga pada abad ke-10 hingga 15 Masehi, kedua kisah inilah justru yang
menjadi cerita utama dalam setiap pertunjukan wayang.

Kesukaan masyarakat Jawa pada seni pertunjukan wayang pada masa tersebut juga
berpengaruh terhadap proses penyebaran agama Islam di tanah Jawa. Sunan Kalijaga
misalnya, ketika beliau berdakwah, beliau akan menggelar pertunjukan wayang dan
memainkannya untuk mengundang banyak orang datang. Dalam pertunjukan itu, beliau
menyisipkan pesan moril dan dakwah islam secara perlahan agar masyarakat yang mayoritas
masih memeluk Hindu dan Budha itu tertarik untuk mengetahui Islam lebih dalam.

Dari perkembangannya, pertunjukan wayang juga mulai diiringi dengan segala perlengkapan
alat musik tradisional gamelan dan para sinden. Kedua pelengkap ini dihadirkan Sunan
Kalijaga untuk menambah semarak pertunjukan wayang sehingga lebih menarik untuk
ditonton. Pertunjukan wayang ini kemudian berkembang menjadi beberapa jenis, salah
satunya adalah wayang kulit.

Dalam sejarah asal usul kesenian wayang kulit, wayang kulit sendiri terbagi menjadi
beberapa jenis dan satu di antaranya adalah wayang kulit Gagrag Banyumasan. Untuk
wayang kulit jenis ini adalah sebuah gaya pedalangan yang juga dikenal dengan nama
pakeliran. Gaya ini dinilai sebagai cara untuk mempertahankan nilai, dimana perawatan dan
kualitas yang mereka tunjukkan di panggung selalu menunjukkan hal ini. Unsur-unsur yang
ada dalam pakeliran adalah: lakon, sabet (gerakan yang akan dilakukan oleh para wayang),
catur (narasi dan percakapan antara karakter), serta karawitan yang berarti musik.
Contoh lain dari pembagian jenis wayang kulit lainnya wayang kulit Banjar, yang sesuai
namanya berkembang di Banjar, Kalimantan Selatan. Masyarakat kerajaan Banjar awalnya
memang telah mengenal seni wayang kulit ini dimulai dari awal abad ke-14. Pernyataan ini
menjadi jauh lebih kuat ketika Majapahit akhirnya berhasil menduduki beberapa bagian
wilayah Kalimantan dan membawa misi untuk menyebarkan agama Hindu menggunakan
taktik untuk mengadakan pertunjukan wayang kulit.

Contoh lain lagi ialah wayang siam yang terkenal di Kelantan, Malaysia. Wayang Siam
sendiri merupakan sebuah pertunjukkan wayang one man show, dimana bahasa-bahasa yang
digunakan adalah bahasa Melayu. Dari awal, tidak ada bukti yang jelas tentang kemunculan
pertama wayang siam, jadi orang-orang berpendapat bahwa kesenian ini berasal dari Jawa,
mengikut simbol-simbol yang sangat bercorak Jawa.

Di masa sekarang ini, ketertarikan anak muda akan kesenian wayang kulit bisa dinilai sangat
rendah, mengingat banyaknya permainan berbasis teknologi yang bisa mereka mainkan.
Meski begitu, masih banyak juga orang tua yang dengan aktif mengajarkan anaknya untuk
mengapresiasi salah satu karya seni tradisional Indonesia ini, dan hal tersebutlah yang
dibutuhkan untuk memajukan wayang kulit di masa ini. (tom)

Sunan Kalijaga sangat toleran terhadap budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan
menjauh jika diserang pendiriannya. Maka Sunan mempunyai strategi untuk mendekati
secara perlahan. Sunan Kalijaga yakin jika Islam sudah dipahami, maka dengan sendirinya
kebiasaan lama akan hilang. Tidak mengherankan, ajaran Sunan Kalijaga sangat mudah
difahami dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan dan seni
suara suluk sebagai sarana dakwah. Beberapa lagu suluk ciptaannya yang popular adalah Ilir-
ilir dan Gundul-gundul Pacul. Dialah penggagas Sekatenan, Grebeg Maulud serta lakon
carangan Layang Kalimasada dan Petruk Dadi RatuSalah satu jalan dakwah yang ditempuh
Sunan Kalijaga ialah dengan menggunakan wayang. Seperti cerita pewayangan yang
disampaikan oleh Sunan Kalijaga melalui tokoh Yudistira, terdapat pusaka yang ampuh yaitu
jimat Kalimasada. Kalimasada dalam dunia Islam yaitu kalimat Syahadat yang menuntun
pada tingkat kesucianWayang kulit sebagai media dakwah yang senantiasa dipergunakan oleh
Sunan Kalijaga dalam kesempatan dakwahnya di berbagai daerah, dan ternyata wayang ini
merupakan media yang efektif serta dapat mendekatkan dan menarik simpati rakyat terhadap
agama. Kemampuan Sunan Kalijaga dalam mendalang (memainkan wayang) begitu
memikat, sehingga Sunan Kalijaga terkenal dengan nama samaran di berbagai daerah. Jika ia
mendalang di daerah Pajajaran ia dikenal dengan nama Ki Dalang Sidabrangri, di Tegal ia
dikenal dengan nama Ki Dalang Bengkok, dan daerah Purbalingga terkenal dengan nama Ki
Dalang Kumendung.[7]
Kelengkapan dalam Pagelaran Wayang Kulit
Seni memainkan wayang yang biasa disebut pagelaran, merupakan kombinasi harmonis dari
berbagai unsur kesenian. Pada pagelaran wayang kulit dituntut adanya kerjasama yang harmonis
baik unsur benda mati maupun benda hidup (manusia). Unsur benda mati yang dimaksud adalah
sarana dan alat yang digunakan dalam pagelaran wayang kulit. Sementara unsur benda hidup
(manusia) adalah orang-orang yang berperan penuh dalam seni pagelaran wayang kulit.

1.      Unsur Benda

Unsur benda yang ada dalam pagelaran wayang kulit adalah alat-alat yang berupa benda
tertentu yang digunakan dalam pagelaran wayang tersebut. Bahkan terdapat unsur materi yang
harus ada (karena tidak bisa digantikan). Unsur materi yang dimaksud antara lain: wayang yang
terbuat dari kulit lembu, kelir, debog (batang pohon pisang), seperangkat gamelan, keprak,kepyak,
kotak wayang, cempala, dan blencong. Seperangkat alat tersebut harus ada, karena alat-alat
tersebut tidak bisa digantikan. Akan tetapi pada perkembangan zaman ada modifikasi atau
pengubahan yang bibuat berdasar kebutuhan atau kreatifitas seniman, namun keberadaan wayang
dan kelir tidak bisa ditinggalkan.

a)   Wayang kulit Jawa tentunya terbuat dari kulit. Pada umumnya terbuat dari kulit sapi namun ada
juga yang dibuat dari kulit kambing. Proses pembuatannya pun cukup lama, mulai dari direndam lalu
di gosok terus dipentang supaya tidak kusut kemudia dibersihkan bulu-bulunya. Baru setelah itu
diberi pula untuk kemudian ditatah sesuai dengan gambar pola, dan terakhrir diwarnai. Jadilah
wayang hasil kreasi seni pahat dan seni lukis.

b)   Gamelan adalah seperangkat alat musik perkusi dan petik serta gesek yang mengiringi pagelaran
wayang. Jumlahnya sangat banyak. Macam gamelan antara lain bonang, gambang, gendang, gong,
siter, kempul, dll. Gamelan dimainkan secara bersama-sama membentuk alunan musik yang biasa
disebut gending. Inilah seni kreasi musik dalam pagelaran wayang.

c)    Kelir  adalah layar lebar yang digunakan pada pertunjukan wayang kulit. Pada rumah Joglo, kelir di
pasang pada bagian ‘pringgitan’. Bagian ini merupakan bagian peralihan dari pada ranah publik,
pendopo dengan ranah privat, ndalem  atau nggandok. Oleh karena itu penonton wayang kulit yang
tergolong keluarga, pada umumnya nonton di bagian dalam ndalem, yang sering dianggep nonton
mburi kelir. Nonton di belakang kelir ini memang benar-benar „wewayangan’,  atau bayang-bayang.
Lihat buku „Aspek Kebudayaan Jawa Dalam Pola Arsitektur Bangunan Domestik dan
Publik’  (Subanindyo, 2010). Dari sinilah pengaruh blencong  yang seolah-olah
„menghidupkan‟ wayang akan dapat terlihat (lihat: Blencong). Penonton juga tidak terganggu oleh
adanya gamelan. Bagi penonton publik, mereka menonton didepan kelir, sehingga selain dapat
melihat keindahan dari pada peraga wayang itu sendiri, oleh karena tatah  dan sungging-nya,
berikutsimpingannya, juga dapat menyaksikan deretan pesinden atau waranggana manakala ada.
Sayang, menyaksikan dari sisi ini selain tak dapat menyaksikan pengaruh blencong,dimana wayang
seolah-olah menjadi hidup, juga terkadang terhalang oleh gamelan,
terutama gayor  untuk kempuldan gong. 

d)   Debog adalah batang pisang yang digunakan untuk menancapkan wayang (simpingan). Di simping


artinmya dijajar. Baik yang dimainkan maupun yang yang dipamerkan (display),
digunakan ‘debog’. Barang tentu untuk „menancapkan‟ wayang yang di-display  juga ada aturan-
aturan tertentu. Mana wayang yang harus ada disebelah kanan ki dalang, mana pula yang harus
berada disebelah kirinya. Tugas ‘menyimping’  ini sesungguhnya tidak terbatas hanya memasang
wayang yang harus di-display,  akan tetapi juga mempersiapkan segala sesuatu keperluan dalang.
Misalnya menyediakan wayang-wayang yang akan digunakan (play) sesuai urutan adegannya,
menempatkan kotak wayang berikut keprak  dan kepyaknya, menyediakan cempala, memasang dan
menyalakan maupun mengatur sumbublencong,  lampu minyak yang khas digunakan dalam
pertunjukan wayang kulit, dan lain-lain. Sekali-sekali juga membantu pelayanan konsumsi (makan
minum, rokok) untuk dalang. Untuk penyiapan ini terkadang dibantu oleh anak-anak muda sebagai
salah satu media pendidikan untuk mengenali dan akhirnya mencintai wayang.

e)    Blencong  adalah lampu minyak (minyak kelapa – lenga klentik) yang khusus digunakan dalam
pertunjukan wayang kulit. Design-nya juga khusus, dengan cucuk  (paruh) dimana diujungnya akan
menyala api sepanjang malam. Oleh karenanya seorang penyimping harus mewaspadai pula
keadaan sumbu blencong  tersebut manakala meredup, atau bahkan mati sama sekali.Tak boleh pula
api itu berkobar terlampau besar. Karena akan mobat-mabit. Kalaupun lampu penerangan untuk
dalang pada masa sekarang sudah menggunakan listrik, sesungguhnya ada fungsi dasar yang hilang
atau dihilangkan dari penggunaan blencongtersebut. Oleh karena blencong  adalah lampu minyak,
maka apinya akan bergoyang manakala ada gerakan-gerakan wayang, lebih-lebih waktu perang,
yang digerakkan oleh ki dalang. Ada kesan bahwa ayunan api (kumlebeting agni) dari blencong  itu
seolah-olah memberikan nafas dan atau menghidupkan wayang itu sendiri. Hal yang tak terjadi
manakala penerangan menggunakan listrik atautromak (petromax). Saat ini blencongsudah jarang
digunakan. Dianggap kurang praktis dan merepotkan. 
f)     Kotak wayang berukuran 1,5 meter kali 2,5 meter ini akan merupakan peralatan dalang selain
sebagaimana sudah diutarakan merupakan tempat menyimpan wayang, juga sebagai‘keprak’,
sekaligus tempat menggantungkan ‘kepyak’. Dari kotak tempat menyimpan wayang ini juga akan
dikeluarkan wayang, baik yang akan ditampilkan maupun yang akan di-simping. Di-simping  artinya
dijajar, di-display  di kanan dan kiri layar (kelir) yang ditancapkan di debog  (batang pisang). Kotak
akan ditaruh dekat dalang, di sebelah kiri, dan ditentang yang dekat dalang ditempatkan  kepyak.
Sedang kepraknya justru bagian dari kotak yang dipukul dengan cempala. Keprak adalah
suara dhodhogansebagai tanda, disebut sasmita,  dengan jenis tertentu diwujudkan pemukulan pada
kotak dengan menggunakancempala. Sementara pada kepyak, berupa tiga atau empat lempengan
logam (kuningan/gangsa atau besi) yang digantungkan pada kotak, juga dipukul dengan cempala,
dalam bentuk tanda tertentu, juga sebagai sasmita atau tanda-tanda untuk – selain mengatur
perubahan adegan – merubah, mempercepat, memperlambat, sirep, menghentikan atau mengganti
lagu (gendhing). Terdengar nada yang berbeda antarakepyak  wayang kulit Jogya dan gaya
Surakarta. 

g)   Cempala merupakan piranti sekaligus ‘senjata’  bagi dalang untuk memberikan segala perintah, baik
kepada wiraniyaga, wiraswara  maupunwaranggana.  Bentuknya sangat artistik, bagaikan meru. Ia
bisa dipukulkan pada kotak, sebagai keprak, bisa pula ke kepyak, tiga/empat lempengan logam yang
digantungkan pada kotak wayang. Pada saat ke dua tangan dalang sedang memegang wayang – dan
ini yang unik – maka tugas untuk membunyikan keprak  maupun kepyak, dengan tetap
menggunakan cempala, dilakukan oleh kaki kanan ki dalang.Cempala  – dengan desain sedemikian
rupa itu – akan dijepit di antara ibu jari dan jari telunjuk berikutnya.
Menggunakan cempala  memerlukan latihan untuk memperoleh tingkatan ketrampilan tertentu.
Memukul kotak dengan cempala, Ki Dalang dapat memilih berbagai kemungkinan pembangun
suasana dengandhodhogan, seperti ada-ada, pathetan, kombangan. Dapat pula sebagai perintah
kepada karawitan untuk mengawali, merubah, sirep, gesangatau menghentikan gamelan. Juga dapat
digunakan untuk memberikan ilustrasi adegan, seperti suara kaki kuda, suara peperangan dan lain-
lain. Artinya, ketika ke dua belah tangan ki dalang sedang memainkan wayang,
maka keprak  atau kepyak  dapat juga berbunyi. Suatu keprigelan  yang jarang dapat dilihat oleh para
penonton wayang, karena biasanya ia sedang asyik mengikuti adegan yang ditampilkan
di kelir  (layar). Padahal untuk mencapai tingkat keprigelan tersebut, seorang dalang harus
melakukan latihan-latihan yang intensif. Betapa tidak, keempat anggota badan, tangan dan kaki
harus terus bergerak, sementara pikiran dan pandangan terfokus pada apa yang dilakukannya di
layar / kelir.

2.      Unsur Manusia
Dalang, penyimping, penabuh, dan sinden adalah orang-orang yang berperan penting dalam
kelancaran dan keberhasilan sebuah pagelaran wayang. Mereka adalah orang-orang yang memiliki
kemahiran khusus dalam bidangnya masing-masing. Berkat kemahiran khusus tersebut, terkadang
mereka tidak bisa digantikan oleh sembarang orang.

a)    Dalang  adalah sutradara, pemain, artis, serta tokoh sentral dari pada suatu pertunjukan wayang.
Tanpa dalang, maka pertunjukan wayang itu tidak ada. Apalagi untuk dalang pada pertunjukan
wayang kulit. Komunikasi antara dalang dengan unit pendukung, perlengkapan dan peralatan
pertunjukan wayang merupakan komunikasi yang unik. Melalui segenap indera yang dimilikinya, ia
berkomunikasi dengan kompleksitas orang dan peralatan yang lazim digunakan dalam suatu
pertunjukan wayang. Tanpa suatu skenario yang dipersiapkan terlebih dahulu, namun wayang tampil
secara spontan, kompak dan tidak pernah mengalami ‘out of order’,  semalam suntuk. Sungguh suatu
bentuk teater yang „aneh‟ karena meskipun tanpa suatu skenario - padahal dalang dapat memilih
beratus lakon atau cerita baku (babon-pakem), carangan, anggitan (sanggit) – tontonan dapat
berjalan mulus dari jejeransampai tancep kayon. 

b)   Penyimping adalah orang yang membantu dalang dalam menyiapkan wayang yang di jajar
(disimping) padadebog (simpingan). Tugas ‘menyimping’ini sesungguhnya tidak terbatas hanya
memasang wayang yang harus di-display,  akan tetapi juga mempersiapkan segala sesuatu keperluan
dalang. Misalnya menyediakan wayang-wayang yang akan digunakan (play) sesuai urutan
adegannya, menempatkan kotak wayang berikut keprak  dan kepyaknya, menyediakan cempala,
memasang dan menyalakan maupun mengatur sumbublencong,  lampu minyak yang khas digunakan
dalam pertunjukan wayang kulit, dan lain-lain. Sekali-sekali juga membantu pelayanan konsumsi
(makan minum, rokok) untuk dalang. Untuk penyiapan ini terkadang dibantu oleh anak-anak muda
sebagai salah satu media pendidikan untuk mengenali dan akhirnya mencintai wayang.

c)    Panjak adalah orang yang bertugas memainkan gamelan. Orang-orang yang bertugas sebagai
penabuh gamelan harus mempunyai kemahiran khusus dalam memainkan lagu (gendhing) sesuai
dengan permintaan si dalang. Permintaan si dalang tentunya tidak verbalistik, namun penabuh
gamelan diharuskan memahami isi cerita/lakon wayang dan gendhing yang dimainkan hendaknya
diselaraskan dengan lakon cerita wayang. Hal inilah menuntut ketajaman intuisi bagi penabuh
gamelan dalam pagelaran wayang, karena dalam pagelaran wayang tidak disediakan notasi musik
dalam memainkan gamelan. Semuanya menggunakan intuisi seniman.
d)   Waranggana  adalah penyanyi wanita dalam seni karawitan yang dimainkan dalam pagelaran
wayang kulit. Lazim juga disebut pesinden. Penyanyi ini selain harus mempunyai kemahiran dalam
menyanyi dengan suara yang merdu, namun juga ketahanan fisik yang prima. Hal ini diperlukan
karena biasanya pagelaran wayang kulit itu dilaksanakan semalam suntuk. Tentu harus mempunyai
fisik yang sehat dan kuat untuk melantunkan lagu-lagu jawa serta menahan kantuk mulai senja
hingga pagi hari.

Pembuatan
Wayang kulit dibuat dari bahan kulit kerbau yang sudah diproses menjadi kulit
lembaran, perbuah wayang membutuhkan sekitar ukuran 50 x 30 cm kulit
lembaran yang kemudian dipahat dengan peralatan yang dipergunakan yaitu besi
berujung runcing berbahan dari baja yang berkualitas patut. Besi baja ini dibuat
terlebih dahulu dalam beragam bangun dan ukuran, tidak sewenang-wenang yang
runcing, pipih, kecil, agung dan bangun lainnya yang masing-masing hadir
fungsinya berbeda-beda.
Namun pada dasarnya, untuk menata atau membuat beragam bangun lubang
ukiran yang sengaja dibuat hingga bocor. Kemudian dilaksanakan pemasangan
bagian-bagian tubuh seperti tangan, pada tangan tidak sewenang-wenang dua
sambungan, lengan anggota atas dan siku, agenda menyambungnya dengan
sekrup kecil yang terbuat dari tanduk kerbau atau sapi. Tangkai yang fungsinya
untuk menggerak anggota lengan yang berwarna kehitaman juga terbuat berasal
dari bahan tanduk kerbau dan warna keemasannya umumnya dengan
menggunakan prada yaitu kertas warna emas yang ditempel atau dapat juga
dengan dibron, dicat dengan bubuk yang dicairkan. Wayang yang menggunakan
prada, akhirnya jauh lebih patut, warnanya dapat tahan lebih lama dibandingkan
dengan yang bront.
Jenis-jenis Wayang Kulit Berdasar Daerah

Wayang kulit dilihat pada sisi bayangannya.

Wayang Kulit Gagrag YogyakartaX


Wayang Kulit Gagrag Surakarta
Wayang Kulit Gagrag BanyumasanX
Wayang Kulit Gagrag Jawa Timuran
Wayang Bali
Wayang Kulit Banjar (Kalimantan Selatan)X
Wayang Palembang (Sumatera Selatan)
Wayang Betawi (Jakarta)
Wayang Cirebon (Jawa Barat)
Wayang Madura (sudah punah)
Wayang SiamX
Dalang Wayang Kulit
Dalang-dalang wayang kulit yang mencapai puncak kejayaan dan melegenda
selang lain almarhum Ki Tristuti Rachmadi (Solo), almarhum Ki Narto Sabdo
(Semarang, gaya Solo), almarhum Ki Surono (Banjarnegara, gaya Banyumas), Ki
Timbul Hadi Prayitno (Yogya), almarhum Ki Hadi Sugito (Kulonprogo,
Jogjakarta),Ki Soeparman (gaya Yogya), Ki Anom Suroto (gaya Solo), Ki Manteb
Sudarsono (gaya Solo), Ki Enthus Susmono, Ki Agus Wiranto. Sedangkan
Pesinden yang legendaris yaitu almarhumah Nyi Tjondrolukito.
Lihat pula
Daftar Tokoh WayangX
KetoprakX
LudrukX
Wayang golekX
Wayang orangX
Dalang yaitu anggota terpenting dalam tontonan wayang kulit (wayang purwa).
Dalam terminologi bahasa jawa, dalang (halang) berasal dari akronim
ngudhalPiwulang. Ngudhal berarti membongkar atau menyebar luaskan dan
piwulang berarti nasihat, bagian mendidik, ilmu, informasi. Aci keberadaan
dalang dalam tontonan wayang kulit bukan saja pada aspek tontonan (hiburan)
semata, tetapi juga tuntunan. Oleh karena itu, disamping menguasai teknik
pedalangan sebagai aspek hiburan, dalang haruslah seorang yang berpengetahuan
luas dan mampu memberikan pengaruh.
Unsur – Unsur Yang Terkandung Pada Wayang

Wayang memiliki unsur-unsur kandungan yang membuatnya menjadi salah satu kesenian yang
patut untuk dilestarikan dan diharuskan untuk tetap ada. Apa saja unsur-unsur tersebut, berikut
penjelasannya.

1. Wayang Memiliki Unsur Yang Bersifat “Momot Kamot”.


Wayang merupakan media pertunjukan yang dapat memuat segala aspek yang ada dalam
kehidupan manusia (momot kamot). Pemikiran manusia, baik hal itu terkait dengan ideologi,
politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum maupun pertahanan keamanan, semua hal tersebut
dapat termuat di dalam wayang.
2. Wayang Mengandung Unsur Tatanan, Tuntunan, dan Tontonan.
Di dalam wayang dikandung tatanan, yaitu merupakan suatu norma atau konvensi yang
mengandung etika (filsafat moral). Norma atau konvensi tersebut telah disepakati dan dijadikan
pedoman bagi para seniman dalang. Di dalam pertunjukan wayang dikandung aturan main
beserta tata cara mendalang dan bagaimana memainkan wayang, secara turun temurun dan
mentradisi, lama kelamaan menjadi sesuatu yang disepakati sebagai pedoman (konvensi).
3. Wayang Merupakan Teater Total.
Pertunjukan wayang dapat dipandang sebagai sebuah pertunjukan teater yang total, yang
mana hal tersebut artinya menyajikan aspek-aspek seni secara total (seni drama, seni
musik, seni gerak tari, seni sastra, dan seni rupa). Dialog antar tokoh (antawecana),
ekspresi narasi (janturan, pocapan, carita), suluk, kombangan, dhodhogan, kepyakan,
adalah unsur-unsur penting dalam hal pendramaan.

Currug silawe
Tempat Wisata Curug Silawe memang belum terlalu dikenal banyak orang namun soal
keindahan air terjun ini tak kalah dengan beberapa air terjun lainnya seperti Kedung Kayang
atau Curug Sewu. Magelang yang terletak di dataran tinggi dan dikelilingi beberapa
pegunungan menyimpan pesona keindahan air terjun yang menakjubkan.

Curug Silawe, merupakan air terjun yang memiliki ketinggian lebih dari 40 meter. Air terjun
Curug Silawe terletak di sebelah selatan lereng Gunung Sumbing, di Dataran Tinggi Dieng
dengan ketinggian 500 mdpl. Curug yang berketinggian sekitar 60 m tersebut terdiri dari dua
aliran. Yang pertama berdebit air besar, dan yang kedua berdebit kecil.

Nama Curug Silawe seakan-akan seperti Lawe (sarang laba-laba dalam bahasa Jawa).
Bagian bawah dari curug ini terdapat semacam kolam yang terbentuk akibat hempasan air
dari atas tebing. Di kolam ini pengunjung dapat bermain air karena memang tidak terlalu
dalam.
Pemandangan Curug Silawe cukup menarik dilihat dari atas tebing meskipun sedikit
terhalang oleh rerimbunan pepohonan. Jalan setapak dan anak tangga sudah dibangun
hampir menyeluruh di kawasan wisata ini sehingga mempermudah wisatawan berkeliling
dari ujung ke ujung. sepertinya masyarakat sekitar yang mengelola obyek wisata ini cukup
serius mengembangkan potensi wisata di daerahnya. Udara sejuk bercampur uap air yang
beterbangan membuat kami betah berlama-lama di kawasan air terjun. Pemandangan Curug
Silawe dari bawah juga terlihat menarik karena bisa melihat tebing-tebing yang mengelilingi
curug tanpa tertutup pepohonan.

Bunyi jatuhan air terjun membuat suasana terasa damai dan nyaman untuk bersantai. Air
yang bersih dan jernih membuat beberapa orang menyempatkan diri untuk mandi dan
bermain air. Lingkungan Curug Silawe yang masih bersih dari sampah sebaiknya
dipertahankan dan dijaga agar lingkungan tetap lestari. Tidak jauh dari Curug Silawe
terdapat Curug Sigong dengan akses jalan sudah dibangun jalan setapak dari semen cor.
Pemandangan Curug Sigong tidak kalah indahnya karena air terjun ke bawah dari sela-sela
tirai batu yang berbentuk persegi.

Curug Silawe cukup menarik untuk dikunjungi karena masih alami dan dikelingi oleh
pemandangan alam lereng pegunungan yang cukup indah. Keberadaan curug lain yang
lokasinya berdekatan dengan Curug Silawe membuat obyek wisata ini disebut dengan Curug
Kembar. Tidak jauh dari lokasi Curug Silawe telah tersedia lokasi perkemahan yang saat ini
sudah mulai banyak dilirik untuk kegiatan berkemah dan outbound. Sarana dan prasarana
transportasi masih menjadi masalah klasik yang dihadapi. Akses jalan yang sulit dan tidak
ada transportasi umum menjadi kendala utama para wisatawan untuk berkunjung ke obyek
wisata ini. Namun bagi yang menyukai tantangan dan alam liar pasti akan menyambangi
tempat ini sekedar bersantai menikmati alam.

sal Usul

Sutopati berasal dari dua kata, yaitu suto dan pati. Suto berarti anak dan pati berarti
raja, sehingga Sutopati berarti anak raja. Kata-kata ini berasal dari cerita antara dua Kyai
yang bernama Simbah Kyai Dongkar dan Kyai Angggo Kerti. Namun, Kyai Dongkar tidak
memiliki anak dan Kyai Anggo Kerti memiliki dua anak. Kemudian kedua anaknya dianggap
seperti anak dari dua Kyai yang berkuasa tersebut. Daerah kekuasaannya inilah yang
kemudian bernama Sutopati.

Desa Sutopati adalah desa wisata alam yang terletak di sebelah barat laut di
kabupaten Magelang, tepatnya di Kecamatan Kajoran. Desa ini berbatasan langsung
dengan Kabupaten Wonosobo, Kecamatan Kaliangkrik dan dua desa lain yang termasuk di
Kecamatan Kajoran. Desa yang memiliki luas wilayah 1.304.149 Ha terdiri atas 13 dusun. Di
dalam wilayah yang seluas ini terdapat berbagai memacam keindahan alam dan budaya
yang jarang bisa ditemukan di kota-kota besar.

Keindahan alamnya bisa memanjakan mata dan pikiran. Jika Anda mendatanginya,
pikiran dapat menjadi segar kembali. Suasana pegunungan dan udara yang sejuk membuat
lupa terhadap penat dan hiruk pikuk perkotaan.

Aliran air terjun serta suara-suara alami yang ada di sekitarnya akan membuat Anda
kembali teringat pada kebesaran-Nya. Tempat ini bernama Curug Silawe yang berada di
barat desa. Sebelum mencapai tempat tersebut, Anda harus melewati hamparan sawah,
kebun dan bukit-bukit yang tak kalah indahnya. Selain itu juga, masyarakat di sekitarnya
begitu ramah sehingga menguatkan kembali suasana pedesaan.

Pedesaan biasanya masih menyimpan mitos di tempat-tempat tertentu, begitu juga


dengan tempat ini. Masih banyak mitos yang dipercaya oleh warga dan dapat diceritakan
kembali. Termasuk pada beberapa kebudayaan yang kemudian ditampilkan dalam
beberapa tari-tarian khas yang dimiliki oleh desa ini. Kesenian-kesenian tersebut seperti
lengger, topeng ireng, tari sulasih, sontoloyo, badut dan masih banyak lagi yang lain. Jadi,
tidak akan menemukan kerugian jika anda mendatangi tempat ini.

Anda mungkin juga menyukai