Anda di halaman 1dari 12

Ilmu Budaya Dasar

Wayang Kulit

Nama

: Rachmadinna Poetri Priyandini

NPM

: 58414682

Kelas

: 1 IA 23

UNIVERSITAS GUNADARMA
2015

Wayang Kulit

A. Pengenalan Wayang Kulit


Wayang kulit adalah seni tradisional Indonesia
yang terutama berkembang di Jawa. Wayang berasal
dari kata 'Ma Hyang' yang artinya menuju kepada roh
spiritual, dewa, atau Tuhan Yang Maha Esa. Ada juga
yang mengartikan wayang adalah istilah bahasa Jawa
yang bermakna 'bayangan', hal ini disebabkan karena
penonton juga bisa menonton wayang dari belakang
kelir atau hanya bayangannya saja.
Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang
yang juga menjadi narator dialog tokoh-tokoh wayang,
dengan diiringi oleh musik gamelan yang dimainkan
sekelompok nayaga dan tembang yang dinyanyikan
oleh para pesinden. Dalang memainkan wayang kulit di
balik kelir, yaitu layar yang terbuat dari kain putih, sementara di belakangnya disorotkan
lampu listrik atau lampu minyak (blencong), sehingga para penonton yang berada di sisi lain
dari layar dapat melihat bayangan wayang yang jatuh ke kelir. Untuk dapat memahami cerita
wayang (lakon), penonton harus memiliki pengetahuan akan tokoh-tokoh wayang yang
bayangannya tampil di layar.
Secara umum wayang mengambil cerita dari naskah Mahabharata dan Ramayana,
tetapi tak dibatasi hanya dengan pakem (standard) tersebut, ki dalang bisa juga memainkan
lakon carangan (gubahan). Beberapa cerita diambil dari cerita Panji.
Pertunjukan wayang kulit telah diakui oleh UNESCO pada tanggal 7 November 2003,
sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang
indah dan berharga ( Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity ). Wayang
kulit lebih populer di Jawa bagian tengah dan timur, sedangkan wayang golek lebih sering
dimainkan di Jawa Barat.

B. Asal-Usul Wayang Kulit


Mengenai asal-usul wayang ini, di dunia ada dua pendapat. Pertama, pendapat bahwa
wayang berasal dan lahir pertama kali di Pulau Jawa, tepatnya di Jawa Timur. Pendapat ini
selain dianut dan dikemukakan oleh para peneliti dan ahli-ahli bangsa Indonesia, juga
merupakan hasil penelitian sarjana-sarjana Barat. Di antara para sarjana Barat yang termasuk
kelompok

ini,

adalah

Hazeau,

Brandes,

Kats,

Rentse,

dan

Kruyt.

Alasan mereka cukup kuat. Di antaranya, bahwa seni wayang masih amat erat
kaitannya dengan keadaan sosiokultural dan religi bangsa Indonesia, khususnya orang Jawa.
Panakawan, tokoh terpenting dalam pewayangan, yakni Semar, Gareng, Petruk, Bagong,
hanya ada dalam pewayangan Indonesia, dan tidak di negara lain. Selain itu, nama dan istilah
teknis pewayangan, semuanya berasal dari bahasa Jawa (Kuna), dan bukan bahasa lain.
Sementara itu, pendapat kedua menduga wayang berasal dari India, yang dibawa
bersama dengan agama Hindu ke Indonesia. Mereka antara lain adalah Pischel, Hidding,
Krom, Poensen, Goslings, dan Rassers. Sebagian besar kelompok kedua ini adalah sarjana
Inggris,

negeri

Eropa

yang

pernah

menjajah

India.

Namun, sejak tahun 1950-an, buku-buku pewayangan seolah sudah sepakat bahwa wayang
memang berasal dari Pulau Jawa, dan sama sekali tidak diimpor dari negara lain.
Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di Indonesia setidaknya pada zaman
pemerintahan Prabu Airlangga, raja Kahuripan (976 -1012), yakni ketika kerajaan di Jawa
Timur itu sedang makmur-makmurnya. Karya sastra yang menjadi bahan cerita wayang
sudah ditulis oleh para pujangga Indonesia, sejak abad X. Antara lain, naskah sastra Kitab
Ramayana Kakawin berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan raja Dyah
Balitung (989-910), yang merupakan gubahan dari Kitab Ramayana karangan pujangga India,
Walmiki. Selanjutnya, para pujangga Jawa tidak lagi hanya menerjemahkan Ramayana dan
Mahabarata ke bahasa Jawa Kuna, tetapi menggubahnya dan menceritakan kembali dengan
memasukkan falsafah Jawa kedalamnya. Contohnya, karya Empu Kanwa Arjunawiwaha
Kakawin, yang merupakan gubahan yang berinduk pada Kitab Mahabarata. Gubahan lain
yang lebih nyata bedanya derigan cerita asli versi India, adalah Baratayuda Kakawin karya
Empu Sedah dan Empu Panuluh. Karya agung ini dikerjakan pada masa pemerintahan Prabu
Jayabaya,

raja

Kediri

(1130

1160).

Wayang sebagai suatu pergelaran dan tontonan pun sudah dimulai ada sejak zaman
pemerintahan raja Airlangga. Beberapa prasasti yang dibuat pada masa itu antara lain sudah
menyebutkan kata-kata "mawayang" dan `aringgit' yang maksudnya adalah pertunjukan
wayang.
Mengenai saat kelahiran budaya wayang, Ir. Sri Mulyono dalam bukunya Simbolisme
dan Mistikisme dalam Wayang (1979), memperkirakan wayang sudah ada sejak zaman
neolithikum, yakni kira-kira 1.500 tahun sebelum Masehi. Pendapatnya itu didasarkan atas
tulisan Robert von Heine-Geldern Ph. D, Prehistoric Research in the Netherland Indie (1945)
dan

tulisan

Prof.

K.A.H.

Hidding

di

Ensiklopedia

Indonesia

halaman

987.

Kata `wayang' diduga berasal dari kata `wewayangan', yang artinya bayangan.
Dugaan ini sesuai dengan kenyataan pada pergelaran Wayang Kulit yang menggunakan kelir,
secarik kain, sebagai pembatas antara dalang yang memainkan wayang, dan penonton di balik
kelir itu. Penonton hanya menyaksikan gerakan-gerakan wayang melalui bayangan yang
jatuh pada kelir. Pada masa itu pergelaran wayang hanya diiringi oleh seperangkat gamelan
sederhana yang terdiri atas saron, todung (sejenis seruling), dan kemanak. Jenis gamelan lain
dan

pesinden

pada

masa

itu

diduga

belum

ada.

Untuk lebih menjawakan budaya wayang, sejak awal zaman Kerajaan Majapahit
diperkenalkan cerita wayang lain yang tidak berinduk pada Kitab Ramayana dan Mahabarata.
Sejak saat itulah ceritacerita Panji; yakni cerita tentang leluhur raja-raja Majapahit, mulai
diperkenalkan sebagai salah satu bentuk wayang yang lain. Cerita Panji ini kemudian lebih
banyak digunakan untuk pertunjukan Wayang Beber. Tradisi menjawakan cerita wayang juga
diteruskan oleh beberapa ulama Islam, di antaranya oleh para Wali Sanga. Mereka mulai
mewayangkan

kisah

para

raja

Majapahit,

di

antaranya

cerita

Damarwulan.

Masuknya agama Islam ke Indonesia sejak abad ke-15 juga memberi pengaruh besar
pada budaya wayang, terutama pada konsep religi dari falsafah wayang itu. Pada awal abad
ke-15, yakni zaman Kerajaan Demak, mulai digunakan lampu minyak berbentuk khusus yang
disebut

blencong

pada

pergelaran

Wayang

Kulit.

Sejak zaman Kartasura, penggubahan cerita wayang yang berinduk pada Ramayana
dan mahabarata makin jauh dari aslinya. Sejak zaman itulah masyarakat penggemar wayang
mengenal silsilah tokoh wayang, termasuk tokoh dewanya, yang berawal dari Nabi Adam.
Sisilah itu terus berlanjut hingga sampai pada raja-raja di Pulau Jawa. Dan selanjutnya, mulai
dikenal pula adanya cerita wayang pakem. yang sesuai standar cerita, dan cerita wayang
carangan yang diluar garis standar. Selain itu masih ada lagi yang disebut lakon sempalan,
yang

sudah

terlalu

jauh

keluar

dari

cerita

pakem.

Memang, karena begitu kuatnya seni wayang berakar dalam budaya bangsa Indonesia,
sehingga terjadilah beberapa kerancuan antara cerita wayang, legenda, dan sejarah. Jika orang
India beranggapan bahwa kisah Mahabarata serta Ramayana benar-benar terjadi di negerinya,
orang Jawa pun menganggap kisah pewayangan benar-benar pernah terjadi di pulau Jawa.
Dan di wilayah Kulonprogo sendiri wayang masih sangatlah diminati oleh semua
kalangan. Bukan hanya oleh orang tua saja, tapi juga anak remaja bahkan anak kecil juga
telah biasa melihat pertunjukan wayang. Disamping itu wayang juga biasa di gunakan dalam
acara-acara tertentu di daerah kulonprogo ini, baik di wilayah kota Wates ataupun di daerah
pelosok di Kulonprogo.

C. Periodisasi
Periodisasi perkembangan budaya wayang juga merupakan bahasa yang menarik.
Bermula zaman kuno ketika nenek moyang bangsa Indonesia masih menganut animisme dan
dinamisme. Dalam kepercayaan animisme dan dinamisme ini diyakini roh orang yang sudah
meninggal masih tetap hidup, dan semua benda itu bernyawa serta memiliki kekuatan. Rohroh itu bisa bersemayam di kayu-kayu besar, batu, sungai, gunung dan lain-lain. Paduan dari
animisme dan dinamisme ini menempatkan roh nenek moyang yang dulunya berkuasa, tetap
mempunyai kuasa. Mereka terus dipuja dan dimintai pertolongan. Untuk memuja roh nenek
moyang ini, selain melakukan ritual tertentu mereka mewujudkannya dalam bentuk gambar
dan patung Roh nenek moyang yang dipuja ini disebut "hyang" atau "dahyang".
Orang bisa berhubungan dengan para hyang ini untuk minta pertolongan dan

perlindungan, melalui seorang medium yang disebut syaman. Ritual pemujaan nenek
moyang, hyang dan syaman inilah yang merupakan asal mula pertunjukan wayang. Hyang
menjadi wayang, ritual kepercayaan itu menjadi jalannya pentas dan syaman menjadi dalang.
Sedangkan ceritanya adalah petualangan dan pengalaman nenek moyang. Bahasa yang
digunakan adalah bahasa Jawa Asli yang hingga sekarang masih dipakai. Jadi, wayang itu
berasal dari ritual kepercayaan nenek moyang bangsa Indonesia di sekitar tahun l500 SM.
Berasal dari zaman animisme, wayang terus mengikuti perjalanan sejarah bangsa
sampai pada masuknya agama Hindu di Indonesia sekitar abad keenam. Bangsa Indonesia
mulai berseniuhan dengan peradaban tinggi dan berhasil membangun kerajaan-kerajaan
seperti Kutai, Tarumanegara, bahkan Sriwijaya yang besar dan jaya. Pada masa itu wayang
pun berkembang pesat, mendapat pondasi yang kokoh sebagai suatu karya seni yang bermutu
tinggi.
Pertunjukan roh nenek moyang itu kemudian dikembangkan dengan cerita yang lebih
berbobot, Ramayana dan Mahabarata. Selama abad X hingga XV, wayang berkembang dalam
rangka ritual agama dan pendidikan kepada masyarakat. Pada masa ini telah mulai ditulis
berbagai cerita tentang wayang. Semasa kerajaan Kediri, Singasari dan Majapahit
kepustakaan wayang mencapai puncaknya seperti tercatat pada prasasti di candi-candi, karya
sastra yang ditulis oleh Empu Sendok, Empu Sedah, Empu Panuluh, Empu Tantular dan lainlain. Karya sastra wayang yang terkenal dari zaman Hindu itu antara lain Baratayuda, Arjuna
Wiwaha, Sudamala, sedangkan pergelaran wayang sudah bagus, diperkaya lagi dengan
penciptaan peraga wayang terbuat dari kulit yang dipahat, diiringi gamelan dalam tatanan
pentas yang bagus dengan cerita Ramayana dan Mahabarata. Pergelaran wayang mencapai
mutu seni yang tinggi sampai sampai digambarkan "Hannonton ringgit menangis esekel",
tontonan wayang sangat mengharukan.

D. Pembuatan Wayang Kulit


Wayang kulit dibuat dari bahan kulit kerbau yang sudah diproses menjadi kulit
lembaran, perbuah wayang membutuhkan sekitar ukuran 50 x 30 cm kulit lembaran yang
kemudian dipahat dengan peralatan yang digunakan adalah besi berujung runcing berbahan

dari baja yang berkualitas baik. Besi baja ini dibuat terlebih dahulu dalam berbagai bentuk
dan ukuran, ada yang runcing, pipih, kecil, besar dan bentuk lainnya yang masing-masing
mempunyai fungsinya berbeda-beda.
Namun pada dasarnya, untuk menata atau membuat berbagai bentuk lubang ukiran
yang sengaja dibuat hingga berlubang. Selanjutnya dilakukan pemasangan bagian-bagian
tubuh seperti tangan, pada tangan ada dua sambungan, lengan bagian atas dan siku, cara
menyambungnya dengan sekrup kecil yang terbuat dari tanduk kerbau atau sapi. Tangkai
yang fungsinya untuk menggerak bagian lengan yang berwarna kehitaman juga terbuat
berasal dari bahan tanduk kerbau dan warna keemasannya umumnya dengan menggunakan
prada yaitu kertas warna emas yang ditempel atau bisa juga dengan dibron, dicat dengan
bubuk yang dicairkan. Wayang yang menggunakan prada, hasilnya jauh lebih baik, warnanya
bisa tahan lebih lama dibandingkan dengan yang bront.[3]

E. Jenis Wayang Kulit


Jenis-jenis wayang kulit berdasarkan daerahnya :

Wayang Kulit Cengkok Kedu

Wayang Kulit Gagrag Yogyakarta

Wayang Kulit Gagrag Surakarta

Wayang Kulit Gagrag Banyumasan

Wayang Kulit Gagrag Jawa Timuran

Wayang Bali

Wayang Kulit Banjar (Kalimantan Selatan)

Wayang Palembang (Sumatera Selatan)

Wayang Betawi (Jakarta)

Wayang Kulit Cirebon (Jawa Barat)

Wayang Madura (sudah punah)

Wayang Siam

F. Dalang Wayang Kulit


Dalang adalah bagian terpenting dalam pertunjukan wayang kulit (wayang purwa).
Dalam terminologi bahasa jawa, dalang (halang) berasal dari akronim ngudhal Piwulang.
Ngudhal artinya membongkar atau menyebar luaskan dan piwulang artinya ajaran,
pendidikan, ilmu, informasi. Jadi keberadaan dalang dalam pertunjukan wayang kulit bukan
saja pada aspek tontonan (hiburan) semata, tetapi juga tuntunan. Oleh karena itu, disamping
menguasai teknik pedalangan sebagai aspek hiburan, dalang haruslah seorang yang
berpengetahuan luas dan mampu memberikan pengaruh.
Dalang-dalang wayang kulit yang mencapai puncak kejayaan dan melegenda antara
lain almarhum Ki Tristuti Rachmadi (Solo), almarhum Ki Narto Sabdo (Semarang, gaya
Solo), almarhum Ki Surono (Banjarnegara, gaya Banyumas), almarhum Ki Timbul Hadi
Prayitno (Yogya), almarhum Ki Hadi Sugito (Kulonprogo, Jogjakarta),Ki Soeparman (gaya
Yogya), Ki Anom Suroto (gaya Solo), Ki Manteb Sudarsono (gaya Solo), Ki Enthus
Susmono, Ki Agus Wiranto, almarhum Ki Suleman (gaya Jawa Timur). Sedangkan Pesinden
yang legendaris adalah almarhumah Nyi Tjondrolukito.

G. Pertunjukam Wayang Kulit


Pagelaran wayang kulit dimainkan oleh seorang yang kiranya bisa disebut penghibur
publik terhebat di dunia. Bagaimana tidak, selama semalam suntuk, sang dalang memainkan
seluruh karakter aktor wayang kulit yang merupakan orang-orangan berbahan kulit kerbau
dengan dihias motif hasil kerajinan tatah sungging (ukir kulit). Ia harus mengubah karakter
suara, berganti intonasi, mengeluarkan guyonan dan bahkan menyanyi. Untuk menghidupkan

suasana, dalang dibantu oleh musisi yang memainkan gamelan dan para sinden yang
menyanyikan lagu-lagu Jawa.
Tokoh-tokoh dalam wayang keseluruhannya berjumlah ratusan. Orang-orangan yang
sedang tak dimainkan diletakkan dalam batang pisang yang ada di dekat sang dalang. Saat
dimainkan, orang-orangan akan tampak sebagai bayangan di layar putih yang ada di depan
sang dalang. Bayangan itu bisa tercipta karena setiap pertunjukan wayang memakai lampu
minyak sebagai pencahayaan yang membantu pemantulan orang-orangan yang sedang
dimainkan.
Setiap pagelaran wayang menghadirkan kisah atau lakon yang berbeda. Ragam lakon
terbagi menjadi 4 kategori yaitu lakon pakem, lakon carangan, lakon gubahan dan lakon
karangan. Lakon pakem memiliki cerita yang seluruhnya bersumber pada perpustakaan
wayang sedangkan pada lakon carangan hanya garis besarnya saja yang bersumber pada
perpustakaan wayang. Lakon gubahan tidak bersumber pada cerita pewayangan tetapi
memakai tempat-tempat yang sesuai pada perpustakaan wayang, sedangkan lakon karangan
sepenuhnya bersifat lepas.
Cerita wayang bersumber pada beberapa kitab tua misalnya Ramayana, Mahabharata,
Pustaka Raja Purwa dan Purwakanda. Kini, juga terdapat buku-buku yang memuat lakon
gubahan dan karangan yang selama ratusan tahun telah disukai masyarakat Abimanyu kerem,
Doraweca, Suryatmaja Maling dan sebagainya. Diantara semua kitab tua yang dipakai, Kitab
Purwakanda adalah yang paling sering digunakan oleh dalang-dalang dari Kraton Yogyakarta.
Pagelaran wayang kulit dimulai ketika sang dalang telah mengeluarkan gunungan. Sebuah
pagelaran wayang semalam suntuk gaya Yogyakarta dibagi dalam 3 babak yang memiliki 7
jejeran (adegan) dan 7 adegan perang. Babak pertama, disebut pathet lasem, memiliki 3
jejeran dan 2 adegan perang yang diiringi gending-gending pathet lasem. Pathet Sanga yang
menjadi babak kedua memiliki 2 jejeran dan 2 adegan perang, sementara Pathet Manura yang
menjadi babak ketiga mempunyai 2 jejeran dan 3 adegan perang. Salah satu bagian yang
paling dinanti banyak orang pada setiap pagelaran wayang adalah gara-gara yang menyajikan
guyonan-guyonan khas Jawa.
Sasono Hinggil yang terletak di utara alun-Alun Selatan adalah tempat yang paling
sering menggelar acara pementasan wayang semalam suntuk, biasanya diadakan setiap
minggu kedua dan keempat mulai pukul 21.00 WIB. Tempat lainnya adalah Bangsal Sri

Maganti yang terletak di Kraton Yogyakarta. Wayang Kulit di bangsal tersebut dipentaskan
selama 2 jam mulai pukul 10.00 WIB setiap hari Sabtu.
Warna rias wajah pada wayang kulit mempunyai arti simbolis, akan tetapi tidak ada
ketentuan umum. Warna rias merah untuk wajah misalnya, sebagian besar menunjukkan sifat
angkara murka, akan tetapi tokoh Setyaki yang memiliki warna rias muka merah bukanlah
tokoh angkara murka. Jadi karakter wayang tidaklah ditentukan oleh warna rias muka saja,
tetapi juga ditentukan oleh unsur lain, seperti misalnya bentuk (patron) wayang itu sendiri.
Tokoh Arjuna, baik yang mempunyai warna muka hitam maupun kuning, adalah tetap Arjuna
dengan sifat-sifatnya yang telah kita kenal. Perbedaan warna muka seperti ini hanya untuk
membedakan ruang dan waktu pemunculannya. Arjuna dengan warna muka kuning
dipentaskan untuk adegan di dalam kraton, sedangkan Arjuna dengan warna muka hitam
menunjukkan bahwa dia sedang dalam perjalanan. Demikian pula halnya dengan tokoh
Gatotkaca, Kresna, Werkudara dan lain-lain.
Perbedaan warna muka wayang ini tidak akan diketahui oleh penonton yang melihat
pertunjukan dari belakang layar. Alat penerangan yang dipakai dalam pertunjukan wayang
kulit dari dahulu sampai sekarang telah banyak mengalami perubahan sesuai dengan
perkembangan teknologi. Dalam bentuk aslinya alat penerangan yang dipakai pada
pertunjukan wayang kulit adalah blencong, kemudian berkembang menjadi lampu minyak
tanah (keceran), petromak, sekarang banyak yang menggunakan lampu listrik.

H. Fungsi Wayang Kulit


Wayang mempunyai banyak peranan penting dalam kehidupan. Secara umum banyak
fungsi dari kesenian wayang, diantaranya adalah :
1. Media informasi yang efektif dan komunikatif.
Sebagai kesenian tradisional yang kaya akan makna serta sumber informasi,
wayang ini merupakan media yang sangat efektif dan komunikatif untuk menyampaikan
pesan nilai nilai serta filosofis hidup bagi masyarakat.
2. Media hiburan bagi masyarakat
Biasanya wayang menjadi hiburan bagi masyarakat. Pertunjukan wayang digelar
dalam berbagai acara seperti acara hajatan pernikahan, mreti dheso, dan lain sebagainya.

Selain itu, pagelaran wayang juga digelar semalam suntuk dengan cerita cerita pewayangan
yang terkadang disesuaikan dengan situasi pada acara tersebut.
3. Media pendidikan
Jika kita amati bentuk-bentuk wayang maka akan kita temukan bentuk-bentuk yang
beraneka ragam, misalnya seperti penggambaran dari tokoh ksatria seperti Arjuna dan
Puntadewa mereka digambarkan dengan paras wajah yang tampan dan dengan muka yang
menunduk dalam falsafahnya mereka merupakan pencintraan diri manusia yang mempunyai
kehalusan budi pekerti dan selalu rendah hati.
Wayang yang digambarkan dengan paras buruk (wujud buto) mereka digambarkan
sebagai seorang yang suka menebar angkara murka, sombong, dan tidak mempunyai sifat
sabar. Penataan dalam wayang juga mengandung maksud tertentu, wayang yang ditata pada
sisi kanan merupakan wayang golongan baik, sebaliknya wayang yang ditata pada sisi kiri
merupakan wayang golongan buruk / jahat (taufiknova.blogspot.com).
Pemanfaatan wayang sebagai sarana pembelajaran bagi anak kini telah menjadi
alternatif yang efektif bagi tersampaikannya pesan pembelajaran. Segala gambaran yang telah
dipaparkan dalam kisah kisah wayang dapat memberikan gambaran sifat sifat, watak serta
perilaku sosial manusia di kehidupan dimana ada yang baik dan ada yang buruk.
Sebagai pendidik, wayang sebagai media pembelajaran tidak harus ditampilkan dalam
sebuah pagelaran dalam setiap materi pelajaran. Tetapi dapat memasukkan unsur unsur
yang terkandung dalam cerita cerita pewayangan. Misalnya, dalam pembelajaran budi
pekerti kita dapat meneladani tokoh wayang yaitu Bima atau Bratasena. Bima mempunyai
sifat sifat sangat setia, kalau sudah menjadi tekad yang bulat maka siapa saja tidak bisa
menghentikan semangatnya.
Orang Jawa sendiri pun mengenal Bima sebagai tokoh satria pinandhita, profesional
religious, pekerja sufistik, dan panglima perang sekaligus guru besar (Purwadi, 2007).
Itulah gambaran salah satu tokoh yang dapat kita teladani sifatnya sebagai bahan
pembelajaran bagi peserta didik untuk menanamkan budi pekerti dibenaknya. Masih banyak
lagi tokoh tokoh lain yang ada dalam pewayangan dengan sifat dan watak yang bermacam
macam seperti halnya manusia.

I. Kesimpulan
Wayang kulit adalah kesenian indonesia khas Jawa yang dipertunjukkan lewat sebuah
layar yang disoroti oleh lampu, dimainkan oleh seorang dalang, dan cara melihatnya melalui
bayang bayangnya. Kebudayaan wayang diyakini telah lahir sejak 1500 tahun sebelum
masehi. Fungsi dari wayang sendiri sangat sentral, yaitu sebagai media informasi, hiburan,
pendidikan, dan bahkan wayang juga berperan dalam penyebaran agama islam pada masa
wali songo yang disebarkan oleh sunan kali jaga.

Tokoh-tokoh dalam wayang

keseluruhannya berjumlah ratusan dan setiap pertunjukannya selalu menampilkan lakon atau
cerita yang berbeda. Dalam pertunjukan wayang banyak nilai nilai moral dan pendidikan
yang disisipkan dalang, sebagai pembelajaran bagi penonton.
Sayangnya, seiring perkembangan zaman yang semakin modern, banyak generasi
muda yang lebih menyukai budaya luar yang lebih modern, dari pada budaya wayang kulit
yang terlihat kuno. Oleh karena itu, agar kebudayaan wayang kulit ini tidak menghilang
dimakan zaman maka sudah sepatutnya kita tanamkan rasa cinta pada kebudayaan wayang
kulit dan turut serta melestarikannya

J. Sumber
-

https://id.wikipedia.org/wiki/Wayang_kulit
http://tamanbelajarpintar.blogspot.com/2012/06/peranan-kesenian-wayang-kulit-

sebagai.html
https://www.facebook.com/permalink.php?

id=332804073434818&story_fbid=398906133491278
http://budayawayangkulit.blogspot.com/2009/01/wayang-kulit-wayang-salah-satupuncak.html

Anda mungkin juga menyukai