Anda di halaman 1dari 4

Resuma Bedah Buku “Untuk Apa seni?

” karya Bambang Sugiarto


Pembicara: Bambang Sugiarto, Hendro Wiyanto, Yustiono, dan Aminuddin TH.
Siregar
Oleh Litya Ainunning Puri - 17011041

Kamis lalu tepatnya tanggal 27 Maret 2014 telah diadakan bedah buku karya
Bambang Sugiarto yang berjudul “ Untuk Apa Seni ? “. Acara di awali dengan
performance Art oleh “Genk Keruh”, Isa Perkasa, Deden Sambas, dan Diyanto.
Meskipun gerimis hujan sempat membasahi, namun tidak membuat antusiasme
masyarakat yang hadir dalam acara bedah buku tersebut surut. Selasar Lapangan
Merah gedung Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB pun dijadikan lokasi yang cocok
untuk acara tersebut.
Kenapa buku ini ada, menurut penulis Bambang Sugiarto terdapat dua alasan penting
yakni alasan praktis dan teoritis. Pertama alasan praktis dilatar belakangi penulis
sebagai Dosen atau Pengajar mata kuliah Estetika disalah satu universitas non-seni di
Bandung. Untuk mengajarkan Estetika kepada khalayak umum ( non- seni ) cukup
menyulitkan karena bagi mereka menjadi sesuatu hal yang membuang waktu dan SKS
untuk mempelajari pelajaran tersebut. Untuk itu dirasa butuh suatu buku pegangan
yang substantif bagi mata kuliah Estetika. Sebab itulah buku ini dibuat.
Berdasar alasan teroritis, Estetika yang dibutuhkan masyarakan umum adalah estetika
dengan kemampuan mengapresiasi letak seni dalam kehidupan. Di Indonesia
khususnya, pelajaran seni atau lebih dikenal pelajaran kesenian telah diajarkan sejak
sekolah dasar. Namun, disayangkan pelajaran seni yang dipelajari pada saat bangku
sekolah hanya dikesampingkan sebagai pelajaran pelengkap maka pola pikir siswa
tentang seni menjadi sempit hanya berbatas pada seni sebagai hiburan, kesenangan,
dan dekoratif belaka. Padahal seni lebih kompleks dari pada itu, buktinya sekolah seni
pun memiliki jenjang studi dari strata I sampai strata III. Penulis merasa kembali
berfikir secara teoritis terhadap seni, untuk apa seni dalam kehidupan kita.
Estetika jika dilihat berdasarkan sejarah dinilai masih kongkrit dengan peradaban
tetapi secara apresiasi tidak dapat dipahami terhadap seni itu sendiri. Seni rupa
modern dalam evolusinya menjadi jauh dari estetika bentuk, esensialnya dari mencari
keindahan bentuk menjadi mencari esensial kebenaran. Olah bentuk menjadi olah

litya_t@yahoo.com- 1
efek, efek terhadap hidup yang lebih indah lebih ideal, dianggap sebagai persoalan
yang bagus untuk dibahas oleh seniman, sastrawan, dan dramawan.
Buku tersebut pun dikritisi oleh Yustiono, ia menyatakan senang terhadap antusias
Bambang sebagai penulis untuk menuliskan mengenai seni. Dalam sudut pandang
filsafat estetika buku tersebut mendukung seni secara mendalam. Seni dinilai sebagai
sarana untuk memahami kehidupan. Dalam buku tersebut penulis dirasa cukup rinci
mentransformasi seni kedalam paparan historis peradaban. Menurut Yustiono, buku
tersebut cukup bisa diterima oleh masyarakat umum tetapi jika berbicara mengenai
apresiasi seni kepada kehidupan butuh sedikit penyederhanaan.
Untuk penulisan prakata seni dibahas tidak dalam pandangan yang sempit misalnya
seni rupa saja. Tetapi adanya penambahan wacana-wacana seni lain seperti sastra dan
drama. Paparan filsafat memang tidak bisa persalahkan namun tidak sepunuhnya
benar, seperti pepatah mengatakan seribu kepala maka seribu pemikiran filsafat yang
muncul.
Bagi Yustiono titik lemah dalam buku tersebut ialah kurangnya elaborasi tentang
perkembangan seni di luar barat seperti Indonesia. Selain itu kekurangan ada pada bab
tentang sastra. Penulis dirasa terlalu menekankan pada tradisi disastra, objek
penulisannya metode dari aliran teori sastra justru tidak membicarakan tentang sastra
sendiri. Jadi dirasa buku tersebut tidak tepat jika untuk apresiasi seni. Film sendiri
merupakan cabang seni yang termasuk baru di Indonesia karena baru masuk pada
abad ke-20. Sebaiknya buku tersebut memiliki pengolahan bahasa yang berbeda.
Yustiono menambahkan, mungkin perlu penambahan buku pegangan jika untuk mata
kuliah Estetika untuk umum. Seperti buku Yapi Tambayong (Remy Silado) “123 Ayat
Tentang Seni”, buku tersebut dinilai oleh Yustiono sebagai buku yang cukup luas
membahas mengenai wacana seni di dunia Timur.
Berbeda lagi dengan pandangan Hendro Wiyanto dalam mengkritik buku tersebut.
Hendro mengkritik buku tersebut dari sudut pandang seniman maupun masyarakat
seni. Menurut Hendro, setelah membaca buku tersebut Hendro merasakan adanya
kesan buku tersebut auratik. Adanya aura pada buku tersebut dinilai dari proses
pembuatan buku tersebut seolah berasal langsung dari wahyu. Dalam buku tersebut,
hendro merasa seni dibicarakan secara auratif, atau terlalu auratif. Ungkapan Hendro
tersebut dinilai sama dengan ungkapan Yustiono yang mengatakan setelah membaca
buku tersebut dia merasa seni dinilai terlalu cantik.

litya_t@yahoo.com- 2
Berfilsafat tentang seni memang semacam ada jarak tersendiri dengan filsafat estetik
bahkan dirasa ada jarak pula dengan praktek berkesenian. Buku tersebut dinilai ada
semacam usaha untuk membaca seni. Namun usaha untuk tidak merumuskan justru
menjadi penjebak untuk tetap merangkum seni.
Bagi Hendro seni sudah menjarak dari pengertian seni sendiri. Dia merasa justru
kehilangan seni dalam buku tersebut. Atau mungkin bagi dia tak harus membicarakan
seni se-formal itu. Seni rupa yang selama 20 tahun ini ( di Indonesia ) dirayakan oleh
seniman justru bukan untuk merayakan nilai esensi dari seni sendiri. Hendro percaya
filsafat seni justru datang setelah seniman mempraktekan dengan kata lain objek hadir
atau setelah karya dibuat. Bagi dia bisa dikatakan Bambang dinilai hanya cemburu
terhadap seniman. Dalam ranah seniman sendiri, mereka tidak terlalu membahas
untuk apa seni itu sendiri saat berkarya seniman sudah menemukan apa seni itu
sendiri. Hendro lebih setuju terhadap penulisan seni drama pada bab didalam buku
tersebut. Bahkan Hendro sebagai seorang kurator menilai seni rupa merupakan yang
paling miskin dengan pengalaman praktis. Hendro menambahkan kritik untuk buku
tersebut, buku tersebut tidaklah cukup dekat dengan praktek seni rupa.
Menurut Aminudin T H Siregar atau dikenal dengan Bang Ucok mengatakan buku
tersebut dinilai sangat propokatif. Dilihat dari judul buku tersebut sangat mencolok
pertanyaan mengenai fungsi seni. Senada dengan pemikiran Yustiono, Bang Ucok
melihat kurangnya kontekstualisasi pemikiran dalam buku ini dengan situasi dan
sejarah perkembangan seni di Indonesia. Padahal justru kajian-kajian seperti itu yang
sangat jarang dilakukan di negeri ini. Seni bisa lebih dipahami bergantung pada
situasi dan kondisi masyarakat dalam suatu peradaban. Bang Ucok merasa mungkin
lebih menarik jika membicarakan mengenai sejarah seni di Indonesia. Seperti kapan si
seni itu masuk ke Indonesia atau bagaimana proses si seni tersebut dari istilah “ART“
dan sebagainya.
Adapun tanggapan dari Bambang sendiri, filsafat juga tidak langsung bisa
menjelaskan secara rinci tentang seni. Seni tidak akan dijelaskan kedalam suatu
rumusan dalam bentuk apapun. Tetapi menjelaskannya pun bukan berarti tidak ada
gunanya. Memang benar seni tidak selalu membawa sebuah kebenaran namun dalam
pemikiran Bambang kebenaran yang dimaksudkan ialah suatu pertentang dengan nilai
kebebasan. Keidealan mungkin menurut orang awam, namun keidealan yang
dimaksud iaalah sesuatu yang sesuai dengan kenyataan sesungguhnya. Justru itu yang
disebut ideal, bukan sesuatu yang normatif di masyarakat.

litya_t@yahoo.com- 3
Filsafat seni bagi Bambang hanyalah seni pada teori. Bukan berbicara pada seni tetapi
bahasannya mengenai seni berfilsafat. Bahasa yang digunakan dalam buku tersebut
memang berbeda dengan bahasa seniman. Filsafat memang jauh dari seni karena tidak
dekat dengan objek. Tidak dekat pula pada kenyataan praktek seni sendiri. Estetika
sebenarnya menjadi frame dalam pembicaraan seni kepada orang awam. Seni ialah
sesuatu yang diperlukan untuk menyumbang kreativitas yang baru. Dalam buku
tersebut dirasa Bambang memang tidak sepandang dengan seniman. Karena fokus
pada buku tersebut ialah sebagai buku pegangan estetika masyarakat yang awam
terhadap seni, maka Bambang pun merasa tidak masalah dengan istilah “Buku Pintar
Seni” bagi bukunya.
Diakhir acara, Yustiono menambahkan tanggapan untuk pandangan Bambang.
Menurut Yustiono hendaknya filsafat dan teori jangan hanya dianggap sebagai
penjelasan post facum atas fenomena yang telah terjadi. Dia memberikan contoh, Karl
Marx yang mencoba menjelaskan fenomena sosial yang memiliki pertentangan
terhadap kelas-kelas di masyarakat. Belakangan penjelasannya justru menjadi
ideologi gerakan Marxisme yang pengaruhnya bisa dirasakan hingga hari ini.

litya_t@yahoo.com- 4

Anda mungkin juga menyukai