Anda di halaman 1dari 18

AHMAD LUKMAN PRASETYO

13010117130054

Tugas 2

Sastra Indonesia, SMT 1

PENGANTAR PENGKAJIAN SASTRA KARYA REDYANTO NOOR

BAB 1

PENDAHULUAN

Pengertian sastra tidak berlaku universal sepanjang sejarah zaman di Indonesia. Di mana saja

pengertian sastra selalu berubah-ubah sejalan dengan perkembangan sastra itu yang

bersangkutan. Sekadar ilustrasi, sebenarnya bisa diperdebatkan tentang pengertian sastra

Indonesia. Misalnya apakah yang dimaksud dengan sastra yang berbahasa Indonesia, sastra

yang ditulis oleh pengarang Indonesia, sastra yang berisi tentang Indonesia, atau sastra-sastra

yang ada di (se-)Indonesia. Tentu saja penentuan pengertian itu bergantung pada kesepakatan.

Misalnya orang sepakat untuk membatasi pengertian sastra Indonesia itu pada bahasanya, maka

sastra Indonesia adalah sastra yang berbahasa Indonesia. Dalam hal ini bahasa ditempatkan

sebgai unsur utama sastra Indonesia, (Yudiono, 1986:8-11). Dengan pengertian itu, orang akan

menempatkan sekian banyak puisi, cerita pendek, novel, novelette, roman, naskah lakon, sebagai

objek studi, tetapi akan timbul kesulitan. Sebab, objek yang disebut sastra Indonesia itu tidak

dengan sendirinya muncul dihadapan pembaca, tidak dengan mudah mereka kenali dan mereka

tangkap sosoknya. Orang harus membacanya sendiri agar dapat menyatakan pendapat. Setiap

saat ia harus melakukan dua hal sekaligus, menangkap objeknya dan menggapai-gapai teorinya.
Jadi, pembaca tidak boleh hanya berteori saja tanpa membaca karya sastra, atau sebaliknya

hanya membaca karya sastra saja tanpa menguasai teorinya.

BAB II

TEORI SASTRA

A. Pengertian Istilah-istilah dalam sastra

Ada dua istilah penting berkaitan dengan sastra, yaitu seni sastra dan ilmu sastra. Karya sastra

sebagai karya seni bersifat kreatif, artinya sebagai hasil ciptaan manusia yang berupa karya

bahasa yang bersifat estetik (dalam arti seni), hasilnya berupa karya sastra, misalnya novel, puisi,

cerita pendek, drama, dan lain-lain, sedang ilmu sastra mempunyai ciri-ciri keilmuan, yaitu

objek, teori, dan metode. Artinya, sastra dapat berlaku sebagai objek atau subjek penelitian.

Dapat dipakai sebagai perangkat teori yang dijadikan alat penelitian, misalnya teori sastra, kritik

sastra, dan sebagainya. Selain pengertian itu masih ada pengertian lainnya yaitu pengetahuan

sastra. Pengetahuan sastra bersifat informative, artinya sebagai informasi seputar teks-teks karya

sastra yang berupa keterangan, penjelasan serta fakta-fakta dan data-data tentang suatu teks

karya sastra atau hal-hal lain berhubungan dengan sastra.

B. Hakikat dan Fungsi Karya Sastra

1. Karya Sastra sebagai Dunia Rekaan

Karya sastra itu ialah segala sesuatu yang tercetak atau tertulis saja. Sebab, pengertian tersebut

tidak mencakup sastra lisan. Lagi pula tidak semua teks yang tercetak atau tertulis itu termasuk

karya sastra. Karya sastra ialah karya yang bersifat fiktif (rekaan). Sebuah karya sastra meskipun

bahannya (inspirasinya) diambil dari dunia nyata, tetapi sudah diolah oleh pengarang melalui
imajinasinya sehingga tidak dapat diharapkan realitas karya sastra sama dengan realitas dunia

nyata. Sebab, realitas dalam karya sastra sudah ditambah sesuatu oleh pengarang, sehingga

kebenaran dalam karya sastra ialah kebenaran yang dianggap idela oleh pengarangnya.

Kebenaran yang lebih tinggi sehingga sudah sepantasnya berlaku.

2. Fungsi Karya Sastra

Secara garis besar fungsi karya sastra, sebagaimana dikatakan Horatio, adalah dulce et utile

(menyenangkan dan berguna). Dianggap berguna karena pengalaman jiwa yang dibeberkan

dalam kongkretisasi cerita, dan dikatakan menyenangkan karena cara pembeberannya. Oleh

karena itu, jika sebuah karya sastra menunjukkan sifat-sifat menyenangkan dan berguna yang

kuat, maka karya sastra itu dapat dianggap sebagai karya sastra yang bernilai. Pendapat ini

mungkin bisa subjektif bergantung pada orang yang menilainya.

3. Jarak Estetik (Esthetic Distance)

Yang dimaksud jarak estetik adalah jarak antara realitas dalam karya sastra dengan realitas

kehidupan sehari-hari. Jarak estetik ini merupakan salah satu, bukan satu-satunya, kriteria yang

dahulu dipakai oleh oara kritikus sastra untuk menentukan nilai mutu sebuah karya. Dasarnya

adalah apabila sebuah karya sastra mempunyai jarak estetika dekat maka karya sastra itu

dianggap tidak bernilai begitu pula sebaliknya.

BAB III

ILMU SASTRA

A. Tiga Bidang Ilmu Sastra

Tiga bidang tersebut meliputi teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra.
1. Teori sastra adalah cabang ilmu sastra yang mempelajari teori kesusastraan, meliputi latar

balakang sastra, istilah-istilah sastra, konsep sastra, prinsip umum sastra, bermacam-

macam gaya, dan sebagainya.

2. Sejarah sastra adalah cabang ilmu sastra yang mempelajari/menyusun perkembangan

sastra dari awal hingga yang terakhir, mencakup sejarah lahirnya karya sastra, jenis-jenis

sastra, perkembangan sastra, kronologi, dan sebagainya.

3. Kritik sastra adalah cabang ilmu sastra yang mempelajari karya sastra dengan langsung

memberikan pertimbangan baik dan buruk.

B. Keindahan dalam Karya Sastra

Telah dijelaskan pada bagian terdahulu bahwa selain unsur imajinatif, unsure keindahan

memegang peranan penting bagi sebuah karya sastra. Jika seseorang membaca karya sastra yang

melukiskan kesedihan, kemelaratan, kebobrokan, kemudian ia merasa bahwa pelukisan itu indah;

apakah dengan demikian kesedihan, kemelaratan, kebobrokan itu indah? Tentu saja tidak, yang

idnah itu sesungguhnya adalah cara melukiskannya.

C. Genre Sastra

istilah genre (baca: zyangre) berasal dari bahasa Prancis yang berarti jenis. Jadi, genre sastra

berarti jenis karya sastra. Ahli pikir yang pertama meletakkan dasar teori genre adalah

Aristoteles dalam tulisannya yang terkenal poetica. Teori Aristoteles tentang jenis karya sastra

didasarkan pada karya sastra Yunani klasik, tetapi yang menarik dari teori Aristoteles ini adalah

bahwa ia cocok diterapkan pada karya sastra lain di seluruh dunia. Misalnya puisi dan prosa,

drama, dan lainnya.


D. Pendekatan Karya Sastra

1. Segi Intrinsik Karya Sastra

Unsur-unsur yang secara organic membangun sebuah karya sastra. Unsur-unsur itu jalin-

menjalin secara struktural sehingga terwujud sebuah karya sastra.

2. Segi Ekstrinsik Karya Sastra

Telah disinggung bahwa segi ekstrinsik adalah hal-hal yang mempengaruhi isi karya sastra,

misalnya aspek-aspek sosial disekitar pengarang yang ikut mewarnai isi karya sastra; atau

setidak-tidaknya mempengaruhi gagasan yang diungkapkan pengarang.

3. Pendekatan Mimetik, Pragmatik, Ekspresif, dan Objektif.

Pendekatan mimetik memandang karya sastra sebagai tiruan atau pembayangan dunia nyata.

Pendekatan pragmatik memandang makna karya sastra ditentukan oleh public pembacanya

selaku penyambut karya sastra. Pendekatan ekspresif memandang karya sastra sebagai

pernyataan dunia batin pengarang yang bersangkutan. Pendekatan objektif memandang karya

sastra sebagai dunia otonom yang dapat dilepaskan dari siapa pengarang dan lingkungan sosial-

budaya zamannya, sehingga karya sastra dapat dianalisis berdasarkan strukturnya sendiri.

BAB IV

HUBUNGAN SASTRA DENGAN ASPEK-ASPEK SOSIAL

A. Sumbangan Ilmu-Ilmu Bantu Terhadap Penelitian Sastra

Menurut Saad (melalui Sudjiman, 1988:16:17) penelitian sastra sedikit banyak harus

mengharapkan peranan ilmu-ilmu bantu. Sastra adalah produk masyarakat, sastra merupakan
pengalaman yang intens, yang ditunjukkan melalui keberadaan jiwa dan perilaku tokoh-

tokohnya. Jadi, jelas betapa penelitian sastra memerlukan sekali uluran tangan ilmu-ilmu bantu

tersebut. Penelitian intrinsik misalnya, jelas memerlukan bantuan linguistik. Demikian pula

penelitian ekstrinsik perlu bantuan psikologi, sosiologi, sejarah, filsafat, dan sebagainya.

B. Hubungan Karya Sastra dengan Pengarang

Sastra diciptakan pengarang tidak dalam keadaan kosong. Pengarang tentu mempunyai misi

tertntu yang harus disampaikan kepada pembaca. Mungkin berupa gagasan, cita-cita, saran,

hasutan, dan lain-lain. Pengarang menulis tentu ada sesuatu yang ingin disampaikan kepada

pembaca. Mungkin karena terlihat realitas yang menyentuh atau katakanlah yang istimewa,

misalnya tentang keadilan, kejujuran, atau kebobrokan. Kepekaan naluri pengarang dengan

kreativitas dan latar belakang sosialnya mampu mendorong untuk mengungkapkan realitas

istimewa yang ditangkap batin melalui indera itu untuk disampaikan kepada orang lain.

C. Hubungan Karya Sastra dengan Masyarakat Pembaca

Literature is an expression of society yang dikemukakan De Bonald dapat digunakan sebagai

pangkal pembicaraan hubungan karya sastra dengan masyarakat, meskipun tidak sepenuhnya

benar bahwa karya sastra adalah pencerminan masyarakat. Sebab, apa yang diucapkan pengarang

sebenarnya adalah pengalaman dan keseluruhan pendapatnya tentang hidup, bukan keseluruhan

hidup itu sendiri (Wellek & Warren 1977:97).

D. Hubungan Karya Sastra dengan Sistem Sosial Budaya

Tidak dapat disangkal bahwa hubungan karya sastra dengan sistem sosial budaya sangat erat.

Sebagai bagian dari budaya, karya sastra mempunyai kaitan dengan segi-segi budaya lainnya,
seperti, seperti bahasa, agama, bermacam-macam kesenian, sistem sosial yang meliputi sistem

nilai dalam masyarakat, tradisi, pola pikir, dan sebagainya. Hal itu terlihat jelas jika

memperhatikan fungsi sosial karya sastra dalam hubungannya dengan sistem sosial budaya.

BAB V

PENELITIAN SASTRA

A. Tingkat-tingkat Penelitian Sastra

Ada enam tingkatan dalam penelitian sastra, antara lain sebagai berikut:

1. Taraf Nol Objektif

2. Taraf Liris

3. Taraf Impresionistis

4. Taraf Esei

5. Taraf Stilistika

6. Taraf Ilmiah

B. Hasil-hasil Penelitian Sastra

1. Penelitian Teks Sastra

2. Penelitian Pengarang

3. Penelitian Pembaca

BAB VI

TEORI-TEORI SASTRA MODERN

A. Formalisme

B. Strukturalisme
C. Dekonstruksi (Post-Struturalisme)

D. Semiotik

E. Sosiologi Sastra

F. Psikologi Sastra

G. Psikoanalisis

H. Feminisme

I. Resepsi

J. Intertekstual

K. Estetika

L. Stilistika

M. Kritika Baru

N. Teori-teori Sastra Marxis

BAB VII

BEBERAPA CATATAN TAMBAHAN

Bagi sebagian orang, termasuk sebagian ahli sastra, segala macam cara dan bentuk penciptaan

serta penyebarluasan sastra yang inkonvensional dipandang sebagai pengkhianatan terhadap

hakikat dan fungsi sastra sejati. Hal tersebut merupakan kongkretisasi itu prinsip ekuivalen dan

deviasi dalam sistem penciptaan sastra dan mekanisme pengkomunikasian sastra. Sebab,

menurut Teeuw perkembangan penciptaan sastra memang selamanya selalu berada dalam

ketegangan antara tradisi dan inovasi, antara konvensi dan inovasi (1983:11). Salah satu contoh

adalah sastra hibrida. Masyarakat sekarang dihadapkan pada realitas perkembangan penciptaan

dan penyebarluasan sastra yang membawa aneka ragam bentuk (visual dan audio) yang serba
belum jelas identitasnya: sastra instalasi, sastra cyber, sastra graffiti, sastra flash, sastra facebook,

sastra twitter, sastra blog, sastra diary, sastra cinema, sastra electronic, sastra science, dan sastra

digital. Penelitian terhadap berbagai fenomena penciptaan dan penyebarluasan karya sastra itu

tidak dapat dipisahkan dari kajian sastra bandingan. Oleh karena itu, sebelum orang mempelajari

seluk-bluk pendekatan dan teori sastra bandingan tentau lebih penting adalah mempelajari

prinsip-prinsip dasar sastra bandingan sebagai landasanya.

A. Sastra Bandingan

1. Batasan Sastra Bandingan

Menurut Remak, sastra bandingan merupakan kajian karya sastra di luar batas negara, mencakup

hubungan karya sastra dengan karya sastra atau karya sastra dengan bidang ilmu/karya lain

seperti seni (seni rupa, seni musik, seni tari), sejarah, filsafat, politik, ekonomi, sosiologi,

psikologi, agama, dan lain-lain. Jadi, sastra bandingan bertujuan membandingkan karya sastra

sebuah negara dengan karya sastra negara lain, atau membandingkan karya sastra dengan bidang

lain sebagai keseluruhan ungkapan kehidupan (Clement, 1975:5;Stalknecht, 1990:1).

2. Prinsip-prinsip Sastra Bandingan

menurut Remak, yang penting bahwa sastra bandingan adalah studi sastra yang melintasi batas-

batas negara (geopolitik), tanpa memperhatikan segi bahasa. Contohnya, kajian bandingan karya

sastra Amerika dengan Inggris atau Australia dianggap lebih sah kajian karya sastra Belgia yang

ditulis dalam bahasa Belanda dan Prancis oleh pengarang yang berasal dari dua bangsa itu. Jadi,

dalam hal ini Remak mengesampingkan segi sosial kebudayaan dan ideologi. Prinsip Remak itu

kemungkinan besar didasari oleh anggapan bahwa setiap negara memiliki satu kebudayaan,

kondisi sosial, dan ideologi yang padu.


3. Sumbangan Sastra Bandingan bagi Ilmu Sastra

Bagi teori sastra, kajian sastra bandingan hasilnya member peluang untuk merevisi teori-teori

sastra sastra yang sudah ada. Sastra bandingan menemukan gejala atau bukti perkembangan

karya sastra yang berupa konversi, deviasi, ekspansi, dan transformasi dalam semua jenis dan

bentuk karya sastra sebagai akibat terjadinya pengaruh, kemiripan, saduran, terjemahan,

adaptasi, edisi, versi, dan alih wahana dari karya yang satu terhadap atau dengan karya yang lain.

Bagi sejarah sastra, hasil kajian sastra bandingan memberi bahan masukan penting bagi

penyusunan sejarah sastra, baik sastra nasional maupun sastra dunia.

4. Sejarah Sastra Bandingan

Sastra bandingan pertama dikenal di Eropa Barat sekitar akhir abad ke-19 sejalan dengan

banyaknya tulisan yang mempersoalkan bermacam-macam aliran sastra yang muncul di Inggris

dan Perancis, serta masalah pengaruh dan penyebaran aliran-aliran itu ke berbagai wilayah di

Eropa. Akan tetapi, ketika itu belum ada sistem yang dapat disebut sebagai sesuatu

disiplin/subdisiplin sastra bandingan, meskipun sebenarnya di universitas Sorbonne ada mata

kuliah yang hakekatnya merupakan sastra bandingan. Misalnya, kajian tentang karya sastra

romantic, dengan sendirinya harus membicarakan beberapa karya sastra romantic dari beberapa

negara (Stallnecht, 1990:43-44).

5. Objek Sastra Bandingan

Menurut Remak, objek kajian sastra bandingan terdiri atas karya sastra umum, nasional, dan

dunia. Kaya sastra terjemahan dalam bahasa Inggris dari mana pun asalnya termasuk objek

kajian sastra bandingan. Menurut Damono, karya sastra apa pun dapat dijadikan objek kajian

sastra bandingan, tidak terbatas pada karya agung seperti tersebut pada karya sastra dunia.
6. Segi-segi Sastra Bandingan

a. Genre

Meliputi drama, puisi, atau fiksi.

b. Form (bentuk)

cara pengungkapan (representasi).

c. Style (Stilistika)

Perbedaan bahasa.

d. Periode, Generasi, Angkatan, Gerakan, dan Mazhab

e. Pengaruh

f. Tema, Motif, Mitos

B. Sastra Hibrida

Jika mencermati asal-usul bahasa dan sastra, maka dapat disimpulkan bahwa sastra modern

adalah sastra hibrida, sastra hasil penyilangan dari berbagai bahasa dan kebudayaan. Menurut

Saparti Djoko Damono, sastra Indonesia modern adalah sastra hasil penyilangan, baik alamiah

maupun rekayasa, dari berbagai bahasa dan kebudayaan yang ada di Indonesia.

C. Alih Wahana

Sebagai istilah baru dalam ranah pengetahuan sastra merupakan salah satu tema perbincangan

yang menarik. Damono dalam bukunya yang berjudul Sastra Bandingan (2011:121) mengatakan

bahwa alih wahana adalah perubahan dari satu jenis kesenian ke jenis kesenian yang lain.

D. Poskolonial

Istilah ini erat kaitannya dengan imperialisme (penjajahan). Karya sastra poskolonial itu apakah

karya sastra yang bercerita tentang peristiwa masa kolonial; apakah karya sastra yang ditulis oleh
pengarang yang berasal dari bangsa/negara terjajah; apakah karya sastra yang ditulis pertama di

wilayah terjajah; dan seterusnya.


PENGANTAR ILMU SASTRA KARYA JAN VAN LUXEMBURG dkk.

Ilmu sastra adalah sebuah sistem ilmu yang menelaah sistematika sastra dan komunikasi sastra

yang pada dasarnya menghiraukan batas-batas perbedaan antara batas negara, bangsa, dan antara

kebudayaan. Faktor sastra itu terdiri atas faktor historik dan faktor sosial. Permasalahannya

adalah ketika ilmu sastra umum tidak ada perhatian yang sifatnya individual untuk karya sastra

sebagai sebuah karya seni yang unik. Sifat sastra yang menerangkan teks penafsiran serta

penilaian terhadap karya-karya sastra sendiri justru menjadi kancah perhatian.

Pada dasarnya ilmu sastra dan bahasa erat kaitannya dengan pelajaran sastra namun

harus dibedakan secara tersendiri. Tidak sedikit pengertian sastra yang ada, karena tidak bisa

dipungkiri bahwa sastra terus berkembang dan definisi mengikuti alur perkembangan itu.

Pembicaraan tentang sastra, tentu tak pernah lepas kaitannya dengan penikmat karya

sastra yang umumnya adalah masyarakat. Sastra dan masyarakat terbagi menjadi dua yaitu

mimesis dan fiksionalitas. Menurut plato, karya sastra sepenuhnya menjiplak kenyataan. Namun,

Aritoteles beranggapan bahwa karya sastra tidak sepenuhnya menjiplak. Melainkan, merupakan

prose kreatif, pemyair, sambil terinspirasi dengan kenyataan, menciptakan sesuatu yang baru.

Sementara Marx dan Lenin memandang hubungan sastra dan masyarakat dari segi

tatanan masyarakat. Lenin berpendapat bahwa karya sastra tidak hanya mencerminkan

kenyataan, melainkan juga dapat dan harus turut membangun masyarakat. Di lain sisi, kaum

formalis beranggapan bahwa sastra itu sama seperti seni, mempunyai kemampuan untuk

memperlihatkan kenyataan dengan suatu cara baru. Dengan demikian, kita menjadi lebih sadar

akan knyataan menurut sifat yang sesungguhnya. Muncul lagi yang namanya kaum strukturalis
yang memiliki pandangan tidak jauh dari pendapat lain, namun disini kaum strukturalis sangat

mementingkan pengamatan dan penelitian yang berdasarkan fakta aslinya.

Di dunia barat pun sastra juga berkembang, misalnya di Eropa Timur berkembang

aliran strukturalisme dan formalism lebih khusus pada sifat umum sastra. Di Eropa Barat pun

demikian, kemudian Amerika Serikat mulai muncul aliran yang berfokus pada analisa, tafsiran

karya, dan evaluasi tiap-tiap karya sastra.

Penilaian-penilaian terhadap karya sastra tidak sama, dikarenakan karena karya itu

lahir pada zaman yang berbeda pula. Perubahan evaluasi penilaian sangat erat kaitannya dengan

perubahan keadaan sosial dan sejarah masyarakat dengan pandangan yang berubah pula. Dalam

kurun waktu yang sama kelihatan pasti akan kelihatan antara pembaca dari berbagai aliran.

Disini akan dibahas mengenai pembaca di dalam teks yaitu pembaca yang benar-

benar memahami isi dan maksud yang ingin disampaikan oleh teks tersebut. Jika benar begitu,

maka mereka telah mencapai estetika pembaca untuk itu dibutuhkan pengolahan teks untuk

mempermudah pembaca dalam menilai teks-teks sastra.

Ilmu sastra sebagian besar meneliti sekelompok teks tertentu. Teks-teks ditinjau

sebagai pesan-pesan di dalam situasi komunikasi yang merupakan ungkapan bahasa yang

menurut sintaksis, isi, dan pragmatic merupakan suatu kesatuan yang tak dapat dipisahkan.

Walaupun teks karya sastra itu panjang kalau tidak jelas teksnya pasti tidak akan bisa

diterjemahkan dan dianalisa yang pada akhirnya melahirkan sebuah tema. Yang digunakan untuk

memahami dan acuan teks nantinya.

Setelah membahas tes secara menyeluruh, kemudian teks-teks naratif akan dibahas

dan tidak dibatasi oleh teks sastra saja. Melainkan. Banyak yang dibahas disini dan juga tidak
dibatasi penggunaan teks naratif, misalnya warta berita, laporan surat kabar, dan sebagainya. Di

teks naratif juga membahas tentang teks dan juru bicara, biasanya juru bicara mengutip sebuah

teks untuk dibagikan ke pendengar dengan tujuan agar yang mendengar menangkap pesan yang

telah dikirim. Objek yang difokalisasi, susunan dunia rekaan adalah tokoh-tokoh, ruang,

penyajian, peristiwa-peristiwa dan hubungan-hubungan dalam kurun beberapa waktu.

Berbeda dengan teks naratif yang sifatnya non dialog, teks-teks drama lebih

menekankan dialog-dialog antar dua tokoh atau lebih. Terbetang alur, penokohan, tokoh, dan

kelebihannya dapat ditampilkan di sebuah panggung pertunjukan sebagai pertunjukan drama.

Dialaog disini merupakan situasi dram utama dalam sebuah drama bertemakan sesuatu yang

menarik bagi penonton.

Teks monolog salah satunya puisi, yang isinya bercirikan penyajian tipografik

tertentu. Pandangan Luxemburg dan kawan-kawan mengenai puisi sangat dipengaruhi oleh

pengalaman mereka dengan puisi barat pada abad ke-19 dan ke-20. Pemilihan tema sangat

diperhitungkan dalam menyusun sebuah puisi. Variasi dalam hal sintaksi, bentuk, sajak,

merupakan cirri khas formal yang juga mempunyai artinya tersendiri.

Karya sastra mempunyai logika tersendiri. Logika karya sastra erat berkaitan

dengan konvensi karya sastra. Logika karya sastra mencakup isi dan bentuk karya sastra.

Bentuk pantun setiap bait terdiri atas empat baris. Setiap baris terdiri atas empat kata atau

9 10 suku kata. Persajakan ab ab. Dari isinya baris satu dan dua hanya merupakan pengantar

(sampiran), sedangkan isinya ada pada baris ketiga dan keempat. Semua itu merupakan logika

puisi yang disebut pantun. Berubah sedikit saja, berubah pula logikanya. Jika semua berupa

isi maka disebut syair. Dalam puisi ada yang tidak masuk akal jika menggunakan logika biasa.
Tetapi masuk akal dalam logika puisi. Dalam logika biasa tidak mungkin lembaran daun

berbunyi gemerincing apalagi seperti lonceng katedral. Tetapi dalam logika puisi lembaran

daun berbunyi gemerincing seperti lonceng katedral justru logis. Dalam tersunyian, sedikit saja

usikan akan terasa besar akibatnya hingga daun yang jatuh saja dirasakan berbunyi.Hal yang

sama juga ditemukan bila membaca novel Rafilus karya Budi Darma. Tokoh Rafilus

digambarkan sebagai tokoh yang tubuhnya seperti terbuat dari besi tidak bisa mati, kebal

peluru, atau seperti setan.

Penggambaran tokoh rafilus yang demikian masuk akal dalam logika novel.

Dalam kenyataan sehari-hari, hal itu tidak masuk akal. Dalam novel Rafilus diperlukan

untuk menekankan tema novel. Oleh karena itu logika dalam karya sastra dinilai dalam

kaitannya dengan penyajian karya sastra. Bukan dengan menggunakan ukuran logika di

luar sastra. Sebab itu logika dalam karya sastra disebut logika internal. Karya sastra merupakan

dunia rekaan (fiksi). Kata fiksi mempunyai makna khayalan, impian, jenis karya sastra yang

tidak berdasarkan kenyataan yang dapat dipertentangkan dengan nonfiksi (cerita berdasarkan

kenyataan). Dalam kenyataannya, karya sastra bukan hanya berdasarkan khayalan,

melainkan gabungan kenyataan dan khayalan. Semua yang diungkapkan sastrawan dalam

karya sastranya adalah hasil pengetahuan yang diolah oleh imajinasinya. Sastrawan

memperlakukan kenyataan dengan tiga cara yaitu, manipulasi, artifisial, interpretatif. Hanya

kadar kenyataan dalam karya sastra yang berbeda untuk setiap karya sastra. Karya sastra yang

bersifat biografis, otobiografis, historis, catatan perjalanan, kadar kenyataannya lebih

dominan.

Karya sastra mempunyai nilai keindahan tersendiri. Karya sastra yang tidak indah

tidak termasuk karya sastra. Setiap daerah, golongan, waktu menentukan nilai keindahan yang
berbeda. Saat Siti Norbaya terbit, novel itu dianggap indah. Keadaannya menjadi lain

seandainya novel itu diterbitkan sekarang. Karya sastra adalah sebuah nama yang diberikan

masyarakat kepada hasil karya seni tertentu. Hal inimengisyaratkan adanya penerimaan

secara mutlak oleh masyarakat sastra. Penerimaan bukan berarti karya sastra harus mudah

diterima oleh masyarakat dan sesuai dengan selera masyarakat. Hal itu akan merosokkan

nilai sastra.

Karya sastra yang baik juga tidak selalu sulit dipahami. Segala sesuatu yang

dikatakan oleh masyarakat sastra sebagai karya sastra pada suatu masa pada hakikatnya

bisa dikelompokkam sebagai karya sastra. Sebaliknya bagaimana pun baiknya suatu karya sastra

berdasarkan obyeknya dan dimaksud oleh penulisnya sebagai karya sastra bila masyarakat

sastra menolaknya maka hasilnya bukan karya sastra.

Ilmu sastra telaah karya sastra secara ilmiah. Ilmu sastra membahas esensi ilmu

sastra, sejarah dan perkembangan ilmu sastra, metode ilmiah sastra, yang harus

dikembangkan ilmuwan atau calon ilmuwan sastra. Tujuan ilmu sastra sebagai berikut.

1. Ilmu sastra sebagai sarana pengujian pemahaman ilmiah sastra sehingga manusia menjadi

kritis terhadap kegiatan ilmiah sastra. Seorang ilmuwan sastra harus memili sikap kritis terhadap

bidang ilmunya sendiri sehingga dapat menghindarkan diri dari sifat solipsistik

mengganggap hanya pendapatnya yang paling benar.

2. Ilmu sastra merupakan usaha merefleksi, menguji, mengkritik asumsi dan metode

keilmuan sastra. Kecenderungan yang terjadi di kalangan para ilmuwan sastra modern

menerapkan suatu metode ilmiah tanpa memperhatikan struktur ilmu sastra. Satu sikap

yang diperlukan menerapkan metode ilmiah yang sesuai atau yang cocok dengan struktur
ilmu sastra, bukan sebaliknya. Metode ilmu sastra hanya sarana berpikir bukan hakikat ilmu

sastra.

3. Ilmu sastra memberikan pendasaran logis terhadap metode keilmuan sastra. Setiap

metode ilmiah yang dikembangkan harus dapat dipertanggungjawabkan secara logis rasional

agar dapat dipahami dan dipergunakan secara umum. Semakin luas penerimaan dan

penggunaan metode ilmiah sastra, semakin valid metode tersebut.

Anda mungkin juga menyukai