Anda di halaman 1dari 49

TEORI APRESIASI DAN SASTRA DI SD

RESUME BUKU SASTRA

Di Susun Oleh:
Ferda Juniarti 204220273

Dosen Pengampu:

Agung Nugroho M.Pd

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS PGRI SILAMPARI
2022

1
BAB I
SEJARAH SASTRA

A. Pengertian sastra

Menurut (Dewi 2010) Apakah sastra itu? Banyak sudah para ahli sastra berusaha
merumuskan pengertian sastra. Tetapi sampai saat ini tak satupun dari defenisi itu dapat
memuaskan. Pengertian sastra masih saja merupakan misteri yang belum terjawab.

Untuk memformulasikan hakikat sastra secara singkat dan jelas tidaklah mudah.
Apalagi untuk memilah yang mana sastra dan yang mana bukan sastra. Sastra tidak bisa
dibatasi seperti ilmu pasti. Sastra adalah karya dan kegiatan seni yang berhubungan
dengan ekspresi dan penciptaan, sedang tugas membuat batasan adalah kegiatan
keilmuan.

Sastra atau kesusastraan dapat ditemui dalam sejumlah pemakaian yang berbeda-
beda. Demikian diungkapkan Semi dalam bukunya Anatomi Sastra (1988:7). Hal ini
menggambarkan bahwa sastra itu kenyataannya bukanlah nama dari sesuatu yang
sederhana, tetapi ia merupakan satu istilah payung yang meliputi semua kegiatan yang
berbeda-beda. Namun yang jelas dari batasan-batasan yang dikemukakan oleh penikmat
maupun sastrawan mempunyai alasan mengapa batasan tentang sastra sulit dibuat,
yaitu:

1. Sastra bukan ilmu, akan tetapi satra adalah seni. Dan dalam seni banyak unsur
kemanusiaan yang masuk di dalamnya, khususnya perasaan, sehingga sulit
diterapkan untuk metode keilmuan, karena sulit dibuat batasannya

2. Sebuah batasan sastra selalu berusaha mengungkapkan hakekat sebuah sasaran.


Dan hakekat itu bersifat universal dan abadi.

3. Sebuah batasan sastra sulit menjangkau hakekat dari semua bentuk sastra.

4. Sebuah tentang sastra biasanya tidak hanya berhenti pada membuat pemberian
deskripsi saja, tetapi juga suatu usaha penilaian. Oleh sebab itulah batasan tentang
sastra selalu. mengacu kepada apa yang di sebut karya sastra yang baik untuk suatu
zaman dan tempat.

Selanjutnya sering orang mencari defenisi ontologis mengenai sastra, yaitu sebuah
defenisi yang mengungkapkan hakekat sebuah karya sastra sambil melupakan bahwa
sastra hendaknya didefenisikan di dalam situasi para pemakai atau pembaca sastra.
Sehingga norma dan deskripsi sering dicampuradukan. Terkadang tanpa disadari bahwa
sementara orang menganggap karya seseorang merupakan karya sastra, namun sebagian
lagi mengatakannya bukan karya sastra. Munculnya anggapan tersebut, karena terikat
pada satu defenisi.

2
Plato beranggapan bahwa sastra, seni, hanya merupakan peniruan, peneladanan,
atau pencerminan kenyataan, maka ia berada di bawah kenyataan itu sendiri. Padahal,
yang nyata itu hanya pembayangan dari yang ada. Plato memandang seni sebagai
sesuatu yang negatif, Aritoteles, di pihak lain, beranggapan bahwa proses penciptaan,
sastrawan tidak semata-mata meniru kenyataan, melainkan sekaligus menciptakan,
penciptaan sebuah dunia dengan kekuatan kreativitasnya. Dunia yang diciptakan
pengarang adalah sebuah dunia yang baru, dunia yang diedialkan, dunia yang mungkin
dan dapat terjadi walau sendiri tak pernah terjadi. Aristoteles memandang sastra sebagal
sesuatu yang tinggi dan filosofis, bahkan mempunyai nilai lebih tinggi dibanding karya
sejarah (Lixemburg. dkk, 1992:16-7).

Jelaslah sastra merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan pertama-tama


sebuah imitasi Demikian menurut Luxemburg (1984:5). Selanjutnya beliau
mengemukakan sang seniman pada dasarnya telah menciptakan dunia baru, meneruskan
proses penciptaan di dalam semesta alam, bahkan menyempurnakannya. Sastra adalah
luapan emosi yang spontan dan bersifat otonom tidak mengacu kepada sesuatu yang
lain; sastra tidak bersifat komunikatif. Sang penyair hanya mencari keselarasan di dalam
karyanya. Artinya mencari keselaran antara bentuk dan isi. Dan setiap isi berkaitan
dengan suatu bentuk atau ungkapan tertentu.

Begitu bervariasi dan sulitnya untuk hakekat sastra. Sehingga tidak mungkin
memberikan sebuah defenisi yang universal mengenai sastra. Sastra adalah sebuah
nama yang dengan alasan tertentu diberikan kepada sebuah hasil tertentu dalam suatu
lingkungan kebudayaan.

Secara umum kita tahu, sastra merupakan sarana yang sering dipergunakan untuk
mencetuskan pendapat pendapat yang ada di dalam masyarakat kita. Seperti
diungkapkan Semi (1988:8), Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif
yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai
mediumnya. Artinya dengan sastra manusia bisa menumpahkan ide dan kreasinya
sekaligus dijadikan sebagai media untuk menampung ide. Karena sastra merupakan
sesuatu yang kreatif makasastra harus mampu melahirkan suatu kreasi yang indah.

Apabila berbicara masalah sastra maka kita juga harus berbicara tentang seni,
karena karya sastra tidak akan berdaya manakala tidak memiliki nilai seni. Dan nilai
seni akan tidak berdaya apabila tidak membicarakan tentang manusia dan alam, karena
seni itu lahir perpaduan harmonis antara manusia dan alam.

Secara tidak sadar manusia telah memanfaatkan jasmani dan rohaninya terhadap
alam sekelilingnya. Maka sejak itulah adanya kesenian. Semua situasi istetis yang
tersimpan dalam rohani manusia memunculkan suatu kreativitas. Manusia berusaha
untuk merealisasikan semua pengalamannya ke dalam wujud bentuk, sehingga lahirlah
karya yang berupa kebudayaan dan kesenian.

Kembali kemakna sastra, sastra adalah karyaseni yang harus diciptakan dengan
suatu daya kreativitas, yang tidak saja dituntut dalam upaya melahirkan pengalaman
batin dalam bentuk karya sastra, tetapi lebih dari itu. Akan tetapi manusia harus

3
memilih unsur-unsur terbaik dalam pengalaman hidup manusia yang dihayatinya yang
merupakan keharusan dimiliki seorang sastrawan.

Sebagai karya seni Saini KM dan Jakob Sumarjo menyatakan ada tiga hal yang
membedakan karya sastra dengan yang bukan karya sastra. Yaitu sifat khayali
(ficsionality), adanya nilai-nilai seni (estetic values), dan adanya penggunaan bahasa
yang khas (special use of languange).

Sifat khayali sastra merupakan akibat dari kenyataan bahwa karya sastra diciptkan
dengan daya khayal. Walaupun karya sastra harus berbicara tentang kenyataan akan
tetapi karya sastra masih tidak terlepas dari daya khayal pengarangnya sebagai latar
belakang tempat kenyataan dan masalah-masalah kehidupan yang nyata. Dan daya
khayal itu dapat direnungkan dan dihayati oleh pembaca.

Dalam karya sastra ada nilai-nilai estetik, bukan saja merupakan persyaratan yang
membedakan karya sastra dengan karya yang lainnya, justru dengan nilai-nilai seni
itulah pengarang dapat mengungkapkan isi hatinya sejelas mungkin, sedalam-dalamnya,
dan sekaya-kayanya. Adapun nilai-nilai seni itu antara lain keutuhan (unity) atau
kesatuan (unity in varierty), keseimbangan (belance), keselarasan (harmony) dan
tekanan yang tepat (righ emphasis).

Yang dimaksud dengan keutuhan artinya suatu karya sastra harus utuh. Utuh dalam
pengertian setiap bagian atau unsur yang ada padanya menujang kepada usaha
pengungkapan isi hati sastrawan. Ini berarti pula setiap unsur atau bagian karya sastra
benar-benar diperlukan dan disengaja adanya dalam karya sastra itu. Dengan kata lain di
dalam karya sastra tidak ada unsur atau bagian yang kebetulan.

Selanjutnya yang dimaksud keseimbangan ialah bahwa unsur-unsur atau bagian-


bagian karya sastra, baik dalam ukuran maupun bobotnya harus sesual atau seimbang
dengan fungsinya. Dari uraian di atas, dalam praktiknya ketiga hal di memiliki bobot
dan nuansa yang berbeda-beda atas antara satu jenis karya sastra dengan jenis karya
sastra yang lainnya. Ciri karya sastra yang harus memiliki nilai seni tidak ada
permasalahan, karena semua karya sastra apapun gendernya harus memiliki nilai-nilai
estetika atau seninya. Namun dalam dua hal yang lain,yaitu sifat khayali dan
penggunaan bahasa, ada perbedaan perbedaan yang menyolok sehingga perlu adanya
dua penggolongan jenis (gender) sastra. Yakni sastra yang bersifat imajinatif dan sastra
non imajinatif.

1. Sastra Imanjinatif dan Non Imajinatif Sastra imanjinatif yaitu karya sastra yang
bersifat simbolis, tidak saja mengungkapkan hal yang pengucapan, karya sastra
imajinatif mampu menimbulkan kesan keindahan. Pernyataan-pernyataan dalam sastra
imajinatif merupakan pernyataan pernyataan yang amat kompleks yang amat diebalorasi
tentang penulis dan pembaca. Di dalamnya terkait masalah cita rasa dan pandangan
hidup.

Selanjutnya sastra non imajinatif. Sastra non imajinatif lebih realis. Meski sastra
non imajinatif tidak terlepas dari seni khayali, namun pengungkapannya tidak 'meliuk'

4
seperti sastra imajinatif. Dalam arti kata sastra non imajinatif lebih mengetengahkan
nilai-nilai pembenaran dalam pengungkapan.

Sastra imajinatif seni khayalinya agak kuat dibandingkan dengan sastra non
imajinatif. Demikian dalam penggunaan bahasanya, sastra imajinatif lebih menekankan
penggunaan bahasa konotatif dibandingkan dengan sastra non imajinatif yang lebih
kemakan sebenarnya (denotatif). Perbedaan-perbedaan tersebut bersifat ekstrim, sebab
tidak semua karya sastra imajinatif yang sepenuhnya khayali dan merbahas konotatif.
Juga tidak selamanya karya sastra non imajinatif tidak bersifat khayali dan bermakan
denotatif. Sebab kedua makna denotaif dan konotatif hampir sulit untuk dibedakan
dalam karya sastra. Apapun bentuknya yang jelas karya sastra adalah karya seni hasil
imanjinasi pengarang yang memiliki nilai estetika yang dapat diterima oleh
pembaca.atas di dalam

Seperti dijelaskan di mengeksploitasi imajinernya, baik sastra imajinatif yang


maupun sastra non imajinatif tidak terlepas dari bahasa yang digunakan. Bahasa yang
baik, ialah bahasa mampu membangun sastra yaitu bahasa yang matang. lentur, peka
akan makna yang baru dan lama, segar, tidak hambar dan basi, dan diperlukan
kesamaan sikap. pengalaman, perasaan dan pikiran. Misalnya seperti diungkapakan oleh
William Worswort, poetry is the best words in the best order puisi adalah kata-kata yang
terbaik dalam susunan yang terbaik. Artinya dengan kata-kata baik, bahasa yang diatur
sedemikian rupa, pengimajian, ungkapan, perbandingan, dan kehidupan bunyi yang
terlihat pilihan kata-katanya, akan diperoleh kesan (estetik). Bahasa sebagai media
pengucapan, mampu menimbulkan kesan keindahan. Kemampuan mengeksploitasi
bahasa dalam segala dimensi inilah, yang membedakan karya sastra dengan karya-karya
yang lain.

B. Aliran-Aliran Sastra

Sebuah karya sastra yang baik pada dasarnya mengalami beberapa proses. Proses
tersebut berlangsung dalam diri pengarang. Mula-mula pengarang melihat keadaan-
keadaan dan masalah-masalah dalam masyarakat baik berupa kejadian-kejadian yang
disebut tesa.

Tesa memperoleh pendalaman, dalam arti dicerna oleh sipengarang sehingga si


pengarang menentukan sikapnya atas persolan-persolan yang dihadapinya yang telah
melalui penilaian dari sudut etika sipengarang sendiri (pertimbangan baik dan buruk).
Hal ini disebut anti tesa Akibatnya lahirlah sebuah karya sastra akibat penggodokan
yang matang antara tesa anti tesa yang menghasilakan syntesa (karya sastra itu sendiri).

Setiap sastra mengalami suatu proses. Apabila pengarang mengatakan akunya


sendiri, di situ ia subyektif. Akan tetapi apabila ia membiarkan peristiwa-peristiwa
tersebut tanpa melibatkan diri untuk berkomentar maka karya tersebut disebut obyektif.
Jadi subyektif maupun obyektif si pengarang bergantung pada berpengaruh atau
tidaknya perasaannya dalam menanggapi suatu masalah. Seni yang obyektif masuk ke
dalam aliran realisme.

5
Jadi segalanya digambarkan seperti keadaan yang dan sebenarnya. Pengarang-
pengarang realisme melukiskan orang-orangnya dengan perasaan-perasaan pikirannya
sampai kepada hal yang sekecil-kecilnya dengan tidak memihak kepada orang-
orangnya.

Untuk membuat suatu karya yang benar-benar realis dan benar-benar obyektif
tidaklah mudah. Walaupun si pengarang dapat mengemukakan manusia sampai kepada
perasaan-perasaannya dan pikirannya, sampai kepada yang sekecil-kecilnya dengan
tidak memihak kepada orang-orangnya.

Tetapi realisme yang benar-benar obyektif tentu sukar. Walaupun si pengarang


dapat mengemukakan perasaaan manusia sampai kepada perasaan-perasaan dan
fikirannya yang paling dalam misalnya tentang kesedihan, kesengsaraan, ketinggian
budi dan kerendahan hawa nafsu sehingga pengarang seolah sebagai penonton yang
obyektif. Namun terkadang pengarang berubah haluan pengarang berhubungan dengan
isi karangan. Aliran romantik timbul sebagai reaksi atas rasionalisme yang dipelopori
oleh Jeane Jacques Rousseau. Hal itu sesuai dengan corak jiwa dan pandangan hidup
pengarang yang menganutnya. Oleh karena itu tiap-tiap pengarang memiliki corak
karangan berbeda-beda, sesuai dengan pandangan hidup mereka masing-masing,
sehingga munculah bermacam-macam aliran dalam sastra.

1. Aliran Realisme (real-nyata)

Aliran ini berusaha melukiskan kenyataan yang terdapat dalam kehidupan sehari-
hari. Karangan dikatakan realis jika pengarang tidak mendesakan pikirannya, perasaan
dan kemauannya pada pelaku pelakunya serta pembacanya. Orang-orang dalam cerita
itu di suruh berbicara sendiri menurut pikiran dan persaannya sendiri. Bahasanya
merupakan bahasa sehari-hari yang terpakai dalam percakapan. Contoh; Dari Ave Maria
ke Jalan lain ke Roma karya Idrus. Atau Keluarga Gerilya karya Pramudya Ananta Tur
dan sebagainya. Selanjutnya yang termasuk bagian aliran realisme ini yaitu aliran
imperrionisme (impressi-Kesan) naturalisme (natuur-alam), dan aliran deternisme.

a. Aliran Impessionisme (impressi-Kesan)

Aliran ini muncul karena ada pengaruh dari luar. Misalnya pengarang melihat
kehidupan alam. Lalu tergugah sukmanya, sehingga lahirlah karyanya yang
memantulkan kembali keindahan alam itu.

Pengarang aliran ini berusaha melahirkan segala yang dialami dan dilihatnya.
Tetapi yang dipentingkan hanya kesan sesaat yang disadarkan atas keinderaan semata
mata.

Kesan-kesan yang timbul dalam kenyataan diolah dalam batin pengarang membuat
pemerian (deskripsi) tentang kesannya itu ke dalam karya sastra. Contoh aliran ini
adalah sajak-sajak Chairil Anwar terjemahan karangan Maria Rill (Jerman), Sanusi
Pane, Sutan Takdir Alisyabana dan Nursyamsu. Selanjutnya pengarang pengarang
beraliran impresionisme lainnya ialah Hartoyo Andangjaya, Sanusi Pane, Situr
Situmorang

6
b. Aliran Naturalisme (natuur-alam)

Aliran ini sebagai kelanjutan dari aliran realisme. Perbedaannya dengan realisme
tidak jelas. Biasanya naturalisme lebih cendrung melukiskan segi segi yang jelek dan
agak berbau cabul. Persamaan realisme dengan naturalisme kedua-duanya berusaha
melukiskan kenyataan dengan teliti. Perbedaaannya adalah naturalisme lebih cendrung
melukiskan segi-segi masyarakat yang jelek. Pengarang aliran naturalisme yang terkenal
ialah Emile Zola dari Perancis yang hidup tahun 1840-1902. Contoh karya aliran
naturalisme yaitu:

c. Aliran Neonaturalisme

Yaitu aliran yang juga berusaha melukiskan hidup yang obyektif baik mengenai
yang buruk-buruk maupun yang baik-baik.

d. Aliran Deternisme

aliran ini mengajarkan bahwa kemana sebenarnyaq manusia itu itu sebenarnya tidak
merdeka dalam mengambilk keputusan yang penting, sebab segala tindakannya kelak
itu sudah terpasti lebih dahulu. Aliran ini tidak berkembang dalam kesustraan Indonesia
sebab agak berbau maxisme (materialisme).

2. Aliran Ekspresionisme (expressi-pengucapan jiwa)

Penganut aliran ini berusaha melukiskan penglihatan dan pendengaran jiwanya


(bukan penglihatan dan pendengaran telinga). Jadi seniman mengucapkan jiwanya
sendiri; cintanya, bencinya tentang tanggapannya tentang kemanusiaan, ingin
mencetuskan perasaannya dan lain sebagainya.

Pernyataan jiwa sendiri ini biasanya dalam bentuk puisi. Alam bagi aliran ini hanya
alat untuk menyatakan pengertian yang lebih dalam. Selanjutnya di dalam sajak
ekpresionisme, si penyair bercerita melainkan berteriak. Dalam menyatakan yang
perasaannya penyair mempergunakan kata-kata pendek mengenal hakekat. Oleh karena
itu kadang-kadang suatu sajak hanya terdiri dari baris-baris kalimat y terdiri dari satu-
satu perkataan. Kalimat-kalimat berdiri sendiri dan nampaknya tak berhubungan dengan
satu sama lainnya. Contoh yang termasuk aliran ini adalah sajak-sajak misalnya yang
berjudul tidak melukiskan Aku, 1943, Doa, Isa Karya Chairil Anwar Surat Dari Ibu
karya Asrul Sani Yang Kami Minta Hanyalah karya Taufik Ismail

Sejalan berkembangnya pola pikir dan pengekspresian, muncul pula bentuk-bentuk


karya sastra yang eksprsif yang lain. Muncilah aliran romantik, simbolik, idealisme,
surrealisme, misticisme dan lain lain.

a. Aliran Romantik

7
Dasar pemikirian aliran ini ialah ingin menggambarkan kenyataan hidup dengan
penuh keindahan tanpa cela. Jika yang dilukiskan kebahagiaan maka kebahagian itu
perlu dilukiskan sempurna tanpa tara. Sebaliknya jika ingin menggambarkan kesedihan
maka diungkapkanlah kesedihan tersebut hingga air mata pembacanya terkuras. Oleh
sebab itu, aliran romantik sering dikaitkan dengan sifat sentimental dan cengeng.

Karya-karya yang bersifat romantik seringkali berusaha membual perasaan


pembacanya. Kecendrungan manggambarkan keindahan alam, bunga, sungai, gunung
dan bulan.didasarkan atas kepentingan memperindah kenyataan itu. Gambaran konkrit
aliran romantic ini banyak dilihat dalam karya-karya sastra lama. Kecantikan seorang
gadis, misalnya, dinyatakan dengan penuh kesempurnaan. Misalnya; rambutnya ikal
mayang, matanya terang seperti bintang, wajahnya lembut seperti bulan, dan lain
sebagainya.

Karena aliran romantik mengutamakan perasaan,Sehingga dalam karangan fantasi


pengarang seolah-olah berkuasa dan menyeret pembaca ke dunia fantasi ini.Aliran ini
mengemukakan bahwa alam mempunyai rahasia yang tidak bisa di raba oleh pikiran
manusia,karena perasaan dan intuisi dapat menduga dan mengukurnya. Ciri-ciri
Karangan Aliran Romantik

Perasaan dan fantasi memegang penting.Adanya rasa tidak tidak puas terhadap
yang ada. menyebabkan adanya pelarian dari Hal itu

dunia kenyataan ke dunia impian. Di dalam mengucapkan jiwanya, biasanya


pengarang mempunyai minat besar terhadap alam, yang dilukiskan menurut
perasaannya sendiri, misalnya:

bila pengarang dalam suasana gembira maka akan menghasilkan bentuk karangan
yang serba kemilauan dengan ungkapan yang serba 'wah', misalnya dengan ungkapan
awan berarak, angin samar sepoi-sepoi membawa harum bunga-bunga dan sebagainya.

Bila pengarang sedih maka ungkapan yang digunakan misalnya kata burung murai
tidak berkicau atau bulan bersembunyi di balik awan dan sebagainya.

Jadi lukisan yang romantis itu berupa lukisan kejadian yang hanya mungkin terjadi
di angan-angan saja. Karena indahnya dan melambung-lambung, maka seolah-olah
seperti lamunan orang-orang muda mengenangkan kekasihnya. Dalam sastra modern
mereka yang tergolong beraliran romantik ini ialah

1. Muhammad Yamin

2. Amir Hamzah

3. Ramadhan KH

4. Kirdjomuljo

5. Rendra

8
Contoh karangan romantis;

a Hikayat Si Miskin

b. Cerita-cerita di dalam Lembah Kehidupan.

Siti Nurbaya dan lain-lain.

b. Aliran Simbolisme (aliran lambang)

Penganut simbolisme ini berusaha menerapkan pancaindera. Tetapi penerapan yang


dilukiskan ini hanya melukiskan lambang dan kenyataan yang sebenarnya.

c. Aliran Idealisme (ide-cerita)

Aliran ini berusaha menguraikan apa yang menjadi cita-cita untuk masa yang akan
datang Biasanya cita-cita untuk memperbaiki sesuatu yang dianggap tidak baik. Oleh
karena itu lukisan yang idealistis selalu muluk-muluk, membumbung tinggi yang ada
dalam angan-angan pengarang sendiri.

Berdasarkan cita-cita penulis, biasanya penulis mempunyai pandangan jauh ke


depan. Imajinasi penulis terkadang melesat menumbuhkan harapan dan keinginan yang
terangkai dalam kata. Maka tidak sedikit karya sastra-karya sastra yang menjadi saksi
atas sejarah yang melukiskan pikiran dan cita-cita pengarangnya. Misalnya saja puisi
yang berjudul Fantasi karya Ipíh. Puisi ini ditulis Ipih jauh sebelum proklamasi
Kemerdekaan. Tetapi apa yang ditulisnya dalam sajaknya betul-betul terjadi pada 17
Agustus 1945. Hal inilah yang menyebabkan Ipih masuk dalam aliran idealisme, karena
harapan dan cita-citanya berhasil menjadi wujud jauh sebelum terjadi.

d. Aliran Sueralisme (Lebih dari lukisan naturalisme)

Penganut aliran ini berusaha memberi lukisan lebih dari realistis. Pendirian aliran
ini berpegang pada kenyataan, bahwa laku atau perbuatan seseorang itu sering di luar
kesadarannya atau tak terkontrol oleh akal budi. Itulah sebabnya pengarang surealis
berusaha melukiskan sesuatu kenyataan yang lebih luas, yang meliputi segala yang
disadari dan yang tak disadari.

Lukisan surealisme berusaha menangkap kehidupan dalam suatu saat dalam


keseluruhannya dan kesatuan berupa film; artinya segala sesuatu yang segala-galanya
terjadi serentak (orang bicara, musik, tuter mobil, pemandangan dan lain sebagainya
berjalan berbarengan).

Pikiran dan lukisan yang surealisme ini meloncat loncat dengan cepatnya, sehingga
tidak memperhatikan tata bahasa dan kaidah bahasa.

Ada perbedaan surealisme dengan naturalisme. Pengarang pengarang naturalisme


dengan gampang merasa cukup puas menerangkan laku perbuatan manusia berdasarkan

9
sifatnya, keturunannya. Sedangkan pengarang-pengarang surealisme dalam melukiskan
perbuatan manusia mencari sumber-sumber kejiwaan dalam bawah sadar manusia.

e. Mysticisme

Aliran ini berusaha melukiskan pengalaman dalam mencari dan merasakan nafas
ketuhanan dan keabadian. Pada aliran ini sipenulis merasakan kedekatannya ke pada
Tuhan (bersatu dengan kebenaran akhir). Oleh sebab itu si pengarang biasanya
melukiskan pengalamanan dalam mencari dan mersakan nafas Ketuhanan dan
keabadian dan keabadian. Bagi seorang pengarang seni sebagai alat memuji kebesaran
Tuhan. Tokoh-tokoh sastra yang sangat kental dengan misticime abtara lain J.E
Tatengkeng-Kristen, Sasnusi Pane-Hindu, Amir Hasmzah-Islam, Rivai Avin-Islam.

f. Psychologisme(psyce-jiwa)

Penganut aliran ini berusaha melukiskan gerak. gerik jiwa dan perjuangan batin
seseorang terhadap alam gaib atau problem hidup.Contoh yang termasuk dalam aliran
ini adalah;

Belenggu karya Armyn Pane Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis

Atheis karya Achdiat Kartamiharja

g. Aliran Imajis

Aliran ini mengisayaratkan kenyataan harus dilukiskan dalam imaji visual yang
jernih dan jelas. Kata kata dipilih secara dan efisien. Kenyataan apapun dikemukakan.
Bahasa yang dipilih adalah bahasa sehari hari dengan ritme yang tidak mengikat. Kata-
kata dipandang segala-galanya. Disamping mengungkapkan gagasan penyair, kata-kata
itu men dukung imajinasi penyair yang hendak diungkapkan.

Puisi kaum imaji bayak mirip prosa. Hal ini disebabkan karena penyair ingin
mengungkapkan bahasa sehari-hari. Sering pula penyair merasa bahwa imajinasinya
sudah di ketahui pembaca, sehingga larik puisinya terpoton g tidak dilanjutkan atau
dibiarkanmenggantung. Tokoh- tokoh Imajis diantaranya Adri Darmadji,Sapadi Djoko
Darmono, B.Y Tand, Beni Setia, Hetu Emka,dan lain-lain.

h. Aliran ekstensialisme

Yaitu semacam aliran filsafat yang muncul dalam karya sastra modern ini. Aliran
ini muncul dari keinginan manusia untuk menyelidiki dirinya sendiri dari segala sudut,
arti kata menyelidiki manusia dengan situasinya, yang mengutamakan kebenaran
manusia (desein-ada). Aliran ini terbagi lagi menjadi dua, yaitu atheis dan theis
9mengaku adanya Tuhan. Contohnya;

Jalan Tak Ada Ujung karya Muchtar Lubis

10
f. Psychologisme (psyce-jiwa)

Penganut aliran ini berusaha melukiskan gerak. gerik jiwa dan perjuangan batin
seseorang terhadap alam gaib atau problem hidup.Contoh yang termasuk dalam aliran
ini adalah;

Belenggu karya Armyn Pane Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis

Atheis karya Achdiat Kartamiharja

g. Aliran Imajis

Aliran ini mengisayaratkan kenyataan harus dilukiskan dalam imaji visual yang
jernih dan jelas. Kata kata dipilih secara dan efisien. Kenyataan apapun dikemukakan.
Bahasa yang dipilih adalah bahasa sehari hari dengan ritme yang tidak mengikat. Kata-
kata dipandang segala-galanya. Disamping mengungkapkan gagasan penyair, kata-kata
itu men dukung imajinasi penyair yang hendak diungkapkan.

Puisi kaum imaji bayak mirip prosa. Hal ini disebabkan karena penyair ingin
mengungkapkan bahasa sehari-hari. Sering pula penyair merasa bahwa imajinasinya
sudah di ketahui pembac, sehingga larik-larik puisinya terpoton g tidak dilanjutkan atau
dibiarkan menggantung. Tokoh-tokoh Imajis diantaranya Adri Darmadji, Sapadi Djoko
Darmono, B.Y Tand, Beni Setia, Hetu Emka, dan lain-lain.

h. Aliran ekstensialisme

Yaitu semacam aliran filsafat yang muncul dalam karya sastra modern ini.
Aliran ini muncul dari keinginan manusia untuk menyelidiki dirinya sendiri dari
segala sudut, arti kata menyelidiki manusia dengan situasinya, yang mengutamakan
kebenaran manusia (desein-ada). Aliran ini terbagi lagi menjadi dua, yaitu atheis
dan theis 9mengaku adanya Tuhan. Contohnya;

Jalan Tak Ada Ujung karya Muchtar Lubis

Tanah Gersang karya Muctar Lubis.

11
BAB II
METODE PENELITIAN PSIKOLOGI SASTRA

A. Pengertian Psikologi Sastra

Menurut Endaswara ( 2008) Sejak kapan psikologi sastra muncul, sebenarnya tidak
terlalu prinsip Wilayah historis itu biasanya justru membelenggu pemer hati sastra. Hal
itu bagian dari pemikir sejarah sastra yang tak per nah tuntas. Dari realita, sebenarnya
dapat diduga pemunculan psiko logi sastra adalah setelah teori-teori penelitian intrinsik
sastra mene mui jalan buntu Maksudnya, penelitian intrinsik tidak mampu menjawab
seluruh masalah sastra.

Pada bagian ini, yang perlu dikemukakan justru asal-usul ke munculan psikologi
sastra itu tampaknya bukan dari ahli sastra. Orang di luar sastra biasanya jauh lebih
memperhatikan masalah inheren sastra. Akibatnya, sisi-sisi tertentu dari sastra, mereka
perdalam hing ga sampai ada gagasan psikologi sastra Sementara "orang dalam" sendiri
sering terlalu asyik dengan penelitian yang lain.

Dugaan sementara, kemungkinan besar sejak Freud sebagai dokter banyak


membaca sastra sehingga muncul psikologi sastra. Jika hal ini benar, sampai di negara
kita tentu terasa agak lambat. Berapa tahun sejak Freud tiada sampai saat ini? Mengapa
kita justru belum dewasa ketika memahami persoalan psikologi sastra. Hal ini sejalan
pemikiran Makaryk (1993:163) bahwa sejak Freud (1886-1939), interpretasi psikologis
terhadap sastra mulai berkembang Aneh nya, gagasan elit itu tak segera diikuti oleh ahli
sastra lain.
jika menyimak pendapat Ratna (2004) bahwa di Indonesia, analis psikologi sastra lebih
lambat perkembangannya dibandingkan deng sosiologi sastra Keadaan semacam ini tak
perlu ditangisi lagi

Yang perlu direnungkan, ada beberapa indikator yang diduga


merupakan penyebabnya, pesimistis psikologi sastra itu, di antara nya (a) psikologi
sastra seolah-olah hanya berkaitan dengan manus sebagai individu, kurang memberikan
peranan terhadap subjek trans individual sehingga analisis dianggap sempit. (b)
dikaitkan dengan tradisi intelektual, teori-teori psikologi sangat terbatas sehingga para
sanjana sastra kurang memiliki pemahaman terhadap bidang po logi sastra, dan (c)
berkaitan dengan masalah pertama dan kedua, relevansi analisis psikologis pada
gilirannya kurang menarik minat khususnya di kalangan mahasiswa, yang dapat
dibuktikan dengan sedikitnya skripsi dan karya tulis yang lain, yang memanfaatkan pen
dekatan psikologi sastra.

Psikologi sastra memang bukan ilmu baru. Namun, di negara kita, ilmu ini
masih relatif muda Paling tidak belum banyak ahli yang terjun ke dunia satu ini. Dari
sisi historis, psikologi sastra sebenar nya sejajar dengan sosiologi sastra. Hanya saja
sosiologi sastra lebih berkembang karena berkaitan dengan kehidupan masyarakat.

12
Mung kin ada yang menganggap sosiologi sastra jauh lebih enteng ketim bang psikologi
sastra, boleh boleh saja. Berat ringan sebuah keilmu an sebenarnya tergantung siapa
yang mempelajarinya. Mungkin pula, memang ada anggapan bahwa kehidupan
masyarakat jauh lebih mudah diakses daripada kehidupan pribadi. Akibatnya, bukan
mustahil jika sosiologi lebih cepat diminati daripada psikolog P dahal, keduanya sama-
sama cabang keilmuan yang menarik guna mempelajari sisi kehidupan manusia.

Disadari atau tidak, dunia penelitian psikologi sastra awal ada lah toon Freud.
Meskipun tidak harus dinyatakan dia sebagai pencetus teori, namun perkembangan
berikutnya memang agak tersendat. Teori psikoanalisis Freud tampaknya yang banyak
mengilhami par pemerhati psikologi sastra. Dia membedakan kepribadian menjad tiga
macam, yaitu Id. Ego, dan Super Ego. Ketiga ranah psikologi ini Lampaknya yang
menjadi dasar pijakan penelitian psikologi sastra Memang harus diakui bahwa Freud
yang menjadi titik pangkal keberhasilan mengungkap genesis karya sastra.
Penelitiannya amat dekat dengan penelitian proses kreatif. Oleh karena konsep yang
ditawarkan sebatas masalah gejolak tiga ranah jiwa itu, relevansi teori Freud dianggap
sangat terbatas dalam rangka memahami sebuah karya sastra. Hal ini berarti gagasan
tersebut masih perlu dilengkapi dengan bidang lain. Apalagi sastra itu sendiri tidak se
kadar masalah kreativitas. Sastra melingkupi aneka rupa hidup.

Konsep-konsep Freud, pada awalnya memang bukan ahli sastra. Freud hampir
merambah ke beberapa disiplin, seperti sosiologi, antro pologi, dan filsafat. Pada
gilirannya Freud telah "merajai" dalam stu di keilmuan humaniora, khususnya dengan
konsepsi psikoanalisis. Dalam buku Milner (1992 xiii), yang membahas Freud secara
pan jang lebar, dijelaskan bahwa peranan teori Freud tidak terbatas se bagaimana
dinyatakan sebelumnya. Menurutnya, teori Freud memi liki implikasi yang sangat luas
tergantung bagaimana cara meng operasikannya. Di satu pihak, hubungan psikologi
dengan sastra didasarkan atas pemahaman bahwa sebagaimana bahasa pasien, sastra
secara langsung menampilkan ketaksadaran bahasa. Di pihak lain, kenyataan bahwa
psikologi Freud memanfaatkan mimpi, fan tasi, dan mite, sedangkan ketiga hal tersebut
merupakan masalah pokok dalam sastra. Hubungan yang erat antara psikoanalisis, khu
susnya teori-teori Freud dengan sastra juga ditunjukkan melalui pene litiannya yang
bertumpu pada karya sastra, seperti Oedipe-Roi (Oedipus Sang Raja) karya Sophocles
dan Hamlet karya Shakespeare Peneliti an yang dilakukan oleh Freud sekaligus
menunjukkan hubungan antara ilmu kedokteran dan sastra.

Gagasan ini tidak terlalu berlebihan, jika menengok realitas psikis penampilan puisi
kolaboratif. Di Borobudur Plaza Yogyakar ta, tiap malam Selasa Wage digelar ritual
puisi macapat dengan tuju an untuk obat sakit pemilik plaza. Awal mula sakit stress itu
amat berat karena ada masalah bisnis, lama-kelamaan terobati. Hal ini berarti teori
Freud memang dapat dimaklumi bahwa sastra dapat menjadi obat, seperti halnya dunia
kedokteran.

Teori Freud dengan demikian tidak terbatas untuk menganali sis asal-usul proses kreatif
seperti diduga sebelumnya. Sama de ngan menghadapi seorang pasien, untuk mengobati
penyakitnya,

13
B. Asumsi Kehadiran Psikologi Sastra

Kehadiran psikologi sastra di tengah-tengah kita sebenarnya telah lama, hanya


belum disambut antusias. Meskipun secara rigid agak sulit dipastikan, namun dapat
diduga bahwa psikologi sastra pun sebenarnya berniat melengkapi pemahaman sastra.
Lebih dari itu, belakangan psikologi sastra tampak telah menjadi kebutuhan akademisi.
Psikologi sastra semakin mendapat tempat khusus di bang ku-bangku kuliah. Menurut
Semi (1993), ada beberapa asumsi yang memunculkan psikologi sastra telah dianggap
penting, yaitu

(1) Karya sastra merupakan produk dari suatu keadaan kejiwaan dan pemikiran
pengarang yang berada dalam situasi setengah sadar (subconcius) setelah mendapat
bentuk yang jelas dituang kan ke dalam bentuk tertentu secara sadar (concious) dalam
bentuk penciptaan karya sastra. Jadi, proses penciptaan karya sastra terjadi dalam dua
tahap, yaitu tahap pertama dalam ben tuk meramu gagasan dalam situasi imajinatif dan
abstrak, ke mudian dipindahkan ke dalam tahap kedua, yaitu penulisan kar ya sastra
yang sifatnya mengonkretkan apa yang sebelumnya dalam bentuk abstrak.

(2) Mutu sebuah karya sastra ditentukan oleh bentuk proses pen ciptaan dari tingkat
pertama, yang berada di alam bawah sadar, kepada tingkat kedua yang berada dalam
keadaan sadar. Bisa terjadi bahwa dalam situasi tingkat pertama gagasan itu sangat baik,
namun setelah berada pada situasi kedua menjadi kacau sehingga mutu karya tersebut
akan sangat tergantung kepadakemampuan penulis menata dan mencerna perwatakan,
dan me nyajikannya dengan bahasa yang mudah dipahami. Jadi, dalam hal ini penelitian
dan analisis ditujukan kepada masalah p proses penciptaan.

(3) Di samping membahas proses penciptaan dan kedalaman segi perwatakan tokoh
perlu pula mendapat perhatian dan penel an, yaitu aspek makna, pemikiran, dan falsafah
yang terlihat di dalam karya sastra.

(4) Karya yang bermutu, menurut pendekatan psikologis, adalah karya sastra yang
mampu menyajikan simbol-simbol, wawas an perlambangan yang bersifat universal
yang mempunyai kat an dengan mitologi, kepercayaan, tradisi, moral, budaya, dan lain-
lain. Dalam karya puisi yang dominan menggunakan sim bol dan perlambangan, harus
diperhatikan bagaimana hal itu diolah dan bagaimana hal itu dapat mencapai tujuannya.
Di dalam karya sastra abstrak atau absurd banyak ditemui pen laku setengah sadar yang
tindakannya sukar dipahami, dapat menimbulkan ambiguitas makna. Para peneliti
mestinya meng kaji hal itu secara mendalam dengan dukungan psikologi sehing ga
ambiguitas dan kekaburan makna dapat dipecahkan dan dinalarkan mengapa hal itu
terjadi.

(5) Karya sastra yang bermutu menurut pandangan pendekatan psikologis adalah karya
sastra yang mampu menggambarkan kekalutan dan kekacauan batin manusia karena
hakikat kehidup an manusia itu adalah perjuangan menghadapi kekalutan batin nya
sendiri. Perilaku yang tampak dalam kehidupan sehari-hari bagi setiap orang belum
sepenuhnya menggambarkan diri me reka masing-masing Apa yang diperlihatkan
belum tentu sama dengan apa yang sesungguhnya terjadi di dalam dirinya kare na
manusia sering kali berusaha menutupinya. Kejujuran, ke cintaan, kemunafikan, dan

14
lain-lain, berada di dalam batin ma sing-masing yang kadang-kadang terlihat gejalanya
dari luar dan kadang-kadang tidak. Oleh sebab itu, penelitian tentang perwatakan para
tokoh harus menukik ke dalam segi kejiwaan

(6) Kebebasan individu penulis sangat dihargai, dan kebebasan men cipta juga
mendapat tempat yang istimewa. Dalam hal ini, sangat di hargai individu yang
senantiasa berusaha mengenal hakikat dirinya. Dalam upaya mengenal dirinya pula
sastrawan menciptakan untuk mengongkretkan apa yang begolaj di dalam dirinya.

C. Psikologi Sastra: Ilmu Basah dan Kering

1. Daya Tarik Psikologi Sastra

Daya tarik psikologi sastra, terutama terletak pada aneka ungkapan kejiwaan.
Jiwa tidak pernah tunggal. Jiwa dalam sastra selalu bergejolak. Keinginan-keinginan ini
yang memikat peneliti melakukan spekulasi-spekulasi penafsiran Politafsir kejiwaan
yang cukup mengasyikkan ini hingga satu karya, misalkan Pengakuan Pariyem karya
Linus Suryadi AG dan Slilit Sang Kyai karya Cak Nun akan memunculkan sejumlah
tafsiran yang beragam. Tiap peneliti boleh memasuki relung-relung jiwa tokoh Pariyem
dan tokoh yang tersumbat slilit.Hierarki kejiwaan sekaligus problematika rumit menarik
ditampilkan pada kedua karya tersebut. Pergolakan tokoh inilah yang selalu dijadikan
fokus penelitian apabila teks yang dijadikan tumpuan.

Pelacakan demikian dilandasi konsep bahwa pendekatan psi. kologis adalah


pendekatan yang bertolak dari asumsi bahwa karya sastra selalu saja membahas tentang
peristiwa kehidupan manusia, Manusia senantiasa memperlihatkan perilaku yang
beragam. Bila ingin melihat dan mengenal manusia lebih dalam, dan lebih jauh di
perlukan psikologi Lebih-lebih di zaman kemajuan teknologi seper ti sekarang ini,
manusia mengalami konflik kejiwaan yang bermula dari sikap kejiwaan tertentu serta
bermuara pula ke permasalahan kejiwaan. Tidak sedikit jumlah manusia yang sudah
sukses dalam kehidupan kebendaan, senantiasa berusaha keras untuk mencapai tingkat
kemampuan yang lebih tinggi dan lebih tinggi lagi tanpa ada batasnya, akhirnya kandas
dan menemukan dirinya terbenam ke dalam penyakit kejiwaan.

Penjelajahan ke dalam batin atau kejiwaan untuk mengetahui lebih jauh tentang
seluk beluk manusia yang unik ini merupakan se suatu yang merangsang Banyak
penulis yang berusaha mendalami masalah psikologi dan seiring dengan itu banyak
penelaah atau peneliti sastra yang mencoba memahami karya sastra dengan ban tuan
psikologi Memang banyak hal dalam kehidupan umat manu sia dapat dipulangkan ke
teori-teori psikologis Karera didorong oleh cara berpikir semacam itu, muncullah
pendekatan psikologis dalam telaah atau penelitian sastra.

Kehadiran manusia dalam sastra sulit dibantah. Meskipun dalam sastra


METODE

15
63 mengemukakan tokoh batu, hewan, angin, dan seterusnya, sebenarnya manusia yang
dijadikan penggeraknya. Manusia secara psikologis adalah mini dunia. Oleh sebab itu,
mempelajari manusia dalam sastra sama halnya mengitari dunia. Wajah dunia, baik
mikro kosmos maupun makrokosmos, selalu ada dalam sastra. Maka, para peneliti
psikologis akan tertarik pada wajah dunia ini. Wajah dunia ini memang bisa dilihat
dengan berbagai kacamata keilmuan sastra, namun secara psikologis dipandang lebih
menukik pada esensi ma nusia itu sendiri.

2. Tantangan Psikologi Sastra

Maaf, ketika menulis buku ini saya harus menyatakan secara apa adanya tentang
eksistensi psikologi sastra. Eksistensi adalah masalah keberadaan. Dalam konteks ini,
fenomenologi banyak bi cara masalah keberadaan Psikologi sastra itu "ada", bisa
"diadakan" atau memang telah "ada". Sejauh pemikiran manusia tentang "ada",
sebenarnya psikologi sastra telah ada sejak dahulu. Hanya saja, pen jemnihan masalah
ini baru muncul pada saat orang sadar akan ke beradaan disiplin ini.

Kehadiran psikologi sastra tidak selalu mulus. Lepas dari daya tarik yang
mestinya menjadi pionir dalam pemahaman sastra, psiko logi dililit kerikil-kerikil tajam.
Kadang-kadang orang menanggapi dingin pada ilmu ini. Bahkan ada yang menganggap
psikologi sastra sekadar main-main dan fenomena ilmu kacangan Amat menyakitkan
berbagai komentar yang mungkin hadir dari "orang dalam", artinya pemerhati sastra.
Sungguh banyak tantang an yang mesti diselesaikan dengan kepala dingin ketika
berhadap an dengan komentar minir. Saya pun menyadari semua itu.

C. Masalah, Data, dan Cakupan Penelitian

Rumusan masalah adalah sendi utama dalam penelitian psiko logi sastra. Tanpa
rumusan masalah yang tegas, penelitian akan berbelok arah. Sayangnya rumusan
masalah sering diabaikan oleh beberapa peneliti sastra. Rumusan sering dianggap hal
ringan yang disusun main-main saja. Akibatnya, ada penelitian psikologis yang jelas
masalahnya, tetapi jalan terus.

Rumusan masalah akan menentukan teori, data, dan analisis yang harus
dilakukan Seluruh perangkat penelitian ini perlu ditata ke arah psikologi sastra minded.
Jika rumusan masalah sudah jelas, bernuansa psikologi sastra, barulah menentukan teori
dan langkah kerja. Teori dan langkah ini akan membingkai pemerolehan data yang
sahih dan atau terpercaya. Persoalan data dalam penelitian psiko logi sastra, amat pelik.
Data tergantung dari sisi mana aspek psiko logis akan diungkap. Berbagai hal dapat
menjadi data, namun mana yang otentik agaknya perlu pertimbangan khusus. Persoalan
ini akan terkait langsung maupun tak langsung dengan cabang mana yang akan
dijadikan sasaran penelitian psikologi sastra.

Secara khusus, ahli sastra yang mengawali pembicaraan tentang ruang lingkup
psikologi sastra adalah Wellek dan Warren (1989) dalam buku Theory of Literature.
Mereka, lepas dari suka atau tidak suka, telah meletakkan dasar pemahaman psikologi
sastra secara sistematis.

16
D. Fokus Penelitian Psikologi Sastra

Pernyataan menarik yang di sampaikan Fokkema (1998:174) Patut di cermati dalam


fokus psikologi sastra. Dia menyatakan bahwa Paling tidak, teori yang dikemukakan
akan memberikan arah an bagaimana data harus dipaparkan. Sebagai sebuah teori, karya
kedua ahli ini cukup memberikan gambaran mendasar tentang ling kup dan argumen
munculnya psikologi sastra. Pada bagian tiga buka tersebut dijelaskan secara panjang
lebar tentang psikologi sastr sebagai wilayah penelitian ekstrinsik sastra. Penelitian
ekstrinsk yang sering dibentangkan secara berkebalikan dengan intrinsik telah banyak
mewarnai penelitian sastra kita.

Baik penelitian intrinsik maupun ekstrinsik, sebenarnya sama pentingnya.


Meskipun ada yang berpendapat berbeda bahwa pene litian intrinsik jauh lebih penting,
silakan saja. Pada bagian ini tik harus bertele-tele berdebat masalah kedua cabang besar
penelitian sastra itu. Yang jelas, psikologi sastra memang bagian penelitian yang
memandang sastra tidak berdiri sendiri. Kehadiran sastra patut di lihat dengan kacamata
lain.

Istilah psikologi sastra" oleh Wellek dan Warren (1989) diurai kan dalam bentuk
esai kritis yang panjang. Kita dapat menyelami betapa pentingnya psikologi sastra untuk
menangkap sisi lain dari karya sastra. Pada prinsipnya, psikologi sastra mempunyai
empat ke mungkinan pengertian Pertama adalah studi psikologi pengarang sebagai tipe
atau sebagai pribadi, Kedua adalah studi proses kreatif.. Ketiga, studi tipe dan hukum-
hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra; Keempat, mempelajari dampak
sastra pada pembaca (psikologi pembaca) Keempat hal ini sering mewarnai pemikiran
pemerhati sastra yang "coba-coba" ke arah psikologi sastra.

Hal tersebut sedikit berbeda dengan Scott (1989:69-70) yang berpendapat bahwa
penelitian psikologi sastra yang otentik meliputi tiga kemungkinan. Tiga sasaran
analisis termaksud dapat disejajar kan dengan empat kemungkinan kajian di atas.
Menurut dia, yang penting adalah psikologi sastra mencakup tiga hal, yaitu (1) peneli
tian hubungan ketidaksengajaan antara pengarang dan pembaca, (2) penelitian
kehidupan pengarang untuk memahami karyanya dan (3) penelitian karakter para tokoh
yang ada dalam karya yang diteliti. Ketiga cabang yang ditawarkan ini tidak
berseberangan de ngan gagasan Wellek dan Warren. Hanya saja, Scott tidak begitu
terfokus pada psikologi kehidupan pengarang.

E. Teori Dasar Psikologi Sastra

Sastra adalah sastra. Begitu batasan yang paling sulit dibantah. Artinya, selain
sastra adalah bukan sastra. Namun, di lain pihak, kita juga boleh menyatakan sastra
adalah ungkapan jiwa. Sastra itu wakil jiwa lewat bahasa. Lewat simbol sastra itu ada.
Simbol yang mewadahi jiwa hingga sastra itu menarik.

Konteks demikian dapat diartikan bahwa sastra tak mampu me lepaskan diri dari
aspek psikis. Jiwa pula yang berkecamuk dalam sastra Pendek kata, memasuki sastra
akan terkait dengan psikologi karya itu. Inilah awal kehadiran psikologi sastra dalam

17
penelitian sastra. Sastra adalah fenomena yang tepat didekati secara psiko logis. Seperti
wawasan yang telah lama menjadi pegangan umum dalam dunia sastra, psikologi sastra
juga memandang bahwa sastra merupakan hasil kreativitas pengarang yang
menggunakan media bahasa, yang diabdikan untuk kepentingan estetis. Sastra merupa
kan hasil ungkapan kejiwaan seorang pengarang, yang berarti di dalamnya ternuansakan
suasana kejiwaan sang pengarang, baik suasana pikir maupun suasana rasa (emosi).

Di atas dapat diterima nalar karena sebenarnya karya sastra itu lahir dari
pengekspresian endapan pengalaman yang te lah lama ada dalam jiwanya dan telah
mengalami proses pengolah an jiwa secara mendalam melalui proses berimajinasi.

Akan lebih jelas dilihat dalam bagan proses kelahiran karya sastra. Sastra lahir dari
proses imajiner yang syarat muatan kejiwaan. Ke tika dada sesak, orang mencipta
sastra. Pada waktu duka, lara, seng sara, sastra cair dengan sendirinya. Meskipun jiwa
dapat melaku kan kebohongan diri dan publik, tetapi ekspresi sulit menyembunyi
kannya.

Manusia sebagai tumpuan sastra selalu terkait dengan gejolak jiwanya. Manusia
yang memiliki derajat istimewa, memiliki budi bahasa, watak, dan daya juang kejiwaan
berekspresi. Namun, manu sia juga tidak sendirian di dunia. Mereka harus hidup
berdamping an dengan manusia-manusia lain. Fenomena ini akan menjadi bi dikan
pengarang. Pengarang akan mengarahkan kamera jiwanya ke arah hal tersebut secara
masak Seperti yang pernah dikatakan oleh CG. Jung (Semi, 1993), bahwa pengarang
adalah seorang manu sia biasa. Saya memandang lebih dari itu, manusia juga sekaligus
makhluk luar biasa. Mereka memiliki kepekaan jiwa sangat tinggi sehingga mereka
mampu menangkap suasana batin manusia lain yang paling dalam

Gejala-gejala kejiwaan yang dapat ditangkap oleh sang penga rang dari manusia-
manusia lain tersebut, kemudian diolah dalam batinnya dipadukan dengan kejiwaannya
sendiri lalu disusunlah menjadi suatu pengetahuan baru dan diendapkan dalam batin.
Jika endapan pengalaman ini telah cukup kuat memberikan dorongant pada batin sang
pengarang untuk melakukan proses kreatif, maka dilahirkannya endapan pengalaman
tersebut dalam wahana bahasa simbol yang dipilihnya dan diekspresikan, menjadi
sebuah karya sastra. Dengan demikian, pengalaman kejiwaan sang pengarang yang
semula terendap dalam jiwa, telah beralih ke dalam karya sastra yang diciptakannya,
yang terproyeksi lewat ciri-ciri kejiwaan para tokoh imajinernya.

Sastra sebagai "gejala kejiwaan", di dalamnya terkandung feno mena-fenomena


kejiwaan yang tampak lewat perilaku tokoh-tokoh nya. Dengan demikian, karya sastra
dapat didekati dengan meng gunakan pendekatan psikologi. Sastra dan psikologi terlalu
dekat hu bungannya. Meskipun sastrawan jarang berpikir secara psikologis, namun
karyanya tetap bisa bernuansa kejiwaan.terima karena antara sastra dan psikologi
memiliki hubungan lintas yang bersifat tak langsung, dan fungsional (Jatman, 1985:165
serta Roekhan, 1987:144). Tidak langsung, artinya hubungan itu ada kare na baik sastra
maupun psikologi, kebetulan memiliki tempat berang. kat yang sama, yakni kejiwaan
manusia. Pengarang dan psikolog ada lah sama-sama manusia biasa. Mereka mampu
menangkap keadaan kejiwaan manusia secara mendalam. Hasil penangkapan itu setelah
mengalami proses pengolahan diungkapkan dalam bentuk sebuah karya Hanya

18
perbedaannya, sang pengarang mengemukakannya dalam bentuk karya sastra,
sedangkan psikolog, sesuai dengan ke ahliannya, ia mengemukakannya dalam bentuk
formulasi teori-teori psikologi. Dengan demikian, tidaklah mengada-ada kalau di antara
keduanya dapat dilakukan penelitian lintas disiplin. dan karya sastra memiliki hubungan
fungsional, yak. ni sama-sama berguna untuk sarana mempelajari keadaan kejiwaan
orang lain. Hanya perbedaannya, gejala kejiwaan yang ada dalam karya sastra adalah
gejala-gejala kejiwaan dari manusia-manusia imajiner, sedangkan dalam psikologi
adalah manusia-manusia riil Namun, keduanya dapat saling melengkapi dan saling
mengisi un tuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam terhadap kejiwa an
manusia, karena terdapat kemungkinan apa yang tertangkap oleh sang pengarang tak
mampu diamati oleh psikolog, atau sebaliknya. Berdasarkan uraian di atas, karya sastra
sebenarnya tidak dapat dilepaskan sama sekali dari penulisnya, seperti yang dulu
dilakukan oleh penganut paham "strukturalisme tradisional", yang menganggap bahwa
karya sastra itu bersifat otonom, lepas sama sekali dari penulisnya. Sebab, di antara
keduanya terdapat "hubungan kausalitas" (Aminuddin, 1988:7), yakni karya sastra
merupakan hasil kreativitas pengarangnya, yang tidak akan mungkin lahir tanpa ada
penulis sebagai penuturnya. Itulah sebabnya keterangan tentang psikologis pengarang
akan sangat bermanfaat bagi penelitian psikologi sastra, khususnya penelitian tentang
aspek psikologi pengarang Akhirnya, dapat dikatakan bahwa sastra sebenarnya dapat
dijadikan objek penelitian kejiwaan. Sastra dapat membantu psiko logi atau pun
sebaliknya. Belajar kejiwaan dari sastra mungkin jauh lebih intens dibanding dalam
dunia nyata.

F. Kreativitas Kejiwaan Baca Sastra

Kreativitas adalah ciri olah sastra yang hebat. Sastrawan yang kaliber, dapat
bergerak dalam kreativitas yang canggih. Dari hal sederhana dapat dia tampilkan
menjadi hal kreatif yang jitu. Krea tivitas ini akan membangun orientasi nilai. Lebih
dari itu orisinali tas juga akan tergarap lewat kreativitas. Inilah fungsi psikologis pada
sela-sela kepengarangan. Kejiwaan selalu menyertai dunia kreati vitas, dari nol sampai
tak terbatas

Baca sastra butuh kreativitas luar biasa. Ada juga yang mem baca sastra perlu
sutradara. Meskipun demikian, kreativitas diri tidak kalah pentingnya, Sutradara atau
penata laku baca, hanya mem beri masukan, tapi eksekusi tetap pada pembaca. Pembaca
semestinya senantiasa menciptakan kebaruan dalam membaca. Orisinalitas baca juga
penting. Namun demikian, memang meniru gaya baca juga bukan dosa.

Menurut Jatman (1985:109-112), gagasan-gagasan tentang ke baruan dalam sastra


memang tidak begitu jauh dari gagasan-gagas an para ahli psikologi tentang kreativitas
seperti yang ditunjukkan oleh Guilford, misalnya Namun, bila para seniman lebih
banyak memusatkan perhatian pada kebaruan dari karya seninya, ahli-ahli psikologi
lebih memusatkan perhatian pada proses kejiwaan yang melahirkan karya seni ini.
Demikianlah ketika seseorang mengutip pendapat Merton (1961) bahwa yang disebut
orang kreatif itu bu kan karena banyaknya gagasan-gagasan baru yang dilahirkannya,
tetapi karena di antara gagasan-gagasan barunya itu ada satu dua yang sungguh
bermutu, maka bagi para seniman kebaruan ini ha nyalah gelar bagi sang seniman, dan

19
tidak menentukan karya seni nya. Namun demikian, bisalah kita lihat bahwa ketika
pembicaraan sampai pada proses kreatif serta nilai-nilai yang melibatkannya, dua
disiplin ini bertemu. Demikianlah kita akan lebih banyak me musatkan perhatian pada
proses kreatif yang mengandung pula per masalahan orisionalitas, otentisitas, integritas
identitas ini

Konsep tentang orisinalitas menuntut seniman untuk selalu me ngembangkan


dirinya dengan jalan mencipta dan membaca. Apa bila Heinnemen berkata "Respondo
ergo sum", maka modus pengem bangan diri manusia ditandai dengan kepekaannya
untuk selalu res ponsif terhadap situasi-situasi baru, dengan demikianlah ia selalu
menyempurnakan dirinya. Proses kreatif menjadi proses to be and to be better, dan
bukan to have and to have more, seperti yang selalu diingatkan oleh Erich Fromm.
Pernyataan ini mengandung impli kasi bahwa membaca sastra perlu meningkatkan
kualitas, tidak seka dar membaca lebih banyak Membaca satu dua judul yang berbobot,
memukau, memiliki nuansa jelas, jauh lebih berharga. Namun de mikian yang banyak
terjadi adalah orang-orang menjadi sangat berorientasi pada kebaruan produk yang
sangat ditentukan oleh mode atau selera masyarakat. Banyak seniman yang kemudian
ter jebak dalam upaya untuk selalu menjawab rising demand masyara kat yang hanya
bermakna kebaruan-kebaruan mode. Kebaruan mem baca tidak berarti sekadar membuat
gebrakan sesaat, namun me lalui penjiwaan dalam

Tuntutan akan kebaruan model ini memang lama kelamaan internalized dalam diri
seniman, sehingga mereka akan le bih tampak sebagai produser kebaruan kebaruan dan
kejutan-kejut an bagi masyarakat daripada kebaruan yang menyangkut struktur dalam,
atau konstruksi pengalamannya, seperti yang dituntutkan oleh Ronald Laing. Kebaruan-
kebaruan menjadi mandul dalam eksperimen-eksperimen pencarian bentuk ungkapan
seni yang baru, sebagaimana tampak dalam lukisan di tubuh manusia, atau lukisan.

20
BAB III
PSIKOLOGI SASTRA ANAK

A. Kejiwaan, Moral dan Budi Pekerti dalam Sastra Anak

Kejiwaan anak ternyata masih labil. Pada saat itu, sebenarnya sastra yang memuat
moral dan budi pekerti dapat disemaikan. Lang sung ataupun tidak anak akan menyerap
secara psikis kandungan moral dan budi pekerti dalam sastra. Ketika anak melihat
televisi yang memuat drama, film, teater, baca puisi dan sebagainya psikis akan terbuka.
Begitu pula saat mendengar ataupun membaca do ngeng, kejiwaan anak akan mekar.

Jika demikian, sastra bagi anak ternyata amat penting. Sayang nya, yang dinikmati
anak belum tentu sastra ciptaan anak. Melain kan, sastra orang dewasa, yang berandai-
andai jadi anak. Akibat nya bukan mustahil jika ada hal-hal yang sulit bagi anak ketika
menikmati sastra. Memang istilah sastra anak itu masih proble matik besar. Sejauh ini,
hanya para ahli yang mengklaim muncul nya sastra anak. Padahal, esensinya sastra itu
tetap sastra. Sastra dibaca orang tua atau remaja juga tidak masalah. Sebaliknya, sastra
itu tak ada yang khas untuk anak. Toh andaikata diperuntukkan anak, yang diklaim
sebagai sastra dewasa juga sering dinikmati anak.

Anehnya, hingga saat ini ada yang sengaja atau tidak mencoba merekonstruksi
sastra anak. Sesungguhnya jika mau menyadari, istilah sastra anak itu amat politis,
politis sastra. Sastra anak mau tak mau harus berurusan dengan psikologi. Psikologi
yang bernuansa asumsi ini yang menyebabkan ada pembagian sastra anak. Oleh karena
itu memang psikologi sastra anak jelas akan berurusan dengan psikis anak. Tentu saja
aspek sosial ataupun bahasa juga menjadi faktor penting. Namun kehadiran psikologi
jauh lebih spe sifik untuk menggolongkan mana sastra anak dan mana yang bukan sastra
anak.

Beberapa penulis buku sastra anak yang kali ini tengah ber gulat dengan berandai-
andai secara psikis, antara lain Riris K Toha Sarumpact, Sugihastuti, Burhan
Nurgiyantoro, Henry Guntur Tari. gan, dan lain-lain. Umumnya mereka hendak
mengotakkan sastra bagi anak. Psikologi yang paling penting bagi anak adalah masalah
relevansi. Relevansi sastra ini akan berkaitan dengan fungsi sastra bagi anak. Dalam
kaitan ini, Roettger (Tarigan, 1994:9-15) banyak memberikan rumusan sastra anak dan
kandungan nilainya. Paling tidak dari rumusan yang dia paparkan, akan muncul asumsi
bahwa anak-anak akan memperoleh berbagai manfaat, nilai buat dirinya sendiri setelah
menikmati sastra. Dengan perkataan lain, sastra dapat memberi nilai intrinsik atau
intrinsic values bagi anak-anak. Dia juga menggambarkan betapa banyak kegunaan
sastra anak bagi dunianya.

Pertama, bahwa sastra memberi kesenangan, kegembiraan, kenikmatan kepada


anak-anak. Nilai seperti ini akan tercapai apa bila sastra dapat memperluas cakrawala
anak-anak dengan cara menyajikan pengalaman-pengalaman baru dan wawasan-
wawasan baru. Oleh karena itu, anak-anak perlu menemukan kegembiraan dalam buku-
buku sebelum mereka dituntut menguasai keterampil an membaca Seyogianya belajar
membaca itu dirasakan oleh anak anak sama dengan belajar naik sepeda. Mereka ingin

21
sekali melaku kan kegiatan tersebut karena mereka mengetahui bahwa pada akhir nya
akan memberi kegembiraan, memberi kenikmatan. Dengan demikian, mereka selalu
rindu, selalu ingin membaca buku/karya sastra baru. Kian banyak mereka baca, kian
banyak pula kegembira an yang diperoleh dan dialaminya. Pada saat anak-anak
menonton Teletabies, Baja Hitam, Detektif Conan, Superman, dan sejenisnya se
mestinya ada endapan psikologis dalam diri anak. Di samping ke ngerian, tentu ada
perasaan lega dalam dirinya.

22
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN SASTRA

A. Ketimpangan Penelitian Sastral

Menurut Endaswara (revisi 2008) Penelitian sastra sampai saat ini memang
cenderung masih berat sebe lah. Maksudnya, di beberapa lembaga penelitian dan
perguruan tinggi (sastra) onentasi penelitian masih terbatas pada teks sastra. Akibatnya,
hasil penelitian sastra cenderung bersifat deskriptif belaka. Di beberapa sentral
penelitian, hasil penelitian pada umumnya masih berkutat pada hal hal teoritik sastra
Yakni, schuah wilayah penelitian sastra untuk sastra Orientasi semacam ini sering di
anggap kurang lengkap, karena karya sastra sebenarnya merupakan bahan ko munikasi
antara pengarang dengan pembaca.

Wajah penelitian sastra semacam itu cenderung mendewakan hadirnya penelitian


intrinsik Yakni, upaya penelitian untuk membedah karya sastra itu sendiri. Penelitian
sastra model ini lebih mengarah pada kepentingan sastra untuk sastra. Memang,
pemahaman karya lewat karya itu sendiri memang ti dak salah, namun unsur di luar
sastra pun sebenarnya juga patut dipertim bangkan Kemungkinan besar kecenderungan
tersebut muncul disebabkan oleh miskinnya teori yang membumi, khususnya studi
ekstrinsik. Jika di Indonesia telah ada penelitian ekstrinsik, mungkin baru sosiologi
sastra dan atau struktu ralisme genetik yang sedikit berkembang. Sedangkan penelitian
dari aspek psi kologi, filsafat, politik, ekonomi, dan sebagainya masih jarang dilakukan

Kepincangan penelitian sastra yang terasa sampai saat ini adalah masih jarang
peneliti yang berani menerapkan metode eksperimen Padahal, peneliti an yang satu ini
sedikit banyak akan melengkapi makna yang selama ini ter abaikan Pemakaian metode
ini sekurang kurangnya akan mampu mengungkap seberapa jauh tanggapan pembaca
sastra, sebab pembaca merupakan bagian penting dalam rangka pengembangan sastra ke
depan. Tanpa memperhatikan aspek pembaca, tentunya penelitian sastra akan semakin
kurang bermakna.Di samping persoalan metode, ihwal obyek penelitian kadang-kadang
juga masih timpang Biasanya peneliti sastra kita masih cenderung tertarik pada sastra
tulis, sementara sastra lisan dilupakan. Padahal, sastra lisan yang tersebar dan mengakar
di masyarakat, meskipun sebagian besar anonim, tetap memilik estetika tersendiri.
Sastra lisan juga memuat berbagai hal, bahkan bisa saja le bih istimewa dibandingkan
sastra tulis. Sayang, peneliti sastra kita sering merasa kurang mampu menyisihkan
waktu dan bahan untuk studi sastra lisan. Akibat nya, di tengah-tengah kita banyak
sastra lisan yang hampir punah dan kurang mendapat sentuhan peneliti.

Penelitian sastra selama ini juga masih sering memilih obyek sastra yang dipandang
bermutu. Jarang sekali peneliti yang tergiur pada karya-karya populer. Padahal karya-
karya tersebut sebenarnya juga menanti sentuhan pene liti, karena di dalamnya juga
termuat berbagai hal yang mestinya menarik. Pe nelitian sastra yang terlalu terfokus
pada karya-karya yang dianggap besar yang lahir dari penulis besar, akan mengaburkan
eksistensi sastra yang sesungguhnya.

23
B. Kemiskinan Teori dan Ilmu Sastra

Banyak pihak mensinyalir bahwa penelitian sastra kita masih tergolong "ringan"
kadar keilmiahannya. Ini ditandai adanya seminar penelitian sastra di berbagai tempat,
yang ternyata, tidak atau belum dan kurang memiliki bobot karakteristik penelitian
ilmiah. Ini menyebabkan kondisi penelitian sastra sukar dibedakan dan komentar sastra
dan atau kritik sastra. Penelitian sastra menjadi sukar dibedakan dari timbangan buku
atau karya yang masih ringan bobotnya.

Kendati asumsi demikian masih perlu dicermati, namun sungguh me nyuguhkan


pekerjaan rumah" bagi para insan peneliti sastra Setidaknya, akan menjadi tantangan
untuk meningkatkan intensitas manajemen penelitian sastra. Oleh karena boleh jadi
bahwa "kerendahan" bobot penelitian sastra itu dipe ngaruhi seluk beluk manajemen
penelitian yang kurang kondusif. Masalahnya, jika cendekiawan sastra diam saja, sangat
mungkin bila suatu saat nanti akan terjadi "cibiran" dan bahkan "pelecehan" terhadap
penelitian sastra.

Upaya yang dapat ditempuh untuk meningkatkan intensitas manaje men penelitian
sastra antara lain dapat dilakukan dengan memberdayakan se cara optimal metodologi
penelitian sastra. Jika metodologi tidak diterapkan se cara fasih, besar kemungkinannya
permasalahan penelitian sastra akan berke panjangan Karena, di antara penyebab
penelitian sastra masih berkadar rendah adalah penerapan metode ilmiah. Maksudnya,
dalam hal hal tertentu, peneliti an sastra sering dilanda subyektivitas peneliti yang tak
terkendali, sehingga sifat "obycktif dan adanya "jarak metodologis" kurang terjaga.
Permasalahan ini, menurut Teeuw (1982) disebabkan oleh kemiskinan teori penelitian
sastra, padahal obyek (sastra) yang akan diteliti sangat melimpah. Teori-teori dangkal
tentang penelitian sastra, secara otomatis akan mengaburkan pemahaman ter hadap
karya itu sendiri. Itulah sebabnya, pada bagian lain Teeuw (2003: 33) mengisyaratkan
bahwa pembentukan pribumisasi teori sastra sah-sah saja Pembentukan teori global atau
universalitas boleh juga asalkan mampu mengikuti perkembangan sastra.

Minimnya teori penelitian sastra, sering berakibat "comot sana-sini" dan memungut
teori asing yang kurang mengakar pada si pemakai teori. Adopsi teori barat tersebut
umumnya disadap mentah-mentah, bahkan kadang kadang kurang relevan dengan
eksistensi sastra kita. Jarang sekali, teori sastra barat yang dikombinasi dengan "teori
dalam negeri" yang lebih membumi. Akibat nya, ada "pemaksaan" teori sastra asing
yang kurang siap untuk memasuki sas tra di Indonesia. Meskipun mengambil teori asing
itu sah-sah saja dan tak ha ram, namun tanpa kecerdasan si pemakai hanya akan
"mengotori" penelitian sastra kita.

Jika disadari, teori sastra akan membantu analisis, interpretasi, dan pe nilaian yang
tepat agar dapat mempertanggungjawabkan kepada masyarakat tentang arti sebuah
karya sastra. Yang penting, dalam memanfaat kan teori sastra harus waspada, khususnya
jika mengambil teori internasional (barat). Sebab unsur-unsur tertentu antara barat dan
timur kadang-kadang ber beda Di barat, unsur waktu bisa dinyatakan tepat, sedangkan
di timur (Nusan tara) ada waktu yang ditengarai secara konvensional, ada waktu sakral,
dan se bagainya. Itulah sebabnya, teori sastra yang dimanfaatkan tak perlu dipaksakan
(Sutrisno, 1997 13).

24
Jadi masalah yang dihadapi oleh peneliti sastra sangat kompleks. Na mun demikian,
Hutagalung menyarankan agar peneliti sastra tak terlalu terpe sona dengan perbedaan-
perbedaan teori sastra timur barat Yang penting dike tahui bahwa setiap kerja penelitian
kita jelas sulit lepas dari penelitian orang la in Perdebatan teori sastra yang bertele-tele,
misalkan tentang hakikat sastra, definisi sastra, seni untuk seni, seni untuk masyarakat,
dan sebagainya hanya akan menghabiskan energi. Pembicaraan semacam itu penting,
tetapi bukan po kok persoalan dalam khasanah penelitian sastra.

Harus disadari, penelitian sastra memang wilayah garap yang unik di bandingkan
bidang humaniora yang lain. Karena itu, masuk akal jika memerlu kan kejelian, taktik,
dan metodologi yang spesifik pula. Banyak pihak memang menghendaki penelitian
sastra yang mengarah pada pemanfaatan "teori sastra murni" agar terungkap hakikat
karya sastra. Namun demikian, pemakaian me todologi ini sering belum mampu
memahami makna karya sastra secara kom prehensif.

Manajemen Penelitian Sastra

A. Peranan Penelitian Sastra

Penelitian sastra memiliki peranan penting dalam berbagai aspek kehi dupan manusia,
di samping juga berpengaruh positif terhadap pembinaan dan pengembangan sastra
itu sendiri (Tuloli, 1990 902) Peranan semacam ini akan tercapai optimal apabila
penelitian sastra tersebut dilakukan sungguh-sungguh Penelitian sastra yang sekadar
asal asalan, hanya akan melahirkan sampah saja, dan mungkin justru akan
merongrong eksistensi sastra itu sendiri.

Lebih khusus lagi, tujuan dan peranan penelitian sastra adalah untuk memahami
makna karya sastra sedalam-dalamnya (Pradopo, 1990.942). Berarti penelitian sastra
dapat berfungsi bagi kepentingan di luar sastra dan kemajuan sastra itu sendiri.
Kepentingan di luar sastra, antara lain jika penelitian tersebut berhubungan dengan
aspek-aspek di luar sastra, seperti agama, filsafat, moral, dan sebagainya. Sedangkan
kepentingan bagi sastra adalah untuk meningkat kan kualitas cipta sastra

Peranan penelitian sastra bagi aspek di luar sastra dipengaruhi oleh kan dungan sastra
sebagai dokumen zaman. Di dalamnya, karya sastra akan menjadi saksi "sejarah"
yang dapat mengembangkan ilmu lain begitu juga sebaliknya Peranan semacam ini
boleh dikatakan sebagai aspek pragmatik penelitian sastra. Yakni, hasil-hasil
penelitian sastra akan bermanfaat bagi ilmu lain yang relevan. Hal ini akan membuka
kerjasama yang baik antar disiplin ilmu, antara sastra dengan bidang lain Lebih jauh
lagi, penelitian sastra juga akan mem bantu pengembangan teori sastra, penulisan
sejarah sastra, dan memperluas apresiasi pembaca.

Sayangnya, di Indonesia memang belum ada upaya khusus untuk mem persiapkan
sumber daya manusia menjadi peneliti sastra. Jika di perguruan tinggi ada mata kuliah
Metode Penelitian Sastra, mungkin materi yang diajarkan hanya mencakup sebagian
kecil dari spektrum penelitian sastra yang sangat lu as. Penataran penataran penelitian

25
sastra pun kadang-kadang masih bersifat parsial. Jika ada dosen yang meneliti sastra,
itu pun kadang-kadang hanya sam pingan belaka Tugas dosen di Indonesia telah
bertumpuk sehingga amat jarang yang mengambil waktu khusus untuk meneliti
sastra. Bahkan, jika mereka ter paksa meneliti hanya terbatas penelitian sastra "dalam
rangka" (untuk kredit poin atau kepentingan kuliah). Dengan kata lain, sampai
sekarang memang be lum ada peneliti sastra yang profesional. Yang ada adalah
peneliti sastra "sam bilan". Dengan demikian, peneliti tidak dapat mencurahkan penuh
pikiran dan waktunya untuk memahami teks sastra

Di negara kita memang ada Balai Bahasa, sekurang-kurang telah berdiri sembilan
kantor di sebagian propinsi namun mereka juga kurang dibekali de ngan perangkat
penelitian sastra. Jika mereka berasal dari sarjana sastra, jelas memungkinkan ke arah
pengembangan ke depan. Namun demikian pencerahan penelitian sastra yang khusus
membahas metodologi juga jarang dilakukan. Yang aneh, seringkali mereka telah
merasa bisa sehingga dengan bekal seada nya terpaksa meneliti sastra. Pada tahap
semacam ini, tentunya penelitian sas tra menjadi kurang optimal.

Padahal, tugas peneliti sastra sesungguhnya lebih mulia. Peneliti tidak sekadar harus
menafsirkan apa saja yang dipandang aneh dalam karya, melain kan harus
memberikan penilaian dan pertanggungjawaban Peneliti seyogyanya mampu
mengevaluasi karya sastra sampai proses penciptaan Dari sini akan muncul pula mana
karya sastra yang bermutu dan mana karya sastra yang "ka cangan". Dengan kata lain,
penelitian sastra memiliki tidak sekadar bertugas il miah murni atau bersifat akademis
belaka, melainkan harus mampu memberi kan pencerahan perkembangan sastra,
seleksi sastra, penyebarluasan sastra, dan menjelaskan latar belakang apa saja yang
terkait dengan penciptaan

Yang lebih penting lagi, penelitian sastra diharapkan mampu mengung kap fenomena
di balik obyek sastra sebagai ungkapan hidup manusia Ungkapan kehidupan yang
diramu melalui imajinasi, ide, emosi, dan perangkat estetika tersebut yang menjadi
sasaran peneliti sastra Penelitian sastra akan berusaha menerangielaskan kepada siapa
saja tentang maksud yang ada di balik karya sastra Pendek kata, penelitian sastra akan
menjadi jembatan antara penulis, teks, dan pembaca.

Pengembangan Penelitian Strukturalisme Sastra

A. Strukturalisme Genetik

1. Prinsip Dasar Strukturalisme Genetik

Strukturalisme genetik (genetic structuralism) adalah cabang penelitian sastra


secara struktural yang tak murni. Ini merupakan bentuk penggabungan antara
struktural dengan metode penelitian sebelumnya. Konvergensi penelitian
struktural dengan penelitian yang memperhatikan aspek-aspek eksternal karya
sastra, dimungkinkan lebih demokrat. Paling tidak, kelengkapan makna teks sastra
akan semakin utuh

26
Semula, peletak dasar strukturalisme genetik adalah Taine Pandangan nya lalu
dikembangkan melalui studi sastra secara sosiologis. Bagi dia, karya sastra tidak
sekadar fakta imajinatif dan pribadi, melainkan dapat merupakan cerminan atau
rekaman budaya, suatu perwujudan pikiran tertentu pada saat karya dilahirkan Dari
pandangan ini, tampaknya Goldmann adalah satu-satu nya tokoh yang ikut
mengembangkan strukturalisme genetik Dalam pandang an dia, fakta kemanusiaan
merupakan struktur yang bermakna. Semua aktivitas manusia merupakan respon dari
subyek kolektif atau individu dalam situasi ter tentu yang merupakan kreasi untuk
memodifikasi situasi yang ada agar cocok dengan aspirasinya. Dalam hal ini manusia
memiliki kecenderungan untuk ber perilaku alami karena harus menyesuaikan dengan
alam semesta lingku ngannya

Memang diakui, bahwa strukturalisme genetik muncul sebagai reaksi atas


"strukturalis murni" yang mengabaikan latar belakang sejarah dan latar belakang
sastra yang lain. Hal ini diakui pertama kali oleh Juhl (Teeuw, 1988 173) bahwa
penafsiran model strukturalis murni atau strukturalisme klasik kurang
berhasil.Karena, pemaknaan teks sastra yang mengabaikan pengarang sebagai
pemben makna akan berbahaya karena penafsiran tersebut akan mengorbankan
kepribadian, cita-cita, dan juga norma-norma yang dipegang teguh oleh tersebut
dalam kultur sosial tertentu. Secara gradual, dapat dikatakan bahwa ji penafsiran teks
sastra itu menghilangkan pengarang dengan segala eksistensinya dalam jajaran
signifikansi penafsiran, maka obyektivitas suatu penafsiran sebuah karya sastra akan
diragukan lagi karena memberi kemungkinan lebih besar terhadap campur tangan
pembaca di dalam penafsiran karya sastra. cin khas pengarang

Penelitian strukturalisme genetik semula dikembangkan di Perancis atas jasa Lucien


Goldmann. Dalam beberapa analisis novel, Goldmann selalu me nekankan latar
belakang sejarah Karya sastra, di samping memiliki unsur oto nom juga tidak bisa
lepas dari unsur ekstrinsik. Teks sastra sekaligus merepre sentasikan kenyataan
sejarah yang mengkondisikan munculnya karya sastra. Bagi dia, studi strukturalisme
genetik memiliki dua kerangka besar. Pertama hubungan antara makna suatu unsur
dengan unsur lainnya dalam suatu karya sastra yang sama, dan kedua hubungan
tersebut membentuk suatu jaring yang saling mengikat Karena itu, seorang pengarang
tidak mungkin mempunyai pandangan sendiri Pada dasamya, pengarang akan
menyarankan suatu pan dangan dunia suatu kolektif Dan, pandangan tersebut juga
bukan realitas, me lainkan sebuah refleksi yang diungkapkan secara imajinatif

Selanjutnya, George Lukacs juga ikut mengembangkan penelitian sen pa dengan


paham marxis Menurut dia, karya sastra merupakan refleksi indivi du dan masyarakat
yang tidak bebas kelas. Individu dan masyarakat adalah pendukung kelas kelas
tertentu dalam masyarakat. Individu tidak berdiri sen dini, melainkan sebagai anggota
masyarakat yang akan dipantulkan lewat karya sastra.

Penelitian strukturalisme genetik, memandang karya sastra dari dua su dut yaitu
instansik dan ekstrinsik Studi diawali dari kajian unsur intrinsik (ke satuan dan
koberensinya) sebagai data dasarnya. Selanjutnya, penelitian akan menghubungkan
berbagai unsur dengan realitas masyarakatnya Karya dipan dang sebagai sebuah
refleksi zaman, yang dapat mengungkapkan aspek sosial, budaya, politik, ekonomi,

27
dan sebagainya Peristiwa peristiwa penting dari za mannya akan dihubungkan
langsung dengan unsur-unsur intrinsik karya sastra

Metode yang digunakan, dapat mengadopsi tawaran Albrecht (Faruk, 1988 65) yaitu:
(1) metode "sosial histons", meliputi tipe deskriptif murni menge nai sejarah sosial
dan tipe analitik yang diterapkan pada seni (sastra), (2) metode etnografi, terutama
kaitannya dengan "partisipasi observasi", dan (3) metode sta tistik Metode (1) dan (2)
biasanya lebih banyak dipilih peneliti strukturalisme genetik, terutama untuk
mengungkap sejarah dan asal-usul terjadinya teks sastra Sedangkan metode (3)
banyak di manfaatkan oleh penerbit resepsi Sastra seperti yang di lakukan segers.

2. Sasaran: Memahami Pandangan Dunia

Menurut Goldmann, karya sastra sebagai struktur bermakna itu akan mewakili
pandangan dunia (vision du monde) penulis, tidak sebagai individu melainkan sebagai
anggota masyarakatnya. Dengan demikian, dapat dinyata kan bahwa strukturalisme
genetik merupakan penelitian sastra yang menghu bungkan antara struktur sastra dengan
struktur masyarakat melalui pandangan dunia atau ideologi yang diekspresikannya Oleh
karena itu, karya sastra tidak akan dapat dipahami secara utuh jika totalitas kehidupan
masyarakat yang te lah melahirkan teks sastra diabaikan begitu saja. Pengabaian unsur
masyarakat berarti penelitian sastra menjadi pincang

Pandangan dunia, yang bagi Goldmann selalu terbayang dalam karya sastra agung,
adalah abstraksi (bukan fakta empiris yang memiliki eksistensi ob yektif). Abstraksi itu
akan mencapai bentuknya yang konkret dalam sastra. Oleh karena pandangan dunia itu
suatu bentuk kesadaran kolektif yang mewakili identitas kolektifnya, maka dia secara
sahih dapat mewakili kelas sosialnya. Pandangan inilah yang menentukan struktur suatu
karya sastra. Oleh karena itu, karya sastra dapat dipahami asalnya dan terjadinya (unsur
genetiknya) dari latar belakang sosial tertentu. Ketenkatan pandangan dunia penulis
dengan ru ang dan waktu tertentu tersebut, bagi Goldmann merupakan hubungan
genetik, karenanya disebut strukturalisme genetik. Dalam kaitan ini, karya sastra harus
dipandang dari asalnya dan kejadiannya

Atas dasar hal-hal tersebut, Goldmann (Junus, 1986 26) memberikan rumusan
penelitian strukturalisme genetik ke dalam tiga hal, yaitu: (1) peneli tian terhadap karya
sastra seharusnya dilihat sebagai suatu kesatuan, (2) karya sastra yang diteliti mestinya
karya yang bernilai sastra yaitu karya yang me ngandung tegangan (tension) antara
keragaman dan kesatuan dalam suatu kese luruhan (a coherent whole); (3) jika kesatuan
telah ditemukan, kemudian dianali sis dalam hubungannya dengan latar belakang sosial.
Sifat hubungan tersebut: (a) yang berhubungan latar belakang sosial adalah unsur
kesatuan, (b) latar be lakang yang dimaksud adalah pandangan dunia suatu kelompok
sosial yang di lahirkan oleh pengarang sehingga hal tersebut dapat dikonkretkan.

Untuk sampai pada world view yang merupakan pandangan dunia pe ngarang
memang bukan pekerjaan mudah. Karena itu, Goldmann mengisyarat kan bahwa
penelitian bukan terletak pada analisis isi, melainkan lebih pada struktur cerita. Dari
struktur cerita itu kemudian dicari jaringan yang memben tuk kesatuannya. Penekanan

28
pada struktur dengan isi sebenarnya merupakan suatu permasalahan tersendiri, karena
hal tersebut dapat mengabaikan hakikat sastra yang mempunyai tradisi sendin
(Laurenson dan Swingeood, 1972).

Pandangan dunia, menurut Goldmann (Faruk, 1988.74) merupakan is tilah yang


cocok bagi kompleks menyeluruh dari gagasan-gagasan, inspirasi inspirasi, dan
perasaan-perasaan, yang menghubungkan secara bersama-sama anggota-anggota suatu
kelompok sosial tertentu dan mempertanyakannya de ngan kelompok sosial lain.
Pandangan dunia berkembang sebagai suatu hasil dari situasi sosial ekonomi yang
dihadapi oleh subyek kolektif yang memiliki nya. Dari pandangan ini tampak bahwa
pandangan dunia merupakan sebuah sintesis akumulatif kehidupan yang sangat abstrak
"ia" akan menggerakkan ak hidup dan besar pengaruhnya terhadap kehidupan social.

Pada bagian lain, Goldmann (1981:111) mengemukakan bahwa pan dangan dunia
merupakan perspektif yang koheren dan terpadu mengenai hu bungan manusia dengan
sesamanya dengan alam semesta. Hal ini menunjuk kan bahwa pandangan dunia adalah
sebuah kesadaran hakiki masyarakat da lam menghadapi kehidupan. Namun, dalam
karya sastra, hal ini amat berbeda dengan keadaan nyata Kesadaran tentang pandangan
dunia ini adalah kesada ran mungkin, atau kesadaran yang telah ditafsirkan. Oleh karena
itu, boleh di katakan bahwa karya sastra sebenarnya merupakan ekspresi pandangan
dunia yang imajiner.

Melalui pandangan dunia demikian, bukan tidak mungkin kalau karya sastra juga
merefleksikan "nilai otentik" yang dianut dalam hidupnya. Nilai otentik adalah nilai-
nilai yang tersirat dalam novel (karya), nilai yang mengor ganisir sebuah mode dunia
sebagai suatu totalitas (Goldmann, 1977:1-2) Nilai nilai ini bersifat konseptual dan
abstrak. Nilai-nilai ini kadang-kadang ke arah hal-hal yang positif dan negatif. Nilai
yang positif tentu akan memiliki impli kasi ke arah pandangan dunia yang positif
(cerah), menyenangkan, dan penuh harapan. Sebaliknya, nilai otentik yang negatif akan
memunculkan pandangan dunia negatif pula Pandangan dunia ini, oleh Goldmann
disebut pandangan duma tragik Pandangan dunia ini identik dengan wawasan fisosofi
fatalistik Hanya saja, kalau pandangan dunia tragik kurang percaya atas kehadiran Tu
han, sedangkan fatalistik justru sebaliknya tetapi tidak mau berupaya apa pun.

Pandangan dunia tragik hadir pada saat Goldmann membahas novel Hidden God,
Tuhan Bersembunyi. Menurutnya, ada tiga elemen penting yaitu, mengenai Tuhan,
manusia, dan dunia yang ketiganya saling berkaitan. Pan dangan tragik terhadap tiga hal
tersebut akan melahirkan dua pihak yang ber beda. Di satu pihak, mereka meyakini
bahwa pemahaman dan pengakuan se cara lengkap dan tepat menangani dunia baru
yang diciptakan oleh individual isme yang rasionalistik beserta tuntutan-tuntutannya
yang dianggap berharga dan secara ilmiah sahih. Di pihak lain terdapat penolakan total
terhadap dunia.

C. TEKNIK ANALISIS

Teknik analisis yang digunakan dalam strukturalisme genetik adalah model


dialektik Teknik ini berbeda dengan positivistik, intuitif, biografi dan se bagainya.
Model dialektik mengutamakan makna yang koheren Prinsip dasar teknik analisis

29
dialektik adalah adanya pengetahuan mengenai fakta-fakta ke manusiaan akan tetap
abstrak apabila tidak dibuat konkret dengan menginte grasikan ke dalam totalitas
Sehubungan dengan hal tersebut, metode dialektik mengembangkan dua macam konsep,
yaitu "keseluruhan-bagian" dan "pema haman-penjelasan".

Goldmann menyatakan bahwa sudut pandang dialektik berbeda dengan sudut


pandang rasional dan sudut pandang empirik. Sudut pandang rasionalis biasanya
mengasumsikan adanya gagasan yang berasal dari pembawaan dan secara langsung
dapat didekati, sedangkan kaum empirik menyandarkan diri pada kesan inderawi Dua
sudut pandang penelitian ini sama sama mengharus kan agar ditemukannya pengetahuan
secara pasti. Kedua sudut pandang ini memang berbeda dengan sudut pandang dialektik,
yang berasumsi bahwa da lam analisis sastra tidak pernah ada titik awal yang secara
mutlak valid, tidak ada persoalan yang secara final pasti terpecahkan.

Oleh karena itu, pemikiran dialektik tak pernah mengikuti garis lurus Setiap fakta
(sastra) individual hanya bermakna ketika ditempatkan ke dalam keseluruhan
Sebaliknya, keseluruhan hanya dapat dipahami dengan pengeta huan yang bertambah
mengenai fakta fakta partial atau yang tidak menyeluruh yang membangun keseluruhan
itu. Karena keseluruhan tidak dapat dipahami tanpa bagian begitu pula sebaliknya,
proses pencapaian pemahaman makna metode dialektik berlangsung melingkar terus-
menerus, mengikuti sistem sirkel, tanpa ada kejelasan titik awal dan akhirnya

Menurut Goldmann (1970.593) penelitian keseluruhan-bagian memer lukan pola


yang terjamin kehandalannya, yaitu memanfaatkan model yang di susun terbatas pada
sejumlah unsur dan hubungan-hubungannya. Analisis akan berawal dari mana, peneliti
seharusnya bisa menentukan bagian mana yang menjadi unsur dominan menurut data
empirik Dari data tersebut, peneliti se lanjutnya memberikan sebuah dari struktur
internal sebagai bagian keseluruhan Penjelasan struktur internal barulah bagian kecil
pemahaman makna, sedangkan makna akhir harus ke arah struktur secara menyeluruh.

Jika demikian tampak jelas bahwa metode dialektik mengenalkan anali sis
"pemahaman-penjelasan" Pemahaman adalah usaha pendeskripsian struk tur obyek
yang dipelajari, sedangkan penjelasan adalah usaha penemuan makna struktur itu
dengan menggabungkannya ke dalam struktur yang lebih besar Dengan kata lain,
pemahaman merupakan langkah untuk mengidentifikasi bagian, dan penjelasan adalah
langkah pemaknaan unsur bagian ke dalam unsur Keseluruhan.

Penelitian Estetika dan Stilistika

A. Estetika Sastra

1. HAKIKAT ESTETIKA

Kajian estetika akan mengungkap keindahan karya sastra. Karya sastra adalah
fenomena yang penuh bunga-bunga dan aroma Karenanya, peneliti di harapkan mampu
menangkap keindahan di dalamnya. Keindahan adalah cip taan pengarang dengan

30
seperangkat bahasa. Melalui eksplorasi bahasa yang khas, pengarang akan menampilkan
aspek keindahan yang optimal

Keindahan adalah sebuah aplikasi dan intrau dan inscape Intresa ada lah pengaruh
yang nyata dari tangan Tuhan terhadap cipta kreatif seorang sas trawan, sedangkan
inscape adalah pemahaman atau kekuatan melihat sesuatu dengan pikiran dan hati
sebagai suatu pundak realitas dalam sastra berdasarkan kebenaran Tuhan Keindahan
adalah dunia ide/gagasan. Karena ide tersebut terbersit siratan dunia Illahi Jadi,
keindahan akan mengacu pada Tuhan Dari pengertian ini, keindahan dapat dibedakan
menjadi tiga. (a) keindahan dalam arti luas, yaitu keindahan yang identik dengan
kebenaran. (b) keindahan dalam estetik murni, yaitu keindahan dalam pengalaman
sastrawan, yang mempenga ruhi seseorang merasa indah atau tak indah, (c) keindahan
sederhana, yaitu ke indahan yang hanya terbatas pada tangkapan pancaindera

Kajian estetika tak hanya berhubungan dengan seni bahasa saja, tetapi juga
menyeluruh ke unsur-unsur pembangun karya sastra. Menurut Braginsky (Teeuw,
1988.354) ada tiga aspek konsep keindahan. Pertama, dari aspek onto logisnya, ada
keindahan puisi sebagai pembayangan kekayaan Tuhan. Kedua, dari aspek imanen, dari
yang indah, yang terungkapkan dalam kata-kata seperti ajaib, tamasya, dan lain-lain,
dan selalu terwujud dalam keanekaragaman, ke bahagiaan yang harmonis, baik dalam
alam maupun dalam ciptaan manusia. Ketiga, dari aspek psikologis, yaitu efek kepada
pembaca yang menjajdi heran, birahi, suka, lupa dan sebagainya. Dalam kaitan ini karya
sastra dapat dijadikan sebagai pelipur lara ( panglipur Wiyung), Seperti pada Novel-
novel Jawa tahun 1960-an.

Dari pendapat tersebut, tampak bahwa keindahan dari aspek ontologis dan imanen
merupakan bentuk kemampuan pengarang mengolah bahasa da lam karyanya. Olahan
bahasa yang hidup dan mempesona, dapat saja menjadi lebih memaukau dan seakan
akan memiliki sinar Ketuhanan. Kata-kata yang mereka ciptakan seakan-akan berasal
dari Sang Pencipta. Estetika semacam ini merupakan hakikat filosofi dari sebuah
estetika. Keindahan menjadi pijaran kata-kata dan suara Tuhan. Sedangkan keindahan
dari aspek psikologis sebe namya merupakan pengaruh keindahan karya sastra bagi
pembaca Keindahan semacam ini memiliknilai pragmatik. Keindahan karya sastra
diharapkan mampu merebut hati pembaca. Melalui keindahan itu pembaca akan
memburu karya sastra dan menilainya lebih.

Yang patut diketahui, estetika sastra yang universal hampir tidak ada. Keindahan
karya sastra umumnya terbatas pada wilayah sastra itu sendiri Maksudnya, estetika
sastra Indonesia, Inggris, Jawa, Sunda, dan sebagainya memiliki kekhasan masing
masing Kekuatan masing-masing wilayah sastra tersebut bersifat unik Misalkan saja,
dalam sastra Indonesia mengenal sajak asonansi dan aliterasi, dalam sastra Jawa istilah
persajakan dinamakan purwakanthi Lalu ada purwakanthi guru sastra (asonansi) dan
purwakanthi guru swara semacam ini tidak harus dipertentangkan satu sama lain, karena
fungsinya sama yaitu memperindah karya sastra.

2. ANALISIS ESTETIKA

31
Sepintas, penelitian estetik itu sekadar mengungkap masalah unsur pem bentuk seni
sastra saja Unsur-unsur pembangun teks yang menjadi obyek telaah utama. Padahal,
penelitian ini juga merupakan bagian dari strukturalisme murni. Hanya saja, jika
penelitian strukturalisme murni menekankan aspek hubungan antar unsur, penelitian
estetik tidak demikian. Penelitian estetik hanya memfo kuskan pada aspek yang
menyebabkan karya sastra menjadi indah dan me narik

Jan Mukarovsky adalah pencetus penelitian model estetika ini. la me nyebutkan


bahwa munculnya telaah estetik tidak lepas juga dari penelitian for malisme yang
mengarah pada strukturalisme modern. Jika telaah struktural ha nya menakankan pada
telaah makna sehingga aspek-aspek yang mengungkap kan fakta estetik seperti
terabaikan, kemudian muncul telaah estetik Penelitian ini kemudian berkembang
menjadi kajian estetika struktural. Maksudnya, di samping memperhatikan struktur juga
memfokuskan pada estetika pembangun teks.Memang estetika struktural sering
mendapat kecaman pedas, karena obyek estetika itu sendiri kurang jelas. Estetika
sendiri juga sering berubah-ubah pada setiap genre. Itulah sebabnya masalah estetika
bisa menjadi kering, karena kekaburan apa yang hendak dilacak. Baru menjelang abad
ke 20, muncul studi estetika Dessoir dalam bukunya Asthetik und Allgemeine
Kunstwissenschaft, dia membagi dua teori estetika, yaitu. (1) obyektivisme estetik,
adalah semua teori estetik yang dapat mencari ciri-ciri pembeda estetik berdasarkan
aturan obyek, tidak dalam karakter tentang subyek yang menikmatinya, (2)
subyektivisme coste nik, adalah teori yang memahami estetika sebagai suatu ilmu
tentang jenis si kap, pengalaman batin, atau gema psikis tertentu (Fananie, 2001:124)

Lebih lanjut, Mukarovsky memberikan tahapan penelitian estetika men jadi tiga,
yaitu: (1) perhatian pertama dicurahkan pada obyek itu sendiri yaitu organisasi internal
karya sastra yang dikaji, (2) meneliti terminologi sebagai "kesadaran sosial" yaitu
perangkat norma-norma yang terpercaya untuk sebuah kolektivitas tertentu yang
diimplementasikan oleh setiap karya sastra, dan (3) subyek tidak lagi dipahami sebagai
sarana struktur supra-individual yang pasif, tetapi sebagai suatu kekuatan yang beraksi
dan berinteraksi dengan struktur struktur tersebut dan mengubahnya selama terjadinya
interaksi itu

Sebagai contoh, Mukarovsky meneliti puisi dengan menitikberatkan po la bunyi


untuk menemukan kerangka yang memberikan aliran bunyi yang da pat diubah dengan
garis besar yang tegas Jadi, analisis ditekankan pada struk tur bukan pada unsur fonetik
puisi Analisis struktur digunakan untuk menen tukan ciri-cin dalam karya sastra yang
menyebabkan kelebihan (efficay) estetik nya Konsep yang menjelaskan terjadinya
efficay dalam sastra adalah automati sasi. Hal ini merupakan jabaran pengertian yang
membuat aneh dalam teks sas tra. Deautomatisasi yang membuat karya sastra
kehilangan nilai otomatis dari kehidupan sehari-hari.

Kunci makna dalam penelitian estetik struktural adalah tidak terletak pada aspek
sensorinya, melainkan pada hubungan aspek itu dengan kode Ka rena itu, kunci
pemahaman karya sastra tidak harus dicari pada organisasi in ternalnya, melainkan pada
hubungan organisasi tersebut dengan kode yang mendasarinya. Dari pandangan ini,
organisasi karya sastra hanya memiliki su atu ketetapan relatif, dan kode estetik yang
menentukan tampilan aktualnya. Karya sastra adalah memiliki struktur ambigu Karya

32
sastra menjadi tidak am bigu jika dihayati secara berlawanan dengan latar belakang
tradisi

Estetika struktural memberikan perhatian pada tiga fenomena yang se cara tetap saling
berpengaruh, yaitu artistik, estetik, ekstra astistik dan ekstra es tetik, dan tegangan yang
ada di antara bidang tersebut saling mempengaruhi pe ngembangan masing masing
Dalam bukunya Aesthetics Funtion, Norm, and Va lues as Social Facts, Mukarovsky
memberikan tiga konsep aksiologi estetik yang terdiri atas fungsi, norma,dan nilai.

Penelitian Pengajaran Sastra

A. Pentingnya Penelitian Pengajaran Sastra

Sepintas, penelitian pengajaran sastra tidak langsung berhubungan de ngan karya


sastra, melainkan terkait dengan pengajaran Namun, kalau penga jaran sastra dilakukan
sebagai sebuah proses "bersastra", sesungguhnya peneli tian ini pun berhubungan erat
dengan teks sastra. Hanya saja, sampai saat ini memang pengajaran sastra kita masih
berhenti pada hal-hal mekanik, sehingga penelitian sastra yang berkait dengan
pengajaran dilupakan.

Disadari atau tidak, penelitian pengajaran sastra sangat penting untuk meningkatkan
pengajaran dan sekaligus mengembangkan sastra. Penelitian se macam ini memang
jarang dilakukan Kalau pun ada, kadang-kadang tidak di lakukan oleh pengajar sastra
yang bersangkutan. Bahkan, sebagian besar pene litian pengajaran sastra dilakukan och
seorang peneliti yang "kurang" mengua sai pengajaran sastra.

Penelitian pengajaran sastra, akan mengaitkan tiga hal yaitu penelitian, pengajaran,
dan sastra. Karenanya, di samping menguasai masalah metode pe pengajaran sastra dan
liku-likunya, juga harus paham betul tentang sastra. Jika tiga hal itu ada yang timpang
salah satu, tentu penelitian pengajaran sastra jelas kurang efektif. Peneliti pengajaran
sastra juga perlu menguasai aneka ragam teori didaktik, teori belajar, ilmu sastra, dan
metode pengajaran sastra Atas dasar ini, layak kalau penelitian pengajaran sastra baik
secara individual maupun kelompok dilakukan oleh pengajar sastra. Memang mungkin
akan ada kesan kurang obyektif karena pengajar sastra meneliti "aktivitasnya" sendiri.
Anggapan ini tentu belum selamanya benar, asalkan pengajar sastra tersebut memiliki
wawasan metodologi yang akurat, penelitian termaksud akan berjalan lancar.

Penelitian pengajaran sastra yang terbaik memang harus bersifat empi rik.
Pengalaman-pengalaman lapangan yang terkumpul, justru akan menjadi bahan masukan
bagi pengajar sastra dan pengembangan sastra yang akan da tang Sebagai bahan
masukan, penelitian pengajaran sastra semestinya juga men cakup unsur-unsur
pengajaran secara lengkap, misalkan pembaca, buku teks, GBPP, pengajar, media,
lingkungan dan sebagainya.

33
Agar hasil penelitian pengajaran sastra memenuhi fungsinya, segera da. pat
dimanfaatnya oleh siapa saja, maka penelitian sebagainya ke arah program besar
pemerintah. Kini, pemerintah sedang akan memberlakukan KBK (Kuri kulum Berbasis
Kompetensi). Yakni, sebuah program yang berupa rekayasa kultural pengajaran, yang
mendasarkan pada kompetensi dasar minimal. Arah ini sebaiknya direbut oleh peneliti
untuk melakukan pembahasan lebih lanjut

B. Pemikiran Dasar KBK Bidang Sastra

Dalam makalahnya, Endraswara (2002) telah mencoba mengotak-atik tentang


alternatif pelaksanaan KBK bidang sastra. Hal ini perlu, karena jagad pendidikan kita
memang sedang gerah dan gagap Karenanya, basis pendidikan selalu berubah-ubah dari
detik ke detik Akibatnya, tak sedikit basis pendidikan terdahulu sedang berjalan dan
belum optimal, pemerintah telah gemas ingin mengubah ke basis lain. Buktinya, semula
pernah ada pendidikan berbasis bu daya Lalu, ada lagi strategi yang didengungkan
tentang CBSA (cara belajar sis wa aktif), belajar proses, belajar tuntas, dan lain-lain.

Belakangan mencuat pembelajaran berbasis kompetensi. Mau tak mau, pengajaran


sastra juga harus ikut lari mendekati isu nasional tentang KBK yang sedang
digelindingkan pemerintah. Upaya perwujudan KBK dalam bidang sastra tak sekadar
ikut-ikutan Tak sekadar hanyut dalam cforia program pemerintah Namun, memang
telah saatnya pembelajaran sastra diletakkan pada porsinya. Hal ini untuk menepis
anggapan bahwa pembelajaran sastra selama ini tak ber pengaruh apa-apa terhadap
peserta didik Melalui KBK, diharapkan sastra me miliki peranan bagi kehidupan peserta
didik

Di samping itu, peserta didik juga tak akan mengambang serta berjalan dalam
kegelapan dalam belajar sastra. Mempelajari sastra, tak sekadar mekanik dan tanpa
tanpa keterlibatan jiwa, melainkan totalitas kejiwaan akan tercurah kan di dalamnya.
Hal ini berarti mempelajari sastra tak sekadar menghafal isti lah sastra, melainkan
menggauli karya sastra Mempelajari sastra juga memiliki target tertentu yang ditentukan
sendiri oleh peserta didik.

Asumsi perlunya KBK dalam sastra, ada beberapa hal antara lain: (1) peserta didik
sebenarnya bukanlah tabung kosong yang bersih, melainkan me miliki bakat dan
kemampuan tertentu. Kemampuan tersebut tak akan berubah apabila tak dikembangkan,
(2) kemampuan dasar yang dimiliki peserta didik a lain berupa daya imajinasi,
keinginan tampil, dan jiwa seni atau estetis, (3) pelaksanaan pembelajaran sastra
sebelum ada KBK boleh dikatakan gagal, antara karena tak menyentuh esensi apresiasi
sastra. Karenanya, melalui KBK peserta didik akan diajak menggauli langsung karya
sastra, mengoptimalkan pengalaman hidup, mendayagunakan sumber belajar dari
lingkungan peserta didik, dan se bagainya; (4) di samping kemampuan individu peserta
didik juga mempunyai keinginan untuk saling kerjasama dengan orang lain, (5) kegiatan
yang berupa memproduksi sastra di rumah, misalkan ada tugas pekerjaan rumah,
seringkali tidak asli bahkan kadang-kadang dibuatkan orang lain. Di samping itu peserta

34
didik sering hanya mengandalkan pada hasil akhir jika mencipta karya sastra. Maka
dengan KBK yang dipentingkan adalah proses berolah sastra; (6) setiap peserta didik
memiliki daya juang kreativitas yang sulit diabaikan. Setiap pe serta didik akan
berkreasi dalam sastra sesuai tingkat kecerdasan dan imajinasi nya, dan (7) perbedaan
daya estetika, yaitu suatu kelembutan rasa dalam mengo lah kata yang bermakna perlu
dihargai

Atas dasar asumsi demikian, memang telah waktunya pembelajaran sastra menata
diri. Pembelajaran sastra yang asal-asalan, tanpa basis kompetensi yang jelas, hanya
akan mencetak sampah pendidikan Akibatnya, sastra tak ada artı nya apa apa bagi
kehidupan peserta didik. Karena itu, pembelajaran yang ber basis KBK mengajukan
prinsip prinsip sebagai berikut: (a) kompetensi diarah kan pada penanaman dan
pengembangan budi pekerti luhur, (b) ke arah inte gritas nasional, namun tetap menjaga
identitas masing-masing. (c) pengem bangan keterampilan untuk hidup. Hidup di masa
depan penuh dengan kompe tist, karena itu kompetensi sastra harus bisa disiapkan ke
arah itu, (d) penilaian dilakukan secara berkelanjutan, (e) perlu ada kemitraan dengan
pihak pihak ter kait

Dengan demikian, pembelajaran sastra semakin cerdas dan jelas arah nya.
Pembelajaran bukan sekadar formalitas dan menekankan hafalan. Pembe lajaran
dirancang bersama, sejalan otonomi kelas atau guru. Penilaian tak seka dar memilih
(multiple choice) yang penuh tebakan, melainkan ke arah hal-hal sinergis Penilaian
bersifat kontinu. Berarti, kemampuan khusus yang ke arah life skill akan menjadi
pertimbangan penuh pada penilaian. Peserta didik yang berkali-kali juara menulis
ataupun membaca puisi Jawa, tentu berbeda dengan yang tak pernah juara. Kalau
begitu, juga akan menghindari nilai-nilai sulapan atau katrolan

Yang lebih penting lagi, pelaksanaan KBK sastra memang unik. Seha rusnya, tak
ada keseragaman antara sekolah satu dengan yang lain. Bahkan an tara kelas satu
dengan yang lain. Karenanya, kalau ada buku teks, hanya seba gai rambu-rambu awal
saja. Namun, setiap pengajar dan lingkungan sekolah akan dan boleh beraktivitas
berbeda, sejalan dengan kemampuan yang ada.

C. Arah KBK: Pengajaran Pragmatik Sastra KBK

merupakan aplikasi school based management, yang kemudian diarahkan ke life skill
education. Arah pembelajaran sastra pun, akan menjadi epigon paham KBK, sehingga
tak lagi menjejali teori mati yang kering kepada peserta didik. Melainkan, pembelajaran
justru mengarah ke aspek-aspek kegu. naan (pragmatik sastra) Aspek pragmatik sastra
selalu berorientasi pada fungsi sastra bagi peserta didik. Misalkan saja, peserta didik
diajak belajar tembang pocung sampai dapat, harus tahu kegunaannya. Untuk apa
pocung dipelajari, apa pengaruhnya terhadap masa depan peserta didik, dan seterusnya.

Melalui KBK, peserta didik akan belajar lebih humanis, dalam rangka mencapai
sebuah kompetensi dasar. Kompetensi adalah perpaduan dari pengetahuan,
keterampilan, nilai dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan
bertindak. Dengan demikian, kompetensi sangat kompleks. Kompetensiadalah
kemampuan untuk menjadi dirinya. Peserta didik akan mampu menja lankan

35
keterampilan, tugas, sikap, dan apresiasi yang diperlukan untuk menun jang
keberhasilan. Dengan demikian, kompetensi sastra adalah kemampuan pe serta didik
untuk melakukan tugas dan apresiasi sastra secara total. Yakni, apre siasi yang
berprospek masa depan, apresiasi yang hidup, basah, dan penuh makna.

Konteks tersebut menghendaki bahwa kemampuan yang diperoleh se lama belajar


sastra seharusnya ada kriteria dasar yang jelas. Setidaknya, me ngapa peserta didik
belajar membaca puisi tradisional, untuk apa, dan bagai mana ukuran mereka telah
mampu akan dicantumkan dengan jelas. Lebih jauh lagi, kriteria tersebut ke arah hal-hal
pragmatik dan mendukung masa depan peserta didik. Itulah sebabnya link dan match
dengan dunia kerja atau studi lanjut amat diperlukan. Jika tidak, maka hasil belajar akan
sia-sia, kurang ber manfaat, mengada-ada, menghaburkan biaya, dan memboroskan
waktu. Aki batnya, proses pendidikan akan sekadar formalitas dan menghamburkan
dana.

Depdiknas mengemukakan bahwa KBK memiliki karakteristik: (1) me- nekankan


pada kompetensi siswa baik individual maupun klasikal, (b) ber orientasi pada hasil
belajar dan keberagaman, (c) penyampaian pembelajaran menggunakan metode
bervariasi, (d) sumber belajar bukan hanya guru, (e) pe nilaian pada proses dan hasil
belajar dalam upaya penguasaan kompetensi. Da ri karakteristik ini, pembelajaran sastra
diharapkan akomodatif terhadap situasi, tuntutan peserta didik, dan tuntutan zaman

Orientasi pembelajaran boleh saja setiap saat berubah, jika zaman meng hendaki
lain. Jadi, pembelajaran tak pernah tenang dan permanen, melainkan bersifat dinamis
Dinamika pembelajaran selalu mempertimbangkan ekologi sastra. Dengan cara ini,
setiap jenjang pendidikan yang membelajarkan sastra tak lagi terjebak pada ruang
diskursif. Di antara segmen sastra saling ada keterkaitan, tak berdiri sendiri, dan terjadi
hubungan simbiosis yang menguntung kan. Jika masing-masing ruang terpotong-
potong, kurang tertata, amat repot pencapaian KBK bidang sastra. Misalkan saja, tak
ada hubungan menguntung kan antara universitas sebagai produk guru sastra dengan
dunia lapangan Ber bagai majalah yang kurang mengakomodasi dan memberi peluang
bagi karya anak-anak, dan seterusnya

Orientasi pembelajaran sastra, tak harus bertele-tele dan lelah dengan cekokan teori.
Untuk itu, peneliti sastra dapat melakukan action research, mi salnya berupa kerjasama
dengan guru/dosen untuk merancang pembelajaran sastra yang bernuansa KBK
Pembelajaran semacam ini, dapat melink kemasan buku Apresiasi Puisi Remaja,
Catatan Mengolah Cinta (2002) tulisan Riris K Toha Sarumpact. Buku ini secara tak
langsung membeberkan strategi pembelajaran sastra yang bernafas KBK. Yakni, di
dalamnya tak lagi menteror peserta didik untuk menghafal, melainkan ke arah skill yang
menyenangkan

Di antara langkah yang dipaparkan, adalah pengenalan mengapresiasi sesuai dunia


remaja Pertama, subek didik diajak mencermati hakikat puisi, te tapi bukan belajar
teoritik Subyek didik dipancing menggunakan data empiris, untuk menyimpulkan
sendiri apa itu puisi. Kedua, subyek didik diajak menge nali imaji, tanggap terhadap
lingkungan, dan alam secara estetis. Ketiga, subyek didik selalu dimotivasi terus
mencoba dan berlatih. Keempat, seni merangkai kata, bercerita lewat puisi. Kelima,

36
subyek didik diajak menyelami sembilan pantangan yang mengganggu berpuisi, dan
seterusnya

Mealui langkah demikian, subyek didik akan diajak bertamasya ke dua sastra.
Mereka akan menyelam dengan sendiri ke dunia estetis. Hal ini berarti pembelajaran
sastra memiliki kegunaan spiritual, khususnya untuk keseimbangan emosi.
Pembelajaran puisi akan menjadi wahana menghaluskan rasa humanis Di samping itu,
manakala remaja berhasil menembus media massa, kepuasan batin pun akan tercapai

D. Action Research dan Bengkel Sastra

Action research (penelitian tindakan) atau tepatnya classroom action re search


memang tampaknya lebih tepat untuk meneliti pengajaran sastra. Melalui action
research, hasil penelitian akan dapat digunakan untuk memperbaiki situasi pengajaran
sastra Action research lebih praktis, karena dapat dilakukan oleh pengajar sastra
bersama pembaca dengan terus-menerus. Penelitian ini dapat berjalan secara alamiah
jika dilakukan oleh pengajar sastra. Kecuali itu, action research juga tidak akan banyak
memakan biaya, dan hasilnya juga lebih efektif untuk mengadakan tindak lanjut

Classroom action research juga dapat digunakan untuk "mengujicoba" model model
pengajaran sastra baru. Jika dari uji coba ternyata berhasil, mampu meningkatkan daya
apresiasi subjek didik terhadap karya sastra.

meningkatkan daya apresiasi subjek didik terhadap karya sastra, selanjutnya model
tersebut dapat ditularkan pada sekolah atau kelas yang lain Classroom action research
juga dapat dimanfaatkan untuk mengoji interdisipliner penga jaran sastra. Artinya,
apakah dampak pembelajaran sastra dapat berdampak po sitif pada aspek kehidupan
yang lain, atau tidak. Hal ini dapat diterapkan pada model pengajaran sastra yang
inovatif Dalam kaitan ini, benkut akan dicon tohkan beberapa langkah penelitian
pembelajaran sastra dalam rangka untuk mendukung pembentukan masyarakat madani
Indonesia.

Salah satu model classroom action research yang segera dapat diketahui hasilnya,
misalkan model bengkel sasira. Model pengajaran bengkel sastra, ke mungkinan akan
menambat situasi kritis pengajaran sastra yang selama ini se ring sekadar divejang
dengan teori dan judul-judul karya beserta nama penulis nya. Mungkin, jarang disadari
bahwa melalui bengkel sastru akan menawarkan sesuatu yang amat berharga terutama
bagi pembaca agar dapat berolah sastra.

Perlu diakui bahwa bengkel sastra memang hal baru di tengah perbin cangan
pengajaran sastra. Karenanya, di sana-sini masih diperlukan gerilya pengajaran sastra
dan perjuangan mati-matian untuk merombak model lama yang telah lekat di benak para
pengajar sastra. Paling tidak, ihwal yang perlu di tanamkan kepada mereka bahwa
melalui bengkel sastra, baik guru maupun pembaca akan terusik untuk selalu berkenalan
dengan karya sastra, menyenangi, menggeman, dan semakin akrab dengannya (karya

37
sastra) Guru dan pembaca juga akan sama-sama aktif dan tergoda untuk berolah sastra,
menemukan infor masi, mendialoglan, dan mencari pengalaman sastra. Tentu saja, hal
ini dapat terwujud tidak sekadar seperti membalik telapak tangan saja, melainkan me
merlukan komitmen keras kedua kubu (guru-pembaca) agar saling terlibat da lam
menggauli dan atau mengapresiasi karya sastra

Melalui bengkel sastra, komunitas yang berolah sastra memang akan sampai pada
tataran proses kreatif yang "liar" atau tidak "Jinak" Untuk men capai tingkatan proses
kreativitas ini, diperlukan pengajar sastra (guru/dosen) yang profesional. Profesionalitas
pengajar sastra dalam menangani bengkel sus tra, akan membuat pengajaran sastra
menjadi lebih hidup' dan dinamis. Penga jaran sastra menjadi tidak 'kering' lagi,
melainkan akan menjauhkan asumsi. asumsi sebagai legalisasi dan justifikasi statemen:
"keterasingan kesusasteraan".

Penelitian Sosiologi Sastra

A. Sosiologi Sastra

1. RASIONALISASI SOSIOLOGI SASTRA

Rasionalisasi penelitian sosiologi sastra hadir dari Glickberg (1967.75) bahwa "all
literature, however fantastic or mystical in content, is animated by a pro found social
concern, and this is true of even the most flagrant nihilistic work Pendapat ini jelas
merepresentasikan bahwa seperti apa bentuk karya sastra (fantastis dan mistis) pun akan
besar perhatiannya terhadap fenomena sosial. Karya tersebut boleh dikatakan akan tetap
menampilkan kejadian-kejadian yang ada di masya rakat. Memang, pencipta sastra akan
dengan sendiri mendistorsi fakta sosial se suai dengan idealisme mereka

Dalam pandangan Wolff (Faruk, 1994:3) sosiologi sastra merupakan di siplin yang
tanpa bentuk, tidak terdefinisikan dengan baik, terdin dari sejumlah studi-studi empiris
dan berbagai percobaan pada teori yang agak lebih general. yang masing-masingnya
hanya mempunyai kesamaan dalam hal bahwa semua. nya berurusan dengan hubungan
sastra dengan masyarakat. la juga menawar kan studi sosiologi yang lebih verstehen
atau fenomenologis yang sasarannya adalah level "makna" dari karya sastra.

Sosisologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif ini banyak
diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat.
Arenanya, asumsi dasar penelitian sosiologi sas tra adalah kelahiran sastra tidak dalam
kekosongan sosial. Kehidupan sosial akan menjadi picu lahirnya karya sastra. Karya
sastra yang berhasil atau sukses yaitu yang mampu merefleksikan zamannya.Kendati
sosiologi dan sastra mempunyai perbedaan tertentu namun se benarnya dapat
memberikan penjelasan terhadap makna teks sastra (Laurenson dan Swingewood,
1972). Hal ini dapat dipahami, karena sosiologi obyek studi nya tentang manusia dan
sastra pun demikian. Sastra adalah ekspresi kehi dupan manusia yang tak lepas dari akar
masyarakatnya. Dengan demikian meskipun sosiologi dan sastra adalah dua hal yang

38
berbeda namun dapat saling melengkapi Dalam kaitan ini, sastra merupakan sebuah
refleksi lingkungan so sal budaya yang merupakan satu tes dialektika antara pengarang
dengan situa sosial yang membentuknya atau merupakan penjelasan suatu sejarah
dialektik yang dikembangkan dalam karya sastra

Itulah sebabnya memang beralasan jika penelitian sosiologi sastra lebih banyak
memperbincangkan hubungan antara pengarang dengan kehidupan so salnya Baik aspek
bentuk maupun isi karya sastra akan terbentuk oleh suasana Lingkungan dan kekuatan
sosial suatu periode tertentu Dalam hal ini, teks sas tra sebagai sebuah pantulan zaman,
karena itu "ia" menjadi saksi za man Sekaligun aspek imajinasi dan manipulasi tetap
ada dalam sastra, aspek sosial pun juga tidak bisa diabaikan Aspek-aspek kehidupan
sosial akan me mantul penuh ke dalam karya sastra

Kehadiran sosiologi sastra, meskipun tergolong muda namun telah menghasilkan


beribu-ribu penelitian, khususnya di perguruan tinggi. Bahkan, pada beberapa perguruan
tinggi tertentu, sosiologi sastra telah berdiri sebagai mata kuliah. Tentu saja lingkup
kajiannya semalan beragam.

Penelitian demikian mendasarkan asumsi bahwa pengarang merupakan a salient


being, makhluk yang mengalami sensasi-sensasi dalam kehidupan empirik
masyarakatnya. Dengan demikian, sastra juga dibentuk oleh masyara katnya, sastra
berada jaringan sistem dan nilai dalam masyarakatnya Dari ke sadaran mi muncul
pemahaman bahwa sastra memiliki keterkaitan timbal balik dalam derajat tertentu
dengan masyarakatnya, dan sosiologi berusaha mencan pertautan antara sastra dengan
kenyataan masyarakat dalam berbagai dimensi

Hal penting dalam sosiologi sastra adalah konsep cermin (mirror) Da lam kaitan ini,
sastra dianggap sebagai mimesis (tiruan) masyarakat. Kendati de mikian, sastra tetap
diakui sebagai sebuah ilusi atau khayalan dari kenyataan Dari sini, tentu sastra tidak
akan semata-mata menyodorkan fakta secara men tah. Sastra bukan sekadar copy
kenyataan, melainkan kenyataan yang telah di tafsirkan. Kenyataan tersebut bukan
jiplakan yang kasar, melainkan sebuah re fleksi halus dan estetis Itulah sebabnya cukup
beralasan jika Hall (11979 32) menyatakan bahwa "the concept of literature a social
referent is, however, perfectly viable since it takes into account the writer's active
concern to understand hid society.

39
B. Sasaran Penelitian Sosiologi Sastra

1. Fungsi Sosial Sastra

Fungsi sosial sastra, menurut Watt (Damono, 1978 70-71) akan berkaitan dengan
pertanyaan: seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial dan sampai seberapa
jauh nilai sastra dipengaruhi oleh nilai sostal Dalam kaitan ini ada tiga hal yang perlu
diungkap: (a) sudut pandang kaum romantik yang menganggap sastra sama derajatnya
dengan karya pendeta atau nabi, dalam pandangan ini tercakup wawasan agar sastra
berfungsi sebagai pembaharu atau perombak, (b) sudut pandang bahwa karya sastra
bertugas sebagai penghibur belaka, dalam hal ini gagasan "seni untuk seni" tak ada
bedanya dengan prak tik melariskan dagangan untuk mencapai best seller, dan (c)
semacam kompromi dapat dicapai dengan meminjam slogan klasik sastra harus
mengajarkan sesua tu dengan jalan menghibur

Dari berbagai fungsi tersebut peneliti sosiologi sastra dapat mengkon sentrasikan
pada salah satu fungsi. Dari tiga fungsi tersebut, tampak menggiring peneliti ke arah
empink Oleh karena, tanpa data empirik yang akurat, seorang peneliti hanya akan
berandai-andai berhadapan dengan fungsi sastra Fungsi sastra tentu saja harus digali
langsung dari masyarakat. Masyarakat pembaca yang akan menilai dengan jernih
apakah karya tertentu memiliki fungsi jelas atau tidak. Apakah karya sastra tertentu
memiliki fungsi sosial-spiritual atau ya ng lain, tergantung kesan masyarakat.

Dalam perkembangan selanjutnya, sosiologi sastra banyak dimanfaat kan oleh


penelitian sastra yang berbau marxis Paham marxisme berasumsi bahwa sastra,
kebudayaan, agama pada setiap zaman - merupakan ideologi dan suprastruktur yang
berkaitan secara dialektikal, dan dibentuk atau merupakan akibat dari struktur dan
perjuangan kelas zamannya. Dengan demikian, sejarah dipandang sebagai suatu
perkembangan terus menerus. Daya-daya kekuatan di dalam kenyataan secara progresif
selalu tumbuh untuk menuju kepada suatu masyarakat yang ideal tanpa kelas Namun,
langkah tak selalu berjalan mulus melainkan penuh hambatan yang berarti Akibatnya
per tumbuhan ekonomi dapat menyebabkan pertentangan antarkelas.

Penelitian sosiologi sastra marxis tersebut, tampaknya kurang berkem bang di


Indonesia. Padahal, di Indonesia meskipun menolak sistem kelas juga sering ada
pertentangan antar elit dan golongan bawah. Mungkin sekali hanya istilah saja yang
berbeda, jika orang lain menggunakan istilah kelas, Indonesia. Menggunakan paham
pusat-daerah, wong gothewong alik, elite-rakyat kecil dan seterusnya Berbagai segmen
yang dikotomis tersebut, ternyata juga sering menarik perhatian sastrawan sehingga
seharusnya juga menarik pula bagi penes tian sosiologi sastra Misalkan saja, penyair
WS Rendra, Darmanto Jatman, Wei Tukul, dan lain-lain sering mengkritisi kinerja
orang atas dalam puisinya. Bahkan, pujangga R. Ng Ranggawarsita pun di masa silam
(kerajaan Surakarta) telah mengkritisi terjadinya masa yang tidak menentu dalam karya
nya berjudul Serut Kalatidha la menyebut waktu itu telah terjadi zaman dahulu (zaman
gila). Jika bagi Marx, sastra dan kebudayaan merupakan refleksi perjuanga kelas untuk
"melawan" kapitalis, di Indonesia pun hal demikian juga ada hal senada. Di Indonesia

40
lama pula terjadi perjuangan kaum kecil terhadap kapitalis yang dikenal dengan sebutan
konglomerat Hal ini telah menank sas trawan untuk idenya bahwa konglomerat di era
Orde Baru te lah bergandeng tangan dengan pemerintah sehingga menyebabkan
robolinya send sendi ekonomi kerakyatan. Bahkan, sampai sekarang pun (era reformasi)
kong lomerat selalu menjadi bahan pergunjingan.

Berarti hampir tak ada masyarakat yang tanpa kelas, tetapi tidak beram bahwa
kehadiran kelas musti harus bertentangan. Di Indonesia, tampaknya ke hadiran kelas
atau lebih tepatnya strata sosial (clit rakyat) sering bersinggungan Persinggungan
kepentingan yang melebar ke masalah kekuasaan itu, juga se ring menarik perhatian
sastrawan Itulah sebabnya, karya sastra dapat dipan dang sebagai refleksi kehidupan
sosial dan kekuasaan Karya sastra akan meng gambarkan "jarak" perbedaan strata sosial
terus menerus. Hal semacam ini juga sering diungkap melalui tokoh-tokoh dalam karya
sastra yang representatif. Mi salkan saja, tahun 2001 kemarin muncul antologi cerpen
berjudul Socharto da Lam Cerpen, terbitan Bentang Cerpen-cerpen tersebut melukiskan
betapa besar tipu daya Soeharto yang diungkap melalui fiksi.

Pada prinsipnya, di negara barat sosiologi sastra memang lebih memu satkan
perhatian pada perangkat produksi, distribusi dan pertukaran sastra dalam suatu
masyarakat tertentu bagaimana buku-buku diterbitkan, bagaimana kom posisi sosial
terhadap pengarang dan audiensnya, tingkat kemampuan bacanya. serta keterbatasan
sosial "selera" Sosiologi sastra juga dapat mengkaji teks-teks sastra bagi relevansi
"sosiologis", artinya membawa karya sastra ke dalam ben tuk abstrak melalui tema-tema
yang menarik sejarahwan sosial.

Pendapat itu memberikan gambaran penelitian sosiologi sastra tentang dua hal.
Pertama, penelitian sosiologi sastra dapat ke arah dalam kaitannya de ngan keberadaan
teks sastra dan pembacanya. Jika karya sastra diproduksi le bih banyak serta dicetak
ulang berkali-kali, tentu dimungkinkan karya tersebut sejalan dengan komunitas
masyarakatnya Karya tersebut berarti sesuai denganselera masyarakat Kedua, teks sastra
tersebut dapat direlevansikan dengan ke pentingan kepentingan studi sosial yang lain,
misalkan sejarah sosial Melalui rema-tema sastra, diharapkan dapat dimanfaatkan bagi
penulisan sejarah sosial tertentu.

Dalam kaitan itu, Saini KM (1986:14-15) memberikan tiga kedudukan sastra


terhadap kehidupan (masyarakat), yakni sebagai pemekatan, penentangan, dan olok-
olok. Ketiga ini sebenarnya terkait dengan fungsi sastra bagi kehidupan sonal Karya
sastra sebagai pemekatan, memang akan menggambarkan kehi dupan masyarakat.
Namun, gambaran itu bukan jiplakan, melainkan sebuah intensifikator yang dipekatkan,
dijemihkan, disaring dan dikristalisasi ke dalam imajinasi pengarang. Di sisi lain,
mungkin karya sastra justru menentang kehi dupan, misalkan pencipta tidak setuju
dengan KKN rezim Orde Baru, lalu lahir karya yang bertema demikian Ini berarti
bahwa karya sastra menjadi penen tang jaman dan aturan yang keliru.

Lebih jauh lagi, karya sastra juga akan digarap seakan-akan mempero lok atau
mengejek kehidupan Biasanya, pencipta sangat mahir memainkan ironi, paradoks, dan
parodi ke dalam karyanya. Karena itu, sikap sastra yang mem perolok ini sangat sensitif

41
dan peka terhadap perkembangan zaman. Mereka tanggap terhadap perkembangan
situasi yang sering menindas.

2. PRODUKSI DAN PEMASARAN SASTRA

Penelitian tentang produksi dan pemasaran sastra memang jarang dila kukan.
Karena, masalah ini seakan-akan menjadi tanggung jawab penerbit. Padahal, sebenarnya
tidak demikian, artinya pengembangan karya sastra juga menjadi tanggung jawab
bersama. Sekurang-kurangnya studi semacam ini akan menghubungkan tiga kutup
sastra, yaitu penerbit, pembaca, dan pengarang

Perhatian peneliti semacam itu, memang sedikit mengesampingkan so siologi sastra


sebagai teori, melainkan berupaya memperhitungkan berbagai hal yang terkait dengan
faktor-faktor sosial yang menyangkut sastra Faktor-faktor tersebut aantara lain: tipe dan
taraf ekonomi masyarakat tempat berkarya, kelas atau kelompok sosial yang
berhubungan dengan karya, sifat pembaca, sistem sponsor, pengayom, tradisi sastra dan
sebagainya.

Dalam kaitan itu, dapat diungkap berbagai hal, antara lain latar bela kang sosial
pengarang sebelum dan setelah menjadi penulis. Apakah penulis tergolong orang
kampung, kota, birokrat, pegawai, dosen, anggota partai dan sebagainya. Masalah umur
dan jenis kelamin yang akan berpengaruh pada studi gender juga perlu dicermati Oleh
karena, penulis tua dengan muda, pria dan wanita tentu akan memiliki ideologi yang
berbeda. Faktor pendidikan dan hubungan sosial, juga patut diperhatikan, karena
intelektualitas karya akan dipengaruhi olehnya Bahkan, jika mungkin harus sampai pada
profesionalitar p nulis, artinya apakah mereka menulis sebagai pekerjaan pokok atau
sambilas Hubungan antara penulis dan pembaca seringkali dipengaruhi o

pengayom. Pengayom bisa terdiri dari penerbit maupun penguasa. Pengayo adalah
patronase sastrawan, yang menghidupi dan mengembangkannya. Me nurut Laurenson
dan Swingewood (1971) ada tiga jenis patronase sastra, ya patronase lama, patronase
baru, dan patronase tak langsung. Dalam patronae lama ada identifikasi antara patron
dan sastrawan, ada hubungan pribadi ya kuat. Bahkan sastrawan sering tinggal di
kediaman patron Di dalam patrona baru, hubungan antara patron dan sastrawan lebih
longgar Karena itu, buk tidak mungkin kalau sastrawan sering berganti-ganti patron,
tergantung ma yang menguntungkan baik secara material maupun spiritual. Sedangkan
sister patronase tidak langsung adalah patron yang hanya berfungsi sebagai med antara
sastrawan dengan publik

Dalam sistem patronase lama, biasanya penulis telah digaji, seperti p jangga R. Ng
Ranggawarsita, sebagai penulis keraton Surakarta tentu karyany akan dibaca. Bahkan
raja pun memiliki otoritas agar pembaca di kalangan ke raton menikmatinya.
Sebaliknya, jika penulis tidak digaji dan hanya mempe oleh honor dari tulisannya
kadang-kadang pembacanya juga tidak jelas. Keda kategori penulis tersebut tentu
memiliki kelemahan dan kelebihan. Penis yang digaji, memang seringkali karyanya
dipengaruhi oleh penguasa Pem harus melukiskan "pesanan" yaitu melukiskan ajaran-

42
ajaran tertentu Dalan hal ini penulis hanya bebas mengolah bentuk, sedangkan "pesan"
telah ada Berbeda dengan penulis bebas atau pun sambilan, mereka akan bebas
melempu karyanya Mereka juga bebas berimajinasi tanpa pengaruh siapa pun. Namun
de mikian, kategori penulis ini jika kurang kontrol akan sampai pada tingk "duplikasi"
karya yang di lempar ke sana ke mari

Pengarang adalah manusia biasa, yang melahirkan karya tidak sekada untuk
idealisme melainkan butuh imbalan yang berimbang. Jika bulunya diter bitkan maka
wajarlah ia berharap imbalan daripadanya, seperti penerbit yang mengharap keuntungan
dari penerbitannya, agen yang mengharap keuntungan dari balas jasa karena
mengedarkannya (Nadeak, 1984 35). Harapan material dari pengarang ini tentu
berimplikasi luas secara sosiologis, karena pengarang menjadi tergantung pula pada
penerbit.

Dan kenyataan demikian, berarti peranan penerbit sebagai patronas sangat


menentukan kehadiran karya sastra. Penerbit akan mempertimbangkan karya sesuai
dengan selera dan pemasaran (marketable). Jika karya sastra sesua dengan keinginan
dan prediksi laku tidaknya, maka akan dicetak berlipat gan da Bahkan, penerbit tertentu
ada yang pandai melobi instansi tertentu khu susnya Dinas Pendidikan Nasional,
sehingga karya sastra tertentu dapat disebarkan di sekolah.

43
BAB IV

BUKU PRAKTIS BAHASA INDONESIA

A. SASTRA

1 . Mengenal Nilai Sastra

Menurut Pusat Bahasa( 2009) Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar
istilah sastra arya sastra: prosa atau puisi. Dengan membaca karya sastra, kita
annenperolch "sesuatu" yang dapat memperkaya wawasan dan/atau ningkatkan harkat
hidup. Dengan kata lain, dalam karya sastra ada sesuatu yang bermanfaat bagi
kehidupan.

Karya sastra (yang baik) senantiasa mengandung nilai (value). Nilai in dikemas dalam
wujud struktur karya sastra, yang secara implisit ter dapat dalam alur, latar, tokoh, tema,
dan amanat atau di dalam larik, aplet, rima, dan irama. Nilai yang terkandung dalam
karya sastra itu, antara lain, adalah sebagai berikut:

(1) nilai hedonik (hedonic value), yaitu nilai yang dapat memberikan
kesenangan secara langsung kepada pembaca,

(2) nilai artistik (artistic value), yaitu nilai yang dapat memanifestasikan suatu seni
atau keterampilan dalam melakukan suatu pekerjaan; (3) nilai kultural (cultural value),
yaitu nilai yang dapat memberikan atau mengandung hubungan yang mendalam dengan
suatu masya
rakat, peradaban, atau kebudayaan,

(4) nilai etis, moral, agama (ethical, moral, religious value), yaitu nilai yang dapat
memberikan atau memancarkan petuah atau ajaran yang berkaitan dengan etika, moral,
atau agama,

(5) nilai praktis (practical value), yaitu nilai yang mengandung hal-hal
praktis yang dapat diterapkan dalam kehidupan nyata sehari-hari.

44
2. Sastra Bernuansa Sejarah

Peristiwa masa silam tidak mungkin berulang lagi. Benarkah dangan itu? Secara sekilas,
pandangan itu dapat kita terima. Namun, pola kejadiannya mungkin saja tampil pada
masa kini atau pada masa yang akan datang. Agaknya itulah yang menyebabkan
timbulnya ungkapan "kita perlu belajar pada sejarah karena peristiwa pada masa lampau
da pat memberikan hikmah pada kehidupan masa kini atau pada hari esok. pan

Karya sastra yang bermuatan kisah masa silam bukanlah rekaman fakta sejarah yang
sesungguhnya, melainkan hasil rekaan. Sekalipun de mikian, karya itu juga bukan
sepenuhnya buah imajinansi pengarangnya.

Nilai kepahlawanan atau semangat perjuangan, misalnya, dapat kita simak dalam novel
Mutiara (Nur Sutan Iskandar, 1946), Pagar Kawat Berduri (Trisnoyuwono, 1963),
Surapati (Abdul Muis, 1965), dan Robert Anak Surapati (Abdul Muis, 1987). Dalam
Mutiara, Nur Sutan Iskandar berkisah tentang perilaku penjajah di tanah Aceh. Kendati
ia tidak terlibat langsung dalam peristiwa itu, mata batinnya mampu menjangkau dan
menjadi saksi sejarah. Untuk itu, ia bertutur melalui karyanya pada cukil an percakapan
di bawah ini. Cut Meutia agak termangu-mangu.

..."Tuhan, aku bersumpah akan meneruskan perjuangan bangsa ini sekuat-kuat


tenagaku. Tak ada mati yang kuharapkan hanyalah mati syahid dalam mempertahankan
agama, bangsa, dan tanah airku yang suci ini. Begitulah Iskandar menitipkan pesan jiwa
patriotisme. Dengan demi

kian, di dalam karya itu tersirat juga nilai kepahlawanan. Trisnoyuwono pernah
mengangkat unsur sejarah pada masa perang kemerdekaan di dalam karyanya Pagar
Kawat Berduri. Fakta sejarahnya ialah perang revolusi menjelang penyerahan
kedaulatan pada tahun 1949. la menampilkan kembali dalam karya sastranya itu kisah
kehidupan orang tahanan (lebih dari 150 orang) yang meringkuk di sebuah kamp darurat
di Salatiga. Mereka terbelenggu penderitaan, tetapi dalam dadanya tetap tumbuh
semangat untuk membela negara.

Ragam puisi--wiracarita (epos) atau balada-yang bertemakan perjuangan juga tidak


sedikit dalam karya sastra. Melalui sejumlah sajak, Amir Hamzah menge nukaksa
keperkasaan ang Tuah; Chairil Anwar menampilkan kegaganan Pangeran Diponegoro,
M. Saribi Afan menam pilkan keberanian Jenderal Sudirman, dan Subagio
Sastrowardojo me nampilkan ketegaran Mongonsidi ketika menghadapi tiang eksekusi.
Ke perkasaan, kegagahan, keberanian, dan ketegaran tokoh itu dapat kita hayati kembali
dalam mengisi wawasan kebangsaan kita. Subagio Sastrowardoyo dalam Monginsidi
menumbuhkan "cinta bangsa" bagi ge perasi penerusnya.

"Aku adalah dia yang berteriak 'merdeka sebelum ditembak mari. Aku adalah dia, ingat,
aku adalah dia!" 3. Sastra dan Nilai Budaya Daerah

45
Sebagian terbesar sastra daerah di Indonesia identik dengan sastra lisan. Fungsinya,
selain sebagai saluran untuk memelihara dan menu runkan buah pikiran suku atau puak
yang mempunyai sastra itu, juga cer minan alam pikiran, pandangan hidup, serta
ekspresi rasa keindahan masyarakat pemiliknya. Itulah yang biasa dinamakan dengan
nilai budaya daerah

Sistem nilai itu berupa konsepsi yang hidup dalam alam pikiran war ga masyarakat
sebagai sesuatu yang amat bernilai dalam kehidupan. Wu judnya dapat berupa adat-
istiadat, tata hukum, atau norma-norma yang mengatur langkah dan tindak budaya yang
adab. Dengan sikap rasa ikut memiliki, dalam diri seseorang akan timbul rasa
menghargai dan memi liki sesuatu yang sebenarnya memang milik bersama, seperti
adanya rasa memiliki terhadap ungkapan rut wuri handayani (Jawa) dan pepatah bulat
air karena buluh, bulat kata karena mufakat. Dalam kehidupan keluarga sering kita
dengar petuah, "Janganlah menjadi anak seperti Si Malin Kundang dan Si Marda yang
mendapat kutukan karena tidak hormat kepada orang tua."

4. Sastra dan Kebenaran

Seseorang yang ingin memahami "kesiapaan sastrawan tentu perlu membaca karyanya.
Hal itu dapat dilakukan jika sastrawan itu mampu mengutarakan pikiran dan
perasaannya dengan baik dan jelas. Kejelasan pengungkapan khazanah batin sastrawan
ke dalam karyanya itu tentu ber gantung pada kepiawaiannya memberdayakan bahasa
sebagai sarananya

Betapapun hebatnya gejolak imajinasi atau ide sastrawan, ia tidak akan mampu
menuangkannya sama persis dengan apa yang dirasakannya. Hal itu boleh jadi
disebabkan oleh minimnya penguasaan bahasa sas trawan dan/atau keterbatasan bahasa
itu sendiri sebagai sarana. Selain itu, apa yang terungkap dalam karya itu bukanlah
semata-mata hasil penga matan sastrawan, tetapi juga apa yang dirasakan dan
ditafsirkannya ten tang objek yang dihadapinya. Karena itu, pendapat yang menyatakan
bah wa seni merupakan tiruan alam tidak sepenuhnya benar.

Bila karya sastra bukan semata-mata tiruan alam, berarti sastra itu tidak bisa dipandang
sebagai sesuatu yang memperjuangkan kebenaran Akan tetapi, dalam kenyataannya,
ukuran kebenaran sering diterapkan orang dalam menilai suatu karya sastra. Penikmat
sastra acapkali meng hubungkan peristiwa yang tertuang dalam karya sastra dengan
kebenaran dalam kehidupan sehari-hari.

Tanggung jawab moral terhadap kebenaran itu memang harus ada dalam diri sastrawan
melalui karyanya. Jika tidak, penikmat sastra akan menolaknya Untuk itu, yang perlu
dipersoalkan adalah pengertian kebe naran dalam karya sastra itu

Kebenaran dalam karya sastra bukan kebenaran yang sama persis de ngan kebenaran
dalam kehidupan sehari-hari, kebenaran pelambangan, kebenaran ideal, atau kebenaran
yang sepatutnya terjadi. Patokan sema cam itu akan dapat membantu pemahamar para
penikmat sastra dalam menerima cerita dongong atau cerita kepahlawanan yang berbaur

46
dengan kesaktian dan keajaiban, sebagaimana terlihat dalam epos "Ramayana" dan
"Mahabarara

5. Sastra dan Agama

Agama bagi kebanyakan bangsa pada berbagai macam tingkat ke masyarakatan


merupakan daya penyatu yang amat sentral dalam pem binsan kebudayaan Agama
mampu mengawal hukum moral, mendidik tunas muda, dan mengajarkan aneka
kearifan dan kebajikan

Seiring dengan fungsinya, agama juga bertindak sebagai faktor krea uf dan dinamis,
perangsang atau pemberi makna kehidupan Melalui aga ma kita pun dapat
mempertahankan keutuhan masyarakat agar hidup dalam pola kemasyarakatan yang
telah tetap, sekaligus menuntun umat untuk meraih masa depan yang lebih baik

Peran agama sebagai pendorong penciptaan karya sastra, sebagai


sumber ilham, patut pula diperhitungkan Sebaliknya, acapkali karya sas
tra bermuara pada ajaran agama, Bahkan, dalam kenyataannya, agama
merupakan ambang pintu bagi segenap kesusastraan agung di dunia serta
sumber filsafat yang selalu mengacu kepadanya.
Sebagai karya kreatif, karya sastra yang mengangkat masalah kema

nusiaan, yang bersandarkan kebenaran, akan menggugah nurani dan memberikan


kemungkinan pertimbangan baru pada diri pembacanya. Hal in tentu ada kaitannya
dengan tiga wilayah fundamental yang menjadi sumber penciptaan karya sastra:
kehidupan agama, sosial, dan individual Oleh karena itu, cukup beralasan apabila sastra
dapat berfungsi sebagai peneguh suasana batin pembaca dalam menjalankan keyakinan
agamanya Petikan sajak "Di Depanmu Aku Sirna Mendebu" (Budiman S. Hat tojo)
tergolong karya keagamaan yang menyiratkan kebesaran Sang Pencipta.

Di depan-Mu aku sirna mendebu


Engkaulah segalanya, kekekalan sempurna
Di mata-Mu semesta lenyap mengabu
Engkaulah yang ebadi, serba dan maha

Keagungan Tuhan, tuntunan mencintai sesama, dan ketakwaan kepa da Sang Khalik
juga dapat ditemukan dalam sejumlah karya sastra Indo nesia.

6. Semangat Perjuangan dalam Puisi Indonesia Pergerakan kebangsaan untuk


mewujudkan cita-cita "merdeka" telah berkobar di mana-mana. Para sastrawan menyatu

47
dalam satu barisan per juangan kemerdekaan. Pekik yang mengobarkan semangat
kebangsaan dari kalangan sastrawan terbit dalam wujud puisi perjuangan. Chairil
Anwar, dengan mengangkat kegagahan sang pahlawan nasional, Diponegoro, bangkit
seraya berujar

Di depan sekali tuan menanti


Tak gentar Lawan banyaknya seratus kali
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati

Pelopor Angkatan 45 ini menyatakan shwa hidup dan kehidupan ini harus mempunyai
makna dan harus diisi kendati berbagai rintangan terus menghadang. Dinyatakan pula
bahwa tekad perjuangan harus mencermin kan sikap

sekali berarti
sudah itu mati
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditinda

Taufik Ismail, tokoh Angkatan 66, mengangkat ulang betapa kejam nya penjajahan.
Melalui sajak "Setasiun Tugu", ia melukiskan kepongah an militer Belanda pada 1947.
Di dalamnya terungkap bahwa pengorbanan para pejuang kemerdekaan semakin punya
arti dalam kehidupan masa kini.

7. Bengkel Sastra

Sudah sejak tahun 1994 dalam kegiatan Bulan Bahass dan Sastra di Pusat Bahasa selalu
diramaikan dengan penyelenggaraan Bengkel Sastra. Bengkel Sastra adalah suatu
kegiatan cipta sastra yang diselenggarakan dalam tangka upaya meningkatkan apresiasi
siswa terhadap sastra. Selain itu, Bengkel Sastra juga merupakan wadah penyaluran
bakat dan kreati

vitas siswa dalam bidang cipta karya sastra

Karya sastra yang dipilih sebagai bahan kegiatan Bengkel Sastra, antara lain, adalah
puisi dan cerita pendek. Khusus untuk puisi yang dija dikan bahan adalah puisi bebas
dan puisi modern.

Tujuannya agar para peserta "Bengkel dapat mengenal unsur-unsur serta cara-cara
penciptaan puisi dan penulisan cerita pendek.

13. Drama sebagai Karya Sastra Ruang lingkup kegiatan kesusastraan terdiri atas
beberapa subsistem, yaitu subsistem puisi, subsistem prosa (cerpen dan novel), dan
subsistem drama. Subsistem drama seperti juga subsistem sastra lainnya merupakan
bagian-bagian dari subsistem komunikasi antarmanusia, yang ditandai oleh kehendak
manusia (penulis) untuk berkomunikasi secara tidak lang sung. Keinginan penulis untuk

48
berbicara tentang manusia dan kemanu siaan, tentang hidup dan kehidupan, tentang
hubungan manusia dengan dirinya sendiri, dengan manusia lain, dengan alam, dan
dengan Tuhan di tandai oleh pola hubungan manusia melalui dialog Peranan dialog
dalam karya sastra sangatlah penting dan dominan karena ia (dialog) mewakili penulis
dalam hal penyampaian karakterisasi tokoh-tokoh dalam cerita secara mendalam kepada
penonton melalui para pekerja teater (produser. sutradara, aktor, dan perangkat lainya)
sehingga terwujud atau tervisa lisasi sebuah naskah drama yang menjadi tontonan yang
berarti dan ber makna

Objek harapan karya sastra drama, seperti juga karya sastra lainnya adalah hidup dan
kehidupan manusia, yang terdiri atas beberapa episode menuruti hukum hidup manusia,
yaitu kehidupan itu ada awal, puncak, dan akhir. Oleh karena itu, struktur dramatik yang
dominan dalam karya sastra drama berbentuk segitiga, yaitu bagian awal (eksposisi),
kompli kasi (konflik), bagian tengah (klimaks/krisis), dan bagian akhir (resolusi)

Penulis drama mempunyai tujuan dalam menulis, misalnya ia menya takan kedirian atau
falsafah, ide-idenya, kepercayaannya. Mungkin juga ia ingin mengajari manusia tentang
bagaimana seharusnya hidup atau mungkin juga hanya sekadar ingin mengisahkan
pengalaman hidup saja. Untuk itu, terpulang kepada pembaca apakah ia dapat atau mau
mengam bil manfaat dari karya tersebut. Oleh sebab itu, dalam karya drama pe
ngarang/penulis akan memilih permasalahan yang penting dalam kehi dupan manusia
(subject matter) sebagai bahan untuk menyatakan/me ngekspresikan ide-idenya dalam
cerita (tema). Hal lain yang menandai karya sastra drama adalah penulis/pengarang
menggunakan unsur bahasa dalam karangannya berupa bentuk dan gaya Dalam hal
bentuk penulis! pengarang drama dapat memilih cerita seperti tragedi, tragedi komedi,
dan Komedi.selain itu, hal yang menyangkut gaya pengarang/penulis drama dapat
memilih gaya, seperti realistik, romantik, atau absurd.

49

Anda mungkin juga menyukai