Di Susun Oleh:
Ferda Juniarti 204220273
Dosen Pengampu:
1
BAB I
SEJARAH SASTRA
A. Pengertian sastra
Menurut (Dewi 2010) Apakah sastra itu? Banyak sudah para ahli sastra berusaha
merumuskan pengertian sastra. Tetapi sampai saat ini tak satupun dari defenisi itu dapat
memuaskan. Pengertian sastra masih saja merupakan misteri yang belum terjawab.
Untuk memformulasikan hakikat sastra secara singkat dan jelas tidaklah mudah.
Apalagi untuk memilah yang mana sastra dan yang mana bukan sastra. Sastra tidak bisa
dibatasi seperti ilmu pasti. Sastra adalah karya dan kegiatan seni yang berhubungan
dengan ekspresi dan penciptaan, sedang tugas membuat batasan adalah kegiatan
keilmuan.
Sastra atau kesusastraan dapat ditemui dalam sejumlah pemakaian yang berbeda-
beda. Demikian diungkapkan Semi dalam bukunya Anatomi Sastra (1988:7). Hal ini
menggambarkan bahwa sastra itu kenyataannya bukanlah nama dari sesuatu yang
sederhana, tetapi ia merupakan satu istilah payung yang meliputi semua kegiatan yang
berbeda-beda. Namun yang jelas dari batasan-batasan yang dikemukakan oleh penikmat
maupun sastrawan mempunyai alasan mengapa batasan tentang sastra sulit dibuat,
yaitu:
1. Sastra bukan ilmu, akan tetapi satra adalah seni. Dan dalam seni banyak unsur
kemanusiaan yang masuk di dalamnya, khususnya perasaan, sehingga sulit
diterapkan untuk metode keilmuan, karena sulit dibuat batasannya
3. Sebuah batasan sastra sulit menjangkau hakekat dari semua bentuk sastra.
4. Sebuah tentang sastra biasanya tidak hanya berhenti pada membuat pemberian
deskripsi saja, tetapi juga suatu usaha penilaian. Oleh sebab itulah batasan tentang
sastra selalu. mengacu kepada apa yang di sebut karya sastra yang baik untuk suatu
zaman dan tempat.
Selanjutnya sering orang mencari defenisi ontologis mengenai sastra, yaitu sebuah
defenisi yang mengungkapkan hakekat sebuah karya sastra sambil melupakan bahwa
sastra hendaknya didefenisikan di dalam situasi para pemakai atau pembaca sastra.
Sehingga norma dan deskripsi sering dicampuradukan. Terkadang tanpa disadari bahwa
sementara orang menganggap karya seseorang merupakan karya sastra, namun sebagian
lagi mengatakannya bukan karya sastra. Munculnya anggapan tersebut, karena terikat
pada satu defenisi.
2
Plato beranggapan bahwa sastra, seni, hanya merupakan peniruan, peneladanan,
atau pencerminan kenyataan, maka ia berada di bawah kenyataan itu sendiri. Padahal,
yang nyata itu hanya pembayangan dari yang ada. Plato memandang seni sebagai
sesuatu yang negatif, Aritoteles, di pihak lain, beranggapan bahwa proses penciptaan,
sastrawan tidak semata-mata meniru kenyataan, melainkan sekaligus menciptakan,
penciptaan sebuah dunia dengan kekuatan kreativitasnya. Dunia yang diciptakan
pengarang adalah sebuah dunia yang baru, dunia yang diedialkan, dunia yang mungkin
dan dapat terjadi walau sendiri tak pernah terjadi. Aristoteles memandang sastra sebagal
sesuatu yang tinggi dan filosofis, bahkan mempunyai nilai lebih tinggi dibanding karya
sejarah (Lixemburg. dkk, 1992:16-7).
Begitu bervariasi dan sulitnya untuk hakekat sastra. Sehingga tidak mungkin
memberikan sebuah defenisi yang universal mengenai sastra. Sastra adalah sebuah
nama yang dengan alasan tertentu diberikan kepada sebuah hasil tertentu dalam suatu
lingkungan kebudayaan.
Secara umum kita tahu, sastra merupakan sarana yang sering dipergunakan untuk
mencetuskan pendapat pendapat yang ada di dalam masyarakat kita. Seperti
diungkapkan Semi (1988:8), Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif
yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai
mediumnya. Artinya dengan sastra manusia bisa menumpahkan ide dan kreasinya
sekaligus dijadikan sebagai media untuk menampung ide. Karena sastra merupakan
sesuatu yang kreatif makasastra harus mampu melahirkan suatu kreasi yang indah.
Apabila berbicara masalah sastra maka kita juga harus berbicara tentang seni,
karena karya sastra tidak akan berdaya manakala tidak memiliki nilai seni. Dan nilai
seni akan tidak berdaya apabila tidak membicarakan tentang manusia dan alam, karena
seni itu lahir perpaduan harmonis antara manusia dan alam.
Secara tidak sadar manusia telah memanfaatkan jasmani dan rohaninya terhadap
alam sekelilingnya. Maka sejak itulah adanya kesenian. Semua situasi istetis yang
tersimpan dalam rohani manusia memunculkan suatu kreativitas. Manusia berusaha
untuk merealisasikan semua pengalamannya ke dalam wujud bentuk, sehingga lahirlah
karya yang berupa kebudayaan dan kesenian.
Kembali kemakna sastra, sastra adalah karyaseni yang harus diciptakan dengan
suatu daya kreativitas, yang tidak saja dituntut dalam upaya melahirkan pengalaman
batin dalam bentuk karya sastra, tetapi lebih dari itu. Akan tetapi manusia harus
3
memilih unsur-unsur terbaik dalam pengalaman hidup manusia yang dihayatinya yang
merupakan keharusan dimiliki seorang sastrawan.
Sebagai karya seni Saini KM dan Jakob Sumarjo menyatakan ada tiga hal yang
membedakan karya sastra dengan yang bukan karya sastra. Yaitu sifat khayali
(ficsionality), adanya nilai-nilai seni (estetic values), dan adanya penggunaan bahasa
yang khas (special use of languange).
Sifat khayali sastra merupakan akibat dari kenyataan bahwa karya sastra diciptkan
dengan daya khayal. Walaupun karya sastra harus berbicara tentang kenyataan akan
tetapi karya sastra masih tidak terlepas dari daya khayal pengarangnya sebagai latar
belakang tempat kenyataan dan masalah-masalah kehidupan yang nyata. Dan daya
khayal itu dapat direnungkan dan dihayati oleh pembaca.
Dalam karya sastra ada nilai-nilai estetik, bukan saja merupakan persyaratan yang
membedakan karya sastra dengan karya yang lainnya, justru dengan nilai-nilai seni
itulah pengarang dapat mengungkapkan isi hatinya sejelas mungkin, sedalam-dalamnya,
dan sekaya-kayanya. Adapun nilai-nilai seni itu antara lain keutuhan (unity) atau
kesatuan (unity in varierty), keseimbangan (belance), keselarasan (harmony) dan
tekanan yang tepat (righ emphasis).
Yang dimaksud dengan keutuhan artinya suatu karya sastra harus utuh. Utuh dalam
pengertian setiap bagian atau unsur yang ada padanya menujang kepada usaha
pengungkapan isi hati sastrawan. Ini berarti pula setiap unsur atau bagian karya sastra
benar-benar diperlukan dan disengaja adanya dalam karya sastra itu. Dengan kata lain di
dalam karya sastra tidak ada unsur atau bagian yang kebetulan.
1. Sastra Imanjinatif dan Non Imajinatif Sastra imanjinatif yaitu karya sastra yang
bersifat simbolis, tidak saja mengungkapkan hal yang pengucapan, karya sastra
imajinatif mampu menimbulkan kesan keindahan. Pernyataan-pernyataan dalam sastra
imajinatif merupakan pernyataan pernyataan yang amat kompleks yang amat diebalorasi
tentang penulis dan pembaca. Di dalamnya terkait masalah cita rasa dan pandangan
hidup.
Selanjutnya sastra non imajinatif. Sastra non imajinatif lebih realis. Meski sastra
non imajinatif tidak terlepas dari seni khayali, namun pengungkapannya tidak 'meliuk'
4
seperti sastra imajinatif. Dalam arti kata sastra non imajinatif lebih mengetengahkan
nilai-nilai pembenaran dalam pengungkapan.
Sastra imajinatif seni khayalinya agak kuat dibandingkan dengan sastra non
imajinatif. Demikian dalam penggunaan bahasanya, sastra imajinatif lebih menekankan
penggunaan bahasa konotatif dibandingkan dengan sastra non imajinatif yang lebih
kemakan sebenarnya (denotatif). Perbedaan-perbedaan tersebut bersifat ekstrim, sebab
tidak semua karya sastra imajinatif yang sepenuhnya khayali dan merbahas konotatif.
Juga tidak selamanya karya sastra non imajinatif tidak bersifat khayali dan bermakan
denotatif. Sebab kedua makna denotaif dan konotatif hampir sulit untuk dibedakan
dalam karya sastra. Apapun bentuknya yang jelas karya sastra adalah karya seni hasil
imanjinasi pengarang yang memiliki nilai estetika yang dapat diterima oleh
pembaca.atas di dalam
B. Aliran-Aliran Sastra
Sebuah karya sastra yang baik pada dasarnya mengalami beberapa proses. Proses
tersebut berlangsung dalam diri pengarang. Mula-mula pengarang melihat keadaan-
keadaan dan masalah-masalah dalam masyarakat baik berupa kejadian-kejadian yang
disebut tesa.
5
Jadi segalanya digambarkan seperti keadaan yang dan sebenarnya. Pengarang-
pengarang realisme melukiskan orang-orangnya dengan perasaan-perasaan pikirannya
sampai kepada hal yang sekecil-kecilnya dengan tidak memihak kepada orang-
orangnya.
Untuk membuat suatu karya yang benar-benar realis dan benar-benar obyektif
tidaklah mudah. Walaupun si pengarang dapat mengemukakan manusia sampai kepada
perasaan-perasaannya dan pikirannya, sampai kepada yang sekecil-kecilnya dengan
tidak memihak kepada orang-orangnya.
Aliran ini berusaha melukiskan kenyataan yang terdapat dalam kehidupan sehari-
hari. Karangan dikatakan realis jika pengarang tidak mendesakan pikirannya, perasaan
dan kemauannya pada pelaku pelakunya serta pembacanya. Orang-orang dalam cerita
itu di suruh berbicara sendiri menurut pikiran dan persaannya sendiri. Bahasanya
merupakan bahasa sehari-hari yang terpakai dalam percakapan. Contoh; Dari Ave Maria
ke Jalan lain ke Roma karya Idrus. Atau Keluarga Gerilya karya Pramudya Ananta Tur
dan sebagainya. Selanjutnya yang termasuk bagian aliran realisme ini yaitu aliran
imperrionisme (impressi-Kesan) naturalisme (natuur-alam), dan aliran deternisme.
Aliran ini muncul karena ada pengaruh dari luar. Misalnya pengarang melihat
kehidupan alam. Lalu tergugah sukmanya, sehingga lahirlah karyanya yang
memantulkan kembali keindahan alam itu.
Pengarang aliran ini berusaha melahirkan segala yang dialami dan dilihatnya.
Tetapi yang dipentingkan hanya kesan sesaat yang disadarkan atas keinderaan semata
mata.
Kesan-kesan yang timbul dalam kenyataan diolah dalam batin pengarang membuat
pemerian (deskripsi) tentang kesannya itu ke dalam karya sastra. Contoh aliran ini
adalah sajak-sajak Chairil Anwar terjemahan karangan Maria Rill (Jerman), Sanusi
Pane, Sutan Takdir Alisyabana dan Nursyamsu. Selanjutnya pengarang pengarang
beraliran impresionisme lainnya ialah Hartoyo Andangjaya, Sanusi Pane, Situr
Situmorang
6
b. Aliran Naturalisme (natuur-alam)
Aliran ini sebagai kelanjutan dari aliran realisme. Perbedaannya dengan realisme
tidak jelas. Biasanya naturalisme lebih cendrung melukiskan segi segi yang jelek dan
agak berbau cabul. Persamaan realisme dengan naturalisme kedua-duanya berusaha
melukiskan kenyataan dengan teliti. Perbedaaannya adalah naturalisme lebih cendrung
melukiskan segi-segi masyarakat yang jelek. Pengarang aliran naturalisme yang terkenal
ialah Emile Zola dari Perancis yang hidup tahun 1840-1902. Contoh karya aliran
naturalisme yaitu:
c. Aliran Neonaturalisme
Yaitu aliran yang juga berusaha melukiskan hidup yang obyektif baik mengenai
yang buruk-buruk maupun yang baik-baik.
d. Aliran Deternisme
aliran ini mengajarkan bahwa kemana sebenarnyaq manusia itu itu sebenarnya tidak
merdeka dalam mengambilk keputusan yang penting, sebab segala tindakannya kelak
itu sudah terpasti lebih dahulu. Aliran ini tidak berkembang dalam kesustraan Indonesia
sebab agak berbau maxisme (materialisme).
Pernyataan jiwa sendiri ini biasanya dalam bentuk puisi. Alam bagi aliran ini hanya
alat untuk menyatakan pengertian yang lebih dalam. Selanjutnya di dalam sajak
ekpresionisme, si penyair bercerita melainkan berteriak. Dalam menyatakan yang
perasaannya penyair mempergunakan kata-kata pendek mengenal hakekat. Oleh karena
itu kadang-kadang suatu sajak hanya terdiri dari baris-baris kalimat y terdiri dari satu-
satu perkataan. Kalimat-kalimat berdiri sendiri dan nampaknya tak berhubungan dengan
satu sama lainnya. Contoh yang termasuk aliran ini adalah sajak-sajak misalnya yang
berjudul tidak melukiskan Aku, 1943, Doa, Isa Karya Chairil Anwar Surat Dari Ibu
karya Asrul Sani Yang Kami Minta Hanyalah karya Taufik Ismail
a. Aliran Romantik
7
Dasar pemikirian aliran ini ialah ingin menggambarkan kenyataan hidup dengan
penuh keindahan tanpa cela. Jika yang dilukiskan kebahagiaan maka kebahagian itu
perlu dilukiskan sempurna tanpa tara. Sebaliknya jika ingin menggambarkan kesedihan
maka diungkapkanlah kesedihan tersebut hingga air mata pembacanya terkuras. Oleh
sebab itu, aliran romantik sering dikaitkan dengan sifat sentimental dan cengeng.
Perasaan dan fantasi memegang penting.Adanya rasa tidak tidak puas terhadap
yang ada. menyebabkan adanya pelarian dari Hal itu
bila pengarang dalam suasana gembira maka akan menghasilkan bentuk karangan
yang serba kemilauan dengan ungkapan yang serba 'wah', misalnya dengan ungkapan
awan berarak, angin samar sepoi-sepoi membawa harum bunga-bunga dan sebagainya.
Bila pengarang sedih maka ungkapan yang digunakan misalnya kata burung murai
tidak berkicau atau bulan bersembunyi di balik awan dan sebagainya.
Jadi lukisan yang romantis itu berupa lukisan kejadian yang hanya mungkin terjadi
di angan-angan saja. Karena indahnya dan melambung-lambung, maka seolah-olah
seperti lamunan orang-orang muda mengenangkan kekasihnya. Dalam sastra modern
mereka yang tergolong beraliran romantik ini ialah
1. Muhammad Yamin
2. Amir Hamzah
3. Ramadhan KH
4. Kirdjomuljo
5. Rendra
8
Contoh karangan romantis;
a Hikayat Si Miskin
Aliran ini berusaha menguraikan apa yang menjadi cita-cita untuk masa yang akan
datang Biasanya cita-cita untuk memperbaiki sesuatu yang dianggap tidak baik. Oleh
karena itu lukisan yang idealistis selalu muluk-muluk, membumbung tinggi yang ada
dalam angan-angan pengarang sendiri.
Penganut aliran ini berusaha memberi lukisan lebih dari realistis. Pendirian aliran
ini berpegang pada kenyataan, bahwa laku atau perbuatan seseorang itu sering di luar
kesadarannya atau tak terkontrol oleh akal budi. Itulah sebabnya pengarang surealis
berusaha melukiskan sesuatu kenyataan yang lebih luas, yang meliputi segala yang
disadari dan yang tak disadari.
Pikiran dan lukisan yang surealisme ini meloncat loncat dengan cepatnya, sehingga
tidak memperhatikan tata bahasa dan kaidah bahasa.
9
sifatnya, keturunannya. Sedangkan pengarang-pengarang surealisme dalam melukiskan
perbuatan manusia mencari sumber-sumber kejiwaan dalam bawah sadar manusia.
e. Mysticisme
Aliran ini berusaha melukiskan pengalaman dalam mencari dan merasakan nafas
ketuhanan dan keabadian. Pada aliran ini sipenulis merasakan kedekatannya ke pada
Tuhan (bersatu dengan kebenaran akhir). Oleh sebab itu si pengarang biasanya
melukiskan pengalamanan dalam mencari dan mersakan nafas Ketuhanan dan
keabadian dan keabadian. Bagi seorang pengarang seni sebagai alat memuji kebesaran
Tuhan. Tokoh-tokoh sastra yang sangat kental dengan misticime abtara lain J.E
Tatengkeng-Kristen, Sasnusi Pane-Hindu, Amir Hasmzah-Islam, Rivai Avin-Islam.
f. Psychologisme(psyce-jiwa)
Penganut aliran ini berusaha melukiskan gerak. gerik jiwa dan perjuangan batin
seseorang terhadap alam gaib atau problem hidup.Contoh yang termasuk dalam aliran
ini adalah;
Belenggu karya Armyn Pane Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis
g. Aliran Imajis
Aliran ini mengisayaratkan kenyataan harus dilukiskan dalam imaji visual yang
jernih dan jelas. Kata kata dipilih secara dan efisien. Kenyataan apapun dikemukakan.
Bahasa yang dipilih adalah bahasa sehari hari dengan ritme yang tidak mengikat. Kata-
kata dipandang segala-galanya. Disamping mengungkapkan gagasan penyair, kata-kata
itu men dukung imajinasi penyair yang hendak diungkapkan.
Puisi kaum imaji bayak mirip prosa. Hal ini disebabkan karena penyair ingin
mengungkapkan bahasa sehari-hari. Sering pula penyair merasa bahwa imajinasinya
sudah di ketahui pembaca, sehingga larik puisinya terpoton g tidak dilanjutkan atau
dibiarkanmenggantung. Tokoh- tokoh Imajis diantaranya Adri Darmadji,Sapadi Djoko
Darmono, B.Y Tand, Beni Setia, Hetu Emka,dan lain-lain.
h. Aliran ekstensialisme
Yaitu semacam aliran filsafat yang muncul dalam karya sastra modern ini. Aliran
ini muncul dari keinginan manusia untuk menyelidiki dirinya sendiri dari segala sudut,
arti kata menyelidiki manusia dengan situasinya, yang mengutamakan kebenaran
manusia (desein-ada). Aliran ini terbagi lagi menjadi dua, yaitu atheis dan theis
9mengaku adanya Tuhan. Contohnya;
10
f. Psychologisme (psyce-jiwa)
Penganut aliran ini berusaha melukiskan gerak. gerik jiwa dan perjuangan batin
seseorang terhadap alam gaib atau problem hidup.Contoh yang termasuk dalam aliran
ini adalah;
Belenggu karya Armyn Pane Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis
g. Aliran Imajis
Aliran ini mengisayaratkan kenyataan harus dilukiskan dalam imaji visual yang
jernih dan jelas. Kata kata dipilih secara dan efisien. Kenyataan apapun dikemukakan.
Bahasa yang dipilih adalah bahasa sehari hari dengan ritme yang tidak mengikat. Kata-
kata dipandang segala-galanya. Disamping mengungkapkan gagasan penyair, kata-kata
itu men dukung imajinasi penyair yang hendak diungkapkan.
Puisi kaum imaji bayak mirip prosa. Hal ini disebabkan karena penyair ingin
mengungkapkan bahasa sehari-hari. Sering pula penyair merasa bahwa imajinasinya
sudah di ketahui pembac, sehingga larik-larik puisinya terpoton g tidak dilanjutkan atau
dibiarkan menggantung. Tokoh-tokoh Imajis diantaranya Adri Darmadji, Sapadi Djoko
Darmono, B.Y Tand, Beni Setia, Hetu Emka, dan lain-lain.
h. Aliran ekstensialisme
Yaitu semacam aliran filsafat yang muncul dalam karya sastra modern ini.
Aliran ini muncul dari keinginan manusia untuk menyelidiki dirinya sendiri dari
segala sudut, arti kata menyelidiki manusia dengan situasinya, yang mengutamakan
kebenaran manusia (desein-ada). Aliran ini terbagi lagi menjadi dua, yaitu atheis
dan theis 9mengaku adanya Tuhan. Contohnya;
11
BAB II
METODE PENELITIAN PSIKOLOGI SASTRA
Menurut Endaswara ( 2008) Sejak kapan psikologi sastra muncul, sebenarnya tidak
terlalu prinsip Wilayah historis itu biasanya justru membelenggu pemer hati sastra. Hal
itu bagian dari pemikir sejarah sastra yang tak per nah tuntas. Dari realita, sebenarnya
dapat diduga pemunculan psiko logi sastra adalah setelah teori-teori penelitian intrinsik
sastra mene mui jalan buntu Maksudnya, penelitian intrinsik tidak mampu menjawab
seluruh masalah sastra.
Pada bagian ini, yang perlu dikemukakan justru asal-usul ke munculan psikologi
sastra itu tampaknya bukan dari ahli sastra. Orang di luar sastra biasanya jauh lebih
memperhatikan masalah inheren sastra. Akibatnya, sisi-sisi tertentu dari sastra, mereka
perdalam hing ga sampai ada gagasan psikologi sastra Sementara "orang dalam" sendiri
sering terlalu asyik dengan penelitian yang lain.
Psikologi sastra memang bukan ilmu baru. Namun, di negara kita, ilmu ini
masih relatif muda Paling tidak belum banyak ahli yang terjun ke dunia satu ini. Dari
sisi historis, psikologi sastra sebenar nya sejajar dengan sosiologi sastra. Hanya saja
sosiologi sastra lebih berkembang karena berkaitan dengan kehidupan masyarakat.
12
Mung kin ada yang menganggap sosiologi sastra jauh lebih enteng ketim bang psikologi
sastra, boleh boleh saja. Berat ringan sebuah keilmu an sebenarnya tergantung siapa
yang mempelajarinya. Mungkin pula, memang ada anggapan bahwa kehidupan
masyarakat jauh lebih mudah diakses daripada kehidupan pribadi. Akibatnya, bukan
mustahil jika sosiologi lebih cepat diminati daripada psikolog P dahal, keduanya sama-
sama cabang keilmuan yang menarik guna mempelajari sisi kehidupan manusia.
Disadari atau tidak, dunia penelitian psikologi sastra awal ada lah toon Freud.
Meskipun tidak harus dinyatakan dia sebagai pencetus teori, namun perkembangan
berikutnya memang agak tersendat. Teori psikoanalisis Freud tampaknya yang banyak
mengilhami par pemerhati psikologi sastra. Dia membedakan kepribadian menjad tiga
macam, yaitu Id. Ego, dan Super Ego. Ketiga ranah psikologi ini Lampaknya yang
menjadi dasar pijakan penelitian psikologi sastra Memang harus diakui bahwa Freud
yang menjadi titik pangkal keberhasilan mengungkap genesis karya sastra.
Penelitiannya amat dekat dengan penelitian proses kreatif. Oleh karena konsep yang
ditawarkan sebatas masalah gejolak tiga ranah jiwa itu, relevansi teori Freud dianggap
sangat terbatas dalam rangka memahami sebuah karya sastra. Hal ini berarti gagasan
tersebut masih perlu dilengkapi dengan bidang lain. Apalagi sastra itu sendiri tidak se
kadar masalah kreativitas. Sastra melingkupi aneka rupa hidup.
Konsep-konsep Freud, pada awalnya memang bukan ahli sastra. Freud hampir
merambah ke beberapa disiplin, seperti sosiologi, antro pologi, dan filsafat. Pada
gilirannya Freud telah "merajai" dalam stu di keilmuan humaniora, khususnya dengan
konsepsi psikoanalisis. Dalam buku Milner (1992 xiii), yang membahas Freud secara
pan jang lebar, dijelaskan bahwa peranan teori Freud tidak terbatas se bagaimana
dinyatakan sebelumnya. Menurutnya, teori Freud memi liki implikasi yang sangat luas
tergantung bagaimana cara meng operasikannya. Di satu pihak, hubungan psikologi
dengan sastra didasarkan atas pemahaman bahwa sebagaimana bahasa pasien, sastra
secara langsung menampilkan ketaksadaran bahasa. Di pihak lain, kenyataan bahwa
psikologi Freud memanfaatkan mimpi, fan tasi, dan mite, sedangkan ketiga hal tersebut
merupakan masalah pokok dalam sastra. Hubungan yang erat antara psikoanalisis, khu
susnya teori-teori Freud dengan sastra juga ditunjukkan melalui pene litiannya yang
bertumpu pada karya sastra, seperti Oedipe-Roi (Oedipus Sang Raja) karya Sophocles
dan Hamlet karya Shakespeare Peneliti an yang dilakukan oleh Freud sekaligus
menunjukkan hubungan antara ilmu kedokteran dan sastra.
Gagasan ini tidak terlalu berlebihan, jika menengok realitas psikis penampilan puisi
kolaboratif. Di Borobudur Plaza Yogyakar ta, tiap malam Selasa Wage digelar ritual
puisi macapat dengan tuju an untuk obat sakit pemilik plaza. Awal mula sakit stress itu
amat berat karena ada masalah bisnis, lama-kelamaan terobati. Hal ini berarti teori
Freud memang dapat dimaklumi bahwa sastra dapat menjadi obat, seperti halnya dunia
kedokteran.
Teori Freud dengan demikian tidak terbatas untuk menganali sis asal-usul proses kreatif
seperti diduga sebelumnya. Sama de ngan menghadapi seorang pasien, untuk mengobati
penyakitnya,
13
B. Asumsi Kehadiran Psikologi Sastra
(1) Karya sastra merupakan produk dari suatu keadaan kejiwaan dan pemikiran
pengarang yang berada dalam situasi setengah sadar (subconcius) setelah mendapat
bentuk yang jelas dituang kan ke dalam bentuk tertentu secara sadar (concious) dalam
bentuk penciptaan karya sastra. Jadi, proses penciptaan karya sastra terjadi dalam dua
tahap, yaitu tahap pertama dalam ben tuk meramu gagasan dalam situasi imajinatif dan
abstrak, ke mudian dipindahkan ke dalam tahap kedua, yaitu penulisan kar ya sastra
yang sifatnya mengonkretkan apa yang sebelumnya dalam bentuk abstrak.
(2) Mutu sebuah karya sastra ditentukan oleh bentuk proses pen ciptaan dari tingkat
pertama, yang berada di alam bawah sadar, kepada tingkat kedua yang berada dalam
keadaan sadar. Bisa terjadi bahwa dalam situasi tingkat pertama gagasan itu sangat baik,
namun setelah berada pada situasi kedua menjadi kacau sehingga mutu karya tersebut
akan sangat tergantung kepadakemampuan penulis menata dan mencerna perwatakan,
dan me nyajikannya dengan bahasa yang mudah dipahami. Jadi, dalam hal ini penelitian
dan analisis ditujukan kepada masalah p proses penciptaan.
(3) Di samping membahas proses penciptaan dan kedalaman segi perwatakan tokoh
perlu pula mendapat perhatian dan penel an, yaitu aspek makna, pemikiran, dan falsafah
yang terlihat di dalam karya sastra.
(4) Karya yang bermutu, menurut pendekatan psikologis, adalah karya sastra yang
mampu menyajikan simbol-simbol, wawas an perlambangan yang bersifat universal
yang mempunyai kat an dengan mitologi, kepercayaan, tradisi, moral, budaya, dan lain-
lain. Dalam karya puisi yang dominan menggunakan sim bol dan perlambangan, harus
diperhatikan bagaimana hal itu diolah dan bagaimana hal itu dapat mencapai tujuannya.
Di dalam karya sastra abstrak atau absurd banyak ditemui pen laku setengah sadar yang
tindakannya sukar dipahami, dapat menimbulkan ambiguitas makna. Para peneliti
mestinya meng kaji hal itu secara mendalam dengan dukungan psikologi sehing ga
ambiguitas dan kekaburan makna dapat dipecahkan dan dinalarkan mengapa hal itu
terjadi.
(5) Karya sastra yang bermutu menurut pandangan pendekatan psikologis adalah karya
sastra yang mampu menggambarkan kekalutan dan kekacauan batin manusia karena
hakikat kehidup an manusia itu adalah perjuangan menghadapi kekalutan batin nya
sendiri. Perilaku yang tampak dalam kehidupan sehari-hari bagi setiap orang belum
sepenuhnya menggambarkan diri me reka masing-masing Apa yang diperlihatkan
belum tentu sama dengan apa yang sesungguhnya terjadi di dalam dirinya kare na
manusia sering kali berusaha menutupinya. Kejujuran, ke cintaan, kemunafikan, dan
14
lain-lain, berada di dalam batin ma sing-masing yang kadang-kadang terlihat gejalanya
dari luar dan kadang-kadang tidak. Oleh sebab itu, penelitian tentang perwatakan para
tokoh harus menukik ke dalam segi kejiwaan
(6) Kebebasan individu penulis sangat dihargai, dan kebebasan men cipta juga
mendapat tempat yang istimewa. Dalam hal ini, sangat di hargai individu yang
senantiasa berusaha mengenal hakikat dirinya. Dalam upaya mengenal dirinya pula
sastrawan menciptakan untuk mengongkretkan apa yang begolaj di dalam dirinya.
Daya tarik psikologi sastra, terutama terletak pada aneka ungkapan kejiwaan.
Jiwa tidak pernah tunggal. Jiwa dalam sastra selalu bergejolak. Keinginan-keinginan ini
yang memikat peneliti melakukan spekulasi-spekulasi penafsiran Politafsir kejiwaan
yang cukup mengasyikkan ini hingga satu karya, misalkan Pengakuan Pariyem karya
Linus Suryadi AG dan Slilit Sang Kyai karya Cak Nun akan memunculkan sejumlah
tafsiran yang beragam. Tiap peneliti boleh memasuki relung-relung jiwa tokoh Pariyem
dan tokoh yang tersumbat slilit.Hierarki kejiwaan sekaligus problematika rumit menarik
ditampilkan pada kedua karya tersebut. Pergolakan tokoh inilah yang selalu dijadikan
fokus penelitian apabila teks yang dijadikan tumpuan.
Penjelajahan ke dalam batin atau kejiwaan untuk mengetahui lebih jauh tentang
seluk beluk manusia yang unik ini merupakan se suatu yang merangsang Banyak
penulis yang berusaha mendalami masalah psikologi dan seiring dengan itu banyak
penelaah atau peneliti sastra yang mencoba memahami karya sastra dengan ban tuan
psikologi Memang banyak hal dalam kehidupan umat manu sia dapat dipulangkan ke
teori-teori psikologis Karera didorong oleh cara berpikir semacam itu, muncullah
pendekatan psikologis dalam telaah atau penelitian sastra.
15
63 mengemukakan tokoh batu, hewan, angin, dan seterusnya, sebenarnya manusia yang
dijadikan penggeraknya. Manusia secara psikologis adalah mini dunia. Oleh sebab itu,
mempelajari manusia dalam sastra sama halnya mengitari dunia. Wajah dunia, baik
mikro kosmos maupun makrokosmos, selalu ada dalam sastra. Maka, para peneliti
psikologis akan tertarik pada wajah dunia ini. Wajah dunia ini memang bisa dilihat
dengan berbagai kacamata keilmuan sastra, namun secara psikologis dipandang lebih
menukik pada esensi ma nusia itu sendiri.
Maaf, ketika menulis buku ini saya harus menyatakan secara apa adanya tentang
eksistensi psikologi sastra. Eksistensi adalah masalah keberadaan. Dalam konteks ini,
fenomenologi banyak bi cara masalah keberadaan Psikologi sastra itu "ada", bisa
"diadakan" atau memang telah "ada". Sejauh pemikiran manusia tentang "ada",
sebenarnya psikologi sastra telah ada sejak dahulu. Hanya saja, pen jemnihan masalah
ini baru muncul pada saat orang sadar akan ke beradaan disiplin ini.
Kehadiran psikologi sastra tidak selalu mulus. Lepas dari daya tarik yang
mestinya menjadi pionir dalam pemahaman sastra, psiko logi dililit kerikil-kerikil tajam.
Kadang-kadang orang menanggapi dingin pada ilmu ini. Bahkan ada yang menganggap
psikologi sastra sekadar main-main dan fenomena ilmu kacangan Amat menyakitkan
berbagai komentar yang mungkin hadir dari "orang dalam", artinya pemerhati sastra.
Sungguh banyak tantang an yang mesti diselesaikan dengan kepala dingin ketika
berhadap an dengan komentar minir. Saya pun menyadari semua itu.
Rumusan masalah adalah sendi utama dalam penelitian psiko logi sastra. Tanpa
rumusan masalah yang tegas, penelitian akan berbelok arah. Sayangnya rumusan
masalah sering diabaikan oleh beberapa peneliti sastra. Rumusan sering dianggap hal
ringan yang disusun main-main saja. Akibatnya, ada penelitian psikologis yang jelas
masalahnya, tetapi jalan terus.
Rumusan masalah akan menentukan teori, data, dan analisis yang harus
dilakukan Seluruh perangkat penelitian ini perlu ditata ke arah psikologi sastra minded.
Jika rumusan masalah sudah jelas, bernuansa psikologi sastra, barulah menentukan teori
dan langkah kerja. Teori dan langkah ini akan membingkai pemerolehan data yang
sahih dan atau terpercaya. Persoalan data dalam penelitian psiko logi sastra, amat pelik.
Data tergantung dari sisi mana aspek psiko logis akan diungkap. Berbagai hal dapat
menjadi data, namun mana yang otentik agaknya perlu pertimbangan khusus. Persoalan
ini akan terkait langsung maupun tak langsung dengan cabang mana yang akan
dijadikan sasaran penelitian psikologi sastra.
Secara khusus, ahli sastra yang mengawali pembicaraan tentang ruang lingkup
psikologi sastra adalah Wellek dan Warren (1989) dalam buku Theory of Literature.
Mereka, lepas dari suka atau tidak suka, telah meletakkan dasar pemahaman psikologi
sastra secara sistematis.
16
D. Fokus Penelitian Psikologi Sastra
Istilah psikologi sastra" oleh Wellek dan Warren (1989) diurai kan dalam bentuk
esai kritis yang panjang. Kita dapat menyelami betapa pentingnya psikologi sastra untuk
menangkap sisi lain dari karya sastra. Pada prinsipnya, psikologi sastra mempunyai
empat ke mungkinan pengertian Pertama adalah studi psikologi pengarang sebagai tipe
atau sebagai pribadi, Kedua adalah studi proses kreatif.. Ketiga, studi tipe dan hukum-
hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra; Keempat, mempelajari dampak
sastra pada pembaca (psikologi pembaca) Keempat hal ini sering mewarnai pemikiran
pemerhati sastra yang "coba-coba" ke arah psikologi sastra.
Hal tersebut sedikit berbeda dengan Scott (1989:69-70) yang berpendapat bahwa
penelitian psikologi sastra yang otentik meliputi tiga kemungkinan. Tiga sasaran
analisis termaksud dapat disejajar kan dengan empat kemungkinan kajian di atas.
Menurut dia, yang penting adalah psikologi sastra mencakup tiga hal, yaitu (1) peneli
tian hubungan ketidaksengajaan antara pengarang dan pembaca, (2) penelitian
kehidupan pengarang untuk memahami karyanya dan (3) penelitian karakter para tokoh
yang ada dalam karya yang diteliti. Ketiga cabang yang ditawarkan ini tidak
berseberangan de ngan gagasan Wellek dan Warren. Hanya saja, Scott tidak begitu
terfokus pada psikologi kehidupan pengarang.
Sastra adalah sastra. Begitu batasan yang paling sulit dibantah. Artinya, selain
sastra adalah bukan sastra. Namun, di lain pihak, kita juga boleh menyatakan sastra
adalah ungkapan jiwa. Sastra itu wakil jiwa lewat bahasa. Lewat simbol sastra itu ada.
Simbol yang mewadahi jiwa hingga sastra itu menarik.
Konteks demikian dapat diartikan bahwa sastra tak mampu me lepaskan diri dari
aspek psikis. Jiwa pula yang berkecamuk dalam sastra Pendek kata, memasuki sastra
akan terkait dengan psikologi karya itu. Inilah awal kehadiran psikologi sastra dalam
17
penelitian sastra. Sastra adalah fenomena yang tepat didekati secara psiko logis. Seperti
wawasan yang telah lama menjadi pegangan umum dalam dunia sastra, psikologi sastra
juga memandang bahwa sastra merupakan hasil kreativitas pengarang yang
menggunakan media bahasa, yang diabdikan untuk kepentingan estetis. Sastra merupa
kan hasil ungkapan kejiwaan seorang pengarang, yang berarti di dalamnya ternuansakan
suasana kejiwaan sang pengarang, baik suasana pikir maupun suasana rasa (emosi).
Di atas dapat diterima nalar karena sebenarnya karya sastra itu lahir dari
pengekspresian endapan pengalaman yang te lah lama ada dalam jiwanya dan telah
mengalami proses pengolah an jiwa secara mendalam melalui proses berimajinasi.
Akan lebih jelas dilihat dalam bagan proses kelahiran karya sastra. Sastra lahir dari
proses imajiner yang syarat muatan kejiwaan. Ke tika dada sesak, orang mencipta
sastra. Pada waktu duka, lara, seng sara, sastra cair dengan sendirinya. Meskipun jiwa
dapat melaku kan kebohongan diri dan publik, tetapi ekspresi sulit menyembunyi
kannya.
Manusia sebagai tumpuan sastra selalu terkait dengan gejolak jiwanya. Manusia
yang memiliki derajat istimewa, memiliki budi bahasa, watak, dan daya juang kejiwaan
berekspresi. Namun, manu sia juga tidak sendirian di dunia. Mereka harus hidup
berdamping an dengan manusia-manusia lain. Fenomena ini akan menjadi bi dikan
pengarang. Pengarang akan mengarahkan kamera jiwanya ke arah hal tersebut secara
masak Seperti yang pernah dikatakan oleh CG. Jung (Semi, 1993), bahwa pengarang
adalah seorang manu sia biasa. Saya memandang lebih dari itu, manusia juga sekaligus
makhluk luar biasa. Mereka memiliki kepekaan jiwa sangat tinggi sehingga mereka
mampu menangkap suasana batin manusia lain yang paling dalam
Gejala-gejala kejiwaan yang dapat ditangkap oleh sang penga rang dari manusia-
manusia lain tersebut, kemudian diolah dalam batinnya dipadukan dengan kejiwaannya
sendiri lalu disusunlah menjadi suatu pengetahuan baru dan diendapkan dalam batin.
Jika endapan pengalaman ini telah cukup kuat memberikan dorongant pada batin sang
pengarang untuk melakukan proses kreatif, maka dilahirkannya endapan pengalaman
tersebut dalam wahana bahasa simbol yang dipilihnya dan diekspresikan, menjadi
sebuah karya sastra. Dengan demikian, pengalaman kejiwaan sang pengarang yang
semula terendap dalam jiwa, telah beralih ke dalam karya sastra yang diciptakannya,
yang terproyeksi lewat ciri-ciri kejiwaan para tokoh imajinernya.
18
perbedaannya, sang pengarang mengemukakannya dalam bentuk karya sastra,
sedangkan psikolog, sesuai dengan ke ahliannya, ia mengemukakannya dalam bentuk
formulasi teori-teori psikologi. Dengan demikian, tidaklah mengada-ada kalau di antara
keduanya dapat dilakukan penelitian lintas disiplin. dan karya sastra memiliki hubungan
fungsional, yak. ni sama-sama berguna untuk sarana mempelajari keadaan kejiwaan
orang lain. Hanya perbedaannya, gejala kejiwaan yang ada dalam karya sastra adalah
gejala-gejala kejiwaan dari manusia-manusia imajiner, sedangkan dalam psikologi
adalah manusia-manusia riil Namun, keduanya dapat saling melengkapi dan saling
mengisi un tuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam terhadap kejiwa an
manusia, karena terdapat kemungkinan apa yang tertangkap oleh sang pengarang tak
mampu diamati oleh psikolog, atau sebaliknya. Berdasarkan uraian di atas, karya sastra
sebenarnya tidak dapat dilepaskan sama sekali dari penulisnya, seperti yang dulu
dilakukan oleh penganut paham "strukturalisme tradisional", yang menganggap bahwa
karya sastra itu bersifat otonom, lepas sama sekali dari penulisnya. Sebab, di antara
keduanya terdapat "hubungan kausalitas" (Aminuddin, 1988:7), yakni karya sastra
merupakan hasil kreativitas pengarangnya, yang tidak akan mungkin lahir tanpa ada
penulis sebagai penuturnya. Itulah sebabnya keterangan tentang psikologis pengarang
akan sangat bermanfaat bagi penelitian psikologi sastra, khususnya penelitian tentang
aspek psikologi pengarang Akhirnya, dapat dikatakan bahwa sastra sebenarnya dapat
dijadikan objek penelitian kejiwaan. Sastra dapat membantu psiko logi atau pun
sebaliknya. Belajar kejiwaan dari sastra mungkin jauh lebih intens dibanding dalam
dunia nyata.
Kreativitas adalah ciri olah sastra yang hebat. Sastrawan yang kaliber, dapat
bergerak dalam kreativitas yang canggih. Dari hal sederhana dapat dia tampilkan
menjadi hal kreatif yang jitu. Krea tivitas ini akan membangun orientasi nilai. Lebih
dari itu orisinali tas juga akan tergarap lewat kreativitas. Inilah fungsi psikologis pada
sela-sela kepengarangan. Kejiwaan selalu menyertai dunia kreati vitas, dari nol sampai
tak terbatas
Baca sastra butuh kreativitas luar biasa. Ada juga yang mem baca sastra perlu
sutradara. Meskipun demikian, kreativitas diri tidak kalah pentingnya, Sutradara atau
penata laku baca, hanya mem beri masukan, tapi eksekusi tetap pada pembaca. Pembaca
semestinya senantiasa menciptakan kebaruan dalam membaca. Orisinalitas baca juga
penting. Namun demikian, memang meniru gaya baca juga bukan dosa.
19
tidak menentukan karya seni nya. Namun demikian, bisalah kita lihat bahwa ketika
pembicaraan sampai pada proses kreatif serta nilai-nilai yang melibatkannya, dua
disiplin ini bertemu. Demikianlah kita akan lebih banyak me musatkan perhatian pada
proses kreatif yang mengandung pula per masalahan orisionalitas, otentisitas, integritas
identitas ini
Tuntutan akan kebaruan model ini memang lama kelamaan internalized dalam diri
seniman, sehingga mereka akan le bih tampak sebagai produser kebaruan kebaruan dan
kejutan-kejut an bagi masyarakat daripada kebaruan yang menyangkut struktur dalam,
atau konstruksi pengalamannya, seperti yang dituntutkan oleh Ronald Laing. Kebaruan-
kebaruan menjadi mandul dalam eksperimen-eksperimen pencarian bentuk ungkapan
seni yang baru, sebagaimana tampak dalam lukisan di tubuh manusia, atau lukisan.
20
BAB III
PSIKOLOGI SASTRA ANAK
Kejiwaan anak ternyata masih labil. Pada saat itu, sebenarnya sastra yang memuat
moral dan budi pekerti dapat disemaikan. Lang sung ataupun tidak anak akan menyerap
secara psikis kandungan moral dan budi pekerti dalam sastra. Ketika anak melihat
televisi yang memuat drama, film, teater, baca puisi dan sebagainya psikis akan terbuka.
Begitu pula saat mendengar ataupun membaca do ngeng, kejiwaan anak akan mekar.
Jika demikian, sastra bagi anak ternyata amat penting. Sayang nya, yang dinikmati
anak belum tentu sastra ciptaan anak. Melain kan, sastra orang dewasa, yang berandai-
andai jadi anak. Akibat nya bukan mustahil jika ada hal-hal yang sulit bagi anak ketika
menikmati sastra. Memang istilah sastra anak itu masih proble matik besar. Sejauh ini,
hanya para ahli yang mengklaim muncul nya sastra anak. Padahal, esensinya sastra itu
tetap sastra. Sastra dibaca orang tua atau remaja juga tidak masalah. Sebaliknya, sastra
itu tak ada yang khas untuk anak. Toh andaikata diperuntukkan anak, yang diklaim
sebagai sastra dewasa juga sering dinikmati anak.
Anehnya, hingga saat ini ada yang sengaja atau tidak mencoba merekonstruksi
sastra anak. Sesungguhnya jika mau menyadari, istilah sastra anak itu amat politis,
politis sastra. Sastra anak mau tak mau harus berurusan dengan psikologi. Psikologi
yang bernuansa asumsi ini yang menyebabkan ada pembagian sastra anak. Oleh karena
itu memang psikologi sastra anak jelas akan berurusan dengan psikis anak. Tentu saja
aspek sosial ataupun bahasa juga menjadi faktor penting. Namun kehadiran psikologi
jauh lebih spe sifik untuk menggolongkan mana sastra anak dan mana yang bukan sastra
anak.
Beberapa penulis buku sastra anak yang kali ini tengah ber gulat dengan berandai-
andai secara psikis, antara lain Riris K Toha Sarumpact, Sugihastuti, Burhan
Nurgiyantoro, Henry Guntur Tari. gan, dan lain-lain. Umumnya mereka hendak
mengotakkan sastra bagi anak. Psikologi yang paling penting bagi anak adalah masalah
relevansi. Relevansi sastra ini akan berkaitan dengan fungsi sastra bagi anak. Dalam
kaitan ini, Roettger (Tarigan, 1994:9-15) banyak memberikan rumusan sastra anak dan
kandungan nilainya. Paling tidak dari rumusan yang dia paparkan, akan muncul asumsi
bahwa anak-anak akan memperoleh berbagai manfaat, nilai buat dirinya sendiri setelah
menikmati sastra. Dengan perkataan lain, sastra dapat memberi nilai intrinsik atau
intrinsic values bagi anak-anak. Dia juga menggambarkan betapa banyak kegunaan
sastra anak bagi dunianya.
21
sekali melaku kan kegiatan tersebut karena mereka mengetahui bahwa pada akhir nya
akan memberi kegembiraan, memberi kenikmatan. Dengan demikian, mereka selalu
rindu, selalu ingin membaca buku/karya sastra baru. Kian banyak mereka baca, kian
banyak pula kegembira an yang diperoleh dan dialaminya. Pada saat anak-anak
menonton Teletabies, Baja Hitam, Detektif Conan, Superman, dan sejenisnya se
mestinya ada endapan psikologis dalam diri anak. Di samping ke ngerian, tentu ada
perasaan lega dalam dirinya.
22
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN SASTRA
Menurut Endaswara (revisi 2008) Penelitian sastra sampai saat ini memang
cenderung masih berat sebe lah. Maksudnya, di beberapa lembaga penelitian dan
perguruan tinggi (sastra) onentasi penelitian masih terbatas pada teks sastra. Akibatnya,
hasil penelitian sastra cenderung bersifat deskriptif belaka. Di beberapa sentral
penelitian, hasil penelitian pada umumnya masih berkutat pada hal hal teoritik sastra
Yakni, schuah wilayah penelitian sastra untuk sastra Orientasi semacam ini sering di
anggap kurang lengkap, karena karya sastra sebenarnya merupakan bahan ko munikasi
antara pengarang dengan pembaca.
Kepincangan penelitian sastra yang terasa sampai saat ini adalah masih jarang
peneliti yang berani menerapkan metode eksperimen Padahal, peneliti an yang satu ini
sedikit banyak akan melengkapi makna yang selama ini ter abaikan Pemakaian metode
ini sekurang kurangnya akan mampu mengungkap seberapa jauh tanggapan pembaca
sastra, sebab pembaca merupakan bagian penting dalam rangka pengembangan sastra ke
depan. Tanpa memperhatikan aspek pembaca, tentunya penelitian sastra akan semakin
kurang bermakna.Di samping persoalan metode, ihwal obyek penelitian kadang-kadang
juga masih timpang Biasanya peneliti sastra kita masih cenderung tertarik pada sastra
tulis, sementara sastra lisan dilupakan. Padahal, sastra lisan yang tersebar dan mengakar
di masyarakat, meskipun sebagian besar anonim, tetap memilik estetika tersendiri.
Sastra lisan juga memuat berbagai hal, bahkan bisa saja le bih istimewa dibandingkan
sastra tulis. Sayang, peneliti sastra kita sering merasa kurang mampu menyisihkan
waktu dan bahan untuk studi sastra lisan. Akibat nya, di tengah-tengah kita banyak
sastra lisan yang hampir punah dan kurang mendapat sentuhan peneliti.
Penelitian sastra selama ini juga masih sering memilih obyek sastra yang dipandang
bermutu. Jarang sekali peneliti yang tergiur pada karya-karya populer. Padahal karya-
karya tersebut sebenarnya juga menanti sentuhan pene liti, karena di dalamnya juga
termuat berbagai hal yang mestinya menarik. Pe nelitian sastra yang terlalu terfokus
pada karya-karya yang dianggap besar yang lahir dari penulis besar, akan mengaburkan
eksistensi sastra yang sesungguhnya.
23
B. Kemiskinan Teori dan Ilmu Sastra
Banyak pihak mensinyalir bahwa penelitian sastra kita masih tergolong "ringan"
kadar keilmiahannya. Ini ditandai adanya seminar penelitian sastra di berbagai tempat,
yang ternyata, tidak atau belum dan kurang memiliki bobot karakteristik penelitian
ilmiah. Ini menyebabkan kondisi penelitian sastra sukar dibedakan dan komentar sastra
dan atau kritik sastra. Penelitian sastra menjadi sukar dibedakan dari timbangan buku
atau karya yang masih ringan bobotnya.
Upaya yang dapat ditempuh untuk meningkatkan intensitas manaje men penelitian
sastra antara lain dapat dilakukan dengan memberdayakan se cara optimal metodologi
penelitian sastra. Jika metodologi tidak diterapkan se cara fasih, besar kemungkinannya
permasalahan penelitian sastra akan berke panjangan Karena, di antara penyebab
penelitian sastra masih berkadar rendah adalah penerapan metode ilmiah. Maksudnya,
dalam hal hal tertentu, peneliti an sastra sering dilanda subyektivitas peneliti yang tak
terkendali, sehingga sifat "obycktif dan adanya "jarak metodologis" kurang terjaga.
Permasalahan ini, menurut Teeuw (1982) disebabkan oleh kemiskinan teori penelitian
sastra, padahal obyek (sastra) yang akan diteliti sangat melimpah. Teori-teori dangkal
tentang penelitian sastra, secara otomatis akan mengaburkan pemahaman ter hadap
karya itu sendiri. Itulah sebabnya, pada bagian lain Teeuw (2003: 33) mengisyaratkan
bahwa pembentukan pribumisasi teori sastra sah-sah saja Pembentukan teori global atau
universalitas boleh juga asalkan mampu mengikuti perkembangan sastra.
Minimnya teori penelitian sastra, sering berakibat "comot sana-sini" dan memungut
teori asing yang kurang mengakar pada si pemakai teori. Adopsi teori barat tersebut
umumnya disadap mentah-mentah, bahkan kadang kadang kurang relevan dengan
eksistensi sastra kita. Jarang sekali, teori sastra barat yang dikombinasi dengan "teori
dalam negeri" yang lebih membumi. Akibat nya, ada "pemaksaan" teori sastra asing
yang kurang siap untuk memasuki sas tra di Indonesia. Meskipun mengambil teori asing
itu sah-sah saja dan tak ha ram, namun tanpa kecerdasan si pemakai hanya akan
"mengotori" penelitian sastra kita.
Jika disadari, teori sastra akan membantu analisis, interpretasi, dan pe nilaian yang
tepat agar dapat mempertanggungjawabkan kepada masyarakat tentang arti sebuah
karya sastra. Yang penting, dalam memanfaat kan teori sastra harus waspada, khususnya
jika mengambil teori internasional (barat). Sebab unsur-unsur tertentu antara barat dan
timur kadang-kadang ber beda Di barat, unsur waktu bisa dinyatakan tepat, sedangkan
di timur (Nusan tara) ada waktu yang ditengarai secara konvensional, ada waktu sakral,
dan se bagainya. Itulah sebabnya, teori sastra yang dimanfaatkan tak perlu dipaksakan
(Sutrisno, 1997 13).
24
Jadi masalah yang dihadapi oleh peneliti sastra sangat kompleks. Na mun demikian,
Hutagalung menyarankan agar peneliti sastra tak terlalu terpe sona dengan perbedaan-
perbedaan teori sastra timur barat Yang penting dike tahui bahwa setiap kerja penelitian
kita jelas sulit lepas dari penelitian orang la in Perdebatan teori sastra yang bertele-tele,
misalkan tentang hakikat sastra, definisi sastra, seni untuk seni, seni untuk masyarakat,
dan sebagainya hanya akan menghabiskan energi. Pembicaraan semacam itu penting,
tetapi bukan po kok persoalan dalam khasanah penelitian sastra.
Harus disadari, penelitian sastra memang wilayah garap yang unik di bandingkan
bidang humaniora yang lain. Karena itu, masuk akal jika memerlu kan kejelian, taktik,
dan metodologi yang spesifik pula. Banyak pihak memang menghendaki penelitian
sastra yang mengarah pada pemanfaatan "teori sastra murni" agar terungkap hakikat
karya sastra. Namun demikian, pemakaian me todologi ini sering belum mampu
memahami makna karya sastra secara kom prehensif.
Penelitian sastra memiliki peranan penting dalam berbagai aspek kehi dupan manusia,
di samping juga berpengaruh positif terhadap pembinaan dan pengembangan sastra
itu sendiri (Tuloli, 1990 902) Peranan semacam ini akan tercapai optimal apabila
penelitian sastra tersebut dilakukan sungguh-sungguh Penelitian sastra yang sekadar
asal asalan, hanya akan melahirkan sampah saja, dan mungkin justru akan
merongrong eksistensi sastra itu sendiri.
Lebih khusus lagi, tujuan dan peranan penelitian sastra adalah untuk memahami
makna karya sastra sedalam-dalamnya (Pradopo, 1990.942). Berarti penelitian sastra
dapat berfungsi bagi kepentingan di luar sastra dan kemajuan sastra itu sendiri.
Kepentingan di luar sastra, antara lain jika penelitian tersebut berhubungan dengan
aspek-aspek di luar sastra, seperti agama, filsafat, moral, dan sebagainya. Sedangkan
kepentingan bagi sastra adalah untuk meningkat kan kualitas cipta sastra
Peranan penelitian sastra bagi aspek di luar sastra dipengaruhi oleh kan dungan sastra
sebagai dokumen zaman. Di dalamnya, karya sastra akan menjadi saksi "sejarah"
yang dapat mengembangkan ilmu lain begitu juga sebaliknya Peranan semacam ini
boleh dikatakan sebagai aspek pragmatik penelitian sastra. Yakni, hasil-hasil
penelitian sastra akan bermanfaat bagi ilmu lain yang relevan. Hal ini akan membuka
kerjasama yang baik antar disiplin ilmu, antara sastra dengan bidang lain Lebih jauh
lagi, penelitian sastra juga akan mem bantu pengembangan teori sastra, penulisan
sejarah sastra, dan memperluas apresiasi pembaca.
Sayangnya, di Indonesia memang belum ada upaya khusus untuk mem persiapkan
sumber daya manusia menjadi peneliti sastra. Jika di perguruan tinggi ada mata kuliah
Metode Penelitian Sastra, mungkin materi yang diajarkan hanya mencakup sebagian
kecil dari spektrum penelitian sastra yang sangat lu as. Penataran penataran penelitian
25
sastra pun kadang-kadang masih bersifat parsial. Jika ada dosen yang meneliti sastra,
itu pun kadang-kadang hanya sam pingan belaka Tugas dosen di Indonesia telah
bertumpuk sehingga amat jarang yang mengambil waktu khusus untuk meneliti
sastra. Bahkan, jika mereka ter paksa meneliti hanya terbatas penelitian sastra "dalam
rangka" (untuk kredit poin atau kepentingan kuliah). Dengan kata lain, sampai
sekarang memang be lum ada peneliti sastra yang profesional. Yang ada adalah
peneliti sastra "sam bilan". Dengan demikian, peneliti tidak dapat mencurahkan penuh
pikiran dan waktunya untuk memahami teks sastra
Di negara kita memang ada Balai Bahasa, sekurang-kurang telah berdiri sembilan
kantor di sebagian propinsi namun mereka juga kurang dibekali de ngan perangkat
penelitian sastra. Jika mereka berasal dari sarjana sastra, jelas memungkinkan ke arah
pengembangan ke depan. Namun demikian pencerahan penelitian sastra yang khusus
membahas metodologi juga jarang dilakukan. Yang aneh, seringkali mereka telah
merasa bisa sehingga dengan bekal seada nya terpaksa meneliti sastra. Pada tahap
semacam ini, tentunya penelitian sas tra menjadi kurang optimal.
Padahal, tugas peneliti sastra sesungguhnya lebih mulia. Peneliti tidak sekadar harus
menafsirkan apa saja yang dipandang aneh dalam karya, melain kan harus
memberikan penilaian dan pertanggungjawaban Peneliti seyogyanya mampu
mengevaluasi karya sastra sampai proses penciptaan Dari sini akan muncul pula mana
karya sastra yang bermutu dan mana karya sastra yang "ka cangan". Dengan kata lain,
penelitian sastra memiliki tidak sekadar bertugas il miah murni atau bersifat akademis
belaka, melainkan harus mampu memberi kan pencerahan perkembangan sastra,
seleksi sastra, penyebarluasan sastra, dan menjelaskan latar belakang apa saja yang
terkait dengan penciptaan
Yang lebih penting lagi, penelitian sastra diharapkan mampu mengung kap fenomena
di balik obyek sastra sebagai ungkapan hidup manusia Ungkapan kehidupan yang
diramu melalui imajinasi, ide, emosi, dan perangkat estetika tersebut yang menjadi
sasaran peneliti sastra Penelitian sastra akan berusaha menerangielaskan kepada siapa
saja tentang maksud yang ada di balik karya sastra Pendek kata, penelitian sastra akan
menjadi jembatan antara penulis, teks, dan pembaca.
A. Strukturalisme Genetik
26
Semula, peletak dasar strukturalisme genetik adalah Taine Pandangan nya lalu
dikembangkan melalui studi sastra secara sosiologis. Bagi dia, karya sastra tidak
sekadar fakta imajinatif dan pribadi, melainkan dapat merupakan cerminan atau
rekaman budaya, suatu perwujudan pikiran tertentu pada saat karya dilahirkan Dari
pandangan ini, tampaknya Goldmann adalah satu-satu nya tokoh yang ikut
mengembangkan strukturalisme genetik Dalam pandang an dia, fakta kemanusiaan
merupakan struktur yang bermakna. Semua aktivitas manusia merupakan respon dari
subyek kolektif atau individu dalam situasi ter tentu yang merupakan kreasi untuk
memodifikasi situasi yang ada agar cocok dengan aspirasinya. Dalam hal ini manusia
memiliki kecenderungan untuk ber perilaku alami karena harus menyesuaikan dengan
alam semesta lingku ngannya
Penelitian strukturalisme genetik, memandang karya sastra dari dua su dut yaitu
instansik dan ekstrinsik Studi diawali dari kajian unsur intrinsik (ke satuan dan
koberensinya) sebagai data dasarnya. Selanjutnya, penelitian akan menghubungkan
berbagai unsur dengan realitas masyarakatnya Karya dipan dang sebagai sebuah
refleksi zaman, yang dapat mengungkapkan aspek sosial, budaya, politik, ekonomi,
27
dan sebagainya Peristiwa peristiwa penting dari za mannya akan dihubungkan
langsung dengan unsur-unsur intrinsik karya sastra
Metode yang digunakan, dapat mengadopsi tawaran Albrecht (Faruk, 1988 65) yaitu:
(1) metode "sosial histons", meliputi tipe deskriptif murni menge nai sejarah sosial
dan tipe analitik yang diterapkan pada seni (sastra), (2) metode etnografi, terutama
kaitannya dengan "partisipasi observasi", dan (3) metode sta tistik Metode (1) dan (2)
biasanya lebih banyak dipilih peneliti strukturalisme genetik, terutama untuk
mengungkap sejarah dan asal-usul terjadinya teks sastra Sedangkan metode (3)
banyak di manfaatkan oleh penerbit resepsi Sastra seperti yang di lakukan segers.
Menurut Goldmann, karya sastra sebagai struktur bermakna itu akan mewakili
pandangan dunia (vision du monde) penulis, tidak sebagai individu melainkan sebagai
anggota masyarakatnya. Dengan demikian, dapat dinyata kan bahwa strukturalisme
genetik merupakan penelitian sastra yang menghu bungkan antara struktur sastra dengan
struktur masyarakat melalui pandangan dunia atau ideologi yang diekspresikannya Oleh
karena itu, karya sastra tidak akan dapat dipahami secara utuh jika totalitas kehidupan
masyarakat yang te lah melahirkan teks sastra diabaikan begitu saja. Pengabaian unsur
masyarakat berarti penelitian sastra menjadi pincang
Pandangan dunia, yang bagi Goldmann selalu terbayang dalam karya sastra agung,
adalah abstraksi (bukan fakta empiris yang memiliki eksistensi ob yektif). Abstraksi itu
akan mencapai bentuknya yang konkret dalam sastra. Oleh karena pandangan dunia itu
suatu bentuk kesadaran kolektif yang mewakili identitas kolektifnya, maka dia secara
sahih dapat mewakili kelas sosialnya. Pandangan inilah yang menentukan struktur suatu
karya sastra. Oleh karena itu, karya sastra dapat dipahami asalnya dan terjadinya (unsur
genetiknya) dari latar belakang sosial tertentu. Ketenkatan pandangan dunia penulis
dengan ru ang dan waktu tertentu tersebut, bagi Goldmann merupakan hubungan
genetik, karenanya disebut strukturalisme genetik. Dalam kaitan ini, karya sastra harus
dipandang dari asalnya dan kejadiannya
Atas dasar hal-hal tersebut, Goldmann (Junus, 1986 26) memberikan rumusan
penelitian strukturalisme genetik ke dalam tiga hal, yaitu: (1) peneli tian terhadap karya
sastra seharusnya dilihat sebagai suatu kesatuan, (2) karya sastra yang diteliti mestinya
karya yang bernilai sastra yaitu karya yang me ngandung tegangan (tension) antara
keragaman dan kesatuan dalam suatu kese luruhan (a coherent whole); (3) jika kesatuan
telah ditemukan, kemudian dianali sis dalam hubungannya dengan latar belakang sosial.
Sifat hubungan tersebut: (a) yang berhubungan latar belakang sosial adalah unsur
kesatuan, (b) latar be lakang yang dimaksud adalah pandangan dunia suatu kelompok
sosial yang di lahirkan oleh pengarang sehingga hal tersebut dapat dikonkretkan.
Untuk sampai pada world view yang merupakan pandangan dunia pe ngarang
memang bukan pekerjaan mudah. Karena itu, Goldmann mengisyarat kan bahwa
penelitian bukan terletak pada analisis isi, melainkan lebih pada struktur cerita. Dari
struktur cerita itu kemudian dicari jaringan yang memben tuk kesatuannya. Penekanan
28
pada struktur dengan isi sebenarnya merupakan suatu permasalahan tersendiri, karena
hal tersebut dapat mengabaikan hakikat sastra yang mempunyai tradisi sendin
(Laurenson dan Swingeood, 1972).
Pada bagian lain, Goldmann (1981:111) mengemukakan bahwa pan dangan dunia
merupakan perspektif yang koheren dan terpadu mengenai hu bungan manusia dengan
sesamanya dengan alam semesta. Hal ini menunjuk kan bahwa pandangan dunia adalah
sebuah kesadaran hakiki masyarakat da lam menghadapi kehidupan. Namun, dalam
karya sastra, hal ini amat berbeda dengan keadaan nyata Kesadaran tentang pandangan
dunia ini adalah kesada ran mungkin, atau kesadaran yang telah ditafsirkan. Oleh karena
itu, boleh di katakan bahwa karya sastra sebenarnya merupakan ekspresi pandangan
dunia yang imajiner.
Melalui pandangan dunia demikian, bukan tidak mungkin kalau karya sastra juga
merefleksikan "nilai otentik" yang dianut dalam hidupnya. Nilai otentik adalah nilai-
nilai yang tersirat dalam novel (karya), nilai yang mengor ganisir sebuah mode dunia
sebagai suatu totalitas (Goldmann, 1977:1-2) Nilai nilai ini bersifat konseptual dan
abstrak. Nilai-nilai ini kadang-kadang ke arah hal-hal yang positif dan negatif. Nilai
yang positif tentu akan memiliki impli kasi ke arah pandangan dunia yang positif
(cerah), menyenangkan, dan penuh harapan. Sebaliknya, nilai otentik yang negatif akan
memunculkan pandangan dunia negatif pula Pandangan dunia ini, oleh Goldmann
disebut pandangan duma tragik Pandangan dunia ini identik dengan wawasan fisosofi
fatalistik Hanya saja, kalau pandangan dunia tragik kurang percaya atas kehadiran Tu
han, sedangkan fatalistik justru sebaliknya tetapi tidak mau berupaya apa pun.
Pandangan dunia tragik hadir pada saat Goldmann membahas novel Hidden God,
Tuhan Bersembunyi. Menurutnya, ada tiga elemen penting yaitu, mengenai Tuhan,
manusia, dan dunia yang ketiganya saling berkaitan. Pan dangan tragik terhadap tiga hal
tersebut akan melahirkan dua pihak yang ber beda. Di satu pihak, mereka meyakini
bahwa pemahaman dan pengakuan se cara lengkap dan tepat menangani dunia baru
yang diciptakan oleh individual isme yang rasionalistik beserta tuntutan-tuntutannya
yang dianggap berharga dan secara ilmiah sahih. Di pihak lain terdapat penolakan total
terhadap dunia.
C. TEKNIK ANALISIS
29
dialektik adalah adanya pengetahuan mengenai fakta-fakta ke manusiaan akan tetap
abstrak apabila tidak dibuat konkret dengan menginte grasikan ke dalam totalitas
Sehubungan dengan hal tersebut, metode dialektik mengembangkan dua macam konsep,
yaitu "keseluruhan-bagian" dan "pema haman-penjelasan".
Oleh karena itu, pemikiran dialektik tak pernah mengikuti garis lurus Setiap fakta
(sastra) individual hanya bermakna ketika ditempatkan ke dalam keseluruhan
Sebaliknya, keseluruhan hanya dapat dipahami dengan pengeta huan yang bertambah
mengenai fakta fakta partial atau yang tidak menyeluruh yang membangun keseluruhan
itu. Karena keseluruhan tidak dapat dipahami tanpa bagian begitu pula sebaliknya,
proses pencapaian pemahaman makna metode dialektik berlangsung melingkar terus-
menerus, mengikuti sistem sirkel, tanpa ada kejelasan titik awal dan akhirnya
Jika demikian tampak jelas bahwa metode dialektik mengenalkan anali sis
"pemahaman-penjelasan" Pemahaman adalah usaha pendeskripsian struk tur obyek
yang dipelajari, sedangkan penjelasan adalah usaha penemuan makna struktur itu
dengan menggabungkannya ke dalam struktur yang lebih besar Dengan kata lain,
pemahaman merupakan langkah untuk mengidentifikasi bagian, dan penjelasan adalah
langkah pemaknaan unsur bagian ke dalam unsur Keseluruhan.
A. Estetika Sastra
1. HAKIKAT ESTETIKA
Kajian estetika akan mengungkap keindahan karya sastra. Karya sastra adalah
fenomena yang penuh bunga-bunga dan aroma Karenanya, peneliti di harapkan mampu
menangkap keindahan di dalamnya. Keindahan adalah cip taan pengarang dengan
30
seperangkat bahasa. Melalui eksplorasi bahasa yang khas, pengarang akan menampilkan
aspek keindahan yang optimal
Keindahan adalah sebuah aplikasi dan intrau dan inscape Intresa ada lah pengaruh
yang nyata dari tangan Tuhan terhadap cipta kreatif seorang sas trawan, sedangkan
inscape adalah pemahaman atau kekuatan melihat sesuatu dengan pikiran dan hati
sebagai suatu pundak realitas dalam sastra berdasarkan kebenaran Tuhan Keindahan
adalah dunia ide/gagasan. Karena ide tersebut terbersit siratan dunia Illahi Jadi,
keindahan akan mengacu pada Tuhan Dari pengertian ini, keindahan dapat dibedakan
menjadi tiga. (a) keindahan dalam arti luas, yaitu keindahan yang identik dengan
kebenaran. (b) keindahan dalam estetik murni, yaitu keindahan dalam pengalaman
sastrawan, yang mempenga ruhi seseorang merasa indah atau tak indah, (c) keindahan
sederhana, yaitu ke indahan yang hanya terbatas pada tangkapan pancaindera
Kajian estetika tak hanya berhubungan dengan seni bahasa saja, tetapi juga
menyeluruh ke unsur-unsur pembangun karya sastra. Menurut Braginsky (Teeuw,
1988.354) ada tiga aspek konsep keindahan. Pertama, dari aspek onto logisnya, ada
keindahan puisi sebagai pembayangan kekayaan Tuhan. Kedua, dari aspek imanen, dari
yang indah, yang terungkapkan dalam kata-kata seperti ajaib, tamasya, dan lain-lain,
dan selalu terwujud dalam keanekaragaman, ke bahagiaan yang harmonis, baik dalam
alam maupun dalam ciptaan manusia. Ketiga, dari aspek psikologis, yaitu efek kepada
pembaca yang menjajdi heran, birahi, suka, lupa dan sebagainya. Dalam kaitan ini karya
sastra dapat dijadikan sebagai pelipur lara ( panglipur Wiyung), Seperti pada Novel-
novel Jawa tahun 1960-an.
Dari pendapat tersebut, tampak bahwa keindahan dari aspek ontologis dan imanen
merupakan bentuk kemampuan pengarang mengolah bahasa da lam karyanya. Olahan
bahasa yang hidup dan mempesona, dapat saja menjadi lebih memaukau dan seakan
akan memiliki sinar Ketuhanan. Kata-kata yang mereka ciptakan seakan-akan berasal
dari Sang Pencipta. Estetika semacam ini merupakan hakikat filosofi dari sebuah
estetika. Keindahan menjadi pijaran kata-kata dan suara Tuhan. Sedangkan keindahan
dari aspek psikologis sebe namya merupakan pengaruh keindahan karya sastra bagi
pembaca Keindahan semacam ini memiliknilai pragmatik. Keindahan karya sastra
diharapkan mampu merebut hati pembaca. Melalui keindahan itu pembaca akan
memburu karya sastra dan menilainya lebih.
Yang patut diketahui, estetika sastra yang universal hampir tidak ada. Keindahan
karya sastra umumnya terbatas pada wilayah sastra itu sendiri Maksudnya, estetika
sastra Indonesia, Inggris, Jawa, Sunda, dan sebagainya memiliki kekhasan masing
masing Kekuatan masing-masing wilayah sastra tersebut bersifat unik Misalkan saja,
dalam sastra Indonesia mengenal sajak asonansi dan aliterasi, dalam sastra Jawa istilah
persajakan dinamakan purwakanthi Lalu ada purwakanthi guru sastra (asonansi) dan
purwakanthi guru swara semacam ini tidak harus dipertentangkan satu sama lain, karena
fungsinya sama yaitu memperindah karya sastra.
2. ANALISIS ESTETIKA
31
Sepintas, penelitian estetik itu sekadar mengungkap masalah unsur pem bentuk seni
sastra saja Unsur-unsur pembangun teks yang menjadi obyek telaah utama. Padahal,
penelitian ini juga merupakan bagian dari strukturalisme murni. Hanya saja, jika
penelitian strukturalisme murni menekankan aspek hubungan antar unsur, penelitian
estetik tidak demikian. Penelitian estetik hanya memfo kuskan pada aspek yang
menyebabkan karya sastra menjadi indah dan me narik
Lebih lanjut, Mukarovsky memberikan tahapan penelitian estetika men jadi tiga,
yaitu: (1) perhatian pertama dicurahkan pada obyek itu sendiri yaitu organisasi internal
karya sastra yang dikaji, (2) meneliti terminologi sebagai "kesadaran sosial" yaitu
perangkat norma-norma yang terpercaya untuk sebuah kolektivitas tertentu yang
diimplementasikan oleh setiap karya sastra, dan (3) subyek tidak lagi dipahami sebagai
sarana struktur supra-individual yang pasif, tetapi sebagai suatu kekuatan yang beraksi
dan berinteraksi dengan struktur struktur tersebut dan mengubahnya selama terjadinya
interaksi itu
Kunci makna dalam penelitian estetik struktural adalah tidak terletak pada aspek
sensorinya, melainkan pada hubungan aspek itu dengan kode Ka rena itu, kunci
pemahaman karya sastra tidak harus dicari pada organisasi in ternalnya, melainkan pada
hubungan organisasi tersebut dengan kode yang mendasarinya. Dari pandangan ini,
organisasi karya sastra hanya memiliki su atu ketetapan relatif, dan kode estetik yang
menentukan tampilan aktualnya. Karya sastra adalah memiliki struktur ambigu Karya
32
sastra menjadi tidak am bigu jika dihayati secara berlawanan dengan latar belakang
tradisi
Estetika struktural memberikan perhatian pada tiga fenomena yang se cara tetap saling
berpengaruh, yaitu artistik, estetik, ekstra astistik dan ekstra es tetik, dan tegangan yang
ada di antara bidang tersebut saling mempengaruhi pe ngembangan masing masing
Dalam bukunya Aesthetics Funtion, Norm, and Va lues as Social Facts, Mukarovsky
memberikan tiga konsep aksiologi estetik yang terdiri atas fungsi, norma,dan nilai.
Disadari atau tidak, penelitian pengajaran sastra sangat penting untuk meningkatkan
pengajaran dan sekaligus mengembangkan sastra. Penelitian se macam ini memang
jarang dilakukan Kalau pun ada, kadang-kadang tidak di lakukan oleh pengajar sastra
yang bersangkutan. Bahkan, sebagian besar pene litian pengajaran sastra dilakukan och
seorang peneliti yang "kurang" mengua sai pengajaran sastra.
Penelitian pengajaran sastra, akan mengaitkan tiga hal yaitu penelitian, pengajaran,
dan sastra. Karenanya, di samping menguasai masalah metode pe pengajaran sastra dan
liku-likunya, juga harus paham betul tentang sastra. Jika tiga hal itu ada yang timpang
salah satu, tentu penelitian pengajaran sastra jelas kurang efektif. Peneliti pengajaran
sastra juga perlu menguasai aneka ragam teori didaktik, teori belajar, ilmu sastra, dan
metode pengajaran sastra Atas dasar ini, layak kalau penelitian pengajaran sastra baik
secara individual maupun kelompok dilakukan oleh pengajar sastra. Memang mungkin
akan ada kesan kurang obyektif karena pengajar sastra meneliti "aktivitasnya" sendiri.
Anggapan ini tentu belum selamanya benar, asalkan pengajar sastra tersebut memiliki
wawasan metodologi yang akurat, penelitian termaksud akan berjalan lancar.
Penelitian pengajaran sastra yang terbaik memang harus bersifat empi rik.
Pengalaman-pengalaman lapangan yang terkumpul, justru akan menjadi bahan masukan
bagi pengajar sastra dan pengembangan sastra yang akan da tang Sebagai bahan
masukan, penelitian pengajaran sastra semestinya juga men cakup unsur-unsur
pengajaran secara lengkap, misalkan pembaca, buku teks, GBPP, pengajar, media,
lingkungan dan sebagainya.
33
Agar hasil penelitian pengajaran sastra memenuhi fungsinya, segera da. pat
dimanfaatnya oleh siapa saja, maka penelitian sebagainya ke arah program besar
pemerintah. Kini, pemerintah sedang akan memberlakukan KBK (Kuri kulum Berbasis
Kompetensi). Yakni, sebuah program yang berupa rekayasa kultural pengajaran, yang
mendasarkan pada kompetensi dasar minimal. Arah ini sebaiknya direbut oleh peneliti
untuk melakukan pembahasan lebih lanjut
Di samping itu, peserta didik juga tak akan mengambang serta berjalan dalam
kegelapan dalam belajar sastra. Mempelajari sastra, tak sekadar mekanik dan tanpa
tanpa keterlibatan jiwa, melainkan totalitas kejiwaan akan tercurah kan di dalamnya.
Hal ini berarti mempelajari sastra tak sekadar menghafal isti lah sastra, melainkan
menggauli karya sastra Mempelajari sastra juga memiliki target tertentu yang ditentukan
sendiri oleh peserta didik.
Asumsi perlunya KBK dalam sastra, ada beberapa hal antara lain: (1) peserta didik
sebenarnya bukanlah tabung kosong yang bersih, melainkan me miliki bakat dan
kemampuan tertentu. Kemampuan tersebut tak akan berubah apabila tak dikembangkan,
(2) kemampuan dasar yang dimiliki peserta didik a lain berupa daya imajinasi,
keinginan tampil, dan jiwa seni atau estetis, (3) pelaksanaan pembelajaran sastra
sebelum ada KBK boleh dikatakan gagal, antara karena tak menyentuh esensi apresiasi
sastra. Karenanya, melalui KBK peserta didik akan diajak menggauli langsung karya
sastra, mengoptimalkan pengalaman hidup, mendayagunakan sumber belajar dari
lingkungan peserta didik, dan se bagainya; (4) di samping kemampuan individu peserta
didik juga mempunyai keinginan untuk saling kerjasama dengan orang lain, (5) kegiatan
yang berupa memproduksi sastra di rumah, misalkan ada tugas pekerjaan rumah,
seringkali tidak asli bahkan kadang-kadang dibuatkan orang lain. Di samping itu peserta
34
didik sering hanya mengandalkan pada hasil akhir jika mencipta karya sastra. Maka
dengan KBK yang dipentingkan adalah proses berolah sastra; (6) setiap peserta didik
memiliki daya juang kreativitas yang sulit diabaikan. Setiap pe serta didik akan
berkreasi dalam sastra sesuai tingkat kecerdasan dan imajinasi nya, dan (7) perbedaan
daya estetika, yaitu suatu kelembutan rasa dalam mengo lah kata yang bermakna perlu
dihargai
Atas dasar asumsi demikian, memang telah waktunya pembelajaran sastra menata
diri. Pembelajaran sastra yang asal-asalan, tanpa basis kompetensi yang jelas, hanya
akan mencetak sampah pendidikan Akibatnya, sastra tak ada artı nya apa apa bagi
kehidupan peserta didik. Karena itu, pembelajaran yang ber basis KBK mengajukan
prinsip prinsip sebagai berikut: (a) kompetensi diarah kan pada penanaman dan
pengembangan budi pekerti luhur, (b) ke arah inte gritas nasional, namun tetap menjaga
identitas masing-masing. (c) pengem bangan keterampilan untuk hidup. Hidup di masa
depan penuh dengan kompe tist, karena itu kompetensi sastra harus bisa disiapkan ke
arah itu, (d) penilaian dilakukan secara berkelanjutan, (e) perlu ada kemitraan dengan
pihak pihak ter kait
Dengan demikian, pembelajaran sastra semakin cerdas dan jelas arah nya.
Pembelajaran bukan sekadar formalitas dan menekankan hafalan. Pembe lajaran
dirancang bersama, sejalan otonomi kelas atau guru. Penilaian tak seka dar memilih
(multiple choice) yang penuh tebakan, melainkan ke arah hal-hal sinergis Penilaian
bersifat kontinu. Berarti, kemampuan khusus yang ke arah life skill akan menjadi
pertimbangan penuh pada penilaian. Peserta didik yang berkali-kali juara menulis
ataupun membaca puisi Jawa, tentu berbeda dengan yang tak pernah juara. Kalau
begitu, juga akan menghindari nilai-nilai sulapan atau katrolan
Yang lebih penting lagi, pelaksanaan KBK sastra memang unik. Seha rusnya, tak
ada keseragaman antara sekolah satu dengan yang lain. Bahkan an tara kelas satu
dengan yang lain. Karenanya, kalau ada buku teks, hanya seba gai rambu-rambu awal
saja. Namun, setiap pengajar dan lingkungan sekolah akan dan boleh beraktivitas
berbeda, sejalan dengan kemampuan yang ada.
merupakan aplikasi school based management, yang kemudian diarahkan ke life skill
education. Arah pembelajaran sastra pun, akan menjadi epigon paham KBK, sehingga
tak lagi menjejali teori mati yang kering kepada peserta didik. Melainkan, pembelajaran
justru mengarah ke aspek-aspek kegu. naan (pragmatik sastra) Aspek pragmatik sastra
selalu berorientasi pada fungsi sastra bagi peserta didik. Misalkan saja, peserta didik
diajak belajar tembang pocung sampai dapat, harus tahu kegunaannya. Untuk apa
pocung dipelajari, apa pengaruhnya terhadap masa depan peserta didik, dan seterusnya.
Melalui KBK, peserta didik akan belajar lebih humanis, dalam rangka mencapai
sebuah kompetensi dasar. Kompetensi adalah perpaduan dari pengetahuan,
keterampilan, nilai dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan
bertindak. Dengan demikian, kompetensi sangat kompleks. Kompetensiadalah
kemampuan untuk menjadi dirinya. Peserta didik akan mampu menja lankan
35
keterampilan, tugas, sikap, dan apresiasi yang diperlukan untuk menun jang
keberhasilan. Dengan demikian, kompetensi sastra adalah kemampuan pe serta didik
untuk melakukan tugas dan apresiasi sastra secara total. Yakni, apre siasi yang
berprospek masa depan, apresiasi yang hidup, basah, dan penuh makna.
Orientasi pembelajaran boleh saja setiap saat berubah, jika zaman meng hendaki
lain. Jadi, pembelajaran tak pernah tenang dan permanen, melainkan bersifat dinamis
Dinamika pembelajaran selalu mempertimbangkan ekologi sastra. Dengan cara ini,
setiap jenjang pendidikan yang membelajarkan sastra tak lagi terjebak pada ruang
diskursif. Di antara segmen sastra saling ada keterkaitan, tak berdiri sendiri, dan terjadi
hubungan simbiosis yang menguntung kan. Jika masing-masing ruang terpotong-
potong, kurang tertata, amat repot pencapaian KBK bidang sastra. Misalkan saja, tak
ada hubungan menguntung kan antara universitas sebagai produk guru sastra dengan
dunia lapangan Ber bagai majalah yang kurang mengakomodasi dan memberi peluang
bagi karya anak-anak, dan seterusnya
Orientasi pembelajaran sastra, tak harus bertele-tele dan lelah dengan cekokan teori.
Untuk itu, peneliti sastra dapat melakukan action research, mi salnya berupa kerjasama
dengan guru/dosen untuk merancang pembelajaran sastra yang bernuansa KBK
Pembelajaran semacam ini, dapat melink kemasan buku Apresiasi Puisi Remaja,
Catatan Mengolah Cinta (2002) tulisan Riris K Toha Sarumpact. Buku ini secara tak
langsung membeberkan strategi pembelajaran sastra yang bernafas KBK. Yakni, di
dalamnya tak lagi menteror peserta didik untuk menghafal, melainkan ke arah skill yang
menyenangkan
36
subyek didik diajak menyelami sembilan pantangan yang mengganggu berpuisi, dan
seterusnya
Mealui langkah demikian, subyek didik akan diajak bertamasya ke dua sastra.
Mereka akan menyelam dengan sendiri ke dunia estetis. Hal ini berarti pembelajaran
sastra memiliki kegunaan spiritual, khususnya untuk keseimbangan emosi.
Pembelajaran puisi akan menjadi wahana menghaluskan rasa humanis Di samping itu,
manakala remaja berhasil menembus media massa, kepuasan batin pun akan tercapai
Classroom action research juga dapat digunakan untuk "mengujicoba" model model
pengajaran sastra baru. Jika dari uji coba ternyata berhasil, mampu meningkatkan daya
apresiasi subjek didik terhadap karya sastra.
meningkatkan daya apresiasi subjek didik terhadap karya sastra, selanjutnya model
tersebut dapat ditularkan pada sekolah atau kelas yang lain Classroom action research
juga dapat dimanfaatkan untuk mengoji interdisipliner penga jaran sastra. Artinya,
apakah dampak pembelajaran sastra dapat berdampak po sitif pada aspek kehidupan
yang lain, atau tidak. Hal ini dapat diterapkan pada model pengajaran sastra yang
inovatif Dalam kaitan ini, benkut akan dicon tohkan beberapa langkah penelitian
pembelajaran sastra dalam rangka untuk mendukung pembentukan masyarakat madani
Indonesia.
Salah satu model classroom action research yang segera dapat diketahui hasilnya,
misalkan model bengkel sasira. Model pengajaran bengkel sastra, ke mungkinan akan
menambat situasi kritis pengajaran sastra yang selama ini se ring sekadar divejang
dengan teori dan judul-judul karya beserta nama penulis nya. Mungkin, jarang disadari
bahwa melalui bengkel sastru akan menawarkan sesuatu yang amat berharga terutama
bagi pembaca agar dapat berolah sastra.
Perlu diakui bahwa bengkel sastra memang hal baru di tengah perbin cangan
pengajaran sastra. Karenanya, di sana-sini masih diperlukan gerilya pengajaran sastra
dan perjuangan mati-matian untuk merombak model lama yang telah lekat di benak para
pengajar sastra. Paling tidak, ihwal yang perlu di tanamkan kepada mereka bahwa
melalui bengkel sastra, baik guru maupun pembaca akan terusik untuk selalu berkenalan
dengan karya sastra, menyenangi, menggeman, dan semakin akrab dengannya (karya
37
sastra) Guru dan pembaca juga akan sama-sama aktif dan tergoda untuk berolah sastra,
menemukan infor masi, mendialoglan, dan mencari pengalaman sastra. Tentu saja, hal
ini dapat terwujud tidak sekadar seperti membalik telapak tangan saja, melainkan me
merlukan komitmen keras kedua kubu (guru-pembaca) agar saling terlibat da lam
menggauli dan atau mengapresiasi karya sastra
Melalui bengkel sastra, komunitas yang berolah sastra memang akan sampai pada
tataran proses kreatif yang "liar" atau tidak "Jinak" Untuk men capai tingkatan proses
kreativitas ini, diperlukan pengajar sastra (guru/dosen) yang profesional. Profesionalitas
pengajar sastra dalam menangani bengkel sus tra, akan membuat pengajaran sastra
menjadi lebih hidup' dan dinamis. Penga jaran sastra menjadi tidak 'kering' lagi,
melainkan akan menjauhkan asumsi. asumsi sebagai legalisasi dan justifikasi statemen:
"keterasingan kesusasteraan".
A. Sosiologi Sastra
Rasionalisasi penelitian sosiologi sastra hadir dari Glickberg (1967.75) bahwa "all
literature, however fantastic or mystical in content, is animated by a pro found social
concern, and this is true of even the most flagrant nihilistic work Pendapat ini jelas
merepresentasikan bahwa seperti apa bentuk karya sastra (fantastis dan mistis) pun akan
besar perhatiannya terhadap fenomena sosial. Karya tersebut boleh dikatakan akan tetap
menampilkan kejadian-kejadian yang ada di masya rakat. Memang, pencipta sastra akan
dengan sendiri mendistorsi fakta sosial se suai dengan idealisme mereka
Dalam pandangan Wolff (Faruk, 1994:3) sosiologi sastra merupakan di siplin yang
tanpa bentuk, tidak terdefinisikan dengan baik, terdin dari sejumlah studi-studi empiris
dan berbagai percobaan pada teori yang agak lebih general. yang masing-masingnya
hanya mempunyai kesamaan dalam hal bahwa semua. nya berurusan dengan hubungan
sastra dengan masyarakat. la juga menawar kan studi sosiologi yang lebih verstehen
atau fenomenologis yang sasarannya adalah level "makna" dari karya sastra.
Sosisologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif ini banyak
diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat.
Arenanya, asumsi dasar penelitian sosiologi sas tra adalah kelahiran sastra tidak dalam
kekosongan sosial. Kehidupan sosial akan menjadi picu lahirnya karya sastra. Karya
sastra yang berhasil atau sukses yaitu yang mampu merefleksikan zamannya.Kendati
sosiologi dan sastra mempunyai perbedaan tertentu namun se benarnya dapat
memberikan penjelasan terhadap makna teks sastra (Laurenson dan Swingewood,
1972). Hal ini dapat dipahami, karena sosiologi obyek studi nya tentang manusia dan
sastra pun demikian. Sastra adalah ekspresi kehi dupan manusia yang tak lepas dari akar
masyarakatnya. Dengan demikian meskipun sosiologi dan sastra adalah dua hal yang
38
berbeda namun dapat saling melengkapi Dalam kaitan ini, sastra merupakan sebuah
refleksi lingkungan so sal budaya yang merupakan satu tes dialektika antara pengarang
dengan situa sosial yang membentuknya atau merupakan penjelasan suatu sejarah
dialektik yang dikembangkan dalam karya sastra
Itulah sebabnya memang beralasan jika penelitian sosiologi sastra lebih banyak
memperbincangkan hubungan antara pengarang dengan kehidupan so salnya Baik aspek
bentuk maupun isi karya sastra akan terbentuk oleh suasana Lingkungan dan kekuatan
sosial suatu periode tertentu Dalam hal ini, teks sas tra sebagai sebuah pantulan zaman,
karena itu "ia" menjadi saksi za man Sekaligun aspek imajinasi dan manipulasi tetap
ada dalam sastra, aspek sosial pun juga tidak bisa diabaikan Aspek-aspek kehidupan
sosial akan me mantul penuh ke dalam karya sastra
Hal penting dalam sosiologi sastra adalah konsep cermin (mirror) Da lam kaitan ini,
sastra dianggap sebagai mimesis (tiruan) masyarakat. Kendati de mikian, sastra tetap
diakui sebagai sebuah ilusi atau khayalan dari kenyataan Dari sini, tentu sastra tidak
akan semata-mata menyodorkan fakta secara men tah. Sastra bukan sekadar copy
kenyataan, melainkan kenyataan yang telah di tafsirkan. Kenyataan tersebut bukan
jiplakan yang kasar, melainkan sebuah re fleksi halus dan estetis Itulah sebabnya cukup
beralasan jika Hall (11979 32) menyatakan bahwa "the concept of literature a social
referent is, however, perfectly viable since it takes into account the writer's active
concern to understand hid society.
39
B. Sasaran Penelitian Sosiologi Sastra
Fungsi sosial sastra, menurut Watt (Damono, 1978 70-71) akan berkaitan dengan
pertanyaan: seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial dan sampai seberapa
jauh nilai sastra dipengaruhi oleh nilai sostal Dalam kaitan ini ada tiga hal yang perlu
diungkap: (a) sudut pandang kaum romantik yang menganggap sastra sama derajatnya
dengan karya pendeta atau nabi, dalam pandangan ini tercakup wawasan agar sastra
berfungsi sebagai pembaharu atau perombak, (b) sudut pandang bahwa karya sastra
bertugas sebagai penghibur belaka, dalam hal ini gagasan "seni untuk seni" tak ada
bedanya dengan prak tik melariskan dagangan untuk mencapai best seller, dan (c)
semacam kompromi dapat dicapai dengan meminjam slogan klasik sastra harus
mengajarkan sesua tu dengan jalan menghibur
Dari berbagai fungsi tersebut peneliti sosiologi sastra dapat mengkon sentrasikan
pada salah satu fungsi. Dari tiga fungsi tersebut, tampak menggiring peneliti ke arah
empink Oleh karena, tanpa data empirik yang akurat, seorang peneliti hanya akan
berandai-andai berhadapan dengan fungsi sastra Fungsi sastra tentu saja harus digali
langsung dari masyarakat. Masyarakat pembaca yang akan menilai dengan jernih
apakah karya tertentu memiliki fungsi jelas atau tidak. Apakah karya sastra tertentu
memiliki fungsi sosial-spiritual atau ya ng lain, tergantung kesan masyarakat.
40
lama pula terjadi perjuangan kaum kecil terhadap kapitalis yang dikenal dengan sebutan
konglomerat Hal ini telah menank sas trawan untuk idenya bahwa konglomerat di era
Orde Baru te lah bergandeng tangan dengan pemerintah sehingga menyebabkan
robolinya send sendi ekonomi kerakyatan. Bahkan, sampai sekarang pun (era reformasi)
kong lomerat selalu menjadi bahan pergunjingan.
Berarti hampir tak ada masyarakat yang tanpa kelas, tetapi tidak beram bahwa
kehadiran kelas musti harus bertentangan. Di Indonesia, tampaknya ke hadiran kelas
atau lebih tepatnya strata sosial (clit rakyat) sering bersinggungan Persinggungan
kepentingan yang melebar ke masalah kekuasaan itu, juga se ring menarik perhatian
sastrawan Itulah sebabnya, karya sastra dapat dipan dang sebagai refleksi kehidupan
sosial dan kekuasaan Karya sastra akan meng gambarkan "jarak" perbedaan strata sosial
terus menerus. Hal semacam ini juga sering diungkap melalui tokoh-tokoh dalam karya
sastra yang representatif. Mi salkan saja, tahun 2001 kemarin muncul antologi cerpen
berjudul Socharto da Lam Cerpen, terbitan Bentang Cerpen-cerpen tersebut melukiskan
betapa besar tipu daya Soeharto yang diungkap melalui fiksi.
Pada prinsipnya, di negara barat sosiologi sastra memang lebih memu satkan
perhatian pada perangkat produksi, distribusi dan pertukaran sastra dalam suatu
masyarakat tertentu bagaimana buku-buku diterbitkan, bagaimana kom posisi sosial
terhadap pengarang dan audiensnya, tingkat kemampuan bacanya. serta keterbatasan
sosial "selera" Sosiologi sastra juga dapat mengkaji teks-teks sastra bagi relevansi
"sosiologis", artinya membawa karya sastra ke dalam ben tuk abstrak melalui tema-tema
yang menarik sejarahwan sosial.
Pendapat itu memberikan gambaran penelitian sosiologi sastra tentang dua hal.
Pertama, penelitian sosiologi sastra dapat ke arah dalam kaitannya de ngan keberadaan
teks sastra dan pembacanya. Jika karya sastra diproduksi le bih banyak serta dicetak
ulang berkali-kali, tentu dimungkinkan karya tersebut sejalan dengan komunitas
masyarakatnya Karya tersebut berarti sesuai denganselera masyarakat Kedua, teks sastra
tersebut dapat direlevansikan dengan ke pentingan kepentingan studi sosial yang lain,
misalkan sejarah sosial Melalui rema-tema sastra, diharapkan dapat dimanfaatkan bagi
penulisan sejarah sosial tertentu.
Lebih jauh lagi, karya sastra juga akan digarap seakan-akan mempero lok atau
mengejek kehidupan Biasanya, pencipta sangat mahir memainkan ironi, paradoks, dan
parodi ke dalam karyanya. Karena itu, sikap sastra yang mem perolok ini sangat sensitif
41
dan peka terhadap perkembangan zaman. Mereka tanggap terhadap perkembangan
situasi yang sering menindas.
Penelitian tentang produksi dan pemasaran sastra memang jarang dila kukan.
Karena, masalah ini seakan-akan menjadi tanggung jawab penerbit. Padahal, sebenarnya
tidak demikian, artinya pengembangan karya sastra juga menjadi tanggung jawab
bersama. Sekurang-kurangnya studi semacam ini akan menghubungkan tiga kutup
sastra, yaitu penerbit, pembaca, dan pengarang
Dalam kaitan itu, dapat diungkap berbagai hal, antara lain latar bela kang sosial
pengarang sebelum dan setelah menjadi penulis. Apakah penulis tergolong orang
kampung, kota, birokrat, pegawai, dosen, anggota partai dan sebagainya. Masalah umur
dan jenis kelamin yang akan berpengaruh pada studi gender juga perlu dicermati Oleh
karena, penulis tua dengan muda, pria dan wanita tentu akan memiliki ideologi yang
berbeda. Faktor pendidikan dan hubungan sosial, juga patut diperhatikan, karena
intelektualitas karya akan dipengaruhi olehnya Bahkan, jika mungkin harus sampai pada
profesionalitar p nulis, artinya apakah mereka menulis sebagai pekerjaan pokok atau
sambilas Hubungan antara penulis dan pembaca seringkali dipengaruhi o
pengayom. Pengayom bisa terdiri dari penerbit maupun penguasa. Pengayo adalah
patronase sastrawan, yang menghidupi dan mengembangkannya. Me nurut Laurenson
dan Swingewood (1971) ada tiga jenis patronase sastra, ya patronase lama, patronase
baru, dan patronase tak langsung. Dalam patronae lama ada identifikasi antara patron
dan sastrawan, ada hubungan pribadi ya kuat. Bahkan sastrawan sering tinggal di
kediaman patron Di dalam patrona baru, hubungan antara patron dan sastrawan lebih
longgar Karena itu, buk tidak mungkin kalau sastrawan sering berganti-ganti patron,
tergantung ma yang menguntungkan baik secara material maupun spiritual. Sedangkan
sister patronase tidak langsung adalah patron yang hanya berfungsi sebagai med antara
sastrawan dengan publik
Dalam sistem patronase lama, biasanya penulis telah digaji, seperti p jangga R. Ng
Ranggawarsita, sebagai penulis keraton Surakarta tentu karyany akan dibaca. Bahkan
raja pun memiliki otoritas agar pembaca di kalangan ke raton menikmatinya.
Sebaliknya, jika penulis tidak digaji dan hanya mempe oleh honor dari tulisannya
kadang-kadang pembacanya juga tidak jelas. Keda kategori penulis tersebut tentu
memiliki kelemahan dan kelebihan. Penis yang digaji, memang seringkali karyanya
dipengaruhi oleh penguasa Pem harus melukiskan "pesanan" yaitu melukiskan ajaran-
42
ajaran tertentu Dalan hal ini penulis hanya bebas mengolah bentuk, sedangkan "pesan"
telah ada Berbeda dengan penulis bebas atau pun sambilan, mereka akan bebas
melempu karyanya Mereka juga bebas berimajinasi tanpa pengaruh siapa pun. Namun
de mikian, kategori penulis ini jika kurang kontrol akan sampai pada tingk "duplikasi"
karya yang di lempar ke sana ke mari
Pengarang adalah manusia biasa, yang melahirkan karya tidak sekada untuk
idealisme melainkan butuh imbalan yang berimbang. Jika bulunya diter bitkan maka
wajarlah ia berharap imbalan daripadanya, seperti penerbit yang mengharap keuntungan
dari penerbitannya, agen yang mengharap keuntungan dari balas jasa karena
mengedarkannya (Nadeak, 1984 35). Harapan material dari pengarang ini tentu
berimplikasi luas secara sosiologis, karena pengarang menjadi tergantung pula pada
penerbit.
43
BAB IV
A. SASTRA
Menurut Pusat Bahasa( 2009) Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar
istilah sastra arya sastra: prosa atau puisi. Dengan membaca karya sastra, kita
annenperolch "sesuatu" yang dapat memperkaya wawasan dan/atau ningkatkan harkat
hidup. Dengan kata lain, dalam karya sastra ada sesuatu yang bermanfaat bagi
kehidupan.
Karya sastra (yang baik) senantiasa mengandung nilai (value). Nilai in dikemas dalam
wujud struktur karya sastra, yang secara implisit ter dapat dalam alur, latar, tokoh, tema,
dan amanat atau di dalam larik, aplet, rima, dan irama. Nilai yang terkandung dalam
karya sastra itu, antara lain, adalah sebagai berikut:
(1) nilai hedonik (hedonic value), yaitu nilai yang dapat memberikan
kesenangan secara langsung kepada pembaca,
(2) nilai artistik (artistic value), yaitu nilai yang dapat memanifestasikan suatu seni
atau keterampilan dalam melakukan suatu pekerjaan; (3) nilai kultural (cultural value),
yaitu nilai yang dapat memberikan atau mengandung hubungan yang mendalam dengan
suatu masya
rakat, peradaban, atau kebudayaan,
(4) nilai etis, moral, agama (ethical, moral, religious value), yaitu nilai yang dapat
memberikan atau memancarkan petuah atau ajaran yang berkaitan dengan etika, moral,
atau agama,
(5) nilai praktis (practical value), yaitu nilai yang mengandung hal-hal
praktis yang dapat diterapkan dalam kehidupan nyata sehari-hari.
44
2. Sastra Bernuansa Sejarah
Peristiwa masa silam tidak mungkin berulang lagi. Benarkah dangan itu? Secara sekilas,
pandangan itu dapat kita terima. Namun, pola kejadiannya mungkin saja tampil pada
masa kini atau pada masa yang akan datang. Agaknya itulah yang menyebabkan
timbulnya ungkapan "kita perlu belajar pada sejarah karena peristiwa pada masa lampau
da pat memberikan hikmah pada kehidupan masa kini atau pada hari esok. pan
Karya sastra yang bermuatan kisah masa silam bukanlah rekaman fakta sejarah yang
sesungguhnya, melainkan hasil rekaan. Sekalipun de mikian, karya itu juga bukan
sepenuhnya buah imajinansi pengarangnya.
Nilai kepahlawanan atau semangat perjuangan, misalnya, dapat kita simak dalam novel
Mutiara (Nur Sutan Iskandar, 1946), Pagar Kawat Berduri (Trisnoyuwono, 1963),
Surapati (Abdul Muis, 1965), dan Robert Anak Surapati (Abdul Muis, 1987). Dalam
Mutiara, Nur Sutan Iskandar berkisah tentang perilaku penjajah di tanah Aceh. Kendati
ia tidak terlibat langsung dalam peristiwa itu, mata batinnya mampu menjangkau dan
menjadi saksi sejarah. Untuk itu, ia bertutur melalui karyanya pada cukil an percakapan
di bawah ini. Cut Meutia agak termangu-mangu.
kian, di dalam karya itu tersirat juga nilai kepahlawanan. Trisnoyuwono pernah
mengangkat unsur sejarah pada masa perang kemerdekaan di dalam karyanya Pagar
Kawat Berduri. Fakta sejarahnya ialah perang revolusi menjelang penyerahan
kedaulatan pada tahun 1949. la menampilkan kembali dalam karya sastranya itu kisah
kehidupan orang tahanan (lebih dari 150 orang) yang meringkuk di sebuah kamp darurat
di Salatiga. Mereka terbelenggu penderitaan, tetapi dalam dadanya tetap tumbuh
semangat untuk membela negara.
"Aku adalah dia yang berteriak 'merdeka sebelum ditembak mari. Aku adalah dia, ingat,
aku adalah dia!" 3. Sastra dan Nilai Budaya Daerah
45
Sebagian terbesar sastra daerah di Indonesia identik dengan sastra lisan. Fungsinya,
selain sebagai saluran untuk memelihara dan menu runkan buah pikiran suku atau puak
yang mempunyai sastra itu, juga cer minan alam pikiran, pandangan hidup, serta
ekspresi rasa keindahan masyarakat pemiliknya. Itulah yang biasa dinamakan dengan
nilai budaya daerah
Sistem nilai itu berupa konsepsi yang hidup dalam alam pikiran war ga masyarakat
sebagai sesuatu yang amat bernilai dalam kehidupan. Wu judnya dapat berupa adat-
istiadat, tata hukum, atau norma-norma yang mengatur langkah dan tindak budaya yang
adab. Dengan sikap rasa ikut memiliki, dalam diri seseorang akan timbul rasa
menghargai dan memi liki sesuatu yang sebenarnya memang milik bersama, seperti
adanya rasa memiliki terhadap ungkapan rut wuri handayani (Jawa) dan pepatah bulat
air karena buluh, bulat kata karena mufakat. Dalam kehidupan keluarga sering kita
dengar petuah, "Janganlah menjadi anak seperti Si Malin Kundang dan Si Marda yang
mendapat kutukan karena tidak hormat kepada orang tua."
Seseorang yang ingin memahami "kesiapaan sastrawan tentu perlu membaca karyanya.
Hal itu dapat dilakukan jika sastrawan itu mampu mengutarakan pikiran dan
perasaannya dengan baik dan jelas. Kejelasan pengungkapan khazanah batin sastrawan
ke dalam karyanya itu tentu ber gantung pada kepiawaiannya memberdayakan bahasa
sebagai sarananya
Betapapun hebatnya gejolak imajinasi atau ide sastrawan, ia tidak akan mampu
menuangkannya sama persis dengan apa yang dirasakannya. Hal itu boleh jadi
disebabkan oleh minimnya penguasaan bahasa sas trawan dan/atau keterbatasan bahasa
itu sendiri sebagai sarana. Selain itu, apa yang terungkap dalam karya itu bukanlah
semata-mata hasil penga matan sastrawan, tetapi juga apa yang dirasakan dan
ditafsirkannya ten tang objek yang dihadapinya. Karena itu, pendapat yang menyatakan
bah wa seni merupakan tiruan alam tidak sepenuhnya benar.
Bila karya sastra bukan semata-mata tiruan alam, berarti sastra itu tidak bisa dipandang
sebagai sesuatu yang memperjuangkan kebenaran Akan tetapi, dalam kenyataannya,
ukuran kebenaran sering diterapkan orang dalam menilai suatu karya sastra. Penikmat
sastra acapkali meng hubungkan peristiwa yang tertuang dalam karya sastra dengan
kebenaran dalam kehidupan sehari-hari.
Tanggung jawab moral terhadap kebenaran itu memang harus ada dalam diri sastrawan
melalui karyanya. Jika tidak, penikmat sastra akan menolaknya Untuk itu, yang perlu
dipersoalkan adalah pengertian kebe naran dalam karya sastra itu
Kebenaran dalam karya sastra bukan kebenaran yang sama persis de ngan kebenaran
dalam kehidupan sehari-hari, kebenaran pelambangan, kebenaran ideal, atau kebenaran
yang sepatutnya terjadi. Patokan sema cam itu akan dapat membantu pemahamar para
penikmat sastra dalam menerima cerita dongong atau cerita kepahlawanan yang berbaur
46
dengan kesaktian dan keajaiban, sebagaimana terlihat dalam epos "Ramayana" dan
"Mahabarara
Seiring dengan fungsinya, agama juga bertindak sebagai faktor krea uf dan dinamis,
perangsang atau pemberi makna kehidupan Melalui aga ma kita pun dapat
mempertahankan keutuhan masyarakat agar hidup dalam pola kemasyarakatan yang
telah tetap, sekaligus menuntun umat untuk meraih masa depan yang lebih baik
Keagungan Tuhan, tuntunan mencintai sesama, dan ketakwaan kepa da Sang Khalik
juga dapat ditemukan dalam sejumlah karya sastra Indo nesia.
47
dalam satu barisan per juangan kemerdekaan. Pekik yang mengobarkan semangat
kebangsaan dari kalangan sastrawan terbit dalam wujud puisi perjuangan. Chairil
Anwar, dengan mengangkat kegagahan sang pahlawan nasional, Diponegoro, bangkit
seraya berujar
Pelopor Angkatan 45 ini menyatakan shwa hidup dan kehidupan ini harus mempunyai
makna dan harus diisi kendati berbagai rintangan terus menghadang. Dinyatakan pula
bahwa tekad perjuangan harus mencermin kan sikap
sekali berarti
sudah itu mati
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditinda
Taufik Ismail, tokoh Angkatan 66, mengangkat ulang betapa kejam nya penjajahan.
Melalui sajak "Setasiun Tugu", ia melukiskan kepongah an militer Belanda pada 1947.
Di dalamnya terungkap bahwa pengorbanan para pejuang kemerdekaan semakin punya
arti dalam kehidupan masa kini.
7. Bengkel Sastra
Sudah sejak tahun 1994 dalam kegiatan Bulan Bahass dan Sastra di Pusat Bahasa selalu
diramaikan dengan penyelenggaraan Bengkel Sastra. Bengkel Sastra adalah suatu
kegiatan cipta sastra yang diselenggarakan dalam tangka upaya meningkatkan apresiasi
siswa terhadap sastra. Selain itu, Bengkel Sastra juga merupakan wadah penyaluran
bakat dan kreati
Karya sastra yang dipilih sebagai bahan kegiatan Bengkel Sastra, antara lain, adalah
puisi dan cerita pendek. Khusus untuk puisi yang dija dikan bahan adalah puisi bebas
dan puisi modern.
Tujuannya agar para peserta "Bengkel dapat mengenal unsur-unsur serta cara-cara
penciptaan puisi dan penulisan cerita pendek.
13. Drama sebagai Karya Sastra Ruang lingkup kegiatan kesusastraan terdiri atas
beberapa subsistem, yaitu subsistem puisi, subsistem prosa (cerpen dan novel), dan
subsistem drama. Subsistem drama seperti juga subsistem sastra lainnya merupakan
bagian-bagian dari subsistem komunikasi antarmanusia, yang ditandai oleh kehendak
manusia (penulis) untuk berkomunikasi secara tidak lang sung. Keinginan penulis untuk
48
berbicara tentang manusia dan kemanu siaan, tentang hidup dan kehidupan, tentang
hubungan manusia dengan dirinya sendiri, dengan manusia lain, dengan alam, dan
dengan Tuhan di tandai oleh pola hubungan manusia melalui dialog Peranan dialog
dalam karya sastra sangatlah penting dan dominan karena ia (dialog) mewakili penulis
dalam hal penyampaian karakterisasi tokoh-tokoh dalam cerita secara mendalam kepada
penonton melalui para pekerja teater (produser. sutradara, aktor, dan perangkat lainya)
sehingga terwujud atau tervisa lisasi sebuah naskah drama yang menjadi tontonan yang
berarti dan ber makna
Objek harapan karya sastra drama, seperti juga karya sastra lainnya adalah hidup dan
kehidupan manusia, yang terdiri atas beberapa episode menuruti hukum hidup manusia,
yaitu kehidupan itu ada awal, puncak, dan akhir. Oleh karena itu, struktur dramatik yang
dominan dalam karya sastra drama berbentuk segitiga, yaitu bagian awal (eksposisi),
kompli kasi (konflik), bagian tengah (klimaks/krisis), dan bagian akhir (resolusi)
Penulis drama mempunyai tujuan dalam menulis, misalnya ia menya takan kedirian atau
falsafah, ide-idenya, kepercayaannya. Mungkin juga ia ingin mengajari manusia tentang
bagaimana seharusnya hidup atau mungkin juga hanya sekadar ingin mengisahkan
pengalaman hidup saja. Untuk itu, terpulang kepada pembaca apakah ia dapat atau mau
mengam bil manfaat dari karya tersebut. Oleh sebab itu, dalam karya drama pe
ngarang/penulis akan memilih permasalahan yang penting dalam kehi dupan manusia
(subject matter) sebagai bahan untuk menyatakan/me ngekspresikan ide-idenya dalam
cerita (tema). Hal lain yang menandai karya sastra drama adalah penulis/pengarang
menggunakan unsur bahasa dalam karangannya berupa bentuk dan gaya Dalam hal
bentuk penulis! pengarang drama dapat memilih cerita seperti tragedi, tragedi komedi,
dan Komedi.selain itu, hal yang menyangkut gaya pengarang/penulis drama dapat
memilih gaya, seperti realistik, romantik, atau absurd.
49