Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sastra pada hakikatnya indah, menghibur, dan bermanfaat. Indah bila

suatu karya memiliki salah satu unsur keindahan yaitu baik, benar, dan suci. Baik

bila karya tidak bertentangan dengan nilai etis dan moral tertentu. Benar bila

karya tidak bertentangan dengan undang-undang dan hukum yang berlaku. Suci

bila karya tidak bertentangan dengan nilai pengabdian dan penghambaan kepada

Tuhan. Menghibur bila suatu karya mampu membawa, membangkitkan pikiran

dan angan penulis, pendengar dan pembaca memasuki alam baru dunia yang serba

indah dan tanpa batas. Bermanfaat bila suatu karya memberikan suatu

pengetahuan, petunjuk, dan nilai kepada penulis, pendengar, dan pembaca. Bila

karya mengandung ketiga unsur (indah, menghibur, dan bermanfaat) di atas, maka

karya tersebut adalah sastra (Samsuddin, 2015: 4).

Di samping itu pula, sastra merupakan sebuah karya yang mempunyai

bahasa konkret dan absolut yang bersifat imajinatif, karena sastra merupakan

salah satu aspek kebudayaan manusia. Hakikatnya setiap manusia pasti memiliki

kebudayaan yang menggambarkan permasalahannya, karena objek sastra adalah

manusia dengan segala aspek kehidupan yang melingkupinya. Kehidupan manusia

yang senantiasa dilanda problematika itu dapat tergambar dalam karya sastra. Hal

ini menyiratkan bahwa problematika selalu ada jika kehidupan masih ada.

1
2

Problematika dapat timbul karena permasalahan manusia dengan

manusia, dengan masyarakat di sekitarnya, dengan alam, manusia dengan dirinya

sendiri serta manusia dengan Tuhannya. Jadi, dapat dikatakan bahwa

problematika manusia merupakan inspirasi terwujudnya karya sastra. Sumardjo

dan Saini (dalam Syam, 2018: 3) mengungkapkan diperlukan pengetahuan tentang

sastra untuk dapat menikmati suatu karya sastra, jika kurang pemahaman yang

tepat, sebuah karya sastra hanya bersifat sepintas dan dangkal. Oleh karena itu,

karya sastra bukan sekedar ilmu tetapi di dalamnya adalah seni yang memuat

unsur kemanusiaan, khususnya perasaan yang terdiri dari semangat, keyakinan,

dan kepercayaan, sebagai unsur yang sulit dibuat batasannya sebagaimana yang

diwujudkan dalam salah satu genre sastra, yaitu puisi.

Puisi merupakan karya sastra yang minim kata dan padat makna.

Kepadatan makna dapat terlihat pada struktur puisi dalam menggunakan kata,

larik, dan bait yang sangat terbatas. Puisi yang ditulis oleh para sastrawan pada

dasarnya selalu bermula dari kegelisahan untuk mengungkapkan sesuatu yang

teramati secara kasat mata maupun yang teramati secara batin. Kegelisahan itu

bermula dari adanya kesenjangan. Oleh karena itu, puisi pada hakikatnya

merupakan ungkapan ide, gagasan, pikiran, dan perasaan yang pada dirinya

sendiri untuk merepresentasikan kesenjangan yang terjadi pada dunia nyata yang

merupakan rekayasa kepentingan dengan dunia ideal yang selalu berada pada

kekokohan norma. Kehadiran puisi dalam kehidupan manusia tidak hanya

memberikan nuansa keindahan, melainkan menghadirkan pesan-pesan yang

terkandung di dalamnya.
3

Puisi dapat dipahami dengan menggunakan berbagai teori. Salah satunya

adalah teori intertekstual. Intertekstual adalah kajian terhadap sejumlah teks

kesastraan yang mempunyai hubungan tertentu, misalnya hubungan unsur-unsur

puisi. Hubungan tersebut menampilkan persamaan dan perbedaan yang dimiliki

oleh kedua puisi. Perbedaan kedua puisi tesebut tidak terlepas dari latar

pembuatannya. Perbedaan itu meliputi beberapa hal, di antaranya metode,

munculnya proses kreatif, dan cara mengekspresikan apa yang ada dalam diri

pengarang, sehingga perbedaan dan persamaan itu disebut dengan interteks.

Interteks akan menciptakan kemiripan cerita yang terkandung antara puisi yang

satu dengan puisi yang lain. Tetapi kemiripan dan perbedaan yang terdapat dalam

puisi yang dihasilkan bukan merupakan suatu hasil penjiplakan.

Jabrohim (2001: 136) mengungkapkan bahwa intertekstual berarti setiap

teks sastra dibaca harus dengan latar belakang teks-teks lain, tidak ada sebuah teks

yang sungguh-sungguh mandiri, dalam arti bahwa penciptaan dan pembacaannya

tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks-teks lain sebagai contoh, teladan, dan

kerangka. Intertekstual pada akhirnya harus masuk ke dalam wilayah hipogram.

Hipogram adalah modal utama dalam sastra yang melahirkan karya sastra

berikutnya. Riffaterre (dalam Endraswara, 2013: 132) mengungkapkan bahwa

hipogram adalah karya sastra yang menjadi latar kelahiran karya berikutnya, dan

karya berikutnya dinamakan transformasi. Dari transformasi tersebut puisi hadir

untuk memberikan uraian, melerai, dan solusi pada kesenjangan yang ada.

Puisi Tangisan Batu dan Air Mata Legenda karya Abdurrahman El

Husainy tidak lepas dari kesenjangan yang dimaksud, mampu menafsirkan puisi
4

yaitu mampu membebaskan imajinasi untuk mengartikan setiap kata-kata yang

tertuang sebagai kekuatan yang mempunyai makna dan menangkap pesan yang

ingin disampaikan penyairnya, seperti halnya puisi Tangisan Batu dan Air Mata

Legenda karya Abdurrahman El Husainy merupakan puisi yang sangat

menyentuh, menggugah perasaan, dan menggentarkan hati para pembacanya.

Akan tetapi, efek yang mengharukan dari kedua puisi tersebut dapat lebih

dipahami jika mengetahui kisah sesungguhnya yang berupa teks cerita rakyat

yang melatarbelakangi kelahiran kedua puisi tersebut. Proses kelahiran kedua

puisinya yang berjudul Tangisan Batu dan Air Mata Legenda dipengaruhi oleh

cerita rakyat Kalimantan Selatan yang berjudul Kisah Diang Ingsun dan Raden

Pengantin. Kisah ini sangat terkenal di Kalimantan Selatan yang mengisahkan

kedurhakaan seorang anak terhadap Ibunya.

Melihat kedua puisi tersebut diperlukan adanya metode perbandingan

yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Metode perbandingan yaitu

dengan cara menghipogramkan puisi Tangisan Batu dan Air Mata Legenda karya

Abdurrahman El Husainy. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Riffaterre (dalam

Endraswara, 2013: 132) hipogram adalah karya sastra yang menjadi latar

kelahiran karya berikutnya, dan karya berikutnya dinamakan transformasi.

Dengan membandingkan teks dengan teks yang menjadi hipogramnya, maka

makna teks tersebut menjadi jelas. Oleh karena itu, penulis tertarik melakukan

penelitian dengan judul “Kajian Intertekstual dalam Puisi Tangisan Batu dan Air

Mata Legenda Karya Abdurrahman El Husainy”.


5

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka yang

menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah Kajian

Intertekstual dalam Puisi Tangisan Batu dan Air Mata Legenda Karya

Abdurrahman El Husainy?”

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka

yang menjadi tujuan dalam penelitian adalah untuk mendeskripsikan kajian

intertekstual dalam puisi Tangisan Batu dan Air Mata Legenda karya

Abdurrahman El Husainy.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang ingin diperoleh dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Manfaat teoretis, penelitian ini dapat menjadi sarana pengembangan teori-teori

kesastraan terutama puisi, intertekstual, dan hipogram.

2. Manfaat praktis, penelitian ini dapat bermanfaat sebagai berikut:

1) Penulis dapat memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang kajian

intertekstual dalam puisi Tangisan Batu dan Air Mata Legenda karya

Abdurrahman El Husainy.

2) Pembaca dapat memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang kajian

intertekstual dalam puisi Tangisan Batu dan Air Mata Legenda karya

Abdurrahman El Husainy.
6

1.5 Definisi Operasional

Definisi operasional penting dikemukakan dalam penelitian ini untuk

menghindari kesalahan penafsiran. Berikut ini dinyatakan definisi operasional atas

istilah-istilah di dalam penelitian ini.

1. Puisi adalah bentuk karya sastra yang menggunakan kata-kata indah dan kaya

makna. Puisi tercipta dari kolaborasi dan hasil dialog penyair antara

pengalaman kemanusiaan dan situasi kejiwaan yang dituangkan dengan bahasa

yang hidup dan padat.

2. Intertekstual adalah suatu kajian yang berusaha menemukan aspek-aspek

tertentu yang ada dalam karya sastra sebelum dan sesudahnya untuk

memberikan makna yang lebih lengkap.

3. Hipogram adalah adalah karya sastra terdahulu yang dijadikan sandaran

berkarya. Hipogram tersebut bisa sangat halus dan juga sangat kentara. Dalam

kaitan ini, sastrawan yang lahir berikut adalah reseptor dan transformator karya

sebelumnya.

Anda mungkin juga menyukai