Anda di halaman 1dari 38

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Deskripsi Konseptual Fokus dan Subfokus Penelitian


1. Definisi sastra

1.1 Pengertian sastra

Sastra merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan sebuah imitasi. Sang seniman

menciptakan sebuah dunia baru, merupakan proses penciptaan di dalam semesta alam,

bahkan menyempurnakannya. Sastra juga bisa dikatakan suatu luapan emosi yang spontan.

Sastra atau sebuah nama yang dengan alasan tertentu diberikan kepada sejumlah hasil tertentu

dalam suatu lingkungan kebudayaan agar mencerminkan kenyataan. Aristoteles telah

menerangkan bahwa seorang pengarang justru karna adanya daya cipta bahwa seorang

pengarang justru kmemiliki daya cipta artistik-nya dan mampu menampilkan perbuatan

manusia secara universal. Dikalangan mayarakat sastra dapat dipandang sebagai suatu

gejala sosial, sastra dapat ditulis pada kurun waktu tertentu dan langsung berkaitan dengan

norma-norma dan adat istiadat zaman itu.

Selain itu, sastra juga dapat berarti pengungkapan fakta artistik dan imajinatif sebagai

manifestasi kehidupan manusia melalui bahasa sebagai medium dan punya efek positif

terhadap kehidupan manusia (Esten, 2013:3) . pengertian ini menegaskan hal lain dari karya

sastra, yakni imajinasi sebagai gambaran kehidupan manusia. Dengan pengertian ini, tentu

karya sastra sedekat apapun hubungannya dengan realitas (intensitas alur, sudut pandang,

latar peristiwa) harus dianggap sebagai karya imajinati. Mendekatkan realitas dengan sastra

sah-sah saja, tapi mendikotomi sastra sebagai fakta peristiwa adalah hal yang keliru.

9
Secara etimologis ( menurut asal-usul kata) kesustraan berarti karangan yang indah.

“Sastra” (dari bahasa Sansekerta) atau sebuah cipta sastra yang indah, bukanlah karena

bahasanya yang beralun-alun dan penuh irama. Ia harus dilihat secara keseluruhan temanya,

amanatnya dan strukturnya. Pada nilai-nilai yang terkandung dalam cipta sastra itu. Ada

beberapa nilai yang harus dimiliki oleh sebuah cipta sastra. Nilai-nilai itu adalah : nilai-nilai

estetika, nilai-nilai moral dan nilai-nilai yang bersifat konsepsional. Ketiga nilai tersebut

sesungguhnya tidak dapat dipisahkan sama sekali. Sesuatu yang estetis adalah sesuatu yang

memiliki nilai-nilai moral. Ia adalah nilai- nilai yang berpangkal dari nilai-nilai tentang

kemanusiaan. Tentang nilai-nilai yang baik dan buruk yang universal. Demikian juga tentang

nilai-nilai yang bersifat konsepsional iru. Dasarnya adalah juga nilai tentang keindahan yang

sekaligus merangkum nilai tentang moral.

Sebuah cipta sastra mengungkapkan tentang masalah-masalah manusia dan

kemanusiaan. Tentang makna hidup dan kehidupan. Ia melukiskan penderitaan – penderitaan

manusia, perjuangannya kasih sayang dan kebencian, nafsu dan segala yang dialami manusia.

Dengan cipta sastra pengarang hendak menampilkan nilai-nilai yang lebih tinggi dan lebih

agung. Mau menafsirkan tentang makna hidup dan hakekat hidup.

Sebuah cipta sastra yang baik, mengajak orang untuk merenungkan masalah-masalah

hidup yang sulit. Mengajak orang untuk merenung dan berpikir dengan sepenuh perhatian,

menyadarkan dan membebaskannya dari segala belenggu – belenggu pikiran jahat dan

keliru.

10
Teeuw dalam (kurniawan, 2012: 12) Sastra dalam sansekerta yaitu sas- yang berarti

mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk, atau intruksi. Dalam bahasa Indonesia, sastra

dikenal dengan istilah susastra, suku kata su- pada kata tersebut bermakna baik dan indah

atau dalam kata lain susastra dapat dimaknai sebagai alat untuk mengajarkan sesuatu yang

indah. Selain itu sastra juga mempunyai nilai seni atau mempunyai bakat dalam kesenian dan

imajinasi sebagai perwujudan dalam kehidupan manusia melalui bahasa sebagai ukuran dan

punya efek positif terhadap kehidupan manusia. Pengertian ini menegaskan hal lain dari

karya sastra, yakni imajinasi sebagai gambaran kehidupan manusia.

Dengan pengertian ini, tentu karya sastra sedekat apapun hubungannya dengan

realitas (intensitas alur, sudut pandang, latar peristiwa) harus dianggap sebagai karya

imajinasi. Mendekatkan realitas dengan sastra sah-sah saja, tapi membuat sastra sebagai fakta

peristiwa adalah hal yang keliru.

Sebagai bagian dari masyarakat, manusia tidak terlepas dari realitas moral dan sosial

dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Damono (dalam Wiyatmi, 2006), karya sastra tidak

jatuh begitu saja dari langit, tetapi selalu ada hubungan antara sastrawan, sastra, dan

masyarakat. Dibandingkan dengan jenis karya sastra lainnya, novel merupakan suatu

keunggulan karena dapat mengembangkan unsur-unsur pembangunnya dalam menulis sebuah

karya sastra. Novel juga merupakan pengungkapan dari sebuah cerita kehidupan manusia

(dalam jangka yang telah panjang) dimana terjadi konflik yang akhirnya menyebabkan

terjadinya perubahan jalan hidup antara para pelakunya.

(Damono,1979:8), sastra berurusan dengan manusia dalam masyarakat, usaha

manusia untuk menyesuaikan diri, dan usahanya untuk mengubah masyarakat tersebut.

Wujud kreativitas seorang pengarang dapat digambarkan dengan sebuah tulisan seperti puisi,

cerpen atau bahkan novel. Tulisan itu dapat diwujudkan sebagai ungkapan yang ingin

disampaikan oleh seorang pengarang kepada orang lain. Tentunya hasil karya sastra

11
yang satu dengan yang lainnya mamiliki perbedaan, misalnya dalam karya sastra yang

berupa novel, dari segi isi, karya sastra ini lebih panjang daripada cerpen atau puisi.

Karya sastra yang dihasilkan sastrawan selalu menampilkan tokoh yang

memiliki karakter sehingga karya sastra juga menggambarkan kejiwaan. Dengan kenyataan

tersebut karya sastra selalu terlibat dalam segala aspek hidup dan kehidupan tidak terkecuali

aspek kejiwaan atau psikologi. Hal ini tidak terlepas dari pandangan dualisme yang

menyatakan bahwa manusia pada dasarnya terdiri atas jiwa dan raga. Oleh karena itu

penelitian yang menggunakan pendekatan psikologi pada karya sastra merupakan bentuk

pemahaman dan penafsiran karya sastra dari sisi psikologi. Pendekatan psikologi pada karya

sastra merupakan bentuk pemahaman dan penafsiran karya sastra dari sisi psikologi.

1.2 Fungsi sastra

Sastra dengan berbagai jenis karyanya telah dibaca oleh banyak orang. Keadaan

membcanya beragam, ada yang sering, ada yang sesekali. Peran karya sastra dalam tradisi

umat manusia memang sebuah lintasan pemikiran. Sajian alur dan penokohan didalam karya

sastra mampu membangun keyakinan atau mitos tertentu untuk dijadikan pelajaran. Misalnya

cerita tentang Malin Kundang, oleh masyarakat cerita ini dianggap sebagai sebuah kejadian

nyata untuk dijadikan pelajaran agar tidak durhaka kepada orang tua. Di sisi lain, karya sastra

dianggap keadaan kehidupan nyata. Anggapan kehidupan Buya Hamka sewaktu muda adalah

seperti tercermin pada novelnya Di Bawah Lindungan Ka’bah atau Tenggelamnya Kapal

Vanderwijk.

Pandangan-pandangan demikian menunjukan bagaimana sebuah karya sastra

membentuk tanggapan penikmatnya, sehingga karya sastra bukan hanya sebuah benda yang

mati setelah ditulis, namun justru hidup setelah tulisan itu berakhir. Hidupnya sastra itu

ketika ia berfungsi kepada pembacanya.

12
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa fungsi sastra berikut ini :

1.2.1 Fungsi Estetik

Karya sastra memiliki fungsi estetik yang artinya bahwa karya sastra memberikan

keindahan kepada pembacanya. Hal ini diungkap oleh Horace dalam Wellek dan Warren

bahwa karya sastra itu harus indah (dalam Wellek dan Warren 2014:23). Dalam karya fiksi,

keindahan terdapat pada ekspresi dan narasi yang dibangun pengarang. Pembaca seakan

berada di dalam alur cerita atau tempat peristiwa entah berantah yang disajikan

pengarangnya.

1.2.2 Fungsi hiburan Fenomena

pemuatan karya sastra dikoran maupun di majalah tidak lain adalah untuk

memberikan hiburan kepada pembaca setia koran tersebut. Lewat keindahan kata-kata di

dalam puisi serta rangkaian alur yang menyentuh hati dalam karya fiksi, sastra menjadi

bacaan alternatif yang ditunggu tiap minggu. Berkaitan dengan hal itu, sastra itu berfungsi

untuk menghibur (Poe dalam Wellek dan Warren, 2014: 23). Dengan demikian, penciptaan

karya sastra pada dasarnya bukan hanya untuk tujuan mendidik saja, namun bertujuan untuk

menghibur pula.

1.2.3 Fungsi Ekspresi

Karya sastra pada dasarnya merupakan bentuk ekspresi para pengarangnya. Endapan

pikiran dan perasaan yang kemudian dirangkai menjadi berbagai bentuk karya sastra.

Kegelisahan terhadap apa ysng terjadi di lingkungan masyrakatnya yang kemudian di

tuangkan dalam bentuk narasi yang puitis atau penuh pendapat seseorang . Intinya, sastra

merupakan alat untuk mengekspresikan gagasan penulis.

13
Karya sastra misalnya dijadikan sebagai alat untuk mengungkapkan perasaan cinta.

Ekspresi seperti ini lazim dilakukan oleh mudi-mudi dengan membuat puisi. Selain itu, puisi

juga kadang dijadikan sebagai ekspresi kritik sosial. Misalnya seperti puisinya berjudul Malu

(Aku) Jadi Orang Indonesia yang mengeritik tentang fenomena keruntuhan akhlak

masyarakat Indonesia.

1.3 Jenis – Jenis Karya Sastra

Dalam membagi karya sastra menjadi jenis-jenis tertentu, tentu saja hal ini akan

berkaitan erat dengan sejarah panjang kesustraan dunia. Dalam buku Wallek dan Warren

berjudul Teori Kesusastraan menegaskan bagaimana perbedaan pendapat yang terjadi

tentang pembagian jenis karya sastra itu sendiri. Misalnya pendapat Aristoteles dan Horace

yang membagi jenis sastra menjadi tragedi dan epik. Namun perkembangan teori modern

hanya membaginya menjadi tiga, yakni fiksi, drama dan puisi. Penjabaran tersebut

menunjukkan perbedaan mendasar pembagian jenis sastra.

Namun, menyimak fakta perkembangan kesustraan saat ini, umumnya masyarakat

mengenal karya sastra menjadi empat jenis, yakni puisi, cerpen, novel, dan drama. Untuk

cerpen dalam novel, Nurgiyantoro dalam bukunya pengkajian fiksi, menggolongkannya

menjadi satu genre, yakni fiksi, sementara Esten dalam bukunya kesustraan: Pengantar Teori

dan Sejarah. Menyebutnya sebagai cerita rekaan. Masih dalam bukunya, (Esten 2013:6).

Oleh karena itu, genre sastra dikatagorikan oleh Esten menjadi empat bagian, yakni puisi,

cerita rekaan, esai dan kritik, dan drama.

Selain penggolongan sastra berdasarkan bentuknya tersebut, sastra juga dapat

digolongkan berdasarkan medianya. Berdasarkan medianya, sastra terbagi menjadi dua, yakni

sastra lisan dan sastra tulis.

14
Sastra lisan adalah karya sastra yang menyebar dari mulut ke mulut. Umumnya sastra

lisan tumbuh dan berkembang pada saat lingkungan sastra peradaban budaya tulis-menulis

belum meyentuh lingkungan masyarakat tersebut. Dalam budaya kita sastra lisan ini terlihat

pada karya puisi. Misalnya pantun, talibun, dan seloka. Adapun dalam karya fiksi, kita

mengenalnya melalui legenda, cerita rakyat, dan fabel. Sifatnya yang menyebar dari mulut ke

mulut ini, membuat sumber pengarangnya tidak ditemukan sehingga disebut anonim.

Sastra tulis adalah sastra yang penyebarannya melalui media tertulis. Jenis sastra

inilah yang sampai sekarang bertahan. Dengan ditulisnya teks sastra, maka membuat teks

tersebut dapat dibaca secara berulang dalam jangka waktu yang panjang. Selama bukti

tertulisnya ada, maka karya itu akan terus ada. Hal ini berbeda dengan sastra lisan, yang tentu

saja akan hilang jika tidak diceritakan kembali. Selain itu, dikumentasi situasinya pun jelas.

Mulai dari nama pengarang, penerbit, dan tahun akan dengan mudah ditemukan di sastra

tulis.

Sastra cetak adalah karya sastra yang dicetak dalam bentuk buku. Sastra cetak ini

berkembang cukup pesat dan berperan penting dalam menyebarkan karya sastra di tengah

masyarakat. Umumnya dalam bentuk novel yang lebih laris dibandingkan dengan bentuk

lainnya, misalnya Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, Laskar

Pelangi, Negeri 5 Menara, dan lain sebagainya yang dicetak berulang-ulang.

15
1.4 Fungsi – Fungsi Sastra

Pada umumnya sifat dan fungsi sastra, tidak berubah sepanjang sejarah, sejauh

konsep-konsep tersebut dituangkan dalam istilah konseptual yang umum. Menurut teoritikus

fungsi sastra adalah untuk membebaskan pembaca dan penulisnya dari tekanan emosinya.

Munculnya sastra biasanya disebabkan adanya penumpukan ide, imajenasi, dan emosi penulis

yang mana kepuasannya hanya bisa terealisasikan melalui kegiatan menulis sastra/bersastra.

Sedangkan fungsi sastra yang lainnya adalah (1) sebagai alat komunikasi; (2) sebagai alat

penulis tradisi pelestarian budaya; (3) sebagai pembentuk nilai humaniora; dan (4) sebagai

pelipur lara.

Fungsi sastra yang pertama adalah sebagai alat komunikasi artinya didalam sastra itu

sendiri media utamanya dalam usaha penyampaian ide adalah bahasa, dimana pada sebuah

bahasa memiliki tujuan sebagai alat komunikasi, bertukar pikiran, menyampaikan ide,

informasi dan juga perasaan kita kepada orang lain. Sesungguhnya inilah yang sedang

dilakukan oleh sastra. Kalau musisi media komunikasinya adalah musik yang di dalamnya

termuat lirik-lirik lagu berisikan luapan perasaan musisi, lain halnya dengan sastrawan,

mereka menyampaikan ide dan pemikirannya dengan media komunikasi utamanya adalah

melalui sastra.

Kedua, sastra fungsi sebagai alat penulis tradisi dan pelestarian budaya, artinya

peranan sastra dalam pelestarian sejarah yang ada di indonesia sangat dominan.

Pendokumentasian sastra pada zamannya selalu membawa dampak positif bagi

perkembangan dunia sastra itu sendiri khususnya, umumnya untuk kemajuan bangsa kita.

Bisa kita bayangkan bagaimana jadinya kalau tidak ada sastra, maka sejarah-sejarah besar

daerah Negara Indonesia, peradaban manusia, budaya, agama, tatanan nilai, dan juga

16
berbagai macam kejadian lainnya tidak bisa diketahui oleh generasi penerus bangsa

khususnya kaum muda.

Ketiga, sastra berfungsi sebagai pembentukan nilai humaniora. Di dalam sastra itu

sendiri sarat akan nilai-nilai kehidupan yang sengaja di ciptakan penulis melalui tokoh,

perwatakan tokoh, dan perilaku yang ditampilkan oleh tokoh dalam sebuah cerita. Nilai-nilai

yang terkandung dalam sastra meliputi berbagai hal mulai dari nilai yang dianggap sesuai

dengan harapan pembaca (nilai baik) atau bahkan nilai-nilai yang dianggap tidak sesuai

dengan harapan pembaca (nilai-nilai buruk). Baik nilai baik maupun nilai buruk keduanya

bisa diambil sisi positifnya untuk kebaikan kehidupan pembaca.

Keempat, sastra berfungsi sebagai pelipur lara. Dalam hal ini posisi sastra dianggap

sebagai penghibur. Bagi kalangan umum ketika seseorang membaca sastra masing-masing

memiliki tujuan dan maksud tertentu, sedangkan salah satu tujuan dari membaca sastra pada

taraf rendah adalah mencari hiburan. Walaupun kedudukan pembaca pada level ini sekedar

mencari hiburan tapi bukan berarti isi dan amanat sastra tidak bisa ditangkap secara

maksimal. Setidaknya dengan membaca sastra waktu kita tidak terbuang sia-sia, pikiran kita

bisa hidup, dan yang utama pembaca bisa mendapatkan pengalaman baru sesuai dengan

karya sastra yang kita baca.

17
2. Definisi Novel

2.1 Pengertian Novel

(Tarigan, 1991: 164-165). Novel atau sering disebut sebagai roman adalah suatu

cerita prosa yang fiktif dalam panjang yang tertentu, yang melukiskan para tokoh, gerak

serta adegan nyata yang representatif dalam suatu alur atau suatu keadaan yang agak

kacau atau kusut. Novel memunyai ciri bergantung pada tokoh, menyajikan lebih dari satu

impresi, menyajikan lebih dari satu efek, menyajikan lebih dari satu emosi.

(Nurgiyantoro 2010: 10). Mengemukakan bahwa novel merupakan karya fiksi

yang dibangun oleh unsur-unsur pembangun, yakni unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.

Novel juga diartikan sebagai suatu karangan berbentuk prosa yang mengandung rangkaian

cerita kehidupan seseorang dengan orang lain di sekelilingnya dengan menonjolkan watak

dan sifat pelaku.

Novel merupakan jenis karya sastra yang ditulis dalam bentuk naratif yang

mengandung konflik tertentu dalam kisah kehidupan tokoh-tokoh dalam ceritanya.

Biasanya novel kerap disebut sebagai suatu karya yang hanya menceritakan

bagian kehidupan seseorang. Hal ini didukung oleh pendapat (Sumardjo 1984: 65) yaitu

sedang novel sering diartikan sebagai hanya bercerita tentan kehidupan seseorang

saja, seperti masa menjelang perkawinan setelah mengalami masa percintaan; atau bagian

kehidupan waktu seseorang tokoh mengalami krisis dalam jiwanya, dan sebagainya.

Kehidupan seseorang saja, seperti masa menjelang perkawinan setelah mengalami

masa percintaan; atau bagian kehidupan waktu seseorang tokoh mengalami krisis dalam

jiwanya, dan sebagainya.

18
Novel ialah suatu karangan prosa yang bersifat cerita yang menceritakan suatu

kejadian yang luar biasa dari kehidupan orang-orang (tokoh cerita; pen.), luar biasa

karena dari kejadian ini terlahir konflik, suatu pertikaian, yang mengalihkan jurusan nasib

mereka.

Berdasarkan beberapa pendapat pakar mengenai pengertian novel di atas, peneti

mengacu pada pendapat (Nurgiyantoro, 2010:10) karena pengertian novel tersebut

berkaitan dengan unsur intrinsik karya fiksi. Hal ini sesuai dengan tujuan penelitian yaitu

mengidentifikasi salah satu unsur intrinsik, yakni perilaku tokoh. Selain itu, pengertian

novel yang dikemukakan oleh Nurgiyantoro lebih jelas dan mudah dipahami.

2.1. 1 Unsur Intrinsik Novel

Novel sebagai karya fiksi dibangun oleh sebuah unsur yang disebut unsur

intrinsik. Unsur pembangun sebuah novel tersebut meliputi tema, alur, latar, tokoh dan

penokohan, sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat. Unsur intrinsik sebuah novel adalah

unsur-unsur yang secara langsung ikut serta dalam membangun cerita. Hal ini didukung

oleh pendapat Nurgiyantoro (2010 : 23) yaitu, unsur intrinsik (intrinsic) adalah unsur-unsur

yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya

sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang

membaca karya sastra. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang (secara

langsung) turut serta membangun cerita.

Kepaduan antarberbagai unsur intrinsik inilah yang membuat sebuah novel berwujud.

Atau, sebaliknya, jika dilihat dari sudut kita pembaca, unsur-unsur (cerita) inilah yang

akan dijumpai jika kita membaca sebuah novel. Unsur yang dimaksud, untuk menyebut

sebagian saja, misalnya, peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang

penceritaan, bahasa atau gaya bahasa, dan lain-lain.

19
Unsur intrinsik suatu karya fiksi disebut juga sebagai unsur struktur cerita-rekaan

(fiksi). Unsur tersebut meliputi lima hal, yaitu (1) alur, (2) penokohan, (3) latar, (4) pusat

pengisahan, dan (5) gaya bahasa. Hal ini sesuai oleh pendapat Esten (2013: 25) berikut.

Beberapa unsur struktur cerita-rekaan sebagai berikut.

1. Alur

2. Penokohan/Perwatakan

3. Latar

4. Pusat Pengisahan (Point Of View)

5. Gaya Bahasa

Saad (1966) dalam (Sukada, 2013: 62) menyebut unsur-unsur penting struktur sebuah

cerita rekaan meliputi (a) tema, (b) penokohan, (c) latar, dan (d) pusat pegisahan.

(Sumardjo, 1984: 54) mengemukakan unsur-unsur fiksi meliputi tujuh hal. Hal-hal

yang dimaksud yakni

1) plot (alur cerita),

2) karakter (perwatakan),

3) tema (pokok pembicaraan),

4) setting (tempat terjadinya cerita),

5) suasana cerita,

6) gaya cerita,

7) sudut pandangan pencerita.

20
Berikut ini penjelasan mengenai unsur-unsur intrinsik suatu karya fiksi meliputi tema,

alur, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat.

2.1.2 Tema

Tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang

terkandung di dalam teks sebagai struktur semantik dan yang menyangkut persamaan-

persamaan atau perbedaan-perbedaan (Hartoko & Rahmanto, 1986:142) dalam

Nurgiyantoro (2010: 68). Tema dipandang sebagai dasar cerita atau gagasan umum dalam

sebuah karya fiksi. Tema dalam sebuah karya fiksi sebelumnya telah ditentukan oleh

pengarang untuk mengembangkan ceritanya.

2.1.3 Alur

Alur atau plot adalah jalinan peristiwa atau kejadian dalam suatu karya sastra untuk

mencapai efek tertentu. Alur merupakan urutan peristiwa atau kejadian dalam suatu cerita

yang dihubungkan secara sebab-akibat. Alur juga dapat diartikan sebagai peristiwa-

peristiwa dalam suatu cerita yang memiliki penekanan pada hubungan kausalitas. Alur juga

disebut sebagai urutan-urutan kejadian dalam sebuah cerita. Hal ini sesuai dengan pendapat

Stanton (1965: 14) dalam Nurgiyantoro (2010 : 113) yaitu, plot adalah cerita yang berisi

urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab-akibat, peristiwa

yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain.

2.1. 4 Tokoh dan Penokohan

Istilah tokoh merujuk pada orang atau pelaku dalam sebuah cerita, sedangkan

penokohan adalah cara seorang penulis menampilkan sifat dan watak dari suatu tokoh.

Penokohan juga dapat disebut sebagai pelukisan gambaran yang jelas mengenai seseorang

yang ditampilkan dalam suatu cerita. Abrams (1981: 20) dalam Nurgiyantoro (2010: 165)

21
mengemukakan tokoh cerita (character) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu

karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan

kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan

dalam tindakan.

2.1.5 Latar

Latar disebut juga setting. Latar adalah segala keterangan, pengacuan, atau petunjuk

yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan situasi terjadinya peristiwa dalam suatu cerita.

Latar berfungsi sebagai pemberi kesan realistis kepada pembaca. Selain itu, latar digunakan

untuk menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh ada dan terjadi. Hal ini

didukung oleh pendapat Abrams (1981: 175) dalam Nurgiyantoro (12010: 214), Latar atau

setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat,

hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang

diceritakan.

2.1.6 Sudut Pandang

Yang dimaksud sudut pandang di sini adalah kedudukan atau posisi pengarang dalam

cerita tersebut. Dengan kata lain posisi pengarang menempatkan dirinya dalam cerita

tersebut. Apakah ia ikut terlibat langsung dalam cerita itu atau hanya sebagai pengamat yang

berdiri di luar cerita (Suroto, 1989: 96).

2.1.7 Gaya Bahasa

Gaya bahasa adalah alat atau sarana utama pengarang untuk melukiskan,

menggambarkan, dan menghidupkan cerita secara estetika. Gaya bahasa juga dapat

diartikan sebagai cara pengarang mengungkapkan ceritanya melalui bahasa yang digunakan

dalam cerita untuk memunculkan nilai keindahan. Contohnya gaya bahasa personifikasi

22
yang digunakan untuk mendeskripsikan benda-benda mati dengan cara memberikan sifat-

sifat seperti manusia atau mengubah benda mati menjadi benda yang seolah-olah hidup.

2.1. 8 Amanat

Amanat adalah pesan moral yang disampaikan seorang pengarang melalui cerita.

Amanat juga disebut sebagai pesan yang mendasari cerita yang ingin disampaikan

pengarang kepada para pembaca.

2.1.9 Tokoh dan Penokohan

2.1.10 Tokoh

Dalam pengkajian unsur-unsur fiksi sering ditemukan istilah “tokoh” dan

“penokohan”, “watak”/”karakter”, dan “penokohan.”. perbedaan istilah-istilah tersebut perlu

dipahami. Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2007: 165) tokoh cerita adalah orang (-

orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca

ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan

dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.

(Aminuddin, 2013: 79) peristiwa dalam karya sastra fiksi seperti halnya peristiwa

dalam kehidupan sehari-hari, selalu diemban oleh tokoh atau pelaku- pelaku tertentu. Pelaku

yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu

cerita disebut dengan tokoh.

Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa tokoh adalah orang atau

pelaku yang ditampilkan dalam sebuah cerita atau karya sastra yang memiliki peranan yang

sangat penting. Karena tanpa adanya tokoh dalam suatu cerita bisa dikatakan cerita tersebut

tidak akan hidup dan tidak akan menarik untuk dibaca. Dalam kaitannya dengan keseluruhan

23
cerita, peranan setiap tokoh tidak sama. Ada tokoh yang dapat digolongkan sebagai tokoh

sentral atau tokoh utama dan tokoh yang dapat digolongkan sebagai tokoh tambahan.

(Nurgiyantoro, 2010: 176-178) tokoh-tokoh cerita dalam sebuah fiksi dapat dibedakan

berdasarkan beberapa hal meliputi:

a. Berdasarkan peranannya dalam suatu cerita, maka tokoh cerita dibagi menjadi dua, yaitu

tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan

penceritaannya dalam novel yang bersangkutan, sedangkan tokoh tambahan adalah tokoh

yang hanya sebagai pelengkap saja.

b. Berdasarkan fungsi penampilan tokoh, yaitu tokoh protagonis dan tokoh antagonis.

Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi, yang salah satu jenisnya secara

populer disebut hero. Tokoh protagonis menampilkan sesuatu yang sesuai dengan

pandangan pembaca, harapan-harapan pembaca. Sedangkan tokoh antagonis adalah tokoh

penyebab terjadinya konflik.

c. Berdasarkan perwatakan, tokoh dibagi menjadi dua, yaitu tokoh sederhana (simple atau

flat character) dan tokoh bulat (compleks character). Tokoh sederhana adalah tokoh

yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat tertentu saja. Sedangkan tokoh

bulat atau tokoh kompleks adalah tokoh yang memiliki kompleksitas yang diungkap dari

berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan jati dirinya (Wellek dan

Warren, 2014: 288).

Tokoh-tokoh cerita sebagaimana dikemukakan tersebut, tidak akan begitu saja secara

serta merta hadir kepada pembaca. Mereka memerlukan sarana yang memungkinkan

kehadirannya. Sebagai bagian dari karya fiksi yang bersifat menyeluruh dan padu, dan

mempunyai tujuan artistik, kehadiran dan penghadiran tokoh-tokoh cerita haruslah juga

24
dipertimbangkan dan tidak lepas dari tujuan tersebut. Masalah penokohan dalam sebuah

karya sastra tak semata-mata hanya berhubungan dengan masalah pemilihan jenis dan

perwatakan para tokoh cerita saja, melainkan juga bagaimana melukiskan kehadiran dan

penghadiran secara tepat sehingga mampu menciptakan dan mendukung tujuan artistik karya

yang bersangkutan.

2.1.11 Penokohan

Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang

ditampilkan dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2010: 166). Cara pengarang

menampilkan tokoh atau pelaku disebut dengan penokohan. Boulton melalui Aminuddin

(2013: 79) mengungkapkan bahwa cara pengarang menggambarkan atau memunculkan

tokohnya itu dapat berbagai macam. Mungkin pengarang menampilkan tokoh sebagai

pelaku yang hanya hidup di alam mimpi, pelaku yang memiliki semangat perjuangan

dalam mempertahankan hidup dan lain sebagainya.

(Thobroni, 2008: 66) juga mengungkapkan bahwa penokohan menunjuk pada

penempatan tokoh-tokoh tertentu di dalam cerita. Pendeknya, penokohan adalah

penggambaran yang jelas tentang diri seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita,

dengan kata lain penokohan atau perwatakan ialah teknik atau cara-cara menampilkan tokoh.

Pengkajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh disebut penokohan.

Pengkajian tersebut dapat berupa pemberian nama yang menyiratkan arti, uraian pengarang

secara ekspilisit mengenai tokoh, maupun percakapan atau pendapat tokoh-tokoh lain dalam

cerita. Jadi, dapat disimpulkan bahwa penokohan adalah cara pengarang menggambarkan

atau menampilkan tokoh dalam sebuah cerita. Penokohan menunjuk kepada penempatan

tokoh-tokoh tertentu dan watak-watak tertentu pula dalam sebuah cerita. Secara garis besar

teknik pelukisan tokoh dalam karya fiksi dibedakan ke dalam dua cara, yaitu pelukisan

25
secara langsung dan pelukisan secara tidak langsung. Pelukisan secara langsung atau disebut

juga dengan teknik analisis adalah pelukisan tokoh cerita yang dilakukan dengan

memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung. Pelukisan tokoh secara tidak

langsung adalah pengarang mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta tingkah

laku tokoh.

Watak atau karakter menunjuk pada sifat dan sikap dari para tokoh seperti yang

ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh.

Adapun penokohan adalah pelukisan gambaran jelas tentang seseorang yang

ditampilkan dalam cerita. Tokoh dalam cerita sama halnya dengan manusia dalam

kehidupan sehari-hari di sekitar kita, selalu memiliki watak-watak tertentu. Dalam upaya

memahami watak pelaku, dapat ditelusuri lewat :

1. Tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya

2. Gambaran yang diberikan pengarang lewat gambaran-gambaran kehidupannya

maupun cara berpakaian

3. Menunjukkan bagaimana perilakunya

4. Melihat bagaimana tokoh itu berbicara tentang dirinya sendiri

5. Memahami bagaimana jalan pikirannya

6. Melihat bagaimana tokoh lain berbicara tentangnya

7. Melihat bagaimana tokoh-tokoh yang lain berbincang-bincang dengannya

8. Melihat bagaimana tokoh-tokoh yang lain itu memberikan reaksi terhadapnya

9. Melihat bagaimana tokoh itu dalam mereaksi tokoh yang lainnya.

26
Tokoh-tokoh yang ada dalam karya sastra kebanyakan berupa manusia, atau

makhluk lain yang mempunyai sifat seperti manusia. Artinya, tokoh cerita itu haruslah hidup

secara wajar mempunyai unsur pikiran atau perasaan yang dapat membentuk tokoh-tokoh

fiktif secara meyakinkan sehingga pembaca merasa seolah-olah berhadapan dengan

manusia sebenarnya. Dengan demikian, istilah “penokohan” lebih luas pengertiannya

daripada “tokoh” dan “perwatakan” sebab ia sekaligus mencap masalah siapa tokoh cerita,

bagaimana perwatakannya, dan bagaimana penempatan dan pelukisan dalam sebuah

cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca (Nurgiyantoro,

2010: 165-166).

2.1.11 Penggambaran Tokoh dalam Karya Fiksi

Meskipun kata tokoh dan penokohan sering digunakan orang untuk menyebut hal yang

sama atau kurang lebih sama, sebenarnya keduanya tidaklah mengacu pada hal yang sama

persis. Kata tokoh menyaran pada pengertian orang atau pelaku yang ditampilkan dalam

sebuah karya fiksi. Adapun penokohan ialah pelukisan gambaran yang jelas tentang

seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Jones melalui Nurgiyantoro, 2010: 84).

Tokoh dapat pula diartikan sebagai

Orang-orang yang ditampilkan dalam sebuah cerita naratif atau drama, yang oleh

pembaca ditampilkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang

diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam perbuatan (Abrams

melalui Nurgiyantoro, 2010: 85). Ia adalah pelaku yang mengembangkan

peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin sebuah cerita

(Aminuddin, 2013: 79). Dengan demikian, penokohan memiliki cakupan orang yang

ditampilkan dalam sebuah cerita fiksi dan penggambarannya.

27
Di samping kedua istilah di atas, sering pula digunakan kata watak dan

perwatakan mengarah pada sifat dan sikap tokoh cerita. Watak lebih mengacu pada

gambaran kualitas pribadi tokoh yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Pelaku

pelukisan rupa, watak atau pribadi tokoh dalam sebuah karya fiksi disebut perwatakan atau

penokohan. Sedangkan karakterisasi, atau dalam bahasa Inggris characterization, berarti

pemeranan, pelukisan watak.

(Minderop, 2005:2) berpendapat bahwa karakterisasi adalah metode melukiskan watak

para tokoh yang terdapat dalam suatu karya fiksi. Dengan kata lain, penokohan, perwatakan

ataupun karakterisasi menyaran pada hal yang sama, cara melukiskan watak tokoh.

Pelukisan karakter atau perwatakan yang baik adalah menggambarkan watak dalam setiap

ceritanya, sehingga pembaca melihat dengan jelas watak pelakunya melalui semua tingkah

laku, semua yang diucapkannya, semua sikapnya dan semua yang dikatakan orang lain

tentang tokoh ini dalam seluruh cerita.

(Subandi, 1978: 12), mengatakan karakterisasi merupakan pola pelukisan image

seseorang yang dapat dipandang dari segi fisik, psikis dan sosiologi. Segi fisik, pengarang

melukiskan karakter pelaku misalnya, tampang, umur, raut muka, rambut, bibir,

hidung, bentuk kepala, warna kulit dan lain-lain. Segi psikis, pengarang melukiskan

karakter pelaku melalui pelukisan gejala-gejala pikiran, perasaan dan kemauannya.

Dengan jalan ini pembaca dapat mengetahui bagaimana watak pelaku. Segi sosiologis,

pengarang melukiskan watak pelaku melalui lingkungan hidup kemasyarakatan.

Dapat disimpulkan, seorang tokoh dalam karya sastra yang memiliki bersifat lifelike,

di samping selalu merupakan hasil penjelmaan fisiknya, juga merupakan hasil penjelmaan

pengaruh-pengaruh lingkungannya. Oleh karena itu, dalam memahami tokoh, aspek-

28
aspek yang melekat pada diri tokoh: seperti penamaan, peran, keadaan fisik, keadaan psikis,

dan karakter perlu mendapat perhatian.

Ada dua cara yang lazim dipergunakan untuk menampilkan tokoh di dalam cerita,

yaitu dengan cara langsung dan tidak langsung.

Ada pula yang membedakan cara- cara dalam menggambarkan tokoh tersebut, (Sayuti,

2000: 89) mengungkapkan, ada yang menjadikannya cara analitik dan dramatik, ada yang

membedakannya menjadi metode langsung dan tak langsung, ada yang menbedakannya

menjadi metode telling „uraian‟ dan showing „ragaan‟, dan ada pula yang membedakannya

menjadi metode diskursif, dramatik, kontekstuat, dan campuran. Pembedaan yang berlainan

itu sesungguhnya memiliki esesnsi yang kurang lebih sama. Lebih lanjut, (Sayuti, 2000:

90-111) membagi cara penggambaran tokoh menjadi empat, yakni metode diskursi,

metode dramatis, metode konseptual dan metode campuran.

a. Metode diskurtif atau dengan cara langsung adalah cara yang ditempuh pengarang jika

dia menggambarkan perwatakan tokoh-tokoh secara langsung. Kelebihan metode ini terletak

pada kesederhanaan dan ekonomisnya.

b. Metode dramatis atau dengan cara tidak langsung adalah pelukisan tokoh secara tidak

langsung. Ada tiga macam pelukisan tidak langsung terhadap kualitas tokoh, yaitu (1) teknik

pemberian nama (naming), (2) teknik cakapan, (3) teknik pemikiran tokoh, (4) teknik stream

of consciousness atau arus kesadaran, (5) teknik pelukisan perasaan tokoh, (6) perbuatan

tokoh, (7) teknik sikap tokoh, (8) pandangan seorang atau banyak tokoh terhadap tokoh lain,

(9) pelukisan fisik, (10) pelukisan latar.

c. Metode kontekstual hampir sama dengan tekhnik pelukisan latar.

29
Dikatakan demikian karena yang dimaksud dengan metode kontekstual ialah cara

menyatakan karakter tokoh melalui konteks verbal yang mengelilinginya,

d. Metode campuran adalah penggunaan berbagai metode dalam

menggambarkan karakteristik tokoh.

(Minderop, 2005: 3), karakterisasi tokoh dapat ditelaah dengan lima metode yakni,

metode langsung (telling), metode tidak langsung (showing), metode sudut pandang

(point of view), metode telaah arus kesadaran (stream ofconsciousness), dan metode telaah

gaya bahasa (figurative language). Berikut adalah penjelasan mengenai metode langsung dan

tidak langsung.

1. Metode Langsung (telling)

Metode pemaparan karakter tokoh yang dilakukan secara langsung oleh si

pengarang. Metode ini biasanya digunakan oleh kisah-kisah rekaan zaman dahulu sehingga

pembaca hanya mengandalkan penjelasan yang dilakukan pengarang semata Pada metode

ini, karakterisasi dapat melalui penggunaan nama tokoh, penampilan tokoh, dan tuturan

pengarang. Penggunaan nama tokoh dugunakan untuk memperjelas dan mempertajam

perwatakan tokoh serta melukiskan kualitas karakteristik yang membedakannya dengan

tokoh lain. Dalam suatu karya sastra, penampilan para tokoh memegang peranan penting

sehubungan dengan telaah karakterisasi. Penampilan tokoh yang dimaksud misalnya,

pakaian apa yang dikenakannya atau bagaimana ekspresinya. Pemberian rincian tentang cara

berpakaian memberikan gambaran tentang pekerjaan, status sosial, dan bahkan derajat harga

dirinya. Karakterisasi melalui tuturan pengarang memberikan tempat yang luas dan bebas

kepada pengarang atau narator dalam menentukan kisahannya.

30
Pengarang tidak sekadar menggiring perhatian pembaca terhadap komentarnya

tentang watak tokoh, tetapi juga mencoba membentuk presepsi pembaca tentang tokoh

yang dikisahkannya (Minderop, 2005: 8). Metode karakterisasi melalui tuturan pengarang

memberikan tempat yang luas dan bebas kepada pengarang atau narator dalam menentukan

kisahannya.

2. Metode Tidak Langsung (showing)

Metode yang mengabaikan kehadiran pengarang sehingga para tokoh dalam karya

sastra dapat menampikan diri secara langsung melalui tingkah laku mereka. Pada metode ini,

karakterisasi dapat mencakup enam hal, yaitu karakterisasi melalui dialog; lokasi dan situasi

percakapan; jatidiri tokoh yang dituju oleh penutur; kualitas mental para tokoh; nada

suara, tekanan, dialek, dan kosa kata; dan karakterisasi melalui tindakan para tokoh.

3. Definisi Pembelajaran Sastra

3.1 Pembelajaran Sastra

(Purba, 2001: 2), “Kata sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sankerta.

Akar katanya adalah cas yang berarti memberi petunjuk, mengarahkan, dan mengajar. Oleh

karena itu, sastra dapat diartikan sebagai alat untuk mengajar, buku petunjuk, instruksi atau

pengajaran”. (Wellek dan Warren ,1995 : 3) mengatakan, “Sastra adalah suatu 2004: 63)

mengatakan, “Menciptakan dan mengapresiasi karya sastra merupakan pengalaman

intelektual dan emosional yang tinggi derajatnya yang akan lebih memanusiakan manusia”.

Sehubungan dengan nilai-nilai dalam pengembangan pendidikan budaya dan

karakter bangsa yang mulai diberlakukan Diknas mulai tahun ajaran 2011, pembelajaran

sastra dianggap penting karena pembelajaran sastra dapat membantu pembentukan

watak. Dalam nilai pembelajaran sastra ada dua tuntutan yang dapat diungkapkan

31
sehubungan dengan pembentukan watak ini. Pertama, pembelajaran sastra hendaknya

mampu membina perasaan yang lebih tajam. Seseorang yang telah banyak mendalami

berbagai karya sastra biasanya memiliki perasaan yang lebih peka untuk menunjuk hal mana

yang bernilai dan mana yang tak bernilai. Tuntutan kedua, bahwa pembelajaran sastra

hendaknya dapat memberikan bantuan dalam usaha mengembagkan berbagai kualitas

kepribadian siswa yang antara lain meliputi ketekunan, kepandaian, pengimajian,

dan penciptaan.

Sastra dianggap kurang penting dan kurang berperan dalam masyarakat

Indonesia hari ini. Hal ini terjadi karena masyarakat kita saat ini sedang mengarah

ke masyarakat industri sehingga konsep-konsep yang berkaitan dengan sains,

teknologi, dan kebutuhan fisik dianggap lebih penting dan mendesak untuk digapai.

Sedikitnya perhatian anggota masyarakat terhadap kegiatan kesastraan (dan kebudayaan

pada umumnya) merupakan salah satu indikasi adanya kecenderungan tersebut.

Kegiatan kesastraan dianggap hanya memberi manfaat nonmaterial, batiniah, sehingga

dianggap kurang mendesak dan masih dapat ditunda.

4. Definisi Psikologi Sastra

4.1 Psikologi sastra

Pada awal perkembangannya, pendekatan dalam kritik sastra ada dua macam, yaitu

pendekatan moral dan pendekatan formal. Seiring dengan pesatnya perkembangan zaman,

terutama karena adanya sumbangan ilmu/ pengaruh dari dunia kemasyarakatan dan psikologi

dalam studi sastra mengakibatkan munculnyadua pendekatan baru, yaitu: 1) pendekatan

ilmu sosiologi yang memanfaatkan ilmu sosiologi, dan 2) pendekatan ilmu psikologi

32
yang memanfaatkan ilmu psikologi, termasuk didalamnya pendekatan mitos ( Harjana,

1995: 59).

Psikologi sastra merupakan gabungan antara ilmu sastra dan psikologi. Secara

definitif, psikologi sastra adalah analisis terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan

relevansi aspek-aspek psikologi atau kejiwaan yang terkandung didalamnya. Psikologi tokoh-

tokoh dalam karya sastra, dan psikologi pembaca sastra. Sebagai ilmu yang berkaitan dengan

cukup besar terhadap hakikat psikologi sekaligus memanfaatkannya dalam memahami

berbagai permasalahan kehidupan manusia.

(Ratna, 2009 : 343) ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk memahami hubungan

antara psikologi dengan sastra, yakni (1) memahami unsur - unsur kejiwaan pengarang

sebagai penulis, (2) memahami unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional dalam karya

sastra, (3) memahamai unsur-unsur kejiwaan para pembaca. Unsur kejiwaan pengarang dapat

dibedakan menjadi dua jenis, yakni (1) studi psikologi yang khusus berkaitan dengan

pengarang, seperti kelainan jiwa, gejala neorosis, dan lain-lain, (2) studi psikologi pengarang

berkaitan dengan inspirasi, ilham, dan kekuatan-kekuatan supranatural lainnya.

Pada dasarnya analisis psikologi sastra memberi perhatian pada masalah kedua, yakni

memahami unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional dalam karya sastra. Sebagai dunia

dalam kata, karya sastra memasukkan berbagai aspek kehidupan kedalamnya, khususnya

manusia. Pada umunya, aspek-aspek kemanusiaan inilah yang merupakan objek utama

psikologi sastra, sebab semaata-mata didalam diri manusia itulah sebagai tokoh-tokoh, aspek

kejiwaan dicangkokkan dan diinvestasikan. Dalam analisis, yang menjadi tujuan adalah tokoh

utama, tokoh kedua, tokoh ketiga, dan seterusnya. Studi psikologi sastra yang ketiga

berkaitan dengan sosiologi sastra dan resepsi sastra para pembaca sebagai psikologi sosial

(Ratna, 2009: 343-344)

33
Psikologi sastra jelas tidak bermaksud untuk membuktikan keabsahan teori psikologi,

misalnya dengan menyesuaikan apa yang dilakukan oleh teks sastra dengan apa yang

dilakukan oleh teori psikologi. Psikologi sastra adalah analisis teks dengan

mempertimbangkan relevansi dan peranan studi psikologi. Dengan memutuskan perhatian

pada tokoh-tokoh maka akan dapat dianalisis konflik-konflik batin para tokoh yang mungkin

saja bertentangan dengan teori psikologi. Karya- karya sastra yang memberikan intensitas

pada aspek kejiwaan, karya sastra arus kesadaran.

Berdasarkan etimologi “psikologi” berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua

kata, Psychedan Logos. Kata psyche berarti “jiwa” dan “ruh”, dan kata logos berarti

“ilmu pengetahuan”.Dari kedua makna tersebut, kata psikologi kemudian diartikan

sebagai ilmu pengetahuan tentang jiwa atau sering disebut dengan istilah ilmu jiwa (Walgito,

1997:1). (Walgito 1997:7), mengemukakan bahwa psikologi merupakan ilmu yang

mempelajari dan menyelidiki aktivitas dan tingkah laku manusia.Aktivitas dan

tingkah laku tersebut merupakan manifestasi kehidupan jiwanya.Jadi, jiwa manusia

terdiri dari dua alam, yaitu alam sadar (kesadaran) dan alam tak sadar

(ketidaksadaran). Kedua alam tidak hanya saling menyesuaikan atau alam sadar

menyesuaikan terhadap dunia luar, sedangkan alam tak sadar penyesuaian terhadap dunia

dalam.

Pendekatan psikologi merupakan kritik yang ingin memperlihatkan proses

kejiwaan pengarang pada saat menciptakan karya sastra dan proses kejiwaan tokoh-

tokoh dalam karya sastra. Dengan menggunakan pendekatan psikologi, dapat diamati

tingkah laku tokoh-tokoh dalam sebuah karya sastra (novel). Apabila tingkah laku tokoh-

tokoh dalam novel sesuai dengan aspek kejiwaan manusia, hal tersebut menunjukkan

bahwa penggunaan teori-teori psikologi dapat dikatakan berhasil karena dapat

menjelaskan dan menafsirkan karya sastra (Hardjana, 1985:66).

34
(Endraswara, 2013: 96) Psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang karya

sastra sebagai aktivitas kejiwaan. Pengarang akan menggunakan cipta, rasa, dan karya dalam

berkarya. Karya sastra yang dipandang sebagai fenomena psikologis, akan menampilkan

aspek-aspek kejiwaan melalui tokoh-tokoh. Dengan berbagai pendapat tersebut, ada

benarnya jika Jatman (dalam Endraswara (2013:97) berpendapat bahwa karya sastra dan

psikologi memang memiliki pertautan yang erat, secara tak langsung dan fungsional.

Pertautan secara tak langsung, karena baik karya sastra maupun psikologi memiliki objek

yang sama yaitu kehidupan manusia. psikologi dan sastra memiliki hubungan fungsional

karena sama-sama untuk mempelajari keadaan kejiwaan orang lain, bedanya dalam

psikologi gejala tersebut riil atau nyata, sedangkan dalam sastra bersifat imajinatif. Meskipun

karya sastra bersifat kreatif atau imajiner, pencipta tetap sering memanfaatkan hukum-hukum

psikologi untuk menghidupkan karakter tokoh-tokohnya.

Konteks demikian dapat dapat diartikan bahwa sastra tak mampu melepaskan diri dari

aspek psikis. Jiwa pula yang berkecamuk dalam sastra. Pendek kata, memasuki sastra akan

terkait dengan psikologi sastra dalam penelitian sastra. Sastra adalah fenomena yang tepat

didekati secara psikologis. Seperti wawasan yang telah lama menjadi pegangan umum dalam

dunia sastra, psikologis sastra juga memandang bahwa sastra merupakan hasil kreativitas

pengarang yang menggunakan media bahasa, yang diabadikan untuk kepentingan estetis.

Sastra merupakan hasil ungkapan kejiwaan seorang pengarang, yang berarti didalamnya

ternuansakan suasana kejiwaan sang pengarang, baik suasana pikir maupun suasana rasa

(emosi)

Pendekatan psikologi dalam studi sastra adalah suatu pendekatan yang berlandaskan

pada teori-teori psikologi (Hardjana, 1985:59).Munculnya pendekatan psikologi dalam

kritik sastra berawal dari semakin meluasnya teori psikoanalisis Freud yang muncul

pada tahun 1905, yang kemudian diikuti oleh murid-muridnya seperti Jung dengan

35
teori psikoanalisis, dan Richarddengan teori psikologi kepribadian. (Endraswara 2004:96),

psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang karya sebagai aktifitas kejiwaan.

Pengarang akan menggunakan cipta, rasa, dan karsa dalam berkarya.

Begitu pula pembaca dalam menanggapi karya,juga tak lepas dari

kejiwaan masing-masing.Bahkan sosiologi, refleksi, psikologi sastra pun mengenal

karya sastra sebagai pantulan kejiwaan. Pengarang akan menangkap gejala jiwa

kemudian diolah kedalm teks dan dilengkapi dengan kejiwaannya. Proyeksi pengalaman

sendiri dan pengalaman hidup disekitar pengarang, akan terproyeks secara imajiner

kedalamtekssastra.

Psikologi dan sastra mempunyai hubungan yang fungsional, sehingga prinsip

psikologi dapat diterapkan dalam analisis sastra. Penerapan prinsip psikologi dalam sastra

dapat dilakukan dengan empat macam cara. Pertama,diterapkan pada pembahasan tentang

pengarang sebagai penghasil suatu karya.Kedua, diterapkan pada proses pembahasan

tentang penciptaan karya sastra. Ketiga,diterapkan dalam menganalisiskarya

sastra.Keempat, diterapkan pada pembahasan tentang pengaruh karya sastra terhadap

pembaca.

(Wellek dan Warren 1989:106), menyatakan bahwa kadang-kadang adateori

psikologi tertentu yang dianut pengarang secara sadar atau samar-samar oleh

pengarang, dan teori ini cocok untuk menjelaskan tokoh dan situasi cerita.Hal tersebut

selaras dengan pendapat (Roekhan 1987:148-149), bahwa kajian yang menekankan pada

karya sastra mencoba menangkap dan menyimpulkan aspek-aspek psikologi yang

tercermin dalam perwatakan tokoh-tokoh dalam karya sastra dengan tanpa

mempertimbangkan aspek biografi pengarangnya. Dalam hal ini penelaahan dapat

menganalisis psikologi para tokoh melalui dialog dan perilakuunya dengan

36
menggunakan sumbangan pemikiran, hukum-hukum psikologi dan aliran psikologi

tertentu. Dengan demikian, apa yang dilakukan para penelaah sastra dalam kajian ini

lebih merupakan mencari kesejajaran aspek-aspek psikologi dalam perwatakan tokoh-

tokoh dalam suatu karya sastra dengan pandangan psikologi manusia menurut aliran

psikologi tertentu.

3.1. 1 Hakikat Konflik dalam Karya Sastra

1. Pengertian Konflik

Dalam suatu kehidupan sosial, manusia tidak dapat melepaskan eksistensinya dari

jalinan hubungan dengan manusia lain. Suatu struktur sosial yang dibentuk oleh kelompok

masyarakat tertentu akan memberlakukan satu nilai sosial tertentu pula. Adanya perbedaan

kepentingan antar individu yang menghuni suatu masyarakat akan

menimbulkanbentrokan atau konflik. (KBBI 2002:512) konflik merupakan suatu

ketegangan atau pertentangan didalam suatu cerita rekaan atau drama (pertentangan

antara dua kekuatan, pertentangan dalam diri suatu tokoh, pertentangan antara dua tokoh, dan

sebagainya).

Konflik mengarah pada pengertian sesuatu yang bersifat tidak menyenangkan

yang terjadi dan dialami oleh tokoh -tokoh cerita yang jika tokoh-tokoh itu mempunyai

kebebasan untuk memilih, ia (mereka) tidak akan memilih peristiwa itu menimpa

dirinya, sebagaimana diungkap oleh Meredith dan Fitzgerald (via Nurgiyantoro, 1995:122).

Sementara itu (Wellek dan Warren, 1989:285) menyatakan bahwa konflik adalah sesuatu

yang dramatik, mengacu pada pertentangan antara dua kekuatan yang seimbang dan

menyiratkan adanya aksi dan aksi balasan. Dengan demikian konflik adalah sesuatu yang

tidak menyenangkan dan menyebabkan suatu aksi dan reaksi dari hal yang dipertentangkan

tokoh dalam suatu peristiwa.

37
3.1.2 Wujud Konflik

(Nurgiyantoro, 1995: 61) membagi konflik dalam dua kategori yaitu konflik

fisik dan konflik batin, konflik internal dan eksternal. Konflik fisik melibatkan aktivitas fisik,

ada interaksi antara seorang tokoh dengan sesuatu yang diluar dirinya: tokoh lain atau

lingkungan. Konflik batin adalah sesuatu yang terjadi dalam batin, hati seorang tokoh.

Kedua bentuk peristiwa tersebut saling berkaitan, saling menyebabkan terjadinya satu

dengan yang lain. Konflik eksternal adalah konflik yang terjadi antara seorang tokoh

dengan sesuatu diluar dirinya, dapat disebabkan karena budaya, hukum, etika, dan

sebagainya.Konflik internal pada umumnya dialami, (dan atau ditimpakan kepada)

tokoh utama cerita yaitu tokoh protagonis, sedangkan konflik eksternal juga dialami dan

disebabkan oleh adanya pertentangan antar tokoh atau antara tokoh protagonist dan

antagonis.

Konflik internal dan eksternal yang terdapat dalam sebuah fiksi dapat terdiri

dari bermacam-macam wujud, tingkat dan kefungsiannya. Konflik itu dapat berfungsi sebagai

konflik utama atau sub-sub konflik (konflik-konflik tambahan). Tiap konflik tambahan

haruslah bersifat mendukung, karenanya mungkin dapat juga disebut sebagai konflik

pendukung dan mempertegas kehadiran dan eksistensi konflik utama, konflik sentral

(central conflict), yang sendiri dapat berupa konflik internal atau eksternal atau keduanya

sekaligus. Konflik inilah yang merupakan inti plot, inti struktur cerita dan sekaligus

merupakan pusat pengembangan plot karya yang bersangkutan, (Nurgiyantoro, 2002:125-

126).

38
3.1.3 Faktor Penyebab Terjadinya Konflik

Tingkat kompleksitan konflik yang ditampilkan dalam sebuah karya fiksi, dalam

banyak hal, menentukan kualitas, intensitas dan kemenarikan karya itu bahkan tak

berlebihan jika dikatakan bahwa menulis cerita sebenarnya tak lain adalah membangun

dan mengembangkan berdasarkan konflik yang dapat ditemui dari dunia nyata.

(Nurgiyantoro 1995:20) menyatakan bahwa tokoh penyebab konflik disebut tokoh

antagonis. Tokoh antagonis tersebut beroposisi dengan tokoh protagonis secara

langsung atau tidak langsung, bersifat fisik maupun batin. Dengan demikian dapat

dinyatakan bahwa hubungan antar tokoh yang memiliki perbedaan watak, sikap,

kepentingan, cita-cita dan harapan menjadi penyebab konflik dalam cerita.

3.1.4 Bentuk Penyelesaian Konflik

Bentuk penyelesaian konflik menurut (Sayuti, 2000:48) dikategorikan dalam dua

macam, yaitu penyelesaian bahagia (happy end) dan penyelesaian sedih (sad end).

Penyelesaian sebuah cerita dikategorikan ke dalam dua golongan, yaitu penyelesaian terbuka

dan penyelesaian tertutup. Penyelesaian tertutup dan terbuka menunjukkan pada keadaan

akhir sebuah karya fiksi yang memang sudah selesai, cerita sudah habis sesuai dengan

tuntutan logika cerita yang dikembangkan. Sementara itu, penyelesaian terbuka memberi

kesempatan kepada pembaca untuk ikut-ikut memikirkan, mengimajinasikan dan

mengekspresikan bagaimana kira-kira penyelesaiannya. Pembaca diberi kebebasan untuk

mengisi sendiri “tempat kosong” sesuia dengan pemahamannya. Pembaca bebas untuk

mengekspresikan penyelesaian cerita itu, walaupun semestinya tidak bertentangan dengan

tuntutan logika cerita yang telah dikembangkan.

39
B. Penelitian yang Relevan

Beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini, yaitu sebagai berikut.

Pertama : Penelitian yang dilakukan oleh Septiana (1999) Universitas Negeri

Yogyakarta yang berjudul ”Konflik Psikologis Tokoh Naskah Drama Dor Karya Putu Wijaya

(Sebuah Pendekatan Psikoanalisis)”. Penelitian ini membahas tentang konflik yang dialami

oleh tokoh . Hasil yang diperoleh menyatakan bahwa konflik tokoh terdiri atas

konflik internal dan konflik eksternal. Konflik eksternal berpengaruh pada psikis tokoh

yang berakibat terjadinya konflik internal. Konflik internal disebabkan oleh adanya

tekanan, pengkhianatan, ketakutan, dan keputusasaan, sedangkan konflik eksternal

disebabkan oleh adanya ancaman, status sosial, pemaksaan kehendak, dan kekecewaan.

Konflik eksternal diselesaikan dengan cara penetapan individuasi, balas dendam, dan

kejujuran. Sedangkan konflik internal diselesaikan dengan cara pengambilan keputusan yang

dipusatkan pada ide.

Kedua : Penelitian yang dilakukan oleh Listiya Apriyani (2019) Universitas

Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka yang berjudul ” Konflik Psikologis Tokoh Ben Barata

dalam Novel Dirty Little Secret Karya Aliazalea (Kajian Psikologis Sastra) ”. Penelitian ini

membahas tentang konflik yang dialami oleh tokoh. Hasil yang diperoleh menyatakan

bahwa konflik tokoh terdiri atas konflik internal dan konflik eksternal. Konflik

eksternal berpengaruh pada psikis tokoh yang berakibat terjadinya konflik internal. Konflik

internal disebabkan oleh adanya penyesalan, kecemasan, ketakutan, dan keputusasaan,

sedangkan konflik eksternal disebabkan oleh adanya , status sosial, , dan kekecewaan.

Konflik eksternal diselesaikan dengan cara penetapan individuasi, minta maaf, dan kejujuran.

Sedangkan konflik internal diselesaikan dengan cara pengambilan keputusan.

40
Persamaan dengan penelitian ini adalah sama-sama melakukan penelitian konflik tokoh

meskipun cakupannya lebih luas. Sedangkan teori yang digunakan berbeda dengan penelitian

ini. Dalam skripsi yang ditulis oleh Septiana digunakan pendekatan Psikoanalisis Sastra,

sedangkan penelitian ini menggunakan Kajian Psikologi Sastra.

41
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Alur Penelitian

Alur penelitian ini digunakan pada penelitian kualitatif yaitu dengan teknik kajian

analisis isi, pengumpulan data dilakukan dengan data yang sudah dikumpulkan dan di analisis

terlebih dahulu. Lalu dikelompokkan menjadi beberapa bagian. Dimulai dari membaca

novelnya terlebih dahulu, melalukan penelitian dengan cara menganalisis data, setelah itu

melakukan pembahasan hasil dari penelitian yang sudah dilakukan, menarik kesimpulan,

serta langkah terakhir yaitu penulisan laporan. Untuk lebih jelas penelitian yang dilakukan

peneliti menyajikan alur bagian dibawah ini .

Bagian alur penelitian

Melakukan penelitian
Dimulai dari membaca novelnya terlebih
dengan cara menganisis data
dahulu

Melakukan pembahasan hasil dari


penelitian yang sudah dilakukan

Menarik kesimpulan

langkah terakhir yaitu


penulisan laporan
42
B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian karya sastra melalui analisis dokumen berupa

studi pustaka. Tempat penelitian tidak terikat pada satu tempat karna objek yang dikaji

berupa naskah (teks) sastra, yaitu novel Dirty Little Secret Karya AliaZalea. Penelitian ini

tidak terpancang pada tempat dan waktu sehingga penelitian ini dapat dilakukan kapan saja

dan dimana saja. Penelitian ini bukan penelitian lapangan yang analisisnya besrsifat statis

melainkan sebuah analisis yang dinamis yang dapat terus dikembangkan. Adapun rincian

waktu penelitian dapat dilihat pada tabel berikut.

No . Jenis Agt Sept Okt Nov Des Jan

Kegiatan 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3

1. Pengajuan

Judul

2. Pengajuan

Proposal

3. Seminar

Proposal

4. Pengumpulan

Data

Keabsahan

Data

Analisis Data

5. Penyusunan

43
Laporan

Penelitian

6. Seminar hasil

dan

Perbaikan

7. Ujian dan

perbaikan

C. Latar Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sikologis dari Tokoh Ben Barata, serta

wujud konflik, penyebab terjadinya konflik, dan bentuk penyelesaian konflik dari Tokoh Ben

Barata Dimulai dari membaca novelnya terlebih dahulu, melalukan penelitian dengan cara

menganalisis data, setelah itu melakukan pembahasan hasil dari penelitian yang sudah

dilakukan, menarik kesimpulan, serta langkah terakhir yaitu penulisan laporan.

D. Metode dan Prosedur Penelitian

a. Metode Jenis Penelitian menggunakan deskriptif kualitatif dengan metodeanalitis.

(Bogdan dan Taylor dalam Moleong, 2010, hlm. 4) mengemukakanbahwa penelitian

kualitatif adalah “prosedur penelitian yang menghasilkandata deskriptif berupa kata-kata

tertulis atau lisan dari orang-orang danprilaku yang dapat diamati”. Penelitian kualitatif

bertumpu pada lata rbelakang alamiah secara menyeluruh , memposisikan manusia sebagai

alat penelitian, melakukan analisis data secara induktif, lebih mementingkanproses daripada

hasil penelitian yang dilakukan disepakati oleh peneliti dansubjek penelitiane Penelitian

44
b. Prosedur Data

Prosedur Data adalah langkah-langkah kegiatan yang dilakukan dalam sebuah

penelitian yang dilakukan dengan cara teratur dan bertujuan untuk menyelesaikan sebuah

penelitian. Agar penelitian yang dilakukan bisa sesuai dengan hasil dan pembahasan yang

didalamnya agar tetap sesuai.

E. Peran Peneliti

Peran peneliti dalam melakukan sebuah penelitian sangatlah penting, karena seorang

penelitilah yang akan merencanakan suatu kegiatan peneliti, peneliti juga harus

mempertanggung jawabkan keabsahan data-data yang sudah diperoleh. Data-data tersebut

harus bersumber atau dari sumber yang jelas, dari buku maupun jurnal yang diperoleh .

Dalam sebuah penelitian, penelitian berperan sebagai pengumpulan data, penganalisis

data, dan penghasil penelitian. Tanpa adanya peran peneliti, penelitian yang akan dilakukan

tidak akan berjalan dengan rencana sesuai yang diinginkan.

F. Data dan Sumber Data

Teknik Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Data yang diperoleh

dianalisis dengan teknik deskriptif kualitatif. Langkah-langkah yang dilakukan adalah (1)

perbandingan data, dilakukan dengan cara membanding-bandingkan data yang ada didalam

novel yang digunakan sebagai referensi untuk memudahkan analisis, (2) kategorisasi,

dilakukan dengan cara mengelompokkan data yang sejenis dalam suatu kategori, (3)

penyajian data dengan tabulasi dan deskripsi, dan (4) inferensi dengan menarik

kesimpulan setelah menafsirkan data-data berdasarkan pendekatan psikologi sastra. dan

Prosedur Pengumpulan Data

45
G. Pemeriksaan Keabsahan Data

Keabsahan data dalam penelitian ini diperoleh melalui validitas dan reliabilitas data.

Validitas data penelitian ini menggunakan validitas semantik (Endraswara, 2006:164), yaitu

mengamati data yang berupa unit-unit kata, kalimat, wacana, dialog, monolog, interaksi antar

tokoh, dan peristiwa dari berbagai data yang ditemukan untuk mengamati seberapa jauh data

tersebut dapat dimaknai sesuai dengan konteksnya. Berbagai pustaka dan penelitian yang

relevan juga dirujuk untuk keabsahan penelitian ini.

Reliabilitas yang digunakan dalam penelitian ini yaitu reliabilitas intrarater, yaitu

dengan pembacaan terhadap sumber data berupa novel secara berulang-ulang untuk

mendapatkan data dengan hasil yang sama. Selain itu penelitian ini juga menggunakan

reliabilitas interater. Reliabilitas ini juga dilakukan dengan berdiskusi dengan teman sejawat

yang dianggap memiliki kemampuan intelektual dan kapasitas apresiasi sastra yang baik.

Teman sejawat itu antara lain Dodi Probo Wibowo, dan Jarot Waskito.

46

Anda mungkin juga menyukai