Anda di halaman 1dari 12

BAB 7

SASTRA DAN BIOGRAFI

Biografi adalah genre yang sudah kuno. Pertama-tama biografi secara kronologis maupun
secara logis adalah bagian dari historiografi. Ada dua pertanyaan yang harus dijawab dalam
menyusun biografi sastrawan. Pertama: sejauh mana penulis biografi tersebut dapat
memanfaatkan karya sastra sebagai bahan atau pembuktian? Kedua: sejauh mana biografi itu
relevan dan penting untuk memahami karya sastra? Dalam hal ini kita perlu membedakan dua
tipe penyair, yang subjektif dan objektif. Tapi dalam menghadapi penyair yang subjektif
sekali pun, kita tidak boleh dan tidak dapat langsung menyamakan pernyataan yang bersifat
otobiografis dengan penggunaan motif yang sama pada karya sastra.
Pandangan bahwa seni adalah ekspresi diri yang murni dan polos yakni perwujudan
pengalaman pribadi dan perasaan yang keliru. Pendekatan biografis sering melupakan bahwa
seni bukan sekadar perwujudan pengalaman, tetapi merupakan mata rantai tradisi sastra dan
konvensasi, yang menentukan apakah suatu karya tersebut drama atau puisi. Karya sastra
mungkin merupakan “topeng”, “pribadi yang berlawanan”, yang tersembunyi dibalik
pengarang. Lagi pula harus kita ingat bahwa untuk karyanya, pengarang bisa mengalami
hidup dengan cara yang berbeda-beda: pengalaman hidup dipakainya untuk bahan karya
sastra dan pengalaman itu pun sudah dibentuk oleh tradisi sastra dan prakonsepsi.
Akhirnya kita terpaksa menganjurkan agar setiap interpretasi biografis dan pemakaian karya
sastra untuk biografi harus selalu diuji dengan kritis, karena karya sastra bukanlah dokumen
biografis. Perlu pula diragukan pendekatan yang hanya mengambil satu bagian dari Jane
Eyre atau Vollette untuk menyimpulkan kehidupan kakak beradik Bronte. Hal ini dilakukan
oleh Virginia Moore dalam bukunya The life and Eager Death of Emily. Ia mengira bahwa
Emily mengalami gejolak perasaan tokohnya, Heathcliff. Tipe argumen semacam inilah yang
mendasari pendapat bahwa pati Shakespeare pernah mengunjungi Italia, dan pernah menjadi
ahli hukum, tentara, guru, dan petani.
Tetapi contoh kekeliruan pandangan itu tidak menghilangkan masalah adanya kepribadian
dibalik karya sastra. Bagaimanapun tetap ada hubungan, kesejajaran, dan kesamaan tidak
langsung antara karya dan pengarangnya. Tapi konvensi yang dipakai jelas berdasarkan
pengalaman dan hidupnya sendiri. Di dalam konteks inilah kita melihat manfaat pendekatan
biografis. Pendekatan ini berguna untuk menjelaskan makna alusi dan kata-kata yang dipakai
dalam karya sastra. Biografi juga mengumpulkan bahan untuk menjawab masalah sejarah
sastra seperti bacaan pengarang, persahabatan pengarang dengan sastrawan lain,
perjalanannya, serta daerah dan kota-kota yang pernah dikunjungi dan ditinggalinya.
Meskipun demikian, pendekatan biografis tetap mempunyai dampak terhadap penilaian karya
sastra. Kriteria “ketulusan” tidak tepat diartikan: sejauh mana karya sastra patuh pada
kejujuran biografis. Ini berarti mencari persamaan langsung antara pengalaman dan perasaan
pengarang di dalam dan di luar karya sastra. Perasaan yang paling jujur dan menggebu-gebu
banyak menghasilkan sajak-sajak remaja yang cengeng atau puisi dakwah yang bertele-tele.
Puisi tetap hidup, sedangkan air mata dan perasaan penciptanya sudah lenyap tak bisa dan tak
perlu direkonstruksi.

BAB 8
SASTRA DAN PSIKOLOGI

Istilah “psikologi sastra” mempunyai empat kemungkinan pengertian. Yang pertama adalah
studi psikologis pengarang sebagai tipe atau sebagai paribadi. Yang kedua adalah studi proses
kreatif. Yang ketiga adalah studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada
karya sastra. Yang keempat mempelajari dampak sastra pada pembaca (psikologi pembaca).
Penyair adalah pelamun yang diterima masyarakat. Penyair tak perlu mengubah
kepribadiannya, ia boleh meneruskan dan mempublikasikan lamunannya.
Teori seni sebagai gangguan emosi menampilkan masalah hubungan imajinasi dengan
kepercayaan. Salah satu kecenderungan yang lain yang ada pada seniman (terutama penyair)
adalah sinestesia, penggabungan dua macam penginderaaan, biasanya penglihatan dan
pendengaran. Kecenderungan psikologis ini bersumber dari kebiasaan untuk tidak
membedakan macam-macam penginderaan. Tetapi sekarang sinestesia sudah menjadi teknik
sastra, semacam terjemahan metaforis, seperti ungkapan berlebihan sajak-sajak metafisik,
suatu sikap estetis tertentu terhadap kehidupan.
Penggolongan dua kutub seni yang paling terkenal dan berpengaruh adalah yang dibuat oleh
Nietzsche dalam bukunya The Birth of Tragedy (1872). Proses kreatif meliputi seluruh
tahapan, mulai dari dorongan bawah sadar yang melahirkan karya sastra sampai pada
perbaikan terakhir yang dilakukan pengarang. Struktur mental seorang penyair berbeda
dengan susunan sebuah puisi. Impresi berbeda dengan ekspresi. Sebaliknya, bagi seorang
pelukis yang menggunakan teknik apa pun, setiap impresi juga dibentuk oleh hasil
pelukisnya, karena pelukis belajar dari pengalaman yang tuntas.
“Inspirasi” adalah sebutan tradisional untuk faktor bawah sadar dalam proses penciptaan.
Apakah inspirasi tidak bisa didatangkan? Kebiasaan kreatif dan ritual serta rangsangan dapat
diusahakan. Penyair-penyair mantis (juru ramal) pada masyarakat primitif diajari cara
menyiapkan diri supaya dapat menjadi “kesurupan”. Seperti halnya pengikut aliran
kepercayaan di Timur, yang dianjurkan memakai waktu dan tempat khusus untuk berdoa, dan
mengucapkan seruan-seruan yang diulang-ulang atau mantra, penyair modern belajar atau
mengira dapat belajar mencapai situasi kreatif.
Sastrawan adalah spesialis dalam membuat asosiasi, disosiasi, dan mengkombinasikan
kembali unsur-unsur yang dialami secara terpisah. Sastrawan mengumpulkan kata-kata
seperti anak kecil mengumpulkan boneka, perangko, atau binatang peliharaan. Bagi penyair,
kata-kata bukanlah “tanda” suatu pasangan yang transparan. Melainkan “simbol”, yang
mempunyai nilai dirinya sendiri di samping sebagai alat untuk mewakili hal lain. Frase
“asosiasi ide” adalah istilah yang kurang tepat untuk menggambarkan kecenderungan
sastrawan terhadap bahasa. Selain hubungan asosiasi kata dengan kata, ada juga asosiasi
pikiran dengan objek. Kategori utama asosiasi semacam ini adalah kaitan antara tempat dan
waktu, serta antara persamaan dan perbedaan.
Untuk seniman-seniman tertentu, psikologi membantu mengentalkan kepekaan mereka pada
kenyataan, mempertajam kemampuan pengamatan, dan memberi kesempatan untuk
menjajaki pola-pola yang belum terjamah sebelumnya. Tapi psikologi itu sendiri baru
merupakan suatu persiapan penciptaan. Di dalam karya sastra, kebenaran psikologis baru
mempunyai nilai artistik jika ia menambah koherensi dan kompleksitas karya. Dengan kata
lain, jika kebenran psikologis itu sendiri merupakan suatu karya seni.

BAB 9
SASTRA DAN MASYARAKAT

Pembahasan hubungan sastra dan masyarakat biasanya bertolak dari frase De Bonald bahwa
“sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat”. Tapi sebaiknya kritik yang berbau penilaian
kita tangguhkan dulu sampai kita menemukan hubungan yang nyata antara sastra dan
masyarakat. Hubungan yang bersifat deskriptif dapat kita klasifikasikan sebagai berikut:
Pertama adalah sosiologi pengarang, dan institusi sastra. Masalah yang berkaitan di sini
adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial, status pengarang dan ideologi
pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra. Yang kedua
adalah isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri
dan yang berkaitan dengan masalah sosial. Yang terakhir adalah permasalahan pembaca dan
dampak sosial karya sastra. Sebelum kita sampai kepada masalah lebih lanjut, yaitu integrasi
budaya, kita harus menjelaskan terlebih dahulu apa yang kita maksudkan dengan
ketergantungan atau hubungan sebab-akibat antara sastra dan masyarakat.
Biografi pengarang adalah sumber utama, tetapi studi ini juga dapat meluas ke lingkungan
atau milieu tempat pengarang tinggal dan berasal. Kita dapat mengumpulkan informasi
tentang latar belakang sosial, latar belakang keluarga, dan posisi ekonomi pengarang. Kita
dapat menunjukkan apa peran kelompok bangsawan, kaum borjuis, dan kaum proletar dalam
sejarah sastra. Asal-usul sosial seorang pengarang hanya sedikit sekali berperan dalam
menjawab masalah status sosial, keterlibatan, dan ideologi, sebab sering pengarang melayani
kebutuhan kelas lain.
Keterlibatan sosial, sikap, dan ideologi pengarang dapat dipelajari tidak hanya melalui karya-
karya mereka, tetapi juga dari dokumen biografi. Sudah banyak dibuat penelitian tentang
pandangan politik dan sosial pengarang. Jika disusun secara sistematis, masalah asal,
keterlibatan, dan ideologi sosial akan mengarah pada sosiologi pengarang sebagai tipe, atau
sebagai suatu tipe pada waktu dan tempat tertentu. Posisi sastrawan dalam masyarakat dapat
ditelusuri secara jelas dalam sejarah. Pada Abad Pertengahan, kita mengenal beberapa macam
pengarang. Ada biarawan yang mengarang di ruang kecilnya, trubadur dan Minnesanger di
istana raja atau baron, dan ilmuwan pengelana di jalan-jalan. Pada zaman Renaisans muncul
kelompok penyair yang tidak mau terikat. Kaum penyair humanis ini berkelana dari satu
negara ke negara lain, menawarkan jasa mereka kepada para pelindung.
Jadi, studi dasar ekonomi sastra dan status sosial pengarang mau tak mau harus
memperhitungkan pembaca yang menjadi sumber rezekinya. Bangsawan adalah pelindung
seni merangkap pembaca yang cerewet. Bagaimanapun, pola-pola lama belum sepenuhnya
berubah. Grafik naik-turunnya reputasi dan kemasyhuran pengarang, sukses dan bertahannya
suatu buku, adalah fenomena sosial. Stratifikasi setiap kelompok masyarakat terdiri atas
stratifikasi seleranya. Norma kelas atas sering menular ke kelas bawah. Tapi kadang-kadang
arah pengaruh berbalik. Mode adalah gejala yang penting dalam sastra modern. Dalam
masyarakat modern yang cair dan penuh persaingan, norma-norma kelas atas cepat ditiru dan
cepat pula diganti dengan yang baru.
Meskipun banyak bukti dikumpulkan, jarang ditarik kesimpulan mengenai hubungan yang
pasti antara produksi sastra dengan dasar ekonomi, atau mengenai pengaruh yang pasti dari
publik terhadap sastrawan. Kita dapat membuat hipotesis bahwa anak-anak muda lebih
langsung dan lebih mudah terpengaruh bacaan daripada orang tua dan bahwa pembaca yang
kurang berpengalaman memperlakukan sastra secara lebih naif. Pendekatan yang umum
dilakukan terhadap hubungan sastra dan masyarakat adalah mempelajari sastra sebagai
dokumen sosial, sebagai potret kenyataan sosial. Sebagai dokumen sosial, sastra dipakai
untuk menguraikan ikhtisar sejarah sosial. Potret sosial Amerika dapat disusun dari novel-
novel Harriet Beecher Stowe, Howells, sampai Farrell dan Steinbeck.
Situasi sosial memang menentukan kemungkinan dinyatakannya nilai-nilai estetis, tapi tidak
secara langsung menentukan nilai-nilai itu sendiri. Kita dapat mempelajari secara garis besar,
bentuk-bentuk seni apa yang mungkin timbul pada suatu masyarakat, dan mana yang tidak
mungkin muncul. Tetapi masalah sastra dan masyarakat dapat diletakkan pada suatu
hubungan yang lebih bersifat simbolik dan bermakna: kita dapat memakai istilah-istilah yang
mengacu pada integrasi sistem budaya, dan keterkaitan antara berbagai aktivitas
manusia.sastra mempunyai tujuan dan alasan keberadaannya sendiri.

BAB 10
SASTRA DAN PEMIKIRAN

Memang karya sastra dapat dianggap sebagai dokumen sejarah pemikiran dan filsafat, karena
sejarah sastra sejajar dan mencerminkan sejarah pemikiran. Secara langsung atau melalui
alusi-alusi dalam karyanya, kadang-kadang pengarang menyatakan bahwa ia menganut aliran
filsafat tertentu, mempunyai hubungan dengan paham-paham yang dominan pada zamannya,
atau paling tidak mengetahui garis besar ajaran paham-paham tersebut. Meskopun demikian,
“Sejarah Pemikiran” perlu disambut baik oleh peminat sastra. Manfaat pengetahuan sejarah
filsafat bagi pemahaman karya sastra memang sangat besar. Tidak dapat disangkal, sastra
Inggris dapat dipakai untuk menjelaskan sejarah filsafat.
Pada kesusastraan lain, studi pengaruh pemikiran pada karya sastra mungkin lebih kaya lagi.
Tetapi apakah standar filosofis dapat kita jadikan kriteria kritik sastra? Sejumlah metode yang
berkembang di Jerman mencoba memperhatikan keberatan-keberatan terhadap penekanan
unsur ilmiah yang berlebihan dalam pendekatan filsafat. Unger mengklasifikasikan
permasalahan yang digarap pengarang sebagai berikut. Pertama, masalah nasib. Yang
dimaksudkannya di sini adalah hubungan antara kebebasan dan keterpaksaan, semangat
manusia dan alam. Kedua, masalah keagamaan, termasuk interpretasi tentang Kristus, sikap
terhadap dosa dan keselamatan .
Ketiga, masalah alam, perasaan terhadap alam, juga mitos dan ilmu gaib. Keempat, masalah
manusia. Permasalahan ini menyangkut konsep manusia, hubungan manusia dengan
kematian dan konsep cinta. Kelima, masalah masyarakat, keluarga, dan negara. Sikap seorang
penulis harus dipelajari dari segi kelima jenis permasalahan ini. Sejarah tentang sikap dan
perasaan sulit disusun karena perasaan tak dapat diukur, dan di mana-mana sama saja. Di
dalam mempelajari pengarang secara perorangan, pendekatan Unger mempunyai kelebihan,
karena meneliti sikap dan pemikiran yang tidak diformulasikan dengan terlalu nyata dan
jelas. Studi sikap pengarang semacam itu mendorong para pemikir Jerman untuk menjajaki
kemungkinan menyederhanakan permasalahan sikap pengarang dalam klasifikasi
berdasarkan tipe Weltanschauung. Yang paling terkenal adalah teori Dilthey.
Di Jerman minat untuk membuat spekulasi semacam ini besar sekali dan banyak variasi
diciptakan. Kalau diperhatikan dengan akal sehat, barangkali kita perlu mencurigai kerapian
skema ini, juga tipe ketiga yang terlalu ditinggikan kedudukannya. Sebetulnya, perlu kita
pertanyakan, apakah mungkin terjadi integrasi total antara tiga hal: waktu, ras, dan karya
sastra. Paralelisme, apalagi antara filsafat dan puisi, perlu diragukan. “Semangat Jaman”
dapat dijadikan pegangan untuk menjelaskan perubahan gaya dan ragam sastra dari zaman
satu ke zaman lainnya. Tetapi jika “semangat jaman” dibakukan menjadi sesuatu yang
absolut dan menjadi patokan mitos yang tetap untuk setiap zaman pendekatan ini berbahaya.
Dunia buatan Geistegeschichte tidak dapat menjawab permasalahan umum sejarah umat
manusia atau paling tidak sejarah kebudayaan Barat. Sebetulnya, ilmuwan tidak perlu
membuat spekulasi atas permasalahan yang terlalu besar seperti sejarah filsafat dan integrasi
budaya. Pada perhatian ilmuwan perlu dialihkan kepada masalah-masalah kongkret yang
belum dipecahkan, bahkan belum cukup dibicarakan. Pertanyaan yang perlu dijawab,
misalnya adalah bagaimana dan kapan pemikiran masuk ke dalam kesusastraan. Yang
dimaksud dengan pemikiran di sini bukan pemikiran yang dipakai hanya sebagai bahan
mentah atau informasi. Permasalahan masuknya pemikiran dalam kesusastraan baru muncul
kalau pemikiran mulai diwujudkan dalam tekstur karya sastra dan menjadi bagian dari karya
sastra.

BAB 11
SASTRA DAN SENI

Hubungan sastra dengan seni rupa dan seni musik sangat beragam dan rumit. Kadang-kadang
puisi mendapat inspirasi dari lukisan, patung, atau musik. Sebaliknya, sebagimana sastra
terutama lirik dan drama banyak memakai musik, sastra juga bisa menjadi tema seni lukis
atau musik terutama seni suara dan musik program. Di samping masalah sumber dan
pengaruh, inspirasi dan kerja sama, ada masalah lain yang lebih penting. Karya sastra sering
menghasilkan efek yang sama dengan efek sebuah lukisan atau menghasilkan efek musikal.
Ada kalanya puisi menjadi mirip patung.
Apakah puisi dapat mencapai kesan seperti musik, lebih diragukan lagi, meskipun banyak
yang berpendapat bahwa hal itu mungkin. Unsur musik dalam sajak, kalau dianalisis, ternyata
berbeda dengan melodi musik. Banyak puisi yang ditulis dengan maksud dijadikan musik,
misalnya aria zaman Elizabeth dan libretto untuk opera. Kesejajaran sastra dan seni sering
membuat orang merasa bahwa lukisan dan puisi tertentu manghasilkan suasana hati yang
sama. Jadi, kesejajaran dua cabang seni yang hanya didasarkan pada reaksi emosional
penonton saja tidak akan membantu meningkatkan pengetahuan.
Salah satu pendekatan lain adalah dengan mencari maksud dan teori seniman penciptanya.
Pasti kita dapat menunjikkan kesamaan teori dan formula di balik dua karya seni yang
bebeda. Hanya seni patung dan arsitektur yang dapat dibentuk oleh contoh-contoh Klasik.
Jumlah tiruan karya arsitektur dan patung Klasik melebihi jumlah tiruan Klasik pada karya
sastra dan karya seni lainnya. Jadi, teori dan maksud yang disadari seniman sering berbeda-
beda pada setiap cabang seni, dan tidak banyak membantu kita memahami hasil kongkret si
seniman: karyanya, bentuk, serta isinya yang spesifik.
Bukti bahwa pendekatan melalui maksud pengarang tidak dapat diandalkan terlihat dari
kasus-kasus yang jarang terjadi, yakni ketika penyair merangkap menjadi
seniman.pendekatan yang lebih bermanfaat dari pendekatan melalui maksud pengarang
adalah perbandingankarya seni berdasarkan latar sosial dan budaya yang sama. Kesejajaran
sejati yang datang dari kesamaan latar sosial dan intelektual jarang dianalisis secara kongkret.
Nampaknya, pendekatan utama untuk membandingkan beberapa cabang seni adalah analisis
objek seni yang kongkret. Jadi, yang dilihat adalah hubungan struktural.
Usaha yang paling nyata untuk memindahkan kategori sejarah seni pada kesusastraan adalah
penelitian Oskar Walzel, yang memakai kriteria Wofflin. Wofflin membedakan seni Barok
dan Renaisans berdasarkan strukturnya. Ia membuat skema dua pertentangan dua hal yang
bertolak belakang, yang bisa diterapkanpada setiap lukisan, patung, atau arsitektur zaman itu.
Lukisan Renaisans bersifat “pipih” atau dibuat di atas bidang-bidang datar yang tersusun,
sedangkan lukisan Barok “dalam”, mengarahkan pandangan mata pada latar yang jauh dan
tidak jelas. Wofflin mebuktikan kesimpulannya melalui analisis yang sangat peka terhadap
setiap karya seni yang dinikmatinya, dan memperlihatkan pergeseran yang tak terelakkan dari
gaya Renaisans ke gaya Barok.
Sebagian dari gaya Wofflin memang dengan mudah dan jelas dapat diformulasikan kembali
ke dalam istilah sastra. Nampaknya, memang mudah mengkontraskan bentuk-bentuk yang
jelas dengan seni-seni yang memiliki komposisi longgar dan bentuk kabur. Pengalihan
pasangan kontras Wofflin tidak memecahkan satu masalah penting. Kita tidak dapat
menerangkan kenyataan bahwa cabang-cabang seni tidak berkembang dengan kecepatan
yang sama pada satu waktu yang sama. Akhirnya, kita dihadapkan pada satu masalah lain
lagi. Pada satu waktu tertentu atau pada kesusastraan nasional tertentu, satu atau dua cabang
seni sangat produktif.

BAB 12
MODUS KEBERADAAN KARYA SASTRA

Untuk menjawab pertanyaan apa dan di mana puisi atau karya sastra pada umumnya,
beberapa pendekatan tradisional menawarkan jawaban. Tetapi jawaban itu harus dikritik dan
dikesampingkan, sebelum kita mencari jawaban sendiri. Jawaban yang paling umum dan tua
adalah bahwa puisi merupakan sebuah “artefak”, sebuah objek yang sama dengan lukisan
atau patung. Jadi, karya sastra bisa disamakan dengan garis-garis hitam pada kertas putih,
atau naskah kuno, atau seperti puisi Babilon, tulisan yang ditatah pada batu bata.
Ada suatu pembuktian lain bahwa tulisan pada kertas atau cetakan pada buku bukanlah puisi
yang “sebenarnya”. Satu halaman buku terdiri dari banyak unsur yang tidak termasuk puisi:
besar-kecilnya tipe huruf, jenis huruf (Roman atau Italik), ukuran kertas dan lain-lain. Tidak
dapat disangkal bahwa banyak karya sastra lenyap dan musnah karena tulisannya hilang.
Sarana tradisi oral yang secara teoretis bisa dipakai untuk menyelamatkannya, ternyata gagal
berfungsi atau terputus. Lagi pula, dalam periode-periode tertentu dalam sejarah puisi,
lukisan grafis telah menjadi bagian dari puisi.
Ideogram yang berbentuk gambar pada puisi Cina, menurut Ernest Fenollosa, merupakan
bagian dari makna puisi. Penentuan akhir setiap baris, pengelom[okan baris menjadi stansa
dan alinea (pada prosa), persajakan dan permainan kata yang hanya dapat dilihat melalui
ejaan, dan banyak teknik grafis lain harus dianggap sebagai faktor integral dalam karya
sastra. Tetapi yang penting disadari adalah bahwa pada setiap pembacaan sebuah puisi selalu
muncul unsur-unsur yang melebihi puisi itu sendiri. Pembacaan puisi tidak sama dengan puisi
itu sendiri, karena kita selalubisa mengoreksi setiap pembacaan dalam hati.
Jawaban yang ketiga merupakan jawaban yang umum kita dengar. Puisi adalah pengalaman
pembacanya. Sebuah puisi tak lebih dari proses mental masing-masing pembaca. Jadi, sama
dengan keadaan mental atau proses yang kita rasakan ketika membaca atau mendengarkan
puisi. Pandangan bahwa pengalaman mental pembaca adalah puisi itu sendiri, mengarahkan
kita pada kesimpulan: puisi itu tidak ada kecuali kalau dialami dan diciptakan kembali dalam
setiap pengalaman pembaca. Biarpun menarik dan bermanfaat untuk pendidikan, psikologi
pembaca akan selalu berada di luar objek studi sastra yakni karya sastra yang nyata dan tidak
mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang struktur dan nilai karya sastra.
Alternatif lain bahwa puisi merupakan pengalaman total sadar dan tak sadar pada waktu
penciptaan, juga tidak memuaskan. Cara yang lebih baik adalah membuat batasan karya
sastra yang berkaitan dengan pengalaman sosial dan kolektif. Jawaban yang dikaitkan dengan
psikologi perorangan atau sosial tidak dapat ditemukan. Puisi bukanlah pengalaman
perorangan maupun gabungan pengalaman. Puisi hanya merupakan suatu penyebab potensial
dari pengalaman. Tetapi ini merupakan masalah lanjutan. Kita masih harus memutuskan di
mana dan bagaimana norma-norma ini hidup.
Metode yang dipakai dalam mendeskripsikan dan menganalisisberbagai strata karya sastra:
(1) strata bunyi, efoni, ritme, dan mantra, (2) unit makna yang menetukan strukturlinguistik
formal, gaya serta pendekatan stilistika yang mempelajari gaya dengan sistematik, (3) imaji
dan metafor, teknik stilistika yang paling puitis dan memerlukan pembahasan karena kedua
teknik ini sangat mengarah kepada (4) “dunia” karya sastra dalam simbol dan sistem yang
kita sebut mitos puitik. Dunia yang diproyeksikan oleh fiksi naratif menyajukan (5) masalah
khusus mengenai ragam dan teknik yang akan kita bahas pada bab berikutnya. Setelah
mempelajari metode analisis yang dapat diterapkan atas karya sastra, kita akan menanyakan
(6) sifat-sifatb genre sastra dan membicarakan permasalahan utama setiap karya sastra, yakni
(7) penilaian. Akhirnya, kiuta akan kembali pada pemikiran tentang evolusi sastra dan
membahas (8) sejarah sastra dan kemungkinan menyusun sejarah sastra sebagai sejarah seni.
Teori Sastra

1. Sastra dan Biografi


Biography is a genre most ancient literatures. There are two types of poets subjective
namely da objective. Art is a picture of self-expression that is pure and innocent are based
on personal experience and feelings of the author. Art is not just a manifestation of the
experience, but it is a chain of literary tradition and konvensasi. In a literary work the author
can experience life in a way different experience of life were used to discuss literature and
the experience has been shaped by literary tradition and preconceptions.
Each biographical interpretation, and the wearer's biographical literature should always be
examined critically. Because literature is not a biographical document. But nevertheless
there remains a relationship, alignment, and indirect similarity between the work and its
author. The biographical approach is useful to explain the meaning of allusion and words
used in literary works. Biography also collects materials to address the problem of literary
history such as author readings, literary friendship invitation of other authors and authors
life's journey.

2. Literature and Psychology


The term "literary psychology" has four possible sense. The first is psychological study
authors as types or as paribadi. The second is a study of the creative process. The third is the
study type and the laws of psychology as applied to literary works. The fourth study the
impact of literature on the reader (reader psychology). The theory of art as an emotional
disorder display issues with trust relationships imagination. One other trend that is on the
artists (especially poets) is synesthesia, the merger of two kinds penginderaaan, usually sight
and hearing. Psychological tendency stems from a habit not to distinguish the various
sensing. But now synesthesia has become a literary technique, a sort of metaphorical
translation, such as excessive expression of metaphysical poetry, a certain aesthetic attitude
towards life. "Inspiration" is a traditional term for a subconscious factor in the creation
process. Creative habits and rituals as well as the stimulation can be cultivated. Poets
specialize in making the association, dissociation, and the combine back elements
experienced separately. For the poet, the words are not "sign" a couple transparent. But
"symbols", which is rated himself on the side as a means to represent something else. The
phrase "association of ideas" is an imprecise term to describe the tendency of writers to
language. In addition to word association relationship with that said, there is also an
association of mind with the object. The main category of these associations is a link
between the place and time, as well as the similarities and differences.
For certain artists, psychology helps thicken their sensitivity to the reality, sharpen
observational skills, and provide an opportunity to explore the patterns previously
unexplored.
2. Literature and Society
Discussion and public relations literature usually departed from De Bonald phrase that
"literature is an expression of a feeling of community". The relationship that is descriptive
can be classified as follows:
The first is the sociology of the authors, and literary institutions. Problems related here is the
economic basis of literary production, social background, status and ideology author author
demonstrated by various authors activities outside literature. The second is the contents of a
literary work, objectives, as well as other things implied in the literary work itself and related
social problems. The latter is the problem of readers and literary works of social impact.
Author biographies are the main source, but this study could also extend to the environment
or milieu where the author lived and come. We may collect information about social
background, family background, and the economic position of the author. We can show you
what the role of the aristocracy, the bourgeoisie, and the proletariat in the history of
literature. The social origin of an author very little role in addressing issues of social status,
involvement, and ideology, because the author often serve the needs of other classes. A
common approach to literature and society relationship is studying literature as a social
document, as a portrait of the social reality. As a social document, literature used to outline
an overview of social history. Images can be composed of American social novels of Harriet
Beecher Stowe, Howells, until Farrell and Steinbeck.
The social situation is determining the likelihood expresses aesthetic values, but does not
directly determine the values themselves. We can learn broadly, the art forms of what might
arise in a society, and which are unlikely to appear. But the issue of literature and society
can be put on a relationship that is more symbolic and meaningful: we can use terms that
refer to the culture system integration and linkages between various activities
manusia.sastra have a purpose and reason for its own existence.

2. Literature and Thought


literary works can be considered as a document of the history of thought and philosophy,
because the parallel literary history and reflects the history of thought. Directly or through
allusion-allusions in his work, sometimes the author states that he adheres to certain
schools of philosophy, has links with the dominant ideologies of his time, or at least knew
the outline of the teachings ideologies. Unger classify the problems that worked author as
follows. First, the problem of fate. He means here is the relationship between freedom and
necessity, the human spirit and nature. Second, religious issues, including the interpretation
of Christ, the attitude toward sin and salvation.
Thirdly, the problem of nature, the feeling of nature, is also a myth and magic. Fourth,
human problems. This problem concerns the concept of man, man's relationship to death
and the concept of love. Fifth, the problems of society, family, and country. The attitude of a
writer to be learned in terms of the five types of these problems.

Literary relationship with art and the art of music is very diverse and complicated.
Sometimes poetry drew inspiration from painting, sculpture, or music. In contrast,
especially lyric as literature and drama wears a lot of music, literature could also be the
theme of painting or music, especially vocal and music program. In addition to the
problem of sources and influences, inspiration and cooperation, there are other more
important issues. Works of literature often produces the same effect as the effect of a
painting or produce a musical effect. There are times when poetry becomes sculptural.
Whether poetry can achieve the impression of music, more doubt, though many argue that
it's possible. Musical elements in the poem, when analyzed, was different from the
melody. Many poems were written with the intention of music used, for example aria
Elizabethan and libretto for the opera. Alignment of literature and art often makes people
feel that a particular painting and poetry produce same mood. Thus, the alignment of the
two branches of art based solely on emotional reactions to the audience alone will not
help to increase knowledge.

Anda mungkin juga menyukai