Anda di halaman 1dari 3

WASTA: FACHRULROZY PRATAMA

NPM: 180210220017

MATA KULIAH: ILMU SASTRA

TUGAS: RANGKUMAN BAB 2 JEUNG 3 BUKU PENGANTAR ILMU SASTRA

BAB 2: SASTRA DAN KENYATAAN

“Yang disebut umum manusiawi bukan umum dan bukan manusiawi. Syukurlah pengertian tersebut
hanya merupakan sebuah khayalan, tetapi sayang sebuah khayalan yang telah melahirkan
kesalahpahaman-kesalahpahaman yang mencelakakan”

J. GRESHOF

I. PENGANTAR

Dalam bab ini ada tiga hal yang berbeda-beda diantaranya:

1) Pengertian mimesis dan tempat yang diduduki pengertian ini dalam aliran-aliran seni dan
sastra semenjak plato dan aristoteles;
2) Masalah fiksionalitas;
3) Pendekatan terhadap sastra yang langsung menghubungkan sastra dan masyarakat,
khususnya kritik sastra menurut aliran marxis.

Note: Kenyataan (dalam arti yang seluas-luasnya)

1. Mimesis

Pengertian mimesis: (Yunani: Perwujudan atau jiplakan) pertama-tama dipergunakan dalam


teori-teori tentang seni seperti diutarakan oleh plato (428-348) dan aristoteles (384-322) dan dari
abad ke abad sangat mempengaruhi teori-teori mengenai seni dan sastra di Eropa.

Plato memperlihatkan sikapnya yang negatif terhadap seni. Menurutnya seni hanya menyajikan
suatu ilusi (khayalan) tentang kenyataan dan tetap jauh dari “kebenaran”. Para penyair kalah
penting dibandingkan dengan para pembuat undang-undang, penemu-penemu, panglima-panglima,
dst. Karena mereka hanya menggambarkan sesuatu, maka mereka tak pernah dapat dijadikan
contoh ataupun teladan. Maka dari itu menurut Plato para penyair tidak ada gunanya didalam
sebuah Negara ideal. Apalagi karena puisi memberi umpan kepada emosi dan meredupkan akal
budi. Itu sebabnya mengapa puisi menghalangi usaha manusia untuk menjadi bahagia dan sejahtera.
Satu-satunya bentuk puisi yang boleh dilaksanakan ialah puisi yang berisikan pujian terhadap para
dewa dan tokoh-tokoh yang berguna bagi umat manusia; puisi serupa itu mengarahkan manusia
kepada aspek-aspek positif didalam tata negara.

Menurut Aristoteles, penampakan kenyataan dan ide-ide tidak lepas yang satu dari yang lain;
dalam setiap obyek yang kita amati kenyataan terkandung idenya dan itu tak dapat dilepaskan dari
obyek itu. Bagi Aristoteles Mimesis tidak semata-mata menjiplak kenyataan, melainkan merupakan
sebuah proses kreatif; Penyair, sambil bertitik pangkal pada kenyataan, menciptakan sesuatu yang
baru.

2. Fiksionalitas

Sastra merupakan sebuah cermin atau gambar mengenai kenyataan. Pertentangan antara teori
mimesis dan teori creatio sebetulnya tidak begitu tajam seperti kita bayangkan. Aristoteles telah
menerangkan bahwa seorang pengarang justru karena daya cipta artistiknya mampu menampilkan
perbuatan manusia yang universal (bandingkan pendapatnya bahwa puisi lebih bermutu daripada
sejarah).

Sekalipun teori mimesis dan teori creatio saling melengkapi, namun jelas juga bahwa dalam dunia
sastra dilukiskan banyak hal yang dalam kenyataan tak pernah ada. Bila kita membaca teks-teks
sastra, kita berhadapan dengan tokoh-tokoh dan situasi-situasi yang hanya terdapat dalam khayalan
si pengarang. Teks-teks yang mengandung unsur-unsur khayalan disebut teks-teks fiksi (-onal).
Tetapi tidak setiap teks yang mengandung unsur khayalan, lalu menjadi teks fiksi.

3. Sastra dan Masyarakat (khususnya kritik sastra menurut aliran marxis)

Sastra dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial. Sastra yang ditulis pada suatu kurun waktu
tertentu langsung berkaitan dengan norma-norma dan adat istiadat zaman itu. Pengarang
mengubah karyanya selalu seorang warga masyarakat dan menyapa pembaca yang sama-sama
dengan dia merupakan warga masyarakat tersebut, Ia dihargai atau kurang dihargai oleh para
pembaca yang dipengaruhi atau kurang dipengaruhi oleh sang pengarang.

Kritik sastra marxis berdasarkan filsafat marx, khususnya teorinya mengenai materialisme historik
dan dialektik. Menurut Marx susunan masyarakat dalam bidang ekonomi, yang dinamakan
bangunan bawah, menentukan kehidupan sosial, politik, intelektual, dan kultural bangunan atas.
Sejarah dipandangnya sebagai suatu perkembangan terus-menerus; daya-daya kekuatan di dalam
kenyataan secara progresif merekah dan ini semuanya menuju masyarakat yang ideal tanpa kelas.
Evolusi tersebut tidak berjalan dengan halus, tetapi secara tersendat-sendat.

BAB 3: Teks dan Komunikasi dalam Ilmu Sastra

“Bentuk-bentuk Kesenian menampilkan hukum-hukumnya sendiri, bukannya alasan-alasan yang


mendorong kita dalam hidup sehari-hari.”

Viktor Sjklovski

“Setiap kali aku membuat suatu catatan, aku harus berpikir mengenai kaitannya dengan selusin
catatan lain.”

Virginia Woolf

I. PENGANTAR
Dalam bab ini dibahas beberapa aliran yang menempatkan karya sastra dalam pusat
perhatian, dan dari sana lalu diikutsertakan seluruh proses komunikasi: Formalisme,
Strukturalisme, Ilmu sastra linguistik, dan Semiotik. Aliran-aliran ini meneliti sifat-sifat umum
dalam sastra. Itulah sebabnya mengapa alira-aliran tersebut dapat kita bedakan dari aliran-
aliran yang disebut ergosentrik, yaitu aliran-aliran yang meneropong karya-karya sastra
sendiri (karya = ergon, bahasa Yunani) serta penafsirannya. Seyogyanya, aliran ini, yang
mengarahkan perhatiannya kepada sebuah karya tertentu, kami bahas dalam bab mengenai
kritik dan penafsiran.
1. Formalisme

Formalisme timbul di rusia untuk sebagian dapat kita pandang sebagai suatu reaksi terhadap
aliran positivesme pada abad ke-19 yang memperhatikan “keterangan” biografis.
Formalisme ini menentang kecenderungan di rusia untuk meneliti sastra sebagai ungkapan
pandangan hidup atau iklim perasaan dalam masyarakat. Menurut pandangan formalisme
sifat kesastraan timbul dengan menyusun dan mengubah “bahan”nya yang bersifat netral.

2. Strukturalisme

Strukturalisme berkembang di ceko pada tahun tiga puluhan abad ini; sama dengan aliran
formalis, kaum strukturalis menyangkal bahwa produk itu tepat sama dengan penyebabnya. Dan
dari sudut ini aliran strukturalis melawan positivesme.

3. Ilmu Sastra Linguistik

Ilmu sastra linguistic pada abad ini selalu terdapat ikatan-ikatan erat antara ilmu bahasa dan
ilmu sastra. Hal tersebut telah kita lihat waktu membicarakan aliran formalisme dan
strukturalisme atau berhubungan dengan teori lapisan dalam strukturalisme atau hubungan
dengan perhatian bagi bahasa puitik didalam formalisme.

4. Semiotik

Semiotik, yang merancang secara sistematik sebuah teori tentang tanda ialah filsuf amerika
Charles Peirce (1839-1914). Kita saling mengadakan komunikasi lewat tanda-tanda bahasa
hanya merupakan salah satu kelompok tanda yang kita pergunakan. Kata-kata, tetapi juga
kalimat dan teks-teks termasuk tanda-tanda bahasa. Semiotik sastra di Uni-Soviet hanya
untuk sebagian dipengaruhi oleh Pierce. Konsep ikonisitas juga dipergunakan. Menurut
tokoh semiotik sastra Rusia Joeri Lotman, maka perbedaan antara bahasa sehari-hari dan
bahasa sastra disebabkan karena fungsi ikonisitas dalam sastra. Tahap-tahap formal didalam
teks menggambarkan isinya. Untuk sebagian semiotic Soviet berakar dalam Formalisme,
tetapi ada pengaruh juga dari mazhab praha dan bahkan dari strukturalisme Prancis.

Anda mungkin juga menyukai