Anda di halaman 1dari 21

SASTRA BERDASARKAN PENDEKATAN

EKSPRESIF & PRAGMATIK


Oleh:
Kelompok 5
1. Amandara (F1011221016)
2. Ewa Caprisha (F1011221049)
3. Syarina (F1011221019)
4. Sarina (F1011221008)
5. Muhammad Dani Sulaiman (F1011181048)
1. TEORI-TEORI SASTRA BERDASARKAN
PENDEKATAN EKSPRESIF
Pendekatan ekspresif muncul bersamaan dengan perubahan sistem sosial dan
filsafat yang menempatkan manusia sebagai makhluk otonom yang memiliki
kebebasan dan keutuhan sebagai individu. Pendekatan ini memandang karya-
karya ciptaan manusia sepenuhnya sebagai pengucapan kreatif pribadi
individu. Pendekatan ekspresif menekankan pentingnya peran penulis dalam
pemahaman teks teks kesastraan karena karya sastra adalah "anak kandung"
mereka, maka merekalah yang paling tahu apa yang ingin disampaikan. Dalam
buku The Mirror and The Lamp: Romantic Theory and the Critical Tradition
(1971: 21-26) Abrams menjelaskan bahwa pendekatan ekspresif merupakan
pendekatan yang menitikberatkan perhatian pada pengarang karya sastra.
Menurut (Wiyatmi 2006: 82) pendekatan ekspresif adalah pendekatan
yang memandang dan mengkaji karya sastra serta memfokuskan
perhatiannya pada sastrawan selaku pencipta karya sastra. Pendekatan
ini memandang karya sastra sebagai ekspresi sastrawan melalui
curahan perasaan atau luapan perasaan serta pikiran sastrawan
(produk imajinasi sastrawan) yang bekerja dengan persepsipersepsi,
pikiran-pikiran (perasaan-perasaannya). Pendekatan ekspresif adalah
pendekatan karya sastra dengan jalan menghubungkan karya satra
dengan pengarangnya. Pendekatan ekspresif menitik beratkan
pengarang, dan orientasi ekspresif memandang karyasastra sebagai
ekspresi, luapan, ucapan perasaan, sebagai hasil imajinasi pengarang,
pemikiran-pemikiran, dan perasaan.
Pendekatan ekspresif membuktikan bahwa aliran romantik cenderung
tertarik pada masa purba, masa lampau atau masa primitif kehidupan
manusia. Melalui indikator kondisi sosiokultural pengarang dan ciri-ciri
kreativitas imajinatif karya sastra, maka pendekatan ekspresif dapat
dimanfaatkan untuk menggali ciri-ciri individualisme, nasionalisme,
komunisme dan feminisme dalam karya sastra, baik karya sastra individual
maupun karya sastra dalam kerangka periodisasi. Di Indonesia melalui
Angkatan 1930, yakni Angkatan Pujangga Baru yang dipelopori J. E.
Tatengkeng, Amir Hamzah dan Sanusi Pane, dengan dominasi puisi lirik.
Agustinus dan Rousseau memperlihatkan sudut pandang yang bertentangan
dalam memandang pengarang sebagai pencipta dalam abad yang berbeda.
Agustinus adalah Uskup Roma yang hidup dalam abad ke-5. Bagi Agustinus,
Tuhanlah Sang Pencipta yang menjadi pusat dunia. Sebaliknya, Rousseau
adalah tokoh romantik yang terkenal dengan sikapnya yang tegas menolak
pandangan Agustinus (peradaban rasionalisme) dan lebih mengagungkan
kemuliaan alam, hati nurani dan kreativitas manusia. Bagi Rousseau, manusia
individuallah yang menjadi pusat dunia, yang bebas menciptakan sesuatu
sesuai dengan kemampuannya.
A. Teori Biografis
Dalam KBBI (2001:155) kata biografi diartikan sebagai riwayat hidup seseorang
yang ditulis oleh orang lain. Menurut Teeuw (1984:155-160) perihal pengarang
atau biografi ini telah dibicarakan sejak abad pertama melalui tulisan-tulisan
Longinus yang menjelaskan peranan perasaan dalam proses penciptaaan karya
sastra. Teori biografis merupakan teori atau kajian yang sistematis mengenai
proses kretivitas seorang pengarang dalam mencipta karya sastra. Karya sastra
pada gilirannya identik dengan riwayat hidup seorang pengarang. Oleh karena
itu, menurut Rata (2009:56), teori biografis sesungguhnya merupakan sebagian
penulisan sejarah, sebagai historiografi. Dalam kaitannya dengan interaksi
pengarang dengan masyrakat dan lingkungannya yang pada gilirannya
mempengaruhi proses kreatif nya pada waktu mencipta karya sastra, maka dapat
dibedakan menjadi tiga macam pengarang, yakni (1) pengarang yang mengarang
berdasarkan pengalaman langsung, (2) pengarang yang mengarang berdasarkan
keterampilan dalam penyusunan kembali unsur-unsur penceritaan, dan (3)
pengarang yang mengarang berdasarkan kekuatan imajinasi.
Teori biografis mulai ditinggalkan sejak muncul dan berkembangnya teori
strukturalisme pada abad ke-20 dengan sejumlah variannya yang menolak
keras peranan pengarang. Dalam sastra kontemporer, peranan pengarang
sungguh dihilangkan, dengan menyatakan pengarang sebagai anonimitas.
Begitu karya terlahir, pada saat itu pengarangnya pun mati. Puncak penolakan
terhadap peranan pengarang atau teori biografis dilakukan oleh Rolland
Bartesh (1915-1980) salah seorang tokoh teori semiotika (varian teori
strukturalisme) dalam tulisannya yang berjudul “ The Death of The Author”
(Matinya Sang Pengarang) dalam khazanah sastra Indonesia mutakhir, peranan
pengarang pada khususnya dan pendekatan ekstrinsik pada umumnya dalam
kajian sastra mulai dihidupkan kembali dengan sudut pandang yang baru dan
menyegarkan. Pengamat dan kritikus sastra Indonesia modern yang cukup
produktif, Maman S. Mahayana mengangkat kedua hal yang sempat
dipinggirkan ini lewat dua buku yang telah diterbitkannya, yakni Pengarang
Tidak Mati: Peranan dan Kiprah Pengarang Indonesia (2012), dan
Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia (2007).
B. TEORI EKSPRESIFISME
Istilah ekspresif mengandung dua pengertian, yang satu menunjukkan sebuah
pendekatan, yakni pendekatan ekspresif dan yang lain menunjukkan sebuah teori, yakni
teori ekspresifisme. Teori ekspresifisme menempatkan manusia sebagai mahkluk
otonom yang memiliki kebebasan dan keutuhan sebagai individu untuk
mengungkapkan maksud, gagasan, dan perasaanya. Teori ekspresifisme di dalam kajian
sastra adalah teori yang memandang karya sastra sebagai pernyataan atau ekspresi
dunia batin pengarangnya. Karya sastra dipandang sebagai saranan pengungkap ide,
angan-angan, cita-cita, cita rasa, pikiran dan pengalaman pengarang. Dalam sejarahnya
yang panjang, teori ekspresifisme merupakan studi yang paling mapan dan tertua dalam
sejarah studi sastra. Ditinjau dari segi perkembangan pemikiran manusia, teori ini dapat
dianggap sebagai tongga sejarah yang membebaskan manusia dari pandangan lama yang
mengukung, bahwa hanya Tuhan lah yang mencipta segala sesuatu, sedangkan manusia
hanyalah peniru-peniru belaka atau sekedar pembantu penciptaan, bukan pencipta.
Sulit sekali menetapkan kapan teori ekspresifisme muncul pertama kali.
Abrams (1971) dan Teeuw (1984) menyebut Longinus, seorang negarawan
dan ahli kritik sastra yang hidup pada abad ke-3, sebagai pelopor teori
ekspresifisme ini. Dalam bukunya yang berjudul Perihypsous
(Yunani:Tentang Keluhuran), Lomunius mengungkapkan bahwa ciri khas
dan ukuran seni sastra adalah keluhuran sebagai sumber utama pemikiran
dan perasaan pengarang. Teori ekspresifisme (mengenai pengarang) yang
paling mutakhir dikemukakan Umberto Eco, lahir pada 5 Januari 1932 di
Italia, dengan memperkenalkan istilah liminal author atau author on the
threshold (pengarang ambang). Pengarang ambang menurut Taung (1997:29),
tidak dapat disamakan dengan pengarang implisit, karena situasi pengarang
ambang tidak dapat dijelaskan, sedangkan pengarang implistit merupakan
strategi eksplikasi tekstual yang dapat dikenal melalui permainan bahasa
teks.
C. TEORI ROMANTISME
Dalam KBBI (2001:961) romantisme diartikan sebagai haluan kesusastraan
akhir abad ke-18 yang mengutamakan perasaan, pikiran dan tindakan
spontanitas. Teori romantisme merupakan teori aliran yang menunjukkan
minat yang besar pada keindahan alam, kepercayaan asli agama, curahan
hati nurani, dan cara hidup yang sederhana sebagai pemberontakan
terhadap gaya hidup teratur kaum borjuis. Pengikut teori ini menekankan
spontanitas dalam mengungkapkan pikiran, perasaan, dan tindakan. Istilah
romantik dalam sastra mengacu pada gerakan pemikiran dan penulisan
karya sastra diseluruh Eropa dan Amerika yang menunjukkan
karakteristik tersendiri, yang menganggap imajinasi lebih penting dari
pada aturan formal dan fakta.
Menurut catatan sejarah, karya sastra jenis roman (romantik) muncul pada akhir abad
kedua dan abad ketiga di wilayah Yunani Hellen. Pada zaman romantik, penulisan sastra
sering kali diawali dengan kata-kata bernada supranatural, seperti: “Pada zaman
dahulu” atau “Pada suatu waktu”, yang dianggap sebagai simbolisme puitik. Pada zaman
romantik ini, kritik ekspresifisme mendapat perhatian umum oleh karena karya sastra
dipahami sebagai hasil ekspresi, peluapan atau ungkapan perasaan pengarangnnya atau
sebagai hasil imajinasi pengarangnnya yang menjabarkan pandangan, pemikiran dan
perasaannya, maka tolak ukur penilaian terhadap karya sastra terutama ditujukan
kepada kesungguhan hatinya (sincerity), keasliannya (genuineness) dan keakuratannya
(adequacy) dalam mengungkapkan visi dan pemikiran individual si pengarang itu
sendiri. Pada akhir abad ke-19 sinar teori romantisme (juga teori ekspresifisme dan teori
biografis) mulai memudar.
2. TEORI-TEORI SASTRA BERDASARKAN
PENDEKATAN PRAGMATIK

Dalam KBBI (2001: 891) diartikan sebagai: berkenaan dengan syarat-syarat yang
mengakibatkan serasi tidaknya pemakaian bahasa dalam komunikasi. Pendekatan
pragmatik memberikan perhatian utama terhadap peranan pembaca karya sastra.
Seperti pernah dijelaskan bahwa pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang
dicetuskan ilmuwan sastra, M. H. Abrams (1971), di samping pendekatan objektif,
pendekatan ekspresif, dan pendekatan mimetik. Dalam bukunya the mirror and the
lamp. Romantic Theory and the Critical Tradition (1971:14-21) Abrams menjelaskan
bahwa pendekatan pragmatik merupakan pendekatan yang menitikberatkan
perhatian pada pembaca karya sastra. Pendekatan pragmatik dipertentangkan
dengan pendekatan ekspresif (pengarang).
Pendekatan pragmatik dengan demikian memberikan perhatian pada
pergeseran dan fungsi-fungsi baru pembaca sastra. Pendekatan
pragmatik menekankan pentingnya faktor pembaca teks kesastraan
titik pemaknaan terhadap teks-teks itu tidak dapat mengabaikan faktor
pembaca karena mereka lah yang berhubungan langsung pada teks,
mereka lah yang berkepentingan, maka bagaimana sikap dan
penerimaan mereka merupakan sesuatu yang perlu dikaji. Misalnya,
pembaca menganalisis sebuah cerita fiksi untuk menemukan dan
mengidentifikasi berbagai unsur moral dalam rangkaian pemilihan
bahan ajar kesastraan.
Perbedaan pragmatik mempertimbangkan implikasi pembaca
melalui berbagai kompetensinya. Dengan mempertimbangkan
indikator karya sastra dan pembaca, maka masalah-masalah
yang dapat dipecahkan melalui pendekatan pragmatik,
termasuk berbagai tanggapan masyarakat terhadap sebuah
karya sastra, baik sebagai pembaca eksplisit maupun implisit,
baik dalam dalam kerangka sinkronis maupun diakronis.
Pendekatan pragmatik memiliki manfaat terhadap fungsi-
fungsi karya sastra dalam masyarakat, perkembangan dan
penyebarluasannya, sehingga manfaat karya sastra dapat
dirasakan. Pendekatan ini secara keseluruhan berfungsi untuk
menopang teori resepsi sastra yang memungkinkan
pemahaman hakikat karya sastra tanpa batas.
A. TEORI RESEPSI SASTRA

Teori ketiga belas, resepsi sastra. Resepsi sastra adalah penerimaan karya
sastra oleh para pembaca atau penikmat. Dalam arti luas, resepsi sastra
diartikan sebagai pengolahan teks sastra, cara-cara pemberian makna
oleh pembaca terhadap karya sastra sehingga dapat memberikan respons
terhadapnya. Teori resepsi sastra merupakan salah satu teori (aliran)
dalam penelitian sastra yang terutama dikembangkan oleh mazhab
Kontanz tahun 1960-an di Jerman. Teori ini menggeserkan fokus
penelitian dari struktur karya sastra (teks karya sastra) ke arah pembaca
sastra (penikmat, pembaca, pendengar, pemirsa). Teori ini juga muncul
sebagai reaksi terhadap sejarah sastra yang tertutup dan hanya
menyajikan deretan pengarang dan jenis karya sastra. Sejarah sastra
seolah-olah suatu monumen mati yang tidak bisa lagi dinikmati dan
dihayati oleh pembaca-pembaca masa kini. Faktor inilah yang
menyebabkan Hans Robert Jauss (1921-1997), salah satu tokoh penting
teori resepsi sastra, memperkenalkan konsep penerimaan (resepsi)
sebuah teks sastra.
Melalui ketujuh tesisnya, Jauss meletakkan dasar-dasar resepsi sastra dalam kaitannya
dengan sejarah estetika penerimaan. Teori resepsi sastra ini pun segera mendapat
perhatian berbagai ahli ilmu sastra. Wolfgang Iser mengkhususkan dirinya pada
penerimaan dan pencerapan karya sastra oleh pembaca implisit. Jonathan Culler
beranggapan bahwa pemahaman karya sastra sangat ditentukan oleh kompetensi sastra,
yakni kemampuan membaca mewujudkan konvensi-konvensi sastra dalam suatu jenis
sastra tertentu. Teori hermeneutika (kepandaian menerangkan dan menafsirkan sesuatu),
semula terbatas pada teori dan kaidah-kaidah menafsirkan sebuah teks, khususnya Kitab
Suci agama Yahudi dan Kristen secara fiologis, historis, dan teologis. Schleiermacher
memperluas istilah itu untuk menyebut cara kita memahami dan menafsirkan sesuatu
yang selalu dipengaruhi oleh konteks historis. Gadamer memperluas lagi lingkup
hermeneutika. Menurut dia, istilah itu mengacu kepada proses mengetahui, memahami,
dan menafsirkan sesuatu tidak hanya melibatkan subjek dan objek, melainkan merupakan
sebuah proses sejarah.
Tokoh penting teori resepsi sastra adalah Hans Robert Jauss, lahir di
Jerman pada 21 Desember 1921, meninggal dunia pada 1 Maret 1997. Ketika
Jauss menerbitkan buku Literary Theory is a Challenge to Literary Theory
(1970) bahwa teori resepsi sastra merupakan sebuah aplikasi historis dari
tanggapan pembaca, teori resepsi sastra berkembang pesat di Jerman.
Fokus penerimaan Jauss adalah penerimaan sebuah teks. Minat utamanya
bukan pada tanggapan seorang pembaca tertentu pada suatu waktu
tertentu, melainkan pada perubahan-perubahan tanggapan, interpretasi,
dan evaluasi pembaca umum terhadap teks sastra yang sama atau teks-teks
yang berbeda dalam kurun waktu berbeda.
B. TEORI PRESEPSI

Teori keempat belas, persepsi. Menurut Ratna (2013:502), persepsi


diartikan sebagai tanggapan, di dalamnya subjek mengalami suatu
kesadaran terhadap segala sesuatu yang ada disekitarnya. Sesuai
dengan hakikat kejiwaan itu maka yang menjadi pusat perhatian
adalah masalah-masalah yang paling banyak menarik minatnya.
Secara historis teori persepsi dibicarakan dalam psikologi
eksperimen, seperti yang dikembangkan oleh tokoh kunci teori ini
Wilhelm Wundt lahir di Jerman pada 16 Agustus 1832, dan
meninggal dunia pada 31 Agustus 1920. Konsep-konsep kunci teori
persepsi diantaranya adalah: stimulus (rangsangan) dan respons (S-
R), prosesnya melalui indra, dengan kesatuan terkecil adalah
refleks. Jenis-jenis respons diantaranya,
(1) Respons yang dipelajari dan tidak dipelajari,
(2) Respons eksplisit dan implisit, dan
(3) Respon pendengaran dan penciuman.
C. TEORI INTERTEKSTUAL
Teori kelima belas, Intertekstual. Teori intertekstual adalah teori sastra yang
berusaha mencari hubungan interelasi antara teks sastra yang satu dengan
teks sastra yang lain.
Teks-teks yang dikerangkakan sebagai Intertekstual tidak terbatas sebagai
persamaan genre, intertekstual memberikan kemungkinan yang seluas-
luasnya bagi peneliti untuk menemukan hypogram. Intertex dapat dilakukan
antara novel dengan novel, novel dengan puisi, novel dengan mitos, dan lain-
lain. Hubungan yang dimaksudkan tidak semata-mata sebagai persamaan,
melainkan juga sebaliknya sebagai pertentangan, baik sebagai parodi maupun
negasi. Pluralisme makna dalam interteks bukan merupakan akibat
ambiguitas, melainkan sebagai hakikat tenunannya, sehingga pada dasarnya
tidak ada teks tanpa interteks.
Dalam interaksi dimungkinkan terjadinya teks plural yang merupakan
indikator utama pluralisme budaya. Dalam teori-teori sastra tradisional,
khususnya penelitian filologis, hubungan yang ditujukan melalui persamaan-
persamaan disebut peniruan, jiplakan, bahkan sebagai plagiat. Teori
intertekstual bertujuan menggali secara maksimal makna-makna yang
terkandung dalam sebuah ada yang menggali kualitas teks dengan cara
menganggap karya sebagai anonimitas atau yatim piatu (istilah Rolland
Barthes), ada pula yang mengembalikannya ke dalam kesemestaan budaya,
meskipun tetap sebagai kebudayaan yang anonim (istilah Julia Kristeva).
Setiap teks harus dibaca atas dasar latar belakang teks lain. Konsep penting
dalam teori intertekstual adalah hypogram. Hypogram menurut Michael
Riffaterre (dalam Ratna, 2009: 174) adalah struktur prateks, yang dianggap
sebagai energi puitika teks. Fungsi hypogram dengan demikian merupakan
petunjuk hubungan antar teks yang dimanfaatkan oleh pembaca, bukan
penulis, sehingga memungkinkan terjadinya perkembangan makna.
Dalam teori intertekstual, pembaca bukan lagi menjadi konsumen, melainkan
produsen, teks tidak dapat ditentukan secara pasti sebab merupakan struktur dari
struktur, setiap teks menunjuk kembali secara berbeda-beda kepada lautan karya
yang telah ditulis dan tanpa batas, sebagai teks jamak. Tidak ada teks yang mandiri,
tidak ada orisinalitas dalam pengertian yang sungguh-sungguh, sehingga pada
dasarnya, tidak ada wacana yang pertama dan terakhir, setiap wacana merayakan
kelahirannya.
Menurut Ratna (2009: 174-175) secara praktis, aktivitas intertekstual terjadi melalui
dua cara, (1) Membaca dua teks atau lebih secara berdampingan pada saat yang sama,
dan (2) Hanya membaca sebuah teks, tetapi dilatarbelakangi oleh teks-teks lain yang
sudah pernah dibaca sebelumnya. Intertekstual yang sesungguhnya adalah yang
kedua, sebab aktivitas inilah yang memungkinkan terjadinya teks jamak, teks tanpa
batas.
Teori intertekstual adalah ruang metodologis di mana pembaca mampu untuk
mengadakan asosiasi bebas terhadap pengalaman pembacaan terdahulu yang
memungkinkan untuk memberikan kekayaan bagi teks yang sedang dibaca.
DAFTAR PUSTAKA
Nugriyantoro, Burhan (2018). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press .

Sehandi, Yohanes (2016). Mengenal 25 Teori Sastra. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Sihombing, Natalia Desi, dkk. (2023). Analisis Puisi “Penglihatan” Karya Adimas Immanuel Menggunakan
Pendekatan Ekspresif. Jurnal Bahasa, Sastra, Budaya, dan Pengajarannya (Protasis). Vol 2, 73-77.
https://protasis.amikveteran.ac.id/index.php/protasis/article/view/75/57

Anda mungkin juga menyukai