Anda di halaman 1dari 6

TUGAS TEORI SASTRA

PENDEKATAN EKSPRESIVISME
NAMA KELOMPOK 7:
1.MAYANG FEBRIANI
2.FERNANDO Y.Y.NODI
3.REGINA INTAN MAKING
4.
5.
6.
TEORI EKSPRESIVISME

Teori ekspresif sastra (The expressive theory of literature) adalah sebuah teori yang memandang karya
sastra terutama sebagai pernyataan atau ekspresi dunia batin pengarangnya. Karya sastra dipandang
sebagai sarana pengungkap ide, angan-angan, cita-cita, cita rasa, pikiran dan pengalaman pengarang.
Dalam ungkapan yang lain, sastra adalah proses imajinatif yang mengatur dan menyintesiskan imajinasi-
imajinasi, pemikiran-pemikiran, dan perasaan-perasaan pengarang (Abrams, 1987:20). Studi sastra dalam
model ini berupaya mengungkapkan latar belakang kepribadian dan kehidupan (biografi) pengarang yang
dipandang dapat membantu memberikan penjelasan tentang penciptaan karya sastra. Oleh karena itu,
teori ini seringkali disebut pendekatan biografi. Karya sastra dipandang sebagai sarana pengungkap ide,
angan-angan, cita-cita, cita rasa, pikiran dan pengalaman pengarang. Dalam ungkapan yang lain, sastra
adalah proses imajinatif yang mengatur dan menyintesiskan imajinasi-imajinasi, pemikiran-pemikiran,
dan perasaan-perasaan pengarang (Abrams, Studi sastra dalam model ini berupaya mengungkapkan latar
belakang kepribadian dan kehidupan (biografi) pengarang yang dipandang dapat membantu memberikan
penjelasan tentang penciptaan karya sastra. Oleh karena itu, teori ini seringkali disebut pendekatan
biografi. Sejarah Pertumbuhan abad ke-3 M, Longinus, dalam bukunya berjudu Peri Hypsous (Yun. =
Tentang Keluhuran) mengungkapkan bahwa ciri khas dan ukuran seni sastra adalah keluhuran (yang
luhur, yang mulia, yang unggul) sebagai sumber utama pemikiran dan perasaan pengarang, yang
bersumber dari daya wawasan yang agung, emosi atau nafsu (passion) yang mulia, retorika yang unggul,
pengungkapan (diksi) dan penggubahan yang mulia. Unsur terpenting dalam penciptaan seni sastra adalah
kreativitas dalam jiwa pengarang. Sumber-sumber keagungan itu mengilhami dan merasuki kata-kata
dengan semangat ilahi. Pandangan ini tidak banyak memengaruhi pertumbuhan teori ekspresionisme.
Baru sekitar tahun 1800 (pada jaman Romantik, abad 18-19) teori ekspresivisme mendapat perhatian dan
berkembang dengan pesat. Dalam zaman ini, kritik ekspresif mendapat perhatian utama. Oleh karena
karya sastra dipahami sebagai ekspresi, peluapan, atau ungkapan perasaan pengarangnya, atau sebagai
hasil imajinasi pengarangnya yang menjabarkan pandangan, pemikiran, dan perasaannya, maka tolok
ukur penilaian terhadap karya sastra terutama ditujukan kepada: kesungguhan hatinya (sincerity),
keasliannya (genuineness), dan kememadaiannya (adequacy) dalam mengungkapkan visi dan pemikiran
individual si pengarang itu sendiri. Aspek-aspek itu seringkali dicari di dalam karya sastra sebagai
pembuktian akan watak dan pengalaman- pengalaman khusus pengarang, baik yang disadarinya maupun
yang tidak disadarinya. Kritik semacam ini masih diteruskan dalam tradisi-tradisi kritik sastra
psikoanalitik dan kritik kesadaran (critics of consciousness) dalam mazhab Jenewa. Praktek
Ekspresivisme Praktik-praktik kritik ekspresif sastra terpusat pada upaya menyelami jiwa pengarang
karya sastra tersebut. Menurut mereka, materi dan bahan-bahan penulisan karya sastra tidak terletak di
luar diri individu melainkan terkandung dalam diri dan jiwa manusia penciptanya. Pengarang dianggap
seorang pencipta yang membayangkan imajinasi kehidupan yang terpilih dan teratur. Kedudukan
pengarang dan karyanya begitu erat, seperti seorang ibu yang melahirkan anaknya. Tolok ukur sastra
yang baik dalam pendekatan ini adalah: orisinalitas, kreativitas, jenialitas, dan individualitas. Benar-
tidaknya, objektif-tidaknya suatu penilaian sastra sangat tergantung pada intensi pengarang dalam
mewujudkan keorisinalan dan kebaruan penciptaan seninya. Data-data biografik dan historis menjadi
bahan yang penting dalam studi sastra. 1. teori-teori yangtermasuk dalam teori ekspresivisme: a. Teori
ekspresi sastra ( the eksprisive theory of literature ) adalah sebuah teori yang memandang karya sastra
sebagai penyetaan atau ekspresi dunia latin pengarangnya. Teori ini juga merupakan studi yang paling
matang dan tertua dalam sejarah studi sastra. ( Wellek dan Warran,1993;82). Teori dapat dianggap
sebagai studi yang yang systematis tentang psikologi pengarang dan proses kreatifnya. b. Teori sastra
Romantik zaman romantic ditandai dengan semacam “Manifesto” ( pernyataan yang revolusioner dari
Wordsworth yang menegaskan bahwa karya sastra yang baik adalah peluapan yang spontan dari perasaan
–perasaan yang kuat). Unsure-unsur utama sastra adalah perasaan-perasaan emosi manusia penyair yang
dikumpulkan dalam keheningan dan revisi dalam revisi dalam proses komposisinya 2. sejarah
pertumbuhan ekspresivisme Theew (1988) dan Abrams ( 1987) menyebut Longinus, seorang negarawan
dan ahli kritik sastra yang hidup dalam abad ke 3 masehi, sebagai pelopor teori ini. Dalam bukunya
berjudul Peri Hypsus ( Yun = tentang keluhuran ). Longginus mengungkapkan bahwa cirri khas dan
ukuran seni sastra adalah keluhuran ( yang luhur, yang mulia, yang unggul ) sebagai sumber pemikiran
dan perasaan pengarang sumber keluhuran itu misalnya : daya wawasan yang agung, emosi, yang mulia,
rektorika yang unggul, pengungkapan ( DKSI) dan pengubahan yang mulia. Unsure terpenting dalam
penciptaan seni sastra adalah kreatifitas dalam jiwa pengarang. 3. tolak ukur ekspresivisme dalam teori
sastra Kreatifitas, individual, harilintas yang artinya karya sastra yang baik ditinjaukan melalui peluapan
yang spontan diperasaan yang kuat dari diri pengarangannya 4. latar belakang munculnya kritik terhadap
teori ekspresivisme. Pada akhir abad ke 19 sinar romantic dan ekspresianisme mulai pudar. Ilmu sastra
mulai meniadakan unsure penulis sebagai factor dalam memahami, mengapreasi dan menilai karya sastra.
Karya sastra dengan berpedoman pada geografi pengarangnya menghadapi persoalan-persoalan mendasar
yang cukup menyulitkan keasahannya sebagai teori sastra yang bias dipertanggungjawab secara ilmiah.
Persoalan otonomi tidak lagi berkaitan dengan penulis tetapi mulai terfokus pada karya sastra itu sendiri
dan bahkan pada pembacanya. Dalam buku The International fallacy Wimsat dan Bearsdley yang
mengemukakan tentang teori ekspresivisme yaitu: Terwujudnya suaatu karya sastra karena dengaan
adanya niaat penulis namun niat itu tidak dapat dijadikan norma untuk menilai arti sebuaah teks.
Pengarang harus mampu menuangkan makna niat dalam karyanya dan makna muatan seharusnya dinilai
tanpa perlu meniliti. Kesejajaran antara makna pengarang dan makna muatan serta syarat-syarat antara
makna pengarang subjektif. Makna sebuah puisi sangat bersifat pribadi atau biografis untuk menjelaskan
pemakaian bahanya tetapi jika penggunnaan bahasanya jelas maka tidak perlu lagikonsultasi terhadap
pengarang. Suatu hal yang bersifat abstrak akan mencari makna pengarang dengan sungguh-sungguh
dalam suatu pikiran yang sesat. 5. latar belakang munculnya teori-teori baru tentang pengarang, yaitu :
Dalam bahasa ( sastra tertulis ) pengarang tidak dapat berkomunikasi secara langsung dengan
pembacanya. Dengan demikian, jika dalam tulisannya pengarang memperkenalkan sujud pandangan
aku.1987:20).

Sejarah Pertumbuhan

Abad ke-3 M, Longinus, dalam bukunya berjudu Peri Hypsous (Yun. = Tentang Keluhuran)
mengungkapkan bahwa ciri khas dan ukuran seni sastra adalah keluhuran (yang luhur, yang mulia, yang
unggul) sebagai sumber utama pemikiran dan perasaan pengarang, yang bersumber dari daya wawasan
yang agung, emosi atau nafsu (passion) yang mulia, retorika yang unggul, pengungkapan (diksi) dan
penggubahan yang mulia. Unsur terpenting dalam penciptaan seni sastra adalah kreativitas dalam jiwa
pengarang. Sumber-sumber keagungan itu mengilhami dan merasuki kata-kata dengan semangat ilahi.
Pandangan ini tidak banyak memengaruhi pertumbuhan teori ekspresionisme. Baru sekitar tahun 1800
(pada jaman Romantik, abad 18-19) teori ekspresivisme mendapat perhatian dan berkembang dengan
pesat.

Dalam zaman ini, kritik ekspresif mendapat perhatian utama


Dalam zaman ini, kritik ekspresif mendapat perhatian utama. Oleh karena karya sastra dipahami sebagai
ekspresi, peluapan, atau ungkapan perasaan pengarangnya, atau sebagai hasil imajinasi pengarangnya
yang menjabarkan pandangan, pemikiran, dan perasaannya, maka tolok ukur penilaian terhadap karya
sastra terutama ditujukan kepada: kesungguhan hatinya (sincerity), keasliannya (genuineness), dan
kememadaiannya (adequacy) dalam mengungkapkan visi dan pemikiran individual si pengarang itu
sendiri. Aspek-aspek itu seringkali dicari di dalam karya sastra sebagai pembuktian akan watak dan
pengalaman-pengalaman khusus pengarang, baik yang disadarinya maupun yang tidak disadarinya. Kritik
semacam ini masih diteruskan dalam tradisi-tradisi kritik sastra psikoanalitik dan kritik kesadaran (critics
of consciousness) dalam mazhab Jenewa.

Praktek Ekspresivisme

Praktik-praktik kritik ekspresif sastra terpusat pada upaya menyelami jiwa pengarang karya sastra
tersebut. Menurut mereka, materi dan bahan-bahan penulisan karya sastra tidak terletak di luar diri
individu melainkan terkandung dalam diri dan jiwa manusia penciptanya. Pengarang dianggap seorang
pencipta yang membayangkan imajinasi kehidupan yang terpilih dan teratur. Kedudukan pengarang dan
karyanya begitu erat, seperti seorang ibu yang melahirkan anaknya. Tolok ukur sastra yang baik dalam
pendekatan ini adalah: orisinalitas, kreativitas, jenialitas, dan individualitas. Benar-tidaknya, objektif-
tidaknya suatu penilaian sastra sangat tergantung pada intensi pengarang dalam mewujudkan keorisinalan
dan kebaruan penciptaan seninya. Data-data biografik dan historis menjadi bahan yang penting dalam
studi sastra.

KRITIK TERHADAP TEORI EKSPRESIVISME


Kritik Ekpresivis Kehadiran penelitian eskpresivisme memang banyak diragukan oleh ilmuwan sastra.
Penelitian ini dianggap kurang memenuhi kode-kode ilmiah, karena sering dilanda subjektivitas pencipta
ketika di diwawancarai. Kecuali itu pencipta sendiri seringkali telah lupa terhadap karya-karya yang
dihasilkan. Hanya karya tertentu saja yang sering teringat pada diri pencita, misalnya saja karya yang
pernah mendapat penghargaan. Sedangkan karya yang mengorbit lewat media masa, seringkali asalkan
telah terbit dilupakan oleh penciptanya. Pencipta tidak lagi teringat seratus persen tentang penciptaan.
Dari persoalan itu, sering seorang pencipta melakukan kebohongan tertentu. Pencipta lebih cerdik
memanipulasi  alasan penciptaan. Manipulasi itu sebenarnya dapat menjadi penelitian tersendiri.
Disamping itu, ketika karya telah lolos dari tangan pencipta, biasanya pengarang “lepas tangan”, kurang
bertanggung jawab atas pengaruh karya tersebut. Hal ini sering menyebabkan ungkapan spontan pencipta
pada saat wawancara menjadi bias. Itulah sebabnya cukup beralasan kalau Wimsatt dan Beardsley  
( Tahun 1997 : 26) menaruh keberatan atas kehadian ekspresivisme.
       Pada akhir abad ke-15 sinar romantika dan ekspresionisme melai pudar Ilmu sastra mulai
meniadakan unsur penulis sebagai faktor dalam memahami, mengapresiasi dan menilai karya sastra.
Sastra berpedoman pada biografi pengarangnya menghadapi persoalan-persoalan mendasar yang cukup
menyulitkan kebahasaannya sebagai teori sastra yang bisa dibertanggung jawabkan sacara ilmiah.
Persoalan otnomi tidak lagi berkaitan dengan penulis tetapi mulai mendasar dan programatik
dikemukakan oleh Wimsatt dan Beardsley dalam buku The Internasional Fallac(1987). Konsep itu
mengacu pada pengertian bahwa adalah kekeliruan apabila dalam menganalisis dan menafsirkan sebuah
teks sastra orang berpedoman pada maksud ( intensi) dan latar belakang pengarang. Pandangan Wimsatt
dan beardsley secara singkat diungkapkan berikut ini.
Niat seorang pengarang dalam menulis karyanya tidak dapat dijadikan norma untuk menilai sukses
tidaknya sebuah darya sastra. Niat beerkaitan dengan tujuan dan maksud pengarang, sikapnya dalam
proses penciptaan, dan dorongannya menulis karya sastra. Aliran romantik mengharuskan kita
merumuskan mekna niat pengarang sehingga mereka terpaku pada hal-hal inspirasi, otensitas, biografi,
sejarah sastra dan kecendekiaan. Aliran romantik menegaskan bahwa niat itu memiliki pengaruh yang
jelas terhadap karya sastra yang dihasilkannya, karena makna niat itulah yang mendorongnya menuliskan
karyanya.
Wimsatt dan beardsley mengemukakan dalil-dalil berikut ini untuk membuktikan bahwa makna niat
pengarang tidak berpengaruh terhadap keberadaan karya sastra.
1.    Sekalipun sebuah karya sastra terwujud berkat adanya niat penulisnya namun niat itu tidak dapat
dijadikan norma untuk menilai arti sebuah teks.
2.    Harus dipertanyakan apa yang dicari dalam niat pengarang itu. Jika pengarang mampu menuangkan
makna niatnya dalam karyanya, maka justru makna muatan itu sajalah yang harus dinilai tanpa perlu
meneliti apakah pengarang memang berniat demikian.
3.    Jika ukuran keberhasilan karya sastra adalah kesejajaran antara makna niatan pengarang dengan
makna muatannya maka syarat-syarat subjektivitas pengarang sesungguhnya sudah dilepaskan.
4.    Apabila makna sebuah puisi sangat bersifat pribadi, maka kita boleh menggunakan data-data yang
dapat menjelaskan pemakaian bahasanya. Akan tetapi jika penggunaan bahasanya sudah cukup jelas tidak
perlulah berkonsultasi kepada pengarangnya.
5.    Maka niat merupakan suatu hal yang abstrak, sehingga mencari-cari makna niat pengarang sungguh-
sungguh suatu jalan pikiran yang sesat.

Menurut Wimsatt dan beardley sebuah karya sastra sesungguhnya menjadi milik umum, ia telah
terbentuk dalam pemakaian bahasa yang menjadi milik umum dan menjadi milik pengetahuan umum.
Oleh karena itu pengetahuan sastra terpisah dari pngarang sejak ditulis dan pengarang tidak dapat
menerangkan lagi niatnya atau mengontrol makna muatannya sesuai dengan makna niatannya.

Keberatan terhadap teori ekspresivisme dikemukakan oleh banyak teoritisi sastra, antara lain Foucault
(1992), Ricoeur (1987), Barthes (1981), Wellek & Warren (1993).
Wellek & Warren secara tegas menyebutkan bahwa biografi seorang pengarang sama sekali bukan
masalah sastra sehingga tidak relevan dipergunakan sebagai bahan penelitian sastra secara ilmiah.
Seorang pengarang tidak bertanggung jawab secara pribadi terhadap ide, perasaan, kebaikan ataupun
kajahatan tokoh-tokoh ciptaanya.  Ini berlaku bukan saja untuk tokoh drama dan novel tetapi juga untuk “
aku” dalam puisi lirik. Sekalipun ada karya sastra yang erat berkaitan dengan kehidupan pengarangnya,
karya sastra tetap bukanlah bukti kehidupan pengarang. Karya sastra barangkali mewujudkan impian dan
bahkan “topeng” yang menyembunyikan pribadi pengarang yang sebenarnya. Singkatan karya sastra
bukanlah dokumen biografis.
Meskipun pendekatan biografis tidak membantu kita memahami karya sastra secara lebih baik, Wellek &
Warren mengakui bahwa ada manfaatnya mempelajari biografi pengarang karena ada sosok pribadi
dibalik karya-karya sastra. Manfaat biografi berguna antar lain :
1)    Menjelaskan alusi dan kata-kata yang dipakai dalam karya sastra;
2)    Mempelajari masalah pertumbuhan kedewasaan, dan merosotnya kreativitas pengarang;
3)    Menjelaskan tradisi sastra yang berlaku didaerah pengarang.

Menurut Paul Ricoeur (1987:332-333) sebuah teks hanya akanmenjadi teks yang sesungguhnya bila
pengarangnya telah meninggal. Dengan demikian relasi pembaca dan teks akan menjadi utuh dan lengkap
tanpa ada kewajiban bertanya mengenai intensi pengaangnya.
Roland barthes (1981: 73-81) menegaskan bahwa teks sastra itu tidak bertuan; pembacalah tuan atas
bacaannya. Pengarang bukan subjek dan buka predikat atas bacaannya, karena dunia yang menawarkan
karya sastra adalah dunia yang multidimensional, dunia dimana seluruh varietas (tekstur) bergabung.
Foucault ( 1987: 124) mengatakan subjek pelaku seperti pengarang, ide, penguasa, panglima, gereja, dan
negara tidak penting. Dibalik sebuah karya (sastra) orang tidak menemuka subjek (pengarang) Melainkan
‘suasana’ suatu periode atau tipe masyarakat tertentu yang memiliki masalah-masalah tertentu pula. Yang
penting bukanlah pengarang melainkan “ mekanisme-mekanisme kekuasaan dan strategi kekuasaan”.
Kekuasaan, menurut Foucault bukan milik perseorangan atau lembaga tetentu melainkan merupakan
strategi serba banyak relasi kuasa yang bekerja pada suatu tempat dan suat periode tertentu. Penyebutan
nama pengarang dalam suatu studi sastra hanya bermaksud menempatkan kondisi-kondisi dan situsi-
situasi yang berbentuk teori dan konsep dalam kaitan dan karyanya.  Jadi fungsi penyebutan nama
bermakna signifikatif ataupun indikatif melainkan fungsional, yakni memiliki fungsi menempatkan
konteks dan spesifikasi sebuah wacana.
Dalam buku The International fallacy Wimsat dan Bearsdley yang mengemukakan tentang teori
ekspresivisme yaitu:
•    Terwujudnya suaatu karya sastra karena dengaan adanya niaat penulis namun niat itu tidak dapat
dijadikan norma untuk menilai arti sebuaah teks.
•    Pengarang harus mampu menuangkan makna niat dalam karyanya dan makna muatan seharusnya
dinilai tanpa perlu meniliti.
•    Kesejajaran antara makna pengarang dan makna muatan serta syarat-syarat antara makna pengarang
subjektif.
•    Makna sebuah puisi sangat bersifat pribadi atau biografis untuk menjelaskan pemakaian bahanya
tetapi jika penggunnaan bahasanya jelas maka tidak perlu lagikonsultasi terhadap pengarang.
Kritik seni ekpresivisme menentukan kadar keberhasilan seni atas kemampuannya membangkitkan emosi
secara efektif, intensif, dan penuh gairah. Intensitas pengalaman mengandung makna, bahwa karya seni
yang baik dapat menggetarkan perasaan yang lebih kuat daripada perasaan keseharian pada saat kita
melihat relitas yang sama.

Anda mungkin juga menyukai