Anda di halaman 1dari 12

BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Pendekatan Ekspresif

Penekanan aspek ekspresif karya sastra telah lama dimulai. Pada masa
Yunani dan Romawi penonjolan aspek ekspresif karya sastra telah dimulai
seorang ahli sastra Yunani Kuno, Dionysius Casius Longius, dalam
bukunya On the Sublime (Mana Sikana, dalam Atmazaki, 1990: 32-33).
Menurut Longius karya sastra harus mempunyai gaya bahasa yang baik,
mempunyai falsafah, pemikiran, dan persoalan agung yang penting, harus
mempunyai emosi yang intens dan terpelihara serta tahan menghadapi zaman.
Kenyataan ini menyebabkan pengarang mesti punya konsep yang jelas dan jauh
dari kebimbangan-kebimbangan yang melanda dirinya.

Bila kemudian Plato mengungkapkan bahwa karya sastra adalah meniru


dan meneladani ciptaan Tuhan, cukupkah sampai di situ peran seorang
pengarang? Ternyata Aristoteles menolak pendapat yang menyatakan bahwa
posisi pengarang hanya berada di bawah Tuhan. Menurutnya, ciptaan Tuhan
hanyalah sebagai tempat bertolak. Pengarang dalam penciptaan karyanya,
dengan daya khayal dan kreativitas yang dipunyainya, justru mampu
menciptakan kenyataan yang lebih kurang terlepas dari kenyataan alami. Dalam
hal ini secara “lancang” menurut Aristoteles (dalam Atmazaki, 1990: 33)
pengarang dengan sombongnya sebagai pencipta telah menyamai Tuhan.

Aspek ekspresif sebagai salah satu pendekatan dalam sastra barangkali lebih
cocok dipakai dalam melihat kebimbangan pengarang dalam berkarya.
Atmazaki (1990: 34-35) mengatakan bahwa pementingan aspek ekspresif ini
disebabkan oleh alasan-alasan berikut:

4
5

1. Pengarang adalah orang pandai. Ia adalah filsuf yang ajarannya dianggap


sebagai filsafat yang menguasai cara berpikir manusia.
2. Kata author berarti pengarang, yang bila ditambah akhiran –
ity berartiberwenang atau berkuasa. Dalam hal ini yang dimaksudkan
sudah tentu penguasaan bahasa, namun menciptakan kenyataan lewat
bahasa yang tidak sama dengan kenyataan alami. Akan tetapi, walaupun
tidak sama kenyataan itu adalah hakiki, kenyataan yang tinggi nilainya,
sehingga orang dapat bercermin dengan kenyataan tersebut.
3. Pengarang adalah orang yang mempunyai kepekaan terhadap persoalan,
punya wawasan kemanusiaan yang tinggi dan dalam. Pengarang punya
pemikiran dan perasaan yang selalu lebih maju, walau dalam masyarakat
hal ini seringkali dianggap membingungkan lantaran rumitnya.

B. Teori Pendekatan Ekspresif


Pendekatan ekspresif merupakan pendekatan yang mengkaji ekspresi
perasaan atau temperamen penulis (Abrams, 1981:189). Menurut Ratna (2012:
68)
Pendekatan ekspresif memiliki sejumlah persamaan dengan pendekatan
biografi dalam hal fungsi dan kedudukan karya sastra sebagai manifestasi
subjek kreator. Apabila wilayah studi biografis terbatas hanya pada diri
penyair dengan kualitas pikiran dan perasaannya, maka wilayah studi
ekspresif adalah diri penyair, pikiran dan perasaan, dan hasil-hasil
ciptaannya.

Pendekatan ekspresif lebih banyak memanfaatkan data sekunder, data yang


sudah diangkat melalui aktivitas pengarang sebagai subjek pencipta. Untuk
menjelaskan hubungan antara pengarang, semesta, pembaca, dan karya sastra.
Hal senada dikemukakan oleh Wiyatmi (2006: 82) “Pendekatan ekspresif
adalah pendekatan yang memandang dan mengkaji karya sastra serta
memfokuskan perhatiannya pada sastrawan selaku pencipta karya sastra”.
Pendekatan ini memandang karya sastra sebagai ekspresi sastrawan melalui
6

curahan perasaan atau luapan perasaan serta pikiran sastrawan (produk


imajinasi sastrawan) yang bekerja dengan persepsi-persepsi, pikiran-pikiran
(perasaan-perasaannya). Pakar lain, (Aminuddin, 1987:42) mengemukakan
“Pendekatan ekspresif adalah suatu pendekatan yang berusaha menemukan
unsur-unsur yang mengajuk emosi atau perasaan pembaca”. Sedangkan
menurut Semi (1984), “Pendekatan ekspresif adalah pendekatan yang
menitikberatkan perhatian kepada upaya pengarang atau penyair
mengekspresikan ide-idenya ke dalam karya sastra”. Tentang pendekatan
ekspresif, Pradopo (1997:193)
Pendekatan ekspresif adalah pendekatan yang menimbang karya sastra
dengan kemulusan, kesejatian, atau kecocokan vision pribadi penyair atau
keadaan pikiran; dan sering pendekatan ini mencari dalam karya sastra
fakta-fakta tentang watak khusus dan pengalaman-pengalaman penulis,
yang secara sadar ataupun tidak, telah membukakan dirinya dalam
karyanya tersebut

Pendapat para ahli di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa


pendekatan ekspresif adalah pendekatan yang berusaha mengkaji karya sastra
berdasarkan perasaan atau pikiran penulis dalam mengekspresikan ide-idenya
dalam suatu karya sastra.
Berpijak dari pendapat di atas, keterkaitan pendekatan ekspresif dalam
analsis sebuah puisi yang berdasarkan ungkpan dari diri penyair, pikiran
(perasaan), dan hasil karyanya termuat dalam bentuk puisi yakni.

1. Bunyi
Dalam puisi bunyi bersifat estetik, merupakan unsur puisi untuk mendapatkan
keindahan dan tenaga ekspresif. Bunyi ini erat hubungannya dengan anasir-
anasir musik, misalnya: lagu, melodi, irama, dan sebagainya. Bunyi disamping
hiasan dalam puisi mempunyai tugas yang lebih penting lagi, yaitu untuk
memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, dan menimbulkan bayangan angan
7

yang jelas, menimbulkan suasana yang khusus, dan sebagainya (Pradopo, 2009:
22).
Aminuddin, (2013: 137) membagi unsur bunyi di antaranya rima, irama
dan ragam bunyi.
a. Rima merupakan bunyi yang berselang/berulang, baik di dalam larik puisi
maupun pada akhir larik-larik puisi, rima terdiri dari (1) asonansi atau
runtun vokal; (2) aliterasi atau runtun konsonan; (3) rima akhir; (4) rima
dalam; (5) rima rupa; (6) rima identik; dan (7) rima sempurna.
b. Irama merupakan paduan bunyi yang mengandung unsur musikalitas, baik
berupa alunan keras-lunak, tinggi-rendah, panjang-pendek, dan kuat-lemah
yang keseluruhannya mampu menumbuhkan kemerduan, kesan suasana
serta nuansa makna tertentu.
c. Ragam bunyi meliputi bunyi euphony, bunyi cacophony dan anomathope.
Euphony, yakni berupa bunyi-bunyi vokal.
Cacophony, yakni berupa bunyi-bunyi konsonan yang terletak pada akhir
kata.
Anomathope, yakni berupa bunyi-bunyi binatang.

2. Gaya bahasa
Gaya bahasa merupakan cara untuk menyampaikan pikiran atau perasaan
yang dapat menimbulkan gaya bahasa. Menurut Slametmuljana (dalam
Pradopo, 2009: 93) gaya bahasa ialah susunan perkataan yang terjadi karena
perasaan yang timbul atau hidup dalam hati penulis, memunculkan suatu
perasaan tertentu dari pembaca.
Istilah gaya dalam karya sastra menurut Aminuddin (2013: 72) merupakan
cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan
makna bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan
suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca. Di dalam
gaya bahasa itu sendiri membicarakan tentang: (1) masalah media berupa kata
8

dan kalimat, (2) masalaah gaya itu sendiri, baik dengan hubungan makna dan
nuansa maupun keindahannya, serta (3) seluk-beluk ekspresi pengarangnya
sendiri yang akan berhubungan erat dengan masalah individual kepengarangan
maupun konteks sosial-masyarakat yang melatarbelakanginya.

3. Retoris (Retorika)
Sarana retoris merupakan sarana kepuitisan yang berupa muslihat pikiran
(Altenbernad, 1970). Dengan muslihat itu para penyair menarik perhatian dan
pikiran hingga pembaca berkontemplasi atas apa yang dikemukakan penyair.
Pada umumnya sarana retorika ini menimbulkan ketegangan puitis karena
pembaca harus memikirkan efek apa yang ditimbulkan dan dimaksudkan oleh
penyairnya (lihat Pradopo, 2009: 94).
Adapun jenis retoris yang biasa digunakan dalam mengeksprisikan suatu
karya sastra, diantaranya:
1) Tautologi ialah sarana retorika yang menyatakan hal atau keadaan dua kali;
maksudnya adalah supaya arti kata atau keadaan itu lebih mendalam bagi
pembaca atau pendengar.
2) Pleonasme (keterangan berulang) ialah sarana retorika yang sepintas lalu
seperti tautology, tetapi kata yang kedua sebenarnya telah tersimpul dalam
kata yang pertama. Seperti pada ungkapan “naik meninggi”, turun
melembah jauh ke bawah”.
3) Enumerasi ialah sarana retorika yang berupa pemecahan suatu hal atau
keadaan menjadi beberapa bagian dengan tujuan agar hal atau keadaan itu
lebih jelas dan nyata bagi pembaca atau pendengar.
4) Paralelisme (persejajaran) ialah mengulang isi kalimat yang maksud
tujuannya serupa. Kalimat yang berikut hanya dalam satu atau dua kata
berlainan dari kalimat yang mendahuluinya.
5) Retorik retisense ialah sarana yang menggunakan titik banyak untuk
mengganti perasaan yang terungkap seperti halnya puisi romantik.
9

4. Kiasan
Kiasan pertama-tama dibentuk berdasarkan perbandingan atau persamaan.
Dalam http://wikipedia.org/wiki/kiasan dijelaskan bahwa kiasan adalah kata-
kata yang berbunga-bunga, bukan dalam arti kata yang sebenarnya. Kata kiasan
dipakai untuk memberi rasa keindahan dan penekanan pada pentingnya hal
yang disampaikan”. Menurut Pradopo (2009: 61) “Adanya bahasa kiasan ini
menyebabkan sajak menjadi menarik perhatian, menimbulkan kejelasan
gambaran angan. Bahasa kiasan ini menjelaskan atau mempersamakan sesuatu
hal dengan hal lain supaya gambaran menjadi jelas, lebih menarik, dan hidup”.
Menurut Altenbernd (lihat Pradopo, 2009: 62) bahasa kiasan ada
bermacam-macam, namun meskipun bermacam-macam, mempunyai suatu hal
(sifat) yang umum, yaitu bahasa-bahasa tersebut mempertalikan sesuatu dengan
cara menghubungkannya dengan susuatu yang lain. Adapun jenis bahasa kiasan
tersebut:
1) Perbandingan (semile) merupakan bahasa kiasan yang menyamakan suatu
hal dengan hal lain dengan mempergunakan kata-kata pembanding seperti.
Bagai, sebagai, bak, seperti, semisal, dan lain-lain.
2) Metafora merupakan bahasa kiasan seperti perbandingan, hanya tidak
mempergunakan kata-kata pembanding, seperti: bagai, laksana, seperti dan
sebagainya. Metafora ini menyatakan sesuatu sebagai hal lain, yang
sesungguhnya tidak sama, Becker dan Altenbernd (lihat Pradopo, 2009:66)
3) Perumpamaan Epos (epic semile) ialah perumpamaan yang dilanjutkan,
atau diperpanjang, yaitu bentuk dengan cara melanjutkan sifat-sifat
pembandingnya lebih lanjut dalam kalimat-kalimat atau frase-frase yang
berturut-turut (Pradopo, 2009: 69).
4) Allegori, ialah cerita kiasan ataupun lukisan kiasan. Cerita kiasan atau
lukisan kiasan ini mengiaskan hal lain atau kejadian lain. Seperti pada
ungkapan“kehidupan lama yang beku, tidak mengalir”(Pradopo, 2009:71)
10

5) Personifikasi, ialah kisan yang mempersamakan benda dengan manusia,


benda-benda mati dibuat menjadi dapat berbuat, berpikir, dan sebagainya
seperti manusia (Pradopo, 2009:75)
6) Metonimia, ialah kiasan pengganti nama. Kiasan bahasa ini berupa
penggunaan sebuah atribut sebuah objek atau penggunaan sesuatu yang
sangat dekat berhubungan dengannya untuk menggantikan objek tersebut.
Altenbernd (lihat Pradopo, 2009: 77)
7) Sinekdoki, ialah bahasa kiasan yang menyebutkan suatu bagian yang
penting suatu benda (hal) untuk benda atau hal itu sendiri.

C. Langkah-Langkah Penerapan Pendekatan Ekspresif

Berikut ini merupakan langkah-langkah dalam mengapresiasi puisi dengan


menggunakan pendekatan ekspresif.

1. Menentukan puisi yang akan diapresiasi

Puisi yang akan diapresiasi ditentukan berdasarkan keinginan dan


pengetahuan yang kita miliki.

2. Membaca puisi tersebut secara berulang-ulang dan menghayatinya

Dengan membaca puisi secara berulang-ulang pembaca akan dapat


memahami dan menghayati makna puisi.

3. Mengapresiasi puisi dan menemukan keindahannya

Dalam mengapresiasi puisi dan menemukan keindahannya, pembaca akan


menggunakan pengetahuannya yang berhubungan dengan apresiasi puisi
secara ekspresif. Pembaca menandai bagian puisi yang dianggap terdapat
keindahan di dalamnya.
11

4. Mencatat hasil akhir apresiasi puisi berupa simpulan

Hasil dari langkah ketiga ditulis dalam bentuk simpulan, yang di dalamnya
harus sesuai dengan analisis pada langkah ketiga

D. Contoh Analisis Pendekatan Ekspresif Pada Puisi “Hanya Satu”


KaryaAmir Hamzah

Puisi “Hanya Satu” Hanya Satu”


Karya Amir Hamzah

Thursday, May 8, 2014


Timbul niat dalam kalbumu
Terban hujan, ungkai badai
Terendam karam
Runtuh ripuk tamanmu rampak

Manusia kecil lintang pukang


Lari terbang jatuh duduk
Air naik tetap terus
Tumbang bungkar pokok purba

Teriak riuh redam terbelam


Dalam gegap gempita guruh
Kilau kilat membelah gelap
Lidah api menjulang tinggi

Terapung naik jung bertudung


12

Tempat berteduh nuh kekasihmu


\Bebas lepas lelang lapang
Di tengah gelisah, swara sentosa

***

Bersemayam sempana di jemala gembala


Duriat jelita bapakku Ibrahim
Keturunan intan dua cahaya
Pancaran putera berlainan bunda .

Kini kami bertikai pangkai


Di antara dua, mana mutiara
Jauhari ahli lalai menilai
Lengah langsung melewat abad.

Aduh kekasihku
Padaku semua tiada berguna
Merasa dikau dekat rapat
Serupa Musi di puncak Tursina.

Hasil Analisis:
Timbul niat dalam kalbumu. (asonansi, tautologi)
Terbang hujan, ungkai badai (asonansi, citra gerak, aliterasi)
Terendam karam (aliterasi)
Runtuh ripuk tamanmu rampak (Sinekdok, asonansi, aliterasi)

Manusia kecil lintang pukang (diksi, sengau)


Lari terbang jatuh duduk (metafora, citra gerak)
13

Air naik tetap terus (asonansi, citra grak)


Tumbang bungkar pokok purba (asonansi /u/ sinekdok, sengau)

Terika riuh redam terbelam (aliterasi /m/, )


Dalam gagap gempita guruh (cachophony /g/)
Kilau kilat membelah gelap (asonansi /e/ dan /i/ )
Lidah api menjulang tinggi (personifikasi, asonansi /i/)

Terapung naik Jung bertudung ( euponi /ng/, pleonasme)


Tempat berteduh nuh kekasihmu (allegori, asonansi)
Bebas lepas lelang lapang (asonansi, euponi, pleonasme)
Di tengah gelisah, swara sentosa (aliterasi, asonansi)

Bersemayam sempana di jemala gembala (asonansi, diksi)


Juriat julita bapaku iberahim (rima rupa /at dan ta)
Keturunan intan dua cahaya (aliterasi /n/, metafora)
Pancaran putera berlainan bunda (asonansi)

Kini kami bertikai pangkai (asonansi, tautologi)


Di antara dua, mana mutiara (asonansi, Enumerasi )
Jauhari ahli lalai menilai (asonansi, sengau, allegori)
Lengah langsung melewat abad (asonansi, sengau, tautologi )

Aduh kekasihku (retorik retisense)


padaku semua tiada berguna (ritesense, asonansi)
Hanya satu kutunggu hasrat (enumerasi,)
Merasa dikau dekat rapat (asonansi, enumerasi)
Serupa musa di puncak tursina (perbandingan (semile), asonansi)
14

Hasil analisis puisi “Hanya Satu” karya karya Amir Hamzah memiliki
keindahan dari segi bunyi, irama, diksi, majas, gaya bahasa, dan citraan.
Sedangkan dari segi tipografinya biasa saja. Dari bunyi-bunyi yang ditemukan
dalam puisi di atas menimbulkan bunyi-bunyi yang merdu dan berirama
(Euphony dan cacophony). Bunyi yang merdu itu membentuk suasana yang
diwarnai kasih sayang.
Sajak di atas menggunakan kosa kata yang biasa dalam pemakaian sehari-hari
meskipun terkadang kata-kata tersebut terasa asing karena pengarang bertujuan
untuk menciptakan suatu keindahan akan tetapi kata-kata tersebut merupakan
perbendaharaan dasar hingga menjadi abadi dalam arti dapat dipahami
sepanjang masa, tidak hilang atau menjadi kabur maknanya. Kata-kata seperti
lintang pukang: Terika riuh, jemala Juriat, Jauhari, ripuk, rampak, dan tursina
(sebuah bukit yang berada pada dataran mesir).
Majas yang digunakan dalam puisi ini berupa majas metafora perbandingan
(semile), allegori, dan personifikasi. Metafora: terdapat pada bait ke 2 baris ke
2, bait ke 4 baris ke 3. Perbandingan yang mengiaskan pada bait bait ke 7 baris
ke 5. Alegori pada bait ke 4 baris ke 2, bait ke 6 baris ke 3. Personifikasi pada
bait ke 3 baris ke 4.
Sarana-sarana retorika yang dikombinasikan utuk memperkuat efek dalam
sajak ini pada umumnya untuk mempertegas. Di samping membuat lirik karena
iramanya yang mengalun oleh ulangan-ulangan bunyi yang teratur.
Dipergunakan tautologi, aliterasi, pleonasme, paralelisme, dan enumerasi
(penjumlahan yang saling dikombinasikan).
Citra gerak terdapat pada bait kesatu, bait kedua, seperti pada ungkapan
“Terbang hujan, ungkai badai”; “Lari terbang jatuh duduk” “Air naik tetap
terus”. Kata terbang menujukan suatu tindakan dalam suatu pergerakan tubuh
atau benda yang bergerak melayang, serta pada lari terbang kata lari terbang
menunjukkan esesnsi pergerakan dengan berlari dan terbang, begitu juga
15

dengan kata air naik, kata ini menunjukan suatu aktifitas pergerakan dari bawah
ke atas, ini menunjukan suatu pergerakan.

Anda mungkin juga menyukai