PEMBAHASAN
Penekanan aspek ekspresif karya sastra telah lama dimulai. Pada masa
Yunani dan Romawi penonjolan aspek ekspresif karya sastra telah dimulai
seorang ahli sastra Yunani Kuno, Dionysius Casius Longius, dalam
bukunya On the Sublime (Mana Sikana, dalam Atmazaki, 1990: 32-33).
Menurut Longius karya sastra harus mempunyai gaya bahasa yang baik,
mempunyai falsafah, pemikiran, dan persoalan agung yang penting, harus
mempunyai emosi yang intens dan terpelihara serta tahan menghadapi zaman.
Kenyataan ini menyebabkan pengarang mesti punya konsep yang jelas dan jauh
dari kebimbangan-kebimbangan yang melanda dirinya.
Aspek ekspresif sebagai salah satu pendekatan dalam sastra barangkali lebih
cocok dipakai dalam melihat kebimbangan pengarang dalam berkarya.
Atmazaki (1990: 34-35) mengatakan bahwa pementingan aspek ekspresif ini
disebabkan oleh alasan-alasan berikut:
4
5
1. Bunyi
Dalam puisi bunyi bersifat estetik, merupakan unsur puisi untuk mendapatkan
keindahan dan tenaga ekspresif. Bunyi ini erat hubungannya dengan anasir-
anasir musik, misalnya: lagu, melodi, irama, dan sebagainya. Bunyi disamping
hiasan dalam puisi mempunyai tugas yang lebih penting lagi, yaitu untuk
memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, dan menimbulkan bayangan angan
7
yang jelas, menimbulkan suasana yang khusus, dan sebagainya (Pradopo, 2009:
22).
Aminuddin, (2013: 137) membagi unsur bunyi di antaranya rima, irama
dan ragam bunyi.
a. Rima merupakan bunyi yang berselang/berulang, baik di dalam larik puisi
maupun pada akhir larik-larik puisi, rima terdiri dari (1) asonansi atau
runtun vokal; (2) aliterasi atau runtun konsonan; (3) rima akhir; (4) rima
dalam; (5) rima rupa; (6) rima identik; dan (7) rima sempurna.
b. Irama merupakan paduan bunyi yang mengandung unsur musikalitas, baik
berupa alunan keras-lunak, tinggi-rendah, panjang-pendek, dan kuat-lemah
yang keseluruhannya mampu menumbuhkan kemerduan, kesan suasana
serta nuansa makna tertentu.
c. Ragam bunyi meliputi bunyi euphony, bunyi cacophony dan anomathope.
Euphony, yakni berupa bunyi-bunyi vokal.
Cacophony, yakni berupa bunyi-bunyi konsonan yang terletak pada akhir
kata.
Anomathope, yakni berupa bunyi-bunyi binatang.
2. Gaya bahasa
Gaya bahasa merupakan cara untuk menyampaikan pikiran atau perasaan
yang dapat menimbulkan gaya bahasa. Menurut Slametmuljana (dalam
Pradopo, 2009: 93) gaya bahasa ialah susunan perkataan yang terjadi karena
perasaan yang timbul atau hidup dalam hati penulis, memunculkan suatu
perasaan tertentu dari pembaca.
Istilah gaya dalam karya sastra menurut Aminuddin (2013: 72) merupakan
cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan
makna bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan
suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca. Di dalam
gaya bahasa itu sendiri membicarakan tentang: (1) masalah media berupa kata
8
dan kalimat, (2) masalaah gaya itu sendiri, baik dengan hubungan makna dan
nuansa maupun keindahannya, serta (3) seluk-beluk ekspresi pengarangnya
sendiri yang akan berhubungan erat dengan masalah individual kepengarangan
maupun konteks sosial-masyarakat yang melatarbelakanginya.
3. Retoris (Retorika)
Sarana retoris merupakan sarana kepuitisan yang berupa muslihat pikiran
(Altenbernad, 1970). Dengan muslihat itu para penyair menarik perhatian dan
pikiran hingga pembaca berkontemplasi atas apa yang dikemukakan penyair.
Pada umumnya sarana retorika ini menimbulkan ketegangan puitis karena
pembaca harus memikirkan efek apa yang ditimbulkan dan dimaksudkan oleh
penyairnya (lihat Pradopo, 2009: 94).
Adapun jenis retoris yang biasa digunakan dalam mengeksprisikan suatu
karya sastra, diantaranya:
1) Tautologi ialah sarana retorika yang menyatakan hal atau keadaan dua kali;
maksudnya adalah supaya arti kata atau keadaan itu lebih mendalam bagi
pembaca atau pendengar.
2) Pleonasme (keterangan berulang) ialah sarana retorika yang sepintas lalu
seperti tautology, tetapi kata yang kedua sebenarnya telah tersimpul dalam
kata yang pertama. Seperti pada ungkapan “naik meninggi”, turun
melembah jauh ke bawah”.
3) Enumerasi ialah sarana retorika yang berupa pemecahan suatu hal atau
keadaan menjadi beberapa bagian dengan tujuan agar hal atau keadaan itu
lebih jelas dan nyata bagi pembaca atau pendengar.
4) Paralelisme (persejajaran) ialah mengulang isi kalimat yang maksud
tujuannya serupa. Kalimat yang berikut hanya dalam satu atau dua kata
berlainan dari kalimat yang mendahuluinya.
5) Retorik retisense ialah sarana yang menggunakan titik banyak untuk
mengganti perasaan yang terungkap seperti halnya puisi romantik.
9
4. Kiasan
Kiasan pertama-tama dibentuk berdasarkan perbandingan atau persamaan.
Dalam http://wikipedia.org/wiki/kiasan dijelaskan bahwa kiasan adalah kata-
kata yang berbunga-bunga, bukan dalam arti kata yang sebenarnya. Kata kiasan
dipakai untuk memberi rasa keindahan dan penekanan pada pentingnya hal
yang disampaikan”. Menurut Pradopo (2009: 61) “Adanya bahasa kiasan ini
menyebabkan sajak menjadi menarik perhatian, menimbulkan kejelasan
gambaran angan. Bahasa kiasan ini menjelaskan atau mempersamakan sesuatu
hal dengan hal lain supaya gambaran menjadi jelas, lebih menarik, dan hidup”.
Menurut Altenbernd (lihat Pradopo, 2009: 62) bahasa kiasan ada
bermacam-macam, namun meskipun bermacam-macam, mempunyai suatu hal
(sifat) yang umum, yaitu bahasa-bahasa tersebut mempertalikan sesuatu dengan
cara menghubungkannya dengan susuatu yang lain. Adapun jenis bahasa kiasan
tersebut:
1) Perbandingan (semile) merupakan bahasa kiasan yang menyamakan suatu
hal dengan hal lain dengan mempergunakan kata-kata pembanding seperti.
Bagai, sebagai, bak, seperti, semisal, dan lain-lain.
2) Metafora merupakan bahasa kiasan seperti perbandingan, hanya tidak
mempergunakan kata-kata pembanding, seperti: bagai, laksana, seperti dan
sebagainya. Metafora ini menyatakan sesuatu sebagai hal lain, yang
sesungguhnya tidak sama, Becker dan Altenbernd (lihat Pradopo, 2009:66)
3) Perumpamaan Epos (epic semile) ialah perumpamaan yang dilanjutkan,
atau diperpanjang, yaitu bentuk dengan cara melanjutkan sifat-sifat
pembandingnya lebih lanjut dalam kalimat-kalimat atau frase-frase yang
berturut-turut (Pradopo, 2009: 69).
4) Allegori, ialah cerita kiasan ataupun lukisan kiasan. Cerita kiasan atau
lukisan kiasan ini mengiaskan hal lain atau kejadian lain. Seperti pada
ungkapan“kehidupan lama yang beku, tidak mengalir”(Pradopo, 2009:71)
10
Hasil dari langkah ketiga ditulis dalam bentuk simpulan, yang di dalamnya
harus sesuai dengan analisis pada langkah ketiga
***
Aduh kekasihku
Padaku semua tiada berguna
Merasa dikau dekat rapat
Serupa Musi di puncak Tursina.
Hasil Analisis:
Timbul niat dalam kalbumu. (asonansi, tautologi)
Terbang hujan, ungkai badai (asonansi, citra gerak, aliterasi)
Terendam karam (aliterasi)
Runtuh ripuk tamanmu rampak (Sinekdok, asonansi, aliterasi)
Hasil analisis puisi “Hanya Satu” karya karya Amir Hamzah memiliki
keindahan dari segi bunyi, irama, diksi, majas, gaya bahasa, dan citraan.
Sedangkan dari segi tipografinya biasa saja. Dari bunyi-bunyi yang ditemukan
dalam puisi di atas menimbulkan bunyi-bunyi yang merdu dan berirama
(Euphony dan cacophony). Bunyi yang merdu itu membentuk suasana yang
diwarnai kasih sayang.
Sajak di atas menggunakan kosa kata yang biasa dalam pemakaian sehari-hari
meskipun terkadang kata-kata tersebut terasa asing karena pengarang bertujuan
untuk menciptakan suatu keindahan akan tetapi kata-kata tersebut merupakan
perbendaharaan dasar hingga menjadi abadi dalam arti dapat dipahami
sepanjang masa, tidak hilang atau menjadi kabur maknanya. Kata-kata seperti
lintang pukang: Terika riuh, jemala Juriat, Jauhari, ripuk, rampak, dan tursina
(sebuah bukit yang berada pada dataran mesir).
Majas yang digunakan dalam puisi ini berupa majas metafora perbandingan
(semile), allegori, dan personifikasi. Metafora: terdapat pada bait ke 2 baris ke
2, bait ke 4 baris ke 3. Perbandingan yang mengiaskan pada bait bait ke 7 baris
ke 5. Alegori pada bait ke 4 baris ke 2, bait ke 6 baris ke 3. Personifikasi pada
bait ke 3 baris ke 4.
Sarana-sarana retorika yang dikombinasikan utuk memperkuat efek dalam
sajak ini pada umumnya untuk mempertegas. Di samping membuat lirik karena
iramanya yang mengalun oleh ulangan-ulangan bunyi yang teratur.
Dipergunakan tautologi, aliterasi, pleonasme, paralelisme, dan enumerasi
(penjumlahan yang saling dikombinasikan).
Citra gerak terdapat pada bait kesatu, bait kedua, seperti pada ungkapan
“Terbang hujan, ungkai badai”; “Lari terbang jatuh duduk” “Air naik tetap
terus”. Kata terbang menujukan suatu tindakan dalam suatu pergerakan tubuh
atau benda yang bergerak melayang, serta pada lari terbang kata lari terbang
menunjukkan esesnsi pergerakan dengan berlari dan terbang, begitu juga
15
dengan kata air naik, kata ini menunjukan suatu aktifitas pergerakan dari bawah
ke atas, ini menunjukan suatu pergerakan.