Anda di halaman 1dari 10

Nama : Dwi Ratna Wulandari Bahasa Indonesia

Kelas : X MIPA 2

1. Sebutkan dan jelaskan unsur-unsur batin puisi?


Jawaban:
Ada empat unsur struktur batin puisi menurut teori I.A.Richard yang
terdapat dalam buku Djojosuroto (2006 : 23). Yaitu sebagai berikut:
a. Tema
Tema adalah gagasan pokok yang dikemukakan penyair lewat
puisinya. Tema puisinya biasanya mengungkapkan persoalan manusia
yang bersifat hakiki, seperti : cinta kasih, ketakutan, kebahagiaan,
kedukaan, kesengsaraan hidup, keadilan dan kebenaran, ketuhanan,
kritik sosial dan protes.
b. Nada
Nada adalah sikap penyair terhadap pokok persoalan (feeling) dan
sikap penyair terhadap pembaca (tone). Nada seringkali dikaitkan
dengan suasana.
c. Perasaan
Perasaan adalah rasa penyair yang diungkapkan dalam puisi. Puisi
biasanya mengungkapkan perasaan gembira, sedih, cinta, dendam, dan
sebagainya. Perasaan yang diungkapkan penyair bersifat total, artinya
tidak setengah-setengah.
d. Amanat
Amanat merupakan pesan atau himbauan yang disampaikan penyair
kepada pembaca. Amanat sebuah puisi dapat ditafsirkan secara
individual dari setiap pembaca. Pembaca yang satu mungkin
menafsirkan amanat sebuah puisi berbeda dengan pembaca yang lain.
Tafsiran pembaca mengenai amanat sebuah puisi tergantung dari sikap
pembaca itu terhadap tema yang dikemukakan penyair.

2. Sebutkan dan jelaskan unsur-unsur struktur lahir puisi?


Jawaban:
a. Diksi (Pilihan Kata)
Diksi atau pilihan kata mempunyai peranan penting dan utama untuk
mencapai keefektifan dalam penulisan suatu karya sastra. Untuk
mencapai diksi yang baik seorang penulis harus memahami secara
lebih baik masalah kata dan 21 maknanya, harus tahu memperluas dan
mengaktifkan kosa kata, harus mampu memilih kata yang tepat, kata
yang sesuai dengan situasi yang dihadapi.
b. Bahasa Kias (Pemajasan)
Bahasa kias atau Figurative Language merupakan penyimpangan dari
pemakaian bahasa yang biasa, yang makna katanya atau rangkaian
katanya digunakan dengan tujuan mencapai tujuan tertentu. Bahasa
kias sebagai salah satu kepuitisan berfungsi agar sesuatu yang
digambarkan dalam puisi menjadi jelas, hidup, intensif, dan menarik.
Bahasa kias memiliki beberapa jenis, yaitu peronifikasi, metafora,
perupamaan atau simile, metonimia, sinekdok, dan alegori.
 Peronifikasi
personifikasi adalah keadaan atau peristiwa alam sering
dikiaskan sebagai keadaan atau peristiwa yang dialami oleh
manusia. Dalam hal ini benda mati dianggap sebagai manusia
atau person, atau di “personifikasi” kan. Hal ini digunakan
untuk memperjelas penggambaran peristiwa dan keadaan itu.
 Metafora
Metafora adalah kiasan yang menyatakan sesuatu hal yang
sebanding dengan hal lain, yang sesungguhnya tidak sama.
 Perupamaan atau Simile
Perbandingan atau simile adalah kiasan yang menyatakan
benda yang dikiaskan kedua-duanya ada bersama pengiasanya
dan digunakan kata-kata seperti, laksana, bagaikan, bagai, bak,
dan sebagainya.
 Metonimi
Metonimi merupakan pemanfaatan ciri atau sifat sesuatu hal
yang erat hubungannya dengan hal tersebut.
 Sinekdoki
Sebaliknya, ungkapan bahasa itu disebut sinekdoki jika
penggunaan bagian-bagian dari sesuatu hal dimaksudkan untuk
mewakili keseluruhan hal itu. Dalam kenyataanya, kedua jenis
bahasa kias tersebut banyak persamaanya sehingga tidak
penting untuk membedakannya.
c. Citraan (Pengimajian)
Citraan atau imaji (image) adalah gambaran-gambaran angan,
gambaran pikiran, kesan mental atau bayangan visual dan bahasa yang
menggambarkannya. Untuk memberi gambaran yang jelas,
menimbulkan suasana yang khusus, membuat hidup (lebih hidup)
gambaran dalam pikiran dan penginderaan, untuk menarik perhatian,
untuk memberikan kesan mental atau bayangan visual penyair
menggunakan gambaran-gambaran angan.
d. Bunyi
Bunyi dalam puisi bersifat estetik, yaitu untuk mendapatkan keindahan
dan tenaga ekspresif. Bunyi selain hiasan dalam puisi, juga
mempunyai tugas yang lebih penting lagi, yaitu untuk memperdalam
ucapan, menimbulkan rasa, menimbulkan suasana yang khusus, dan
sebagainya. Pentingnya peranan bunyi dalam kasusasteraan
menyebabkan bunyi menjadi salah satu unsur puisi yang paling utama.
e. Tipografi
tipografi merupakan pembeda yang paling awal dapat dilihat dalam
membedakan puisi dengan prosa fiksi dan drama. Karena itu, ia
merupakan pembeda yang sangat penting. Tipografi adalah bentuk
visual puisi yang berupa tata huruf dan tata baris dalam karya puisi.
merumuskan tipografi sebagai ukiran bentuk; ialah susunan baris-baris
atau bait-bait suatu puisi. Termasuk ke dalam tipografi ialah
penggunaan huruf-huruf untuk menuliskan kata-kata suatu puisi.

3. Permajasan (cari dan tentukan majas-majas berikut):


Jawaban:
a. Majas Perbandingan
 Alegori: Menyatakan dengan cara lain, melalui kiasan atau
penggambaran.
 Alusio: Pemakaian ungkapan yang tidak diselesaikan karena sudah
dikenal.
 Simile: Pengungkapan dengan perbandingan eksplisit yang dinyatakan
dengan kata depan dan pengubung, seperti layaknya, bagaikan, dll.
 Metafora: Pengungkapan berupa perbandingan analogis dengan
menghilangkan kata seperti layaknya, bagaikan, dll.
 Antropomorfisme: Metafora yang menggunakan kata atau bentuk lain
yang berhubungan dengan manusia untuk hal yang bukan manusia.
 Sinestesia: Majas yang berupa suatu ungkapan rasa dari suatu indra
yang dicurahkan lewat ungkapan rasa indra lainnya.
 Antonomasia: Penggunaan sifat sebagai nama diri atau nama diri lain
sebagai nama jenis.
 Aptronim: Pemberian nama yang cocok dengan sifat atau pekerjaan
orang.
 Metonimia: Pengungkapan berupa penggunaan nama untuk benda lain
yang menjadi merek, ciri khas, atau atribut.
 Hipokorisme: Penggunaan nama timangan atau kata yang dipakai
untuk menunjukkan hubungan karib.
 Litotes: Ungkapan berupa penurunan kualitas suatu fakta dengan
tujuan merendahkan diri.
 Hiperbola: Pengungkapan yang melebih-lebihkan kenyataan sehingga
kenyataan tersebut menjadi tidak masuk akal.
 Personifikasi: Pengungkapan dengan menggunakan perilaku manusia
yang diberikan kepada sesuatu yang bukan manusia.
 Depersonifikasi: Pengungkapan dengan tidak menjadikan benda-
benda mati atau tidak bernyawa.
 Pars pro toto: Pengungkapan sebagian dari objek untuk menunjukkan
keseluruhan objek.
 Totem pro parte: Pengungkapan keseluruhan objek padahal yang
dimaksud hanya sebagian.
 Eufimisme: Pengungkapan kata-kata yang dipandang tabu atau dirasa
kasar dengan kata-kata lain yang lebih pantas atau dianggap halus.
 Disfemisme: Pengungkapan pernyataan tabu atau yang dirasa kurang
pantas sebagaimana adanya.
 Fabel: Menyatakan perilaku binatang sebagai manusia yang dapat
berpikir dan bertutur kata.
 Parabel: Ungkapan pelajaran atau nilai tetapi dikiaskan atau
disamarkan dalam cerita.
 Perifrase: Ungkapan yang panjang sebagai pengganti ungkapan yang
lebih pendek.
 Eponim: Menjadikan nama orang sebagai tempat atau pranata.
Simbolik: Melukiskan sesuatu dengan menggunakan simbol atau
lambang untuk menyatakan maksud.
 Asosiasi: perbandingan terhadap dua hal yang berbeda, namun
dinyatakan sama.
Contoh:
“Banyak mahasiswa yang mencoba memperebutkan mawar fakultas
Ilmu Pengetahuan Budaya itu.”
Pada kalimat di atas, kata mawar digunakan untuk menyebut gadis. Ini
berarti, keduanya diperbandingkan.
Komponen makna penyama: cantik / indah, segar, harum, berduri,
cepat layu.
Komponen makna pembeda: untuk “gadis” adalah manusia, berjenis
wanita, untuk “mawar” adalah bagian dari tanaman.
b. Majas Pertentangan
 Paradoks: Pengungkapan dengan menyatakan dua hal yang seolah-
olah bertentangan, namun sebenarnya keduanya benar.
 Oksimoron: Paradoks dalam satu frase.
 Antitesis: Pengungkapan dengan menggunakan kata-kata yang
berlawanan arti satu dengan yang lainnya.
 Kontradiksi interminus: Pernyataan yang bersifat menyangkal yang
telah disebutkan pada bagian sebelumnya.
 Anakronisme: Ungkapan yang mengandung ketidaksesuaian dengan
antara peristiwa dengan waktunya.
Contoh:
“Meskipun hatinya sangat panas, kepalanya tetap dingin”
Leksem panas dan leksem dingin mengandung komponen makna
yang berlawanan. Ujaran itu tampak aneh, luar biasa, karena hati dan
kepala yang dimaksud, berada dalam diri satu orang manusia. Jadi
acuannya tidak sesuai dengan pendapat “umum”.Meskipun demikian,
secara konotatif, hal itu bisa saja terjadi, bahkan seharusnya demikian.
Inilah yang disebut paradoks.
c. Majas Sindiran
 Ironi: Sindiran dengan menyembunyikan fakta yang sebenarnya dan
mengatakan kebalikan dari fakta tersebut.
 Sarkasme: Sindiran langsung dan kasar.
 Sinisme: Ungkapan yang bersifat mencemooh pikiran atau ide bahwa
kebaikan terdapat pada manusia (lebih kasar dari ironi).
 Satire: Ungkapan yang menggunakan sarkasme, ironi, atau parodi,
untuk mengecam atau menertawakan gagasan, kebiasaan, dll.
 Innuendo: Sindiran yang bersifat mengecilkan fakta sesungguhnya.
Contoh:
“Wah, pemerintah sekarang memang sukses, ya!”
“Benarkah pendapatmu demikian?”
“Ya, tentu saja, sukses dalam menaikkan harga-harga!”
Di sini, tampak ada dua petanda. Leksem sukses biasanya
mengandung komponen makna positif, tetapi kadang-kadang juga
dapat mempunyai makna negatif apabila konteks mendukungnya.
Pada ujaran pertama, leksem sukses masih mengandung kemungkinan
bermakna positif (sebagaimana lazimnya), namun pada ujaran yang
ke-3 leksem itu diikuti frasa “menaikkan harga-harga” yang secara
konotatif mempunyai makna negatif. Oposisi makna ini menunjukkan
adanya ironi. Di sini, konteks bersifat tekstual, sehingga tidak
mungkin ada makna pujian. Berkat konteksnya, ujaran yang
mengandung gagasan positif, dapat menyembunyikan makna yang
negatif.
d. Majas Penegasan
 Apofasis: Penegasan dengan cara seolah-olah menyangkal yang
ditegaskan.
 Pleonasme: Menambahkan keterangan pada pernyataan yang sudah
jelas atau menambahkan keterangan yang sebenarnya tidak
diperlukan.
 Repetisi: Perulangan kata, frase, dan klausa yang sama dalam suatu
kalimat.
 Pararima: Pengulangan konsonan awal dan akhir dalam kata atau
bagian kata yang berlainan.
 Aliterasi: Repetisi konsonan pada awal kata secara berurutan.
 Paralelisme: Pengungkapan dengan menggunakan kata, frase, atau
klausa yang sejajar.
 Tautologi: Pengulangan kata dengan menggunakan sinonimnya.
 Sigmatisme: Pengulangan bunyi "s" untuk efek tertentu.
 Antanaklasis: Menggunakan perulangan kata yang sama, tetapi
dengan makna yang berlainan.
 Klimaks: Pemaparan pikiran atau hal secara berturut-turut dari yang
sederhana/kurang penting meningkat kepada hal yang kompleks/lebih
penting.
 Antiklimaks: Pemaparan pikiran atau hal secara berturut-turut dari
yang kompleks/lebih penting menurun kepada hal yang
sederhana/kurang penting.
 Inversi: Menyebutkan terlebih dahulu predikat dalam suatu kalimat
sebelum subjeknya.
 Retoris: Ungkapan pertanyaan yang jawabannya telah terkandung di
dalam pertanyaan tersebut.
 Elipsis: Penghilangan satu atau beberapa unsur kalimat, yang dalam
susunan normal unsur tersebut seharusnya ada.
 Koreksio: Ungkapan dengan menyebutkan hal-hal yang dianggap
keliru atau kurang tepat, kemudian disebutkan maksud yang
sesungguhnya.
 Polisindenton: Pengungkapan suatu kalimat atau wacana,
dihubungkan dengan kata penghubung.
 Asindeton: Pengungkapan suatu kalimat atau wacana tanpa kata
penghubung.
 Interupsi: Ungkapan berupa penyisipan keterangan tambahan di antara
unsur-unsur kalimat.
 Ekskalamasio: Ungkapan dengan menggunakan kata-kata seru.
 Enumerasio: Ungkapan penegasan berupa penguraian bagian demi
bagian suatu keseluruhan.
 Preterito: Ungkapan penegasan dengan cara menyembunyikan maksud
yang sebenarnya.
 Alonim: Penggunaan varian dari nama untuk menegaskan.
 Kolokasi: Asosiasi tetap antara suatu kata dengan kata lain yang
berdampingan dalam kalimat.
 Silepsis: Penggunaan satu kata yang mempunyai lebih dari satu makna
dan yang berfungsi dalam lebih dari satu konstruksi sintaksis.
 Zeugma: Silepsi dengan menggunakan kata yang tidak logis dan tidak
gramatis untuk konstruksi sintaksis yang kedua, sehingga menjadi
kalimat yang rancu.
Contoh:
“Sebagai bupati, Ibu Suharti harus sering turun ke bawah untuk
melihat penderitaan rakyat”
Di sini tampak ada kata turun (yang Pertama muncul). Frasa
preposisional Yang mengikutinya adalah ke bawah. Sebenarnya
makna yang pada frasa ter sebut menunjukkan „arah posisi yang lebih
rendah‟, telah tercakup dalam kata sebelumnya. (bentuk pertama).
Sumber Referensi
Djojosuroto, Kinayati. 2006. Pengajaran Puisi, Analisis dan
Pemahamannya. Bandung: Nuansa.

Anda mungkin juga menyukai