Anda di halaman 1dari 22

TUGAS KELOMPOK

ANALISIS KARYA SASTRA PUISI TUHAN KITA BEGITU DEKAT

KARYA ABDUL HADI W. M

Disusun oleh :

1. Nadya Rozanah (18108241014)

2. Efriezha Ammalia Sulistya Putri (18108244087)

3. Feni Setiorini (18108244090)

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

TAHUN AKADEMIK 2018/2019


A. PENDAHULUAN

Puisi sangat digemari pada tahun 70-an oleh kebanyakan pujangga. Bukti bahwa pusi
sangat digemari oleh para pujangga adalah pada zaman dahulu ada lagu yang liriknya
dimasukkan dari sebuah puisi. Pada saat masa kejayaan puisi, puisi tidak hanya sebgagai
ungkapan perasaan cinta seseorang, tetapi puisi juga mengandung kritik atas sebuah
pemerintahan, untuk orang yang sudah melakukan jasa kepada negara, ataupun untuk
seseorang yang mereka benci.
Pada saat ini pun puisi masih muncul di berbagai media sosial sebagai wujud
pengekspresian manusia, khususnya remaja. Remaja yang biasa menceritakan apa yang
telah mereka rasakan, berusaha mencari alternatif untuk mengungkapkan apa yang
mereka rasakan melalui pilihan-pilihan kata yang indah.
Puisi harus memiliki perpaduan struktur yang tepat agar terciptanya puisi yang indah.
Struktur pembangun puisi dibagi menjadi 2 yaitu struktur fisik puisi dan struktur batin
puisi. Struktur fisik puisi antara lain tipografi, diksi, imaji, kata konkret, bahasa figuratif,
dan verifikasi, sedangkan struktur batin puisi antara lain tema, perasaan, nada dan
suasana, amanat, serta makna.

B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Puisi
Puisi adalah suatu bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan
penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengonsentrasikan semua kekuatan bahasa
dengan pengonsentrasian struktur fisik dan struktur batin. Pengertian lain dari puisi yaitu
merupakan karya sastra yang terikat ketentuan atau syarat tertentu dan pengungkapannya
tidak terperinci, tidak mendetail, atau tidak meluas. Isinya tidak sampai pada hal-hal yang
kecil dan tidak sejelas karya sastra yang berbentuk prosa. Karya sastra puisi merupakan
bentuk karya sastra yang mengungkapkan hal-hal yang pokok dan pengungkapannya
dengan cara pengonsentrasian, pemusatan dan pemadatan. Pengonsentrasian, pemusatan,
dan pemadatan dari segi isi maupun segi bahasa.
Dari segi isi, pemusatannya yaitu pengungkapan peristiwa berpusat pada masalah
yang pokok-pokok saja. Pemadatannya yaitu bentuk yang berupa larik-larik tetapi dapat
mencakup peristiwa yang sangat luas dan sangat mendalam. Sedangkan,
pengonsentrasianya yaitu peristiwa tidak langsung diungkapkan tetapi adanya pemilihan
dan perenungan kembali pada peristiwa yang akan diungkapkan.
Dengan demikian, dalam bentuk puisi peristiwa tidak langsung diungkapkan,
peristiwa tidak diungkpakan secara panjang, lebar, dan tidak asal memasukkan kata-kata
untuk mengungkapkan peristiwa, tetapi peristiwa itu harus perlu pengolahan yang berupa
pengonsentrasian, pemusatan, dan pemadatan.
Dari segi bahasa terdapat pula penghematan, pemadatan, pengonsentrasian, dan
pemusatan. Penghematan bahasa dalam arti penggunaan kata yang sangat mendukung
dan sangat tepat. Pemadatan bahasa dalam arti penggunaan kata tertentu dan terbatas bisa
mewakili peristiwa sangat luas dan mendalam. Sedangkan, pengonsentrasian dan
pemusatan bahasa adalah adanya pertimbangan yang sangat masuk dalam menggunakan
atau memilih kata.

2. Strukur-struktur Puisi
a. Struktur Fisik
1) Topografi (Perwajahan Puisi)
Bentuk puisi seperti halaman yang tidak dipenuhi kata-kata, tepi kanan-kiri,
pengaturan barisnya, hingga baris puisi yang tidak selalu dimulai dengan huruf kapital
dan diakhiri dengan tanda titik.
2) Diksi
Diksi merupakan seleksi kata-kata untuk mengekspresikan ide atau gagasan dan
perasaan. Diksi yang baik adalah pemilihan kata-kata secara efektif dan tepat di dalam
makna serta sesuai dengan tema, audien, dan kejadian (Mihardja, 2012: 36). Menurut
Sayuti (2002: 143), diksi merupakan salah satu unsur yang ikut membangun keberadaan
puisi, berarti pemilihan kata yang dilakukan oleh penyair untuk mengekspresikan
gagasan dan perasaan-perasaan yang bergejolak dan menggejala dalam dirinya.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa diksi adalah pilihan kata yang
tepat dan sesuai untuk mengekspresikan maksud dan gagasan penyair.

3) Imaji
Yaitu kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman indrawi,
seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Imaji dapat dibagi menjadi tiga yaitu
imaji suara (auditif), imaji penglihatan (visual), dan imaji raba atau sentuh (imaji taktil).
Imaji dapat membuat pembaca seakan-akan melihat, mendengar dan merasakan seperti
apa yang dialami penyair. Pengimajian adalah kata atau susunan kata-kata yang dapat
memperjelas konkret apa yang dinyatakan oleh penyair. Melalui pengimajian, apa yang
digambarkan seolah-olah dapat dilihat, didengar atau dirasakan (Waluyo, 2005:10).

4) Kata kongkret
Tujuan penyair mengkonkretkan kata di dalam puisinya adalah agar pembaca dapat
membayangkan dengan lebih hidup apa yang ingin disampaikannya. Pengkonkretan kata
ini sangat penting dalam sebuah puisi supaya pembaca seolah-olah dapat melihat,
mendengar atau merasakan apa yang ingin dinyatakan oleh penyair. Dengan demikian,
pembaca terlihat penuh secara batin ke dalam puisi tersebut. Penyair ingin
menggambarkan sesuatu secara lebih konkret. Oleh karena itu, kata-kata diperkonkret.
Bagi penyair mungkin dirasa lebih jelas karena lebih konkret, namun bagi pembaca
sering lebih sulit ditafsirkan maknanya.

5) Bahasa figuratif
Bahasa yang dapat menghidupkan/meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi
tertentu. Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi prismatis, artinya memancarkan
banyak makna atau kaya akan makna. Bahasa figuratif disebut juga majas. Adapun
macam-macam majas yaitu majas berdasarkan persamaan makna dan pengulangan
makna secara keseluruhan repetisi. Dalam repetisi (pengulangan), seluruh kata (atau
bentuk lain) diulang. Pengulangan ini bisa berupa satu kata saja, dapat berupa satu frasa,
satu klausa, bahkan satu kalimat. Kata yang sama ini mengandung makna dan acuan yang
sama pula, ini berarti bahwa keseluruhan komponen makna antara bentuk pertama dan
pengulangannya sama. Adakalanya pengulangan ini menunjukkan kuantitas, penegasan
gagasan (intensitas) atau mungkin pula demi keindahan.

a) Pengulangan sebagian makna pleonasme


Pleonasme adalah pengulangan dengan penanda yang berbeda. Sebenarnya,
komponen makna yang ada pada kata pertama, telah mencakup wilayah makna kata
(atau bentuk lain) berikutnya. Orang sering mengatakannya sebagai pemakaian kata
yang lewah. Di sini kedua (atau beberapa) kata itu muncul bersama dalam teks.
Dalam wilayah maknanya, tidak ada penambahan atau pengurangan komponen
makna, hanya kesan intensitas saja yang bertambah berkat pemunculan beberapa kata
(bentuk lain), yang mengandung komponen makna yang sama dengan kata (bentuk
lain) yang pertama.

b) Majas berdasarkan perbandingan makna


i. Simile
Dalam simile terdapat dua kata (atau bentuk lainnya) yang masing-masing
menampilkan konsep dan acuan yang berbeda. Menurut pandangan budaya tertentu
antara wilayah makna kedua kata (atau bentuk lainnya) terdapat persamaan
komponen makna, sehingga keduanya bisa dibandingkan. Perbandingan ini tidak
menimbulkan masalah. Majas ini mudah dikenali, karena kedua penanda muncul
bersamaan dan selalu dihubungkan oleh kata pembandingnya. Perbandingan tersebut
bersifat eksplisit.

ii. Metafora
Majas metafora merupakan majas yang mengungkapkan perbandingan analogis
antara dua hal yang berbeda. Beberapa pakar menganggap metafora sebagai
“ratunya” majas, karena bila dilihat proses pembentukannya, banyak jenis majas
lainnya yang dapat dikelompokkan ke dalam jenis majas ini. Sebenarnya menurut
Orrecchioni (1977: 149-156) melihat bentuknya, ada dua macam metafora. Yang
pertama adalah metafora in praesetia, yaitu yang bersifat eksplisit. Di sini kedua
unsur yang dibandingkan muncul, jadi tidak bersifat implisit. Apabila kita
bandingkan aspek makna majas simile dengan metafora asimilasi, akan tampak
perbedaan. Jenis metafora yang lain adalah metafora in absentia, yang dibentuk
berdasarkan penyimpangan makna. Seperti juga pada simile, dalam metafora terdapat
dua kata (atau bentuk lain) yang maknanya dibandingkan. Namun, salah satu unsur
bahasa yang dibandingkan, tidak muncul, bersifat implisit. Sifat implisit ini
menyebabkan adanya perubahan acuan dan penyimpangan makna, sehingga
menimbulkan masalah kolokasi, yaitu kesesuaian makna dari dua atau beberapa
satuan linguistik yang hadir secara berurutan dalam ujaran yang sama.

iii. Personifikasi
Merupakan majas perbandingan yang dengan menganggap benda mati sebagai
penjelmaan manusia yang dapat berbuat seperti manusia.
c) Majas berdasarkan pada oposisi makna
i. Antitese
Antitese adalah oposisi antara dua gagasan, dengan menggunakan dua kata
(bentuk lain) yang disandingkan agar lebih jelas dan menonjol kontrasnya. Kedua
kata (bentuk lain) mengandung makna yang berlawanan dan keduanya muncul
bersama, jadi tidak bersifat implisit.

ii. Paradoks
Paradoks adalah opini atau argumen yang berlawanan dengan pendapat umum,
bisa dianggap aneh atau luar biasa. Dikatakan juga paradoks, suatu proposisi yang
salah tetapi sekaligus juga benar. Sering kali di balik gagasan yang mengherankan,
paradoks menyembunyikan kebenaran yang dapat dipertahankan. Dalam majas ini,
ada dua penanda yang mempunyai makna yang beroposisi. Kedua penanda muncul,
jadi tidak bersifat implisit. Namun, oposisi itu ada dalam makna kata saja, sedangkan
di dalam kehidupan seringkali paradoks itu tidak merupakan oposisi melainkan
menguatkan makna.

iii. Ironi
Dalam ironi, pengujar menyampaikan sesuatu yang sebaliknya dari apa yang
ingin dikatakannya, jadi disini terdapat satu penanda dengan dua kemungkinan
petanda. Ironi mengandung antonimi atau oposisi antara kedua tataran isi. Ironi juga
mengandung kesenjangan yang cukup kuat antara makna harfiah dan makna kiasan.
Maka di dalam ironi terdapat keharusan yang sering bertumpu pada makna inversi
semantis, baik secara keseluruhan maupun sebagian. Hal ini menjadi ciri ironi.
Apabila dilihat dari wilayah maknanya, ironi tidak banyak berbeda dengan majas
pertentangan lainnya. Namun dalam ironi salah satu bentuk (penanda) tidak hadir,
jadi bersifat implisit. Perlu diingat bahwa dalam ironi selalu ada sasaran (bulan-
bulanan), yaitu yang dituju oleh ujaran ironis tadi. Selain itu, pemahaman ironi sangat
tergantung dari konteks (bahkan beberapa ahli bahasa membedakan ironi dari majas
lainnya, karena hal tersebut). Apabila konteks tidak mendukung ironi, maka ujaran
yang mengandung ejekan dapat menjadi pujian.
d) Majas berdasarkan pertautan makna berkat kedekatan acuan
i. Metonimi
Dalam metonimi, pada awalnya, bukan komponen makna yang berperan
melainkan perubahan acuan. Menurut Tutescu (1979: 101-104) berbeda dengan
metafora, yang berlandaskan hubungan persamaan antar unsur-unsur intern bahasa,
metonimi berlandaskan hubungan kontiguitas yang berarti hubungan ekstern. Juga
dikatakannya bahwa bila dalam metafora ada pertemuan/persilangan makna, maka
dalam metonimi terdapat ketercakupan atau kepemilikan bersama keseluruhan
makna.

ii. Sinekdoke
Majas sinekdoke dibedakan menjadi dua yaitu, pars pro toto (majas sinekdoke
yang mengungkapkan sebagian untuk menyatakan keseluruhan) dan totem pro parie
(majas sinekdoke yang mengungkapkan keseluruhan untuk mengaitkan dengan
sebagian dari suatu bagian).

e) Majas yang mengambil bentuk majas lain


i. Hiperbola
Hiperbola adalah ucapan (ungkapan, pernyataan) kiasan yang dibesar-besarkan
(berlebih-lebihan), dimaksudkan untuk memperoleh efek tertentu, bukan yang
sebenarnya. Sebenarnya di dalam hiperbola terdapat dua kata (atau bentuk lain),
penanda dari kata pertama tersembunyi (implisit) dan digantikan oleh yang ke dua,
yaitu kata (atau bentuk lain) yang mempunyai intensitas makna jauh melebihi kata
yang pertama (yang tersembunyi). Kadang-kadang kedua kata yang dibandingkan
muncul bersama, bahkan diantarkan oleh kata pembanding. Sebenarnya hiperbola
sering mengambil proses pembentukan jenis majas yang lain. Kadang-kadang proses
pembentukannya seperti majas perumpamaan, metafora, atau majas lainnya. Yang
penting dalam hiperbola adalah fokus perhatian terletak pada kesan intensitas makna.

ii. Litoses
Kata ini berasal dari bahasa Yunani, dan berarti “kesederhanaan”. Berbeda
dengan hiperbola, majas ini digunakan untuk mengungkapkan pikiran yang
melemahkan nilai si pengujar, jadi untuk menampilkan gagasan tentang sesuatu yang
kuat atau besar dengan ungkapan yang lemah nilainya, dengan tujuan bersopansantun.

iii. Eufemisme
Eufemisme adalah ungkapan yang dihaluskan dalam mengemukakan suatu
gagasan. Hal ini dilakukan apabila ungkapan gagasan tersebut secara langsung, bisa
menimbulkan perasaan yang tidak enak, atau terasa agak kasar. Pemakaian majas ini
termasuk dalam pilihan ragam bahasa. Dalam eufemisme pemakaian kata tertentu
dihindari dan digantikan oleh sinonimnya.

6) Verifikasi
a) Rima, adalah persamaan bunyi pada puisi baik diawal, tengah, dan akhir baris puisi.
Rima menyangkut:
i. Onomatope, adalah kata tiruan bunyi.
ii. Bentuk intern pola bunyi yang terdiri dari aliterasi, asonansi, persamaan akhir,
persamaan awal, sajak berselang, sajak berparuh, sajak penuh, repetisi bunyi
(kata), dan sebagainya.
iii. Pengulangan kata tata ungkapan.

b) Ritma
Adalah alunan yang terjadi karena perulangan dan pergantian kesatuan bunyi.

c) Metrum
Ukuran irama yang ditentukan oleh jumlah dan panjang tekanan suku kata dalam
setiap baris, pergantian naik turun suara secara teratur, dengan pembagian suku kata
yang ditentukan oleh golongan sintaksis.

b. Struktur Batin

1) Tema
Tema adalah gagasan pokok yang dikemukakan oleh penyair melalui puisinya. Tema
mengacu pada penyair. Pembaca harus mengetahui latar belakang penyair agar tidak
salah menafsirkan tema puisi tersebut. Karena itu, tema bersifat khusus (diacu dari
penyair), objektif (semua pembaca harus menafsirkan sama), dan lugas (bukan makna
kias yang diambil dari konotasinya).

2) Rasa
Yaitu sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terdapat dalam puisinya.
Pengungkapan tema dan rasa erat kaitannya dengan latar belakang sosial dan psikologi
penyair, misalnya latar belakang pendidikan, agama, jenis kelamin, kelas sosial,
kedudukan dalam masyarakat, usia, pengalaman sosiologis dan psikologis, dan
pengetahuan. Kedalaman pengungkapan tema dan ketepatan dalam menyikapi suatu
masalah tidak bergantung pada kemampuan penyair memilih kata-kata, rima, gaya
bahasa, dan bentuk puisi saja, tetapi lebih banyak bergantung pada wawasan,
pengetahuan, pengalaman, dan kepribadian yang terbentuk oleh latar belakang sosiologis
dan psikologisnya.

3) Nada
Yaitu sikap penyair terhadap pembacanya. Nada juga berhubungan dengan tema dan
rasa. Penyair dapat menyampaikan tema dengan nada menggurui, mendikte, bekerja sama
dengan pembaca untuk memecahkan masalah, menyerahkan masalah begitu saja kepada
pembaca, dengan nada sombong, menganggap bodoh dan rendah pembaca,nada sinis,
nada protes, nada memberontak, nada main-main, nada serius (sungguh-sungguh), nada
patriotik, nada belas kasih (memelas), nada takut, nada mencekam, nada santai, nada
pesimis, nada humor (bergurau), nada mencemooh, nada kharismatik, dan sebagainya.

4) Amanat
Puisi diciptakan pasti menyampaikan pesan, informasi, pengetahuan, atau menghibur
penikmat puisi. Semakin banyak puisi yang kita baca, semakin banyak pula pengetahuan
dan informasi yang kita peroleh. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa amanat
adalah pesan moral penulis yang disampaiakan kepada pembaca.

3. Jenis-jenis puisi
Berdasarkan perkembangannya dalam sejarah sastra dikenal adanya puisi lama, puisi
modern dan puisi lama.
a. Puisi lama
Puisi lama dibedakan menjadi beberapa jenis antar lain mantera, pantun, talibun, syair,
dan gurindam.
1) Mantera
Mantera adalah jenis puisi yang paling tua dalam sastra. Mantera diciptakan dalam
kepercayaan animisme, dan dinamisme untuk dibacakan dalam acara berburu,
menangkap ikan, mengumpulkan hasil hutan untuk membujuk hantu-hantu yang baik dan
menolak hantu yang jahat (Djamaris, dalam Setyawati dkk, 2004: 211). Mantera memiliki
ciri khas yaitu (1) pemilihan kata sangat saksama, (2) bunyi-bunyi diusahakan berulang-
ulang dengan maksud memperkuat daya sugesti kata, (3) banyak digunakan kata-kata
yang kurang umum dalam kehidupan sehari-hari dengan maksud memperkuat daya
sugesti kata, (4) jika dibaca secara keras mantera menimbulkan efek bunyi yang bersifat
magis, yang diperkuat oleh irama dan metrum yang biasanya hanya dipahami secara
sempurna oleh pawing ahli yang membaca mantera secara keras (Waluyo, 1991: 8).

2) Pantun
Merupakan puisi lama yang memiliki ciri bersajak a b a b, tiap bait terdiri dari empat
baris, dua baris sampiran dan dua baris isi.

3) Talibun
Terdiri atas larik-larik sampiran dan isi, talibun memiliki larik lebih dari empat dan selalu
genap, misalnya enam, delapan, sepuluh, duabelas, atau empat belas.

4) Syair
Syair merupakan puisi yang berlarik empat tiap bait dan bersajak a a a a yang
mengisahkan suatu hal.

5) Gurindam
Adalah puisi yang terdiri atas dua baris, berirama sama a a, kedua berisnya merupakan
isi, baris pertma merupakan sebab, dan baris kedua merupakan akibat, isinya berupa
nasihat (Djamaris, dalam Setywati, 2004: 219).
b. Puisi modern
Puisi modern memiliki struktur yang lebih bebas bila dibandingkan dengan puisi
lama, puisi modern masih memiliki aturan struktur yang lebih normatif. Menurut Teeuw
(1991: 56) puisi modern sangat berbeda dengan puisi lama perbedaan yang menonjol
antara lain, manusia individual sebagai pusat perhatian, tanpa nilai teladan atau
keagungan, ketidakadaan unsur pendidikan atau manfaat atau etik yang langsung dapat
diturunkan dari dunia sajak modern (secara tak langsung puisi modern pun mengandung
amanat yang dapat memberi manfaat atau pendidikan atau cita-cita kepada pembacanya),
kuatnya unsur ironi dalam puisi modern, yang menisbikan, mempermasalahkan,
memperasingkan, keyakinan dan kepastian tradisional.
Ciri-ciri puisi modern seperti disebutkan diatas dengan sendirinya akan menuntun kita
untuk memiliki keahlian tertentu, yakni keahlian terhadap konvensi-konvensi, baik yang
bersifat umum maupun yang bersifat khusus. Tanpa pengetahuan konvensi yang menjadi
dasar puisi modern itu, sajak-sajak individual tidak mungkin dapat dilakukan.
Berikut ini adalah macam-macam dari puisi modern:

1) Balada

Balada merupakan puisi yang menceritakan tentang kisah dari sebuah karangan
pribadi, mitos, atau legenda yang diyakini kebenarannya di masyarakat. Balada juga
merupakan salah satu jenis puisi baru yang berisi tentang suatu kisah atau cerita. Balada
terdiri dari 3 bait yang masing-masing dengan 8 larik. Balada bersajak a-b-a-b-b-c-c-b,
lalu skemanya berubah menjadi a-b-a-b-b-c-b-c.

2) Ode

Ode adalah salah satu jenis puisi baru yang berisi sanjungan kepada orang yang
sangat berjasa. Ciri dari ode antara lain bernada anggun, nada dan gayanya resmi,
membahas tentang sesuatu yang mulia, dan bersifat menyanjung.

3) Epigram
Epigram merupakan salah satu jenis puisi baru yang berisi tentang ajaran atau
tuntunan mengenai kehidupan. Epigram ini berasal dari bahasa Yunani yaitu epigramma
yang artinya unsur pengajaran, nasihat yang membawa ke arah jalan kebenaran untuk
dijadikan pedoman dan teladan.

4) Romansa

Romansa merupakan salah satu jenis puisi baru yang berisikan luapan perasaan cinta
dan kasih sayang. Romansa berasal dari bahasa Perancis romantique yang memiliki arti
keindahan perasaan, persoalan kasih sayang, dan kasih mesra.

5) Elegi

Elegi merupakan salah satu jenis puisi baru yang berisi tentang kesedihan atau tangis.
Elegi ini berisikan sajak ataupun lagu yang mengekspresikan rasa duka cita atau keluh
kesah karena sedih ataupun rindu.

6) Satire

Satire adalah salah satu jenis puisi baru yang berisikan sindiran atau kritikan. Satire
ini berasal dari bahasa Latin yakni satura yang memiliki arti sindiran.

7) Himne

Himne adalah salah satu jenis puisi baru yang berisi pujaan atau pujian untuk Tuhan,
tanah air ataupun pahlawan. Ciri dari himne ini ialah lagu pujian untuk menghormati
Tuhan, seorang dewa, pahlawan, tanah air ataupun almamater. Saat ini, pengertian dari
himne menjadi semakin berkembang yaitu diartikan sebagai puisi yang dinyanyikan, dan
puisi nyanyian tersebut berisi pujian terhadap sesuatu yang dihormati atau yang
berhubungan dengan ketuhanan.

4. Fungsi Puisi
Fungsi puisi adalah fungsi spiritual yang sifatnya tidak langsung begai kehidupan
fisikal yang praktis. Hal ini sesuai dengan hakikat puisi yang merupakan ekspresi tidak
langsung. Kegunaan puisi ini berhubungan dengan kehidupan kebatinann dan kejiwaan
manusia. Puisi mempengaruhi kehidupn manusia lewat kehidupan batin dan kejiwaannya.
Lewat kehidupan kejiwaan ini puisi mempengaruhi aktivitas kehidupan fisik manusia.
Karena puisi itu karya seni untuk menyampaikan gagasan, maka fungsi puisi adalah
dulce (indah) dan utile (berguna, bermanfaat). Dulce berhubungan dengan ekspresi dan
sarana ekspresinya, sedangkan utile berhubungan dengan muatan yang dikandung berupa
ajaran, gagasan, atau pikiran. Puisi merangsang kepekaan terhadap keindahan dan
terhadap rasa kemanusiaan. Karya seni itu, termasuk puisi, berupa mengembalikan nilai-
nilai kemanusiaan yang terkikis teknologi dan menyadarkan kembali pada kedudukanya
sebagai subjek dalam kehidupan ini. Puisi berusaha mengembalikan stabilitas,
keselarasan, dan keutuhan dalam diri manusia.

5. Analisis puisi berjudul Tuhan Kita Begitu Dekat karya Abdul Hadi W.N

Tuhan Kita Begitu Dekat

Tuhan

Kita begitu dekat

Sebagai api dengan panas

Aku panas dalam apimu

Tuhan

Kita begitu dekat

Seperti kain dengan kapas

Aku kapas dalam kainmu

Tuhan

Kita begitu dekat

Seperti angin dan arahnya

Kita begitu dekat


Dalam gelap

Kini aku nyala

Pada lampu padammu

(Abdul Hadi W.M., 1977, Tergantung Pada Angin)

a. Struktur fisik
1) Perwajahan Puisi (tipografi)

Puisi Tuhan Kita Begitu Dekat memiliki tipografi yang khas kerena puisi tersebut
masih terikat dengan struktur fisik puisi yakni pada setiap bait terdiri dari empat baris
yang dikenal sebagai kuatrin. Puisi yang diciptakan oleh Abdul Hadi W.M yaitu
penulisan yang tidak memenuhi keselarasan halaman, puisi tersebut tiap bait terdiri dari
empat baris, serta keteraturan dalam hubungan manusia dengan tuhan, alam dan dengan
dirinya sendiri. Sehingga puisi tersebut terasa indah maknanya.

2) Diksi

Pada puisi Tuhan Kita Begitu Dekat, dapat dilihat pada baris pertama sampai baris kedua.

Tuhan

Kita Begitu Dekat

Merupakan sapaan yang berarti yang diyakini, dipuja, yang disembah oleh manusia
sebagai yang Mahakuasa. Kata “Kita” dalam hal ini mengacu pada aku dan Tuhan,
“begitu dekat” berarti sangat dekat dan tidak terbatas.

Hubungan antara aku dengan Tuhan yang sangat dekat dan tidak terbatas itu
diumpamakan dengan majas perumpamaan yakni terlihat pada baris ketiga.

Seperti api dengan panas

Api dan panas merupakan dua hal yang sangat sulit dipisahkan. Adanya panas karena
adanya api, dan keberadaan api ditandai oleh panas, sehingga keduanya saling
ketergantungan, hubungan antara aku dengan Tuhan yang sangat bersatu dan dalam
hubungan tersebut ada unsur yang saling ketergantungan.
Gambaran mengenai hubungan aku dengan Tuhan pada baris pertama sampai baris
ketiga, kemudian diperjelas lagi pada baris keempat.

Aku panas dalam apimu.

Aku dikiaskan dengan panas. Aku. Metafora tersebut menimbulkan kejelasan sifat aku.
Kata panas dan apimu dapat diinterpretasikan sebagai manusia dan Tuhan. Hubungan
antara aku dengan Tuhan dalam hal ini sudah menyatu.

Baris kelima sampai baris ketujuh.

Tuhan

Kita begitu dekat

Seperti kain dengan kapas

Dalam konteks ini kedekatan hubungan antara aku dengan Tuhan diumpamakan dengan
majas perumpamaan seperti pada baris ketiga. Perumpamaan “seperti kain dengan
kapas”, kain dan kapas merupakan dua benda yang secara aktual berbeda, namun secara
esensial sama. Dalam hal ini kapas merupakan bahan dasar pembuatan kain, dan kain
dapat berfungsi melindungi tubuh kita atau sebagai alat pelindung. Hubungan tersebut
mencerminkan kedekatan antara aku dengan Tuhan, dan Tuhan sebagai pelindung si aku.

Hubungan antara aku dengan Tuhan, kemudian dipertegas lagi pada baris kedelapan.

Aku kapas dalam kainmu

Aku dikiaskan dengan kapas yang merupakan majas metafora. Penggunaan metafora itu
pada hakikatnya untuk memperjelas keterikatan antara Tuhan dengan manusia. Jadi, aku
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Tuhan dan keduanya menyatu.

Seperti halnya dengan makna baris pertama sampai baris kesepuluh, baris kesebelas pun
menggambarkan kedekatan hubungan antara aku dengan Tuhan.

Tuhan kita begitu dekat

Seperti angin dengan arahnya

Baris kesepuluh sampai baris kebelas hanya merupakan pengulangan dari baris
sebelumnya dan sekaligus berfungsi menekankan makna kedekatan yang terkandung
pada baris tersebut. Pada baris kesebelas kedekatan hubungan aku dengan Tuhan
diumpamakan melalui majas perumpamaan yang menggunakan kata angin dan arahnya.
Kata angin dan arahnya masing-masing ditujukan pada manusia dengan Tuhan. Dalam
hal ini Tuhan hanya dapat dipahami, melalui mahluknya (manusia) dan manusia
merupakan bukti adanya Tuhan.

Gambaran kedekatan hubungan aku dan Tuhan yang terkandung pada baris pertama
sampai baris kesebelas, kemudian dipertegas lagi pada baris kedua belas

Kita begitu dekat

Masalah kedekatan hubungan aku dan Tuhan pada keenam kalimat di atas kemudian
dipertegas pada baris ketiga belas sampai baris kelima belas.

Dalam gelap

Kini aku nyala

Pada lampu padammu

Kedekatan itu dapat dikatakan sebagai persatuan hamba dengan Tuhan yakni pada saat
keadaan gelap tidak ada cahaya atau penerangan kemudian “kini aku nyala” berarti
adanya cahaya atau mendapatkan cahaya kemudian dipertegas lagi dengan “pada lampu
padammu” merupakan ungkapan rasa syukur, bahagia, serta kenikmatan yang tiada batas.
Hal itu tergambar pada baris ketiga belas sampai baris kelima belas “dalam gelap kini aku
nyala pada lampu padammu”.

3) Imaji

Pada puisi Tuhan Kita Begitu Dekat, pengimajian yang digunakan oleh penyair yakni
imaji penglihatan (imaji visual) dan imaji raba atau sentuh (imaji taktil). Imaji pengliatan
(imaji visual) dapat kita lihat pada baris ketiga belas sampai baris kelima belas yakni:

Dalam gelap

Kini aku nyala

Pada lampu padammu

Sedangkan imaji peraba atau sentuh (imaji taktil) terdapat pada baris pertama sampai
baris keempat yakni:
Tuhan

Kita begitu dekat

Seperti api dengan panas

Aku panas dalam apimu

4) Kata Konkret

Pada puisi Tuhan kita begitu dekat kata konkret terdapat pada baris ketiga “Sebagai
api dengan panas”, pada kalimat tersebut menggambarkan kedekatan antara aku dengan
Tuhan. Kemudian pada baris keempat Aku panas dalam apimu. Merupakan hubungan
aku dengan Tuhan dengan kaitan antara panas dan api dan keduanya tak terpisahkan.
Pada baris ketujuh “seperti kain dengan kapas”, baris kedelapan “aku kapas dalam
kainmu”. Serta baris kesebelas “seperti angin dan arahnya”. Pada dasarnya maknanya
sama seperti baris sebelumnya kemudian dilanjutkan dengan baris keempat belas sampai
lima belas “kini aku nyala” dalam hal ini si aku mendapatkan cahaya kemudian
dipertegas lagi dengan “pada lampu padammu” merupakan ungkapan si aku atas rasa
syukur, bahagia, serta kenikmatan yang tiada batas.

5) Bahasa Figuratif

Pada puisi Tuhan Kita Begitu Dekat majas yang digunakan adalah:

a) Majas Perbandingan
Yakni pada baris ketiga sebagai “api dengan panas”, baris ketujuh “seperti kain dengan
kapas”, dan baris kesebelas “seperti angin dan arahnya”.

i. Metafora
Metafora dalam puisi Tuhan Kita Begitu Dekat terdapat pada baris keempat “aku
panas dalam apimu”, yakni aku dikiaskan dengan panas dan Tuhan dikiaskan dengan
apimu dan baris kedelapan “aku kapas dalam kainmu” pada dasarnya mengiaskan
antara aku (manusia) dengan Tuhan sama seperti baris keempat.

ii. Personfikasi
Majas personifikasi pada puisi Tuhan Kita Begitu Dekat terdapat pada baris ketiga
“api dengan panas”, baris ketujuh “kain dengan kapas”, serta baris kesebelas “angin
dan arahnya”. Dalam hal ini penyair menyamakan manusia dengan Tuhan yang
hubungannya sangat erat antara yang satu dengan yang lainnya.

6) Verifikasi

i. Rima pada puisi Tuhan Kita Begitu Dekat adalah sebagai berikut:

Bunyi [a] terdapat pada baris pertama sampai keempat yakni “tuhan”, “kita”,
“dekat”, “sebagai”, “dengan”, “Panas”, “aku”, “panas” , “dalam”, “apimu”.
Kemudian pada baris kelima sampai kedelapan, “kita”, “dekat”, “dengan”, “kapas”,
“aku” “kapas”, “dalam”. Baris kesembilan sampai baris kedua belas, “tuhan”, “kita”,
“dekat”, “angin”, “arahnya”, “ kita”, “dekat”. kemudian dilanjutkan pada baris ketiga
belas sampai baris kelima belas kata “dalam”, “gelap”, “aku”, “Nyala”. Dalam hal ini
bunyi [a] merupakan bunyi yang sangat dominan pada puisi ini. Bunyi [a] cenderung
lebih terbuka (lepas).

Bunyi [i] terdapat pada baris pertama sampai baris keempat “kita”, “sebagai”,
“api”. Baris keenam sampai baris ketujuh “kita”, “seperti”, “kain”. Kemudian pada
baris kesepuluh sampai baris kedua belas “kita”, “seperti”, “angin”, “kita”.
Dilanjutkan pada baris keempat belas “kini”.

Bunyi [u] pada puisi Tuhan Kita Begitu Dekat, terdapat pada baris pertama dan
baris keempat “begitu”, “aku”, “apimu”. Baris kelima, keenam dan kedelapan
“begitu”, “aku”, “kainmu”. Baris kesembilan, sepuluh dan kedua belas “tuhan”,
“begitu”, “begitu”. Kemudian pada baris keempat belas dan lima belas “aku”,
“lampu”, “padammu”.

Bunyi [e] terdapat pada baris kedua dan ketiga “begitu”, “dekat”, “seperti”,
“dengan”. Baris keenam dan ketujuh sama sepeti baris kedua dan ketiga yakni
“begitu”, “dekat”, “seperti”. Kemudian baris kesepuluh, sebelas , dua belas, dan tiga
belas “begitu”, “dekat”, “seperti”, “begitu”, “dekat”, “gelap”.

ii. Irama (ritma) pengulangan bunyi kata, frasa, dan kalimat

Pada puisi ini terdapat pada baris pertama “Tuhan”, baris kedua “kita begitu
dekat”, baris kelima dan keenam “Tuhan”, “kita begitu dekat”. Kemudian pada baris
kesembilan, sepuluh, dan dua belas “Tuhan”, “kita begitu dekat”, “kita begitu dekat”.
iii. Metrum adalah pengulangan tekanan kata yang tetap

Pengulangan kata tersebut pada puisi Tuhan Kita Begitu Dekat, terdapat pada
baris baris pertama “Tuhan”, baris kedua “kita begitu dekat”, baris kelima dan
keenam “Tuhan”, “kita begitu dekat”. Kemudian pada baris kesembilan, sepuluh, dan
dua belas “Tuhan”, “kita begitu dekat”, “kita begitu dekat”. Hal ini menimbulkan
tekanan irama yang mengalun ritmis, lembut, dan lebih terasa akrab.

b. Berdasarkan Struktur Batin Puisi

1) Tema

Pada puisi Tuhan Kita Begitu Dekat, penyair menggunakan tema religius, yaitu tema
puisi yang mampu membawa manusia untuk lebih bertakwa, lebih merenungkan kekuasaan
Tuhan, dan menghargai alam seisinya. Dalam hal ini penyair menggunakan tema ketuhanan
(religius), karena terdapat pada beberapa baris penyair mengungkapkan kedekatannya degan
Tuhan, dapat kita lihat pada bagian imaji puisi tersebut yakni sebagai berikut.

2) Perasaan (feeling)

Dalam puisi Tuhan Kita Begitu Dekat, perasaan yang diungkapkan oleh penyair yakni
perasaan dekat karena dalam puisi ini penyair mengungkapkan perasaannya yamg
menggambarkan kedekatannya kepda tuhan sehingga merasa lebih akrab, dengan alunan
yang syahdu, lembut, dan lebih bersemangat untuk mendekati Tuhan.

3) Nada dan Suasana

Nada dalam puisi Tuhan Kita Begitu Dekat, yakni terasa lebih halus, tidak memaksa dan
mengajak untuk mengayati setiap baris dalam puisi tersebut. Sedangkan suasana puisi Tuhan
Kita Begitu Dekat, pembaca merasa tersentuh karena penggunaan perumpamaan-
perumpamaan yang sangat inderawi seperti pada baris ketiga, keempat, ketujuh, kedelapan,
dan kesebelas.

4) Amanat

Amanat pada puisi Tuhan Kita Begitu Dekat bahwa hati manusia yang mencari Tuhannya
akan menjadi terang apabila mendapat petunjuk dari yang ia tuju, yakni seperti pada baris
ketiga belas, empat belas, dan kelima belas.
C. KESIMPULAN

Puisi merupakan karya sastra yang terikat ketentuan atau syarat tertentu dan
pengungkapannya tidak terperinci, tidak mendetail, atau tidak meluas. Isinya tidak sampai
pada hal-hal yang kecil dan tidak sejelas karya sastra yang berbentuk prosa yang memiliki
unsur fisik (Tipografi, diksi, imaji, kata konkret, bahasa figuratif/majas, dan verifikasi ) dan
unsur batin (Tema, rasa, nada dan suasana, serta amanat). Jenis-jenis puisi ada dua yaitu puisi
lama dan puisi modern, puisi lama terdiri dari mantera, gurindam, pantun, dan syair. Puisi
memiliki fungsi yakni merangsang kepekaan terhadap keindahan dan terhadap rasa
kemanusiaan.

D. DAFTAR PUSTAKA
Mihardja, R. (2012). Sastra Indonesia. Jakarta: Laskar Aksara.

Orrecchioni, K. (1986). La connotation. Lyon: Presse Universitaire de Lyon.


Sayuti, S. A. (2002). Berkenalan dengan puisi. Yogyakarta: Gama Media.

Setyawati, dkk. (2004). Sastra melayu lintas daerah. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional.
Suyatno, S., Sasmito, J. A., & Yetti, E. (2003). Antologi puisi Indonesia modern anak-anak.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Teeuw, A. (1991). Membaca dan menilai sastra. Jakarta: PT Gramedia.


Tutescu, M. (1979). Précis sémantique. Paris : Klinsieck.
Waluyo, H . J. (1991). Teori dan apresiasi puisi. Jakarta: Erlangga.
Waluyo, H . J. (2005). Apresiasi puisi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

E. DAFTAR PERTANYAAN
1. Apakah dalam puisi majas sangat diperlukan?
2. Seiring pergantian zaman apakah bahasa dalam puisi mengalami perubahan?
3. Bagaimana cara membuat puisi yang ideal?
22

Anda mungkin juga menyukai