Anda di halaman 1dari 8

Nama : Retno Puspitasari

NIM : 1210619044
Kelas : 1SI2

Rangkuman
BAB III TEKS DAN KOMUNIKASI DALAM ILMU SASTRA.
1.Pengantar
Dibahas beberapa aliran yang menempatkan karya sastra dalam pusat perhatian dan dari sana
diikutsertakan seluruh proses komunikasi, seperti :
1. Formalisme
2. Strukturalisme
3. Ilmu sastra linguistik
4. Semiontik.
Aliran-aliran tersebut meneliti sifat- sifat umum dalam sastra. Itulah sebabnya aliran-
aliran tersebut dapat kita bedakan dari aliran yang disebut ergosentik ( aliran-aliran yang
meneropong karya-karya sastra sendiri.
2.Formalisme
Formalisme ini menentang kecenderungan di Rusia untuk meneliti sastra sebagai ungkapan
pandangan hidup atau iklim perasaan dalam masyarakat. Tokoh-tokoh utama dari aliran ini
ialah Sjklovski, Tynjanov, dan Jakobson.
Istilah kesastraan berasal dari Jakobson yang pada waktu ia menganut pandangan formalis
meletakkan dasar bagi teori fungsi puitik seperti dipaparkan dalam bab pertama. Menurut
pandangan formalis sifat kesastraan timbul dengan menyusun dan mengubah “ bahan” nya
yang bersifat netral. Cara- cara pengolahan puitik ialah metrum, irama, macam- macam
bentuk paralelisme dan pertentangan, gaya bahasan dan kiasan.
Para formalis telah memperkenalkan beberapa pengertian untuk analisa teks cerita, yakni :
Motif sebagai kesatuan terkecil dalam peristiwa yang diceritakan,
Fabula sebagai rangkain motif dalam urutan kronologis,
Dan suzjet sebagai penyusunan artistik motif- motif tersebut.
Yang menjadi pusat perhatian dalam pandangan kaum formalis mengenai sastra ialah
pengertian pengasingan. Yang memperkenalkan istilah tersebut Sjklovski beliau berpendapat
bahwa sastra sama seperti seni- seni lainnya mempunyai kemampuan untuk memperlihatkan
kenyataan dengan suatu yang baru, sehingga sifat otimatik dalam pengamatan dan
pencerapan kita didobrak. Sjklovski memakai istilah pengasingan bila sebuah karya sastra
memakai gaya bahasa yang menonjol atau menyimpang dari yang biasa, atau
mempergunakan teknik bercerita yang baru.
Menurut Tynjanov setiap unsur dalam sebuah karya sastra mempunyai suatu relasi ganda :
1. relasi dengan unsur-unsur lain dalam karya sastra itu dinamakan synfungsi unsur-
unsur
2. relasi dengan unsur-unsur serupa dalam sistem sastra autofungsi.
Cara-cara kata dipakai (leksikon) di dalam sebuah karya mempunyai hubungan synfungsional
dengan metrum, Rima, gaya, komposisi, dan sebagainya dalam karya yang sama, tetapi juga
suatu hubungan autofungsional dengan seluruh leksikon sastra. Ada ciri yang
membedakannya dari pemakaian kata sastra pada umumnya. Fungsi sulapan ( yang berubah-
ubah ) di dalam evolusi sastra.
Sumbangan kaum formalis bagi ilmu sastra yang tak dapat dihapuskan ialah bahwa secara
prinsip kita mengarahkan perhatian pada unsur kesastraan dan fungsi puitik, pengertian –
pengertian seperti penyulapan dan pengasingan istilah-istilah dalam menerangkan teknik
bercerita serta teori mengenai evolusi sastra.

3 Strukturalisme
Yang dimaksudkan dengan istilah “ struktur” ialah kaitan- kaitan tetap antara kelompok-
kelompok gejala, kaitan-kaitan tersebut diadakan oleh seorang peneliti berdasarkan
observasinya.
Kebanyakan penganut aliran strukturalis secara langsung atau tidak langsung berkiblat pada
Strukturalisme dalam ilmu bahasa yang dirintis oleh de Saussure. Adapun dua pengertian
kembar dari ilmu linguistik Strukturalis ialah :
1. Signifiant- signifie
Signifiant berarti yang memberi arti, jadi aspek bentuk dalam tanda atau lambang,
sedangkan arti dari signifie berarti yang diartikan.
Tanda bahasa terdiri atas unsur pemberi arti dan unsur yang diartikan dengan
menggabungkan dua unsur itu kita dapat mengatakan sesuatu mengenai hal- hal
yang terdapat dalam kenyataan.
2. Paradigma- syntagma.
Adapun hubungan paradigmatik ialah hubungan antar unsur-unsur yang saling
berkaitan karena kemiripan sistematik. Sebuah syntagma terjadi bila kita
menggabungkan unsur-unsur yang disaring dari berbagai paradigma. Karena kita
mengadakan pilihan di antara paradigma- paradigma dan menggabungkannya
menjadi syntagma, maka kaum syrukturalis berbicara tentang poros- seleksi (atau
poros paradigmatik ) dan poros kombinasi (atau poros syntagmatik ). Oleh
Jakobson pengertian tersebut dipergunakan untuk membatasi fungsi puitik.
3.1 Strukturalisme Ceko
Strukturalisme Ceko sama dengan aliran formalis namun melawan positivisme, kaum ini
sangat mementingkan penelitian empiris dan dapat dipandang sebagai rekasi terhadap aliran
anti-positivistik yang mementingkan metafisika dan sejarah perkembangan ide-ide.
Konsep utama ialah konsep kembar mengenai artefact (karya seni sebagai tanda) dan
obyek estetik (pengertian yang dikongkretkan oleh pembaca). Aterfact tidak mengalami
perubahan sementara obyek estetik selalu berubah. Artefact diamati dan diterima oleh
pembaca lalu ditafsirkan menurut pengetahuan dan pengalaman sendiri yang berkaitan
dengan konvensi literer yang berakar di dalam karya. Menurut Mukarovsky, artefact harus
memiliki suatu nilai atau sifat universal tertentu yang menyebabkan pembaca-pembaca dari
berbagai zaman selalu mengkongkretkannya.
Pengertian struktur adalah sebuah karya atau peristiwa di dalam masyarakat yang menjadi
suatu keseluruhan karena ada relasi timbal balik antara bagiannya dimana terdapat juga
hubungan negatif (pertentangan dan konflik). Pengertian ini menyebabkan kaum strukturalis
mementingkan relasi antara berbagai lapisan dalam karya sastra.
3.2 Analisa Cerita Secara Strukturalistik
Vladimir Popp merintis jalan bagi analisa cerita secara strukturalisme melalui
karyanya Morfologija Skazki (Morfologi Dongeng Ajaib, 1928). Dalam sebuah cerota
dongeng, para pelaku dan sifat-sifatnya dapat berubah, tetapi perbuatan dan peran mereka
tetap sama. Peristiwa dan perbuatan yang berbeda dapat mempunyai arti yang sama atau
mengisyaratkan perbuatan yang sama. Perbuatan serupa itu oleh Popp dinamakan fungsi.
Misalnya sebagai berikut:
(1) Kakek memberi Sutsjenko seeokor kuda. Dengan kuda itu
Sutsjenko pergi ke suatu kerajaan lain.
(2) Ratu memberi Iwan sebuah cincin. Beberapa pendekar yang
muncul dari cincin itu membawanya ke suatu kerajaan lain.

4. Linguistik dan Ilmu Sastra

Sukses yang dialami tata bahasa generatif transformasi semenjak Chomsky


menerbitkan Syntatic Structures (1957), telah menyebabkan ilmu sastra linguistik
berkembang pesat meskipun singkat. Ada tiga penelitian tentang ilmu sastra yang
dipengaruhi linguistik.
Pertama terdapat usaha untuk menyusun semacam tata bahasa sastra yang dapat
mendeskripsikan serta mempertanggungjawabkan gejala-gejala bahasa tertentu yang
menonjol dan dianggap khas bagi sastra menurut istilah tata bahasa generatif transformasi.
Contohnya penelitian Bierwisch (1965) yang membedakan antara kaidah-kaidah yang
melukiskan keteraturan istimewa dengan kaidah yang dapat mempertanggungjawabkan
penyimpangan.
Kaidah ekuivalensi dan metrik dapat diterapkan pada banyak puisi, sedangkan kaidah
penyimpang hanya terbatas pada struktur satu sajak saja. Seperti gejala “personifikasi”
(animalisasi) dalam puisi Hans Andreus. Teun van Dijk berusaha menyusun suatu tata bahasa
teks yang melukiskan struktur teks dan dapat dilengkapi dengan suatu deskripsi sistematik
bagaimana teks dicerap pembaca.
5. Semiotik Sastra

Semiotik ialah ilmu yang secara sistematik mempelajarai tanda-tanda dan lambang.
Ilmu bahasa dapat dinamakan ilmu semiotik. Terdapat sistem lambang sekunder yang
berfungsi di dalam rangka sebuah sistem primer, seperti di dalam bahasa-bahasa alamiah. Di
dalam rangka sistem lambang kita mengartikan gejala-gejala tertentu (gerak-gerik, kiasan,
kata-kata, kalimat, dst) berdasarkan sebuah atau sejumlah kaidah.
5.1 Semiotik Sastra ala Peirce

Yang merancang secara sistematik teori tentang tanda ialah filsuf Amerika Charles
Peirce (1839-1914). Menurut Peirce ada tiga faktor yang menentukn adanya sebuah tanda,
yaitu tanda itu sendiri, hal yang ditandai dan sebuah tanda baru yang terjadi dalam batin si
penerima. Tanda merupakan gejala yang dapat dicerap lewat penafsiran.
Tanda MEJA mewakili dan mengacu pada perabot rumah. Tanda dan representasi
bersama-sama menujur interpretasi (tafsiran) yang dinamakan Peirce interpretant. Contohnya
dalam ulasan sastra ialah ringkasan sebuah teks sastra, tafsiran tradisional atau evaluasi teks.
Penerapan semiotik ala Peirce terhadap ilmu sasta ini sering digunakan istilah ikonisitas.
5.2 Semiotik ala Lotman

Menurut pandangan Joeri Lotman seorang tokoh semitik sastra Rusia, seni merupakan
suatu sistem tanda-tanda yang meneriman informasi, menyimpannya lalu mengalihkannya.
Maka sastra pun merupakan sistem sekunder yang menggunakan sistem tanda primer dalam
bahasa alami, tetapi tidak terbatas pada tanda primer.
Cabang-cabang seni lainnya disebut sistem skeunder karena tersusun menurut cara
bahasa alami. Dalam seni bahasa dan seni non bahasa terdapat kaitan paradigmatik dan
syntagmatik. Sama dengan sistem semiotik, maka sastra merupakan sistem yang membuat
modul.
BAB IV KRITIK DAN PENAFSIRAN

1. Pengantar
Ketika di Eropa Timur khususnya dalam aliran formalisme dan strukturalisme
perhatian utama dicurahkan pada sifat-sifat umum dalam kesastraan, maka di Eropa Barat
kemudian di Amerika Serikat muncullah aliran-aliran yang menekuni analisa tafsiran dan
evaluasi tiap-tiap karya sastra. Pendekatan serupa itu dinamakan ergosentrik (karya sendiri)
merupakan kancah perhatian. Sering juga dipergunakan istilah kritik sastra dalam arti
criticism ( Inggris).
Sejumlah aliran itu membatasi diri melulu pada karya sastra sendiri atau teksnya( imanen
karya). Data biografik dan historik sedapat mungkin dikesampingkan.
2. Empat Bentuk Kritik Sastra

2.1 New Criticism


Semula New Criticism melawan pendekatan sastra historik dan biografik serta kritik
impresionistik yang memilik banyak penganut di Amerika. Menurut para New Critics, ilmu
(sains) tidak memadai dalam mencerminkan kehidupan manusia, sebaliknya sastra dan
terutama puisi dapat mengungkapkan situasi manusia dengan lebih sempurna.
Para New Critics sepakat bahwa hanya dengan menganalisa susunan dan organisasi
sebuah karya sastra, dapat diperlihatkan karya seni itu menurut arti yang sesungguhnya.
Aliran ini gemar sekali meneliti puisi para penyair dari berbagai zaman yang hasil karyanya
sengaja disusun secara paradoksal, speerti Donne dan T.S Eliot.
Adapun jasa para New Critics bahwa mereka mengarahkan kembali perhatian ita
kepada teks sastra sendiri. Analisa-analisa mereka tetap bernilai karena mempertajam
pengertian kita mengenai puisi yang kadang sukar dipahami.
2.2 Merlyn

Di negeri Belanda majalah Merlyn (nama seorang resi dari legenda Raja Arthur)
menjadi terkenal karena menafsirkan puisi dan novel secara ergosentrik. Menurut dua aspek
Merlyn mewakili suatu pendekatan terhadap sastra yang memusatkan perhatian kepada karya
itu sendiri.
Kelompok ini tidak banyak menaruh perhatian secara sistematik bagi komunikasi
sastra, yang mereka tuntut ialah otonomi karya sastra. Merlyn memerhatikan ciri-ciri yang
khas bagi sastra. Bagi kelompok ini, sebuah karya sastra didekati dengan tepat bila kita
mempergunakan analisa struktural, yakni cara yang unik segala aspek bentuk dan isi kait-
mengait.
Yang terpenting sekali bagi kelompok Merlyn ialah mengluarkan pendapat-pendapat
yang dapat dicek. Mereka mencari penafsiran yang sedapat mungkin bersifat ilmiah. Sama
seperti New Critics, mereka berjasa membuat analisa cerdas mengenai puisi yang sukar.
2.3 Nouvelle Critique

Di Prancis pada tahun enam puluhan, diskusi mengenai sastra dikuasai oleh aliran
Nouvelle Critique. Berlainan dengan New Critics dan Merlyn, kaum kritisi ini tidak yakin
sebuah karya sastra dapat ditafsirkan secara tuntas dan arti yang sesungguhnya dapat
diungkapkan.
Para penganut Nouvelle Critique-biarpun berbeda-beda dalam mengajukan
pertanyaan kritis-selalu ingin menunjukkan struktur-struktur. Dalam sebuah struktur terlihat
tata susunan serta keberkaitan intern. Struktur sebuah “teks yang sudah dipatrikan di atas
kertas” baru menjadi jelas dan dapat dirasakan oleh pertanyaan yang diajukan kritikus.
Beberapa dalil dari kelompk Nouvelle Critique menimbulkan masalah-masalah yang
dapat dipertanyakan kebenarannya. Deskripsi mereka mengenai proses interpretasi, cara
bagian dan keseluruhan saling menentukan tapi tidak begitu saja dapat dibuktikan.
Kegemaran mereka bagi “teks-teks yang dapat ditulis” mengakibatkan kita tidak lagi secara
polos menilai sebuah teks realistik.
2.4 Poststrukturalisme atau Dekonstruksi

Kaum poststrukturalis, sekelompok kritikus di Universitas Yale, tegas menolak


pandangan New Criticsm. Mereka ingin mendekonstruksikan teks lalu merekonstrusikan
sebuah teks baru. Para dekonstrusionis menolak pendapat bahwa teks mencerminkan
kenyataan.
Yang menjadi sasaran dekonstruksi ialah memperlihatkan sejauh mana seorang
pengarang menggunakan pola-pola bahasa dan pemikiran guna memberi bentuk kepada suatu
visi tertentu. Dekonstruksi berarti penelitian mengenai intertekstualitas, mencari bekas-bekas
teks lain.
Aliran dekonstruksionalisme mengatakan bahwa mereka didukung oleh suatu filsafat
tertentu serta sebuah pandangan mengenai bahasa yang di sini tak dapat dipahami secara
kritis. Di dalam praktek kritik ini kaum dekonstruksionis cukup mengacaukan.
3. Penafsiran dan Ilmu Sastra

3.1 Resepsi dan Penafsiran


Resepsi (penerimaan) adalah setiap reaksi dari pihak pembaca terhadap sebuah teks,
entah itu reaksi langsung atau tidak langsung. Sementara penafsiran adalah bentuk khusus
mengenai laporan penerimaan. Sama seperti proses penerimaan biasa, pembaca yang
mengartikan atau menafsirkan sebuah teks, tetapu tafsiran selalu disusun secara sistematik.
Perbedaan antara sebuah penafsiran dan laporan penerimaan biasa bersifat nisbi. Yang
penting ialah kadar sistematikanya dan sejauh mana laporan pengartian yang memadai itu
kita anggap penting. Resensi sebuah buku dalam surat kabar dinamakan laporan penerimaan
sedangkan resensi dalam sebuah majalah sastra bersifat penafsiran.
3.2 Jenis-Jenis Interpretasi
Dapat dibedakan enam jenis pokok.
(1) Penafsiran yang bertitik tolak dari pendapat, bahwa teks sendiri
sudah jelas. Isyarat dan susunan membuka kesempatn untuk
menemukan arti yang tepat.
(2) Penafsiran yang berusaha untuk menyusun kembali arti histrorik.
Berpedoman pada maksud si pengarang dari teks sendiri atau data
di luar teks.
(3) Penafsiran hermeneutik baru yang terutama diwakili oleh Gadamer
berusaha memperpadukan masa silam dan masa kini.
(4) Tafsiran-tafsiran yang dengan sadar disusun dengan bertitik tolak
pada pandangannya sendiri mengenai sastra.
(5) Tafsiran-tafsiran yang bertitik pangkal pada suatu problematik
tertentu, misalnya permasalahan psikologi atau sosiologi.
(6) Tafsiran-tafsiran yang tidak langsung berusaha agar secara
memadai sebuah teks diartikan, melainkan hanya ingin
menunjukkan kemungkinan-kemungkinan yang tercantum dalam
teks, sehingga pembaca sendiri dapat menafsirkannya.

3.3 Tahap-tahap dlam Penafsiran


Bila juru tafsir ingin menyampaikan ungkapan arti teks yang memadai atau sah, maka
secara skematik dapat dibedakan empat tahap:
(1) Menentukan arti langsung yang primer;
(2) Bila perlu menjelaskan arti-arti implisit;
(3) Menentukan tema;
(4) Bila perlu memperjelas arti-arti simbolik dalam teks

3.4 Laporan dan Proses dalam Penafsiran


Dalam menyusun laporan tentang penafsiran kita bertindak secara ilmiah, artinya
sebuah laporan yang dapat dicek, yang terbuka bagi suatu diskusi antar-subyek. Dalam
laporan itu dapat diperlihatkan bahwa penafsiran yang diajukan mencakup karya sastra
dengan sebanyak mungkin detil dan struktur, dan bahwa tiada unsur-unsur yang
“digelapkan”.
Proses penafsiran pernah dilukiskan sebagai suatu gerak melingkar dan karena ilmu
mengenai penafsiran juga dinamakan hermeneutika, maka juga dipakai istilah lingkaran
hermeneutik. Semua proses pengetahuan, termasuk penafsiran, mempergunakan skema-
skema yang dapat dikoreksi.
4. Menilai Teks-teks Sastra
4.1 Penilaian dan Susunannya
Sebuah penilaian yang masuk akal hendaknya memperhitungkan sejauh mana obyek
yang satu dapat dibandingkan dengan obyek yang lain. Perbandingan misalnya hendaknya
dilakukan dalam batas satu periode tertentu atau dalam batas satu jenis sastra tertentu.
Selain itu, suatu penilaian selalu menimbulkan dua pertanyaan: kriteria mana
dipergunakan sang kritikus dalam penilaiannya? Dan alasan-alasan mana dapat diajukannya
untuk mendukung penilaiannya? Kriteria alasan dan sifat penilaian terikat pada pribadi
kritikus serta zamannya.
4.2 Pengaruh Zaman dan Subyek

Penilaian tidak tetap sama dari zaman ke zaman. Sementara seniman tidak dihargai
oleh orang-orang sezaman dan baru di kemudian hari diakui kebesarannya. Perubahan dalam
penghargaan menjelaskan bahwa tak ada satu karya yang memiliki sifat-sifat yang menjamin
karya itu akan dijunjung tinggi sepanjang masa.
Perubahan dalam penilaian berkaitan dengan perubahan dalam keadaan sosial dan
historik masyarakat umum dan dengan pandangan mengenai sastra yang berubah. Perbedaan
dalam penilaian tidak hanya terjadi dari zaman ke zaman, tetapi dalam kurun waktu yang
sama kelihatan juga antara pembaca-pembaca dari berbagai aliran.
4.3 Kriteria dalam Penilaian

Suatu penilaian diberikan berdasarkan kriteria. Ada kriteria yang mengaitkan karya
dan pengarang, kriterium ekspresivitas: sebuah karya adalah baik bila pribadi dan emosi
pengarang diungkapkan dengan baik. Juga dalam kriterium intensi: sebuah karya adalah baik
bila intensi (maksud) pengarang diungkapkan dengan baik atau selaras dengan norma-
normanya.
Kelompok kriteria kedua mengaitkan karya sastra dengan kenyataan yang ditiru atau
tercermin di dalamnya: kriterium realisme atau mimesis-sebuah karya dinilai baik bila
kenyataan diungkapkan dengan tepat, lengkap atau secara tipikal (menampilkan ciri-ciri yang
khas).
Kelompok kriteria ketiga langsung mengaitkan pendapat pihak kritikus dan karya
sastra. Kelompok kritera keempat untuk sebagian berkaitan dengn kriteria di atas, yaitu
memerhatikan kemampuan karya untuk mengasyikkan pembaca, menarik perhatiannya atau
mengharukan hatinya: kriteria emotivitas.
Kelompok kelima diarahkan kepada karya itu sendiri. Kriteria struktur itu
memperlihatkan susunan, keberkaitan, dan kesatuan karya sastra. Lalu keenam adalah kriteria
tradisi yang menilai sebuah karya menurut daya pembaharuannya atau justru sebaliknya,
sejauh karya itu setia kepada tradisi dalam hal gaya dan periode.
4.4 Argumentasi dalam Penilaian

Dalam penilaian sebuah karya sastra dapat digunakan berbagai kriteria.


Berdasarkan pendapat yang dimiliki seseorang mengenai fungsi sastra, ia memilih
sebuah kriterium tertentu atau kombinasi kriteria menurut suatu urutan tertentu.
Karena tidak ada kata sepakat mengenai fungsi sastra atau hubungan antara unsur-
unsur serta penilaian karya sastra, maka jarang terdapat kesepakatan dalam evaluasi.

Terdapat beberapa syarat yang seharusnya dipenuhi oleh sebuah laporan evaluasi
yang ideal:
(a) Sang kritikus menunjukkan fungsi yang diharapkannya;
(b) Menjelaskan kriteria beserta contohnya;
(c) Kritik harus dapat dibuktikan dengan mengajukan data;
(d) Dipergunakan berbagai kriteria yang saling melengkapi;
(e) Kritik memerhatikan argumen struktural;
(f) Kritik didukung dengan menempatkan karya dalam
keseluruhan karya pengarang yang sama dan jenis atau aliran
tertentu.

Bila sebuah kritik tidak memenuhi syarat-syarat tersebut maka tulisan itu masih dapat
bernilai dokumenter,yaitu sebagai sebuah laporan resepsi. Selain itu pribadi kritikus dapat
menjamin bahwa penilaiannya masuk akal dan dapat dipertanggungjawabkan.

Anda mungkin juga menyukai