STRUKTURALISME
1. Definisi strukturalisme
Strukturalisme adalah satu aliran filsafat yang muncul di prancis. Istilah“
Strukturalisme” sering membingungkan berbagai kalangan . Hal ini disebabakan istilah
“struktur” sendiri banyak digunakan dalam berbagai bidang atau disiplin begitu juga dengan
istilah strukturalisme. Istilah strukturalisme tidak hanya digunakan dalam bidang kesusastraan,
tetapi juga dalam bidang-bidang yang lain, seperti biologi, psikologi, sosiologi, sejarah, filsafat,
bahasa atau linguistik dan disiplin ilmu-ilmu yang lainnya. Istilah-istilah tersebut adalah struktur,
strukturalisme, strukturalis, dan struktural. Strukturalisme dapat diartikan sebagai satu cabang
atau model pemikiran dalam bidang filsafat atau aliran pemikiran yang mengungkapkan struktur
terdalam dalam suatu realitas yang tampak kacau dan tak beraturan yang beraneka ragam secara
ilmiah. yakni menekankan pada metode yang seobjektif mungkin, mengikuti formula atau
hukum-hukum sehingga bersifat ketat , dan menjaga jarak antara yang diamati dan yang
mengamati.
Struktur dapat diartikan sebagai satu konsep yang abstrak untuk menanamkan atau
menyebut satu entitas dari realitas atau membentuk satu realitas dalam tataran konseptual baik
yang empirik dan nonempirik. Istilah “ strukktur” dalam bidang linguistik sendiri pertama kali
muncul dalam kongres Linguistik di Den Haag 1928. Strukturaslis adalah pengikut atau
penganut aliran pemikiran strukturalisme. Mereka sering disebut kaum strukturalis meskipun
dalam sejarahnya mereka sering kali menolak disebut sebagai kaum strukturalisme.
Pemikiran strukturalis dalam linguistik dipelopori oleh Ferdinand de Saussure, seorang ahli
bahasa Swiss (Hawkes, 2003: 8). Dalam linguistik, menurut Selden (2005: 63), Saussure
membuat perbedaan mendasar antara langue dan parole - antara sistem bahasa dan ucapan
indvidu. Menurutnya, kata-kata bukanlah merupakan simbol- simbol yang sesuai dengan referen
melainkan tanda-tanda yang terdiri dari dua bagian, baik tertulis atau lisan. Konsep dasar yang
ditawarkan oleh Saussure adalah perbedaan yang jelas antara signifier (bentuk, bunyi, lambang,
penanda) dan signified (yang diartikan yang ditandakan, yang dilambangkan) dan perbedaan
antara parole (tuturan, penggunaan bahasa individual) dan langue (bahasa yang hukum-hukumnya
telah disepakati bersama). Bertens (2001 : 58) mengemukakan bahwa pandangan yang sangat
mendukung pendapat Saussure terssebut adalah bahasa terdiri dari bentuk dan makna yang tidak
dapat dipisahkan. Jika kita mengubah kata "ways" menjadi "days" atau "rays" kita tidak hanya
mendapatkan bentuk yang baru tetapi juga makna yang baru. Dengah kata lain, prinsip diferensial
tidak hanya bekerja untuk membedakan kata yang satu dengan kata yang lain, tetapi pada saat
yang sama juga membedakan artinya. Sekecil apa pun perubahan yang terjadi pada sebuah
signifier atau penanda linguistik atau kata, maka signified atau maknanya juga akan mengalami
perubahan.
Di samping itu, Bertens (2001: 43-44) juga menjelaskan bahwa strukturalisme
mengembangkan gagasan bahwa sebuah teks sastra adalah sebuah struktur di mana semua
elemen atau unsurnya saling terkait dan saling memengaruhi. Tidak ada satu pun karya sastra
yang dapat ditelaah dan dipelajari secara terisolasi. Dengan kata lain, para strukturalis
memandang teks sastra sebagai satu struktur dan antarunsurnya merupakan satu kesatuan utuh
(terdiri dari unsur-unsur yang saling terkait, yang membangun satu kesatuan yang lengkap dan
bermakna). Setiap perubahan yang terjadi pada sebuah unsur yang mengakibatkan hubungan
antarunsur berubah pula. Bagi para strukturalis, semua unsur tersebut memainkan peran dalam
menentukan mengenai teks sastra itu dan apa yang dilakukan melalui teks itu. Oleh karenanya,
pemaknaan karya sastra harus diarahkan ke dalam hubungan antarunsur secara keseluruhan.
2. Sejarah strukturalisme
Sejarahnya, strukturalisme adalah epistemologi yang mengkritisi positivisme.
Kemunculan stukturalisme dipopulerkan oleh Claude Levis-Strauss, seorang ahli antropologi
perancis. Selain itu, terdapat pula strukturalisme yang dikembangkan oleh Werner, antropolog
amerika serikat.
3. Konsep strukturalisme
Teori strukturalisme sastra merupakan sebuah teori pendekatan terhadap teks-teks sastra
yang menekankan keseluruhan relasi antara berbagai unsur teks. Unsur-unsur teks secara berdiri
sendiri tidaklah penting. Unsur-unsur itu hanya memperoleh artinya di dalam relasi, baik relasi
asosiasi ataupun relasi oposisi. Relasi-relasi yang dipelajari dapat berkaitan dengan mikroteks
(kata, kalimat), keseluruhan yang lebih luas (bait, bab), maupun intertekstual (karya-karya lain
dalam periode tertentu). Relasi tersebut dapat berwujud ulangan, gradasi ataupun kontras dan
parodi (Hartoko, 1986b: 135-136).
Strukturalisme Perancis, yang terutama diwakili oleh Roland Barthes dan Julia Kristeva,
mengembangkan seni penafsiran struktural berdasarkan kode- kode bahasa teks sastra. Melalui
kode bahasa itu, diungkapkan kode-kode retorika, psikoanalitis, sosiokultural. Mereka
menekankan bahwa sebuah karya sastra haruslah dipandang secara otonom. Puisi khususnya dan
sastra umumnya harus diteliti secara objektif (yakni aspek intrinsiknya). Keindahan sastra
terletak pada penggunaan bahasanya yang khas yang mengandung efek-efek estetik. Aspek-
aspek ekstrinsik seperti ideologi, moral, sosiokultural, psikologi, dan agama tidaklah indah pada
dirinya sendiri melainkan karena dituangkan dalam cara tertentu melalui sarana bahasa puitik.
Strukturalisme sastra mengupayakan adanya suatu dasar yang ilmiah bagi teori sastra,
sebagaimana dituntut oleh disiplin-disiplin ilmiah lainnya. Untuk itu objek penelitiannya, yakni
karya sastra diidentifikasi sebagai suatu benda seni (artefact) yang indah karena penggunaan
bahasanya yang khusus. Objek studi teori strukturalisme itu ditempatkan dalam suatu sistem atau
susunan relasi- relasi yang memudahkan pengaturannya. Dengan sistem ini kita menghimpun
dan menemukan hubungan-hebungan yang ada dalam realitas yang diamati (Bakker, 1992: 14).
Sistematika semacam ini berfungsi meletakkan aksentuasi dalam cara penanganan objek
kajiannya. Dengan demikian teori strukturalisme memperkenalkan metode pemahaman karya
sastra dengan langkah-langkah sistematis.
Oleh karena teori strukturalisme sastra menganggap karya sastra sebagai "artefak" maka
relasi-relasi struktural sebuah karya sastra hanya dapat dipahami dalam keseluruhan relasi
unsur-unsur artefak itu sendiri. Jika dicermati, sebuah teks sastra terdiri dari komponen-
komponen seperti: ide, tema, amanat, latar, watak dan perwatakan, insiden, plot, dan gaya
bahasa. Komponen-komponen tersebut memiliki perbedaan aksentuasi pada berbagai teks sastra.
Strukturalisme sastra memberi keluasan kepada peneliti sastra untuk menetapkan komponen-
komponen mana yang akan mendapat prioritas signifikasi. Keluasan ini tetap harus dibatasi,
yakni sejauh komponen-komponen itu tersurat dalam teks itu sendiri. Jadi teks sastra berfungsi
mengontrol objektivitas dan validitas hasil penelitian sastra. Prosedur ilmiah ini menempatkan
teori strukturalisme sastra berkembang dengan baik, pesat, dan diterima dalam kalangan yang
luas. Teori strukturalisme sastra, sesuai dengan penjelasan di atas, dapat dipandang sebagai teori
yang ilmiah mengingat terpenuhinya tiga ciri ilmiah. Ketiga ciri ilmiah itu adalah:
1) sebagai aktivitas yang bersifat intelektual, teori strukturalisme sastra mengarah pada tujuan
yang jelas yakni eksplikasi tekstual;
2) sebagai metode ilmiah (scientific method), teori ini memiliki cara kerja teknis dan rangkaian
langkah-langkah yang tertib untuk mencapai simpulan yang valid, yakni melalui pengkajian
ergosentrik
3) sebagai pengetahuan, teori strukturalisme sastra dapat dipelajari dan dipahami secara umum
dan luas dan dapat dibuktikan kebenaran cara kerjanya secara cermat.
5. Pengaruh strukturalisme
Pengaruh strukturalisme terhadap sastra dapat dilihat dari beberapa aspek. Strukturalisme
mengubah cara kita memahami karya sastra, dari sekadar sekumpulan kata atau cerita menjadi
suatu sistem yang terdiri dari unsur-unsur yang terorganisir secara kompleks. Hal ini
memungkinkan kita untuk melihat karya sastra dari berbagai sudut pandang dan memperdalam
pemahaman kita tentang struktur dan makna karya tersebut.
Strukturalisme juga memperkenalkan pengembangan metode analisis sastra yang lebih
sistematis dan terorganisir. Misalnya, analisis struktural karya sastra yang melihat keterkaitan
antara unsur-unsur dalam karya tersebut, seperti plot, karakter, tema, dan bahasa. Metode ini
membantu kita untuk memahami lebih dalam struktur dan makna karya sastra. Secara umum
strukturalisme tidak hanya memengaruhi cara memahami karya sastra, tetapi juga berdampak
pada pengembangan ilmu sastra secara umum. Misalnya, penggunaan teori strukturalisme dalam
mempelajari fenomena sastra, seperti novel, puisi, atau drama, telah membuka pintu bagi
pengembangan ilmu sastra yang lebih kritis dan sistematis. (Culler, 1975)
8.kesimpulan