Anda di halaman 1dari 3

Nama/nim : Alvi Nikmatin/A02217008

Kelas : Kesusastraan – 6D

Dosen pengampu : Ezith Perdana Estafeta M.Hum

Tugas : resume tulisan teori semiotik dan intertekstualitas

1. Teori Semiotik

Semiotika, menurut Zoest (1993) adalah bidang ilmu yang berurusan dengan
pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, meliputi sistem tanda
dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda. Segers berpendapat bahwa semiotika adalah
suatu disiplin yang menyelidiki semua bentuk komunikasi yang terjadi dengan sarana signs
‘tanda-tanda’ dan berdasarkan pada sign system ‘sistem tanda’ (2000: 4). Sementara Cobley
dan Jans (1994: 4 dalam Kaelan, 2009: 163) menyatakan bahwa semiotika adalah sebuah
disiplin ilmu yang mengkaji dan menganalisis tanda, yaitu bagaimana tanda-tanda dalam
kehidupan manusia atau bagaiman sistem penandaan berfungsi. Dari ketiga definisi tersebut
dapat digaris bawahi bahwa kajian utama semiotika adalah tanda, meliputi sistem tanda,
fungsi tanda, bagaimana kinerja tanda, hingga interpretasi makna tanda untuk kehidupan
manusia. Hal ini sesuai dengan pendapat Barthes bahwa prinsip semiotika atau semiologi
adalah mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity), memaknai hal-hal, segala sesuatu
(things) yang dikonstruksikan pada tanda dan sistem tanda.

Secara definitif, tanda adalah segala apa yang menyatakan sesuatu yang lain dari pada
dirinya. Tanda itu dihasilkan melalui proses signifikasi yang merupakan proses yang
memadukan penanda dan petanda (Barthes dalam Young, 1981:37-38; Budiman, 1999:108;
Sunardi, 2002:49). Karena itu, pada prinsipnya semiotik mempelajari bagaimana arti-arti
dibuat dan bagaimana realitas direpresentasikan, yang barangkali jelas dalam bentuk “teks”
dan “media” (Chandler, 2002:2). Semiotik memusatkan perhatian pada pertukaran beberapa
pesan apa pun dalam suatu kata atau komunikasi dan juga memusatkan perhatian pada proses
signifikasi (Sebeok, 1994:5).

Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Peirce adalah dua tokoh filsuf bahasa
yang meletakkan fondasi awal semiotika, dimana Saussure mengembangkan pemikirannya
berdasarkan strukturalisme yang kemudian berkembang ke arah prinsip-prinsip dasar
linguistik umum, sedangkan Peirce yang mendasarkan semiotika pada logika, pragmatik, dan
linguistik, sehingga konsep Peirce lebih menekankan pada perkembangan semiotika
komunikasi. Saussure menggunakan istilah semiologi sedangkan Peirce menggunakan istilah
semiotika. Semiotika dapat digolongkan ke dalam dua paham yakni strukturalis dan pasca
strukturalis. Penggolongan ini sejujurnya masih bersifat kompleks karena kedua paham
tersebut tidak bisa dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya. Pasca strukturalis
merupakan paham dari hasil ketidakpuasan terhadap paham strukturalis yang menekankan
struktur atau unsur-unsur dalam sebuah karya sastra sehingga karya sastra dianggap sebagai
sesuatu yang otonom. Oleh karena itu, kajian semiotika tidak dapat dikatakan secara pasti
sebagai semiotika strukturalis maupun semiotika pasca strukturalis karena dalam
penerapannya untuk mengupas makna sebuah karya sastra tidak dapat terlepas begitu saja
dari pertalian unsur-unsur pembangun karya sastra tersebut. Akan tetapi, kajian semiotika
pascastrukturalis lebih dinamis, liar, dan luas karena mengupas makna secara totalitas dan
tidak menganggap karya sastra sebagai artefak melainkan sebagai objek estetis.

Semiotika strukturalis terkesan mengabaikan dunia luar karya sastra, meliputi


sosiohistoris karya sastra, proses kreatif pengarang, dan sosio kultural karya sastra, pengarang
dan pembaca, yang justru merupakan asal-usul karya sastra diciptakan. Semiotika strukturalis
jelas memperlakukan manusia semata-mata sebagai wadah, sebagai tempat persinggahan,
oleh karena itulah disebut juga sebagai analisis anti-humanis. Kelompok Saussurean, kaum
semiologi strukturalis pada umumnya, memandang hubungan antara penanda dan petanda
terjadi secara serta merta, sebagai proses yang niscaya, sehingga bukan lagi arbitrer dengan
konsekuensi tidak terjadinya mediasi-mediasi.

Sebaliknya, semiotika postrukturalis, yang diduga diawali dengan pergolakan


mahasiswa di Perancis sekitar tahun 1938 (Paul Cobley dan Litza Jansz), lebih khusus lagi
dengan terciptanya karya-karya Derrida, dimana subjek manusia mulai dipertimbangkan dan
bahkan sangat menentukan. Semiotika sebagai teori postrukturalis atau pascastrukturalis,
yang diperbaharui oleh Roland Barthes, Umberto Eco, Julia Kristeva, Jonathan Culler,
Foucoult, Jacques Derrida, dll. Semiotika postrukturalis memandang tanda secara
keseluruhan, yaitu penanda dan petanda secara terus menerus menampilkan ruang kosong
yang memungkinkan terjadinya mediasi-mediasi, disitulah terjadi hubungan dengan
dunianyata (Ratna, 2013: 103-104).
2. Teori Intertekstualitas

Secara luas, intertekstual dapat diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks
dengan teks yang lain (Ratna, 2013: 172). Dengan kata lain, dapat pula dikatakan bahwa
intertekstualitas adalah penyelidikan atau penelusuran hubungan antar teks sastra dengan teks
satra yang lainnya guna mengupas makna secara totalitas. Teeuw (1984: 145) menyatakan
bahwa yang mendasari intertekstualitas adalah tidak ada sebuah teks yang sungguh-sungguh
mandiri, dalam artian bahwa suatu teks tidak dapat diciptakan tanpa adanya teks-teks yang
lain atau teks pendahulunya. Oleh karena itulah sebuah teks harus dibaca, dianalisis, dan
diinterpretasi dengan latar belakang teks-teks yang lain guna memahami makna
secaratotalitas.

Penelitian intertekstual mulanya adalah pengembangan dari resepsi sastra, resepsi


teks. Dengan asumsi dasar bahwa teks sastra tidak pernah berdiri sendiri melainkan selalu
dibangun atas teks yang lain atau teks sebelum-sebelumnya. Pengarang ketika menciptakan
karyanya, telah meresepsi karya sebelumnya yakni karya yang telah dibacanya. Kasus
intertekstualitas tergantung pada keahlian pengarang menyembunyikan atau sebaliknya
menampakkan karya orang lain dalam karyanya (Endraswara, 2011).

Lebih luas lagi, ka!ian intertekstualitas masuk ke dalam ranah hipogram, yakni modal
utama dalam sastra yang akan melahirkan karya berikutnya (Riffaterre, 1978: 23). Dapat
dikatakan bahwa hipogram adalah karya yang melatar belakangi kelahiran karya-karya sastra
berikutnya. Sedangkan karya yang menyerap dan mentransformasikan hipogram disebut teks
transformasi. Hipogram merupakan induk yang menetaskan karya-karya baru. Di dalam
hipogram terdapat beberapa aspek yang meliputi: (1) ekspansi, yaitu perluasan atau
pengembangan karya; (2) konversi, yaitu pemutarbalikan hipogram; (3) modifikasi, yaitu
perubahan tataran linguistik, manipulasi urutan kata dan kalimat; (4) ekserp, yaitu semacam
intisari dari unsur atau episode dalm hipogram (Riffaterre, 1978).

Anda mungkin juga menyukai