Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Secara umum semiotika telah dimulai sejak filosof Yunani kuno, seperti Plato
dan Aristoteles, dan juga pada ahli-ahli skolastik abad pertengahan.Semiotika
merupakan cabang ilmu yang berkaitan dengan system tanda dan yang berlaku bagi
penggunaan tanda.

Membaca terori mengenai semiotika yang sampai sekarang ini masih banyak
dipelajari dalam ilmu teori komunikasi. Semiotika atau ilmu ketandaan (juga
disebut studi semiotik dan dalam tradisi Saussurean disebut semiologi) adalah studi
tentang makna keputusan. Ini termasuk studi tentang tanda-tanda dan proses tanda
(semiosis), indikasi, penunjukan, kemiripan, analogi, metafora, simbolisme, makna,
dan komunikasi. Semiotika berkaitan erat dengan bidang linguistik, yang untuk
sebagian, mempelajari struktur dan makna bahasa yang lebih spesifik. Namun,
berbeda dari linguistik, semiotika juga mempelajari sistem-sistem tanda non-
linguistik.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang Penulis tentukan yaitu:

1. Apa yang dimaksud dengan teori semiotika?


2. Apa saja masalah yang berkaitan dengan semiotika?
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Definisi Semiotika


Semiotik berasal dari kata Yunani semeion,yang berarti tanda.Dalam
pandangan Piliang, penjelajahan semiotika sebagai metode kajian ke dalam berbagai
cabang keilmuan ini dimungkinkan karena ada kecenderungan unutk memandang
berbagai wacana social sebagai fenomena bahasa. Dengan kata lain, bahasa dijadikan
model dalam berbagai wacana sosial. Berdasarkan pandangan semiotika, bila seluruh
praktik sosial dapat dianggap sebagai fenomena bahasa, maka semuanya dapat juga
dipandang sebagai tanda.Hal ini dimungkinkan karena luasnya pengertian tanda itu
sendiri (Piliang, 1998:262).

Semiotika menurut Berger memiliki dua tokoh, yakni Ferdinand de Saussure


(1857-1913) dan Charles Sander Peirce (1839-1914). Kedua tokoh tersebut
mengembangkan ilmu semiotika secara terpisah dan tidak mengenal satu sama lain.
Saussure adalah linguistic, sedangkan Peirce filsafat. Saussure menyebutnya ilmu
yang dikembangkan semiology(semilogy).

Semiology menurut Saussure seperti dikutip dikutip Hidayat, didasarkan pada


anggapan bahwa selama perbuatan dan tingkah laku manusia membawa makna atau
selama berfungsi sebagai tanda, dibelakangnya harus ada system perbedaan ddan
konvensi yang memungkinkan makna itu.Dimana ada tanda, disana ada system
(Hidayat, 1998:26).

Sedangkan Pierce menyebut ilmu yang dibangun semiotika (semiotics).Bagi


Pierce yang ahli filsafat dan logika, penalaran manusia senantiasa dilakukan lewat
tanda. Artinya,manusia hanya dapat bernalar lewat tanda. Dalam pikirannya, logika
sama dengan semiotika dan semiotika dapat diterapkan pada segala macam tanda
(Berger, 2000:11-12). Dalam perkembangan selanjutnya, istilah semiotika lebih
popular dari padasemiologi.
Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tanda (sign),berfungsinya tanda dan
produksi makna. Tanda adalah sesuatu yang bagi seseorang berarti sesuatu yang lain.
Dalam pandangan Zoes, segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat teramati dapat
disebut tanda.Karena itu, tanda tidaklah terbatas pada benda.Adanya peristiwa, tidak
adanya peristiwa, struktur yang ditemukan dalam sesuatu, suatu kebiasaan, semua itu
dapat disebut tanda. Sebuah bendera kecil, sebuah isyarat tangan, sebuah kata, suatu
keheningan, suatu kebiasaan makan, sebuah gejala mode, suatu gerak syaraf,
peristiwa memerahnya wajah, suatu kesukaan tertentu, letak bintang tertentu, suatu
sikap, setangkai bunga, rambut uban, sikap diam membisu, gagap, berbicara cepat,
berjalan sempoyongan, menatap, api, putih, bentuk, bersudut tajam, kecepatan,
kesabaran, kegilaan, kekhawatiran, kelengahan, semua itu dianggap sebagai tanda
(Zoest, 1993, 1993:18)

Lebih lanjut dikatakannya bahwa penanda terletak pada tingkatan ungkapan


(level of expression) dan mempunyai wujud atau merupakan bagian fisik seperti
bunyi, huruf, kata, gambar, warna, objek dan sebagainya.

Petanda terletak pada level of content (tingkatan isi atau gagasan) dari apa
yang diungkapkan melalui tingkatan ungkapan. Hubungan (mewakili) sesuatu hal
(benda) yang lain. Ini disebut referent.Lampu merah mengacu pada kesedihan.
Apabila hubungan antara tanda dan yang diacu terjadi, maka dalam benak orang yang
melihat atau mendengar akan timbul pengertian (Eco, 1979:59).

Menurut Pierce, tanda (representament) ialah sesuatu yang dapat mewakili


sesuatu yang lain dalam batas-batas tertentu (Eco, 1979:15). Tanda akan selalu
mengacu kepada sesuatu yang lain, oleh Pierce disebut objek (denotatum). Mengacu
berarti mewakili atau menggantikan.Tanda baru dapat berfungsi bila
diinterpresentasikan dalam benak penerdima tanda melalui interpretantt.Jadi
interpretantt ialah pemahaman makna yang muncul dalam diri penerima
tanda.Artinya, tanda baru dapat berfungsi sebagai tanda bila dapat ditangkap dan
pemahaman terjadi berkat groumd, yaitu pengetahuan tentang system tanda dalam
suatu masyarakat. Hubungan ketiga unsur yang dikemukakan Pierce terkenal dengan
nama segitiga semiotic.

Ikon adalah tanda yang antara tanda dengan acuannya ada hubungan
kemiripan dan biasa disebut metafora.Contoh ikon adalah potret.Bila ada hubungan
kedekatan eksistensi, tanda demikian disebut indeks.Tanda seperti ini disebut
metomini.Contoh indeks adalah tanda panah petunjuk arah bahwa disekitar tempat itu
ada bangunan tertentu. Langit berawan tanda hari akan hujan. Symbol adalah tanda
yang diakui keberadaanya berdasarkan hokum konvensi. Contoh symbol adalah
bahasa tulisan/

Ikon, indeks, symbol merupakan perangkat hubungan antara dasar (bentuk),


objek (referent) dan konsep (interpretantt atau reference). Bentuk biasanya
menimbulkan menimbulkan persepsi persepsi dan setelah dihubungkan dengan objek
akan menimbulkan interpretantt. Proses ini merupakan proses kognitif dan terjadi
dalam memahami pesan iklan.

Rangkaian pemahaman akan berkembang terus menerus, seiring dengan rang


kaian semiosis yang tidak kunjung berakhir. Selanjutnya, terjadi tingkatan rangkaian
semiosis. Interpretantt pada rangkaian semiosis lapisan pertama akan menjadi dasar
untuk mengacu pada objek baru dan dari sini terjadi rangkaian semiosis lapisan
kedua. Jadi, apa yang berstatus sebagai tanda pada lapisan pertama berfungsi sebagai
penanda [ada lapisan kedua dan denikian seterusnya.

Terkait dengan itu, Barthes seperti dikutip Iriantara dan Ibrahim (2005:118-
119) mengemukakan teorinya tentang makna konotatif.Ia berpendapat bahwa
konotasi dipakai untuk menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda dalam
tatanan pertanda kedua. Konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung tatkala
tanda bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya dan nilai-nilai
kulturalnya.Ini terjadi tatkala makna bergerak menuju subjektif atau setidaknya
intersubjektif. Semuanya berlangsung ketika interpretant dipengaruhi sama
banyaknya oleh penafsir dan objek atau tanda.

2.2 Tanda (Ikon, Indeks, Simbol)

Merujuk teori Pierce (Noth, 1995:45), tanda-tanda dalam gambar dapat


digolongkan ke dalam ikon, indeks, dan symbol.Ikon adalah tanda yang mirip dengan
objek yang diwakilinya.Misalnya, Peta Yogyakarta adalah ikon dari wilayah
Yogyakarta yang digambarkan dalam peta tersebut. Cap jempol Sultan adalah ikon
dari ibu jari Sultan.Indeks merupakan tanda yang memiliki hubungan sebab-akibat
dengan apa yang diwakilinya atau disebut juga tanda sebagai bukti. Contohnya: asap
dan api, asap menunjukkan adanya api.Simbol merupakan tanda berdasarkan
konvensi, peraturan, atau perjanjian yang disepakati bersama. Contohnya: Garuda
Pancasila bagi bangsa Indonesia adalah burung yang memiliki perlambang yang kaya
makna. Namun bagi orang yang memiliki latar budaya berbeda, seperti orang
Eskimo, misalnya, Garuda Pancasila hanya dipandang sebagai burung elang biasa.

2.3 Kode
Kode menurut Piliang (1998:17) adalah cara pengkombinasian tanda yang
disepakati secara sosial untuk memungkinkan satu pesan disampaikan dari seseorang
ke orang lainnya.Sedangkan kode dalam terminology sosiolinguistik ialah variasi
tutur yang memiliki bentuk khas, serta makna yang khas pula (Poedjosoedarmi,
1986:27).Dalam praktik bahasa, sebuah pesan yang dikirim kepada penerima pesan
diatur melalui seperangkat konvensi atau kede.Umberto Eco menyebut kode sebagai
aturan yang menjadikan tanda sebagai tampilan yang konkret dalamsistem
komunikasi (Eco, 1979:9).

Fungsi teks-teks yang menunjukan pada sesuatu (mengacu pada sesuatu)


dilaksanakn berkat sejumlah kaidah, jandi dan kaidah-kaidah alami yang merupakan
dasar dan alas an mengapa tanda-tanda itu menunjukan pada isinya. Tanda-tanda ini
menurut Jakobson merupakan sebuah system yang dinamakan kode (hartoko,
1992:92),

Kode pertama yang berlaku pada teks-teks adalah kode bahasa yang
digunakan untuk mengutarakan teks yang bersangkutan.Kode bahasa ini dicantumkan
dalam kamus dan tata bahasa.Selain itu, teks-teks tersusun menurut kode-kode lain
yang disebut kode sekunder, karena bahannya ialah sebuah system lambing primer,
yaitu bahasa.Sedangkan struktur cerita, prinsip-prinsip drama, bentuk-bentuk
argumentaasi, system metric, semua itu merepakan kode-kode sekunder yang
digunakan dalam teks-teks untuk mengalihkan arti.

Ronald Barthes dalam buku S/Z mengelompokan kode-kode tersebut menjadi


lima kisi-kisi kode, yakni kode hermeutik, kode semantic, kode simbolik, kode narasi
dank ode kultural atau kode kebudayaan (Barthes, 1974:106). Uraian kode-kode
tersebut dijelaskan Pradopo (1991:80-81) sebagai berikut:Kode hermeneutic, yaitu
artikulasi pelbagai cara pertanyaan, teks-teks, respons, enigma, penanggung jawaban,
akhirnya menuju pada jawaban. Atau dengan kata lain, kode hermeneutic
berhubungan dengan teka-teki yang timbul dalam sebuah wacana. Siapakah mereka?
Apa yang terjadi? Halangan apakah yang muncul? Jawaban yang satu menunda
jawaban yang lain.

Kode semantic, yaitu kode yang mengandung konotasi pada level


penanda.Misalnya konotasi femininitas dan maskulinitas. Atau dengan kata lain, kode
semantic adalah tanda-tanda yang ditata sehingga memberikan suatu konotasi
maskulin, feminism, kebangsaan, kesukuan atau loyalitas,

Kode simbolik, yaitu kode yang berkaitan dengan psikonalisis, antithesis,


kemenduaan, pertentangan dua unsur atau skizofrenia.Kode narasi, atau proairetik
yang mengandung cerita, urutan, narasi atau antinarasi.
Kode kebudayaan atau kultural¸yaitu suara-suara yang bersifat kolektif,
anonym, bawah sadar, mitos, kebijaksanaan, pengetahuan, sejarah, moral, psikologi,
sastra, seni dan legenda.

BAB III

MASALAH

3.1 Dari “Kekerasan Domestik” ke “Kekerasan Simbolik”

Dalam ruang public (public sphere), kekerasan fisik dan psikologis terhadap
wanita hingga kini juga masih mewarnai kehidupan.Kekerasan ini tampak dalam
bentuk pelecehan, perkosaan, penodaan terhadap wanita bahkan di tempat-tempat
umum yang terbuka.Namun, kini kekerasan fisik (physical violence) didalam rumah
tangga tampak telah diperkukuh lagi dengan kekerasan simbolik (symbolic violence)
yang berlangsung diruang public.Kekerasan simbolik menemukan tempatnya yang
paling subur dalam media, sebab media memungkinkan terjadinya berbagai corak
kekerasan “tak tampak tapi terasa” (seperti distorsi, pelencengan, pemalsuan,
plesetan).

Kini, kita bisa menemukan corak kekerasan simbolik yang muncul dalam
bentuk penggunaan bahasa dan foto atau gambar yang muncul di media (baik cetak
maupun elektronik) yang memposisikan wanita dalam stereotype body and beauty,
not brain. Tidak jarang kita menemukan dalam media massa cetak dan elektronik
bahasa atau gambar yang secara ideologis mengandung makna yang merendahkan,
menghakimi dan bahkan menghina.

Sering kita temukan dalam pemberitaanmengenai korban pembunuhan dan


perkosaan. Pasti yang akan ditonjolkan media adalah bagian-bagian tubuh wanita
secara detail, seakan-akan tubuh korban sebagai “barang seni” yang harus
dideskripsikan dara korban atau wanita lain.Selain itu, yang juga sering dilupakan
adalah kekerasan simbolik yang berdampak psikologis terhadap wanita dalam bentuk
penggunaan kata-kata kasar dan hardikan yang bisa kita temukan dalam berbagai
kesempatan.

Dalam studi komunikasi politik, bahasa dianggap sebagai senjata yang ampuh
dalam peraturan politik tingkat tinggi.Bahasa adalah kekuatan dalam perang dan
damai.Ia menjadi ajang pergulatan cinta dan dusta. Ia menjadi ranah pertentangan,
trik dan intrik. Bahasa adalah pemicu atau penengah, penjara sekaligus jalan tengah,
racun sekali obat, demikianlah kalau bahasa kita maknai dalam pengertian ideologis
seperti diuraikan Terry Eagleton dalam What is Ideologi (1991).

Dalam konteks itulah, kita bisa membongkar berbagai bahasa di media yang
menampilkan wanita dalam cermin dan cerita yang tak jarang telah terdistorsi. Pada
gilirannya, bahasa (dalam corak huruf dan gambar) telah ikut mengkontruksi
perempuan dalam posisi sebagai “warga Negara kelas dunia” (the second class
citizen) kalau kita menggunakan istilah Haig A. bosjiman dalam The Language of
Opression (1983), sehingga wanita benar-benar menjadi the second sex,menggunakan
istilah yang digunakan Simoni de Beauvior.Namun, adalagi corak kekerasan lain
yang lebih halus (subtle), yakni kekerasan simbolik dalam bentuk pemanjangan atau
display tubuh wanita sebagai objek tontonan untuk memenuhi hasrat laki-laki dan
sebagai objek imajinasi serta fantasi seksual laki-laki, atau apa yang disebut Laura
Mulvey dalam artikelnya yang cukup terkenal “Visual pleasure and Narrative
Cinema” atay sebagai objek “sensual pleasure” laki-laki”.

Sementara,akhir-akhir ini di tanah air, kita juga tengah menyaksikan


kebangkitan kembali sensualisme dan erotisme media sebagai kiblat pendukung
“jurnalis-me lheer” yang tidak lagi menjadikan seks sebagai bumbu penyedap, tapi
malah sudah sebagai menu utama. Media jenis ini memang menjadi ajang display
wanita yang suka bupati (buka paha tinggi) dan menyediakan ruang public bagi
wanita-wanita bertampang komersial untuk menangguk hidup di pentas etalase
kebudayaan pop dengan memamerkan bagian-bagian “sekwilda” (sekitar wilayah
dada).

BAB IV

PENUTUP

4.1 KESIMPULAN

Semiotika (kadang juga disebut semiologi) adalah disiplin ilmu yang


mempelajari tanda (sign).Dalam kehidupan sehari-hari tanda hadir dalam bentuk yang
beraneka ragam; bisa berwujud simbol, lambang, kode, ikon, isyarat, sinyal,
dsb.Bahkan segala aspek kehidupan ini penuh dengan tanda.Dan dengan sarana
tandalah manusia bisa berfikir, tanpa tanda kita tidak dapat berkomunikasi.

Dalam perbincangan mengenai semiotika sebagai sebuah ilmu, ada semacam


ruang kontradiksi yang secara histories dibangun diantara dua kubu semiotika, yaitu
semiotika continental Ferdinand de Saussure dan semiotika amerika Charles Sander
Pierce.

Mempelajari semiotika sama dengan kita mempelajari tentang berbagai tanda.


Cara kita berpakaian, apa yang kita makan, dan cara kita bersosialisasi sebetulnya
juga mengomunikasikan hal-hal mengenai diri kita, dan dengan begitu, dapat kita
pelajari sebagai tanda.

Tanda itu sebenarnya bertebaran di mana-mana; di sekujur tubuh kita: ketika


kita berkata, ketika kita tersenyum, ketika kita menangis, ketika kita cemberut, dst.
DAFTAR PUSTAKA

Tinarbuko, Sumbo. 2009. Semiotika Komunikasi Visual (Edisi Revisi). Yogyakarta: Jalasutra.
Ibrahim, Idi Subandi. 2004. Komunikasi Empatik. Bandung : Pustaka Bumi Quraisy
Ebook, 2012.“Pendekatan Semiotika Dalam Pembelajaran Analisis Teks”(online). Tersedia
dalamhttp://ebookbrowse.com/gdoc.php?
id=279532351&url=b36ebae913e2c42cec4c73b31ad61af4

Ebook, 2012.“Penelitian Seiotika” (online). Tersedia dalamhttp://ebookbrowse.com/makalah-


semiotika-pdf-d246195682

Anda mungkin juga menyukai