Anda di halaman 1dari 11

Pendekatan Semiotika

Dalam Studi Naskah Kitab Tafsir al-Qur’an

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah


Studi Naskah Kitab Tafsir Bahasa Inggris

Disusun Oleh:
Sunan Rahmatullah Majid
NIM: 80600221001

Dosen Pembimbing;

Prof. Dr, H. M. Rusydi Khalid, M.A

PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN
MAKASSAR
2022
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dialektika kajian al-Qur’an merupakan suatu hal menarik bagi para
peneliti di era sekarang. Nyatanya bahwa pengembangan studi al-Qur’an tersebut
bersifat responsif. Dalam hal ini menunjukkan bahwa kajian al-Qur’an dari aspek
metode, pendekatan dan lain sebagainya terus dikembangkan oleh para
intelektual. Perkembangan metodologi tafsir al-Qur’an bukanlah suatu hal yang
stagnan dan terbelakang, tetapi dapat dikembangkan dari masa ke masa. Seperti
halnya ada beberapa multi varian pendekatan yang dikembangkan dalam studi al-
Qur’an, misalnya dari pendekatan kebahasaan di dalamnya terdapat pendekatan
hermeneutika, semantik, filologi dan semiotika.
Berbeda dengan pendekatan kebahasaan lainnya dan tentunya dari setiap
pendekatan, memiliki wilayah kajian masing-masing. Secara umum, semiotika
dikenal dengan ilmu tentang tanda (sign). Dalam ilmu komunikasi, semiotika
dikelompokkan pada kajian komunikasi non verbal, yang menjelaskan makna
komunikasi dengan adanya tanda, simbol atau isyarat.
Menganggap bahwa bahasa Arab merupakan suatu hasil dari produk
budaya dan dipilih sebagai bahasa dalam mediasikan ayat-ayat al-Qur’an yang
menjadikannya menarik untuk dikaji. Terlebih lagi dengan melihat bahasa Arab
al-Qur’an yang menyimpan banyak tanda, simbol serta isyarat. Untuk itu, di
antara dari beberapa pendekatan yang digunakan untuk mengungkap sebuah
makna dari sebuah tanda ialah semiotika.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengertian Semiotika beserta Tokoh-tokohnya ?
2. Bagaimana Pendekatan Semiotika pada Kajian Naskah Tafsir ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Semiotika dan Tokoh-Tokohnya
1. Pengertian Semiotika
Kata semiotika berasal dari bahasa Yunani yakni semeion yang berarti
tanda atau seme yang berarti penafsir tanda. Sebagai suatu disiplin ilmu, semiotika
berarti ilmu analisis tanda atau studi tentang bagaimana sitem penandaan itu
berfungsi. Dengan demikian semiotika adalah ilmu yang mengkaji tentang tanda.
Tanda-tanda merupakan perangkat yang selalu melekat pada diri manusia
maupun sekitar manusia. sebab, tanda-tanda ada di mana-mana, kata adalah tanda,
demikian pula gerak isyarat, lampu lalu lintas, bendera dan sebagainya. Tanda
dalam pengertian ini bukanlah sekedar harfiah melainkan lebih luas, misalnya
struktur karya sastra, struktur film, bangunan, nyanyian burung dan segala sesuatu
dapat dianggap sebagai tanda dalam kehidupan manusia.1
Menurut Morris, semiotika adalah ilmu mengenai tanda, baik yang bersifat
manusiawi maupun hewani, berhubungan dengan suatu bahasa tertentu atau tidak,
mengandur unsur kebenaran atau kekeliruan, bersifat sesuai atau tidak sesuai,
bersifat wajar atau mengandung unsur yang dibuat-buat. Sama halnya seorang
tokoh bernama Klaus Buhr memahami semiotika sebagai teori umum mengenai
tanda-tanda bahasa sebagai bagian dari ilmu pengetahuan. Semua pengetahuan
pada akhirnya merupakan suatu pengetahuan yang bersifat sosial dengan syarat
media yang digunakan dalam tukar menukar informasi, penerimaan informasi,
cara pengolahan informasi dan lain sebagainya dapat ditentukan secara bebas.
Media yang dimaksudkan di sini adalah tanda bahasa.2

1
Van Zoest dan Panuti Sudjman, Serba-serbi Semiotika (Jakarta: Gramedia, 1992), h. vii;
dikutip dalam Muhammad Sakti Garwan, “Analisis Semiotika pada Teks Al-Qur’an tentang
Khamar dalam Pendekatan Semanalisis hingga Intertekstualitas Julia Kristeva” Jurnal Subtantia
22, No. 51 (April) (2020), h. 50-51.
2
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Dasar-dasar Semiotik (Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1996), h. 3.
Semiotika merupakan sebuah istilah yang belum lama kita kenal, mungkin
baru sekitar dua setengah dua warsa atau mungkin kurang dari itu. Sekalipun
termasuk sesuatu yang baru, bukan berarti kita tidak pernah berkecimpung di
dalamnya. Sebab secara universal, semiotika dipahami sebagai metode
pemahaman mengenai realitas dan fenomena semiotika adalah realitas itu sendiri.
Maka pada dasarnya fenomena semiotik selalu hadir dalam kehidupan sehari-hari.
Misalnya pada saat di jalan raya, menghadiri upacara adat, pernikahan dan lain
sebagainya.
Sebagai metode pendekatan, semiotika dapat diartikan sebagai ilmu yang
membahas tentang tanda dan sistem tanda. Seorang tokoh Aart van Zoest
menyebutkan bahwa semiotika sebagai stusi tentang tanda dan segala sesuatu
yang berkaitan dengannya seperti cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-
tanda lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang
mempergunakannya. Oleh karenanya, semiotika juga bertautan dengan proses
penandaan dan dengan proses komunikasi yakni sebagai sebuah alat atau media
tempat makna-makna ditetapkan dan dipertukarkan.3
2. Tokoh-tokoh Semiotika
a) Ferdinand de Saussure
Ferdinand de Saussure adalah tokoh yang dikenal sebagai pelopor
semiotika modern yang berkebangsaan Swiss. Menurutnya, semiotika
didefinisikan sebagai ilmu yang mengkaji tanda sebagai bagian dari kehidupan
sosial. Dalam artian bahwa semiotika sangat menyadarkan dirinya pada aturan
main atau kode sosial yang berlaku dalam masyarakat, sehingga dapat dipahami
maknanya secara kolektif. Lebih lanjut, Saussure melihat sebuah tanda sebagai
pertemuan antara bentuk dan makna dengan menggunakan istilah signifier
(penanda) dan signified (petanda). Dari hal ini, ia melihat tanda sebagai sesuatu
yang menstruktur dan terstruktur di dalam pengetahuan manusia. tanda

3
Nur Sahid, Semiotika untuk Teater, Tari, Wayang Purwa dan Film (Yogyakarta: gigih
Pustaka Mandiri, 2016), h. 2.
merupakan satu kesatuan dari suatu bentuk penanda dengan sebuah ide petanda.
Penanda adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna. Jadi penanda
adalah aspek material dari bahasa (apa yang dikatakan atau didengar atau apa
yang ditulis dan dibaca. Sedangkan petanda adalah gambaran mental, pikiran atau
konsep. Maka yang perlu diperhatikan adalah bahwa dalam tanda bahasa yang
utuh , tidak terlepas dari dua unsur tersebut. Sebab, tanda dari suatu bahasa selalu
mempunyai dua segi yakni penanda dan petanda.4

Signified/Concept (Petanda)
Tanda = =
Signifier/Sound Pattern (Penanda) Pohon

b) Charles Sander Peirce


Menurutnya, tanda adalah sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain
dalam batas-batas tertentu. tanda-tanda memungkinkan seseorang berpikir,
berhubungan dengan orang lain dan memberi makna pada apa yang ditampilkan
oleh alam semesta. Manusia memiliki kemungkinan yang sangat luas dalam
penerapan tanda-tanda tersebut. Dalam kajian teori semiotika, Pierce memusatkan
perhatiannya pada berfungsinya tanda pada umumnya. Lebih lanjut dijelaskan
bahwa sebuah tanda mengacu kepada sesuatu yang disebut objek. Dalam hal ini
kata mengacu berarti mewakili suatu objek. Misalnya kata meja mewakili pada
objek meja itu sendiri. Kemudian sebuah tanda harus dapat ditangkap agar dapat
berfungsi dan sebuah tanda hanya dapat berfungsi apabila ada yang menjadi
dasarnya (ground), dan dari situlah akan menghasilkan sebuah makna
(interpretant). Misalnya sebuah tanda lampu hijau yang mengacu pada rambu lalu
lintas yang menandakan kepada makna bolehnya seorang pengendara untuk jalan.

4
Fatimah, Semiotika dalam Kajian Iklan Layanan Masyarakat (Gowa: Gunadarma Ilmu,
2020), h. 31-32.
Pierce menyebutnya dengan hubungan tiga unsur tanda sebagai segitiga semiotika
yakni objek/referent, ground/representamen dan interpretant.5

Interpretant

Sign/Tanda

Representamen/Ground Referent/Objek

c) Roland Barthes
Barthes merupakan seorang tokoh semiotika yang mengikuti aliran
semiotika Saussure, yang berpandangan bahwa semiotika adalah sistem tanda
yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu
tertentu. Dalam istilah Barthes, semiologi pada dasarnya mempelajari bagaimana
kemanusiaan memaknai hal-hal tertentu. Memaknai (to signify) dalam hal ini
tidak dapat mencampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate).
Memaknai berarti bahwa objek-objek tersebut hendak dikomunikasikan, tetapi
juga merekonstruksi sistem terstruktur dari sebuah tanda. Dengan demikian,
Barthes melihat signifikasi sebagai sebuah proses yang total dengan suatu susunan
yang sudah terstruktur. Signifikasi tersebut tidak hanya terdapat pada bahasa,
tetapi juga terdapat pada hal-hal selain dari pada bahasa. Pada akhirnya, ia
menganggap kehidupan sosial itu sendiri merupakan suatu bentuk dari signifikasi.
Dengan kata lain, kehidupan sosial atau apa pun bentuknya merupakan suatu
sistem tanda tersendiri.6

5
Nur Sahid, Semiotika untuk Teater, Tari, Wayang Purwa dan Film, h. 5.
6
Fatimah, Semiotika dalam Kajian Iklan Layanan Masyarakat (Gowa: Gunadarma Ilmu,
2020), h. 46
Sebagai pengikut dari pada semiotika Saussure, Barthes melakukan
pengembangan kajian pada aspek makna dari sebuah tanda yang menekankan
pada tiga hal yakni makna denotatif, konotatif dan mitos/metabahasa. Denotatif
merupakan makna yang terungkap dan terpampang jelas secara kasat mata, dalam
hal ini denotatif merupakan makna yang sebenarnya. Sedangkan makna konotatif
merupakan pemaknaan tingkat kedua mengungkapkan makna yang terkandung
dalam tanda-tanda. Dan adapun mitos ialah makna yang ada dan berkembang
dalam benak masyarakat karena adanya pengaruh sosial atau budaya, tentunya
dengan memperhatikan dan memaknai korelasi antara apa yang terlihat secara
nyata (denotatif) dengan tanda yang tersirat dari hal tersebut (konotatif).7

B. Pendekatan Semiotika pada Kajian Naskah Tafsir

Kajian pendekatan semotika pada tafsir al-Qur’an rupanya tidak kalah


penting dibandingkan dengan kajian linguistik, semantik, hermeneutik dan
sebagainya. Penggunaan semiotika pada studi al-Qur’an tentunya sebagai varian
baru dalam khazanah keilmuan al-Qur’an dan tafsir. Mengingat bahwa semiotika
lahir dari rahim khazanah keilmuan barat, tetapi juga dapat membuka diri pada
pengembangan kajian keislaman kontemporer khususnya pada studi al-Qur’an.
Istilah tafsir semiotik memandang bagaimana sistem penandaan berfungsi
pada teks-teks al-Qur’an, tentunya dengan melihat bahwa bahasa yang digunakan
oleh al-Qur’an ialah bahasa Arab sebagai media komunikasi terhadap
pembacanya. Mengetahui bahwa bahasa Arab merupakan bagian dari bahasa
dunia, terlebih lagi dalam dunia Islam. Fungsionalitas bahasa Arab tentunya
memiliki konsekuensi teoritis aplikatif dalam bahasa al-Qur’an. keuniversalan
bahasa al-Qur’an menjadi lahan subur dalam berbagai disiplin keilmuan terlebih
lagi dalam mencari suatu makna dalam suatu konteks wacana.8

7
Putu Krisdiana Nara Kusuma dan Iis Kurnia Nurhayati, “Analisis Semiotika Roland
Barthes pada Ritual Otonan di Bali”, Jurnal Manajemen Komunikasi 1, No 2 (April) (2017), h.
201.
8
Wahyu Hanafi, “Semiotika al-Qur’an: Representasi Makna Verbal Reflektif Perilaku
Manusia dalam Surat al-Maun dan Bias Sosial Keagamaan”, Jurnal Dialoga 15, No. 1 (Juni)
Selain dari pada itu bahwa al-Qur’an terdiri atas rangkaian huruf-huruf
Arab serta tersusun dari untaian kata-kata dan kalimat, yang merupakan sumbar
dari berbagai varian makna dari tanda-tanda. Maka salah satu pendekatan yang
relevan digunakan dalam metodologi kajian tafsir ialah pendekatan semiotika.
Semiotika berbeda halnya dengan hermenuetika. Jika hermeneutika memberikan
fokus bahasan yang cukup luas yang mencakup teks, pembaca (reader) dan
pengarang teks (author). Maka semiotika mempersempit wilayah kajian tersebut
dengan hanya memberikan fokus kepada tentang tanda, fungsi dan cara kerjanya.
Menjadikan semiotika sebagai salah satu pendekatan pada Quranic studies
tentunya bertujuan dalam mengkontruksi makna bahasa al-Qur’an dengan sistem
tanda. Dalam hal ini, interpretasi tanda merupakan bentuk wujud dari adanya
sinergi antara petanda dan penanda sehingga melahirkan makna yang baru. Sebab
al-Qur’an tidak pernah menjadikan dirinya sebagai teks yang baku, bahkan
dengan adanya semiotika sebagai pendekatan, al-Qur’an akan terus memproduksi
makna-makna yang baru. Oleh karenanya, orientasi kajian ini mengandung
pengertian bahwa suatu upaya mengkaji dan menafsirkan al-Qur’an dengan cara
kerja dan fungsi tanda-tanda dalam teks al-Qur’an.

(2017), h. 13.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Semiotika dapat diartikan sebagai ilmu yang membahas tentang tanda dan
sistem tanda. Seorang tokoh Aart van Zoest menyebutkan bahwa
semiotika sebagai stusi tentang tanda dan segala sesuatu yang berkaitan
dengannya seperti cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda
lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang
mempergunakannya. Semiotika merupakan sebuah istilah yang belum
lama kita kenal, mungkin baru sekitar dua setengah dua warsa atau
mungkin kurang dari itu. Oleh karenanya, beberapa tokoh yang
berkontribusi dan masyhur terkenal dalam kajian ilmu semiotika yakni
Ferdinand de Saussure, Charles Sander Pierce dan Roland Barthes.
2. Istilah tafsir semiotik memandang orientasi kajian ini mengandung
pengertian bahwa suatu upaya mengkaji dan menafsirkan al-Qur’an
dengan cara kerja dan fungsi tanda-tanda dalam teks al-Qur’an.
Menjadikan semiotika sebagai salah satu pendekatan pada Quranic studies
tentunya bertujuan dalam mengkontruksi makna bahasa al-Qur’an dengan
sistem tanda. Dalam hal ini, interpretasi tanda merupakan bentuk wujud
dari adanya sinergi antara petanda dan penanda sehingga melahirkan
makna yang baru.
3.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an al-Karim.
Zoest, Van dan Panuti Sudjman. Serba-serbi Semiotika. Jakarta: Gramedia, 1992.
h. vii. Dikutip dalam Muhammad Sakti Garwan. “Analisis Semiotika pada
Teks Al-Qur’an tentang Khamar dalam Pendekatan Semanalisis hingga
Intertekstualitas Julia Kristeva”. Jurnal Subtantia 22. No. 51 (April)
(2020): h. 50-51.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dasar-dasar Semiotik. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1996.
Sahid, Nur. Semiotika untuk Teater, Tari, Wayang Purwa dan Film. Yogyakarta:
gigih Pustaka Mandiri. 2016.
Fatimah. Semiotika dalam Kajian Iklan Layanan Masyarakat. Gowa: Gunadarma
Ilmu. 2020.
Kusuma, Putu Krisdiana Nara dan Iis Kurnia Nurhayati. “Analisis Semiotika
Roland Barthes pada Ritual Otonan di Bali”. Jurnal Manajemen
Komunikasi 1. No 2 (April) (2017): h. 201.
Hanafi, Wahyu. “Semiotika al-Qur’an: Representasi Makna Verbal Reflektif
Perilaku Manusia dalam Surat al-Maun dan Bias Sosial Keagamaan”.
Jurnal Dialoga 15. No. 1 (Juni) (2017): h. 13.

Anda mungkin juga menyukai