Disusun Oleh:
Sunan Rahmatullah Majid
NIM: 80600221001
Dosen Pembimbing;
1
Van Zoest dan Panuti Sudjman, Serba-serbi Semiotika (Jakarta: Gramedia, 1992), h. vii;
dikutip dalam Muhammad Sakti Garwan, “Analisis Semiotika pada Teks Al-Qur’an tentang
Khamar dalam Pendekatan Semanalisis hingga Intertekstualitas Julia Kristeva” Jurnal Subtantia
22, No. 51 (April) (2020), h. 50-51.
2
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Dasar-dasar Semiotik (Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1996), h. 3.
Semiotika merupakan sebuah istilah yang belum lama kita kenal, mungkin
baru sekitar dua setengah dua warsa atau mungkin kurang dari itu. Sekalipun
termasuk sesuatu yang baru, bukan berarti kita tidak pernah berkecimpung di
dalamnya. Sebab secara universal, semiotika dipahami sebagai metode
pemahaman mengenai realitas dan fenomena semiotika adalah realitas itu sendiri.
Maka pada dasarnya fenomena semiotik selalu hadir dalam kehidupan sehari-hari.
Misalnya pada saat di jalan raya, menghadiri upacara adat, pernikahan dan lain
sebagainya.
Sebagai metode pendekatan, semiotika dapat diartikan sebagai ilmu yang
membahas tentang tanda dan sistem tanda. Seorang tokoh Aart van Zoest
menyebutkan bahwa semiotika sebagai stusi tentang tanda dan segala sesuatu
yang berkaitan dengannya seperti cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-
tanda lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang
mempergunakannya. Oleh karenanya, semiotika juga bertautan dengan proses
penandaan dan dengan proses komunikasi yakni sebagai sebuah alat atau media
tempat makna-makna ditetapkan dan dipertukarkan.3
2. Tokoh-tokoh Semiotika
a) Ferdinand de Saussure
Ferdinand de Saussure adalah tokoh yang dikenal sebagai pelopor
semiotika modern yang berkebangsaan Swiss. Menurutnya, semiotika
didefinisikan sebagai ilmu yang mengkaji tanda sebagai bagian dari kehidupan
sosial. Dalam artian bahwa semiotika sangat menyadarkan dirinya pada aturan
main atau kode sosial yang berlaku dalam masyarakat, sehingga dapat dipahami
maknanya secara kolektif. Lebih lanjut, Saussure melihat sebuah tanda sebagai
pertemuan antara bentuk dan makna dengan menggunakan istilah signifier
(penanda) dan signified (petanda). Dari hal ini, ia melihat tanda sebagai sesuatu
yang menstruktur dan terstruktur di dalam pengetahuan manusia. tanda
3
Nur Sahid, Semiotika untuk Teater, Tari, Wayang Purwa dan Film (Yogyakarta: gigih
Pustaka Mandiri, 2016), h. 2.
merupakan satu kesatuan dari suatu bentuk penanda dengan sebuah ide petanda.
Penanda adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna. Jadi penanda
adalah aspek material dari bahasa (apa yang dikatakan atau didengar atau apa
yang ditulis dan dibaca. Sedangkan petanda adalah gambaran mental, pikiran atau
konsep. Maka yang perlu diperhatikan adalah bahwa dalam tanda bahasa yang
utuh , tidak terlepas dari dua unsur tersebut. Sebab, tanda dari suatu bahasa selalu
mempunyai dua segi yakni penanda dan petanda.4
Signified/Concept (Petanda)
Tanda = =
Signifier/Sound Pattern (Penanda) Pohon
4
Fatimah, Semiotika dalam Kajian Iklan Layanan Masyarakat (Gowa: Gunadarma Ilmu,
2020), h. 31-32.
Pierce menyebutnya dengan hubungan tiga unsur tanda sebagai segitiga semiotika
yakni objek/referent, ground/representamen dan interpretant.5
Interpretant
Sign/Tanda
Representamen/Ground Referent/Objek
c) Roland Barthes
Barthes merupakan seorang tokoh semiotika yang mengikuti aliran
semiotika Saussure, yang berpandangan bahwa semiotika adalah sistem tanda
yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu
tertentu. Dalam istilah Barthes, semiologi pada dasarnya mempelajari bagaimana
kemanusiaan memaknai hal-hal tertentu. Memaknai (to signify) dalam hal ini
tidak dapat mencampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate).
Memaknai berarti bahwa objek-objek tersebut hendak dikomunikasikan, tetapi
juga merekonstruksi sistem terstruktur dari sebuah tanda. Dengan demikian,
Barthes melihat signifikasi sebagai sebuah proses yang total dengan suatu susunan
yang sudah terstruktur. Signifikasi tersebut tidak hanya terdapat pada bahasa,
tetapi juga terdapat pada hal-hal selain dari pada bahasa. Pada akhirnya, ia
menganggap kehidupan sosial itu sendiri merupakan suatu bentuk dari signifikasi.
Dengan kata lain, kehidupan sosial atau apa pun bentuknya merupakan suatu
sistem tanda tersendiri.6
5
Nur Sahid, Semiotika untuk Teater, Tari, Wayang Purwa dan Film, h. 5.
6
Fatimah, Semiotika dalam Kajian Iklan Layanan Masyarakat (Gowa: Gunadarma Ilmu,
2020), h. 46
Sebagai pengikut dari pada semiotika Saussure, Barthes melakukan
pengembangan kajian pada aspek makna dari sebuah tanda yang menekankan
pada tiga hal yakni makna denotatif, konotatif dan mitos/metabahasa. Denotatif
merupakan makna yang terungkap dan terpampang jelas secara kasat mata, dalam
hal ini denotatif merupakan makna yang sebenarnya. Sedangkan makna konotatif
merupakan pemaknaan tingkat kedua mengungkapkan makna yang terkandung
dalam tanda-tanda. Dan adapun mitos ialah makna yang ada dan berkembang
dalam benak masyarakat karena adanya pengaruh sosial atau budaya, tentunya
dengan memperhatikan dan memaknai korelasi antara apa yang terlihat secara
nyata (denotatif) dengan tanda yang tersirat dari hal tersebut (konotatif).7
7
Putu Krisdiana Nara Kusuma dan Iis Kurnia Nurhayati, “Analisis Semiotika Roland
Barthes pada Ritual Otonan di Bali”, Jurnal Manajemen Komunikasi 1, No 2 (April) (2017), h.
201.
8
Wahyu Hanafi, “Semiotika al-Qur’an: Representasi Makna Verbal Reflektif Perilaku
Manusia dalam Surat al-Maun dan Bias Sosial Keagamaan”, Jurnal Dialoga 15, No. 1 (Juni)
Selain dari pada itu bahwa al-Qur’an terdiri atas rangkaian huruf-huruf
Arab serta tersusun dari untaian kata-kata dan kalimat, yang merupakan sumbar
dari berbagai varian makna dari tanda-tanda. Maka salah satu pendekatan yang
relevan digunakan dalam metodologi kajian tafsir ialah pendekatan semiotika.
Semiotika berbeda halnya dengan hermenuetika. Jika hermeneutika memberikan
fokus bahasan yang cukup luas yang mencakup teks, pembaca (reader) dan
pengarang teks (author). Maka semiotika mempersempit wilayah kajian tersebut
dengan hanya memberikan fokus kepada tentang tanda, fungsi dan cara kerjanya.
Menjadikan semiotika sebagai salah satu pendekatan pada Quranic studies
tentunya bertujuan dalam mengkontruksi makna bahasa al-Qur’an dengan sistem
tanda. Dalam hal ini, interpretasi tanda merupakan bentuk wujud dari adanya
sinergi antara petanda dan penanda sehingga melahirkan makna yang baru. Sebab
al-Qur’an tidak pernah menjadikan dirinya sebagai teks yang baku, bahkan
dengan adanya semiotika sebagai pendekatan, al-Qur’an akan terus memproduksi
makna-makna yang baru. Oleh karenanya, orientasi kajian ini mengandung
pengertian bahwa suatu upaya mengkaji dan menafsirkan al-Qur’an dengan cara
kerja dan fungsi tanda-tanda dalam teks al-Qur’an.
(2017), h. 13.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Semiotika dapat diartikan sebagai ilmu yang membahas tentang tanda dan
sistem tanda. Seorang tokoh Aart van Zoest menyebutkan bahwa
semiotika sebagai stusi tentang tanda dan segala sesuatu yang berkaitan
dengannya seperti cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda
lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang
mempergunakannya. Semiotika merupakan sebuah istilah yang belum
lama kita kenal, mungkin baru sekitar dua setengah dua warsa atau
mungkin kurang dari itu. Oleh karenanya, beberapa tokoh yang
berkontribusi dan masyhur terkenal dalam kajian ilmu semiotika yakni
Ferdinand de Saussure, Charles Sander Pierce dan Roland Barthes.
2. Istilah tafsir semiotik memandang orientasi kajian ini mengandung
pengertian bahwa suatu upaya mengkaji dan menafsirkan al-Qur’an
dengan cara kerja dan fungsi tanda-tanda dalam teks al-Qur’an.
Menjadikan semiotika sebagai salah satu pendekatan pada Quranic studies
tentunya bertujuan dalam mengkontruksi makna bahasa al-Qur’an dengan
sistem tanda. Dalam hal ini, interpretasi tanda merupakan bentuk wujud
dari adanya sinergi antara petanda dan penanda sehingga melahirkan
makna yang baru.
3.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim.
Zoest, Van dan Panuti Sudjman. Serba-serbi Semiotika. Jakarta: Gramedia, 1992.
h. vii. Dikutip dalam Muhammad Sakti Garwan. “Analisis Semiotika pada
Teks Al-Qur’an tentang Khamar dalam Pendekatan Semanalisis hingga
Intertekstualitas Julia Kristeva”. Jurnal Subtantia 22. No. 51 (April)
(2020): h. 50-51.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dasar-dasar Semiotik. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1996.
Sahid, Nur. Semiotika untuk Teater, Tari, Wayang Purwa dan Film. Yogyakarta:
gigih Pustaka Mandiri. 2016.
Fatimah. Semiotika dalam Kajian Iklan Layanan Masyarakat. Gowa: Gunadarma
Ilmu. 2020.
Kusuma, Putu Krisdiana Nara dan Iis Kurnia Nurhayati. “Analisis Semiotika
Roland Barthes pada Ritual Otonan di Bali”. Jurnal Manajemen
Komunikasi 1. No 2 (April) (2017): h. 201.
Hanafi, Wahyu. “Semiotika al-Qur’an: Representasi Makna Verbal Reflektif
Perilaku Manusia dalam Surat al-Maun dan Bias Sosial Keagamaan”.
Jurnal Dialoga 15. No. 1 (Juni) (2017): h. 13.