Anda di halaman 1dari 11

RUANG LINGKUP KAJIAN BIDANG SEMIOTIKA

Dosen Pengampu:

Tamim Mulloh,M.Pd

Disusun oleh Kelompok 3:

Airul_210301110178

Bariqo Miski Firdausi_210301110005

Sabrina Azzahra_210301110030

Semiotika merupakan kajian yang membahas mengenai tanda dan bagaimana tanda
tersebut ditelaah agar bisa diterima oleh logika. Semiotika adalah studi tentang tanda dan
segala sesuatu yang berhubungan dengannya: cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-
tanda lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya.
Semiotika sebagai ilmu pengetahuan sosial, memahami dunia sebagai suatu sistem hubungan
yang memiliki unit dasar dengan “tanda”.

Semiotika berkaitan dengan segala hal yang dapat dimaknai tanda-tanda. Suatu tanda
adalah segala seesuatu yang dapat dilekati (dimaknai) sebagai penggantian yang signifikan
untuk sesuatu lainnya. Segala sesuatu ini tidak terlalu mengharuskan perihal adanya atau
mengaktualisasikan perihal dimana dan kapan suatu tanda memaknainya. Jadi semiotika ada
dalam semua kerangka (prinsip), semua disiplin studi, termasuk dapat pula digunakan untuk
menipu bila segala sesuatu tidak dapaat dipakai untuk menceritakan (mengatakan segala
sesuatu (semuanya). Saya berpendapat bahwa definisi “teori penipuan” seharusnya diambil
seperti program komprehensif yang memadai bagi suatu semiotika umum.

Tanda merupakan suatu kebohongan yang mana didalam tanda tersebut terdapat makan
yang tersembunyi dibaliknya (Eco, 2009).

Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Semiotika
adalah ilmu yang secara sistematis mempelajari tanda-tanda, lambang-lambang, sistem-
sistemnya, dan prosesnya.
Menurut buku Prof Kaelan yang dikutip dari Sobur, ruang lingkup semiotik terbagi
dalam 3 macam, yaitu:

1. Semiotika Murni
2. Semiotika Deskriptif
3. Semiotika Terapan

1. Semiotika Murni
Semiotika murni adalah semiotika yang mempelajari tanda-tanda dalam dirinya sendiri
tanpa mempertimbangkan konteks atau makna yang terkait dengannya. Semiotika murni
membahas tentang dasar filosofis semiotika, yaitu berkaitan dengan metabahasa, dalam arti
hakikat bahasa secara universal. Misalnya, pembahasan tentang hakikat bahasa sebagaimana
dikembangkan oleh Saussure dan Peirce.

2. Semiotika Deskriptif
Semiotika deskripsi adalah lingkup semiotika yang membahas tentang semiotika
tertentu atau bahasa tertentu secara deskriptif. Semiotika yang mempelajari tanda-tanda
dalam konteks tertentu dan menggambarkan atau mengklasifikasikan tanda-tanda tersebut.
Contohnya yaitu menganalisis tanda-tanda dalam iklan televisi untuk memahami pesan yang
ingin disampaikan kepada konsumen.

3. Semiotika Terapan
Semiotika terapan adalah lingkup semiotika yang membahas tentang penerapan
semiotika pada bidang atau konteks tertentu, misalnya kaitannya dengan sistem tanda sosial,
sastra, komunikasi, periklanan, dan lain sebagainya. Contohnya yaitu menganalisis tanda-
tanda dalam sebuah novel untuk memahami tema dan pesan yang terkandung didalamnya.

Menurut Mansoer Pateda (dalam Rusmana, 2005) semiotika dibagi dalam beberapa lingkup,
diantaranya yaitu:
1. Semiotika Analitik
2. Semiotika Deskriptif
3. Semiotika Faunal (zoosemiotic)
4. Semiotika Kultural
5. Semiotika Naratif
6. Semiotika Natural
7. Semiotika Normatif
8. Semiotika Sosial
9. Semiotika Struktural

1. Semiotik analitik
Semiotika analitik adalah semiotik yang menganalisis tentang sistem tanda. Peirce
mengatakan bahwa semiotik berobjekkan tanda, dan menganalisisnya menjadi ide, objek, dan
makna. Ide dapat dikatakan sebagai lambang, sedangkan makna adalah beban yang
terkandung lambang yang mengacu pada objek tertentu (Bass et al., 1995). Contohnya yaitu
seseorang yang mempunyai ide dalam pemikirannya, lalu ide tersebut digambar
menggunakan alat tulis menjadi suatu benda atau simbol, dan gambar tersebut memiliki
makna dibaliknya.

2. Semiotik deskriptif
Semiotika deskriptif merupakan semiotika yang mengacu pada sistem tanda yang
dialami oleh setiap insan, meskipun tanda-tanda yang ada di masa lalu sama dengan yang
dialami saat ini. Contohnya yaitu seperti halnya langit yang mendung menandakan bahwa
tidak lama lagi akan turun hujan. Hal tersebut terjadi sejak dahulu hingga sampai saat ini
tetap saja seperti itu. Demikian pula jika di tengah laut terdapat ombak mulai memutih, hal
tersebut menandakan bahwa laut berombak besar. Namun, seiring dengan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni, mulai banyak tanda yang diciptakan manusia untuk memenuhi
kebutuhannya.

3. Semiotik faunal (zoosemiotic)


Semiotika faunal adalah semiotika yang khusus memperhatikan sistem tanda yang
dihasilkan oleh hewan (Lubis, 2018). Bidang kajian ini mewakili batas terendah semiotika
karena yang ditelaah dalam kajian ini yaitu hewan, bukan manusia (Eco, 2009). Hewan
biasanya menghasilkan tanda untuk berkomunikasi antarsesamanya, namun mereka juga
sering menghasilkan tanda yang dapat ditafsirkan oleh manusia. Misalnya, suara ayam yang
berkotek menunjukkan bahwa ayam tersebut telah bertelur atau ia takut terhadap sesuatu.
Induk ayam yang membunyikan suara “krak…krak…krak…” memberi isyarat kepada anak-
anaknya untuk mendekat karena sudah menemukan makanan. Begitu juga, misalnya
seseorang yang hendak berangkat bekerja, ia terpaksa menunda keberangkatannya beberapa
saat, hanya karena mendengar suara cicak di depannya. Tanda-tanda yang dihasilkan oleh
hewan-hewan tersebut menarik perhatian orang-orang yang bergerak dalam bidang semiotik
faunal.
4. Semiotik kultural (budaya)
Semiotik kultural adalah studi tentang tanda-tanda yang digunakan dalam kebudayaan
tertentu. Sebagai makhluk sosial, masyarakat memiliki sistem budaya yang telah
dipertahankan dan dihormati dari generasi ke generasi. Adat yang ada di masyarakat,
menggunakan tanda-tanda khusus yang membedakan mereka dengan komunitas lainnya
(Ramdani, 2016). Dengan kata lain, semua suku di negara ini memiliki kebudayaan mereka
sendiri. Karena itu, semiotika menjadi metode yang digunakan untuk “menganalisis makna
dan aspek yang terkandung didalamnya. Contoh, warna merah sering dikaitkan dengan
keberuntungan dan kebahagiaan di Asia Timur, sementara di Barat, sering dikaitkan dengan
bahaya dan peringatan.

5. Semiotik naratif
Semiotik naratif adalah semiotika yang melihat sistem tanda dalam cerita rakyat
(folklore), legenda, dan mitos, yang mana penuturannya disalurkan ke dalam sastra lisan,
sastra tulis, hikayat, atau diukir sebagai relief di candi-candi kuno (Taum, 2018). Sama
seperti halnya burung hantu sering dikaitkan dengan kebijaksanaan dan pengetahuan dalam
mitologi Yunani.
Ditemukan ada beberapa ahli semiotik yang menekuni semiotika naratif ini, salah
satunya bernama Algirdas Julius Greimas (1917-1992). Semiotika Greimas menganggap
bahwa teks atau naratif pada dasarnya menekankan aktan agar menjadi model atau subjek
ysng mengatur jalannya cerita dari sebuah teks. Contohnya, duduk di bantal bisa bisulan,
anak gadis duduk di depan pintu akan sulit mendapat jodoh, menyapu tidak bersih akan
mendapat suami yang brewokan, dan sebagainya.

6. Semiotik natural
Semotik natural melihat sistem tanda yang dibuat oleh alam. Air sungai yang keruh
menunjukkan bahwa hujan telah turun di hulu sungai, dan daun pohon, yang merupakan
pohonan yang menguning dan akhirnya gugur. Alam yang menantang manusia, seperti banjir
atau tanah longsor, sebenarnya menunjukkan bahwa manusia telah menghancurkan alam
(Ramdani, 16).
7. Semiotik normatif
Semiotik normatif adalah pendekatan dalam studi tentang tanda-tanda dan makna yang
menekankan pada pembuatan aturan atatu norma-norma yang mengatur penggunaan tanda-
tanda dalam suatu sistem atau komunitas tertentu. Dalam konteks semiotika, pendekatan
normatif berusaha untuk memahami dan mengklasifikasikan prinsip-prinsip atau aturan yang
mengatur bagaimana tanda-tanda digunakan dan diinterpretasikan. Semiotik normatif
merupakan semiotik yang khusus membahas sistem tanda yang dibuat oleh manusia yang
berwujud norma-norma (Sartini, 2019).
Berikut adalah beberapa poin penting yang membahas tentang semiotik normatif.
1. Pembuatan Norma
Pengertian: Semiotik normatif menekankan pembuatan aturan atau norma-norma yang
mengatur penggunaan tanda-tanda khusus lainnya. Contoh: Dalam bahasa, terdapat aturan
tata bahasa yang mengatur cara kata-kata diatur dalam kalimat. Misalnya dalam bahasa
Indonesia, aturan penggunaan subjek, predikat, dan objek adalah norma tata bahasa.

2. Kriteria Evaluasi
Semiotika normatif mencoba menetapkan kriteria evaluasi untuk menilai apakah
penggunaan tanda-tanda sesuai dengan norma atau tidak. Misalnya, dalam bahasa, aturan tata
bahasa dan struktur kalimat adalah bagian dari norma-norma semiotika. Contoh, dalam seni
visual, ada norma-norma tentang komposisi, harmoni warna, dan teknik penggambaran yang
digunakan untuk mengevaluasi kualitas suatu karya seni.

3. Standar Komunikasi
Norma-norma semiotika membentuk standar komunikasi yang memungkinkan orang-
orang untuk memahami dan berkomunikasi dengan efektif dalam suatu sistem tanda-tanda.
Hal ini penting untuk memastikan bahwa pesan yang disampaikan memiliki makna yang
konsisten dan dapat dipahami oleh para penerima. Contoh: Dalam penggunaan kode morse,
kombinasi titik dan garis ditetapkan untuk mengkomunikasikan huruf, angka, dan kata.
Standar ini memastikan bahwa pesan dapat ditransmisikan secara jelas.

4. Pengaruh Sosial dan Budaya


Norma-norma semiotika seringkali tercermin dari struktur sosial dan budaya
masyarakat tertentu. Mereka dapat mencerminkan nilai-nilai, norma, dan kabiasaan yang
dianut oleh komunitas yang menggunakan sistem tanda-tanda tersebut. Contoh: norma dalam
tata krama makan di berbagai budaya dapat mencerminkan nilai-nilai dan hierarki sosial yang
ada dalam masyarakat tersebut.

5. Stabilitas dan Perubahan


Norma-norma semiotika dapat bersifat stabil dan dapat dapat berubah seiring dengan
perubahan dalam masyarakat dan budaya. Pemahaman tentang norma-norma ini dapat
membantu mengidentifikasi perubahan dalam cara tanda-tanda digunakan dan
diiterpretasikan. Contoh: dalam bahasa, terjadi perubahan norma tata bahasa siring dengan
perkembangan dan perubahan dalam masyarakat. Misalnya, perkembangan teknologi dan
perubahan budaya dapat mempengaruhi cara kata-kata baru diterima dan digunakan dalam
bahasa.

6. Pendidikan dan Pembelajaran


Pengertian: Pemahaman tentang norma-norma semiotika juga dapat menjadi dasar
untuk proses pendidikan dan pembelajaran tentang penggunaan dan interpretasi tanda-tanda
dalam suatu sistem atau komunikasi. Contoh: dalam pengajaran bahasa, guru memberikan
pedoman dan aturan tentang tata bahasa kepada siswa untuk membantu mereka memahami
dan mengikuti norma-norma komunikasi bahasa yang benar.

Dengan demikian, semiotik normatif mempertimbangkan pembuatan norma, kriteria


evaluasi, standar komunikasi, pengaruh sosial dan budaya, stabilitas dan perubahan, serta
pendidikan dan pembelajaran dalam analisis tanda-tanda.

8. Semiotik sosial
Semiotik sosial adalah ilmu yang digunakan untuk melihat suatu karya seni dalam
representasi dari kedalaman maknanya makna adalah sesuatu yang dihayati, berada dalam
ruang internal manusia yang memiliki peran dan terbentuk atas tanda-tanda, hingga makna
apapun yang dapat dianggap padu pada tanda bisa jadi palsu, berbeda dalam pemaknaan, dan
dapat hadir dalam kemungkinan makna berbeda sejauh mana dapat ditemukan (Meindrasari,
2019). Semiotik sosial adalah cabang dari semiotika yang menekankan pada analisis tanda-
tanda dalam konteks sosial dan budaya. Lebih khusus lagi, semiotik sosial mempelajari
bagaimana tanda-tanda membentuk dan dipahami dalam masyarakat, serta bagaimana mereka
memengaruhi interaksi sosial, identitas, dan konstruksi makna.

1. Fokus pada Konteks Sosial


Semiotika sosial menekankan pentingnya memahami konteks sosial dimana tanda-tanda
muncul. Ini termasuk aspek-aspek seperti budaya, norma, nilai, dan situasi sosial yang
mempengaruhi makna dari suatu tanda. Contoh: ketika seseorang melihat seorang individu
yang mengenakan pakaian tradisional tertentu, pemahaman makna dan pakaian tersebut akan
berbeda-beda tergantung pada konteks sosial dan budaya. Misalnya, di suatu budaya, pakaian
tradisional dapat mewakili identitas etnis atau religius, sementara di budaya lain, hal itu
mungkin hanya menjadi busana sehari-hari tanpa makna khusus.

2. Interaksi Sosial
Semiotika sosial mempertimbangkan bagaimana tanda-tanda digunakan dan
diinterpretasikan dalam konteks interaksi sosial antara individu dan kelompok. Hal ini
melibatkan pemahaman tentang bagaimana tanda-tanda dapat menjadi alat komunikasi,
penunjuk status, atau lambang keanggotaan dalam suatu kelompok. Contoh: penggunaan
emoji dalam pesan teks atau media sosial adalah contoh interaksi sosial melalui tanda-tanda.
Emoji digunakan untuk mengekspresikan emosi, dan cara emoji digunakan dalam percakapan
dapat memengaruhi bagaimana pesan tersebut dipahami oleh penerima.

3. Makna sebagai Proses Sosial


Makna tanda tidak bersifat statis, melainkan terbentuk melalui proses sosial dimana
individu dan kelompok berpartisipasi dalam membaca, memaknai, dan menggunakan tanda-
tanda. Makna dapat berubah dan berkembang seiring dengan perubahan dalam konteks sosial.
Contoh: istilah “kebahagiaan” memiliki makna yang dapat berbeda-beda dalam berbagai
konteks sosial. Makna kebahagiaan dapat dipengaruhi oleh budaya, niai-nilai keluarga, atau
pengalaman pribadi seseorang.

4. Kekuasaan dan Ideologi


Tanda-tanda dapat digunakan untuk mereproduksi atau menentang hierarki sosial,
norma budaya, dan struktur kekuasaan yang ada. Contoh: dalam iklan dan media massa,
ideologi tertentu dapat ditempatkan dalam pesan-pesan yang disampaikan. Sebuah iklan yang
menunjukka gambar-gambar yang idealis tentang tubuh dapat berkontribusi pada
pembentukan ideologi tentang tubuh yang ideal dalam masyarakat.

5. Reproduksi dan Resistan


Tanda-tanda dapat berperan dalam mereproduksi norma dan nilai dalam masyarakat,
tetapi juga dapat digunakan sebagai alat untuk perlawanan dan subversi terhadap struktur
sosial yang ada. Contoh: gerakan sosial seperti feminisme atau pergerakan hak LGBT
menggunakan tanda-tanda dan simbol-simbol khusus untuk menyampaikan pesan dan
memicu perubahan sosial.

6. Identitas dan Representasi


Analisis semiotik sosial juga mencakup bagaimana tanda-tanda membentuk konstruksi
identitas individu dan kelompok, serta bagaimana mereka digunakan untuk
merepresentasikan berbagai aspek dari kehidupan sosial, termasuk gender, etnisitas, kelas
sosial, dan lain sebagainya. Contoh: dalam media, representasi karakter dari berbagai latar
belakang budaya atau etnis dapat memengaruhi cara masyarakat memahami dan membentuk
pandangan tentang kelompok-kelompok tertentu. Representasi yang positif dan inklusif dapat
membantu mengubah persepsi sosial.

Dengan demikian, semiotik sosial mempertimbangkan bagaimana tanda-tanda


memainkan peran penting dalam konteks sosial dan budaya, serta bagaimana tanda-tanda ini
dapat memengaruhi interaksi, identitas, dan konstruksi makna dalam masyarakat.

9. Semiotik struktural
Semiotika struktural adalah cabang dari semiotika yang berfokus pada analisis tanda-
tanda dalam konteks struktural dan hubungan internal antara tanda-tanda dalam suatu sistem
semiotik. Cabang ini pertama kali dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure, seorang ahli
linguistik Swiss pada awal abad ke-20. Semiotika struktural mengeksplorasi bagaimana
tanda-tanda dan makna mereka diorganisasi dalam suatu sesitem tanda-tanda. Semiotika
struktural adalah ilmu yang mempelajari tanda dan hubungan-hubungan tanda dalam
kehidupan manusia dengan pendekatan ilmiah (Anggoro, 2016).

Ada beberapa poin penting dari semiotika struktural, antara lain:


1. Sistem Tanda
Tanda-tanda terdiri dari dari dua elemen, yaitu penanda (signifier) dan yang
disimbolkan (signified). Hubungan antara keduanya membentuk makna. Contoh: dalam kata
“buku”, penanda adalah suara bunyi “bu-ku”, sementara yang disimbolkan adalah objek fisik
buku itu sendiri.

2. Arbitrariness
Hubungan antara penanda dan yang disimbolkan bersifat konvensional dan tidak
memiliki hubungan intrinsik. Kata-kata atau simbol-simbol dalam bahasa tidak memiliki
keterkaitan alami dengan objek atau konsep yang mereka wakili. Contoh: kata “mobil”
adalah hasil dari kesepakatan sosial dalam bahasa Indonesia untuk merujuk pada kendaraan
bermotor yang digunakan untuk transportasi.

3. Sintagmatik dan Paradigmatik


Analisis sintagmatik berkaitan dengan hubungan tanda-tanda dalam urutan atau
rangkaian, sementara analisis paradigmatis berkaitan dengan hubungan antara tanda-tanda
dalam suatu kelas atau kelompok dengan karakteristik serupa. Contoh sitagmatik: dalam
kalimat “Ani membaca buku” (Ani sedang membaca sebuah buku), urutan kata membentuk
struktur sintagmatik dengan urutan subjek, predikat, dan objek. Contoh paradigmatik: dalam
konteks memilih kata untuk menyatakan ide atau objek tertentu, kita memiliki pilihan kata
yang memiliki makna serupa, seperti “mobil”, “kendaraan”, atau “otomobil”.

4. Struktur dan Transformasi


Analisis struktural melibatkan pemahaman tentang bagaimana tanda-tanda dalam
sistem berinteraksi dan dapat berubah atau bertransformasi untuk menghasilkan makna yang
berbeda. Contoh: kata kerja “makan” dapat mengalami transformasi dalam bentuk yang
berbeda tergantung pada orang, waktu, dan aspek. Misalnya, “saya makan”, “dia makan”,
atau “mereka makan”.

5. Analisis Tanda
Semiotik struktural dapat diterapkan dalam berbagai konteks, seperti bahasa, sastra,
seni visual, dan budaya populer, untuk memahami pembentukan dan penyampaian pesan dan
makna melalui tanda-tanda. Contoh: dalam sastra Indonesia, analisis semiotika dapat
melibatkan pemahaman tentang simbol-simbol atau metafora yang digunakan dalam puisi
atau prosa untuk mengungkapkan makna yang lebih dalam.

6. Stabilitas dan Fleksibilitas


Tanda-tanda dalam suatu sistem memiliki struktur yamg relatif stabil, tetapi juga dapat
beradaptasi dengan perubahan dalam bahasa dan budaya. Contoh: bahasa Indonesia terus
berkembang seiring dengan masuknya kata-kata baru dari bahasa asing atau dengan
perubahan dalam kebutuhan komunikasi masyarakat modern. Misalnya, kata “laptop” adalah
contoh kata yang diadopsi dari bahasa Inggris.

Selain daripada semiotika-semiotika yang telah dipaparkan diatas, ada juga semiotika
jurnalistik. Semiotika yang didalamnya terdapat kegiatan penyiapan, mencari,
mengumpulkan, mengolah, menyajikan penulisan, penyuntingan, dan penyampaian berita
kepada khalayak melalui saluran media tertentu.

Wartawan dalam tahap pencarian beritanya sejak awal harus menentukan pilihan siapa
narasumber yang patut dihubungi, pertanyaan atau persoalan apa yang mesti diajukan. Pada
proses penulisan beritanya, ia harus memilih fakta-fakta mana yang harus diceritakan
kemudian juga akan menimbulkan bias yang tidak dapat dianggap kecil.

Pekerjaan utama wartawan adalah mengisahkan hasil reportasinya kepada khalayak.


Dengan demikian, wartawan selalu terlibat dengan usaha-usaha mengkontruksikan realitas,
yakni menyusun fakta yang dikumpulkan ke dalam suatu bentuk laporan jurnalistik. Seorang
wartawan harus mampu mengembangkan informasi yang didapat tanpa harus mengubah fakta
yang terjadi.

Menurut Strenz (dalam Sobur, 2015:88) seorang repoter sebagai pencari, pengolah, dan
penyampai informasi setidaknya akan menghadapi dua tantangan. Pertama, reporter harus
menahan godaan untuk menjadi bagian dari peristiwa berita dengan mengorbankan tanggung
jawab kepada khalayak berita.

Kedua, reporter harus mengakui bahwa seleksi sumber berita dan persoalan yang
diajukannya bukan hanya akan mempengaruhi kisah itu sendiri, melainkan juga membentuk
hasil isu apapun yang dilaporkan. Yang terpenting dari kedua butir ini ialah pemahaman
bahwa tanggung jawab reporter terutama kepada penikmat berita, bukan kepada sumber
berita.

Menurut Sobur (2015:89) kegiatan jurnalistik memang menggunakan bahasa sebagai


bahan baku guna memproduksi berita. Akan tetapi bagi media, bahasa bukan hanya sekedar
alat komunikasi untuk menggambarkan realitas, namun juga menentukan gambaran atau citra
tertentu yang hendak ditanamkan kepada publik. Melalui bahasa, berita yang disampaikan
bisa saja mengandung makna yang ambigu. Oleh karenanya, penggunaan bahasa sangat
mempengaruhi kualitas berita. Pada penulisan berita, diperlukan penggunaan bahasa yang
tepat supaya publik dapat menerima informasi dengan baik dan tidak menimbulkan
perselisihan.

DAFTAR PUSTAKA

Bass, K. M., Bush, T. L., & Westhoff, C. (1995). Ovarian cancer: Epidemiologic and clinical
perspectives and the feasibility of screening. Menopause, 2(3), 145–158.

Lubis, K. (2018). Semiotik Fauna Dalam Acara Mangupa Pada Perkawinan Adat Tapanuli
Selatan: Kajian Ekolinguistik. LINGUISTIK : Jurnal Bahasa Dan Sastra, 3(1), 33.
https://doi.org/10.31604/linguistik.v3i1.33-45

Meindrasari, Dwi Koni. 2019. Makna Batik Sidomukti Solo ditinjau dari Semiotika Sosial
Theo Van Leeuwen. Wacana, 60.

Sartini, NW. 2019. Tinjauan Teoritik Tentang Semiotik. Airlangga.

Ramdani, AH. 2016. Analisis Semiotika Foto Bencana Kabut Asap., repository.upi.edu,

Sobur, Alex. 2015. Analisis Teks Media. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Anggoro, AR. 2016. Konsep-Konsep Dasar Semiotika Struktural. Institut Seni Indonesia.

Wolde, EJ van (1987). A SEMIOTIC ANALYTICAL MODEL: Proceeding from Peirce's


and Greimas' Semiotics..

Taum, YY. 2018. The problem of equilibrium in the Panji story: a tzvetan todorovs
narratology perspective. International Journal of Humanity Studies (IJHS), e-
journal.usd.ac.id

Eco, Umberto. 2009. Teori Semiotika. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Anda mungkin juga menyukai