Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

SEMIOTIKA DALAM STUDI ISLAM


Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Studi Islam
Dosen Pengampu : Dr. Achmad Slamet, M.S.I.

Disusun oleh :
Kelompok 10
Ahmad Syaikhu Mubarok (231510000523)

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM


FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA JEPARA
TAHUN 2023

BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Semiotika sebagai metode pemahaman bahasa keagamaan pada hakikatnya
adalah penafsiran kualitatif. Merupakan metode yang menitikberatkan pada
tanda dan teks sebagai objek kajiannya, serta bagaimana menafsirkan dan
memahami kode-kode di balik tanda dan teks tersebut. Jika semiotika
dianggap sebagai ilmu tentang tanda, maka jelas bahwa Al-Quran
merupakan bidang analisis semiotika. Tanda mempunyai hubungan erat
antara penanda dan petanda.Tanda adalah bunyi atau ciri yang bermakna,
sedangkan tanda adalah makna bunyi itu sendiri.Semiotika memegang
peranan penting dalam kajian Islam karena memberikan pemahaman
mendalam tentang simbol, tanda dan makna yang terkandung dalam teks
agama Islam, budaya dan praktik guru.Dengan pendekatan semiotik, peneliti
dapat mengeksplorasi lapisan makna simbolik dalam teks Al-Quran, hadis,
dan tradisi agama Islam lainnyaHal ini membantu merinci kemungkinan
makna tersembunyi di balik kata kata tersebut, sehingga memperkaya
penafsiran dan pemahaman ajaran Islam secara lebih komprehensif.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Memahami Pengertian Semiotika dalam teks dan kebudayaan
untuk studi Islam
a. Secara Terminologi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),


mengembangkan artinya mengembangkan.

Menurut KBBI, penelitian adalah penyelidikan, pengkajian,


penelitian ilmiah dan merupakan suatu metode mempelajari
fenomena-fenomena sosial dengan cara menganalisis suatu kasus
secara mendalam dan komprehensif.

Islam dari bahasa Arab (‫ )اسالم‬adalah agama yang diajarkan


oleh Nabi Muhammad SAW.

Ilmuwan adalah seseorang yang ahli atau mempunyai


banyak pengetahuan tentang suatu cabang ilmu pengetahuan.
Muslim berasal dari kata Arab “Islam” yang secara harafiah
berarti orang yang berserah diri kepada Allah termasuk seluruh
makhluk di bumi dan di surga.

Kata Islam mengacu pada orang-orang yang menganut Islam

B. Dasar-Dasar dalam Semiotika

a. Charles Sanders Pierce


Charles Sanders Pierce (1839-1914) Charles Sanders Pierce
adalah filsuf Amerika yang paling orisinil dan
multidimensional. Pierce membedakan tiga konsep dasar
semiotik, yaitu:
Semiotik sintaksis yang mempelajari hubungan antar tanda.
Hubungan ini tidak terbatas pada sistem yang sama.
Semiotik semantik yang mempelajari hubungan antara tanda,
objek, dan interpretannya. Ketiganya membentuk hubungan
dalam melakukan proses semiotis.
Semiotik pragmatik yang mempelajari hubungan antara
tanda, pemakai tanda, dan pemakaian tanda. Pendekatan
yang dilakukan oleh Pierce adalah pendekatan triadic, karena
mencakup tiga hal yakni tanda, hal yang diwakilinya serta
kognisi yang terjadi pada pikiran seseorang pada waktu
menangkap tanda tersebut.

b. Dan Peirce
Peirce juga mengajukan teori makna segitiga yang
mencakup tiga unsur utama: tanda, objek, dan interpretan.
Tanda adalah sesuatu yang berwujud fisik yang dapat
ditangkap oleh panca indera manusia dan mengacu (mewakili)
sesuatu selain tanda.
Menurut Peirce, tanda terdiri dari simbol (tanda yang
berakar pada kesepakatan), emblem (tanda yang berakar pada
representasi fisik), dan indeksikal (tanda yang berakar pada
hubungan sebab dan akibat).
Sedangkan objek atau acuan suatu tanda adalah konteks
sosial yang menjadi acuan tanda atau hal yang diacu oleh tanda itu.
Penafsir atau pengguna suatu tanda adalah konsep mental
orang yang menggunakan tanda itu dan mengaitkannya dengan suatu
makna atau makna tertentu yang ada dalam pikiran seseorang
tentang obyek yang diacu oleh tanda itu.
Yang terpenting dalam proses semiotik adalah bagaimana
makna muncul dari suatu tanda ketika tanda itu digunakan manusia
dalam proses komunikasi.
c. Ferdinand De Saussure
Teori semiotika ini diperkenalkan oleh Ferdinand De Saussure
(1857-1913).

Dalam teori ini, semiotika terbagi menjadi dua bagian (dikotomi),


yaitu penanda dan tanda.
Tanda dianggap sebagai wujud/ekspresi fisik yang dapat dikenali
melalui wujud karya arsitektur, sedangkan tanda dianggap sebagai
makna yang terungkap melalui konsep, fungsi, dan/atau nilai yang
terkandung dalam karya arsitektur.
Eksistensi semiotika Saussure adalah hubungan antara penanda dan
petanda berdasarkan suatu konvensi yang sering disebut dengan
signifikasi.
Semiotika makna adalah sistem tanda yang mempelajari hubungan
antar komponen tanda dalam suatu sistem berdasarkan aturan atau
konvensi tertentu.
Diperlukan konsensus sosial untuk dapat menafsirkan tanda-tanda
tersebut.
Menurut Saussure, tanda terdiri atas: Suara dan gambaran, disebut
penanda atau tanda, dan konsep-konsep yang berasal dari suara dan
gambaran, disebut petanda.
Dalam komunikasi, seseorang menggunakan tanda untuk
menyampaikan makna tentang suatu objek, dan orang lain
menafsirkan tanda tersebut.
Objek Saussure disebut “objek acuan”.
Sama seperti Peirce yang menggunakan istilah interpretant untuk
yang ditandai dan objek untuk penanda, perbedaannya adalah
Saussure menjelaskan “objek” sebagai referensi dan merujuknya
sebagai elemen faktor tambahan dalam proses penciptaan makna.
Contoh: Jika orang mengucapkan kata “anjing” (artinya) dengan
nada makian, itu pertanda sial (artinya).

d. Derrida

Derrida terkenal dengan model dekonstruksi semiotiknya.


Dekonstruksi, menurut Derrida, merupakan sebuah alternatif untuk
menolak segala keterbatasan penafsiran atau bentuk-bentuk
kesimpulan yang baku.
Konsep Dekonstruksi yang diawali dengan konsep demistifikasi,
membongkar produk-produk pikiran rasional yang meyakini
kemurnian realitas, pada hakikatnya bertujuan untuk
mendekonstruksi pemahaman simbol-simbol (penanda) melalui
konstruksi konsep-konsep (petanda).
Dalam teori Tata Bahasa, Derrida mencatat bahwa konsepsi tidak
pernah mengkonstruksi makna tanda yang murni, karena semua
tanda selalu mengandung pengucapan lain (Subangun, 1994 dalam
Sobur, 2006 : 100).
Dekonstruksi terutama merupakan upaya untuk terus membalikkan
hierarki oposisi biner dengan memperlakukan bahasa sebagai sebuah
bidang.
Dekonstruksi memperluas makna tanda, sehingga terus timbul
makna dan ideologi baru dari tanda tersebut.
Kemunculan ideologi baru ditandai dengan penghapusan
(“penghancuran” atau penghancuran) makna-makna yang telah ada
sebelumnya, tanpa henti menciptakan penggalan-penggalan makna
dan ideologi yang tidak terbatas.
Berbeda dengan Baudrillard yang melihat tanda sebagai hasil
konstruksi simulasi suatu realitas, Derrida melihat tanda sebagai
gunungan realitas yang menyembunyikan ideologi tertentu yang
membentuk atau dibentuk oleh makna-makna tertentu.
Makna dan ideologi tersebut dibongkar melalui teknik dekonstruksi.
Namun Baurillard dan Derrida sepakat bahwa dibalik tanda terdapat
ideologi yang membentuk makna dari tanda tersebut.

e. Ogden & Richard

Teori semiotika C. K. Ogden dan I. A.


Richard merupakan teori semiotika trikotomi yang dikembangkan
dari teori Saussure dan teori Barthes, yang meliputi pengembangan
hubungan antara penanda dan penanda yang ditandakan, dimana
penanda kemudian dibagi menjadi dua, yaitu perangkat (properti
sebenarnya dari fungsi/objek) dan penanda itu sendiri.
Apa yang diungkapkan adalah konotasi dari penanda, dan sarana
adalah ekspresi dari penanda.
Dalam teori ini, penanda adalah makna, konsep, gagasan, sedangkan
penanda adalah gambaran yang menjelaskan alat, penjelasan fisik
suatu benda, keadaan benda/benda, dan cenderung diungkapkan
(tetapi tidak selalu) dalam bentuk bentuk dan ciri keruangan.
, permukaan dan volume memiliki supersegmen tertentu (irama,
warna, tekstur, dll.
) dan perangkatnya adalah bentuk fisik/objek/fungsi aktual (Kristen)
dan sinyal struktur semiotik.
Kombinasi analisis keduanya (tipografi dan struktur tanda) akan
menghasilkan makna tanda yang lebih kuat (Yusita Kusumarini,
2006).
Analisis tanda-tanda dalam kelompok atau kombinasi.

C. Teori-Teori dalam Semiotika Kebudayaan

Semiotika (semiotika) adalah teori tentang pemberian “tanda”.


Secara umum semiotika terbagi menjadi tiga konsep dasar, yaitu
semiotika pragmatik, semiotika sintaksis, dan semiotika semantik
(Wikipedia, 2007).

1. Semiotik Pragmatik (semiotic pragmatic)

Semiotika pragmatik menjelaskan asal usul tanda,


penggunaan tanda oleh yang menerapkannya, dan pengaruh tanda
terhadap orang yang menafsirkannya, dalam batas-batas perilaku
subjek.

Dalam arsitektur, semiotika praktis adalah peninjauan


kembali pengaruh arsitektur (sebagai sistem simbol) terhadap
manusia dalam pemanfaatan karya arsitektur.
Arsitektur praktik semiotik mempengaruhi indera dan emosi
pribadi manusia (kontinuitas, posisi tubuh, otot dan persendian).

Hasil karya arsitektur akan dipahami sebagai hasil persepsi


pengamat, yang selanjutnya dapat mempengaruhi pengamat sebagai
pengguna dalam pemanfaatan karya arsitektur tersebut.

Dengan kata lain, suatu karya arsitektur merupakan suatu


bentuk yang dapat mempengaruhi penggunanya

2. Semiotik Sintaktik (semiotic syntactic)

Semiotika sintaksis menggambarkan kombinasi tanda-tanda tanpa


memperhatikan “makna” atau hubungannya dengan perilaku
subjek.

Semiotika sintaksis mengabaikan pengaruh konsekuensi terhadap


subjek penafsiran.

Dalam arsitektur, semiotika sintaksis merupakan peninjauan


kembali representasi arsitektur sebagai campuran dan kombinasi
banyak sistem simbol yang berbeda.

Karya arsitektur yang dihasilkan dapat digambarkan secara


keseluruhan maupun bagian-bagiannya, hubungan antar bagian-
bagian tersebut secara keseluruhan akan tergambar dengan jelas.

3. Semiotik Semantik (semiotic semantic)

Semiotika semantik menggambarkan makna suatu tanda


berdasarkan “makna” yang dikomunikasikan.
Dalam semiotika arsitektur, semantik adalah pertimbangan
kemungkinan sistem simbol yang sesuai dengan makna yang
disampaikan.

Hasil karya arsitektur merupakan ungkapan makna yang ingin


disampaikan oleh perancang, yang diungkapkan melalui
ungkapan wujudnya.

Bentuk ini akan ditafsirkan kembali menurut persepsi pengamat.

Perwujudan makna suatu desain dapat dikatakan berhasil apabila


makna atau “rasa” yang ingin disampaikan oleh desainer melalui
desainnya dapat dipahami dan diterima oleh pengamat, tepatnya
jika ekspresi yang ingin disampaikan oleh desainer tersebut sama.

sebagai persepsi pengamat.

D.. PENERAPAN SEMIOTIKA DALAM STUDI ISLAM

a. Semiotika Al-Qur’an

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa kajian


semiotik berupaya untuk memahami makna yang ada dalam suatu tanda.
Kajian ini memilki peran yang positif bagi penafsiran teks Al-Qur’an
maupun Hadits yang sebelumnya hanya ditafsirkan secara konvensional,
formal-legal, tekstual dan stagnan.Seperti halnya filsafat yang ‘masuk
Islam’, semiotik juga merambah dalam penafsiran pada hal-hal yang
berbau Islam seperti Al-Qur’an yang menurut Ulama’ kontemporer
seperti Nash Hamid Abu Zayd merupakan bentukan budaya yang berarti
Kitab Allah ini tidak terlepas dari konteks Sosio-Historisnya, sebagai
kritik terhadap kondisi masyaratkat Arab-Jahiliyah Saat itu. Hal ini juga
sering disebut sebagai Muntaj Al-thaqofy. Namun betapa demikian,
beliau juga tidak memungkiri bahwa Al-Qur’an membentuk budaya
baru yang disebut dengan Muntij Al-Thaqofah.

Dalam kajian semiotik terhadap Al-Qur’an, kita tidak bisa lepas dari tokoh
yang bernama Muhammad Arkoun. Ia mempunyai gagasan yang tergolong
ekstrim bagi kalangan Ulama’ Klasik yang menerima Nash apa adanya.
Arkoun mencoba membangun nalar kritis umat islam pada teks sakral yang
akan nerlaku sepanjang zaman ini. Arkoun mencoba melontarkan
pemikirannya yang setidaknya ada empat hal sebagai berikut:

Pertama, melakukan klarifikasi historis terhadap kesejarahan umat Islam


dan membaca Alqur’an kembali secara benar dan baru. Kedua, menyusun
kembali seluruh syari’ah sebagai sistem semiologis yang merelevankan
wacana al-Qur’an dengan sejarah manusia, di samping sebagai tatanan
sosial yang ideal. Ketiga, meniadakan dikotomi tradisional (antara iman dan
nalar, wahyu dan sejarah, jiwa dan materi, ortodoksi dan heterodoksi dan
sebagainya) untuk menyelaraskan teori dan praktik. Keempat,
memperjuangkan suasana berfikir bebas dalam mencari kebenaran agar
tidak ada gagasan yang terkungkung di dalam ketertutupan baru atau di
dalam taqli

E. Analisis Semiotika Bahasa dan Budaya

Kali ini kita akan mencoba mengkaji budaya dan bahasa yang sering kita
jumpai dalam kehidupan masyarakat Jawa (Budaya dan Bahasa Jawa).

Banyak sekali istilah, simbol, dan aktivitas yang muncul dan menjadi
mitos, bahkan ideologi dan filosofi, namun terkadang kita tidak mengetahui
makna dari simbol-simbol tersebut.

Jawa adalah negara kepulauan yang kaya akan sastra, budaya dan tradisi.
Tidak dapat disangkal bahwa Clifford Geertz mendapat pelajaran berharga
saat memimpin ekspedisi penelitian ke sebuah kota di Jawa Timur.

Namun, kami tidak membahas karyanya.

Kami akan mencoba melakukan penelitian lebih lanjut terhadap karya dan
inovasi orang Jawa kuno.

Sebelum melangkah lebih jauh, peristiwa menguning itu terjadi di Solo.

Saat itu sedang terjadi pertarungan politik di mana Partai “Kuning” harus
menjadi partai seluruh lapisan masyarakat.

Upacara pernikahan adat Jawa di Surakarta; kain sindur.

Kain Sindur merupakan kain dengan kombinasi warna tertentu yang


digunakan dalam upacara pernikahan adat Jawa di Surakarta.

Semua kain melambangkan kesuburan dan kemakmuran.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

Semiotika merupakan salah satu cabang ilmu yang mempelajari tanda dan
segala sesuatu yang berkaitan dengannya, seperti sistem tanda dan proses
yang diterapkan pada tanda.Rephrase Semiotika adalah ilmu yang
mempelajari banyak objek, peristiwa, keseluruhan kebudayaan yang berupa
tanda-tanda. Pakar sastra Teew (1984: 6) mengartikan semiotika sebagai
suatu tindakan komunikasi, kemudian menyempurnakannya menjadi suatu
model sastra yang memperhitungkan seluruh unsur dan aspek yang
diperlukan untuk memahami masa kini.Citra sastra sebagai alat komunikasi
yang unik dalam masyarakat mana pun.

Anda mungkin juga menyukai