Anda di halaman 1dari 13

UNSUR-UNSUR SEMANTIK

Diajukan untuk memenuhi tugas


Mata Kuliah: Semantik Al-Qur’an
Dosen Pengampu: Syamsuni, MA
Oleh Kelompok 3:

Ahmad Nizamuddin Abdullah 200103020039


Nur Azizah 200103020047
Nur Rizqi Wahiddudin Sallam 200103020067
Rahmah 200103020110

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI

FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

BANJARMASIN

2022
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berbicara tentang semantik, maka kita tidak bisa mengesampingkan kesatuan unit
bahasa yang terbungkus dalam unit wacana. Demikian pula jika berbicara tentang wacana, kita
pun juga tidak bisa lepas dari kalimat yang menjadi garapan sintaksis, dan menjadi elemen
dasar pembentukan wacana, demikian juga ketika kita berbicara tentang kalimat, maka simbol
bahasa yang terepresentasikan dalam bentuk kata-kata saling membentuk rajutan, sehingga
menjadi kalimat yang sempurna. Jika memang demikian, maka unsur-unsur semantik menjadi
sangat luas dan jelas, tidak hanya pada tataran kata atau proses penamaan (naming-giving),
tetapi juga mencakup semua unsur-unsur bahasa. Karena itu, pada bagian ini akan diuraikan
unsur-unsur yang menjadi gerbang pembuka dalam studi makna yang melingkupi fenomena
tanda, penanda dan petanda, kata beserta karakteristiknya, kalimat dengan berbagai variasi
strukturnya, dan seterusnya.

Dalam makalah ini, kita akan mengenal dan sekaligus mendalami unsur-unsur semantik
yang meliputi: Penanda dan Petanda; Kata (al-Kalimah), dan Kalimat (al-Jumlah).

2
PEMBAHASAN

A. Penanda dan Petanda

Bahasa adalah serangkaian tanda-tanda (sign), sebagaimana Ferdinand de


Saussure (1968) melihat tanda sebagai sesuatu yang menstruktur (proses pemaknaan berupaa
kaitan antara penanda dan petanda) dan terstruktur (hasil proses tersebut) di dalam kognisi
manusia.1 Ini berarti, tanda (sign) merupakan konsep yang tersusun dari penanda dan petanda.

1. Istilah Tanda (sign) dan Simbol (syimbol)

Istilah tanda yang ditawarkan Saussure di atas sebenarnya bukan hal baru dalam studi
bahasa dan filsafat. Konsep tanda yang dikembangkan Saussure ini diyakini merupakan
warisan kajian filsafat kaum stoik, yang menggunakan istilah signas sebagai komponen terkecil
dari tanda; signatum sebagai makna yang diacu oleh signas.

Berbeda dengan Saussure, Charles Morris memiliki istilah sendiri kaitannya dengan
proses signifikasi ini. Ia membedakan antara istilah sign dan symbol. Bagi Morris, sign
merupakan subtitusi untuk hal-hal yang berada di alam eksternal. Karena itu sign memerlukan
takwil dan interpretasi. Menurut Morris, sign lalah sebuah istilah yang masih generik, karena
ia memiliki dua cabang khusus, yaitu signal dan symbol. Signal ialah stimulus pengganti.
Misalnya, ketika para siswa sekolah mendengar suara bel, maka di benak mereka teringat
masuk waktu pelajaran. Ini berarti mereka menangkap satu signal dalam bunyi bel tersebut,
yaitu sebagal stimulus untuk masuk kelas dan mengikuti proses pembelajaran.

Tiga istilah yang ditawarkan oleh Morris di atas memang berbeda dengan pandangan
kebanyakan ilmuwan, namun yang perlu dipahami ialah bahwa signal dan symbol merupakan
dua istilah sebagai pengganti sign baik verbal maupun non-verbal.

2. Konsep Penanda dan Petanda

Secara sederhana pandangan Saussure yang terkait dengan tanda, penanda, dan petanda
dapat diikhtisarkan sebagai berikut:

1) Tanda adalah relasi antara penanda dan petanda.

1
(Hoed, 2011:3).

3
2) Penanda adalah citra akustik dari sebuah tanda.

3) Petanda adalah konsep tentang sebuah tanda.

Konsep signifikasi ini memang harus dipahami secara cermat, tepat dan teliti, karena
jika dipahami secara serampangan, maka dikhawatirkan melahirkan interpretasi yang jauh dari
yang dimaksudkan oleh Saussure. Karena bagi Saussure istilah tanda merupakan proses
hubungan antara penanda dan petanda yang sama sekali tidak menambatkannya pada entitas-
entitas dalam dunia konkrit. Ini berarti penanda dan petanda adalah dua entitas yang abstrak
(abstrak-abstrak).

Konsep hubungan antara penanda dan petanda yang diusung Saussure juga diikuti oleh
Roland Barthes dalam Mythology. Sebagaimana Saussure, Barthes juga sama sekali tidak
menambatkannya kepada entitas-entitas dalam dunia konkrit. Penanda dan petanda adalah dua
entitas yang sama-sama abstrak. Hanya saja pada periode berikutnya, Barthes menyatakan
bahwa petanda adalah konsep dan penanda adalah aspek materi (abstrak-konkrit).

Konsep terakhir yang diusung oleh Barthes tersebut mirip dengan konsep yang
ditawarkan Ogden-Ricard dan Roman Ja cobson, hanya saja mereka sudah menambahkan
istilah referent sebagai objek konkrit tanda. Konsep penanda dan petanda versi ketiga tokoh ini
dapat diringkas sebagai berikut:

1) Penanda adalah citra akustik dari sebuah tanda.

2) Petanda adalah konsep tentang sebuah tanda.

3) Referent adalah objek konkrit tanda. 2

3. Unsur-unsur “Tanda” dan “Simbol”

Jika kita flash back ke sejarah studi semantik di Barat, maka akan kita dapati perbedaan
yang cukup mencolok antara dua istilah tersebut (tanda - simbol), karena dikotomi antara
"tanda" (sign) dan "simbol" (symbol) sebenarnya bukan barang baru dalam studi keilmuan
klasik. Dalam kajian semiotika misalnya, perdebatan tentang dikotomi ini ramai dibicarakan
oleh para ahli. Cassirer dan Langer adalah yang sering mengembangkan isu-isu yang terkait
dikotomi antara tanda dan simbol. Pembedaan yang dijadikan dasar adalah benda yang

2
Mohammad Kholison, Semantik Bahasa Arab, (Jawa Timur, CV Lisan Arabi, 2016) Hal. 90-92.

4
memiliki entitas di dunia fisik dan yang tidak memiliki entitas konkrit. Di antara hasil
pembedaan itu adalah sebagai berikut:

1) Tanda itu adalah bagian dunia fisik benda, sedangkan simbol adalah bagian dunia makna
manusia.

2) Tanda merupakan operator, simbol adalah penentu (designator).

3) Tanda memiliki semacam perwujudan (being) fisik atau subtantif, tetapi simbol hanya
memiliki nilai fungsional.

Menurut Ahmad Sayyid, jika melihat unsur-unsur yang ada pada tanda (sign) dan
simbol (symbol), maka akan tampak adanya perbedaan yang cukup mencolok antara keduanya,
sebagaimana berikut:

a. Unsur-unsur tanda (sign/al-'alamah):

1) Sebuah istilah yang memiliki makna, seperti kata: pohon, buku, pintu, dan seterusnya.
2) Sebuah objek yang dimaksudkan oleh istilah tersebut, misalnya: kata 'pohon', yang
dimaksud adalah bentuk pohon, kata 'buku' dimaksudkan bentuk buku itu, demikian
juga kata 'pintu', maka yang dimaksud adalah bentuk pintu, dan seterusnya.
3) Akal mengiringi 'nama-nama' dan 'objek-objek yang dinamai' (proses naming-giving).

b. Unsur-unsur simbol (syimbol/al-ramz):

1) Istilah yang memiliki makna.


2) Objek yang dimaksudkan oleh istilah tersebut.
3) Konsep akal tentang objek yang dimaksudkan oleh istilah (al-mustalah), yang tidak
memiliki entitas pada realita konkrit, kecuali hanya berada pada akal manusia yang
selalu dinamis.
4) Akal berperan sebagai pengatur hubungan antara ketiga komponen di atas.

4. Penanda dan Petanda Perspektif Post-Strukturalisme

Post-strukturalisme atau yang juga sering disebut post-modernisme mengembangkan


satu prinsip baru dalam pertandaan, yaitu form follows fun. Di dalam diskursus post-
modernisme, bukan makna makna ideologis yang ingin dicari melainkan kegairahan bermain
dengan penanda.

5
Post-modernisme mengambil tanda-tanda baik dari klasik maupun modern, bukan
dalam rangka menjunjung tinggi makna-makna ideologis dan spiritualnya, akan tetapi untuk
menciptakan satu rantai pertandaan yang baru dengan meninggalkan makna-makna
konvensional tersebut, sebagaimana yang dikemukakan Derrida dan Baudrillard.

Butir-butir kritis yang diajukan post-strukturalisme terkait penanda dan petanda adalah
sebagai berikut:

a. Bahasa itu bukan sekedar persoalan perbedaan (difference), melainkan memang benar benar
berbeda (difference).

b. Penanda dan petanda bukan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, melainkan dua
konsep yang terpisah.

c. Petanda (makna) tidak lagi harus diterima sebagai konvensi. la harus diurai dan dekonstruksi.

d. Relasi antara penanda dan petanda tidak bersifat simetris atau statis, akan tetapi terbuka bagi
permainan bebas (sebuah permainan yang membawa pada arah pembaharuan). 3

B. Kata (al-Kalimah)

Pengertian Kata ( ‫) الكلمة‬


Kata dalam bahasa arab disebut dengan ‫( الكلمةة‬al-kalimah). Kata merupakan bentuk
satuan semantik terkecil, terpenting dan mendasar, tetapi tetap memiliki arti dan dapat berdiri
sendiri. Kata di definisikan sebagai berikut:

‫أصغر وحدة لغوي حرة‬

“Satuan gramatikal bebas yang terkecil”

Pengertian ini membedakan antara kata dengan morfem. Morfem adalah satuan bahasa
terkecil yang tidak bisa dibagi atas bagian bermakna yang lebih kecil lagi yang maknanya
relatif stabil. Satu kata bisa terdiri atas beberapa morfem yang terbentuk melalui pengimbuhan
yang berbentuk prefiks, infiks, maupun sufiks. Sebagai contoh kata mu’min (‫ )مؤمن‬dalam
bahasa arab terdiri dari satu morfem, sedangkan kata al-mu’min (‫ )المؤمن‬mempunyai dua
morfem yaitu ‫ ال‬dan ‫مؤمن‬. Adapun kata yang terbentuk dari tiga morfem yaitu (‫ )المؤمنون‬terdiri
atas ‫ون‬+‫مؤمن‬+ ‫ال‬.

3
Mohammad Kholison, Semantik Bahasa Arab, (Jawa Timur, CV Lisan Arabi, 2016) Hal. 92-93 dan 96.

6
Klasifikasi kata

a. Dilihat dari kategorinya

Para Linguis Arab terdahulu membagi klasifikasi kata menjadi tiga, yaitu ‫( اسم‬nomina),
‫( فعل‬verba), dan ‫حرف‬. Lalu Badri (1988) menelaah kembali bahwa kata dapat di kategorikan
ke dalam lima bagian:

1. Nomina (‫)اسم‬: kata yang menyatakan benda atau yang dibendakan, meliputi tiga unsur
yaitu nama, sifat, dan kata ganti.
2. Verba (‫)فعل‬: kata yang menyatakan tindakan atau perbuatan, menunjukkan masa yang
telah lewat, masa kini, dan akan datang, serta bentuk perintah.
3. Zharaf (‫)ظرف‬: menunjukkan waktu (‫ )ظرف زمان‬dan tempat (‫)ظرف مكان‬.
4. Sarana (‫)األدوات‬: sarana terbagi dua:
a. Sebagai konektor, yaitu meliputi huruf jar ‫ على ( حرف الجر‬,‫ عن‬,‫ إلى‬,‫“ )من‬preposisi”
dan harful ‘athfi (‫ ثم‬,‫ ف‬,‫“ )و‬konektor”, dan huruf yang berfungsi mengecualikan
pernyataan.
b. Sebagai transformator, yaitu kata yang digunakan untuk mengubah makna kalimat
positif menjadi bentuk lain, seperti bentuk sangkalan, perintah, pertanyaan,
larangan dsb.
5. Al-khawalif: meliputi nomina yang bermakna verba, asmâul ashwât, kata sarana untuk
memuji dan mencela, dan bentuk ta’ajub.

b. dilihat dari bentuknya


Bentuk dalam bahasa arab terbagi menjadi dua:
1. musytaq, yakni kata yang dapat dirubah namun maknanya tetap berhubungan walau
lafadznya berubah, contohnya seperti ٌ‫ َحا ِكم‬,ٌ‫ُح ْكم‬
2. Jâmid, yaitu kata yang tidak dapat dirubah karena memang dari awal sudah
memiliki bentuk dan tidak di ambil dari kata lain seperti ‫ َش َج ٌر‬,‫س‬
ٌ ‫ َش ْم‬dsb.

c. Dilihat dari konteks kemahiran kebahasaan


1. Kata-kata inti (content words):yaitu kata dasar yang membentuk sebuah tulisan
seperti kata benda, kata kerja, kata ganti, dll.
2. Kata-kata fungsi:yaitu yang menyatukan kalimat dalam sebuah tulisan seperti huruf
jar, huruf ataf, istifham dan sejenisnya.
3. Kata gabungan: yaitu kata yang tidak dapat berdiri sendiri, dipadukan dengan kata
yang lain yang mana akan memiliki makna yang berbeda jika dipadukan dengan
kata yang berbeda pula contohnya seperti kata ‫ب‬ َ ‫ َر ِغ‬jika digabung dengan ‫ فِى‬,
maka maknanya menjadi menyukai (‫ب فِى‬ َ Sedangkan jika digabung dengan ‫َع ْن‬
َ ‫)ر ِغ‬.
yaitu menjadi ( ‫ب َع ْن‬
َ ‫)ر ِغ‬,
َ maka maknanya berubah menjadi benci/tidak suka.

d. Dilihat dari frekuensi kemunculan dan penggunaan


1. Kata-kata aktif (kalimât nashîtah): kata-kata umum yang sering digunakan dalam
keseharian.

7
2. Kata-kata pasif(khâmilah): kata yang jarang digunakan, biasa ditemukan di buku-
buku cetak yang menjadi rujukan penulisan karya ilmiah dsb.
e. Dilihat dari karakteristik
1. Kata-kata tugas
2. Kata-kata inti khusus
f. Dilihat dari fungsinya
1. Al-kalimah al-mu’jamiyyah, yaitu kata yang memiliki makna
2. Al-kalimah al-wazifiyyahh, yaitu kata yang mengemban suatu fungsi tertentu
seperti adawât al-jar, damâir al-ishârah dsb.4

Pembentukan Kata
Pembentukan kata dalam bahasa-bahasa di dunia memiliki dua sifat; pertama
membentuk kata-kata yang bersifat inflektif, dan kedua yang bersifat derivatif:

a. Inflektif )‫(التصريف اللغوي‬

Menurut Kridalaksana yang dimaksud dengan inflektif adalah “Unsur yang


ditambahkan pada sebuah kata untuk menunjukkan suatu hubungan gramatikal.”
Seperti huruf waw/ ‫ و‬yang ditambahkan pada akhir kata fiil ( ‫ )فعل‬menunjukkan makna
jama’ (plural). Seperti kata ‫ خرجوا‬yang bermakna “ mereka telah keluar”, ‫“ ذهبوا‬mereka
telah pergi”, ‫ تعلموا‬yang bermakna “mereka telah belajar”, dll.

Di antara bahasa-bahasa yang memakai infleksi adalah bahasa Arab, bahasa


Indonesia, bahasa Inggris, bahasa Latin, bahasa Sangsekerta, dll. Dalam bahasa Arab
inflektif disebut dengan .‫التصريف اللغوي‬

Inflektif dalam Bahasa Indonesia hanya terdapat dalam Pembentukan verba


transitif, yaitu dengan prefiks me- untuk verba transitif aktif, Dengan prefiks di- untuk
verba transitif pasif tindakan, dan dengan prefiks ter- Untuk verba transitif pasif
keadaan. Bentuk dasarnya dapat berupa :

a. Pangkal verba akar yang memiliki komponen makna [+sasaran], seperti akar
Baca, beli dan tulis.
b. Pangkal bersufiks –kan, seperti selipkan, daratkan, dan lewatkan.
c. Pangkal besufiks –I, seperti tangisi, lalui, dan nasihati.
d. Pangkal berprefiks per- seperti, perpanjang, perluas, pertinggi.

4
Mohammad kholison. Semantik Bahasa Arab, Tinjauan Historis, Teoritik, dan Aplikatif. (Jawa timur.
CV. Lisan Arabi)

8
e. Pangkal berkonfiks per-kan seperti, persembahkan, pertemukan, dan
Pertukarkan.
f. Pangkal berkonfiks per-I seperti, perbaiki, perbarui, dan persenjatai.
 Prefiks me- untuk verba transitif aktif contoh: Kinerja para karyawan
Meningkat. Ibu sedang menangis. Ibu menanam tumbuhan obat di
Pekarangan rumah.
 Prefiks di- untuk verba transitif pasif tindakan contoh Bunga itu disiram
pada Pagi hari, Koran dibaca Andi, Usaha itu dikelola oleh keluarganya.
 Prefiks ter- untuk verba transitif pasif keadaan contoh: Pensilku terbawa
oleh Santi, Dila tertidur di ruang tamu.

b.Derivarif ( ‫)التصريف االصطالحي‬

Derivatif ialah proses pengimbuhan afiks non-inflektif pada dasar untuk


membentuk kata. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pembentukan kata secara
inflektif tidak membentuk kata baru atau kata lain yang berbeda identitas leksikalnya
dengan bentuk dasarnya. Sementara pembentukan kata secara derivatif adalah
membentuk kata baru, kata yang identitas leksikalnya tidak sama dengan kata dasarnya.

Dalam bahasa Indonesia misalnya kata minum yang berkelas verba dibentuk
menjadi minuman yang berkelas nomina. Dalam bahasa Arab ditemukan hal yang sama,
seperti kata ‫ نصر‬yang berkelas kata fi’il, dibentuk menjadi ‫ ناصر‬yang berkelas kata
isim. Proses derivatif dalam bahasa Arab sering diistilahkan dengan ‫التصريف االصطالحي‬
.5

C. Kalimat (al-Jumlah)

Pengertian Kalimat

Dalam kehidupan sehari-hari kita menggunakan kalimat untuk beromunikasi. Dengan


kalimat kita dapat mengekspresikan diri kita, kita juga dapat bertanya dengan menggunakan
kalimat, dan masih banyak lagi yang bisa kita lakukan dengan menggunakan kalimat. kalimat
menurut para ahli dan ilmu nahwu.

5
Sahkolid Nasution. Pengantar Linguistik Bahasa Arab. CV Lisan Arabi: Sidoarjo, Jawa Timur

9
Kalimat dalam ilmu nahwu suatu lafadz yang mempunyai suatu makna tertentu.
Kalimah dapat mempunyai makna tertentu karena tersusun atas beberapa kata sesuai kaidah
Bahasa Arab.

Secara etimologi (bahasa) kalimah mempunyai arti “kata”, sedangkan secara istilah
adalah kata yang mufrod (berdiri sendiri) dengan kata lainnya untuk membentuk sebuah
kalimat. Kalimah sediri dikatan mufrod karena ia kata tersebut berdiri sendiri.

Didalam ilmu nahwu kalimah dibagi menjadi 3, yaitu isim, fi’il dan huruf.

Pembagian Kalimah

pembagian kalimah

1. Isim

Isim adalah suatu kata (kalimah) yang menunjukan atas suatu makna tertentu yang tidak
terikat dengan waktu. Isim dikenal dengan kata benda.

2. Fi’Il

Fi’il adalah suatu kata dalam ilmu nahwu yang menujukkan suatu makna tertentu,
dimana fi’il terikat dengan waktu. Fi’il secara bahasa dikenal juga
dengan katakerja (perbuatan).

Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa fi’il merupakan suatu kata yang menunjukan sebuah
pekerjaan atau perbuatan tertentu dan berkaitan dengan waktu.

Secara umum, fi’il dapat dibagi menjadi 3, yaitu fi’il madhi, fi’il mudhori’, dan fi’il amr.

Pembagian Fi’il

1. Fi’il Madhi, adalah suatu kata kerja yang menunjukan keterangan pada waktu lampau
(yang telah terjadi). Contoh: “qoola”

2. Fi’il mudhori’, adalah suatu kata kerja yang menunjukan keterangan waktu sekarang
atau akan datang. Contoh: “yaquulu”

10
3. Fi’il amr, adalah suatu kata kerja yang menunjukan keterangan perintah atau suruhan
tertentu yang waktunya bisa sekarang atau akan datang. Contoh: “qul”

3. Huruf

Huruf dalam ilmu nahwu adalah suatu kata yang tidak memiliki yang makna sempurna
kecuali sudah bersambung dengan kata yang lainnya.

Dalam ilmu nahwu huruf ini dapat digolongkan sebagai kalimah adalah huruf ma’any (huruf
dalam Bahasa Arab yang mempunyai Makna tertentu).

Menurut Arifin dan Tasai (2003:58), kalimat adalah satuan bahasa terkecil, dalam wujud lisan
atau tulisan yang mengungkapkan pikiran yang utuh.

Menurut Widjono (2012:187), kalimat adalah satuan bahasa terkecil yang merupakan kesatuan
pikiran.6

Kalimat menurut penulis: Kalimat merupakan satuan bahasa terkecil yang dapat berdiri
sendiri dan berdasarkan pola yang mempunyai pikiran makna yang lengkap. 7

6
Arifin, E. Zaenal dan S. Amran Tasai. 2008. Cermat Berbahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi. Jakarta:
Akademika Presindo
7 Hs, Widjono. 2012. Bahasa Indonesia Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi. Jakarta:

Grasindo

11
PENUTUP

Kesimpulan

tanda adalah sesuatu yang menstruktur (proses pemaknaan berupaa kaitan antara
penanda dan petanda) dan terstruktur (hasil proses tersebut) di dalam kognisi manusia.bahwa
signal dan symbol merupakan dua istilah sebagai pengganti sign baik verbal maupun non-
verbal. Kalimat dalam ilmu nahwu suatu lafadz yang mempunyai suatu makna tertentu.
Kalimah dapat mempunyai makna tertentu karena tersusun atas beberapa kata sesuai kaidah
Bahasa Arab.Dan kalimat dibagi menjadi tiga bagian yaitu : isim, fi’il, dan huruf

12
DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan, dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Arifin, E. Zaenal dan S. Amran Tasai. 2008. Cermat Berbahasa Indonesia untuk Perguruan
Tinggi. Jakarta: Akademika Presindo

Hs, Widjono. 2012. Bahasa Indonesia Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di


Perguruan Tinggi. Jakarta: Grasindo

Kholison, Mohammad. Semantik Bahasa Arab; Tinjauan Historis, Teoritik & Aplikatif,
(Pasuruan: CV. Lisan Arabi, 2016).

Nasution Sahkolid. Pengantar Linguistik Bahasa Arab. (CV Lisan Arabi: Sidoarjo, Jawa
Timur)

13

Anda mungkin juga menyukai