Anda di halaman 1dari 15

KAJIAN SEMIOTIKA DALAM PENAFSIRAN AL-QUR’AN

Abstrak: Semiotika sebagai ilmu yang mengkaji tentang tanda-tanda yang dihasilkan oleh
gejala fenomena social dan kebudayaan suatu masyarakat. Telah banyak dijadikan pisau
analisa dalam meneliti dan menjabarkan makna yang tersimpan dan terpendam dalam sebuah
karya sastra, baik yang berupa syair, puisi maupun cerita atau kisah. Al-Qur‟an sebagai
wahyu Allah kepada Nabi Muhammad untuk disampaikan kepada umat manusia secara
keseluruhan dengan menggunakan bahasa Arab, agar dijadikan pelita dan petunjuk dalam
kehidupannya, perlu digali lebih dalam makna yang terkandung di dalamnya (ditafsirkan)
dengan berbagai macam pendekatan. Agar fungsi al-Qur‟an sebagai petunjuk (huda) bagi
umat manusia bisa lebih dioptimalkan lagi, sehingga ajaran yang terkandung di
dalamnya lebih “membumi”. Makalah ini mencoba untuk menganalisa efektifitas
kajian semiotika dalam upaya menafsirkan ayat- ayat al-Qur‟an guna mendapatkan
nuansa penafsiran yang lebih komprehensif. Selanjutnya, metode ini akan diaplikasikan
dalam penafsiran sebagian ayat al-Qur‟an sebagai salah satu alat ukur dalam menilai
seberapa besar peran metode tersebut dalam penafsiran ayat al- Qur‟an.
a. Pendahuluan
Al-Qur‟an sebagai kitab suci umat Islam dengan menggunakan bahasa Arab,
diturunkan oleh Allah swt agar dapat dijadikan tuntunan dan pelita bagi umat manusia
dalam menggapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Disamping itu, al-Qur‟an pada
saat diturunkannya hingga saat ini mengandung berbagai macam mukjizat dilihat
dari pelbagai aspeknya. Baik itu dari sisi penggunaan kata, rangkaian kalimatnya, informasi
yang terkandung di dalamnya, dan masih banyak lagi sisi-sisi “keluarbiasaan” al-Qur‟an
di era kekinian yang masih ditelusuri dan diteliti oleh para ilmuwan. Hal tersebut
menunjukkan bahwa teks al-Qur‟an memiliki keunikan tersendiri apabila dibandingkan
dengan teks-teks yang lainnya.
Dalam mewujudkan fungsi utama al-Qur‟an sebagai petunjuk bagi umat
manusia di segala ruang dan waktu. Maka menjelaskan dan menafsirkan ayat-ayat
al-Qur‟an merupakan sesuatu yang sangat mendesak untuk dilakukan. Apalagi
semakin jauh sebuah generasi dari masa diturunkannya al-Qur‟an, tidak menutup
kemungkinan salah dalam memaknai subtansi yang terkandung di dalamnya. Di lain
pihak, al-Qur‟an sebagai sebuah teks yang tersusun dari kata-kata yang mempunyai dimensi
makna yang berbilang (multiple meaning). Sebagaimana yang ditegaskan oleh „Ali ibn
Abi Thalib kepada „Abdullah ibn Abbas, dimana beliau mengatakan:”Jangan
kamu berdebat dengan mereka (para pengikut Khawarij)
tentang makna ayat-ayat al-Qur‟an, sebab al-Qur‟an memiliki makna yang cukup
banyak (dzu> wuju>h)”.1 Berkaitan dengan hal ini, Abu> Darda‟ juga pernah
menyatakan:”Kamu belum bisa dianggap mengenal al-Qur‟an dengan baik, apabila
belum mengetahui dan menyadari bahwa kosa kata yang dimiliki oleh al-Qur‟an itu
mengandung makna yang banyak.”2
Keunikan al-Qur‟an yang demikian, memikat para ilmuwan untuk menyelami
dan menguak berbagai makna yang terkandung di dalamnya dengan berbagai macam metode
dan pendekatan. Al-Qur‟an yang dikemas dalam bahasa Arab, dianggap sebagai sebuah
kode atau tanda yang digunakan oleh Allah swt dalam menyampaikan ajaran-ajaran-Nya
kepada umat manusia melalui bahasa ibu utusan- Nya. Selaras dengan apa yang pernah
dikemukakan oleh ustad Amin al-Khulli, bahwa secara historis al-Qur‟an diturunkan
dalam kemasan bahasa Arab. Sementara bahasa Arab itu sendiri merupakan symbol yang
dipilih oleh Allah untuk menyampaikan firman-firman-Nya kepada Nabi Muhammad saw.
Oleh karenanya, sebagai sebuah symbol, al-Qur‟an sangat mungkin untuk
dijabarkan kandungan maknanya dengan menggunakan pendekatan kajian semiotika.3
Sebagai upaya dalam menampilkan kekayaan makna yang terkandung dalam al-Qur‟an.
Selanjutnya, al-Qur‟an dapat dibumikan dalam kehidupan umat manusia melalui
kekayaan makna yang terdapat di dalamnya.

b. Kajian Semiotika; Barat dan Timur


Kata “semiotika” berasal dari bahasa Yunani “seme”, seperti dalam semeiotikos,
yang memiliki makna penafsir tanda. Ada juga yang menyatakan bahwa semiotika berasal
dari kata “semeion”, yang berarti tanda.4 Sebagai suatu disiplin ilmu, semiotika
merupakan ilmu analisis tanda atau studi tentang bagaimana system penandaan itu berfungsi.
Perintis awal disiplin ilmu adalah Plato yang memeriksa asal-muasal bahasa dalam
“Cratylus”, dan juga Aristoteles yang mencermati kata benda dalam bukunya yang
berjudul “Poetic” dan “On The Interpretation”. 5 Dengan demikian, maka semiotika
sering disebut sebagai ilmu yang mengkaji tentang tanda- tanda. Dimana fenomena social dan
kebudayaan dianggap sebagai sekumpulan tanda-tanda. Lebih jelasnya, semiotika
merupakan ilmu yang mengkaji tentang peran tanda sebagai bagian dari kehidupan social.6
Pada saat membahas tentang kajian semiotika, maka tidak bisa dilepaskan atau
melupakan peran dari tokoh yang telah banyak memberikan konstribusi yang sangat
berharga bagi pengembangan kajian semiotika tersebut. Kedua tokoh itu
adalah Ferdinand de Saussure (1857 – 1913) dan Charles Sanders Pierce (1839 –
1914). Secara garis besar, ranah kajian semiotika dibagi menjadi dua yaitu, semiotika
signifikasi yang dimotori oleh de Saussure, dan semiotika komunikasi yang

1 Al-Suyu>thi>, al-Itqa> fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, (Beirut: Da>r al-Fikr, t.th.), jil. I, hlm. 141
2
3 Ibn Sa’ad, al-Thabaqa>t al-Kabi>r, (Leiden: K.V. Zettersteen,1905), hlm. 114
Ami>n al-Khu>li, Mana>hij al-Tajdi>d fi> al-Nah}w wa al-Bala>ghah wa al-Tafsi>r wa
al-Ada>b, (Kairo:
al-Hai’ah al-Mis}riyyah al-‘A<mmah li al-Kita>b, 1995), hlm. 6
4 Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004), hlm.
97.
5 Djajasudarma, Semantik: Pengantar kea rah Ilmu Makna, (Bandung: PT. Rafika, 2001)
6
Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics, (London: Duckworth, 1990), hlm. 15
dikembangkan oleh Charles S Pierce. Kedua ranah tersebut, tidak dipisahkan antara yang satu
dengan yang lainnya. Sebab, masing-masing berkaitan erat dalam memberikan arti atau
makna dari sebuah tanda.
Pada pembahasan semiotika signifikasi, yang menjadi penekanannya adalah
pada aspek penanda (signifiant) – bentuk formal dalam yang menandai sesuatu –
dan aspek patanda (signifie) – aspek mental, arti atau image makna di balik penanda
yang memaknai sebuah tanda -. Menurut Saussure, tanda (signe) adalah kombinasi antara
konsep dan citra akustik (image acoustique).7 Selanjutnya, Saussure menggantikan istilah
konsep (concept) dengan istilah signifiant (penanda), sedangkan istilah image
acoustique digantikan dengan istilah signifie (petanda). Umberto Eco juga menegaskan bahwa
pengertian tanda menurut Saussure adalah sebagai entitas yang memiliki dua sisi, yaitu:
signifiant (penanda) dan signifie (petanda), atau antara wahana tanda dan makna.8 Kemudian
Sauusure mengembangkan semiotika ini dalam berbagai konsep seperti, dikotomi antara
konsep sintagmatik dan paradigmatic, diakronik dan sinkronik, serta konsep langue dan
parole. Walaupun demikian, dalam kajian semiotika yang terpenting menurutnya adalah
pemahaman makna sebuah tanda sebagai kombinasi antara signifiant (penanda) dan signifie
(petanda). Rachmat Djoko Pradopo menyatakan bahwa penanda merupakan bentuk formal
yang menandai sesuatu yang disebut petanda, sedangkan lebih merupakan aspek mental, arti
atau konsep di balik penanda.9
Misalnya, kata burung dalam bahasa Indonesia adalah salah satu jenis hewan yang bisa
terbang. Kata burung (tulisan maupun lisan) dalam bahasa Indonesia merupakan sebuah
tanda yang mengandung penanda (signifiant) dan petanda (signifie). Bentuk formal burung
secara totalitas yang meliputi; kepala, sayap, bulu, kaki dan lainnya yang menandai sebuah
tanda (burung), merupakan penanda dalam bahasa Indonesia. Adapun sikap mental dan
makna atau konsep di balik penanda tersebut merupakan petanda (signifie) yaitu; salah satu
jenis hewan yang bisa terbang. Hal ini berlaku bagi semua bahasa komunikasi di dunia
ini. Kata burung dalam bahasa Arab disebut dengan istilah “thair”, sedangkan
dalam bahasa Inggris disebut dengan ungkapan “bird”, dan dalam bahasa Jawa
dinyatakan dengan sebutan manuk. Istilah-istilah bahasa seperti inilah yang disebut
sebagai tanda (signe). Dengan demikian, semiologi yang dikembangkan oleh Saussure lebih
menekankan pada semiotika signifikasi, dimana hubungan antara penanda dengan petanda
dikukuhkan berdasarkan system atau aturan-aturan dalam langue (bahasa).10
Sedangkan Charles Sanders Pierce lebih mengarahkan kajian semiotika kepada kajian
logika, dimana selanjutnya lebih dikenal dengan istilah semiotika komunikasi. Menurutnya,
semiotika harus mengkaji bagaimana orang bernalar melalui tanda- tanda. Dengan adanya
tanda-tanda tersebut, maka orang dapat berfikir, berhubungan dengan orang lain,
dan memberikan makna atas segala yang

7 Ibid. hlm. 15
8
Umberto Eco, Teori Semiotika, terj. Inyiak Ridwan Muzir, (Yogyakarta: Kreasicana, 2009),
hlm.
9 19
Rachmat Djoko Pradopo, Penelitian Sastra dengan Pendekatan Semiotik, dalam buku
Jabrohim (ed.),
Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta: hanindita, 2002), hlm. 68.
10 Umberto Eco, Teori……., hlm. 19
ditampilkan oleh alam semesta.11 Lebih lanjut Ali Imron menyatakan bahwa realitas dunia
atau alam semesta dipenuhi dengan tanda-tanda yang sistematis (memiliki aturan yang baku),
dimana dengannya manusia bisa memaparkan dan mengkomunikasikan ide-idenya dengan
baik, serta dapat dipahami oleh yang lainnya.12 Dan tanda-tanda tersebut dalam pandangan
Pierce, sebagaimana yang diungkapkan oleh Alex Sobur, senantiasa berada di dalam proses
perubahan tanpa henti, yang beliau sebut dengan istilah semiosis tak terbatas (unlimited
semiosis).13
Oleh karenanya, tanda yang ada akan selalu mengalami proses produksi dan
reproduksi, sehingga tanda pun akan selalu berkembang. Lebih lanjut Umberto memaparkan
dengan sebuah ilustrasi, bahwa pada saat seseorang mengucapkan
kata atau citra dan semacamnya, maka ia mesti bekerja untuk mengucapkan semua itu dengan
jelas dalam serangkaian fungsi tanda-tanda yang adapat diterima dan dipahami secara
semantic. Begitu juga sebaliknya, pada saat seseorang menerima, membaca atau
mendengarkan sebuah kalimat, walaupun ia tidak mesti memproduksi tanda-tanda tersebut,
namun ia harus bekerja untuk menafsirkan semua itu.14
Pandangan Pierce tersebut, boleh jadi didasarkan atas pemahamannya
terhadap subtansi dari ilmu pengetahuan itu sendiri. Dimana menurutnya, ilmu
pengetahuan bukanlah sekumpulan kepastian, namun suatu tubuh yang terdiri dari penjelasan-
penjelasan. Ilmu pengetahuan berkembang bukan dengan cara menambahkan kepastian-
kepastian baru, melainkan dengan mengganti penjelasan yang sudah ada dengan penjelasan
yang lebih baik.15
Sebagai penganut mazhab pragmatisme, Pierce menegaskan bahwa tanda makna
merupakan hal yang sangat penting dalam investigasi, yaitu bagaimana memahami apa yang
dimaksud oleh ide. Karena mengerti tentang makna akan
menjadi kosekuensi praktis yang harus diyakini.16 Melalui science atau investigasi inilah,
pemikiran manusia akhirnya dapat mencapai makna hakiki (meaning) yang pada dasarnya
lebih utama dari pada “kebenaran (truth)”.
Lebih jelasnya, menurut Pierce dalam tanda selalu terjadi hubungan antara object,
ground, dan interpretant. Object adalah sesuatu yang diacu oleh tanda, sedangkan ground
lebih merupakan suatu kode atau tata aturan yang ada di balik tanda sesuai dengan konvensi
tertentu. Tanda kemudian diinterpretasikan, sehingga menjadi tanda baru yang disebut
olehnya sebagai interpretant. Setelah itu interpretant menjadi tanda baru, kemudian
diinterpretasikan lagi dan begitu seterusnya, sehingga terjadi proses semiosis yang tak
terbatas.
Dalam kajian sastra Arab, disiplin ilmu semiotika sering disebut dengan istilah
al-si>miya>’ ( ‫) ءايميسال‬, dimana dalam kamus “Lisa>n al-‘Arab” karya monumental

11 Panuti Sudjiman (ed.), Serba-serbi Semiotika, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
1996), hlm. 1
12
Ali Imron, Semiotika al-Qur’an: Metode dan Aplikasi terhadap Kisah Yusuf, (Yogyakarta:
Teras, 2011), hlm.
14.
13 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. xiii
14 Umberto Eco, Teori……., hlm. 228.
15 Bryan Magee, The Story of Philosophy: Kisah Tentang Filsafat, terj. Marcus Widodo
dan Hardono Hadi
(Yogjakarta: Kanisius, 2008), hlm. 187.
16 Milton K. Munitz, Contemporery Analitic Philosophy (New York: Macmillan
Publishing Co. Inc., 1981), hlm. 29
Ibn al-Manzhu>r, kata tersebut diberi makna menunjukkan kepada sesuatu atau tanda/isyarat
(al-isya>rah).17 Para ilmuwan sastra Arab (al-bala>ghiyu>n) telah menaruh perhatian
lebih terhadap kajian yang berkaitan dengan tanda atau isyarat ini. Menurut al-Ja>h}izh,
kajian ilmu tanda/isyarat ini merupakan salah satu ungkapan yang indah dan padat pada
tingkatan yang tertinggi, sehingga tidak digunakan lagi ungkapan secara lisan (al-kala>m).
Dimana dalam berkomunikasi melalui isyarat tersebut, hanya mencukupkan pada
tanda/isyarat yang ditunjukkan oleh tangan, mata dan anggota tubuh yang lainnya. Hal
tersebut dimaksudkan untuk menunjukkan sesuatu yang sangat khusus dari sebuah makna.
Oleh karenanya, tanda atau isyarat itu lebih dalam cakupan maknanya dibandingkan dengan
makna yang terkandung dalam bentuk audio/suara.18
Istilah al-si>miya>’ ini disamakan dengan istilah al-dala>lah. Dimana para ahli bahasa
Arab klasik telah menjadikan al-dala>lah sebagai salah satu bidang ilmu yang menjadi salah
satu focus kajiannya sejak lama, bahkan seeblum munculnya istilah al-
si>miya>’ itu sendiri. Hal ini bisa dilihat dari berbagai macam bahasan yang berkaitan
dengan kejian tersebut dalam buku-buku yang telah mereka tulis, seperti kitab yang
membahas tentang ghari>b al-Qur’a>n (kosa kata asing dalam al-Qur‟an), maja>z al-
Qur’a>n (majaz dalam al-Qur‟an), dan dalam kitab al-Wuju>h wa al- Nazha>’ir.19
Para ilmuwan Arab memandang bahwa tunjukkan dari sebuah kata/lafal
(dala>lah al-lafzh) memiliki dua aspek yang berbeda, yaitu; aspek kebahasaan dan
aspek kegunaannya dalam sebuah budaya. Dalam hal ini „Abd al-Qa>hir al-
Jurja>ni> menyatakan: “Sungguh engkau telah menemukan sebuah kata yang
mengandung manfaat/tunjukkan makna yang banyak, sehingga engkau seakan- akan
melihatnya terulang-ulang dalam satu tempat. Dimana di setiap tempat yang berbeda tersebut
ia mengandung makna dan arti tersendiri,.......dan ia memberikan kepadamu makna atau arti
yang beragam secara otomatis, seakan-akan hal itu terjadi secara kebetulan belaka.
Sepertinya dari satu tangkai engkau menperoleh buah yang berbeda-beda”.20
Sebenarnya, metode semiologi muncul di dunia Arab/Timur pada sekitar
tahun 1980 an, setelah diterjemahkannya berbagai macam literature sastra dari bangsa Eropa
dan juga melalui para peserta didik dari bangsa Arab yang menimba ilmu, khususnya yang
berkaitan dengan kajian semiologi di berbagai universitas Barat.21 Kajian ini pertama kali
muncul di Negara Maroko, selanjutnya mengalami perkembangan hingga ke Negara Mesir
dan Negara-negara Arab lainnya.
Komunikasi secara lisan dianggap sebagai bentuk komunikasi yang sangat
penting, bahkan memiliki tingkatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang

17 Ibn al-Manzhu>r, Lisa>n al-‘Arab, (Beirut: Da>r Sha>dir, 1968), jil. II, hlm. 381
18
Al-Ja>h}izh, al-Baya>n wa al-Tabyi>n, ditahqiq oleh Abd Salam M. Harun, (Kairo:
Maktabah al-Kha>naji>,
1998), jil. I, hlm. 55
19 Sa’diyah Mu>sa< al-Basyi>r, al-Si>miya>’: Ushu>luha> wa Mana>hijuha> wa
Mushthalah}a>tuha>,
makalah dalam Muktamar Fakultas Bahasa yang diadakan oleh Universitas Sudan Science and
Technology,
2010.
20 ‘Abd al-Qa>hir al-Jurja>ni>, Asra>r al-Bala>ghah, (Kairo: Da>r al-Mana>r, 1372 H.),
hlm. 33
21
Jami>l H{amda>wi>, al-Madkhal ila> al-Manhaj al-Si>mia>>’i>, terjemahan dari
tulisan Jan Cloud C.,
Majalah ‘A<lam al-Fikr Kuwait, vol. III Maret 1997.
lainnya. Dimana kajian semiotika semakin luas jangkauannya dan mencakup berbagi
bentuk komunikasi yang sering digunakan oleh manusia.22
Dari pemaparan di atas, dapat dijelaskan kembali, bahwa karakteristik kajian semiotika
mencakup hal-hal sebagai berikut:
a) Kajian semiotika merupakan sebuah metode yang menjadikan kandungan teks sebagai
focus kajiannya. Dimana kajian ini bertujuan untuk menjelaskan serangkaian hubungan
antara beberapa unsure tanda yang terdiri dari huruf, kata, dan redaksi sebuah kalimat.
Makna yang diperoleh merupakan dampak yang timbul dari serangkaian hubungan unsur-
unsur tersebut.
b) Semiotika merupakan metode structural, dimana kebanyakan prinsip dan
unsurnya terbentuk dari metode struktur lisan. Metode structural tidak hanya
memperhatikan bagian dari sebuah realitas yang sedang dikaji, akan tetapi lebih
menekankan pada keterkaitan hubungan yang dibentuk oleh realitas tersebut.23
c) Metode ini memiliki kelebihan jika dibandingkan dengan ilmu lisan (al-
Lisa>niya>t), sebab kajian ini lebih menfokuskan dirinya pada struktur dan tatanan
sebuah redaksi (al-khitha>b).
Berkembangnya semiotika yang sedemikian pesat di dunia Arab, menggugah
banyak ilmuwan Arab untuk menerapkannya dalam penafsiran al-Qur‟an secara akademis.
Tetapi yang harus menjadi renungan bersama adalah apakah kajian ini mampu menampilkan
penafsiran yang komprehensif atas ayat-ayat al-Qur‟an?

c. Kajian Semiotika dan Tafsir al-Qur’an


Al-Qur‟an sendiri telah menyebutkan secara jelas term al-si>ma> di berbagai
ayat, diantaranya: al-Baqarah(2):273, al-Fath(48):29, dan Muhammad(47):30. Dimana
dalam ketiga ayat tersebut istilah al-si>ma> didefinisikan dengan tanda.24 Dan al-
Qur‟an sendiri juga mencakup pernyataan-pernyataan yang menjelaskan secara
tegas penggunaan tanda maupun isyarat dalam melakukan komunikasi antara yang dengan
lainnya dalam berbagai ayatnya. Misalnya, dalam kisah Maryam yang diperintahkan oleh
Allah apabila ditanya oleh orang disekitarnya untuk menjawab dengan pernyataan bahwa ia
sedang berjanji (berpuasa) untuk tidak berbicara kepada siapapun. Oleh karenanya, pada
saat beliau kembali setelah melahirkan puteranya, Nabi Isa as. Dimana para tetangga
menghampirinya dengan hujatan dan cemoohan. Maka dengan tenangnya Maryam menunjuk
kepada puteranya yang masih bayi. Merekapun paham dengan isyarat yang diberikan oleh
Maryam, seraya berkata: “Bagaimana mungkin kita bertanya kepada anak yang masih
bayi?”. 25
Demikian juga dalam surat Hu>d dikisahkan, ketika dua tamu Ibrahim as. (dua
malaikat dalam wujud manusia) datang untuk memberikan kabar gembira, maka beliau pun
menyambutnya dengan perasaan suka cita dan memberi hidangan yang lezat. Akan tetapi,
selanjutnya beliau merasakan sesuatu yang janggal. Dimana dua tamunya tidak bergeming
sedikitpun untuk menngerakkan tangannya guna menyantap makanan yang telah
dihidangkan. Timbullah perasaan takut dalam

22 Sa’i>d Benkra>d, al-Si>miya>’iya>t Mafa>hi>muha> wa Tathbi>qa>tuha>, (Da>r al-


Baidha>’:
Mansyu>ra>t al-Zaman, 2003).
23 Thaib Dibah, Maba>di’ al-Lisa>niya>t al-Bunyawiyah, (Aljazair: Ja>mi’ah al-
Aghwa>>th, 2001).
24
Al-Ra>ghib al-Ashfaha>ni>, al-Mufrada>t fi> Ghari>b al-Qur’a>n, (Beirut: Da>r al-
Qalam, t.th.), hlm. 251
25
QS. Maryam(19): 26-29.
dirinya, sebab andaikata kedua tamu tersebut memiliki itikad baik, mereka akan menyantap
hidangan tersebut. Apabila tidak, pasti mereka mempunyai maksud yang kurang baik.
Perasaan takut yang dialami Ibrahim tidak diungkapkan secara lisan, tetapi tampak pada raut
mukanya tanda-tanda yang menunjukkan rasa takut dalam dirinya. Sehingga kedua
tamunya berupaya untuk menenangkan diri Ibrahim, sembari berkata: “Janganlah
engkau merasa takut!”.26 Dengan demikian, istilah al-si>ma> yang terdapat dalam al-
Qur‟an secara tegas dan jelas menunjukkan kepada makna tanda.
Melihat kenyataan seperti ini, maka tidak sedikit dari ilmuwan muslim yang
mencoba untuk menampilkan metode seperti dalam upaya penafsiran al-Qur‟an.
Salah satu diantaranya adalah Muhammad Arkoun, dimana dalam menggunakan metode
semiotika dalam kajian al-Qur‟an beliau menawarkan dua tahapan, yaitu; kritik
linguistic (linguistic critique) dan kritik keterkaitan/hubungan (relation critique).27 Pada
tahap kritik keterkaitan/hubungan, Arkoun menetapkan dua langkah yang harus dilalui, yaitu
eksplorasi historis dan eksplorasi antropologis untuk menentukan petanda akhir. Eksplorasi
historis dilakukan Arkoun dengan tujuan untuk membaca kembali khazanah tafsir
klasik, sedangkan eksplorasi antropologis ditujukan untuk melihat bagaimana bahasa
dipakai dalam berbagai jenis symbol dalam lintasan sejarah. Hal ini menunjukkan bahwa
tahap kritik relational/keterkaitan hanya terbatas pada analisis teks-teks tafsir dan aspek
etimologinya.
Dengan demikian, agaknya Arkoun telah mengabaikan aspek kaitan intertekstual dalam
al-Qur‟an itu sendiri, yaitu hubungan antara tanda bahasa dan tanda bahasa yang
lainnya dalam mushaf, sehinggga dapat menghasilkan makna. Dimana Toshihiko Izutsu
menyebutnya dengan istilah makna relasional. Disamping itu, pengertian system tanda yang
lebih luas dalam semiotika, bukan hanya sekedar mengetahui hasil penafsiran ulama-ulama
klasik dan aspek etimologi sebuah bahasa, tapi anggapan bahwa fenomena dunia yang
berada di luar bahasa merupakan bagian system tanda yang lebih besar.
Adapun Nashr H{a>mid Abu> Zaid banyak terpengaruh dengan metode semiotika yang
dikembangkan oleh Saussure. Dimana ia memasukkan al-Qur‟an dalam kategori parole yang
didasarkan pada langue. Kategori seperti ini telah membawanya pada sebuah kesimpulan
bahwa pada hakikatnya teks al-Qur‟an itu merupakan produk dari sebuah kebudayaan
(muntaj al-tsaqafi).28 Selanjutnya dapat dipahami bahwa dalam mengungkapkan makna al-
Qur‟an, Abu> Zaid menawarkan sebuah kajian terhadap persoalan linguistic strukturalisme
ala Saussure dan aspek budaya yang mengelilingi kehadiran teks al-Qur‟an.
Pembacaan al-Qur‟an dengan pendekatan semiotika ini, dalam pandangan Ali
Imron juga dapat dilalui dengan dua langkah, yaitu pembacaan heuristic dan pembacaan
retroaktif. Maksudnya, bahwa langkah pertama yang mesti dilakukan
dalam menganilsa teks al-Qur‟an dengan model pendekatan ini, adalah melakukan

26 QS. Al-Dza>>riya>t(51): 28.


27
Muhammad Arkoun, Kajian Kontemporer al-Qur’an, diterjem. Hidayatullah, (Bandung:
Pustaka, 1998), hlm.
101-109.
28 Nashr H{a>mid Abu> Zaid, Teks Otoritas Kebenaran, terj. Sunarwoto, (Yogyakarta: LKIs,
2003), hlm. 108.
kajian terhadap teks berdasarkan konvensi bahasa atau berdasarkan system semiotic tingkat
pertama. Selanjutnya, dilakukan tahapan pembacaan retroaktif , yaitu pembacaan terhadap
teks berdasarkan konvensi yang letaknya lebih tinggi dibandingkan dengan konvensi bahasa
pada tingkat pertama.tahapan pertama dalam kajian ini sering disebut dengan pembacaan
secara semantic, sedangkan tahapan pembacaan retroaktif boleh juga disebut dengan
penafsiran melalui metode hermeneutic.29

d. Penafsiran Semiotik al-Qur’an: Sebuah Model Tafsir


Tafsir semiotic yang dimaksud dalam hal ini adalah model penafsiran yang lebih
melihat pada analisa tentang bagaimana system penandaan itu berfungsi pada teks al-Qur‟an.
Sebagai model dari tafsir semiotic, akan ditampilkan sebuah ayat al- Qur‟an,
kemudian akan dianalisa system tanda yang terdapat dalam teks tersebut dengan
menggunakan pendekatan semiotic yang dikembangkan oleh dua tokoh semiotika, yakni
de Saussure dan Charles Sanders Pierce. Adapun bunyi teks al- Qur‟an yang akan
dijadikan model dalam analisa ini yaitu firman Allah dalam surat al-Anfal ayat 60
yang berbunyi:
‫مكودعو َللّا ودع هب نىبهرت ليخلا طابر نمو ةىق نم متعطتسا ام مهل اودعأو‬
‫فىي للَّا ليبس يف ءي ش نم اىقفنت امو مهملعي َللّا مهنىملعت َل مه†نود نم نيرخآو نىملظت َل متهأو مكيلإ‬
Artinya:Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi
mereka dengan kekuatan yang kamu miliki dan dari pasukan berkuda yang
dapat menggentarkan musuh-musuh Allah, musuhmu dan orang-orang
selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya, tetapi Allah
mengetahuinya. Apa saja yang infakkan di jalan Allahniscaya akan dibalas
dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dizhalimi (dirugikan). (QS.
Al-Anfal [8]: 60)

System tanda yang akan dikaji dengan pendekatan semiotic dari sekumpulan tanda
yang terdapat pada teks ayat tersebut adalah kata (‫)نىبهرت‬, dimana asal kata
tersebut dari susunan huruf (‫ )بهر‬yang memiliki arti takut atau gentar.30 Menurut mayoritas
mufassir kata (‫ )نىبهرت‬diartikan dengan menakut-nakuti. Lafal tersebut mempunyai posisi
sebagai sebuah penanda karena bersifat material. Adapun
petanda dari lafal tersebut berupa konsep yang muncul dari kata (‫)نىبهرت‬, dapat
berupa tindakan menakut-nakuti saja, atau bisa juga muncul konsep lain dalam benak
kita yaitu tindakan menakut-nakuti dengan dibarengi tindakan gangguan, ancaman maupun
terror. Dimana de Saussure menegaskan bahwa hubungan antara penanda (‫ )نىبهرت‬dengan
petanda darinya yang berupa konsep “menakut-
nakuti/menggentarkan” itu bersifat mana-suka atau arbitrer (sewenang-wenang).

29 Ali Imron, Semiotika al-Qur’an:………….


30
Louis Ma’luf, al-Munjid fi> al-Lughah wa al-A’la>m, (Beirut: Da>r al-Syuru>q, 1987),
hlm. 282.
Pada saat tersebut disusun menurut sintagmatis secara linier, maka akan muncul makna
asosiatif paradigmatic, yaitu berupa pikiran-pikiran yang menentukan makna dari ayat
tersebut. Dan dapat disimpulkan bahwa konsep “menakut-nakuti” akan menimblkan
konsep makna yang beragam sebagai hasil dari apa yang tersirat dalam pikiran para audiens.
Adapun pendekatan semiotic Pierce terhadap ayat tersebut, dengan cara memposisikan
kata (‫ )نىبهرت‬sebagai representamen/tanda, selanjutnya tanda tersebut
akan dihubungkan dengan object yang berupa “kekuatan militer”. Dari hubungan
tersebut akan muncul sebuah interpretant, yaitu tindakan menakut-nakuti dengan
pengerahan kekuatan militer”. Uraian di atas merupakan hubungan tanda
sederhana yang dihasilkan oleh keterkaitan tiga aspek, yakni; representamen, object dan
interpretant.
Keterkaitan atau hubungan tiga aspek tersebut dapat menjadi mata rantai yang panjang
dan tidak terbatas. Lafal ‫ نىبهرت‬yang membuahkan interpretant “menakut-
nakuti dengan kekuatan militer”, menurut semiotika ala Pierce akan
ditransformasikan menjadi representamen baru yang dihubungkan dengan object berupa
“meneror”. Dan hubungan tersebut juga akan menghasilkan interpretant yang
baru yaitu “menakut-nakuti disertai dengan tindakan terror”, dan demikianlah
proses semiotic tersebut berlangsung. Sehingga dalam proses tersebut akan dikembangkan
dan ditemukan makna-makna baru dari sebuah teks.

e. Kesimpulan
Al-Qur‟an sebagai teks (manuskrip) kitab suci umat Islam yang ditulis dalam
bentuk huruf sesuai dengan al-rasm al-‘Utsma>ni>, merupakan kumpulan dari system
symbol dalam rangkaian ayat-ayat al-Qur‟an yang terdiri dari kala>m (parole) dan qaul
(langue), dimana hal tersebut dapat diucap dan dibaca selanjutnya dipahami oleh pikiran
manusia. Proses pengucapan dan pembacaan tersebut pada akhirnya akan menghasilkan
makna-makna yang bergantung pada teknis pembacaan dan pengucapan dilakukan.
Pembacaan teks al-Qur‟an dengan pendekatan semiotika akan senantiasa membuka
peluang untuk memunculkan aneka ragam makna dan penafsiran atas ayat-ayat al-Qur‟an.
Hal tersebut juga akan lebih memudahkan bagi umat Islam secara khusus, dalam
menerapkan ajaran-ajaran Qurani dan menjadikannya sebagai petunjuk atau hidayah dalam
menjalani kehidupan dunia ini.
Penafsiran dengan pendekatan seperti ini bukanlah satu-satu model yang ideal dalam
menyelami makna yang tepat sebagaimana yang diujarkan dalam teks al-
Qur‟an. Oleh karenanya, masih diperlukan berbagai macam pandangan dan
konstribusi akademis yang positif dalam mempertimbangkan model pembacaan seperti ini.

Daftar Pustaka
Abu> Zaid, Nashr H{a>mid, Teks Otoritas Kebenaran, terj. Sunarwoto, (Yogyakarta:
LKIs, 2003)
Arkoun, Muhammad, Kajian Kontemporer al-Qur’an, diterjem. Hidayatullah,
(Bandung: Pustaka, 1998)
Ashfaha>ni> (al-), Al-Ra>ghib, al-Mufrada>t fi> Ghari>b al-Qur’a>n, (Beirut: Da>r al-
Qalam, t.th.)
Basyi>r (al-), Sa‟diyah Mu>sa>, al-Si>miya>’: Ushu>luha> wa Mana>hijuha> wa
Mushthalah}a>tuha>, makalah dalam Muktamar Fakultas Bahasa yang
diadakan oleh Universitas Sudan Science and Technology, 2010
Benkra>d, Sa‟i>d, al-Si>miya>’iya>t Mafa>hi>muha> wa Tathbi>qa>tuha>, (Da>r al-
Baidha>‟: Mansyu>ra>t al-Zaman, 2003).
de Saussure, Ferdinand, Course in General Linguistics, (London: Duckworth, 1990) Dibah,
Thaib, Maba>di’ al-Lisa>niya>t al-Bunyawiyah, (Aljazair: Ja>mi‟ah al-
Aghwa>>th, 2001).
Djajasudarma, Semantik: Pengantar kea rah Ilmu Makna, (Bandung: PT. Rafika, 2001) Eco,
Umberto Umberto, Teori Semiotika, terj. Inyiak Ridwan Muzir, (Yogyakarta:
Kreasicana, 2009)
H{amda>wi>, Jami>l, al-Madkhal ila> al-Manhaj al-Si>mia>>’i>, terjemahan dari
tulisan Jan Cloud C., Majalah „A<lam al-Fikr Kuwait, vol. III Maret
1997.
Ibn al-Manzhu>r, Lisa>n al-‘Arab, (Beirut: Da>r Sha>dir, 1968)
Ibn Sa‟ad, al-Thabaqa>t al-Kabi>r, (Leiden: K.V. Zettersteen,1905)
Imron, Ali, Semiotika al-Qur’an: Metode dan Aplikasi terhadap Kisah Yusuf, (Yogyakarta:
Teras, 2011)
Ja>h}izh(Al-), al-Baya>n wa al-Tabyi>n, ditahqiq oleh Abd Salam M. Harun, (Kairo:
Maktabah al-Kha>naji>, 1998)
Jurja>ni> ( al-),„Abd al-Qa>hir, Asra>r al-Bala>ghah, (Kairo: Da>r al-Mana>r, 1372
H.)
Khu>li (al-), Ami>n, Mana>hij al-Tajdi>d fi> al-Nah}w wa al-Bala>ghah wa al-Tafsi>r
wa al-Ada>b, (Kairo: al-Hai‟ah al-Mis}riyyah al-„A<mmah li al-Kita>b,
1995)
Ma‟lu>f, Louis, al-Munjid fi> al-Lughah wa al-A’la>m, (Beirut: Da>r al-Syuru>q, 1987)
Magee, Bryan, The Story of Philosophy: Kisah Tentang Filsafat, terj. Marcus Widodo dan
Hardono Hadi (Yogjakarta: Kanisius, 2008)
Munitz, Milton K., Contemporery Analitic Philosophy (New York: Macmillan
Publishing Co. Inc., 1981)
Pradopo, Rachmat Djoko, Penelitian Sastra dengan Pendekatan Semiotik, dalam buku
Jabrohim (ed.), Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta: hanindita,
2002)
Ratna, Nyoman Kutha, Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004)
Sobur, Alex, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006)
Sudjiman (ed.), Panuti, Serba-serbi Semiotika, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
1996)
Suyu>thi> (Al-), al-Itqa> fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, (Beirut: Da>r al-Fikr, t.th.).

Anda mungkin juga menyukai