Anda di halaman 1dari 22

PANTUN DAN WAWACAN SANGHYANG JAGATRASA DALAM KAJIAN

SEMIOTIK

Untuk memenuhi mata kuliah semiotika

Oleh:
Deris Abdurochman P

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INGGRIS


FAKULTAS ADAB DAN HUMANIOARA
UIN SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG 2014

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur senantiasa dipanjatkan kehadirat Allah SWT. Shalawat dan salam semoga
selamanya tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya
serta umatnya yang selalu setia kepadanya. Dengan karunia dan hidayah-Nyalah pembuatan
makalah mengenai semantics terhadap salah satu karyasastra sunda(Wawacan) dapat
diselesaikan tepat pada waktunya.
Dalam pembuatan makalah ini penulis banyak menerima dukungan dari berbagai pihak,
maka dari itu penulis mengucapkan terima kasih. Makalah ini ditujukan untuk memenuhi
tugas mata kuliah Semiotics yang di bimbing oleh Dadan Rusmana M,Ag.
Makalah ini disusun berdasarkan pengetahuan yang penulis dapatkan dari berbagai buku
sumber, pembelajaran dikelas dan media elektronik. Selain itu makalah ini juga mempunyai
tujuan yaitu bisa bermanfaat dan menambah wawasan bagi pembaca.
Akhir kata, tiada gading yang tak retak, demikian pula dengan makalah ini, masih jauh
dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun tetap penulis nantikan
demi kesempurnaan makalah ini.

Bandung 23 November 2014


Derisap

ABSTRAK
Objek pembicaraan pada tulisan ini meliputi dua ranah studi, yaitu sastra
lisan Carita Pantun Sanghyang Jagatrasa dan sastra tulis
naskah Wawacan Sanghyang Jagatrasa. Masalah yang diangkat berkenaan
dengan:transformasi antara kelisanan CPSJ dan keberaksaraan WSJ, struktur formal puisi
naratif CPSJ dan struktur formal
sastra tulis WSJ, danmakna semiotik dibalik toponimi universal yang tertuang
pada CPSJ dan WSJ. Pendekatan yang digunakan untuk memecahkan masalah
itu, yaitu pendekatan sastra lisan dan pendekatan sastra tulis. Berdasarkan
hasil penerapan pendekatan sastra lisan ditemukan CPSJ memiliki 8 formula,
13 fungsi, dan 7 lingkungan tindakan, sedangkan berdasarkan penerapan sastra
tulis terhadap WSJ diketahui bahwa WSJ memiliki 6 model aktan dan 3 model
fungsional,transformasi antara kelisanan CPSJ ke keberaksaraan WSJ terdapat
pada konvensi kesastraan, teknik naratif, ungkapan formula

Pendahuluan
Pantun Sunda merupakan sebuah rangkaian karya sastra yang dimana dalam
pembahasan karya karyanya tidak dapat dilihat hanya dari satu kacamata saja maksudnya
Penelitian mengenai cerita pantun Sunda dewasa ini jauh lebih sedikit
jumlahnya dibandingkan dengan penelitian tentang teks sastra Sunda tertulis
seperti yang berupa naskah (manuscript: handschrift). Hal itu terjadi, di
antaranya, karena sastra lisan Sunda ini kini sudah mulai lenyap oleh
perkembangan zaman. Oleh karena itu, para penutur cerita pantun Sunda
(jurupantun) yang dahulu pernah populer melakukan pergelaran dalam acara-acara
tertentu serta menjadi idola di masyarakat, kini ruang lingkup aktivitas mereka
semakin sempit dan berkurang.(Tanpa pendokumentasian dan penelitian terhadap cerita
pantun Sunda
secara dini, mustahil isi teks sastra lisan Sunda ini dapat diketahui dan kemudian
dapat diwariskan kepada generasi sekarang ini dan generasi mendatang. Hal itu
seperti terbukti dari apa yang telah dilakukan oleh beberapa orang peminat sastra
Sunda dan peminat kebudayaan Sunda umumnya. Pada abad ke-19 dilakukan oleh
orang Barat dan pada abad ke-20 dilakukan oleh orang Sunda sendiri. Salah satu
teks sastra lisan Sunda yang masih ada sekarang adalah Carita Pantun Sanghyang
Jagatrasa. Di samping itu, yang sangat menarik ialah bahwa teks Sanghyang
Jagatrasa ini selain disajikan secara lisan, juga tersaji secara tertulis, yaitu dalam
bentuk wawacan. Oleh sebab itu, tepat kiranya apabila Teeuw(1988: 280-281)
mengemukakan bahwa sebenarnya masalah kelisanan dan keberaksaraan ini lebih
pelik lagi untuk situasi di Indonesia, sebab ternyata tidak hanya kedua bentuk
sastra, di sini masih hidup berdampingan, tetapi sering ada pula keterpaduan
antara yang satu dengan yang lain.
Sastra yang diturunkan dalam bentuk tulis
pada kenyataannya biasanya berfungsi sebagai sastra yang dibacakan dan
dibawakan bersama-sama. Jadi, sebagai performing art: dan sebaliknya sastra
lisan sering kemudian ditulis dan dijadikan sastra tulis atau kebiasaan sastra lisan
masih terasa dalam perkembangan sastra tulis sampai ke puisi modern dengan
pembacaan puisi dan sebagainya.(Dedi Koswara 2013: 05-06)

PERTANYAAN PENELITIAN
Pemabahasan Mengenai CPSJ ini. Dapat diterapkan beberapa Pertanyaan sebagai berikut
yang diharapakan dapat membantu menyelesaikan masalah ini yaitu:
(1) Apakah transformasi itu, secara semiotik, memiliki makna bagi masyarakat
pada zamannya?
(2) Bagaimanakah struktur formal dan struktur naratif sastra lisan CPSJ dan sastra
tulis WSJ?
(3) Apa makna tanda-tanda secara semiotik yang dikemas pada toponimi universal
di dalam teks CPSJ dan WSJ?

PEMBAHASAN
1.1 Pengertian Semiotik
Kata semiotika, secara etimologis, berasal dari kata dalam bahasa Yunani
semeion. Kemudian semiotika diartikan ilmu tanda. Pengertian itu dikembangkan
lebih lanjutmenjadi sebuah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda
dan segala suatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda, sistem
tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda (lihat Van Zoest, 1993: 1;
Sudjiman, 1990: 75; Sudjiman dan Aart Van Zoest, 1992: vii; dan Hartoko, 1986:
131). Tokoh yang dianggap sebagai bapak semiotika modern, pertama adalah
Charles Sanders Peirce, seorang filsuf dan ahli logika Amerika (1834-1914).
Pandangan yang terpenting dari Peirce bahwa logika harus mempelajari
bagaimana orang bernalar. Penalaran itu menurut hipotesis Peirce yang mendasar,dilakukan
melalui tanda-tanda. Tanda-tanda memungkinkan kita berpikir,
berhubungan dengan orang lain, dan memberi kamna pada apa yang ditampilkan
oleh alam semesta (lihat van Zoest, 1991: 1-2; Sudjiman dan Aart van Zoest,
1992: 1). Menurut Peirce yang dikutip Nurgiyantoro (1995: 41) sesuatu itu dapat
disebut sebagai tanda jika ia memiliki sesuatu yang lain. Sebuah tanda, yang
disebutnya sebagai repsentamen haruslah mengacau (mewakili) sesuatu yang
disebutnya sebagai objek (acuan, ia juga menyebutnya sebagai designatum,
denotatum, dan kini orang menyebutnya dengan istilah referent). Lebih lanjut,
Peirce menjelaskan bahwa proses semiotika dapat terjadi secara terus-menerus
sehingga sebuah interpretant menghasilkan tanda baru yang mewakili objek
yang baru pula dan akan menghasilkan interpretant yang lain lagi. Hal demikian
itu sangat relevan dengan diagram tanda yang disajikan oleh Roland Barthes
dalam Terence Hawkes (1978: 132).
Selanjutnya, Peirce menjelaskan bahwa tanda adalah segala sesuatu yang
ada pada seorang untuk menyatakan sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau
kapasitas. Tanda dapat berarti sesuatu bagi seseorang jika hubungan yang
berarti ini diperanraa oleh interpretant (Sudjiman & Aart van Zoest, 1992:
43). Bapak semiotika modern kedua adalah ferdinan de Saussure (1857-1913),
seorang ahli linguistik umu dari Swiss. Pandangan yang terpenting menurut
Saussure bahwa bahasa harus dipelajari sebagai suatu sistem tanda sekalipun
bahsa bukanlah satu-satunya tanda (lihat Aart Van Zoest, 1993: 2). Selanjutnya ia
menjelaskan bahwa bahasa adalah suatu sistem tanda yang menggungkapkan ideide
dan dapat dibandingkan dengan tulisan, abjad, tuna rungu, ritus simbolik,
bentuk sopan santun, isyarat militer, dan seterusnya.
Adapun yang menjadi dasar pemikiran Saussure adalah dikotomi antara
langue dan parole, dikatomi antara signifiant dan signifie serta dikotomi antara
sintagma dan paradigma, (lihat Sudjiman dan Aart van Zoest, 1992: 55-56).
Dalam hubungan ini ada pendapat lain yang mengemukakan bahwa Saussure
memiliki empat konsep dasar pemikiran, yaitu penampang sinkronik dan diakronik, relasi
sintagmatik dan paradigmatik, konsep penanda dan
pertanda, dan pengertian antara bahasa (lingua) dan turunan (parole) (Santosa, 1993: 17).

Teori Pierce

Semiotika moderen mempunyai dua orang pelopor, yaitu Charles Sanders Peirce (18391914) dan Ferdinand de Saussure. Pierce mengusulkan kata semiotika untuk bidang
penelaahan ini, sedangkan Saussure memakai kata semiologi. Sebenarnya kata semiotika
tersebut telah digunakan oleh para ahli filsafat Jerman bernama Lambert pada abad XVIII.

Menurut Pierce, makna tanda yang sebenarnya adalah mengemukakan sesuatu. Ia


menyebutnya sebagai representamen. Apa yang dikemukakan oleh tanda, apa yang diacunya,
apa yang ditunjuknya, disebut oleh Pierce dalam bahasa Inggris object. Dalam bahasa
Indonesia disebut acuan. Suatu tanda mengacu pada suatu acuan dan representasi seperti
itu adalah fungsinya yang utama. Agar tanda dapat berfungsi harus menggunakan sesuatu
yang disebut ground. Sering ground suatu tanda berupa kode, tetapi tidak selalu begitu. Kode
adalah suatu sistem peraturan yang bersifat transindividual. Banyak tanda yang bertitik tolak
dari ground yang bersifat sangat individual.

Di samping itu tanda diinterprestasikan. Hal ini menunjukkan setelah dihubungkan dengan
acuan, dari tanda yang orisinal berkembang suatu tanda baru yang disebut interpretant.
Pengertian interpretant di sini jangan dikacaukan dengan pengertian interpretateur, yang
menunjukkan penerima tanda. Jadi, tanda selalu terdapat dalam hubungan trio: dengan
ground-nya, dengan acuannya, dan dengan interpretant-nya. (lihat Sudjiman, 1991)

Aart van Zoest (1978) dengan mengutip pendapat Pierce yang membagi keberadaan
menjadi tiga kategori : Firstness, Secondness dan Thirdness, membagi tanda berdasarkan
ground dari tanda-tanda tersebut sebagai berikut : (1) Qualisign, (2) Sinsign, dan (3)
Legisigns. Awalan kata Quali- berasal dari kata quality, Sin- dari singular, dan Legi- dari
lex (wet/hukum).

Qualisign adalah tanda yang menjadi tanda berdasarkan sifatnya. Misalnya sifat warna
merah adalah qualisign, karena dapat dipakai tanda untuk menunjuk-kan cinta, bahaya, atau
larangan.

Sinsign (singular sign) adalah tanda-tanda yang menjadi tanda berdasarkan bentuk atau
rupanya di dalam kenyataan. Semua ucapan yang bersifat individual bisa merupakan sinsign.
Misalnya suatu jeritan, dapat berarti heran, senang, atau kesakitan. Seseorang dapat dikenali
dari caranya berjalan, caranya tertawa, nada suara dan caranya berdehem. Kesemuanya itu
adalah sinsign. Suatu metafora walaupun hanya sekali dipakai dapat menjadi sinsign. Setiap
sinsign mengandung sifat sehingga juga mengandung qualisign. Sinsign dapat berupa tanda
tanpa berdasarkan kode.

Legisign adalah tanda yang menjadi tanda berdasarkan suatu peraturan yang berlaku
umum, suatu konvensi, suatu kode. Semua tanda-tanda bahasa adalah legisign, sebab bahasa
adalah kode, setiap legisign mengandung di dalamnya suatu sinsign, suatu second yang
menghubungkan dengan third, yakni suatu peraturan yang berlaku umum, maka legisign
sendiri adalah suatu thirdness.
Berdasarkan hubungan antara tanda dan acuannya (denotasi), Pierce
membedakannya menjadi 3 (tiga) jenis tanda, yaitu : (1) ikon, (2) indeks, dan (3) simbol. Hal
ini dinyatakan sebagai berikut : Pada prinsipnya ada tiga hubungan yang mungkin ada. (1)
Hubungan antara tanda dan acuannya dapat berupa hubungan kemiripan, tanda itu disebut
ikon. (2) Hubungan ini dapat timbul karena ada kedekatan eksistensi; tanda itu disebut
indeks. (3) Akhirnya hubungan ini dapat pula berbentuk secara konvensional; tanda itu
adalah simbol.

Tanda ikon merupakan tanda yang menyerupai benda yang diwakilinya, atau suatu tanda
yang menggunakan kesamaan atau ciri-ciri yang sama dengan apa yang dimaksudkannya.
Misalnya kesamaan sebuah peta dengan wilayah geografis yang digambarkannya, foto dan
lain-lain. Benda-benda tersebut mendapatkan sifat tanda dengan adanya relasi persamaan di
antara tanda dan denotasinya, maka ikon seperti qualisign merupakan suatu firstness.

Indeks adalah tanda yang sifat tandanya tergantung dari keberadaannya suatu denotasi,
sehingga dalam terminologi Pierce merupakan suatu Secondness. Indeks dengan demikian
adalah suatu tanda yang mempunyai kaitan atau kedekatan dengan apa yang diwakilinya.
Misalnya tanda asap dengan api, tiang penunjuk jalan, tanda penunjuk angin dan sebagainya.

Simbol adalah suatu tanda, di mana hubungan tanda dan denotasinya ditentukan oleh suatu
peraturan yang berlaku umum atau ditentukan oleh suatu kesepakatan bersama (konvensi).
Misalnya tanda-tanda kebahasaan adalah simbol.

Ditinjau dari hubungan tanda dengan interpretannya, tanda dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu :
(1) Rheme bilamana lambang tersebut interpretannya adalah sebuah first dan makna tanda
tersebut masih dapat dikembangkan, (2) Decisign (dicentsign) bilamana antara lambang itu
dan intepretannya terdapat hubungan yang benar ada (merupakan secondness), (3) Argument
bilamana suatu tanda dan interpretannya mempunyai sifat yang berlaku umum (merupakan
thirdness).

Menurut pendapat Aart van Zoest, adanya tanda ditentukan oleh 3 (tiga) elemen, yaitu : (1)
tanda yang dapat dilihat atau tanda itu sendiri, (2) sesuatu yang ditunjukkan atau diwakili
oleh tanda, (3) tanda lain dalam pikiran penerima tanda. Di antara tanda dan yang
diwakilinya ada sesuatu hubungan yang menunjukkan representatif yang akan mengarahkan
pikiran kepada suatu interpretasi.

Hal ini menunjukkan representasi dan interpretasi merupakan karakteristik tanda.


Tanda mempunyai arti langsung dari suatu tanda yang telah diketahui bersama atau yang
menjadi pengertian bersama yang disebut denotasi. Sedangkan pengertian tak langsung atau
arti ke 2 dari denotasi tadi disebut konotasi. Tanda yang diberi arti sepihak oleh penerima
disebut symptom, dengan demikian artinya konotatif. Pengertian symptom sendiri adalah jika
suatu tanda tidak dimaksudkan tanda oleh pengirim tanda.

Selanjutnya menurut Aart van Zoest, studi semiotika dibagi menjadi 3 (tiga) daerah kerja,
yaitu : (1) Semiotik Sintaksis, studi tanda yang dipusatkan pada penggolongannya, dan
hubungan dengan tanda-tanda yang lain caranya berkerja sama dalam menjalankan
fungsinya. Namun semiotik sintaksis tidak hanya dibatasi mempelajari hubungan antara
tanda di dalam sistem tanda yang sama, melainkan juga mempelajari tanda dalam sistem lain
yang menunjukkan kerjasama. Misalnya dalam film, antara gambar dan kata-kata, pada
dasarnya berasal dari sistem tanda yang berbeda, tetapi bekerja sama. (2) Semiotik semantik,
penyelidikannya diarahkan untuk mempelajari hubungan di antara tanda dan acuannya
(denotasi), serta interprestasi yang dihasilkan. (3) Semiotik Pragmatik, penyelidikannya
diarahkan untuk mempelajari hubungan di antara tanda dan pemakai tanda Dengan adanya
tiga tataran tersebut, maka akan semakin lengkap usaha untuk mempelajari gramatika
sistem semiotika tertentu. Perbedaan yang paling penting dalam taraf pragmatik adalah di
antara symptom-symptom dan signal-signal.
yang dimaksud dengan symptom adalah bila suatu tanda tidak dimaksudkan oleh pengirim
tanda sebagai tanda. Sedangkan signal adalah suatu tanda yang memang dimaksudkan oleh
pengirim tanda sebagai tanda. Dalam signal ada aspek repretentatifnya, ada denotasi tertentu,
berbeda dengan symptom yang tidak memiliki denotasi tertentu yang sengaja diberikan. Pada
situasi komunikasi, perhatian pertama ditujukan kepada signal, namun dalam situasi
demikian bisa juga muncul symptom-symptom yang tidak disengaja. Menurut Aart van

Zoest, justru terkadang symptom memiliki kekuatan kebenaran yang lebih jika dibanding
dengan signal, karena signal dapat berbohong, sedangkan symptom tidak.

Sehubungan dengan uraian di atas, semiotika sebagai pendekatan meninjau karya adalah
dengan melakukan otokritik terhadap karya-karya yang dibuat. Unsur kritik dalam meninjau
karya adalah perian atau deskripsi, yaitu menyebutkan, mencatat dan melaporkan hal yang
tersaji secara langsung yang tampak melalui penglihatan mengenai wujud. Unsur kedua
adalah orakan atau analisis, yaitu menyatakan bagaimana suatu hal yang disebutkan dalam
perian tergambar atau tersusun, dengan menyatakan sifat, kualitas dan elemen-elemen seni
rupa (garis, warna, bidang, tekstur) bertalian dengan yang telah diuraikan. Unsur ke tiga
adalah tafsir atau interprestasi, yaitu menyatakan atau mengutarakan makna dari hasil seni.
Unsur yang ke empat atau terakhir adalah menyatakan nilai atau mutu hasil seni. (lihat
Feldman, 1967 dan Garret, 1978)

Pendekatan semiotika merupakan salah satu cara untuk mengetahui dan mengontrol karyakarya yang dibuat karena Karya seni merupakan suatu tanda yang diciptakan seniman yang
dapat dibaca oleh penonton atau penerima tanda.

Komposisi merupakan salah satu aspek pokok pertama yang dilihat penonton dalam karya
seni, sebab dapat mengkomunikasikan visi seniman dalam arti karya seninya kepada
pengamat. Sebagai sebuah tanda, komposisi yang merupakan penyusunan atau
pengorganisasian dari unsur-unsur seperti tekstur, garis, bidang dan sosok gumpal, yang
disusun dalam satu kesatuan, akan memberikan kesan yang berbeda-beda, misalnya stabil
atau dinamis. Garis merupakan tanda, secara qualisign (istilah dalam ilmu semiotik) garis
yang mendatar memperlihatkan ketenangan, kedamaian, bahkan kematian. Garis
vertikalsecara qualisign menggambarkan kekokohan, kestabilan, kemegahan dan
kekuatan. Garis diagonal menandakan tidak dalam keadaan seimbang, sehingga
menunjukkan
gerakan,
hidup
dan
dinamis. Garis
yang
bengkok
atau
melengkung mengesankan sesuatu yang indah, lemas, lincah dan meliuk. Garis yang dibuat
zig-zag secara qualisign menyiratkan semangat dan gairah. Garis horisontal juga
menunjukkan tanda ikonis, karena mengingatkan benda-benda yang di alam seperti
cakrawala, pohon yang tumbang dan lain-lain. Garis vertikal secara ikonis dapat
diasosiasikan pokok pohon, dinding gedung dan batu karang. Garis diagonal sebagai tanda
ikonis bertautan dalam ingatan pada pucuk-pucuk pohon yang di tiup angin, orang berlari dan
kuda yang sedang melonjak. Sedangkan garis bengkok atau melengung, berkaitan dengan
gerak ombak yang mengalun menuju pantai.

Seperti yang telah disebut di muka, warna merupakan qualisign, sifat merah dapat dipakai
sebagai tanda bahaya dan larangan. Selain itu, sifat merah yang panas dapat dipakai untuk
menunjukkan gairah, semangat dan cinta. Biru secara qualisign memperlihatkan kedalaman
dan ketenangan. Kuning menerang-kan kehangatan dan keramahan. Putih mengesankan
sesuatu yang terang, ringan dan netal. Hitam secara qualisign menandakan suatu kedalaman,
kekokohan dan keabadian.

Sebagai tanda ikon, warna biru mengingatkan pada langit, warna putih bertautan dengan
awan, warna kuning mengingatkan pada bulan, warna mera pada matahari dan bunga mawar,
warna hitam pada batu.

Tekstur atau barik adalah nilai raba suatu permukaan, secara qualisign tekstur
memperlihatkan sifat keras, halus, lunak, kasar atau licin. Sebagai tanda ikon, barik keras
mengingatkan pada tekstur batu, barik halus dapat diasosiasikan pada kapas, barik lunak
bertautan ingatan pada helai bunga dan daun muda, barik kasar berkaitan dengan ingatan
pada kulit kayu dan pasir, barik licin mengingatkan pada lumut.

Berdasarkan uraian di atas, karya-karya yang dibuat dengan kertas ini merupakan tanda yang
dapat dibaca sebagai berikut : Kertas yang selama ini dikenal sebagai bahan atau alas untuk
mengekspresikan seni di atas permukaannya (karya seni grafis cetak dan gambar), fungsinya
ingin diubah. Kertas tersebut bukan untuk menumpahkan ekspresi di atas permukaannya
melalui pena, kuas, pinsil dan lain-lain, tetapi kertas itu sendiri ingin dihadirkan secara utuh
denga hasil akhir dalam dirinya sebagai media yang telah mengandung nilai-nilai seni (paper
art). (lihat Bahari, 1993 ; 1995).

Secara visual, bentuk-bentuk atau sosok gumpal yang dihadirkan dalam karya
adalah bentuk-bentuk yang bertekstur, bergelombang dan timbul seperti relief. Hal ini
melawan realitas atau pengalaman sehari-hari di mana kertas dalam bentuk lembaranlembaran adalah daftar sehingga dapat dipergunakan sebagai alas menulis, menggambar dan
mencetak. Dalam ilmu semiotik hal ini dapat dikategorikan sinsign (singular sign).

Unsur garis pada karya kertas merupakan qualisign, garis vertikal dan horisontal yang
bersilang dalam karya menandakan kekokohan , kestabilan, kekuatan dan ketenangan. Hal ini
dimaksudkan sebagai unsur kontras untuk mengimbangi sifat kacau dari tekstur, sehingga
akan saling menonjolkan. persilangan garis tidak ditempatkan tepat di tengah-tengah bidang
karya (porosnya), untuk menghindari kesan formil atau resmi dapat menghadirkan masalah
seperti memberikan perbandingan (proporsi) bidang-bidang sisi atas dan bawahnya, di sisi
kiri dan kanannya. pembagian tersebut, menimbulkan gaya berat yang berbeda,
mengakibatkan (munculnya) kesan dinamis pada karya (dan sekaligus harmonis).
Selain itu, kesan dinamis diperkuat dengan adanya garis diagonal pada daerah pemusatan
titik persimpangan hasil dari penempatan bidang kertas yang lain di atas permukaan kertas
pertama, masalah memperkuat tersebut dapat digategorikan sebagai redundance. Unsur
warna kertas merupakan qualisign, warna-warna yang digunakan diperoleh secara alami
untuk membuat kertas, yaitu warna putih memperlihatkan sesuatu yang terang, ringan dan
netral, warna kuning gading menunjukkan kelembutan dan kehangatan, nada warna kuning
kecoklat-coklatan menandakan kerapuhan, kuno dan usang. Unsur tekstur secara qualisign
memperlihatkan ketidak beraturan, kasar, (tetapi juga lunak dan lembut).

Elemen-elemen pada karya, seperti serat- serat yang panjang dan pinggiran kertas
merupakan unsur garis, garis dapat menjadi aktif seakan-akan merupakan kekuatan yang
bergerak dan garis dapat pula tak aktif seperti pada batas semu antara dua sosok gumpal atau
ruang, antara warna dengan warna.

Garis vertikal dan horisontal pada pinggiran kertas yang dibuat lurus dimaksudkan untuk
menghadirkan unsur yang teratur supaya mengimbangi sifat kacau dari tekstur sebagai unsur
kontras, sehingga akan saling menonjolkan. Selain itu, kehadiran garis tersebut akan
mengintegrasikan bagian yang belum beraturan dalam bidang karya.

Warna-warna yang dipergunakan adalah warna-warna yang cenderung diperoleh secara


alami dari warna-warna bahan mentah pokok untuk membuat kertas, yakni warna putih,
krem, nada warna kuning kecoklat-coklatan dan lain-lain, secara qualisign memberikan kesan
netral dan lembut, supaya mengimbangi sifat kacau dari tekstur sebagai unsur kontras,
sehingga akan saling menonjolkan.

Teori dari Roland Barthes


Roland Barthes dalam teorinya tersebut mengembangkan semiotika menjadi dua
tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan
yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna
eksplisit, langsung dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan
hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit,
tidak langsung, dan tidak pasti. (Yusita Kusumarini, 2006)

Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks
pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang
tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang
berbeda pada orang yang berbeda situasinya.

Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks
dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks
dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini
dikenal dengan order of signification, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai
kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal).
Disinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan
istilah signifier-signified yang diusung Saussure.

Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu mitos yang menandai suatu
masyarakat. Mitos menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah
terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang
kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang
memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna
denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos. Misalnya: Pohon beringin yang
rindang dan lebat menimbulkan konotasi keramat karena dianggap sebagai hunian para
makhluk halus. Konotasi keramat ini kemudian
berkembang menjadi asumsi umum yang melekat pada simbol pohon beringin, sehingga
pohon beringin yang keramat bukan lagi menjadi sebuah konotasi tapi berubah menjadi
denotasi pada pemaknaan tingkat kedua. Pada tahap ini, pohon beringin yang keramat
akhirnya dianggap sebagai sebuah Mitos.
Semiotika Barthes tersusun atas tingkatan-tingkatan sistem bahasa. Umumnya Barthes
membuatnya dalam dua tingkatan bahasa. Bahasa tingkat pertama adalah bahasa sebagai
obyek dan bahasa tingkat kedua yang disebut dengan meta bahasa. Bahasa ini merupakan
suatu sistem pembacaan semiotik tanda yang memuat signifier (penanda) dan signified
(petanda). Sistem tanda kedua terbangun dan menjadi penanda dan penanda tingkat pertama
berubah menjadi petanda baru yang kemudian memiliki penanda baru sendiri dalam suatu
sistem tanda baru dalam taraf yang lebih tinggi.
Sistem tanda pertama kadang disebut sebagai denotasi atau sistem termilogi, sedangkan
sistem tanda kedua disebut sebagai konotasi atau sistem retoris atau mitologi. Biasanya
beberapa tanda denotasi dapat dikelompokkan bersama untuk membentuk suatu konotasi
tunggal; sedangkan petanda konotasi berciri sekaligus umum, global, dan tersebar. Petanda
ini dapat pula disebut fragmen ideologi. Petanda ini memiliki komunikasi yang sangat dekat
dengan budaya, pengetahuan, dan sejarah. Dan dapat dikatakan bahwa ideologi adalah
bentuk petanda konotasi dan retorika adalah bentuk konotasi (Barthes, 1967;91-92).

Konotasi dan metabahasa adalah cerminan yang berlawanan satu sama lainnya.
Metabahasa adalah operasi-operasi yang membentuk mayoritas bahasa-bahasa ilmiah sebagai
petanda, diluar kesatuan petanda-petanda yang asli, dapat dikatakan berada diluar sebuah
alam deskriptif. Sedangkan konotasi meliputi bahasa-bahasa yang utama bersifat sosial dalam

hal untuk memberikan pesan-pesan literal dan memberikan dukungan bagi makna. Penyatuan
konotasi dan metabahasa akan memberikan peluang untuk menghadirkan sebuah sistem atau
petanda ketiga yang secara alami dilengkapi oleh sebuah kode ekstra-linguistik yang
substansinya adalah obyek atau imaji. Kode sebagai sistem makna yang ketiga (makna luar)
yang lengkap sebagai acuan dari setiap tanda (Barthes, 1974; 18-20) yang terdiri dari lima
jenis kode.

LIMA JENIS KODE BARTHES SEBAGAI ACUAN SETIAP TANDA:

1. Hermeneutik
Dibawah kode hermeneutik, orang akan mendaftar beragam istilah (formal) yang
berupa sebuah teka-teki (enigma) dapat dibedakan, diduga, diformulasikan, dipertahankan,
dan akhirnya disingkapi. Kode ini disebut pula sebagai suara kebenaran (The Voice of Truth).
2. Proairetik
Merupakan tindakan naratif dasar (basic narrative action) yang tindakan tindakannya
dapat terjadi dalam berbagai sikuen yang mungkin diindikasikan. Kode ini disebut pula
sebagai suara empirik.
3. Budaya
Sebagai referensi kepada sebuah ilmu atau lembaga ilmu pengetahuan. Biasanya
orang mengindikasikan kepada tipe pengetahuan (fisika, fisiologi, psikologi, sejarah
termasuk arsitektur). Dan mencoba untuk mengkonstruksikan sebuah budaya yang
berlangsung pada satu kurun waktu tertentu yang berusaha untuk diekspresikan. Kode ini
disebut pula sebagai suara ilmu.
4. Semik
Merupakan sebuah kode relasi-penghubung (medium-relatic code) yang merupakan
konotasi dari orang, tempat, obyek yang petandanya adalah sebuah karakter (sifat, atribut,
predikat).
5. Simbolik
Tema merupakan sesuatu yang bersifat tidak stabil dan tema ini dapat ditentukan dan
beragam bentuknya sesuai dengan pendekatan sudut pandang (prespektif) pendekatan yang
dipergunakan.
1.2 Semiotik dalam Sangiang Jagatrasa
Secara semiotik, hadirnya kosmlogi Sunda lama juga
terungkap dari simbol-simbol penamaan tokoh binatang (golongan unggas, ular,
singa) dan penyebutan setting tempat seperti gunung, laut, dan pertapaan serta
simbol-simbol yang terpantul dari benda-benda sesajen yang dipakai dalam
perangkat upacara pada awal pergelaran mantun. Berkenaan dengan pemaknaan
semiotik CPSJ (Carita Pantun Sanghyang Jagatrasa) dapat dilihat pada uraian di bawah ini.
Ada tiga buah unsur semiotik yang tertuang di dalam teks CPSJ, yaitu
tanda ikon, indeks, dan simbol. Tanda ikon di dalam CPSJ terdiri atas ikon
topologis, diagramatis, dan metaporis. Ketiga tanda ikon tersebut terbersit di
dalam wacana rajah bubuka CPSJ
Tanda indeks di dalam CPSJ meliputi indeks penamaan tokoh, indeks
perbuatan tokoh, dan indeks latar cerita. Indeks penamaan tokoh hadir pada nama
ketiga orang tokoh, yaitu Jagatlaga, Jagatnata, dan Jagatrasa. Sosok ketiga nama
tersebut dapat dimaknai secara heuristik pada tataran bahasa dan secara
hermeneutik pada tataran myth. Secara etimologis, kata jagat (Skr.) berarti dunia,
bumi, dan kata laga artinya berperang; bertempur (Mardiwarsito, 1983: 305).
Selanjutnya, nama tokoh Jagatnata dapat dimaknakan, jagat (Skr.) berarti
bumi, dunia, rakyat, dan nata dari kata natha (Skr.) artinya penolong, pelindung.
Oleh karena itu, tokoh Jagatnata di dalam CPSJ dapat diinterpretasi sebagai tokoh
yang dapat memberikan perlindungan kepada manusia di bumi ini. Demikian juga
nama Jagatrasa dapat diidentifikasi berasal dari kata jagat dan rasa. Ebagaimana
telah disebutkan tadi, kata jagat berarti bumi, dunia, sedangkan kata rasa yang

dalam basa Sanskerta beranalog dengan kata raksa, artinya penjagaan,


perlindungan. Selain itu, kata rasa juga bisa beranalog dengan kata raksaka (Skr.)
yang berarti (sebagai) penjaga atau pelindung (Mardiwarsito, 1981: 460).
Bersandar pada karakteristik ketiga orang tokoh di dalam CPSJ dapat
diinterpretasi sebagai hadirnya konsep dualisme---pertentangan antara kejahatan
dan kebaikan atau pertentangan antara hak dan batil yang sekaligus menjiwai isi
cerita pantun ini. Kejahatan atau kebatilan pada akhirnya dapat dikalahkan oleh
kebaikan atau yang hak. Oleh karena itu, bagi seseorang yang ingin mencapai
tingkat kesempurnaan diri harus mampu mengatasi segala cobaan dengan sabar,
tawekal, dan ulet serta meyakini akan keagungan dan kekuasaan yang di atas,
Alloh swt.Indeks perbuatan tokoh di dalam teks CPSJ dan WSJ, di antaranya
ditemukan pada peristiwa mimpinya Raja Gandaermaya sehingga memanggil
ketiga orang putranya untuk mewujudkan impian tersebut. Kasus mimpi
merupakan bagian dari alam spiritual, ketidaksadaran manusia. Mimpi dalam
budaya mitis-spiritual Indonesia adalah tanda. Mimpi itu adalah bagian dari
realitas Dunia Atas. Ketiga dunia, yaitu Dunia Atas, Dunia Tengah< dan Dunia
Bawah merupakan satu kesatuan. Maka mimpi yang berasal dari Dunia Atas juga
merupakan realitas Dunia Tengah Manusia (Sumarjo, 2004: 12).
Didalam CPSJ ditemukan juga tanda simbol. Tanda simbol ini, di antaranya,hadir pada
isi rajah bubuka CPSJ. Rajah itu dapat menuntun pada pemaknaan
kosmologi masyarakat Sunda zaman pantun. Dalam rajah disebutkan berbagai
nama dewa, raja, Allah, Nabi Muhammad, sahabat nabi, para malaikat, para wali
dan lain-lain, dan juga disebutkan arah tempat mata angin dengan satu pusatnya di
tengah. Dengan demikian rajah ditujukan kepada segala jenis penguasa ruang dan
waktu. Rajah menghasilkan makrokosmos, rajah menghadirkan yang kudus
kepada manusia, menghadirkan sesuatu yang keramat di alam manusia, yang akan
menyebarkan berkat kepada seluruh ruang yang sakral akan membersihkan
wilayah profane. Dengan kata lain jurupantun dengan rajahnya mencipatkan
mendala, mendatangkan yang esensi dalam ruang pertunjukan. Juru pantun adalah
seorang mediator yang menghubungkan dunia atas dengan dunia manusia.
Jurupantun adalah dunia tengah yang menghubungkan dunia manusia dengan
dunia atas (Sumarjo, 2003: 87).
1.2 Teori Roland Barthes dan Pierce dalam Wawacan Saingang Jagatrasa
Penerapan teori dari barthes dalam wawacan CPSJ ini perlu dikaji secara
filologi lisan dan tulisan agar beroleh teks yang bersih dan lengkap sehingga dapat
dimanfaatkan untuk pengkajian disiplin ilmu sastra, linguistik, dan sosologi.
Selanjutnya, teks CPSJ juga perlu ditelaah dari segi kelisanan dan keberaksaraan
serta transformasinya agar hasilnya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan teori
keslisanan dan keberaksaraan dalam khazanah sastra Nusantara.
Adapun pendekatan sastra yang digunakan di dalam penelitian ini adalah
pendekatan objektif dengan metode struktural. Metode ini dimaksudkan untuk
memahami struktur formal sastra lisan CPSJ melalui analisis unsur formula dan
tema sebagaimana dikemukakan Lord (1976). Lalu Tokoh yang dianggap sebagai bapak
semiotika modern kedua adalah Charles Sanders Peirce, seorang filsuf dan ahli logika
Amerika (1834-1914).dilakukan melalui tanda-tanda. Tanda-tanda memungkinkan kita
berpikir, berhubungan dengan orang lain, dan memberi kamna pada apa yang ditampilkan
oleh alam semesta (lihat van Zoest, 1991: 1-2; Sudjiman dan Aart van Zoest,
1992: 1). Menurut Peirce yang dikutip Nurgiyantoro (1995: 41) sesuatu itu dapat
disebut sebagai tanda jika ia memiliki sesuatu yang lain. Sebuah tanda, yang disebutnya
sebagai repsentamen haruslah mengacau (mewakili) sesuatu yang
disebutnya sebagai objek (acuan, ia juga menyebutnya sebagai designatum,

denotatum, dan kini orang menyebutnya dengan istilah referent). Lebih lanjut,
Peirce menjelaskan bahwa proses semiotika dapat terjadi secara terus-menerus
sehingga sebuah interpretant menghasilkan tanda baru yang mewakili objek
yang baru pula dan akan menghasilkan interpretant yang lain lagi. Hal demikian
itu sangat relevan dengan diagram tanda yang disajikan oleh Roland Barthes
dalam Terence Hawkes (1978: 132).
Pandangan yang terpenting dari Peirce bahwa logika harus mempelajari
bagaimana orang bernalar. Penalaran itu menurut hipotesis Peirce yang mendasar
2.1 Toponimi dalam Karya Sastra Sebagai Tanda
Kerangka berpikir yang dijadikan dasar pijakan analisis semiotik terhadap
toponimi universal dalam Carita Pantun Sanghyang Jagatrasa (CPSJ) dan
Wawacan Sanghyang Jagatrasa (WSJ) ini adalah suatu pendapat yang
mengatakan bahwa karya sastra itu merupakan struktur tanda-tanda yang
bermakna. Tanpa memperhatikan sistem tanda, tanda dan maknanya, dan
konvensi tanda, struktur karya sastra tidak dapat dimengerti maknanya secara
optimal (Junus dikutip Djoko Pradopo, 1995: 118). Dalam hubungan ini
Preminger yang dikutip Djoko Pradopo (1995: 12) menjelaskan bahwa sastra
sebagai mediumnya. Bahasa berkedudukan sebagai bahan dalam hubungannya
dengan sastra, sudah mempunyai sistem dan konvensi sendiri, maka disebut
sistem semiotik tingkat pertama. Sastra yang mempunyai sistem semiotik tingkat
kedua (second order semiotics).
Sastra memiliki konvensi sendiri disamping konvensi bahasa yang oleh Preminger konvensi
karya sastra tersebut disebut konvensi tambahan, yaitu konvensi yang ditambahkan kepada
konvensi bahasa. Berkaitan dengan pernyataan para teoritis semiotik di atas , Aart Van
Zoest (1993: 61) juga berpendapat bahwa teks sastra secara keseluruhan
merupakan tanda dengan semua cirinya, bagi pembaca, teks sastra ini menggantikan sesuatu
yang lain, kenyataan yang dipanggil, yang fiksional. Teks adalah suatu tanda yang dibangun
dari tanda-tanda lain. Selanjutnya Aart Van Zoest mengemukakan bahwa semua teks sastra,
secara keseluruhan merupakan tanda-tanda indeksial karena teks itu mempunyai hubungan
perbatasan dengan apa-apa yang dipresentasikan, yakni dunia yang diciptakannya. Dunia itu
menyangkut tiga dimensi (relasi) yakni (1) dunia nyata (kenyataan historis), (2)
dunia pengarang, dan (3) dunia pembaca.
Lebih lanjut dijelaskan van Zoest (1993: 79) bahwa indeksikal global
rangkap tiga dari teks sastra ini merupakan pambenaran penulisan, eksistensi,
pembaca, dan penelitian sastra yang paling penting. Fungsi indeksial tersebut
adalah (1) relasi indeksial dengan dunia pengarang memberi tanda ciri
komunikasi, (2) relasi indeksial dengan kebenaran historis memberi teks sastra
nilai, yakni sebagai alat untuk memperoleh pengetahuan tentang kenyataan dan
untuk mendalaminya, dan (3) relasi indeksial dengan pembaca bahwa sipembaca
beroleh wawasan kehidupan yang kaya dari teks yang dibacanya.
Dalam penelitian sastra dengan pendekatan semiotik, tanda yang berupa
indeksikal yang paling banyak dicari (diburu), yaitu berupa tanda-tanda yang
menunjukan hubungan sebab akibat (dalam pengertian luasnya), (Djoko Pradopo,
1995: 120). Karya sastra sebagai tanda perlu dikaji secara semiotik karena ilmu ini
menganggap bahwa fenomena sosial/masyarakat dan kebudayaan itu merupakan
tanda-tanda. Semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensikonvensi
yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Tanda-tanda
itu terdiri atas dua aspek, yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified).
Penanda adalah bentuk formalnya yang mendasari sesuatu yang disebut petanda,
sedangkan petanda adalah sesuatu yang ditandai oleh penanda itu, yaitu artinya.

Dalam tautannya dengan pengertian istilah penanda dan petanda ini,


Roland Barthes (lihat Hawkes, 1978: 132) mengemukakan diagram tandanya
sebagai berikut.

language

Signifier

Signified

Sign
Mythology

Signified

Signifier

Sign

Diagram tanda Barthes di atas menjelaskan bahwa setiap tanda tentu


memiliki dua tataran, yaitu tataran kebahasaan dan tataran mitis. Tataran
kebahasaan disebut sebagai penanda perimer yang penuh, yaitu tanda yang telah
penuh dikarenakan penandanya telah mantap acuan maknanya. Hal ini karena
berkat prestasi semiotik tataran kebahasaan, yaitu kata sebagai tanda tipe simbol
telah dikuasai secara kolektif oleh masyarakat pemakai bahasa.dalam hal ini kata
atau bahasatersebut sebagai penanda mengacu pada makna lugas petandanya.
Sebaliknya, pada penanda sekunder atau pada tataran mitis, tanda yang telah
penuh pada tataran kebahasaan itu dituangkan kedalam penanda kosong. Penanda
pada tataran mitis ini sesuatunya harus direbut kembali oleh penafsir karena
tataran mitis bukan lagi mengandung arti denotatif, melainkan telah bermakna
kias, majas, figuratif, khusus, subjektif, dan makna-makna serta yang lainnya.
Model diagram Barthes tersebut adalah model penandaan model primer
yang telah penuh makna acuannya, yaitu tanda sudah dapat dianggap penuh
karena penandanya telah mantap acuan maknanya.
Pada diagram diatas, arti denotatif-arti yang menunjukan pada arti atau leksialmancakup:
Penanda, Petanda, dan Tanda. Wilayah denotatif menjadi tataran kebahasaan
karena
bermakna lugas, objektif dan apa adanya, yaitu sebagai model primer bahasa.
Tanda dalam tataran kebahasaan itu berubah menjadi PENANDA pada tataran
mitis sehingga PETANDA harus diketemukan sendiri oleh penafsir agar penanda
itu dapat penuh acuan maknanya. Dengan diketemukannya PETANDA oleh
penafsir, maka menjadi penuhlah TANDA sebagai makna tataran mitis. Oleh
karena itu, tidaklah heran apabila Van Zoest (1990: 70) mengemukakan bahwa
kita dapat menemukan ideologi dalam tes dengan jalan meneliti konotasi-konotasi
yang terdapat didalamnya. Salah satu cara adalah mencari mitologi dalam teks.
Mitologi (kesatuan mitos-mitos yang koheren) menyajikan inkarnasi maknamakna
yang mempunyai wadah dalam ideologi. Ideologi harus dapat diceritakan.
Cerita itulah mitos,secara gamblang Van Zoest (1993: 53) menjelaskan lebih
lanjut bahwa setiap budaya mengenai ideologinya masing-masing. Setiap ideologi
terikat pada budaya. Barang siapa mempelajari suatu budaya, maka ia berurusan
dengan ideologi-ideologi, maka ia harus memperhatikan keterangan-keterangan

budaya. Mencari titik tolak ideologi dalam ungkapan budaya merupakan


pekerjaan penting. Ideologi mengarahkan budaya.ideologilah yang pada akhirnya
menentukan visi, atau pandangan, suatau kelompok budaya terhadap kenyataan.
Berdasarkan penerapan teori Lord (1976) diketahui bahwa teks
lisan CPSJ memiliki struktur formula yang terdiri atas 8 jenis formula, yaitu
(1) Formula satu baris, seperti terdapat pada kata neda agung nya paralun minta
maaf
(2) Formula setengah baris seperti terdapat pada kata bul kukus mendung ka
manggung mengawan dupa ke manggung.
(3) Formula pengulangan preposisi ka ke, seperti terdapat pada ungkapan:
Ka manggung neda papayung ke manggung minta pelindung
Ka Dewata neda maap kepada Dewata minta maaf
Ka pohaci neda suci kepada Pohaci minta suci
(4) Formula awal cerita berupa rajah dalam cerita pantun
(5) Formula kalimat awal berkisah dengan memakai ungkapan:
a. aya nu geus kawiliskeun ada yang sudah terkenal
b. kaanginkeun ka Priangan terberitahukan ke Priangan
c. kocap di Nagara Selan tersebutlah di Negara Selan
(6) Formula di tengah cerita untuk menandai pergantian episode cerita
dinyatakan dalam ungkapan seperti:
a. urang nyarioskeun kita ceritakan
b. urang tunda carios kita tunda cerita
c. ayeuna urang kocap sekarang diceritakan
(7) Formula di tengah cerita untuk menandai cerita hendak berlanjut
diungkapkan dengan memakai kata-kata seperti:
a. enggalna carios singkat cerita
b. salajengna . . . seterusnya
c. lajeng . . . terus
(8) Formula untuk menyatakan terjadinya suatu peristiwa diungkapkan dalam
pernyataan Cunduk ka wukuning taun, datang ka mangsaning bulan,
takdirulloh teh tumurun Sampai pada tahun tertentu, tiba pada bulan tertentu,
takdir Tuhan itu turun.
Formula tersebut muncul berkali-kali dalam CPSJ sebagai sarana
jurupantun untuk mempermudah penciptaan cerita. Formula merupakan kelompok
kata yang secara teratur digunakan dalam kondisi matra yang sama untuk
mengungkapkan ide pokok tertentu yang mendasar (Lord, 1976: 31;
Pradotokusumo, 2005: 94).
Di samping hasil penerapan teori Lord (1976) di dalam penelitian CPSJ
juga diterapkan teori Propp (1975) yang bertujuan untuk mengetahui bentuk
struktur naratif CPSJ. Menurut Propp, suatu cerita pada dasarnya memiliki
konstruksi. Konstruksi itu terdiri atas naratif-naratif yang terbagi dalam tiga unsur,
yaitu pelaku, perbuatan, dan penderita. Kemudian ketiga unsur itu dapat
dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu unsur yang tetap dan unsur yang

berubah. Unsur yang tetap adalah perbuatan, sedangkan unsur yang berubah
adalah pelaku dan penderita. Bagi Propp yang terpenting adalah unsur yang tetap,
yaitu tindakan atau perbuatan (action) yang selanjutnya disebut fungsi (function)
(Yunus, 1983: 6; Suwondo, 2003: 38). Teori motif naratif Propp menjelaskan
bahwa sastra lisan (cerita rakyat) itu memiliki 31 fungsi cerita dan 7 lingkungan
tindakan. Berdasarkan penerapan teori Propp diketahui bahwa sastra lisan CPSJ
memiliki 13 fungsi cerita dan 7 lingkungan tindakan. Ketiga belas fungsi tersebut
adalah: keberangkatan, kejahatan, penyelamatan, perjuangan, kemenangan,
penerimaan unsur magis, fungsi pertama donor, kepulangan, tuntutan yang tidak
mendasar, tugas yang sulit, penyelesaian tugas, Selain dalam rajah, secara
semiotik, hadirnya kosmlogi Sunda buhun juga
terungkap dari simbol-simbol penamaan tokoh binatang (golongan unggas, ular,
singa) dan penyebutan setting tempat seperti gunung, laut, dan pertapaan sebagai
sebuah toponimi universal serta simbol-simbol yang terdapat pada benda-benda
sesajen yang dipakai dalam perangkat upacara pada awal pergelaran mantun.
Ada tiga buah unsur semiotik yang tertuang di dalam teks CPSJ, yaitu
tanda ikon, indeks, dan simbol. Tanda ikon di dalam CPSJ terdiri atas ikon
topologis, diagramatis, dan metaporis. Ketiga tanda ikon tersebut terbersit di
dalam wacana rajah bubuka CPSJ.
Toponimi universal itu muncul pada tanda indeks di dalam CPSJ yang
meliputi indeks penamaan tokoh, indeks perbuatan tokoh, dan indeks latar cerita.
Indeks penamaan tokoh hadir pada nama ketiga orang tokoh, yaitu Jagatlaga,
Jagatnata, dan Jagatrasa. Sosok ketiga nama tersebut dapat dimaknai secara
heuristik pada tataran bahasa dan secara hermeneutik pada tataran myth.
Secara etimologis, kata jagat (Skr.) berarti dunia, bumi, dan kata laga
artinya berperang; bertempur (Mardiwarsito, 1983: 305). Oleh karena itu,
jagatlaga dapat diartikan memerangi bumi, dunia. Hal ini cocok dengan
karakteristik tokoh Jagatlaga di dalam CPSJ sebagaimana dituturkan Jurupantun.
Pada tataran myth (Hawkes, 1978: 132), tokoh Jagatlaga ini dapat dianalogikan
dengan karakteristik Dewa Siwa dalam kepercayaan agama Hindu. Hal demikian
itu mengisyaratkan bahwa cerita pantun ini (CPSJ) paling tidak telah hidup pada
zaman ketika masyarakat Sunda masih menganut agama Hindu.
Selanjutnya, nama tokoh Jagatnata dapat dimaknakan, jagat (Skr.) berarti
bumi, dunia, rakyat, dan nata dari kata natha (Skr.) artinya penolong, pelindung.
Oleh karena itu, tokoh Jagatnata di dalam CPSJ dapat diinterpretasi sebagai tokoh
yang dapat memberikan perlindungan kepada manusia di bumi ini. Demikian juga
nama Jagatrasa dapat diidentifikasi berasal dari kata jagat dan rasa. Sebagaimana
telah disebutkan tadi, kata jagat berarti bumi, dunia, sedangkan kata rasa yang
dalam basa Sanskerta beranalog dengan kata raksa, artinya penjagaan,
perlindungan. Selain itu, kata rasa juga bisa beranalog dengan kata raksaka (Skr.)
yang berarti (sebagai) penjaga atau pelindung (Mardiwarsito, 1981: 460). Oleh
karena itu, kata jagatrasa dapat diartikan sebagai pelindung, penjaga manusia di
bumi ini. Tokoh Jagatrasa di dalam CPSJ mencerminkan sosok seorang manusia
yang telah mencapai tingkat kesempurnaan lahir dan batin. Oleh sebab itu,
sangatlah tepat kiranya apabila jurupantun memerankan tokoh Jagatrasa itu
menjadi tokoh utama dan nama tokoh tersebut diabadikan menjadi judul cerita
pantun ini.
Bersandar pada karakteristik ketiga orang tokoh di dalam CPSJ dapat
diinterpretasi sebagai hadirnya konsep dualisme---pertentangan antara kejahatan
dan kebaikan atau pertentangan antara hak dan batil yang sekaligus menjiwai isi

cerita pantun ini. Kejahatan atau kebatilan pada akhirnya dapat dikalahkan oleh
kebaikan atau yang hak. Oleh karena itu, bagi seseorang yang ingin mencapai
tingkat kesempurnaan diri harus mampu mengatasi segala cobaan dengan sabar,
tawekal, dan ulet serta meyakini akan keagungan dan kekuasaan yang di atas,
Alloh SWT.
Indeks perbuatan tokoh di dalam teks CPSJ dan WSJ, di antaranya
ditemukan pada peristiwa mimpinya Raja Gandaermaya sehingga memanggil
ketiga orang putranya untuk mewujudkan impian tersebut. Kasus mimpi
merupakan bagian dari alam spiritual, ketidaksadaran manusia. Mimpi dalam
budaya mitis-spiritual Indonesia adalah tanda. Mimpi itu adalah bagian dari
realitas Dunia Atas. Ketiga dunia, yaitu Dunia Atas, Dunia Tengah dan Dunia
Bawah merupakan satu kesatuan. Maka mimpi yang berasal dari Dunia Atas juga
merupakan realitas Dunia Tengah Manusia (Sumarjo, 2004: 12). Jadi, perbuatan
mimpi dalam kisah CPSJ dan WSJ merupakan sebuah tanda indeks yang dapat
diberi makna sebagai proses pencapaian manusia sempurna untuk menyatukan
ketiga dunia dalam kosmologi Sunda.(Dedi Koswara 2013:17)

Kesimpulan
Ada beberapa kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini, yaitu sebagi
Berikut. Teks lisan Carita Pantun Sanghyang Jagatrasa (CPSJ) dan teks tulis
Wawacan Sanghyang Jagatrasa (WSJ) memiliki struktur formal dan struktur
naratif. Struktur formal CPSJ terbentuk oleh 8 formula, sedangkan struktur
formal WSJ terbentuk oleh puisi pupuh. Struktur naratif CPSJ tersusun dalam
13 fungsi dan 7 lingkungan tindakan, sedangkan struktur naratif WSJ tersusun
dalam 6 model aktan dan 1 model fungsional yang terdiri atas 3 tahapan jalan
Cerita. Hadirnya toponimi universal pada transformasi dari kelisanan CPSJ ke
keberaksaraan WSJ, secara semiotik, dapat dimaknai sebagai suatu upaya
untuk melestarikan dan mempertahankan eksistensi nilai ajaran moral yang
tertuang dalam cerita pantun ke dalam era (zaman) wawacan sejalan dengan
situasi dan kondisi serta minat masyarakat Sunda masa itu.
Toponimi universal pada khazanah sastra Sunda buhun, seperti carita pantun
dan wawacan, dapat dimaknai secara semiotik sebagai suatu tanda yang
mengacu pada referent tertentu tentang eksistensi kosmologi Sunda pada
Zamannya..

Daftar Pustaka

Atja dan Saleh Danasasmita. 1972. Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian


(Naskah Sunda Kuno Tahun 1518 Masehi). Jawa Barat: Proyek
Pengembangan Permuseuman.
Baried, Siti Baroroh, dkk. 1985. Teori Filologi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa
De Haan, M.J.M. 1976. De Filologie en Haar Hulpwetenchappen dalam D.M.
dan G.G.W. Dibbet. Geschieedenis van Nederlandes Taalkunde.
Malmberg: Den Bosh.
Djajadiningrat, Husein. 1983. Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. Jakarta:
Penebit Djambatan
Dundes, Alan. 1965. The Studi of Folklore. USA: Prentice-Hall, Inc. Englewood
Cliffs
Eco, Umberto. 1979. A Theory of Semiotics. USA: Indiana Universtity Press
Eagleton, Terry. 1983. Literary Theory: An Introduction. USA: University of
Minnesote Press
Ekadjati, Edi S. 1982. Cerita Dipati Ukur: Karya Sastra Sejarah Sunda. Jakarta:
Pustaka Jaya
1988. Naskah Sunda: Inventarisasi dan Pencatatan. Bandung: Lembaga
Penelitian Unpad dan The Toyota Foundation.
1995. Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah). Jakarta: Dunia
Pustaka Jaya.
1995. Sunda, Nusantara, dan Indonesia: Suatu TinjauanSejarah.
Bandung: Unpad
Emuch, Hermansoemantri. 1977-1979. Struktur Literer Cerita Pantun Ciung
Wanara (Edisi Ajip Rosidi) dalam Majalah Bunga Rampai Ilmu Sastra
No. I-5. Bandung: Fakultas Sastra Universitas Padjajaran.
Eringa, F.S. 1949. Loetoeng Kasaroeng: Een Mythologische Verhaal Uit West
Java. S-Gravenhage-Martinus Nuchoff.
https://www.scribd.com/search-documents?query=teori+Roland+barthes diakses 23-11-2014

Sutarto. 1997Legenda Kasada dan Karo Orang Tengger Lumajang. Depok:


Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Scholes, Robert. 1982. Semiotics and Interpretation. New Haven and London:
Yale University Press
Suwondo, Tirto. 2003. Studi Sastra: Beberapa Alternatif. Yogyakarta: Hanindita
Graha Widya
Sweeney, Amin. 1987. A Full Hearing: Orality and Literacy in the Malay World.
Berkeley-Los Angeles-London: University of California Press.
Szondi, Peter. 1986. On Textual Understanding and Other Essays. United
Kingdom: Manchester University Press
Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta:
Pustaka Jaya.
1994. Indonesia: Antara Kelisanan dan Keberaksaraan. Jakarta: Pustaka
Jaya.
The New Webster Encyclopedic Dictionary of the English Language. MCMII.

Chicago: Consolidate Book Publisers.


Tuloli, Nani. 1990. Tanggamo: Salah Satu Ragam Sastra Lisan Gorontalo.
Disertasi. Universitas Indonesia. Jakarta: Intermasa
Finnegan, Ruth. 1992. Oral Tradition and the Verbal Arts: A Guide to Research
Preactices. London: Routledge.
Fokkema, D.W. dan Elrud Kunne-Ibsch. 1998. Teori Sastra Abad Kedua Puluh.
Diterjemahkan oleh J. Praptadiharja & Kepler. Jakarta: Gramedia
Pustaka.
Foley, John Miles (Editor). 1981. Oral Traditional Literature: A Festschift for
Albert Bates Lord. USA: Slavica Publishers, Inc.
1986. Oral Tradtion in Literature: Interpretation in Context. USA:
Columbia University of Missouri Presss
Hartoko, Dick dan B. Rahmanto.1984. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta:
Kanisius.
Hawkes, Terence. 1978. Structuralism and Semiotics. Great Britain: Ricard Clay
Ltd. Bungay, Sufolk.
Hidding, Klaas Eldert Hedrich. 1991. Nyi Pohatji Sangjang Sri. Leiden: M.
Dubbeldemen.

Anda mungkin juga menyukai