V/SASTRA A
1211503022
Latar Belakang
Konon Marx dan Engels (1859) pernah memberikan pendapat bahwa
ungkapan
bahasa
karya
sastra
pada
hakikatnya
mencerminkan suatu bentuk tata permainan bahasa tersendiri yang khas, yang
penuh berlumuran simbol, persepsi, imajinasi, dan ideologi, yang sudah tentu
cerminan suatu nilai kehidupan yang diyakini masyarakat pembacanya, yang
bahkan sering kali lebih mewujud sebagai bentuk kecendekiaan sastrawannya
daripada fungsi pragmatiknya sebagai pendorong proses perubahan sosial.
Kenyataan ini setidaknya dapat ditengok dalam mata pelajaran Sejarah
Kesusateraan, terutama yang diajarkan di sekolah formal.
Dalam periode kesusastraan di Indonesia, tema kawin paksa mewarnai
roman-roman Indonesia 1920-an seperti terlukis dalam Azab dan Sengsara
(Merari Siregar), Sitti Nurbaya (Marah Rusli), Karam dalam Gelombang
Percintaan (Abas Soetan Pamoentjak), Darah Muda (Adinegoro), atau Salah
1
Asuhan (Abdul Muis) merupakan kritik tak langsung kepada adat dan kebiasaan
buruk yang telah ketinggalan zaman. Simbolisasi, persepsi, imajinasi, dan
ideologi para pengarang Indonesia 1920-an ini dicermati dan disimplipikasi
sebagai pertentangan antara tradisionalisme dan modernisme.
2)
3)
Tiga Menguak Takdir (1950) (dengan Asrul Sani dan Rivai Apin)
4)
5)
6)
Bahkan Deru Campur Debu menjadi sebuah lagu yang terkenal dari
Grup Band terkenal era 80-an yakni Bani Adam yang dimotori Farid Hardja
dengan judul lagu yang sama yakni Deru Campur Debu.
Salah satu karya monumental yang mampu mempengaruhi semangat
bangsa Indonesia di masa transisi setelah kemerdekaan adalah AKU dan
KARAWANG BEKASI. Berikut ini adalah puisi AKU dan KARAWANGBEKASI.
AKU
Kalau sampai waktuku
Kumau tak seorang 'kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu!
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi!
Puisi tersebut telah diterjemahan dalam bahasa Inggeris sebagaimana
berikut ini :
When my time has come
I want none to compliment me
Not even you
I don't need that sniveling!
I'm but a wild animal
From an exiled group
Even if bullets pierce my skin
I will still enrage and attack
1.2.
Identifikasi Masalah
Penelitian ini mendeskripsikan fenomena perubahan sosial yang terdapat
dalam karya sastra Chairil Anwar. Objek kajiannya adalah puisi dari Chairil
Anwar, yaitu AKU, dan KARAWANG-BEKASI.
1.3.
1.4.
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan berbagai kegunaan baik aspek
khazanah
keilmuan
khususnya
bidang
kajian
ilmu
10
11
12
dan sejauh mana genre sastra yang digunakan dapat mewakili seluruh elemen
masyarakat. Ketiga, adalah fungsi sosila sastra apakah berfungsi sebagai
penghibur saja atau sebagai perombak masyarakat, dan sejauh mana terjadi
sintesis kemungkinan antara keduanya,
Menurut Wellek dan Warren (1956:84), pengklasifikasian kajian sosiologi
meliputi tiga hal, pertama sosiologi pengarang yang mempermaslahkan atau
membahas tentang status sosial, idiologi, sosiologi, dan sebagainya yang
menyangkut pengarang sebagai penghasil karya sastra. Kedua, sosiologi karya
sastra yang mempermasalahkan unsure-unsur pembentuk suatu karya sastra itu
sendiri. Hal tersebut membahas hal yang menjadi pokok permaslahan. Ketiga,
sosiologi sastra yang mempermaslahkan pembaca dengan pengaruh sosial karya
sastra.
Sosiologi dapat digunakan untuk menghindari hakikat karya sastra yang
dibahas. Nilai sosiologis dapat mengalami perubahan dalam karya sastra sesuai
dengan keinginan pengarang. Dalam pendekatan sosiologi sastra hendaklah
memperhatikan:
a.
b.
13
14
dan disalah gunakan. Dalam hubungan ini, terutama harus mendapatkan perhatian
adalah.
1)
2)
3)
Genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu, dan
bukan sikap sosial seluruh masyarakat.
4)
Sastra yang berusaha menampilkan keadaan masyarakat yang secermatcermatnya mungkin saja tidak bisa dipercaya atau diterima sebagai cermin
masyarakat. Demikian juga sebaliknya, karya sastra yang sama sekali tidak
dimaksudkan untuk menggambarkan keadaan masyarakat secara teliti
barangkali masih dapat dipercaya sebagai bahan untuk mengetahui keadaan
masyarakat. Pandangan sosial sastrawan harus diperhatikan apabila sastra
akan dinilai sebagai cermin masyarakat (Damono, 1979: 4).
15
16
17
18
1. Faktor-faktor di luar teks, gejala kontek sastra, teks itu tidak ditinjau.
Penelitian ini menfokuskan pada kedudukan pengarang dalam masyarakat,
pembaca, penerbitan dan seterusnya. Faktor-faktor konteks ini dipelajari
oleh sosiologi sastra empiris yang tidak dipelajari, yang tidak
menggunakan pendekatan ilmu sastra.
2. Hal-hal yang bersangkutan dengan sastra diberi aturan dengan jelas, tetapi
diteliti dengan metode-metode dari ilmu sosiologi. Tentu saja ilmu sastra
dapat mempergunakan hasil sosiologi sastra, khususnya bila ingin meniti
persepsi para pembaca.
3. Hubungan antara (aspek-aspek ) teks sastra dan susunan masyarakat
sejauh mana system masyarakat serta jaringan sosial dan karyanya,
melainkan juga menilai pandangan pengarang.
Pendekatan sosiologi sastra merupakan hubungan antara satra dan
masyarakat, literature is an exspreesion of society, artinya sastra adalah ungkapan
perasaan masyarakat. Maksudnya masyarakat mau tidak mau harus mencerminkan
dan mengespresikan hidup ( Wellek and Werren, 1990: 110 ).
Hubungan yang nyata antara sastra dan masyarakat oleh Wellek dan
Werren dapat diteliti melalui:
1. Sosiologi Pengarang
Menyangkut
masalah
pengarang
sebagai
penghasil
Karya
satra.
19
Menyangkut eksistensi karya itu sendiri, yang memuat isi karya sastra, tujuan,
serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri, dan yang berkaitan
masalah-masalah sosial.
3. Sosiologi Pembaca
Mempermasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya tersebut, yakni sejauh
mana dampak sosial sastra bagi masyarakat pembacanya ( Wellek dan Werren,
1990: 111 ).
Beberapa pengertian dan pendapat di atas menyimpulkan bahwa
pendekatan sosiologi sastra adalah pendekatan terhadap karya sastra dengan tidak
meninggalkan segi-segi masyarakat, termasuk latar belakang kehidupan
pengarang dan pembaca karya sastra. Karya sastra kita kenal sebagai karya
imajinasi yang lahir bukan atas kekososngan jiwa namun juga atas realitas yang
terjadi di sekeliling penarang. Hal ini tentu tidak lepas dari unsure yang
membangun karya sastra tersebut yang meliputi unur intrinsik (unsure yang
membangun karya sastra dari dalam dan unsure ekstrinsik (unsure yang
membangun karya sastra dari luar). Salah satu contoh kajian sktrinsik karya sastra
adalag konflik sosial yang hal tersebut tercakup dalam kajian sosiologi sastra.
Sosiologi sastra merupakan kajian ilmiah dan objektif mengenai manusia
dalam masyarakat, mengenai lembaga dan proses sosial . Sosiologi mengkaji
struktur sosial dan proses sosial termasuk didalamnya perubahan-perubahan sosial
yang mempelajari lembaga sosial. agama, ekonomi, politik dan sebagainya secara
bersamaan dan membentuk struktur sosial guna memperoleh gambaran tentang
cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, mekanisme
20
21
sastra serta pengaruh sosial karya sastra terhadap pembaca atau dengan kata lain
memasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat.
Penelaahan unsur sosiologis karya sastra khususnya roman juga dikaitkan
dengan sistem kemasyarakatan karena dalam sistem ini terjadi interaksi sosial
yang cenderung menghasilkan suatu kebudayaan .Dimana di dalamnya mengatur
cara manusia hidup berkelompok clan berinteraksi dalam jalinan hidup
bermasyarakat. Hal ini berpengaruh terhadap kehidupan manusia yang mengalarni
berbagai modernisasi. Manusia dalam menjalani kehidupan manusia harus
menyadari akan kefanaan hidup itu sendiri.
22
kemampuan
imajinasi
dan
kreativitas
(sebagai
kemampuan
23
24
25
Asumsi teori evolusi dari pemikiran Comte (dalam So, 1990:10) yang
dikembangkan lebih lanjut oleh pakar dari aliran modernisasi adalah:
1.
2.
26
sendiri mencakup nilai-nilai yang bersifat material maupun budaya tertentu untuk
mencapai tujuan bersama. Dengan demikian masayarakat adalah kelompok social
yang mendiami suatu tempat. Istilah social itu sendiri dipergunakan untuk
menyatakan pergaulan serta hubungan antara manusia dan kehidupannya, hal ini
terjadi pada masyarakat secara teratur, sehingga cara hubungan ini mengalami
perubahan dalam perjalanan masa, sehingga membawa pada perubahan
masyarakat.
Perubahan adalah proses sosial yang dialami oleh masyarakat serta semua
unsur-unsur budaya dan system social, dimana semua tingkatan kehidupan
masyarakat secara sukarela atau dipengaruhi oleh unsur-unsur eksternal
meninggalkan pola-pola kehidupan, budaya dan system social lama kemudian
menyesuaikan diri atau menggunakan pola-pola kehidupan, budaya, dan system
social baru. Sebagaimana telah diungkapkan di atas perubahan itu adalah sebagai
suatu hal atau keadaan berubah, peralihan dan pertukaran, maka perubahan itu
sendiri terjadi membutuhkan sebuah proses sehingga akan mengakibatkan
terjadinya perubahan sosial. Dengan demikian perubahan adalah suatu proses
yang mengakibatkan keadaan sekaran berbeda dengan keadaan sebelunya.
2.2.2. Teori Perubahan Sosial
Masyarakat selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Ada yang
menganggap bahwa perubahan tersebut tak ubahnya sebuah siklus yang selalu
berputar dan tidak ada akhirnya. Adapula yang beranggapan bahwa suatu
perubahan pasti mengacu pada kondisi yang lebih baik. Ada pula yang
beranggapab bahwa tidak mungkin terjadi perubahan jika tidak ada pemicu,
27
seperti sebuah hubungan yang timbale balik. Berikut ini adalah beberapa
pandangan atau perspektif perubahan social yang dikemukakan oleh para ahli.
Perubahan sosial dalam perspektif ekonomi, politik dan budaya oleh para
teoretisi evolusi telah digunakan dengan label yang saling berbeda baik untuk
karakteristik
yang
lama
maupun
yang
baru.
Tonnies
dengan
konsep
2)
28
29
Perkembangan
sosial
menyebabkan
dan
disebabkan
oleh
Manusia bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna-makna yang dimiliki bendabenda itu bagi mereka.
2.
Makna-makna itu merupakan basil dari interaksi sosial dalam masyarakat manusia.
3.
Makna dimodifikasikan melalui suatu proses penafsiran yang digunakan oleh setiap
individu dalam keterlibatannya dengan tanda yang dihadapinya.
Hal-hal yang berhubungan dengan ketiga bagian dari Mind, Self and
Society dari Mead. Titik-tolak pemikiran Mead adalah diskusi mengenai ciri-ciri
terpenting yang memisahkan manusia dari binatang. Seperti banyak pemikir
lainnya, dia membicarakan tentang bahasa atau "simbol-signifikan", dan dia
tertarik untuk merinci implikasi dari hal ini. Binatang-binatang terlibat dalam
konversasi/kontak gerak-gerik, tetapi akan salah kalau dikatakan bahwa mereka
berkomunikasi seperti manusia.
30
modernisasi
yang
utama
berupa
kecenderungan-
31
32
33
34
35
36
37
38
berkembang
dalam
masyarakatnya.
Hal
ini
menunjukkan
bahwa
39
Meskipun menuai kontroversi namun justru dengan adanya hal itu menunjukkan
bahwa novel sebagai karya sastra telah membuka cakarawala dalam rangka
fungsinya bagi kehidupan. Ayat-Ayat Cinta, novel yang juga pernah difilmkan ini
menggambarkan persoalan poligami yang memunculkan pemikiran tersendiri
Islam tidak menggampangkan poligami, sebagaimana Allah tidak menganjurkan
berpoligami pada para suami. Dengan demikian sastra dari sisi fungsi menyimpan
kemampuan sebagai sarana komunikasi yang tak tergantikan selama telah diisi
moral sebagai pesan yang ditransmisikan, non transmittable by other means
(Chamamah, 2006: 141).
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dapat diperoleh benang
merah, bahwa ternyata sastra dapat mempengaruhi pemikiran-pemikiran manusia,
pemikiran-pemikiran secara psikologis ini dapat menggerakan motivasi seseorang
untuk mewujudkan baik riil maupun filosofi tertuang dalam karya sastra tersebut.
Jika hal ini dilakukan secara bersama-sama dari individu menjadi entitas
kelompok, maka yang terjadi adalah perubahan sosial. Perubahan sosial yang
paling kecil adalah adanya perubahan pemikiran dalam masyarakat dan lambat
laun akan mempengaruhi pola pikir dan struktur sosial.
40
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Objek Penelitian
Objek penelitian dalam kajian ini adalah Puisi AKU dan KARAWANGBEKASI karya Khairil Anwar. Setiap kata-kata dalam puisi tersebut merupakan
objek penelitian yang dicoba diungkap filosofi yang terkandung di dalamnya,
yang pada intinya apakah mampu menggerakan perubahan sosial masyarakat
Indonesia atau tidak.
3.2. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis isi.
Dalam metode analisis isi terdiri atas 2 macam yaitu isi laten dan komunikasi. Isi
laten adalah isi yang terkandung dalam dokumen dan naskah sedang isi
komunikasi adalah pesan yang terkandung sebagai akaibat komunikasi yang
terjadi. Secara definitif antropologi sastra adalah studi mengenai karya sastra
dengan relevansi manusia. Antropologi sastra memusatkan perhatian pada
kompleks ide dan merupakan pendekatan interdisiplin yang paling baru dalam
ilmu sastra.
3.3. Sumber data
Sumber data dalam penelitian sastra berasal dari data lapangan dan data
kepustakaan. Penelitian lapangan dilakukan daam kaitannya dengan objek
penelitian yang memanfaatkan kejadian langsung seperti penerbit, pembacaan,
penggunaan, pementasan dan sebagainya. Penelitian terhadap sastra lisan
membutuhkan penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan dilakukan dalam
kaitannya dengan novel, teks drama, cerita pendek dan puisi.
3.4. Teknik pengumpulan data
41
dalam mendukung
terlaksananya penelitian ini. Selain itu kajian banyak dilakukan melalui virtual
library di dunia maya.
42
43
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Penelitian
4.1.1. Sejarah Khairil Anwar
Mengutip dari Wikipedia.org, berdasarkan sejarah Chairil Anwar
dilahirkan di Medan, Sumatera Utara pada 26 Juli 1922 dan wafat di Jakarta, 28
April 1949 pada umur 26 tahun. Ia merupakan anak satu-satunya dari pasangan
Toeloes dan Saleha, keduanya berasal dari kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera
Barat. Jabatan terakhir ayahnya adalah sebagai bupati Inderagiri, Riau. Ia masih
punya pertalian keluarga dengan Soetan Sjahrir, Perdana Menteri pertama
Indonesia. Sebagai anak tunggal, orang tuanya selalu memanjakannya, namun,
Chairil cenderung bersikap keras kepala dan tidak ingin kehilangan apa pun;
sedikit cerminan dari kepribadian orang tuanya.
Chairil pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) dengan ibunya pada tahun
1940, dimana ia mulai menggeluti dunia sastra. Setelah mempublikasikan puisi
pertamanya pada tahun 1942, Chairil terus menulis. Pusinya menyangkut berbagai
tema, mulai dari pemberontakan, kematian, individualisme, dan eksistensialisme,
hingga tak jarang multi-interpretasi.
Chairil Anwar mulai mengenyam pendidikan di Hollandsch-Inlandsche
School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi pada masa penjajahan
Belanda. Ia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager
Onderwijs (MULO). Saat usianya mencapai 18 tahun, ia tidak lagi bersekolah.
Chairil mengatakan bahwa sejak usia 15 tahun, ia telah bertekad menjadi seorang
seniman.
Pada usia 19 tahun, setelah perceraian orang tuanya, Chairil bersama
ibunya pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) dimana ia berkenalan dengan dunia
44
sastra; walau telah bercerai, ayahnya tetap menafkahinya dan ibunya. Meskipun
tidak dapat menyelesaikan sekolahnya, ia dapat menguasai berbagai bahasa asing
seperti Inggris, Belanda, dan Jerman. Ia juga mengisi jam-jamnya dengan
membaca karya-karya pengarang internasional ternama, seperti: Rainer Maria
Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, Hendrik Marsman, J. Slaurhoff, dan
Edgar du Perron. Penulis-penulis tersebut sangat memengaruhi tulisannya dan
secara tidak langsung terhadap tatanan kesusasteraan Indonesia.
Nama Chairil mulai terkenal dalam dunia sastra setelah pemuatan
tulisannya di Majalah Nisan pada tahun 1942, saat itu ia baru berusia 20 tahun.
Hampir semua puisi-puisi yang ia tulis merujuk pada kematian. Namun saat
pertama kali mengirimkan puisi-puisinya di majalah Pandji Pustaka untuk
dimuat, banyak yang ditolak karena dianggap terlalu individualistis dan tidak
sesuai dengan semangat Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya.
Ketika menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta, Chairil jatuh cinta pada Sri Ayati
tetapi hingga akhir hayatnya Chairil tidak memiliki keberanian untuk
mengungkapkannya.
Puisi-puisinya beredar di atas kertas murah selama masa pendudukan
Jepang di Indonesia dan tidak diterbitkan hingga tahun 1945. Kemudian ia
memutuskan untuk menikah dengan Hapsah Wiraredja pada 6 Agustus 1946.
Mereka dikaruniai seorang putri bernama Evawani Alissa, namun bercerai pada
akhir tahun 1948.
Vitalitas puitis Chairil tidak pernah diimbangi kondisi fisiknya. Sebelum
menginjak usia 27 tahun, sejumlah penyakit telah menimpanya. Chairil meninggal
dalam usia muda di Rumah Sakit CBZ (sekarang Rumah Sakit Dr. Cipto
Mangunkusumo), Jakarta pada tanggal 28 April 1949; penyebab kematiannya
tidak diketahui pasti, menurut dugaan lebih karena penyakit TBC. Ia dimakamkan
45
2)
3)
Chairil Anwar: Selected Poems oleh Burton Raffel dan Nurdin Salam
(New York, New Directions, 1963)
4)
"Only Dust: Three Modern Indonesian Poets", oleh Ulli Beier (Port
Moresby [New Guinea]: Papua Pocket Poets, 1969)
5)
6)
7)
46
8)
The Voice of the Night: Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, oleh
Burton Raffel (Athens, Ohio: Ohio University, Center for International
Studies, 1993)
9)
10)
11)
mencatat bahwa "Aku" mencerminkan pandangan Anwar, bahwa orang lain tidak
harus peduli untuk dia karena ia tidak peduli terhadap sesama. Budiman juga
mencatat bahwa bait ketiga dan keempat mencerminkan pandangan Friedrich
Nietzsche bahwa penderitaan membuat orang kuat.
Puisi lainnya yang tak kalah monumentalnya dengan AKU adalah
KARAWANG-BEKASI, sebuah puisi yang memiliki tempat tersendiri bagi
masyarakat sekitar Karawang sampai Bekasi. Puisi yang menggambarkan
bagaimana beratnya mempertahankan kemerdekaan yang diproklamirkan oleh
kedua Bung besar yakni Bung Karno dan Bung Hatta pada 17 Agustus 1945.
Puisi itu adalah bukti nyata bagaimana pedihnya kesedihan yang dirasakan oleh
para anggota keluarga yang ditinggalkan sekaligus juga bukti nyata bagi kesadisan
perang yang dilakukan oleh tentara NICA Belanda. Demikianlah sajak yang
ditulis oleh Chairil Anwar (26 Juli 1922 28 April 1949) pada tahun 1948, untuk
mengungkapkan perasaannya terhadap situasi perang melawan tentara Belanda
waktu itu. Sajak ini dapat diresapi dan dimengerti maknanya, apabila kita berdiri
di hadapan makam dari ratusan korban pembantaian tentara Belanda di Monumen
Rawagede, Desa Balongsari, dekat Karawang, dan mendengarkan berbagai kisah
pilu dari para korban, janda korban dan anak-cucu korban pembantaian.
Pada 9 Desember 1947, dalam agresi militer Belanda I yang dilancarkan
mulai tanggal 21 Juli 1947, tentara Belanda membantai 431 penduduk desa
Rawagede, yang terletak di antara Karawang dan Bekasi, Jawa Barat. Selain itu,
ketika tentara Belanda menyerbu Bekasi, ribuan rakyat mengungsi ke arah
Karawang, dan antara Karawang dan Bekasi timbul pertempuran, yang juga
mengakibatkan jatuhnya ratusan korban jiwa di kalangan rakyat. Pada 4 Oktober
1948, tentara Belanda melancarkan sweeping lagi di Rawagede, dan kali ini 35
orang penduduk dibunuh.
48
49
Si aku ingin hidup seribu tahun lagi. Di sini Chairil telah menjelma si aku.
Walaupun raganya telah tiada, tapi dia ingin karyanya tetap hidup selamanya.
Tema adalah sesuatu yang menjadi pikiran pengarang. Sesuatu yang
menjadi pikiran tersebut dasar bagi puisi yang dicipta oleh penyair. Sesuatu yang
dipikirkan itu bias bermacam-macam permasalahan hidup. Penyair tidak pernah
menyebut tema tema puisi yang ditulisnya.
Untuk tema sebuah diketahui setelah puisi dibaca keseluruhan tersebut
dengan cermat. Tema pada puisi Aku karya Chairil Anwar adalah
menggambarkan semangat perjuangan untuk membebaskan diri dari belenggu
penjajahan. Seperti pada baris keempat dan kelima : Biar peluru menembus
kulitkuAku tetap meradang menerjang. Nada adalah sikap penyair kepada
pembaca. Dalam Puisi Aku terdapat kata Tidak juga kau, Kau yang dimaksud
dalam kutipan diatas adalah pembaca atau penyimak dari puisi ini. Ini
menunjukkan betapa tidak pedulinya Chairil dengan semua orang yang pernah
mendengar atau pun membaca puisi tersebut, entah itu baik, atau pun buruk.
Disamping itu Chairil ingin menunjukkan ketidak peduliannya kepada pembaca,
50
dalam puisi ini juga terdapat pesan lain dari Chairil, bahwa manusia itu itu adalah
makhluk yang tak pernah lepas dari salah.
Oleh karena itu filosofi yang terkandung dalam puisi AKU adalah
janganlah memandang seseorang dari baik-buruknya saja, karena kedua hal itu
pasti akan ditemui dalam setiap manusia. Selain itu, Chairil juga ingin
menyampaikan agar pembaca tidak perlu ragu dalam berkarya. Berkaryalah dan
biarkan orang lain menilainya, seperti apa pun bentuk penilaian itu.
Rasa adalah sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terdapat
pada puisinya. Pada puisi Aku karya Chairil Awar merupakan eskpresi jiwa
penyair yang menginginkan kebebasan dari semua ikatan. Di sana penyair tidak
mau meniru atau menyatakan kenyataan alam, tetapi mengungkapkan sikap
jiwanya yang ingin berkreasi. Sikap jiwa jika sampai waktunya, ia tidak mau
terikat oleh siapa saja, apapun yang terjadi, ia ingin bebas sebebas-bebasnya
sebagai aku. Bahkan jika ia terluka, akan di bawa lari sehingga perih lukanya itu
hilang. Ia memandang bahwa dengan luka itu, ia akan lebih jalang, lebih dinamis,
lebih vital, lebih bergairah hidup. Sebab itu ia malahan ingin hidup seribu tahun
lagi.
Uraian di atas merupakan yang dikemukakan dalam puisi ini semuanya
adalah sikap chairil yang lahir dari ekspresi jiwa penyair. Amanat adalah hal yang
mendorong penyair untuk menciptakan puisinya. Amanat berhubungan dengan
makna karya sastra. Makna bersifat kias, subjektif, dan umum. Makna
berhubungan dengan individu, konsep seseorang dan situasi tempatpenyair
mengimajinasikan puisinya. Amanat dalam Puisi Aku karya Chairil Anwar yang
dapat saya simpulkan dan dapat kita rumuskan adalah sebagai berikut :
1) Manusia harus tegar, kokoh, terus berjuang, pantang mundur meskipun
rintangan menghadang.
51
(penglihatan),
citraan
auditif
(pendengaran),
citraan
artikulatoris
kata-kata dalam puisinya pun sangat dalam dan pedas. Ini adalah ciri-ciri pemuda
& pejuang Indonesia di masa lampau. Tidak seperti pemuda zaman sekarang yang
cenderung tidak peduli, terlalu santai, dan terlalu banyak bersenang-senang
daripada belajar.
Isi dari puisi ini kurang lebihnya bahwa si penulis puisi (Chairil Anwar)
jika beliau sudah di ambang kematian maka beliau tidak mau ada satupun orang
yang sedih, baik keluarga, kerabat, ataupun kekasihnya. Karena beliau
beranggapan bahwa dirinya adalah Si Binatang Jalang, alias orang yang tidak
berharga dan terlalu banyak melakukan dosa. Jadi walaupun beliau mengalami
penyakit apapun, maka dirinya akan tetap bertahan hingga penyakit itu sembuh
(Chairil Anwar terkenal dengan gaya hidupnya yang semrawut, ketika beliau
berumur 27 tahun beliau sudah menderita banyak penyakit, di antaranya TBC).
Beliau juga mengungkapkan dalam puisi ini bahwa dia ingin hidup seribu
tahun lagi (panjang umur), meski faktanya meninggal dalam usia muda yakni 26
tahun. Ini berarti sebetulnmya Chairil Anwar masih memiliki cita-cita yang tinggi
dan panjang mengenai nasib bangsanya. Chairil Anwar mungkin sadar bahwa
sebetulnya dia sudah mendekati ajal meski dia masih memiliki banyak cita-cita
untuk diwujudkan demi bangsa ini.
55
1948, tentara Belanda melancarkan "sweeping" lagi di Rawagede, dan kali ini 35
orang penduduk dibunuh.
Di sini, Chairil Anwar menuliskan syairnya tentang kejadian yang ia lihat
dengan mata kepalanya sendiri. Dia melihat berbagai kejadian sepanjang sungai
Bekasi dan sepanjang jalan antara Karawang-Bekasi, di mana ribuan anak-anak
muda tewas silih berganti. Di sepanjang sungai Bekasi dan di atas jembatan laskar
pemuda bertahan tanpa peduli teman-temannya bergelimpangan jatuh tak
bernyawa. Chairil selalu terbayang dengan laskar-laskar pemuda yang melayang
terpelanting jatuh, di lumpur-lumpur, di rawa-rawa, di atas jembatan dan di
benteng-benteng sepanjang sungai, dan kemudian mati. Saat perang itu terjadi,
Chairil langsung menuju pertahanan Bekasi dengan menumpang sebuah mobil
palang merah yang penuh dengan prajurit yang terluka. Wajahnya nampak sangat
terpukul dan teraniaya menyaksikan anak-anak muda yang bergelimpangan tidak
bernyawa.
Pada suatu waktu Chairil mengembara di jalan-jalan ibu kota pada malam
hari. Saat itu dia batuk dan sangat pucat, namun ia tak peduli. Dia selalu teringat
dengan berbagai kejadian sepanjang sungai Bekasi dan sepanjang jalan antara
Karawang-Bekasi yang pernah disaksikannya sendiri. Ketika Chairil mengingatingat kembali peristiwa itu, ia sedang berada di sebuah jembatan sungai Ciliwung,
dimana di seberang jembatan tersebut terdapat restoran yang dipenuhi oleh para
serdadu Belanda, opsir-opsir dan noni-noni Belanda sedang berdansa sambil
makan dan minum. Langkah Chairil terhenti di ujung jembatan karena tiba-tiba
teras restoran tersebut meledak oleh beberapa granat, dan beberapa opsi Belanda
terjungkir ke dalam air. Pada saat itulah narasi Karawang-Bekasi terlantun dari
bibir Chairil Anwar.
Analisis Makna :
56
teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.Kata Merdeka dan angkat senjata
lagi mempunyai pengertian sebuah penjuangan untuk kebebasan mengatur
negerinya sendiri. Salah satunya cara untuk mencapai cita-cita tersebut adalah
dengan angkat senjata yaitu dengan jalan Perang. Pada kalimat lain nampak
jelas kalau tema yang diangkat pada Krawang-Bekasi adalah sebuah perjuangan
yaitu pada kalimat : Teruskan, teruskan jiwa kami, pada kalimat itu perjuangan
harus dilanjukan meskipun banyak korban yang berjatuhan. Sedang yang
dimaksud dengan jiwa kami adalah semangat dari para pendahulu yang telah
gugur di medan perang supaya dapat dilanjutkan oleh generasi yang akan datang.
Feeling (rasa) adalah sikap penyair terhadap pokok persoalan yang
dikemukakan dalam puisinya. Setiap penyair mempunyai pandangan yang
berbeda dalam menghadapi suatu persoalan. Sikap penyair dalam karya tersebut
sangat tegas,lugas tanpa basa-basi dalam suatu perjuangan, hal itu dapat dilihat
dari kata-kata : Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan
dan harapan atau tidak untuk apa-apa,. Pada kalimat tersebut terlihat bahwa
sang penyair tidak mempunyai pamrih apa-apa dalam berjuang. Semua itu
diserahkan oleh orang yang menilainya,yaitu jiwa mereka,semangat mereka itu
dinilai untuk kemerdekaan,kemenangan,dan harapan atau tidak untuk apa-apa. Hal
inilah yang kami katakan tidak mempunyai Pamrihapa-apa dalam perjuangan
yang berkaitan dengan dirinya.Yang penting ia berjuang untuk mencapai
kemerdekaan.
Tone (nada) adalah sikap penyair terhadap pembaca atau penikmat
karyanya pada umumnya. Terhadap pembaca, penyair bisa bersikap rendah hati,
angkuh, persuatif, sugestif. Pada karya Krawang-Bekasi ini sikap penyair
terhadap pembaca adalah Rendah Hati dan Tegas hal itu terlihat pada kata
pengharapan yang ada yaitu : Kenang, kenanglah kami; Kami sudah coba apa
58
yang kami bisa; Tapi kerja belum selesai,belum bisa memperhitungkan 4-5
ribu
nyawa;Kami
cuma
tulang-tulang
berserekan;
Tapi
adalah
kepunyaanmu;
Pada bait diatas terlihat betapa Sang Penyair dengan kalimat pengaharap
kepada pembacanya,penikmatnya,pemerhatinya menggunakan pilihan akhiran
lah pada kata kenanglah dan rasa rendah hati itu dipertegas pada kalimat
berikutnya yaitu : Kami sudah coba apa yang kami bisa. Pada kalimat tersebut
dapat kita ketahui bahwa perjuangan itu penuh resiko tetapi Sang Penyair
menyatakan bahwa ia sudah mencoba apa yang ia bisa walaupun nyawa jadi
taruhannya.Meskipun begitu tetap ia menyatakan apa yang dilakukan belum
selesai,memang selamanya perjuangan itu akan berkelanjutan sampai hayat
dikandung badan.
Kalimat lain yang menyatakan merendah adalah :Kami Cuma tulangtulang yang berserakan. Tapi adalah kepunyaanmu. Pada kalimat itu ada kata
Cuma yang seakan-akan hal itu tidak berarti,karena dinyatakan sebagai tulangtulang yang berserakan.Padalah tulang-tulang yang berserakan itu adalah tulang
para pejuang yang telah mengorbankan diri untuk tanah air dan bangsa.
Intention (tujuan) atau tujuan dari Sang Penyair dalam karyanya
Krawang-Bekasi disini sangat jelas yaitu sebagaimana karya-karya yang lainnya
yang berkaitan dengan perjuangan,cinta tanah air dan cita-citanya untuk masa
depan. Pada kalimat : Kenang-kenanglah kami Adalah sebuah himbauan,
ajakan, pengharapan pada kita untuk senantiasa tidak melupakan perjuangan dari
para
pendahulu
kita,walaupun
para
pejuang
tersebut
telah
gugur.
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Pada kalimat diatas tersirat makna untuk bekerja keras, melanjutkan pekerjaan
yang
belum
tuntas,
mempunyai
etos
59
kerja
yang
pantang
menyerah.
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian Pada kalimat diatas
sangat tegas sekali pernyataan atau tujuan dari Sang Penyair yaitu supaya kita
selalu konsisten dengan pernyataan kita, ucapan kita, janji-janji kita, sumpah kita
dan semua yang pernah kita ucapkan dan pada kata impian mengandung makna
suatu cita-cita.Kita harus punya impian yang sesuai dengan kondisi kita. Impian
itu tidak lain adalah cita-cita bangsa kita. Teruskan, teruskan jiwa kami;
Menjaga Bung Karno; menjaga Bung Hatta; menjaga Bung Sjahrir;
Pada kalimat diatas yaitu Teruskan, teruskan jiwa kami. Menjaga Bung
Karno,menjaga Bung Hatta, menjaga Bung Sjahrir mengandung makna kesetian
rakyat kepada para pemimpinnya.Pejuangan tidak akan berhasil,cita-cita tidak
akan tercapai kalau tidak ada kesetiaan antara rakyat dengan pemimpinnya.
Diction (diksi)
dipakainya
benar-benar
mendukung
maksud
puisinya.
Pilihan kata yang digunakan oleh Sang Penyair pada karya diatas KrawangBekasi sangat jelas dan lugas. Kami yang terbaring antara Krawang-Bekasi
Tidak bisa teriak Merdeka dan angkat senjata lagi. Pada kata terbaring
mempunyai makna denotasi tidur terlentang, tetapi Sang Penyair menggunakan
kata Terbaring yang mempunyai makna konotasi meninggal dunia, atau
kematian. Akan tetapi kematian tersebut punya makna yang lebih mulia yaitu
gugur sebagai pejuang. Hal itu dipertegas dengan pilihan kata pada kalimat
berikutnya : Tidak bisa teriak Merdeka dan angkat senjata lagi yang
mempunyai makna sudah gugur di medan pertempuran.
Imageri (imaji, daya bayang) atau kata-kata yang dipakai pengarang dalam
mengantarkan pembaca untuk terlibat atau mampu merasakan apa yang dirasakan
60
melihat
dan
merasakannya
dalam
membuat
puisi.
Imaji disebut juga citraan, atau gambaran angan. Pencitraan yang digunakan Sang
Penyair pada Puisi diatas adalah Citra lingkungan, yaitu citraan yang
menggunakan gambaran-gambaran selingkungan.
judul puisi itu sendiri Krawang-Bekasi dan Kami bicara padamu dalam
hening dimalam sepi itu semua Citra lingkungan. Citra kesedihan, yaitu citraan
yang menggunakan gambaran-gambaran kesedihan. Citra kesedihan ada pada kata
Kami sekarang mayat, kesan yang timbul kalau kita dengar kata Mayat
adalah suatu kesedihan. Citra pendengaran, yaitu citraan yang timbul oleh
pendengaran atau berhubungan dengan indra pendengaran. Citra pendengaran ada
pada kata Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu. Pada kata bikin janji dan Aku
sudah cukup lama dengan bicaramu barkaitan dengan citra pendengaran.
Citra gerak, yaitu citraan yang menggambarkan sesuatu yanag sebetulnya
tidak bergerak tetapi dilukiskan sebagai dapat bergerak. Citra gerak KrawangBekasi terlihat pada baris Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlabuh. Di
uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak dan berlabuh. Di sini digambarkan
ada keinginan yang sama,kemauan yang sama, dan tujuan yang sama untuk
mencapai suatu cita-cita sehingga digambarkan seperti kapal yang bergerak
membawa penumpang mencapai tujuan yang sama.
Citra
intelektual,
yaitu
citraan
yang
timbul
oleh
asosiasi
dari Sang Penyair Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati?. Apakah yang dimaksud dengan deru
kami pada kalimat tersebut ? Lalu apakah yang dimaksud oleh Sang Penyair
dengan terbayang kami maju dan mendegap hati?. Bisa jadi yang dimaksud
dengan deru kami yaitu segala keinginan dan harapan dari Sang Penyair.Atau
semua gejolak hati yang tidak dapat disampaikan lewat kata-kata oleh Sang
Penyair.
The concrete word (kata-kata kongkret) atau pilihan kata yang di gunakan
oleh Sang Penyair dalam karyanya : Krawang-Bekasi betul-betul bermakna dan
berjiwa hal itu terlihat pada kalimat : Kami yang kini terbaring antara KrawangBekasi. Kata Terbaring yang dimaksud oleh Sang Penyair tersebut bukanlah
tidur terlentang diatas dipan atau lantai tetapi adalah sebuah kematian"
dipanggang diatas apimu, digarami lautmu Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Yang dimaksud dengan dipanggang diatas apimu, digarami lautmu bukanlah
makna sebenarnya tetapi yang dimaksud dengan apimu adalah semangat
perjuangan,motivasi-motivasi dari isi pidato Bung Karno yang penuh semangat
dan jiwa revolusioner. Aku sekarang api aku sekarang laut Bung Karno ! Kau
dan aku satu zat satu urat Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar Di
uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh. Pada bait terakhir dari
karya Krawang-Bekasi tersebut pilihan katanya sangat berjiwa sekali sampaisampai Sang Penyair ikut larut dalam api dan laut Sang Pemimpin,bahkan
Sang Penyair sudah menjadi satu urat dan satu zat yang artinya mempunyai citacita dan semangat yang sama dengan pemimpinya.
Figurative language (gaya bahasa) Adalah cara yang dipergunakan oleh
penyair untuk membangkitkan dan menciptakan imaji dengan menggunakan gaya
bahasa, perbandingan, kiasan, pelambangan dan sebagainya. Jenis-jenis gaya
62
bahasa antara lain Gaya bahasa yang digunakan dalam karya Krawang-Bekasi
adalah Metafora, hal itu terlihat pada Aku sekarang api aku sekarang laut,
disini Sang Penyair mengibaratkan dirinya seperti laut dan api, mempunyai sifatsifat seperti api yang selalu membakar dan panas.Menpunyai sifat-sifat seperti laut
yang selalu bergelombang,luas,tempat bermuaranya dan menampung semua
sungai yang mengalir kearahnya.Artinya tempat menampung semua pendapat dari
semua lapisan rakyatnya.Atau selalu bergerak dan bergelombang, artinya selalu
bersemangat bak laut yang bergelombang.
Personifikasi,hal itu terlihat pada Kami sekarang mayat, Berikan kami
arti di sini terlihat makna seakan-akan mayat yang secara sifatnya tidak dapat
birbicara,tetapi oleh Sang Penyair Mayat tersebut dapat berbicara seperti
manusia hidup dam berpesan Berikan kami arti dan seterusnya.
Alegori, hal itu terlihat pada dipanggang diatas apimu, digarami lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945 Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar Di uratmu di uratku kapal-kapal kita
bertolak & berlabuh. Kiasan yang digunakan diatas adalah seperti api dan laut
dan senantiasa berjalan beriringan dengan Sang Pemimpinnya menjadi satu urat
dan satu zat,sesuatu yang tak terpisahkan sehingga menggunakan kendaraan
kapal-kapal untuk sampai pada tujuan yang sama.
Rhythm dan rima (irama dan sajak) sangat jelas nampak ketika dibaca oleh
seorang penyair karena berkaitan dengan turun naik, panjang pendek, keras
lembutnya ucapan bunyi bahasa dengan teratur. Rima adalah persamaam bunyi
dalam puisi. Dalam rima dikenal perulangan bunyi yang cerah, ringan, yang
mampu menciptakan suasana kegembiraan serta kesenangan. Bunyi semacam ini
disebut euphony. Sebaliknya, ada pula bunyi-bunyi yang berat, menekan, yang
63
Pada puisi Krawang-Bekasi mempunyai berbagai jenis rima yaitu : Pada bait
pertama terdapat rima sempurna dan bersajak {aaaa} hal itu terlihat pada
persamaan bunyi di suku-suku kata akhir yaitu : persamaan huruf { i } Kami yang
kini terbaring antara Krawang-Bekasi tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat
senjata lagi. Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ? Pada bait kedua terdapat rima aliterasi
dan bersajak {ab-aa},disamping itu ada perulangan kata yaitu Kami
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi Jika dada rasa hampa dan
jam dinding yang berdetak Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami. Pada bait ke tiga terdapat rima terbuka dan bersajak
{aa} antara sukusa dan wasehingga menimbulkan kesan yang sangat
mendalam. Kami sudah coba apa yang kami bisa Tapi kerja belum selesai, belum
bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa. Pada bait ke empat terdapat rima
tertutup dan bersajak {bab} Kami cuma tulang-tulang berserakan Tapi adalah
kepunyaanmu. Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan.
Dari analisis diatas maka karya Chairil Anwar dengan judul KRAWANGBEKASI adalah sebuah karya puisi yang bertemakan perjuangan sehingga
Feeling (rasa) yang timbul sangat tegas, lugas tetapi sangat indah untuk
dinikmati.Sedangkan sikap penyair terhadap pembaca adalah penuh harapan
supaya perjuangan itu dilanjukan dan mempunyai nilai dan yang menilai arti
perjuangan itu adalah generasi penerusnya. Tujuan dari Penyair pada karya
tersebut adalah semangat perjuangan harus selalu mengelora meskibut berada di
daerah yang dianggap kecil.Pilihan kata yang digunakan oleh Sang Penyair juga
penuh dengan ketegasan,atau keterus terangan dari Sang Penyair.
64
proses perubahan sosial, juga tidak jauh dari tema yang pernah ditulis sastrawan
Indonesia zaman Balai Pustaka: patah hati, pertentangan antara si miskin dan si
kaya, atau pertentangan keyakinan dalam rangka mempertahankan ideologi
tertentu.
Andai yang dimaksud perubahan sosial bertalian dengan tema-tema yang
telah saya sebutkan itu, agaknya kita harus menerimanya dengan catatan. Apalagi,
jika tema-tema tersebut dihubungkan dengan industri (dibaca: ekonomi), yang di
dalam sosiologi sastra memang digarisbawahi. Seperti diketahui umum, sosiologi
sastra memumpun pada perangkat produksi, distribusi dan pertukaran sastra dalam
suatu masyarakat tertentu, bagaimana buku-buku sastra diterbitkan, bagaimana
komposisi sosial terhadap pengarangnya, bagaimana tingkat keterbacaannya
terhadap masyarakat, dan bagaimana teks-teks sastra relevan dengan sosiologi. Itu
sebabnya, paradigma sosiologi sastra semacam ini harus disikapi secara kritis,
karena pada dasarnya karya sastra tidak akan menciptakan perubahan sosial,
mengingat karya sastra yang dapat dianggap besar adalah karya sastra yang
sepanjang masa dapat melampaui kondisi-kondisi historisnya. Itu sebabnya pula,
tadi saya kutipkan ungkapan bahwa bukan kesadaran yang menentukan
kehidupan, melainkan kehidupanlah yang menentukan kesadaran.
Kehidupan yang menentukan kesadaran, atau keberadaan sosial yang
menentukan kesadaran manusia, di antaranya adalah bagaimana sikap kritis kita
terhadap hegemoni paradigma oposisi biner. Implikasi dari hal ini, sekalipun
industri (dibaca: ekonomi) dewasa ini masih dianggap penguasa kehidupan,
tidak berarti sastra, kepercayaan, mitos, atau kebudayaan harus dijadikan urusan
nomor
dua.
Fakta
membuktikan,
tumbuhnya
tradisi
penulisan
dalam
67
dengan
sejarah
pertumbuhan
tradisi
penulisan
dalam
penulisnya, sehingga kurang tepat jika hanya melihat temanya, alurnya, atau
penokohannya semata.
Kelompok intelektual sastrawan tersebut, melalui kompetensinya masingmasing dapat saling berbagi pengetahuan dan juga dapat saling membela kaum
sastrawan lain yang terdominasi (apa pun ini maknanya), dengan satu tujuan:
menjadikan abad ini sebagai Abad Kesusasteraan Indonesia; abad yang
menjadikan bangsa Indonesia menjadi manusia yang etis dan estetis di tengah
pergaulan global, mengingat dewasa ini kehidupan manusia seolah-olah
berhenti hanya di seputar masalah ekonomi dan teknologi. Hal ini, kiranya
merupakan praktik suatu rezim kebenaran, yang oleh karena itu harus
dihindarkan jauh-jauh, karena adanya upaya memperjuangkan suatu tipe wacana
yang dipaksakan sebagai kebenaran umum. Itu sebabnya, tanpa menyadari secara
kritis hal tersebut, sastrawan Indonesia akan selalu dikatakan ibarat penjual
kecap keliling, tak ubahnya para anggota parlemen kita belakangan ini.
Menjadi benar, ungkapan bukanlah kesadaran manusia yang menentukan
keberadaan mereka, melainkan keberadaan sosial yang menentukan kesadaran
mereka agaknya setara dengan ungkapan dont think, but look. Kedua
ungkapan ini hemat saya ternyata juga berkelindan dengan nyanyian Amir
Hamzah di dalam Setanggi Timur (1959) berikut ini.
Sampai saat ini masih banyak orang meremehkan sastra. Dengan kata lain
orang cenderung menganggap sastra sebagai sesuatu yang tidak penting dalam
pembangunan masyarakat. Dibandingkan dengan bidang lain, seperti ilmu
pengetahuan alam, tehnik, kesehatan dan bidang praktis lain, sastra dianggap
sesuatu yang tidak mendatangkan nilai ekonomis. Hal ini terlihat pada animo para
mahasiswa yang mayoritas lebih memilih jurusan eksata dibandingkan jurusan
yang berbau sastra. Sastra atau ilmu budaya biasanya menjadi pilihan terakhir
69
setelah yang lain tidak bisa didapatkan. Pandangan ini merupakan gambaran akan
rendahnya apresiasi masyarakat terhadap karya sastra.
Dibandingkan dengan bidang eksata, sastra memang tidak mempunyai
pengaruh secara langsung atau secara fisik. Peranan sastra sebenarnya lebih pada
emosi atau spiritual. Sastra merubah seseorang melalui pola pikir, wawasan dalam
memandang hidup dan lain sebagainya. Ahmadun Yosi (2007) mengatakan bahwa
sejarah pergolakan suatu bangsa tidak pernah lepas dari dorongan-dorongan yang
diekpresikan melalui karya sastra. Karya-karya besar seperti Max Havelar
(Multatuli), Uncle Tom Cabin (Beecher Stower) dan sajak-sajak Rabindranat
Tagore telah menginspirasi perubahan sosial yang begitu dasyat di lingkuangan
masyarkat pembacanya.
Jabrohim (2005) mengatakan bahwa kedudukan sastra sama dengan ilmu
pengetahuan yang lain, yaitu sesuatu yang penting bagi kemajuan masyarakat.
Dengan karya sastra pengarang bisa menanamkan nilai-nilai moral dan pesanpesan tertentu kepada masyarakat pembacanya. Subjektivitas yang disampaikan
pengarang melaui karya sastra mampu memberikan motivasi atau dorongan bagi
suatu
perubahan
baik
secara
individu
maupun
kolektif
(masyarakat).
kritik yang ada dalam sastra. Disamping itu membaca karya sastra memang
membutuhkan waktu yang cukup menyita dibandingkan dengan media lain.
Dibandingkan dengan film dan drama, karya sastra membutuhkan waktu yang
lebih lama. Ditambah lagi budaya membaca masyarakat kita yang memang masih
sangat rendah.
Dewasa ini tanggapan masyarakat masih sebatas golongan terdidik saja.
Para pelajar dan mahasiswa sudah mulai memahami pentingnya menelaah karya
sastra. Meskipun mereka membaca karya sastra masih sebatas sebagai hiburan,
tetap nilai-nilai moral tetap akan mempengaruhi mereka. Sehingga tidak jarang
penulis-penulis terkenal di negeri ini mulai digandrungi oleh para remaja
Indonesia.
Sastra sebagaimana yang disebutkan Horace berfungsi sebagai dulce et
utile, yaitu sebagai penghibur sekaligus berguna (Renne Wellek, dkk 1995). Dari
pengertian ini dapat dipahami bahwa peranan sastra bukan sekedar menghibur
tetapi juga mengajarkan sesuatu.
Karena perenannya yang menghibur sekaligus berguna inilah maka sastra
dianggap sebagai media yang paling efektif. Meminjam istilah yang sering
digunakan oleh Prof. Chamamah Soeratno sastra adalah means that not
transmitable by other means, karya sastra bisa dikatakan sebagai media yang tidak
tergantikan oleh media lain. Ada beberapa poin yang harus kita perhatikan
kelebihan
sastra
dibanding
dengan
media
kritik
lain.
umumnya sastra yang demikian biasanya karya sastra yang berkaitan dengan
suatu agama atau ideologi politik.
Montgomery Belgion dalam buku Renne Wellek mengatakan;
Irresponsible propagandist. That is to say, every writer adopts a view or
theory of life... the effect of the work is always to persuade the reader to
accept that view or theory. This persuasion is to say, the reader is always
led to believe something, and that assent is hypnotic-the art of the
presentation seduces the reader...
Sastra yang berkaitan dengan agama bisa kita lihat pada karya sastra
modern saat ini. Karya Helvi Tiana Rosa misalnya merupakan contoh yang paling
kongkrit dari sastra yang berbau keagamaan. Karya-karya Helvi telah
mempengaruhi kalangan muda Indonesia yang gemar membaca karya-karya sastra
islami. Dan objek dari sastra ini adalah kaum muda yang biasanya sangat optimis
terhadap kehidupan. Sastrawan-sastrawan yang seirama dengan Helvi adalah Gola
Gong, Asna Nadia, dll.
Sastra yang biasanya kontraversial dan sering menimbulkan polemik
adalah sastra yang berbau ideologi politik. Sastra yang seperti ini sering
mengkonfrotasi penguasa yang dholim. Pramudia Ananta Toer merupakan
sastrawan yang bisa dikatakan mewakili sastrawan politik. Karya-karyanya
sempat dilarang terbit oleh pemerintahan Orde Baru karena dianggap
membahayakan penguasa Suharto. Selain Pramudya masih banyak sastrawan
Indonesia yang menyerukan perlawanan terhadap kedholiman penguasa
diantaranya; Rendah, M.H. Ainun Najib, Ratna Sarumpaet, dan Nano Riantarno.
Mereka adalah sastrawan yang pernah sercara langsung dianggap berbahaya oleh
pemerintaha Orde Baru.
Adanya pelarangan atau pembredelan terhadap suatu karya sastra
menunjukan pentingnya sastra terhadap perubahan pola pikir pembacanya. Sastra
72
sastra
sebagai
pembentuk
karakteristik
masyarakat.
Sastra merupakan benteng terakhir dari kebudayaan dan peradaban kita yang
masih mampu kita pertahankan dari hempasan gelombang penjajahan ekonomi,
politik dan militer dari penjajah kafir (Jabrohim, 2005). Dengan karya sastra kita
bisa melihat betapa kejayaan masa lalu telah bisa merubah negeri ini seperti yang
kita nikmati selama ini. Dengan adanya karya sastra kita bisa melihat dan
mengerti pemikiran para pejuang dan leluhur yang telah melukiskan pemikiran
mereka dalam karya sastra yang mereka tinggalkan. Peninggalan-peninggalan
seperti hikayat, kitab-kitab, babad dan serat yang ditulis para pujangga mampu
memberikan gambaran kehebatan leluhur kita dimasa yang lalu.
Lebih lanjut sastra merupakan ekpresi identitas yang bisa digunakan untuk
memperteguh identitas suatu bangsa. Nilai-nilai yang ada dalam sastra yang sesuai
dengan nilai-nilai masyarakat tentu akan memberikan corak tersendiri dalam
masyarakat dimana sastra itu lahir. Seorang sastrawan akan memberikan nilainilai didactic sebagai kritik sekaligus peringatan kepada masyarakat. Dengan
demikian masyarakat akan menyadari kekurangan dan kekhilafan yang telah
dilakukan. Dari sinilah nilai-nilai identitas akan muncul dan terjaga karena karya
sastra itu. Sastra akan menanamkan nilai-nilai itu tampa disadari oleh siapapun.
Sastra menyajikan kehidupan, dan kehidupan sebagian besar terdiri atas
kenyataan sosial. Di samping itu, sastra mempunyai fungsi sosial atau manfaat
yang tidak sepenuhnya bersifat pribadi. Dalam masyarakat modern yang penuh
persaingan, norma-norma elit atas cepat ditiru dan cepat pula diganti dengan yang
73
baru (cf. Wellek dan Warren, 1978). Perubahan selera yang sangat cepat akhirakhir ini menunjukkan perubahan sosial yang cepat pula. Hal itu dapat
dicontohkan dengan maraknya demonstasi yang menunjukkan kekuatan rakyat
akhir-akhir ini. Selanjutnya, suatu karya sastra merupakan ekspresi dari obsesi
pengarang. Sastra yang baik akan mampu memberikan renungan bagi kita, atau
paling tidak dapat memberi kita sesuatu atau mengingatkan kita pada sesuatu.
Salah satu wujud dari sesuatu itu adalah perubahan sosial. Perubahan-perubahan
itu dapat diterima dan dapat juga ditolak bergantung pada persepsi penerimaan
masyarakatnya. Secara evolutif, perubahan itu sedikit demi sedikit dapat
mengubah pola budaya masyarakat. Akan tetapi, kadang-kadang perubahan itu
terjadi dengan drastis saat masyarakat belum siap sehingga akan muncul hentakan
dan kekagetan sosial . Dalam hal ini, sastra sebagai salah satu respon khas pribadi
seseorang dalam menyikapi kehidupannya diharapkan dapat ikut berperan dalam
perubahan sosial itu.
Dalam kehidupan, manusia tidak akan luput dari perubahan (termasuk
perubahan sosial) . Selain itu, kehidupan pada hakikatnya merupakan proses
menuju ke suatu bentuk. Alam dan manusia secara bersama-sama berproses
menuju bentuknya. Dalam berproses, masa lampau, sekarang, dan masa yang akan
datang selalu bergerak. Masa lampau menjadi lebih lampau, sekarang menjadi
masa lampau, masa yang akan datang menjadi sekarang, dan masa yang belum
datang menjadi masa yang akan datang tanpa mampu untuk ditolak. Menurut
Adler, dari segi psikologis hidup manusia diarahkan secara finalistis dan setiap
manusia mempunyai rencana hidupnya sendiri yang tidak disadarinya. Semacam
kekuatan abstrak telah menuntun manusia di dalam prosesnya. Sejalan dengan
pendapat Adler, Freud juga menyatakan bahwa jiwa tak sadar itu merupakan
pengemudi hidup
manusia
sendiri
merasakan
dan
mengetahuinya (Hall, 1959). Dalam kondisi yang demikian manusia tidak dapat
didefinisikan karena ia belum berbentuk, selalu bergerak, dan berkembang. Begitu
manusia sadar akan eksistensinya, ia sudah berada di dalam proses yang tidak
diketahui alfa dan omeganya. Selanjutnya, pada saat manusia berada di dunia ini,
saat itu pulalah manusia mulai berhadapan dengan pertanyan tentang sesuatu, baik
yang menyangkut diri sendiri maupun lingkungan. Tetapi anehnya, selalu hadir
jawaban yang tak pasti,. Ada sesuatu yang diam-diam tetap tersembunyi dalam
misterinya. Selama sesuatu itu belum terjawab, manusia akan selalu dalam
kegelisahan karena kehidupan bagi manusia tak lain adalah suatu misteri, sebuah
proses dialektika yang gelap. Petualangan mencari jawaban terhadap sesuatu itu
rasanya begitu melelahkan. Berbagai tantangan dasar kehidupan manusia seperti:
maut, cinta, harapan, tragedi, loyalitas, kekuasaan, arti dan tujuan hidup, serta
kedudukan hal-hal yang transendental dalam eksisitensi manusia akan selalu hadir
dalam kehidupannya (Sujatmoko, 1983). Dalam hal ini, manusia sebagai makhluk
yang terlibat dan berlibat akan memberikan respon yang diharapkan mampu
berperan sebagai alternatif untuk mencapai keseimbangan mentalnya. Apabila
yang memberikan respon khas pribadi itu seorang pengarang, maka respon khas
pribadi yang bersifat idiosinkretik itu paling tidak akan terasa dalam karyakaryanya. Dalam kondisi yang semacam itu muncul suatu pertanyan: Apakah
karya sastra sebagai salah satu respon khas pribadi seseorang dalam menyikapi
kehidupannya akan ikut berperan dalam perubahan sosial?
Kehadiran sastra (dalam hal ini: susastra, yaitu sastra yang baik)
merupakan salah satu sisi yang menarik untuk lebih mendalami sesuatu karena
susastra merupakan salah satu wujud dari pengalaman hidup seseorang. Susastra
menampilkan
peristiwa
kehidupan
manusia,
harapan-harapannya,
suatu dimensi peristiwa kehidupan yang lebih menyeluruh tentang manusia yang
meliputi dimensi ontologis dan dimensi metafisis (Cf. Sutardja, 1982).
Pengarang termasuk dalam golongan marginal man, yaitu manusia yang
berada dalam batas dua kebudayan atau lebih yang berbeda dan saling
bersentuhan. Masalah integrasi budaya yang mengandung banyak konflik justru
merupakan sumber kreativitas yang tidak pernah kering. Seorang pengarang yang
baik akan senantiasa merespon dan berdialog dengan masyarakat lingkungannya.
Berikut ini disajikan contoh susastra yang relatif singkat, yaitu puisi dan cerpen.
Dalam puisi, W.S. Rendra mengemukakan keberpihakannya pada rakyat jelata dan
kemarahannya pada pihak penguasa atau pemerintah. Selain itu, puisi Taufiq
Ismail menyuguhkan masalah rantai kehidupan, sedangkan Sapardi Djoko
Damono menyuguhkan masalah integrasi budaya. Selanjutnya, dalam cerpen,
Suhariyanto Soetijoso mencoba mengurai esensi seorang pembunuh .
Berikut ini Puisi W.S. Rendra
Pernyataan dari Rakyat: Menghadapi Kekuasaan yang Tidak Adil
Karena kami makan akar, dan terigu menumpuk di gudangmu
Karena kami hidup berhimpitan, dan ruanganmu berlebihan.
Maka, kita bukan sekutu.
Karena kami kucel, dan kamu gemerlapan.
Karena kami sumpek, dan kamu mengunci pintu
Maka kami mencuri kamu.
Karena kami terlantar di jalan, dan kamu memiliki semua keteduhan.
Karena kami kebanjiran, dan kamu berpesta di kapal pesiar.
Maka kami tidak menyukaimu.
Karena kami dibungkam, dan kamu nerocos bicara.
Karena kami diancam, dan kamu memaksakan kekuasaan.
Maka kami bilang, tidak! Kepadamu.
Karena kami tidak boleh memilih, dan kamu boleh berencana.
Karena kami cuma bersandal, dan kamu bebas memakai senapan.
Karena kami harus sopan dan kamu punya penjara. Maka, tidak.! dan
tidak! Kepadamu.
Karena kami arus kali, dan kamu batu tanpa hati, Maka air akan mengikis
batu.
76
dengan
anggapan
mengenai
ketidakmampuannya
menangani
Ada saatnya manusia itu berada di atas dan ada saatnya berada di bawah.
Ada saatnya mahasiswa takut pada dosennya dan ada saatnya kekuasaan tinggi
dalam hal ini presiden takut pada para mahasiswa. Dengan kata lain, dalam puisi
ini Taufiq Ismail memberi tawaran relativitas nilai yang merupakan buah dari
wawasan relational objectivity (segala sesuatu itu saling berkaitan dan selalu
berproses). Perubahan sosial yang tampak dalam puisi ini adalah pada baris akhir,
yaitu: presiden takut pada mahasiswa. Hal semacam ini belum pernah terjadi
sebelumnya (di Indonesia). Students power ini merupakan hal baru yang
membawa angin segar dalam kancah perubahan sosial di masyarakat. Nilai-nilai
lama banyak yang gugur dan nilai-nilai baru mulai bermunculan.
Hal itu terbukti sekarang dengan adanya krisis moneter yang betul-betul
terjadi dan berkepanjangan akhir-akhir ini karena ketergantungan pada produk
asing yang sangat besar. Bahkan untuk urusan makanan pokok pun ternyata
Indonesia belum mampu mandiri, misalnya: beras, kedelai, dan gandum yang
masih perlu impor. Bahkan untuk membuat plastik, sabun, dll. ternyata Indonesia
juga belum mandiri. Krisis moneter saat ini dan ketergantungan yang sangat besar
pada produk asing dapat mengancam eksistensi bangsa Indonesia sebagai bangsa
yang merdeka. Lihat saja bagaimana sekarang IMF mulai mendikte kebijakan
perekonomian Indonesia. Jadi, pada dasarnya puisi Mata Pisau merupakan
tanggapan Sapardi terhadap kebijakan penempuhan jalan pintas yang dijalankan
dengan sembrono.
Penempuhan jalan pintas ini memang sangat tepat dan menguntungkan
karena dapat secara langsung dirasakan nilai kontan kenikmatannya. Tetapi
hendaknya selalu diingat bagaimanapun baiknya suatu sarana ia tidak akan luput
dari mitos keseimbangan yaitu menguntungkan merugikan. Oleh karena itu, di
samping menempuh jalan pintas, juga harus senantiasa dipupuk kemandirian,
79
jangan sampai jalan panjang itu digilas oleh jalan pintas. Ngono yo ngono ning
ojo ngono. Itulah tema pokok yang terkandung dalam Mata Pisau.
Keseimbangan antara keduaanya merupakan satu-satunya jalan menyelamatkan
kehancuran eksistensi bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar.
Berangkat dari mitos keseimbangan, Sapardi mengingatkan bahwa segala
sesuatu itu dikuasai oleh konsep keseimbangan. Kekaburan eksistensi bangsa
Indonesia seperti yang diungkapkan dalam Mata Pisau itu adalah bukti akibat
salah langkah yang tidak memperhatikan konsep keseimbangan. Melalui bentuk
parodi dalam senjata dapat makan tuan, ia menjelmakan secara tepat mitos
keseimbangan sebagai acuan tematis. Gambaran tersebut memberi amanat
hendaknya manusia selalu eling lan waspodo dalam memaknai segala sesuatu,
memanfaatkan yang baik dan menguntungkan serta bersikap waspada terhadap
keburukan dan kerugiannya (cf. Kisyani-Laksono, 1990).
Kembali pada karya sastra AKU dan KARAWANG-BEKASI
menunjukkan koorelasi yang kuat antara kejadian sejarah pada waktu itu dengan
puisi yang disusun oleh sang penyair. AKU dan KARAWANG-BEKASI tidak
terlepas dari semangat melawan penjajahan pada waktu itu yakni pada saat pasca
kemerdekaan atau pada saat revolusi yakni perubahan yang cepat dari masa
terjajah menjadi bangsa yang merdeka. Berikut ini cuplikan peristiwa yang
mengilhami Chairil Anwar menciptakan KARAWANG-BEKASI yakni
Pembantaian di Rawagede sebagaimana disadur dari laporan Batara Hutagalung
(2005)
Di Jawa Barat, sebelum Persetujuan Renville ditandatangani, tentara
Belanda dari Divisi 1 yang juga dikenal sebagai Divisi 7 Desember, terus
memburu laskar-laskar Indonesia dan unit pasukan TNI yang masih mengadakan
perlawanan terhadap Belanda. Yang ikut ambil bagian dalam operasi di daerah
80
Karawang adalah detasemen 3-9 RI, pasukan para (1e para compagnie) dan 12
Genie veld compagnie, yaitu brigade cadangan dari pasukan para dan DST (Depot
Speciaale Troepen).
Dalam operasinya di daerah Karawang, tentara Belanda mencari Kapten
Lukas Kustario, komandan kompi Siliwangi kemudian menjadi Komandan
Batalyon Tajimalela/Brigade II Divisi Siliwangi yang berkali-kali berhasil
menyerang patroli dan pos-pos militer Belanda. Di wilayah Rawagede juga
berkeliaran berbagai laskar, bukan hanya pejuang Indonesia namun juga
gerombolan pengacau dan perampok.
Pada 9 Desember 1947, tentara Belanda di bawah pimpinan seorang
Mayor mengepung desa Rawagede dan menggeledah setiap rumah. Namun
mereka tidak menemukan sepucuk senjatapun. Mereka kemudian memaksa
seluruh penduduk keluar rumah masing-masing dan mengumpulkan di tempat
yang lapang. Penduduk laki-laki diperintahkan untuk berdiri berjejer, kemudian
mereka ditanya tentang keberadaan para pejuang Republik. Namun tidak satupun
rakyat yang mengatakan tempat persembunyian para pejuang tersebut.
Perwira Tentara Belanda kemudian memerintahkan untuk menembak mati
semua penduduk laki-laki, termasuk para remaja dan bahkan ada yang baru
berusia 11 dan 12 tahun. Beberapa orang berhasil melarikan diri ke hutan,
walaupun terluka kena tembakan. Saih, kini berusia 83 tahun menuturkan, bahwa
dia bersama ayah dan para tetangganya sekitar 20 orang jumlahnya disuruh berdiri
berjejer. Ketika tentara Belanda memberondong dengan senapan mesin - istilah
penduduk setempat: "didredet"- ayahnya yang berdiri di sampingnya tewas kena
tembakan, dia juga jatuh kena tembak di tangan, namun dia pura-pura mati.
Ketika ada kesempatan, dia segera melarikan diri.
81
Hari itu tentara Belanda membantai 431 penduduk Rawagede. Tanpa ada
pengadilan, tuntutan ataupun pembelaan. Seperti di Sulawesi Selatan, tentara
Belanda di Rawagede juga melakukan yang mereka namakan eksekusi di tempat
(standrechtelijke excecuties). Tindakan yang jelas merupakan kejahatan perang.
Diperkirakan korban pembantaian lebih dari 431, karena banyak yang hanyut
dibawa sungai yang banjir karena hujan deras.
Hujan yang mengguyur mengakibatkan genangan darah membasahi desa
tersebut. Yang tersisa hanya wanita dan anak-anak. Keesokan harinya, setelah
tentara Belanda meninggalkan desa tersebut, para wanita menguburkan mayatmayat dengan peralatan seadanya. Seorang ibu menguburkan suami dan 2 orang
putranya yang berusia 12 dan 15 tahun. Mereka tidak dapat menggali lubang
terlalu dalam, hanya sekitar 50 cm saja. Untuk pemakaman secar Islam, yaitu
jenazah ditutup dengan potongan kayu, mereka terpaksa menggunakan daun
pintu, dan kemudian diurug tanah seadanya, sehingga bau mayat masih tercium
selama berhari-hari.
Pimpinan Republik mengadukan peristiwa pembantaian ini kepada
Committee of Good Offices for Indonesia (Komisi Jasa Baik untuk Indonesia) dari
PBB. Namun tindakan Komisi ini hanya sebatas pada kritik terhadap aksi militer
tersebut yang mereka sebut sebagai "deliberate and ruthless", tanpa ada sanksi
yang tegas atas pelanggaran HAM, apalagi untuk memandang pembantaian rakyat
yang tak bedosa sebagai kejahatan perang (war crimes).
Tahun 1969 berdasarkan keputusan sidang Parlemen Belanda, Pemerintah
Belanda membentuk tim untuk meneliti kasus-kasus pelanggaran/penyimpangan
yang dilakukan oleh tentara tentara kerajaan Belanda (KL, Koninklijke
Landmacht dan KNIL, Koninklijke Nederlands-Indische Leger) antara tahun 1945
- 1950. Hasil penelitian disusun dalam laporan berjudul "Nota betreffende het
82
dan keluarga korban yang tewas dalam pembantaian akibat agresi militer, yang
sekarang mereka akui, adalah suatu kesalahan.
BAB V
KESIMPULAN
5.1. Kesimpulan
Sastra apapun bentuknya termasuk puisi, ternyata mampu mempengaruhi
masyarakat untuk melakukan perubahan sosial. Sastra merupakan media
penyampai pesan yang dapat mempengaruhi fikiran motivasi hingga sikap hidup
masayarakat yang pada akhirnya akan menggerakkan masayarakat untuk
melakukan perubahan.
Sastra dapat merangsang tumbuhnya dinamika struktural mental bagi
pembacaanya. Wellek dan Warren (1978) berpendapat bahwa sifat sosial hanya
merupakan salah satu ragam sastra dari banyak ragam lainnya Walaupun sebagai
salah satu ragam, peran susastra dalam kehidupan manusia untuk menghadapi
perubahan budaya menjadi sangat berarti dan tidak dapat diabaikan. Memang,
secara umum, sastra mempunyai tujuan dan alasan keberadaannya sendiri. Ayip
84
85
DAFTAR PUSTAKA
Abrams,M.H. 1976. A Glossary of Literay Terms.New York: Holt-Rinegart and
Winston.
Adzakiey, Hamdani Bakran.2008.Prophetic Intellegence.Yogyakarta: Al-manar.
Astrid S.Susanto, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, TK.Bica Cipta, 1979
Burhanuddin Bungin, Sosiologi Komunikasi Teori, Paradigma dan Diskursus
Chamamah, Soeratno. 2001. Pengkajian Sastra dari Sisi Pembaca:Satu
Pembicaraan Metodologi. Yogyakarta: Hanindita.
Dahana O.P. dan Bhatnagar P.P. Education And Comunication For Defelopmen,
New Delhi: Oxford & IBH Publishing Co, 1980
Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar.Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Damono, Sapardi Djoko. 1982. Mata Pisau. Jakarta: Balai Pustaka.
_______. 2006. Sastra dalam Perubahan Sosial. Yogyakarta: Pass Offset.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Umum Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, 1995
Gazalba, Sidi, Islam dan Perubahan Sosial Budaya,: Kajian Islam tentang
Perubahan masyarakat, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1983
Hall, Calvin S. 1959. Suatu Pengantar ke dalam Ilmu Jiwa Sigmund Freud. Terj.
S. Tasrif. Jakarta: Pembangunan.
Jawa Pos. 1998. Puisi Reformasi. Agustus 1998. Surabaya.
Kisyani-Laksono. 1990. Peran Susastra dalam Kehidupan Manusia. Dalam
Pelangi Bahasa dan Sastra Indonesia . Surabaya.
Nasution, Zulkarimein, Komunikasi Pembangunan: Pengenalan Teori dan
Penerapannya (ed revisi), Jakarta: Logos, 2000
Ogburn William F., Social Chang, New York: Viking Press, 1
Pradopo, Rakhmad Djoko. 1987G. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press. Rendra, W.S. 1998. Pernyataan dari Rakyat:
Menghadapi Kekuasaan yang Tidak Adil. Dalam Oposisi., no. 12 tahun I
Minggu IV, Oktober 1998. Surabaya.
Rosidi. Ayip. 1975. Puisi Indonesia I. Bandung: Peladjar.
Samsuddin, M.Din, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani,Jakarta:
Logos, 2000
Shaleh, Abd.Rasyad, Managemen Dakwah, Jakarta: Bulan Bintang, 1993
Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu
PenerbitUniversitas Indonesia, 1974
Pengantar,
Jakarta:
Yayasan
http://kisyani.wordpress.com/2010/11/17/sastra-dan-perubahan-sosial-1998/
http://eelaa.blogspot.com/2011/01/pengkajian-puisi-karawang-bekasi-karya.html
http://dhanydamopolii.wordpress.com/2011/01/24/penelitian-sastra/
http://dhanydamopolii.wordpress.com/2011/01/24/penelitian-sastra/
http://www.sigodangpos.com/2011/09/analisis-makna-puisi-aku-chairilanwar.html
http://bolangtux.wordpress.com/2011/12/25/makna-puisi-aku-chairil-anwar/
http://juwita.blog.fisip.uns.ac.id/2012/03/09/orang-orang-yang-berharga-dalamhidupku/
http://ajengbgt.blogspot.com/2012/04/apresisasi-sastra-kajian-antropologi.html
http://ajengbgt.blogspot.com/2012/04/apresisasi-sastra-kajian-antropologi.html
http://saeful-azis.blogspot.com/2012/05/analisis-makna-puisi-aku-chairilanwar.html
http://saeful-azis.blogspot.com/2012/05/analisis-makna-puisi-aku-chairilanwar.html
http://maesaroh-sya.blogspot.com/2012/05/sastra-dan-perubahan-sosial.html
http://bangkusekolah-id.blogspot.com/2012/07/pengertian-teori-tentangproses.html
http://selaludisin1.blogspot.com/2012/10/makna-puisi-aku-ciptaan-chairilanwar.html
http://maspbnaru.wordpress.com/2013/03/03/makna-puisi-krawang-bekasi-olehchairil-anwar/
http://eniph.blogspot.com/2013/04/pendekatan-sosiologis-sastra.html
http://forumsanding.wordpress.com/2013/04/11/dari-antropologi-budaya-kesastra-dan-sebaliknya/
http://zagal43.blogspot.com/2013/10/konsepsi-dasar-sosiologi-sastra.html
http://dipustaka.blogspot.com/2013/11/puisi-karawang-bekasi.html
http://dipustaka.blogspot.com/2013/11/puisi-karawang-bekasi.html
http://www.was-was.com/2013/12/kumpulan-puisi-chairil-anwar-lengkap.html
http://ssbelajar.blogspot.com/2014/01/pengertian-dan-unsur-perubahan-sosialbudaya.html
http://www.materi-sma.com/2014/03/pengertian-dan-teori-perubahan-sosial.html
88