Anda di halaman 1dari 88

DERIS ABDUROCHMAN P

V/SASTRA A
1211503022

FENOMENA SASTRA DALAM PERUBAHAN SOSIAL


MASYARAKAT DI INDONESIA
(Suatu Kajian terhadap Puisi Chairil Anwar AKU dan KARAWANGBEKASI dalam Perspektif Perubahan Sosial Masayrakat Indonesia)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Konon Marx dan Engels (1859) pernah memberikan pendapat bahwa

bukanlah kesadaran manusia yang menentukan keberadaan mereka, melainkan


keberadaan sosial yang menentukan kesadaran mereka. Ungkapan ini perlu
dikemukakan jika ingin mempertanyakan sejauh mana karya sastra dapat berperan
sebagai pendorong proses perubahan sosial.
Masalahnya,

ungkapan

bahasa

karya

sastra

pada

hakikatnya

mencerminkan suatu bentuk tata permainan bahasa tersendiri yang khas, yang
penuh berlumuran simbol, persepsi, imajinasi, dan ideologi, yang sudah tentu
cerminan suatu nilai kehidupan yang diyakini masyarakat pembacanya, yang
bahkan sering kali lebih mewujud sebagai bentuk kecendekiaan sastrawannya
daripada fungsi pragmatiknya sebagai pendorong proses perubahan sosial.
Kenyataan ini setidaknya dapat ditengok dalam mata pelajaran Sejarah
Kesusateraan, terutama yang diajarkan di sekolah formal.
Dalam periode kesusastraan di Indonesia, tema kawin paksa mewarnai
roman-roman Indonesia 1920-an seperti terlukis dalam Azab dan Sengsara
(Merari Siregar), Sitti Nurbaya (Marah Rusli), Karam dalam Gelombang
Percintaan (Abas Soetan Pamoentjak), Darah Muda (Adinegoro), atau Salah
1

Asuhan (Abdul Muis) merupakan kritik tak langsung kepada adat dan kebiasaan
buruk yang telah ketinggalan zaman. Simbolisasi, persepsi, imajinasi, dan
ideologi para pengarang Indonesia 1920-an ini dicermati dan disimplipikasi
sebagai pertentangan antara tradisionalisme dan modernisme.

Pasca kemerdekaan dunia kesusastraan Indonesia diwarnai kondisi saat itu


yakni bagaimana upaya rakyat Indonesia mempertahankan kemerdekaan yang
akan dirampas kembali oleh panjajah. Salah satu sastrawan besar saat itu adalah
Chairil Anwar.
Menurut apa yang ditulis dalam Wikipedia.org, selama hidupnya Chairil
telah menulis sekitar 94 karya, termasuk 70 puisi; kebanyakan tidak
dipublikasikan hingga kematiannya. Puisi terakhir Chairil berjudul Cemara
Menderai Sampai Jauh, ditulis pada tahun 1949, sedangkan karyanya yang paling
terkenal berjudul Aku dan Krawang Bekasi. Semua tulisannya baik yang asli,
modifikasi, atau yang diduga dijiplak, dikompilasi dalam tiga buku yang
diterbitkan oleh Pustaka Rakyat. Kompilasi pertama berjudul Deru Campur Debu
(1949), kemudian disusul oleh Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus
(1949), dan Tiga Menguak Takdir (1950, kumpulan puisi dengan Asrul Sani dan
Rivai Apin).
Puisi-puisi Chairil Anwar

memiliki karakter yang lembut hingga

provokatif. Beberpa karyanya yang terkenal hingga saat ini adalah :


1)

Deru Campur Debu (1949)

2)

Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus (1949)

3)

Tiga Menguak Takdir (1950) (dengan Asrul Sani dan Rivai Apin)

4)

"Aku Ini Binatang Jalang: koleksi sajak 1942-1949", disunting oleh


Pamusuk Eneste, kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono (1986)

5)

Derai-derai Cemara (1998)

6)

Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948), terjemahan karya Andre Gide

Bahkan Deru Campur Debu menjadi sebuah lagu yang terkenal dari
Grup Band terkenal era 80-an yakni Bani Adam yang dimotori Farid Hardja
dengan judul lagu yang sama yakni Deru Campur Debu.
Salah satu karya monumental yang mampu mempengaruhi semangat
bangsa Indonesia di masa transisi setelah kemerdekaan adalah AKU dan
KARAWANG BEKASI. Berikut ini adalah puisi AKU dan KARAWANGBEKASI.
AKU
Kalau sampai waktuku
Kumau tak seorang 'kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu!
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi!
Puisi tersebut telah diterjemahan dalam bahasa Inggeris sebagaimana
berikut ini :
When my time has come
I want none to compliment me
Not even you
I don't need that sniveling!
I'm but a wild animal
From an exiled group
Even if bullets pierce my skin
I will still enrage and attack

Wounds and poison I'll take running


Running
Until the pain leaves
And I will care even less
I want to live a thousand more years

Puisi Karawang-Bekasi Karya Chairil Anwar


Karawang-Bekasi Karya Chairil Anwar
Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak Merdeka dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi
Chairil Anwar (1948)
Tak dapat dipungkiri pada saat itu dimana sistem informasi masih sangat
terbatas, puisi mendapat tempat dihati masayrakat sebagai sumber motivasi dalam

melawan penjajah yang akan mencengkeramkan kembali kekuasaan mereka di


saat Indonesia baru diproklamasikan sebagai sebuah negara yang merdeka.
Kehadiran karya sastra tidak dapat dilepaskan dengan fenomena sosial
budaya yang lain, seperti politik, ekonomi, agama, dan sebagainya. Dalam proses
kelahiran karya sastra, baik sastra Indonesia maupun sastra lainnya, terjadi saling
keterkaitan antara penciptaan sastra dengan fenomena kehidupan masyarakatnya.
Dengan demikian tidak pernah terjadi keajegan dalarn penciptaan sastra, tetapi
senantiasa berubah dan berkembang sejalan dengan perubahan dan perkembangan
serta dinamika kehidupan masyarakat pendukungnya.
Banyak revolusi di berbagai negara diilhami oleh karya sastra, bahkan tak
jarang di sastrawan itu sendiri yang memimpin revolusi, seperti Vavlac Havel
berhasil memmimpin rakyat Cheslovakia menumbangkan rezim Causescu di
tahun 1989. Karl Marx, Lenin, Tolstoy, merupakan Sastrawan yang membangun
ideologi komunis. Yang paling revolusioner adalah Uncles Tom Cabin karya
Herriet Becher Stowe tahun 1852 yang menyulut perang budak antara Amerika
Utara dengan Amerika Selatan pada periode Presiden Abraham Lincoln.
Inilah yang mendorong dilakukannya kajian sastra terhadap puisi Chairil
Anwar AKU dan Karawang-BEKASI, mengingat karya sastra ini sarat
dengan pesan-pesan perjuangan. Untuk itu judul penelitian ini adalah
FENOMENA PUISI CHARIL ANWAR DAN PERUBAHAN SOSIAL
MASYARAKAT INDONESIA (Suatu Kajian Deskriptif Puisi AKU dan
KARAWANG-BEKASI kaitannya dengan Perubahan Sosial Masyarakat
Indonesia di masa Perjuangan).

1.2.

Identifikasi Masalah
Penelitian ini mendeskripsikan fenomena perubahan sosial yang terdapat

dalam karya sastra Chairil Anwar. Objek kajiannya adalah puisi dari Chairil
Anwar, yaitu AKU, dan KARAWANG-BEKASI.
1.3.

Maksud dan Tujuan


Maksud dari penelitian ini adalah dalam rangka memenuhi tugas akhir

mata kuliah Sosiologi Sastra, sedangkan tujuannya adalah dalam rangka


meningkatkan kemampuan analisis mahasiswa dalam mengkaji secara mendalam
sehingga timbul kesadaran bahwa sastra mampu dijadikan media dalam
melakukan perubahan sosial di masyarakat.

1.4.

Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan berbagai kegunaan baik aspek

akademis maupun aspek guna laksana, yakni :


1. Memperkaya

khazanah

keilmuan

khususnya

bidang

kajian

ilmu

kesusastraan dan kemasayarakatan, bahwa sastra bukan hanya sekedar


sebuah karya bacaan semata, namun juga dapat menggugah masyarakat
untuk melakukan perubahan.
2. Memberikan manfaat bagi peneliti untuk semakin memperdalam dan
akhirnya mencintai karya sastra yang dapat dijadikan bekal ketika terjun di
masyarakat kelak.

3. Bagi masyarakat diharapkan dapat menambah informasi dan wawasan


yang makin luas tentang sastra, bahkan makin menambah kecintaan
terhadap karya sastra bangsa sendiri.

BAB II. KAJIAN PUSTAKA


Untuk mengkaji tentang bagaimana sebuah karya sastra mampu
menjadikan perubahan sosial di masyarakat, berikut ini disajikan secara detail
tentang Sosiologi Sastra, Perubahan Sosial, dan Riwayat dari Sastrawan Khairil
Anwar yang karya sastranya merupakan objek dalam peneltiian ini. Uraian yang
disampaikan berikut ini merupakan cuplikan-cuplikan yang diambil penulis dari
berbagai sumber terutama dari situs-situs internet, dan literatur berupa studi
pustaka.

2.1. Sosiologi dan Antropologi Sastra


2.1.1. Pengertian
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989: 855) Sosiologi sastra
merupakan pengetahuan tentang sifat dan perkembangan masyarakat dari atau
mengenai sastra karya para kritikus dan sejarawan yang terutama mengungkapkan
pengarang yang dipengaruhi oleh status lapisan masyarakat tempat ia berasal,
ideologi politik dan soaialnya, kondisi ekonimi serta khalayak yang ditujunya.
Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan kemasyarakatan umum yang
merupakan hasil terakhir daripada perkembangan ilmu pengetahuan. Sosiologi
lahir pada saat-saat terakhir perkembangan ilmu pengetahuan, oleh karena
sosiologi didasarkan pada kemajuan-kemajuan yang telah dicapai ilmu-ilmu
pengetahuan lainnya. Selanjutnya Camte berkata bahwa sosiologi dibentuk
berdasarkan pengamatan dan tidak pada spekulasi-spekulasi perihal keadaan
masyarakat dan hasil- hasil observasi tersebut harus disusun secara sistematis dan
motodologis (Soekanto, 1982: 4 ).
Secara etimologi, sosiologi berasal dari kata sosio atau society yang
bermakna masyarakat dan logi atau logos yang artinya ilmu. Jadi sosiologi
dalam arti sederhana adalah ilmu tentang masyarakat atau ilmu tentang kehidupan
masyarakat. Dalam arti yang lebih luas lagi sosiologi merupakan telaah yang
objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat, telaah tentang lembaga
dan proses sosial. Sosiologi mencoba mencari tahu bagaimana masyarakat
dimungkinkan, bagaimana ia berlangsung dan bagaimana ia tetap ada. Oleh
karena itu dalam pendekatan sosiologis biasanya yang dianalisis adalah manusia

10

dalam masyarakat dengan proses pemahaman mulai dari masyarakat sampai


kedalam manusia sebagai individu.
Sosiologi sastra sebagai suatu jenis pendekatan terhadap sastra memiliki
paradigma dengan asumsi dan implikasi epistemologis yang berbeda daripada
yang telah digariskan oleh teori sastra berdasarkan prinsip otonomi sastra.
Penelitian-penelitian sosiologi sastra menghasilkan pandangan bahwa karya sastra
adalah ekspresi dan bagian dari masyarakat, dan dengan demikian memiliki
keterkaitan resiprokal dengan jaringan-jaringan sistem dan nilai dalam masyarakat
tersebut (Soemanto, 1993; Levin, 1973:56). Sebagai suatu bidang teori, maka
sosiologi sastra dituntut memenuhi persyaratan-persyaratan keilmuan dalam
menangani objek sasarannya.
Konsep sosiologi sastra didasarkan pada dalil bahwa karya sastra ditulis
oleh seorang pengarang, dan pengarang merupakan a salient being, makhluk yang
mengalami sensasi-sensasi dalam kehidupan empirik masyarakatnya. Dengan
demikian, sastra juga dibentuk oleh masyarakatnya, sastra berada dalam jaringan
sistem dan nilai dalam masyarakatnya. Dari kesadaran ini muncul pemahaman
bahwa sastra memiliki keterkaitan timbal-balik dalam derajat tertentu dengan
masyarakatnya; dan sosiologi sastra berupaya meneliti pertautan antara sastra
dengan kenyataan masyarakat dalam berbagai dimensinya (Soemanto, 1993).
Konsep dasar sosiologi sastra sebenarnya sudah dikembangkan oleh Plato dan
Aristoteles yang mengajukan istilah mimesis, yang menyinggung hubungan
antara sastra dan masyarakat sebagai cermin.
2.1.2. Pendekatan Sosiologi Sastra

11

Menurut Ratna (1984:61) dasar pendekatan sosiologis adalah adanya


hubungan hakiki antara karya sastra dengan masyarakat. Hubungan-hubungan
yang dimaksud disebabkan oleh:
a. Karya sastra yang dihasilkan oleh pengarang
b. Pengarang itu sendiri adalah masyarakat
c. Pengarang memanfaatkan kekayaan yang ada dalam masyarakat
d. Hasil karya sastra itu dimanfaatkan oleh masyarakat.
Menurut Teeuw (1984:61) anggapan yang timbul dari pendekatan karya
sastra bahwa sastra memiliki struktur yang otonom meskipun tidak dapat
dipisahkan dari latar belakangnya, yaitu masyarakat dengan segenap budaya,
tradisi, dan keberadaanya. Pendekatan sosiologis dalam karya sastra yang
memiliki struktur otonom dengan latar belakang tradisi dan budaya dimana karya
sastra merupakan cerminan dari sosial budaya suatu masyarakat tertentu pada
masa tertentu.
Sedangkan menurut Sapardi (dalam Faruk 1999:4) mengemukakan tiga
aspek yang digunakan dalam pendekatan, yang pertama adalah konteks sosial
pengarang. Hal ini berhubungan dengan posisi sosial pengarang dalam masyarakat
dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Selain itu dalam hal ini juga diteliti
bagaiman pengarang mendapatkan mata pencaharianny, sejauh mana pengarang
menganggap pekerjaannyya sebagai suatu profesi, dan masyarakat apa yang dituju
oleh pengarang. Kedua, adalah sastra sebagai cermin masyarakat yakni sastra
mencerminkan masyarakat pada waktu sastra tersebut ditulis, sejauh mana
karakter pengarang mempengaruhi gambaran masyarakat yang ingin disampaikan,

12

dan sejauh mana genre sastra yang digunakan dapat mewakili seluruh elemen
masyarakat. Ketiga, adalah fungsi sosila sastra apakah berfungsi sebagai
penghibur saja atau sebagai perombak masyarakat, dan sejauh mana terjadi
sintesis kemungkinan antara keduanya,
Menurut Wellek dan Warren (1956:84), pengklasifikasian kajian sosiologi
meliputi tiga hal, pertama sosiologi pengarang yang mempermaslahkan atau
membahas tentang status sosial, idiologi, sosiologi, dan sebagainya yang
menyangkut pengarang sebagai penghasil karya sastra. Kedua, sosiologi karya
sastra yang mempermasalahkan unsure-unsur pembentuk suatu karya sastra itu
sendiri. Hal tersebut membahas hal yang menjadi pokok permaslahan. Ketiga,
sosiologi sastra yang mempermaslahkan pembaca dengan pengaruh sosial karya
sastra.
Sosiologi dapat digunakan untuk menghindari hakikat karya sastra yang
dibahas. Nilai sosiologis dapat mengalami perubahan dalam karya sastra sesuai
dengan keinginan pengarang. Dalam pendekatan sosiologi sastra hendaklah
memperhatikan:
a.

Peralatan sastra murni yang dipakai pengarang untuk menampilkan masa


sosial dalam dunia rekaannya. Dimana karya sastra yang dibuat oleh
pengarang merupakan gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri
merupakan refleksi sosial atau kenyataan sosial

b.

Pengarang itu sendiri, lengkap dengan kesadaran dan tujuannya. Dimana


pengarang menciptakan suatu karya sastra untuk menyampaikan pesanpesan kepada pembacanya untuk dipahami dan menjadi sesuatu yang

13

bermanfaat dalam kehidupannya, dan kehidupan tersebut mencakup


hubungan antara masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan
individu, antara individu dengan individu dan antara peristiwa dalam batin
seseorang.
2.1.3. Sasaran Pendekatan Sosiologi Sastra
a. Konteks Sosial Pengarang
Konteks sosial sastrawan ada hubungannya dengan posisi sosial sastrawan
dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Dalam bidang
pokok ini termasuk juga faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi karya
sastranya. Oleh karena itu, yang terutama diteliti adalah sebagai berikut.
1) Bagaimana sastrawan mendapatkan mata pencaharian; apakah ia menerima
bantuan dari pengayom atau dari masyarakat secara langsung atau bekerja
rangkap.
2) Profesionalisme dalam kepengarangan; sejauh mana sastrawan menganggap
pekerjaannya sebagai suatu profesi.
3) Masyarakat yang dituju oleh sastrawan. Dalam hal ini, kaitannya antara
sastrawan dan masyarakat sangat penting sebab seringkali didapati bahwa
macam masyarakat yang dituju itu menentukan bentuk dan isi karya sastra
mereka (Damono, 1979: 3-4).
b. Sastra Sebagai Cermin Masyarakat
Sastra sebagai cermin masyarakat yaitu sejauh mana sastra dianggap
sebagai mencerminkan keadaan masyarakatnya. Kata cermin di sini dapat
menimbulkan gambaran yang kabur, dan oleh karenanya sering disalah artikan

14

dan disalah gunakan. Dalam hubungan ini, terutama harus mendapatkan perhatian
adalah.
1)

Sastra mungkin dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ia


ditulis, sebab banyak ciri masyarakat yang ditampilkan dalam karya sastra
itu sudah tidak berlaku lagi pada waktu ia ditulis.

2)

Sifat lain dari yang lain seorang sastrawan sering mempengaruhi


pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya.

3)

Genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu, dan
bukan sikap sosial seluruh masyarakat.

4)

Sastra yang berusaha menampilkan keadaan masyarakat yang secermatcermatnya mungkin saja tidak bisa dipercaya atau diterima sebagai cermin
masyarakat. Demikian juga sebaliknya, karya sastra yang sama sekali tidak
dimaksudkan untuk menggambarkan keadaan masyarakat secara teliti
barangkali masih dapat dipercaya sebagai bahan untuk mengetahui keadaan
masyarakat. Pandangan sosial sastrawan harus diperhatikan apabila sastra
akan dinilai sebagai cermin masyarakat (Damono, 1979: 4).

c. Fungsi Sosial Sastra


Pendekatan sosiologi berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti
Sampai berapa jauh nilai sastra berkait dengan nilai sosial?, dan Sampai berapa
jauh nilai sastra dipengaruhi nilai sosial? ada tiga hal yang harus diperhatikan.
1) Sudut pandang yang menganggap bahwa sastra sama derajatnya dengan karya
pendeta atau nabi. Dalam pandangan ini, tercakup juga pandangan bahwa
sastra harus berfungsi sebagai pembaharu dan perombak.

15

2) Sudut pandang lain yang menganggap bahwa sastra bertugas sebagai


penghibur belaka. Dalam hal ini gagasan-gagasan seni untuk seni misalnya,
tidak ada bedanya dengan usaha untuk melariskan dagangan agar menjadi
best seller.
3) Sudut pandang kompromistis seperti tergambar sastra harus mengajarkan
dengan cara menghibur (Damono, 1979: 4). Sebagai penghibur dan mendidik
(wellek:1976), dimana karya sastra selain bertujuan untuk menghibur juga
mendidik para pembaca agar mengetahui atau memahami perasaan yang
ingin disampaikan oleh pengarang melalui karya sastra.
4) Sebagai ungkapan keindahan sastrawan mengenai suatu objek, dimana lewat
sebuah karya sastra para pengarangf dapat mengungkapkan dan menuangkan
segala perasaan yang ingin diungkapkan oleh pengarang lewat sebuah tulisan
dalam karya sastra mengenai sutu objek yang ingin diungkapkan noleh
pengarang.
5) Sebagai sarana mencari uang, dimana karya sastra dapat digunakan sematamata sebagai sarana mencari uang atau untuk memenuhi kebutuhan ekonomi,
yaitu pengarang dengan menjual hasil karya sastra yang mereka buat kepada
para pembaca.
6) Karya sastra dapat digunakan sebagai propaganda, dengan karya sastra para
pengarang dapat menyampaikan suatu maksud atau pesan yang ditujukan
kepada khlayak umum/pembaca agar para pembaca melakukan pesan atau
maksud yang ada pada karya sastra tersebut, terlepas dari baik atau buruknya
pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang.

16

Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa pemahaman hubungan


masyarakat dengan sastra tidak lepas dari pemahaman terhadap fungsi,
kedudukan, dan interaksi karya tersebut dengan unsur-unsur yakni latar belakang
sosila-budaya yang mengiringinya. Sehingga dalam mempelajari sastra juga dapat
mengarah pada mempelajari masyarakatnya menyangkut nilai-nilai yang dianut,
aspirasi, tingkat kultural, pandangan hidup.
2.1.4. Hubungan Sastra dengan Sosial Budaya Masyarakat
Karya sastra tidak dapat dipisahkan dari masyarakat, karena sastra itu
sendiri merupakan cerminan dari kehidupan masyarakat yang dihasilkan oleh
pengarang yang merupakan bagian dari anggota masyarakat dan pembentukannya
pun berdasarkan desakan-desakan emosional atau rasional masyarakat.
Menurut Wellek dan Warren (1990:109) hubungan antara sastra dan
masyarakat sastra adalah intuisi sosial yang menggunakan medium bahasa. Dalam
hal ini sastra menyajikan kehidupan dan kehidupan itu sendiri sebagian besar dari
kenyataan sosial, meskipun karya sastra itu sendiri bersifat fiksi dalam artian
hanya meniru. Hal tersebut mencerminkan bahwa karya sastra memiliki kaitan
yang erat dengan intuisi sosial yang pengungkapannya menggunakan bahasa
sebagai medium penyampaian pesan antara pengarang terhadap pembaca
mengenai sebuah karya sastra.
Menurut Sasraswati (2003:78) dalam konsep structural karya sastra itu
sendiri adalah suatu totalitas dimana sastra merupakan produk dari dunia sosial
yang senantiasa berubah-ubah, merupakan suatu kesatuan dinamis yang bermakna
dan perwujudan nilai-nilai peristiwa. Karya sastra tidak dapat dipahami secara

17

selengkap-lengkapnya, apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan atau


peradaban yang telah menghasilkannya. Setiap karya sastra yang bisa bertahan
lama pada hakikatnya adalah suatu moral, baik dalam hubungannya dengan
kebudayaan sumbernya maupun hubungannya dengan orang-perorang. Masih
menurut Sasraswati (2003:78) masyarakat dapat mendekati karya sastra dengan 2
arah:
1. Sebagai suatu kekuatan atau faktor material istimewa
2. Sebagai tradisi, yakni kecenderungan spiritual maupun cultural yang bersifat
kolektif.
Dengan begitu dapat disimpulakan bahwa sastra dapat mencerminkan
perkembangan sosiologis dan dapat mencerminkan perkembangan suatu
masyarakat.
2.1.5. Pendekatan Sosiologi Sastra
Pendekatan sosiologi sastra bertujuan untuk mendapatkan gambaran
lengkap, utuh dan menyeluruh tentang hubungan timbal balik antara sastrawan,
karya sastra dan masyarakat, yakni: seberapa jauhkah nilai sastra berkaitan dengan
nilai sosial, dan seberapa jauhkah nilai sosial mempengaruhi nilai sastra. Sastra
dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial. Sastra yang ditulis pada suatu kurun
waktu tertentu langsung berkaitan dengan norma-norma dan adat istiadat zaman
itu. Pengarang mengubah karyanya selaku seorang warga masyarakat pula
(Luxenburg, Bal, dan Willem G. W. terjemahan Dick Hartoko. 1084: 23 ).Lebih
lanjut dikatakan bahwa hubungan antara sastra dan masyarakat dapat diteliti
dengan cara:

18

1. Faktor-faktor di luar teks, gejala kontek sastra, teks itu tidak ditinjau.
Penelitian ini menfokuskan pada kedudukan pengarang dalam masyarakat,
pembaca, penerbitan dan seterusnya. Faktor-faktor konteks ini dipelajari
oleh sosiologi sastra empiris yang tidak dipelajari, yang tidak
menggunakan pendekatan ilmu sastra.
2. Hal-hal yang bersangkutan dengan sastra diberi aturan dengan jelas, tetapi
diteliti dengan metode-metode dari ilmu sosiologi. Tentu saja ilmu sastra
dapat mempergunakan hasil sosiologi sastra, khususnya bila ingin meniti
persepsi para pembaca.
3. Hubungan antara (aspek-aspek ) teks sastra dan susunan masyarakat
sejauh mana system masyarakat serta jaringan sosial dan karyanya,
melainkan juga menilai pandangan pengarang.
Pendekatan sosiologi sastra merupakan hubungan antara satra dan
masyarakat, literature is an exspreesion of society, artinya sastra adalah ungkapan
perasaan masyarakat. Maksudnya masyarakat mau tidak mau harus mencerminkan
dan mengespresikan hidup ( Wellek and Werren, 1990: 110 ).
Hubungan yang nyata antara sastra dan masyarakat oleh Wellek dan
Werren dapat diteliti melalui:
1. Sosiologi Pengarang
Menyangkut

masalah

pengarang

sebagai

penghasil

Karya

satra.

Mempermasalahkan status sosial, ideologi sosial pengarang, dan ketertiban


pengarang di luar karya sastra.
2. Sosiologi Karya Sastra

19

Menyangkut eksistensi karya itu sendiri, yang memuat isi karya sastra, tujuan,
serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri, dan yang berkaitan
masalah-masalah sosial.
3. Sosiologi Pembaca
Mempermasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya tersebut, yakni sejauh
mana dampak sosial sastra bagi masyarakat pembacanya ( Wellek dan Werren,
1990: 111 ).
Beberapa pengertian dan pendapat di atas menyimpulkan bahwa
pendekatan sosiologi sastra adalah pendekatan terhadap karya sastra dengan tidak
meninggalkan segi-segi masyarakat, termasuk latar belakang kehidupan
pengarang dan pembaca karya sastra. Karya sastra kita kenal sebagai karya
imajinasi yang lahir bukan atas kekososngan jiwa namun juga atas realitas yang
terjadi di sekeliling penarang. Hal ini tentu tidak lepas dari unsure yang
membangun karya sastra tersebut yang meliputi unur intrinsik (unsure yang
membangun karya sastra dari dalam dan unsure ekstrinsik (unsure yang
membangun karya sastra dari luar). Salah satu contoh kajian sktrinsik karya sastra
adalag konflik sosial yang hal tersebut tercakup dalam kajian sosiologi sastra.
Sosiologi sastra merupakan kajian ilmiah dan objektif mengenai manusia
dalam masyarakat, mengenai lembaga dan proses sosial . Sosiologi mengkaji
struktur sosial dan proses sosial termasuk didalamnya perubahan-perubahan sosial
yang mempelajari lembaga sosial. agama, ekonomi, politik dan sebagainya secara
bersamaan dan membentuk struktur sosial guna memperoleh gambaran tentang
cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, mekanisme

20

kemasyarakatan dan kebudayaan. Sastra sebagaimana sosiologi berurusan dengan


manusia ; karena keberadaannya dalam masyarakat untuk dinikmati dan
dimanfaatkan oleh masyarakat itu sendiri.
Sastra sebagai lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai
mediumnya karena bahasa merupakan wujud dari ungkapan sosial yang
menampilkan gambaran kehidupan. Menurut Wolf terjemahan Faruk mengatakan,
Sosiologi kesenian dan kesusastraan merupakan suatu disiplin ilmu yang tanpa
bentuk; tidak terdefinisikan dengan baik , terdiri dari sejumlah studi empiris dan
berbagai percobaan pada teori yang agak lebih general; yang masing-masing
hanya mempunyai kesamaan dalam hal bahwa semuanya berurusan dengan antara
seni dan kesusasteraan dengan masyarakat ( 199 : 3 ).
Mengenai ragam pendekatan terhadap karya sastra kajian sosiologis
mempunyai tiga klasifikasi ( Wellek dan Warren : 1986 ) (a) Sosiologi pengarang
(b) Sosiologi karya sastra (c) Sosiologi sastra dalam sosiologi pengarang .
wilayahya mencakup dan memasukkan status sosial , ideologi sosial dan lain
sebagainya menyangkut pengarang, dalam hal ini berhubungan posisi sosial
pengarang dalam masyarakat dan hubungannya dengan rnasyarakat sastra :
mengenai sosiologi karya sastra, yaitu mempennasalahkan karya sastra itu sendiri
dengan kata lain menganalisis struktar karya dalam hubungannya antara karya
seni dengan kenyataan dengan tujuan menjelaskan apa yang dilakukan dalam
proses membaca dan memahami karya sastra sosiologi sastra, wilayah
cakupannya dan memasalahkan pembaca sebagai penyambut dan penghayat karya

21

sastra serta pengaruh sosial karya sastra terhadap pembaca atau dengan kata lain
memasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat.
Penelaahan unsur sosiologis karya sastra khususnya roman juga dikaitkan
dengan sistem kemasyarakatan karena dalam sistem ini terjadi interaksi sosial
yang cenderung menghasilkan suatu kebudayaan .Dimana di dalamnya mengatur
cara manusia hidup berkelompok clan berinteraksi dalam jalinan hidup
bermasyarakat. Hal ini berpengaruh terhadap kehidupan manusia yang mengalarni
berbagai modernisasi. Manusia dalam menjalani kehidupan manusia harus
menyadari akan kefanaan hidup itu sendiri.

2.1.6. Antropologi Sastra


Secara umum, antropologi diartikan sebagai suatu pengetahuan atau kajian
terhadap perilaku manusia. Antropologi melihat semua aspek budaya manusia dan
masyarakat sebagai kelompok variabel yang berinteraksi. Sedangkan sastra
diyakini merupakan cermin kehidupan masyarakat pendukungnya. Bahkan, sastra
menjadi ciri identitas suatu bangsa.
Antropologi sastra (dianggap) menjadi salah satu teori atau kajian sastra
yang menelaah hubungan antara sastra dan budaya terutama untuk mengamati
bagaimana sastra itu digunakan sehari-hari sebagai alat dalam tindakan
bermasyarakat. Kajian antropologi sastra adalah menelaah struktur sastra (novel,
cerpen, puisi, drama, cerita rakyat) lalu menghubungkannya dengan konsep atau
konteks situasi sosial budayanya. Pendekatan antropologi sastra cenderung
diterapkan dengan observasi jangka panjang. Pendekatan ini juga kerap
bersentuhan dengan kajian antropologi sastra.

22

Pada gilirannya, antropologi sastra, tampil untuk mencoba menutup


kelemahan dan kekurangan yang ada pada telaah teks sastra itu (analisis secara
structural). Atau sebaliknya melalui sastra, kelemahan dan kekurangan data
budaya dapat tertutupi. Jadi secara umum, antropogi sastra dapat diartikan sebagai
kajian terhadap pengaruh timbal balik antara sastra dan kebudayaan.
Secara harfiah, sastra merupakan alat untuk mengarahkan, mengajar,
memberi petunjuk, dan intruksi yang baik. Sedangkan kebudayaan adalah
keseluruhan aktivitas manusia, termasuk pengetahuan, kepercayaan, moral,
hukum, adat-istiadat, dan kebiasaan-kebiasaan lain yang diperoleh dengan cara
belajar, termasuk pikiran dan tingkah laku. Jadi, sastra dan kebudayaan berbagi
wilayah yang sama, aktivitas manusia, tetapi dengan cara yang berbeda, sastra
melalui

kemampuan

imajinasi

dan

kreativitas

(sebagai

kemampuan

emosionalitas), sedangkan kebudayaan lebih banyak melalui kemampuan akal,


sebagai kemampuan intelektualitas. Kebudayaan mengolah alam hasilnya adalah
perumahan, pertanian, hutan, dan sebagainya. Sedangkan sastra mengolah alam
melalui kemampuan tulisan, membangun dunia baru sebagai dunia dalam kata,
hasilnya adalah jenis-jenis karya sastra, seperti: puisi, novel, drama, cerita-cerita
rakyat, dan sebagainya.
Pada prinsipnya hubungan antara sastra dan kebudayaan (antropologi
sastra, sosiologi sastra, atau fsikologi sastra) lahir karena analisis dengan
memanfaatkan teori-teori strukturalisme terlalu asik dan monoton dengan unsurunsur intrinsik (tema, alur, penotokohan, latar) sehingga melupakan aspek-aspek
yang berada diluarnya, yaitu aspek sosiokulturalnya. Intensitas hubungan antara

23

sastra dan kebudayaan juga dipicu lahirnya perhatian terhadap kebudayaan,


sebagai studi kultural.
Kenyataan menunjukkan bahwa telah terjadi kesalahpahaman dalam
menjelaskan hubungan sekaligus peranan sastra terhadap studi kebudayaan.
Kesalahan tersebut sebagian besar diakibatkan oleh adanya perbedaan dalam
menyimak hakikat sastra sebagai imajinasi, rekaan, dan kreativitas, termasuk
pemakaian bahasa metaforis konotatif. Dalam hubungan inilah disebutkan bahwa
kenyataan dalam karya sastravsebagai kenyataan yang mungkin telah dan akan
terjadi.
Penelitian terhadap dongeng, yang sebagian besar isinya adalah khayalan,
tidak dengan sendirinya akan menghasilkan penelitian yang bersifat khayalan.
Sebuah cerpen dengan tokoh utama tanpa kepala, misalnya, hasil analisisnya akan
memberikan kesimpulan bahwa pada suatu masa tertentu, telah lahir para
pemimpin yang tidak bijaksana sebab para pemimpin tidak memiliki otak.
Analisis bait dan baris-baris puisi Chairil Anwar, Aku Ini Binatang Jalang tidak
berarti manusia sama dengan binatang, sebagai analisis biologis, melainkan
melalui pemahaman sifat manusia pada saat tertentu, dalam hal ini masa
penjajahan. Pada saat itu, bangsa Indonesia mengidentifikasikan dirinya sebagai
binatang buas. Kebenaran hasil analisis ini tentunya setelah dikaitkan dengan
berbagai maslah lain (ekstrinsik). Dalam hal inilah terkandung peranan sastra
dalam studi kultural. Karya sastra adalah rekaman peristiwa-peristiwa
kebudayaan.

24

Masalah-masalah perempuan Indonesia, misalnya dapat dijelaskan lebih


mendalam setelah membaca novel-novel Balai Pustaka, Pujangga Baru, dan
novel-novel populer yang terbit tahun 1970-an. Kehidupan priyayi Jawa dapat
dipahami secara intens melalui Para Priyayi (Umar Kayam), kasta di Bali melalui
Tarian Bumi (Oka Rusmini), ronggeng di Jawa melalui karya-karya Ahmad
Tohari, komunisme di Indonesia melalui karya-karya para pengarang Lekra.
Tanggapan masyarakat Barat terhadap Timur terkandung dalam beberapa karya
Shakespeare.
Sebagai dimensi pluralitas, teks (sastra) menampilkan keragaman budaya
Sastra modern seperti: novel, puisi, cerpen, dan drama, demikian juga sastra lama
seperti: babad, dongeng, dan cerita rakyat termasuk peribahasa, humor, pantun,
dan berbagai tradisi lisan yang lain, merupakan objek studi kebudayaan yang kaya
dengan nilai. Sebagai dimensi pluralitas, teks (sastra) menampilkan keragaman
budaya, menembus makna di balik gejala. Dan untuk menembus makna di balik
gejala itu diciptakan jalan dan jembatan, antropologi sastra salah satunya.
2.2. Perubahan Sosial
2.2.1. Pengertian
Perubahan sosial dalam perspektif ekonomi, politik dan budaya oleh para
teoretisi evolusi telah digunakan dengan label yang saling berbeda baik untuk
karakteristik yang lama maupun yang baru. Tonnies dengan konsep gemeinschafts
dan getsellschaft, kerukunan organik dan mekanik dari Durkheim, masyarakat
militer dan industri dari Spencer, Comte dengan tahap-tahap teologi, metafisika
dan positivistik.

25

Asumsi teori evolusi dari pemikiran Comte (dalam So, 1990:10) yang
dikembangkan lebih lanjut oleh pakar dari aliran modernisasi adalah:
1.

Diasumsikan bahwa perubahan sosial berlangsung secara satu arah yaitu


dari kondisi tradisional bergerak ke arah masyarakat yang lebih maju.
Perubahan-perubahan yang terjadi juga berpengaruh terhadap seperangkat
nilai dari anggapan-anggapan dalam masyarakat pada proses evolusi yang
berlangsung.

2.

Diasumsikan bahwa perubahan sosial rata-rata berlangsung secara


lamban, berangsur-angsur, sepotong demi sepotong, secara keseluruhan
berlangsung secara evolusi bukan revolusi.
Mengacu kepada Soekanto (1985) Perubahan diartikan sebagai suatu hal

atau keadaan berubah, peralihan dan pertukaran. Dengan demikian perubahan


adalah sebuah proses yang mengakibatkan keadaan sekarang berbeda dengan
keadaan sebelumnya, karena mengalami perubahan atau pertukaran. William
F.Ogburn memberi batasan terhadap makna perubahan social hanya pada unsurunsur kebudayaan. Kingsley Davis berpendapat bahwa perubahan sosial adalah
perubahan dalam struktur masyarakat. Misalnya dengan timbulnya organisasi
buruh dalam masyarakat kapitalis, terjadi perubahan-perubahan hubungan antara
buruh dan majikan, selanjutnya perubahan-perubahan organisasi ekonomi dan
politik.
Perubahan memiliki aspek yang luas, termasuk didalamnya yang berkaitan
dengan nilai, norma, tingkah laku, organisasi social, lapisan social, kekuasaan,
wewenang dan intraksi social. Menurut Koenjaraningrat perubahan social itu

26

sendiri mencakup nilai-nilai yang bersifat material maupun budaya tertentu untuk
mencapai tujuan bersama. Dengan demikian masayarakat adalah kelompok social
yang mendiami suatu tempat. Istilah social itu sendiri dipergunakan untuk
menyatakan pergaulan serta hubungan antara manusia dan kehidupannya, hal ini
terjadi pada masyarakat secara teratur, sehingga cara hubungan ini mengalami
perubahan dalam perjalanan masa, sehingga membawa pada perubahan
masyarakat.
Perubahan adalah proses sosial yang dialami oleh masyarakat serta semua
unsur-unsur budaya dan system social, dimana semua tingkatan kehidupan
masyarakat secara sukarela atau dipengaruhi oleh unsur-unsur eksternal
meninggalkan pola-pola kehidupan, budaya dan system social lama kemudian
menyesuaikan diri atau menggunakan pola-pola kehidupan, budaya, dan system
social baru. Sebagaimana telah diungkapkan di atas perubahan itu adalah sebagai
suatu hal atau keadaan berubah, peralihan dan pertukaran, maka perubahan itu
sendiri terjadi membutuhkan sebuah proses sehingga akan mengakibatkan
terjadinya perubahan sosial. Dengan demikian perubahan adalah suatu proses
yang mengakibatkan keadaan sekaran berbeda dengan keadaan sebelunya.
2.2.2. Teori Perubahan Sosial
Masyarakat selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Ada yang
menganggap bahwa perubahan tersebut tak ubahnya sebuah siklus yang selalu
berputar dan tidak ada akhirnya. Adapula yang beranggapan bahwa suatu
perubahan pasti mengacu pada kondisi yang lebih baik. Ada pula yang
beranggapab bahwa tidak mungkin terjadi perubahan jika tidak ada pemicu,

27

seperti sebuah hubungan yang timbale balik. Berikut ini adalah beberapa
pandangan atau perspektif perubahan social yang dikemukakan oleh para ahli.
Perubahan sosial dalam perspektif ekonomi, politik dan budaya oleh para
teoretisi evolusi telah digunakan dengan label yang saling berbeda baik untuk
karakteristik

yang

lama

maupun

yang

baru.

Tonnies

dengan

konsep

gemeinschaft/komunitas dan getsellschaft/masyarakat, kerukunan organik dan


mekanik dari Durkheim, masyarakat militer dan industri dari Spencer, Comte
dengan tahap-tahap teologi, metafisika dan positivistik.
Asumsi teori evolusi dari pemikiran Comte (dalam So, 1990:10) yang
dikembangkan lebih lanjut oleh pakar dari aliran modernisasi adalah:
1)

Diasumsikan bahwa perubahan sosial berlangsung secara satu arah yaitu


dari kondisi tradisional bergerak ke arah masyarakat yang lebih maju.
Perubahan-perubahan yang terjadi juga berpengaruh terhadap seperangkat
nilai dari anggapan-anggapan dalam masyarakat pada proses evolusi yang
berlangsung.

2)

Diasumsikan bahwa perubahan sosial rata-rata berlangsung secara


lamban, berangsur-angsur, sepotong demi sepotong, secara keseluruhan
berlangsung secara evolusi bukan revolusi.

1. Teori Fungsionalisme Struktural


Fungsionalisme menurut Craib (1983 : 97) dikembangkan Comte dan
Spencer, didorong Durkheim bergerak ke arah perspektif fungsionalisme
struktural yang didukung oleh Malinowski dan Radcliffe Brown. Pada akhir 1950an Talcott Parsons mengembangkan faham fungsionalisme struktural di Amerika.

28

Asumsi-asumsi dasarnya adalah seluruh struktur sosial atau minimal yang


diprioritaskan, menyumbangkan terhadap suatu integrasi dan adaptasi sistem yang
berlaku. Eksistensi atau kelangsungan struktur dan pola struktur yang telah ada
dijelaskan melalui konsekuensi-konsekuensi atau efek-efek dimana kedua aspek
tersebut bermanfaat dalam permasalahan masyarakat. Para fungsionalis umumnya
beranggapan bahwa suatu pola yang ada telah memenuhi kebutuhan sistem yang
vital dan menjelaskan eksistensi pola tersebut.
Beberapa konsep dasar dalam teori ini perlu didefinisikan terlebih dulu.
Masyarakat sebagai suatu sistem tindakan memiliki ciri-ciri :
Melibatkan suatu kemajuan individu yang berinteraksi pada suatu kelompok
yang setidak-tidaknya diambil dari masing-masing bagian melalui reproduksi
anggota secara seksual dari pluralitas tersebut.
Merupakan unsur pemenuhan diri terhadap tindakan pluralitas tersebut.
Kemampuan yang eksistensinya lebili lama dari pada jarak kehidupan
seorang individu (Levy Jr. dalam Zeitlin, 1995:4)
Kritik yang dilancarkan terhadap karakteristik fungsionalisme berupa
kekurangjelasan dan kurang konsisten dan tuntas dalam pendefinisian atau
perbedaan. Begitu pula dengan definisi masyarakat dan sistem sosial yang masih
samar dan terlalu umum sehingga tidak bermakna. Konsep tersebut tidak jelas
membedakan berbagai jenis kelompok sosial seperti keluarga, organisasi formal,
komunitas kedaerahan dan sebagainya yang merupakan bagian dari sistem sosial.
Jika konsep masyarakat atau sistem sosial yang dirujuk sudah tidak jelas dan tidak

29

tepat maka bagaimana dapat menjelaskan mengenai kebutuhan-kebutuhan sistem,


yang secara jelas dapat dipenuhi oleh berbagai struktur tersebut.
2. Teori Interaksi Simbolik
Craib (1983 : 112) Teori interaksi simbolik menekankan bahwa dunia
terbentuk oleh percakapan-percakapan, baik yang sifatnya internal maupun
eksternal.

Perkembangan

sosial

menyebabkan

dan

disebabkan

oleh

perkembangan kreativitas individu. Hal ini juga berhubungan dengan basis


sosialnya dalam kehidupan orang Amerika, dengan penekanan mereka pada
persamaan, kebebasan individu dan mobilitas sosial.
Asumsi-asumsi interaksionisme simbolik menurut Blumer (dalam Craib,
1983 : 112) adalah :
1.

Manusia bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna-makna yang dimiliki bendabenda itu bagi mereka.

2.

Makna-makna itu merupakan basil dari interaksi sosial dalam masyarakat manusia.

3.

Makna dimodifikasikan melalui suatu proses penafsiran yang digunakan oleh setiap
individu dalam keterlibatannya dengan tanda yang dihadapinya.
Hal-hal yang berhubungan dengan ketiga bagian dari Mind, Self and

Society dari Mead. Titik-tolak pemikiran Mead adalah diskusi mengenai ciri-ciri
terpenting yang memisahkan manusia dari binatang. Seperti banyak pemikir
lainnya, dia membicarakan tentang bahasa atau "simbol-signifikan", dan dia
tertarik untuk merinci implikasi dari hal ini. Binatang-binatang terlibat dalam
konversasi/kontak gerak-gerik, tetapi akan salah kalau dikatakan bahwa mereka
berkomunikasi seperti manusia.

30

2.2.3. Model - Model Perubahan Sosial


Merujuk pada pendapat Abraham (1991) model-model dominan dalam
perubahan sosial terdiri dari lima model yakni :
a) Model Struktur
Model struktur dalam pendekatannya menekankan pada makro sosiologis
untuk melukiskan proses modernisasi dalam mengubah dan mengartikulasikan
pengaturan kelembagaan, atribut- atribut sistemik dan kesesuaian struktur yang
ada dalam suatu masyarakat. Model ini menginterpretasikan modernisasi
terutama dalam pengertian kolektivitas, konteks-konteks organisasional dan
prasyarat fungsional bukan individu dan orientasi nilainya.
Masalah

modernisasi

yang

utama

berupa

kecenderungan-

kecenderungan yang melekat pada transformasi sistem. Sementara itu


pendekatan holistik terhadap modernisasi dilakukan Levy Jr pendekatannya
meliputi semua hal yang berkaitan dengan struktur dan prasyarat fungsional
yang membedakan antara masyarakat relatif modern dan masyarakat relatif
belum modern. Pendekatan ini berhasil mengembangkan suatu taksonomi
umum. Levy (1966 172) menguraikan transformasi struktural masyarakat,
dengan mengidentifikasikan lima aspek sistem sosial yang mengalami
modifikasi secara mendasar.
Kelima aspek itu meliputi diferensiasi peranan solidaritas, alokasi
ekonomi alokasi politik, integrasi dan ekspresi. Modernisasi akan diikuti
terjadinya diversifikasi yang makin besar pada diferensiasi peranan. Unit
kekerabatan merupakan fokus solidaritas yang paling pokok dengan adanya

31

transisi ke arah keluarga yang multilateral, namun struktur-stuktur solidaritas


lainnya secara hierarkis sering berubah.
(b) Model Budaya
Penekanan dalam model budaya banyak diberikan pada perubahanperubahan dalam struktur normatif masyarakat. Fokusnya terutama pada
seperangkat nilai yaug mampu mendorong dan menghambat dalam dinamika
modernisasi. Walaupun titik berat model ini pada aspek normatif, tidak berarti
menolak variabel-variabel struktural. Seperti dikemukakan Upset (dalam
Abraham, 1991:53) : "Kondisi-kondisi struktural memungkinkan adanya
perkembangan sementara faktor-faktor budaya menentukan kemungkinankemungkinan tersebut menjadi aktual/kenyataan". Dengan demikian dalam model
budaya faktor-faktor struktural memiliki arti penting, namun nilai-nilai budaya
merupakan prasyarat dalam modernisasi.
Para ahli dari model budaya memiliki pandangan, memodernkan
masyarakat tradisional melalui difusi nilai-nilai dan sifat-sifat budaya yang
menandai masyarakat maju. Dengan demikian pendekatan dalam model budaya
mengacu pada determinisme budaya. Para pakarnya biasa disebut difusionis nilai
menimbulkan organisasi yang makin terspesialisasi dan birokratis.
(c) Model Psikologis
Asumsi dasar dari model ini adalah bahwa serangkaian perubahan positif
dalam struktur kepribadian para aktor/pelaku sosial merupakan bidang yang
terbuka terhadap proses modernisasi dari suatu sistem sosial yang ada. Menurut
perspektif ini penekanan terletak pada pola perubahan perilaku, sistem-sistem

32

kepercayaan atau atribut-atribut kepercayaan. Modernisasi dijabarkan dalam


kerangka profil karakter, kecenderungan psikologis yang positif dan sindrom
sikap-sikap modern.
Dalil McClelland tentang motif berprestasi banyak dijadikan sumber
rujukan para eksponen model psikologis. Thesis utama Mc Clelland adalah
"Suatu masyarakat yang secara umum memiliki tingkat n Ach yang
tinggi akan menghasilkan lebih banyak wiraswasta energik yang pada
giliran berikutnya, mendorong perkembangan ekonomi nasional secara
pesat" (Mc Clelland, 1961:20)
Hagen (dalam Abraham, 1991:80) pun berpendapat senada dengan
McClelland dalam hal pendidikan internal dalam keluarga. Melalui teori Psiko
Analitik perubahan sosial, untuk berlangsungnya perubahan sosial dimulai
dengan praktek membesarkan dan mendidik anak dalam keluarga. Anggapan Mc
Clelland bahwa motivasi berprestasi merupakan satu-satunya variabel mendasar
yang menentukan tingkat pertumbuhan ekonomi dalam suatu masyarakat secara
sederhana dan langsung ditepis oleh Yoseph Kahl. Kahl dalam Abraham
(1991:79) menegaskan bahwa :
"motivasi berprestasi bukan satu-satunya dimensi, nankin ada empat
komponen lain yaitu aktivisme atau ketuntasan keyakinan
independenai keluarga pengutamaan pekerjaan atau prestasi".
Mc Clelland mengabaikan blokade struktural, inkonsitensi dan
hambatan-hambatan yang ada dalam sistem sosial yang berada antara aspirasi dan
prestasi. Sementara motivasi berprestasi itu sendiri memiliki kemungkinan dan
peluang untuk menjadi suatu fungsi yang sangat melembaga fungsi sistem
stratifikasi yang akan mendistribusikan motivasi secara berbeda dan tidak merata
pada strata sosial yang berbeda.
(d) Model Konflik

33

Para eksponen model konflik memusatkan perhatian pada konflik nilai


atau otoritas, gerakan populisme dan sosial, konflik antara individu dan
masyarakat, protes radikal, distribusi keinginan yang saling berbeda serta
persaingan antara ruang lingkup kelembagaan yang berbeda. Mereka berupaya
menganalisis proses perubahan sosial mengikuti istilah-istilah antagonisme kelas
dan revolusioner, ketidakseimbangan dan pergolakan-pergolakan yang tidak
tampak/disensus. Terdapat tiga teori konflik yang relevan dengan proses
perubahan sosial yaitu teori-teori Maxis, teori-teori perjuangan kekuasaan dan
teori-teori revolusi yang diharapkan.
(e) Model Proses
Model-model proses menjelaskan perubahan sosial dari sudut pandarg
proses-proses besar tertentu seperti komunikasi, urbanisasi, industrialisasi,
sekularisasi dan westernisasi yang menggerakan rantai akibat-akibat yang
mengganggu di negara-negara berkembang. Model proses memberikan
penekanan yang berbeda dari keempat model lainnya yang telah dihahas terlebih
dahulu. Keempat model lainnya menjelaskan relevansi sistem-sistem konflik
antara sistem-sistem atau struktur kepribadian terhadap perubahan sosial. Dengan
demikian penekanan yang diberikan pada model-model struktural, budaya,
psikologis dan konflik terhadap aspek-aspek kesesuaian kuitural dan atributatribut psikologis telah mengalami peralihan pada proses-proses tertentu yang
secara terus menerus memacu, mendorong dan menopang dinamika perubahan
sosial dari proses model.
(f) Model Proses dari Komunikasi

34

Para eksponen teori komunikasi memandang komunikasi massa sebagai


suatu sarana dan atau katalisator dalam proses perubahan sosial. Schramm
memberikan banyak pemikiran dalam pembangunan. Menurutnya media massa
dapat mempercepat proses pendidikan dan pengalaman yang merangsang ke arah
perubahan sosial melalui penyebaran informasi. Schramm menegaskan bahwa :
"Tidak ada sesuatu untuk masa depan kecuali pendidikan formal yang
memungkinkan potensi untuk membawa gagasan baru dan keterampilan
baru dari kota-kota modern ke desa-desa tradisional, membangun
semangat kebangsaan disuatu negara baru. Namun media massa lebih
cepat dan tangkas dari pendidikan formal dan mampu menjangkau
seluruh penduduk dengan fungsi media massa sebagai pengali/multiplier
yang besar" (Schramm, 1964:252).
Sebagaimana diketahui fungsi media massa untuk informasi, pendidikan
dan hiburan. Melalui karakteristik yang dimilikinya media massa mampu
memperluas horizon, memfokuskan perhatian, meningkatkan aspirasi dan
menciptakan iklim bagi perkembangan. Seperti dikemukakan Pye, media massa
dapat mendorong suatu tingkat ketidakpuasan terhadap keadaan yang ada dengan
meningkatkan keinginan untuk memperoleh cara-cara hidup yang lebih baik.
Dengan demikian masyarakat. perlu didorong perkembangannya dengan
merangsang ke arah kegiatan ekonomi yang lebih intens (dalam Lerner dan
Schramm,1967:38).
Walaupun komunikasi merupakan katalisator dalam proses perubahan
sosial , pada kenyataannya perkembangan media massa itu tidak selalu mulus.
Kehidupan media massa berkait erat dengan idaologi yang dianut suatu negara. Di
negaranegara komunis kekuatan besar yang diiniliki media inassa dipandang
sebagai manipulator untuk politik, sehingga kehidupannya dikendalikan

35

partai/pemerintah sebaliknya di negara-negara non komunis pengembangan media


massa hanya memperoleh prioritas yang amat rendah dalam anggaran nasional.
(g) Model Urbanisasi
Dalam masalah urbanisasi terdapat pandangan berbeda yang memerlukan
pengkajian lebih lanjut yaitu apakah pemusatan penduduk di perkotaan di negaranegara berkembangan merupakan faktor positif atau negatif dalam pembangunan
nasional. Beberapa ilmuwan sosial berpandangan positif terhadap migrasi dari
desa ke kota dalam proses perubahan sosial . Kota berpotensi besar dan memiliki
variasi yang lebih besar pula untuk perubahan sosial dari pada kawasan pedesaan.
Abraham (1991:133) berpendapat bahwa : Para migran yang diterpa
media massa siap berpartisipasi dalam politik dan akhirnya berintegrasi.
Penduduk yang lebih besar dengan kepadatan yang semakin meningkat
memungkinkan terjadinya diferensiasi struktural dan spesialisasi yang lebih besar
pula. Kota menyediakan fasilitas pendidikan dan merangsang penduduk untuk
mencapai tingkat pendidikan yang lebih tinggi yang diperlukan guna memenuhi
kebutuhan teknologi baru. Selain itu kota juga lebih memudahkan partisipasi
sosial dan politik yang lebih bestir, peluang kerja bagi wanita. yang luas,
kemudahan mencapai status dan tersedianya sejumlah besar lapangan baru untuk
mobilitas sosial.
(h) Model Industrialisasi
Industrialisasi juga merupakan salah satu dari serangkaian varian dalam
proses perubahan sosial . Sementara ini banyak pakar ilmu sosial yang
berpendapat bahwa industrialisasi sebagai persyaratan utama perubahan sosial .

36

Industrialisasi akan mampu mendongkrak laju pertumbuhan ekonomi, karena


produk-produknya yang massal dan standar, prosesnya yang menuntut teknologi
karena mekanisasi.
Moore (1965:34) menjelaskan dinamika perubahan sosial menimbulkan
implikasi-implikasi industrialisasi yang bersifat sosial. Di satu sisi urutan dan
waktu kegiatan diatur oleh mesin, di sisi lain hubungan-hubungan di antara
pekerja ditentukan secara teknologis. Maka hubungan-hubungan kerja pun
cenderung menjadi spesifik, impersonal dan netral sedangkan pengangkatan para
pekerja didasarkan pada kriteria-kriteria yang universal. Selain itu mekanisasi
dalain industrialisasi menuntut keterampilan teknik dan administrasi yang lebih
canggih.
Hal ini akan menumbuhkan distribusi pekerjaan yang lebih besar selain
tingkat spesialisasi pekerjaan yang lebih tajam sehingga akan mempermudah
mobilitas status dalam karier pekerjaan selain antar generasi satu ke generasi
berikutnya.
2.3. Kerangka Pemikiran
Karya sastra (sastra) adalah karya pengarang anggota masyarakat yang
merupakan karya seni (art) yang estetik, bermedium bahasa, bermakna universal,
dan menggambarkan fenomena sosial. Karya sastra memiliki fungsi dan peran
dalam kehidupan sosial masyarakat. Hal ini dilandasi bahwa kodrat karya sastra
adalah produk sosial masyarakat.Membaca karya sastra pada hakikatnya membaca
kehidupan, karena itu secara langsung maupun tidak langsung nilai dan pesan
yang dikandungnya dapat terefleksi dalam diri pembacanya. Sebagaimana

37

fungsinya dulce et utile (menyenangkan dan berguna). Setelah membaca maka


efek yang diharapkan adalah terasahnya jiwa pembacanya sehingga menjadi arif
terhadap kehidupan. Pengaruh sastra pada jiwa seseorang turut andil dalam
membangun kecerdasan emosi pembacanya. Membangun jiwa diawali dari
pendidikan paling dasar, karena itu memberikan bacaan sastra bagi perserta didik
dapat membantu perkembangan kecerdasan emosi mereka.
Karya sastra dipahami sebagai karya seni (art) ciptaan manusia
menggunakan bahasa sebagai mediumnya.bahasa yang digunakan dalam karya
sastra adalah bahasa sehari-hari akan tetapi makna bahasa tersebut menjadi
universal. Bahasa sastra adalah bahasa tingkat kedua atau secondary modelling
system (Lotman, 1977).
Karya sastra adalah ciptaan manusia dengan segenap situasi yang
melatarbelakangi kehidupannya. Sebagai sebuah konstruksi, banyak faktor yang
telibat. Keberadaan sastra tidak terlepas dari dunia realita. Pengarang sebagai
penciptanya merupakan anggota masyarat, mengamati kehidupan, memberi
makna terhadap keberadaan manusia, dan hasil pengamatannya disusun menjadi
suatu ciptaan sastra. Dengan demikian, the experience of literature can make us
feel that we are able to come to terms with life on a more satisfactory basis than
we could otherwise (Quinn, 1982).
Realita kehidupan masyarakat menjadi ide penciptaan suatu karya sastra.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa karya sastra menjadi sarana komunikasi,
mengomunikasikan fakta dalam realita kepada masyarakat luas ditampilkan
melalui fakta dalam sastra. Hal ini didasarkan bahwa keberadaan karya sastra

38

berdampingan dengan kehidupan, jadi antara keduanya memiliki keterkaitan


sebagaimana dua sisi mata uang. Berdasarkan hal itu maka karya sastra memiliki
fungsi bagi kehidupan itu sendiri (Abrams, 1976).
Sebagai produk suatu masyarakat, sastra tercipta dari proses yang tumbuh
dan

berkembang

dalam

masyarakatnya.

Hal

ini

menunjukkan

bahwa

keberadaannya dengan fakta masyarakat memperlihatkan hubungan erat antara


sastra dan masyarakat, sekaligus memperlihatkan adanya peran dan fungsi sosial
karya sastra.
Wellek dan Warren (1990) menyebutkan bahwa fungsi karya sastra adalah
dulce et utile yaitu menyenangkan dan berguna. Pendapat ini didasarkan bahwa
karya sastra sebagaimana telah dikemukakan sebagai karya seni (art) yang
memiliki keindahan atau aesthetic, selain itu memiliki kegunaan karena nilai-nilai
kehidupan yang terkandung di dalamnya.Karena itu fungsi menyenangkan dan
berguna bermakna coalesce atau berpadu bukan berdampingan. Novel Lasykar
Pelangi karya Andrea Hirata yang telah difilmkan itu menampilkan persoalan
pendidikan dan potret kemiskinan.
Fenomena sosial tersebut dapat diketahui oleh banyak orang melalui karya
sastra. Demikianlah gambaran mengenai keberfungsian karya sastra bagi
kehidupan masyarakat. Berfungsi memberitahukan sekaligus menggugah hasrat
pembacanya untuk dapat melakukan sesuatu untuk orang lain. Film fenomenal
Perempuan Berkalung Sorban yang diangkat dari novel Abidah el Khaleqy
menampilkan gerak santriwati untuk menunjukkan potensi diri sebagaimana
dimiliki oleh santriwan, berilmu, cerdas, terampil, tangkas, kreatif, dan cekatan.

39

Meskipun menuai kontroversi namun justru dengan adanya hal itu menunjukkan
bahwa novel sebagai karya sastra telah membuka cakarawala dalam rangka
fungsinya bagi kehidupan. Ayat-Ayat Cinta, novel yang juga pernah difilmkan ini
menggambarkan persoalan poligami yang memunculkan pemikiran tersendiri
Islam tidak menggampangkan poligami, sebagaimana Allah tidak menganjurkan
berpoligami pada para suami. Dengan demikian sastra dari sisi fungsi menyimpan
kemampuan sebagai sarana komunikasi yang tak tergantikan selama telah diisi
moral sebagai pesan yang ditransmisikan, non transmittable by other means
(Chamamah, 2006: 141).
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dapat diperoleh benang
merah, bahwa ternyata sastra dapat mempengaruhi pemikiran-pemikiran manusia,
pemikiran-pemikiran secara psikologis ini dapat menggerakan motivasi seseorang
untuk mewujudkan baik riil maupun filosofi tertuang dalam karya sastra tersebut.
Jika hal ini dilakukan secara bersama-sama dari individu menjadi entitas
kelompok, maka yang terjadi adalah perubahan sosial. Perubahan sosial yang
paling kecil adalah adanya perubahan pemikiran dalam masyarakat dan lambat
laun akan mempengaruhi pola pikir dan struktur sosial.

40

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Objek Penelitian
Objek penelitian dalam kajian ini adalah Puisi AKU dan KARAWANGBEKASI karya Khairil Anwar. Setiap kata-kata dalam puisi tersebut merupakan
objek penelitian yang dicoba diungkap filosofi yang terkandung di dalamnya,
yang pada intinya apakah mampu menggerakan perubahan sosial masyarakat
Indonesia atau tidak.
3.2. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis isi.
Dalam metode analisis isi terdiri atas 2 macam yaitu isi laten dan komunikasi. Isi
laten adalah isi yang terkandung dalam dokumen dan naskah sedang isi
komunikasi adalah pesan yang terkandung sebagai akaibat komunikasi yang
terjadi. Secara definitif antropologi sastra adalah studi mengenai karya sastra
dengan relevansi manusia. Antropologi sastra memusatkan perhatian pada
kompleks ide dan merupakan pendekatan interdisiplin yang paling baru dalam
ilmu sastra.
3.3. Sumber data
Sumber data dalam penelitian sastra berasal dari data lapangan dan data
kepustakaan. Penelitian lapangan dilakukan daam kaitannya dengan objek
penelitian yang memanfaatkan kejadian langsung seperti penerbit, pembacaan,
penggunaan, pementasan dan sebagainya. Penelitian terhadap sastra lisan
membutuhkan penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan dilakukan dalam
kaitannya dengan novel, teks drama, cerita pendek dan puisi.
3.4. Teknik pengumpulan data

41

Cara operasional mengumpulkan data disebut data reduction atau data


selection. Tindakan mereduksi data adalah memfokuskan diri pada data yang
dibutuhkan sesuai dengan kriteria atau parameter yang telah ditentukan. Ada lima
cara yang dilakukan untuk mereduksi data yaitu:
1. Menyiapkan lembar pengumpulan data
2. Menyeleksi data
3. Member deskripsi
4. Menarik kesimpulan
5. Pengabsahan
3.5. Teknik Analisis Data
Analisis meliputi penyajian data dan pembahasan dilakukan secara
kualitatif konseptual. Analisis data dihubungkan dengan konteks dan konstruk
analisis. Konteks yang berhubungan dengan struktur karya sastra sedang konstruk
berupa bangunan konsep analisis. Konstruk tersebut menjadi bingkai analisis.
Analisis difokuskan kepada konstruk kalimat dan kata-kata yang dirangkai dalam
puisi Khairil Anwar yang berjudul AKU dan KARAWANG-BEKASI.
3.6. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan selama dua minggu bertempat di perpustakaan UIN
SGD dan tempat-tempat lain yang dianggap representatif

dalam mendukung

terlaksananya penelitian ini. Selain itu kajian banyak dilakukan melalui virtual
library di dunia maya.

42

43

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Penelitian
4.1.1. Sejarah Khairil Anwar
Mengutip dari Wikipedia.org, berdasarkan sejarah Chairil Anwar
dilahirkan di Medan, Sumatera Utara pada 26 Juli 1922 dan wafat di Jakarta, 28
April 1949 pada umur 26 tahun. Ia merupakan anak satu-satunya dari pasangan
Toeloes dan Saleha, keduanya berasal dari kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera
Barat. Jabatan terakhir ayahnya adalah sebagai bupati Inderagiri, Riau. Ia masih
punya pertalian keluarga dengan Soetan Sjahrir, Perdana Menteri pertama
Indonesia. Sebagai anak tunggal, orang tuanya selalu memanjakannya, namun,
Chairil cenderung bersikap keras kepala dan tidak ingin kehilangan apa pun;
sedikit cerminan dari kepribadian orang tuanya.
Chairil pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) dengan ibunya pada tahun
1940, dimana ia mulai menggeluti dunia sastra. Setelah mempublikasikan puisi
pertamanya pada tahun 1942, Chairil terus menulis. Pusinya menyangkut berbagai
tema, mulai dari pemberontakan, kematian, individualisme, dan eksistensialisme,
hingga tak jarang multi-interpretasi.
Chairil Anwar mulai mengenyam pendidikan di Hollandsch-Inlandsche
School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi pada masa penjajahan
Belanda. Ia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager
Onderwijs (MULO). Saat usianya mencapai 18 tahun, ia tidak lagi bersekolah.
Chairil mengatakan bahwa sejak usia 15 tahun, ia telah bertekad menjadi seorang
seniman.
Pada usia 19 tahun, setelah perceraian orang tuanya, Chairil bersama
ibunya pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) dimana ia berkenalan dengan dunia
44

sastra; walau telah bercerai, ayahnya tetap menafkahinya dan ibunya. Meskipun
tidak dapat menyelesaikan sekolahnya, ia dapat menguasai berbagai bahasa asing
seperti Inggris, Belanda, dan Jerman. Ia juga mengisi jam-jamnya dengan
membaca karya-karya pengarang internasional ternama, seperti: Rainer Maria
Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, Hendrik Marsman, J. Slaurhoff, dan
Edgar du Perron. Penulis-penulis tersebut sangat memengaruhi tulisannya dan
secara tidak langsung terhadap tatanan kesusasteraan Indonesia.
Nama Chairil mulai terkenal dalam dunia sastra setelah pemuatan
tulisannya di Majalah Nisan pada tahun 1942, saat itu ia baru berusia 20 tahun.
Hampir semua puisi-puisi yang ia tulis merujuk pada kematian. Namun saat
pertama kali mengirimkan puisi-puisinya di majalah Pandji Pustaka untuk
dimuat, banyak yang ditolak karena dianggap terlalu individualistis dan tidak
sesuai dengan semangat Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya.
Ketika menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta, Chairil jatuh cinta pada Sri Ayati
tetapi hingga akhir hayatnya Chairil tidak memiliki keberanian untuk
mengungkapkannya.
Puisi-puisinya beredar di atas kertas murah selama masa pendudukan
Jepang di Indonesia dan tidak diterbitkan hingga tahun 1945. Kemudian ia
memutuskan untuk menikah dengan Hapsah Wiraredja pada 6 Agustus 1946.
Mereka dikaruniai seorang putri bernama Evawani Alissa, namun bercerai pada
akhir tahun 1948.
Vitalitas puitis Chairil tidak pernah diimbangi kondisi fisiknya. Sebelum
menginjak usia 27 tahun, sejumlah penyakit telah menimpanya. Chairil meninggal
dalam usia muda di Rumah Sakit CBZ (sekarang Rumah Sakit Dr. Cipto
Mangunkusumo), Jakarta pada tanggal 28 April 1949; penyebab kematiannya
tidak diketahui pasti, menurut dugaan lebih karena penyakit TBC. Ia dimakamkan
45

sehari kemudian di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Makamnya


diziarahi oleh ribuan pengagumnya dari masa ke masa. Hari meninggalnya juga
selalu diperingati sebagai Hari Chairil Anwar. Kritikus sastra Indonesia asal
Belanda, A. Teeuw menyebutkan bahwa "Chairil telah menyadari akan mati
muda, seperti tema menyarah yang terdapat dalam puisi berjudul Jang Terampas
Dan Jang Putus".
Chairil Anwar adalah seorang sastrawan besar Indonesia. Mengutip dari
Wikipedia.org Chairil Anwar dijuluki sebagai "Si Binatang Jalang" (dari karyanya
yang berjudul Aku) adalah penyair terkemuka Indonesia. Ia diperkirakan telah
menulis 96 karya, termasuk 70 puisi. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, ia
dinobatkan oleh H.B. Jassin sebagai pelopor Angkatan '45 sekaligus puisi modern
Indonesia.
Karya-karya Chairil juga banyak diterjemahkan ke dalam bahasa asing,
antara lain bahasa Inggris, Jerman, bahasa Rusia dan Spanyol. Terjemahan karyakaryanya di antaranya adalah:
1)

"Sharp gravel, Indonesian poems", oleh Donna M. Dickinson (Berkeley,


California, 1960)

2)

"Cuatro poemas indonesios [por] Amir Hamzah, Chairil Anwar, Walujati"


(Madrid: Palma de Mallorca, 1962)

3)

Chairil Anwar: Selected Poems oleh Burton Raffel dan Nurdin Salam
(New York, New Directions, 1963)

4)

"Only Dust: Three Modern Indonesian Poets", oleh Ulli Beier (Port
Moresby [New Guinea]: Papua Pocket Poets, 1969)

5)

The Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, disunting dan


diterjemahkan oleh Burton Raffel (Albany, State University of New York
Press, 1970)

6)

The Complete Poems of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh


Liaw Yock Fang, dengan bantuan H. B. Jassin (Singapore: University
Education Press, 1974)

7)

Feuer und Asche: smtliche Gedichte, Indonesisch/Deutsch oleh Walter


Karwath (Wina: Octopus Verlag, 1978)

46

8)

The Voice of the Night: Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, oleh
Burton Raffel (Athens, Ohio: Ohio University, Center for International
Studies, 1993)

9)

Dalam Kumpulan "Poeti Indonezii" (Penyair-Penyair Indonesia).


Terjemahan oleh S. Semovolos. Moscow: Inostrannaya Literatura, 1959, 4,
hlm. 3-5; 1960, 2, hlm. 39-42.

10)

Dalam Kumpulan "Golosa Tryoh Tisyach Ostrovov" (Suara Tiga Ribu


Pulau). Terjemahan oleh Sergei Severtsev. Moscow, 1963, hlm. 19-38.

11)

Dalam kumpulan "Pokoryat Vishinu" (Bertakhta di Atasnya). Puisi penyair


Malaysia dan Indonesia dalam terjemahan Victor Pogadaev. Moscow:
Klyuch-C, 2009, hlm. 87-89.
Puisinya yang monumental dan terkenal hingga sekarang adalah AKU.

Menurut sejarahnya Anwar pertama kali membaca "AKU" di Pusat Kebudayaan


Jakarta pada bulan Juli 1943. Hal ini kemudian dicetak dalam Pemandangan
dengan judul "Semangat", sesuai dengan dokumenter sastra Indonesia, HB Jassin,
ini bertujuan untuk menghindari sensor dan untuk lebih mempromosikan gerakan
kebebasan. "AKU" telah pergi untuk menjadi puisi Anwar yang paling terkenal.
Penulis Indonesia, Muhammad Balfas mencatat bahwa salah seorang yang
sezaman dengan Anwar, Bung Usman, menulis "Hendak Jadi Orang Besar???"
dalam menanggapi "AKU". Balfas menunjukkan Usman yang sangat kesal oleh
"vitalitas dan cara hidup yang baru" yang menunjukkan Anwar dalam puisi itu.
Menurut seorang sarjana sastra Indonesia asal Timor, AG Hadzarmawit
Netti, judul "Aku" menekankan sifat individualistis Anwar, sedangkan judul
"Semangat" mencerminkan vitalitas. Netti menganalisis puisi itu sendiri sebagai
mencerminkan kebutuhan Anwar untuk mengendalikan lingkungan dan tidak
dibentuk oleh kekuatan luar, menekankan dua bait pertama. Menurut Netti,
dengan mengendalikan lingkungannya, Anwar mampu melindungi kebebasan dan
sifat individualistis. Netti melihat garis akhir sebagai cerminan kebanggaan Anwar
di alam individualistis, akhirnya diduga bahwa Anwar akan setuju dengan filosofi
Ayn Rand tentang objektivitas. Sarjana sastrawan Indonesia, Arief Budiman
47

mencatat bahwa "Aku" mencerminkan pandangan Anwar, bahwa orang lain tidak
harus peduli untuk dia karena ia tidak peduli terhadap sesama. Budiman juga
mencatat bahwa bait ketiga dan keempat mencerminkan pandangan Friedrich
Nietzsche bahwa penderitaan membuat orang kuat.
Puisi lainnya yang tak kalah monumentalnya dengan AKU adalah
KARAWANG-BEKASI, sebuah puisi yang memiliki tempat tersendiri bagi
masyarakat sekitar Karawang sampai Bekasi. Puisi yang menggambarkan
bagaimana beratnya mempertahankan kemerdekaan yang diproklamirkan oleh
kedua Bung besar yakni Bung Karno dan Bung Hatta pada 17 Agustus 1945.
Puisi itu adalah bukti nyata bagaimana pedihnya kesedihan yang dirasakan oleh
para anggota keluarga yang ditinggalkan sekaligus juga bukti nyata bagi kesadisan
perang yang dilakukan oleh tentara NICA Belanda. Demikianlah sajak yang
ditulis oleh Chairil Anwar (26 Juli 1922 28 April 1949) pada tahun 1948, untuk
mengungkapkan perasaannya terhadap situasi perang melawan tentara Belanda
waktu itu. Sajak ini dapat diresapi dan dimengerti maknanya, apabila kita berdiri
di hadapan makam dari ratusan korban pembantaian tentara Belanda di Monumen
Rawagede, Desa Balongsari, dekat Karawang, dan mendengarkan berbagai kisah
pilu dari para korban, janda korban dan anak-cucu korban pembantaian.
Pada 9 Desember 1947, dalam agresi militer Belanda I yang dilancarkan
mulai tanggal 21 Juli 1947, tentara Belanda membantai 431 penduduk desa
Rawagede, yang terletak di antara Karawang dan Bekasi, Jawa Barat. Selain itu,
ketika tentara Belanda menyerbu Bekasi, ribuan rakyat mengungsi ke arah
Karawang, dan antara Karawang dan Bekasi timbul pertempuran, yang juga
mengakibatkan jatuhnya ratusan korban jiwa di kalangan rakyat. Pada 4 Oktober
1948, tentara Belanda melancarkan sweeping lagi di Rawagede, dan kali ini 35
orang penduduk dibunuh.
48

4.1.2. Kajian terhadap Puisi AKU


Berikut ini disajikan puisi AKU yang merupakan objek pertama untuk
dibedah. Puisi tersebut disajikan dalam penggalan-penggalan bait-bait
sebagaimana berikut ini :
Chairil Anwar
Aku
Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Maret 1943
Analisis Makna
Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Dalam baris pertama kalau sampai waktuku Si aku membuang semua
kekhawatirannya tentang suatu kematian. Dia tidak lagi perduli kepada siapa saja
yang yang merayunya. Tidak juga kekasihnya.
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Si aku memesankan kepada orang-orang terdekatnya supaya supaya
melepasnya, jika saatnya telah tiba menghadap sang khalik. Bahkan dia
menyebut-nyebut dirinya sebagai binatang jalang, Sebuah simbol kehinaan.

49

Biar peluru menembus kulitku


Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari Berlari
Hingga hilang pedih peri
Si aku berterus terang tentang apa yang telah di deritanya, tapi dia tetap
mencoba untuk menanggungnya sendiri. Karena jika saatnya tiba, semua perih
akan hilang.
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

Si aku ingin hidup seribu tahun lagi. Di sini Chairil telah menjelma si aku.
Walaupun raganya telah tiada, tapi dia ingin karyanya tetap hidup selamanya.
Tema adalah sesuatu yang menjadi pikiran pengarang. Sesuatu yang
menjadi pikiran tersebut dasar bagi puisi yang dicipta oleh penyair. Sesuatu yang
dipikirkan itu bias bermacam-macam permasalahan hidup. Penyair tidak pernah
menyebut tema tema puisi yang ditulisnya.
Untuk tema sebuah diketahui setelah puisi dibaca keseluruhan tersebut
dengan cermat. Tema pada puisi Aku karya Chairil Anwar adalah
menggambarkan semangat perjuangan untuk membebaskan diri dari belenggu
penjajahan. Seperti pada baris keempat dan kelima : Biar peluru menembus
kulitkuAku tetap meradang menerjang. Nada adalah sikap penyair kepada
pembaca. Dalam Puisi Aku terdapat kata Tidak juga kau, Kau yang dimaksud
dalam kutipan diatas adalah pembaca atau penyimak dari puisi ini. Ini
menunjukkan betapa tidak pedulinya Chairil dengan semua orang yang pernah
mendengar atau pun membaca puisi tersebut, entah itu baik, atau pun buruk.
Disamping itu Chairil ingin menunjukkan ketidak peduliannya kepada pembaca,

50

dalam puisi ini juga terdapat pesan lain dari Chairil, bahwa manusia itu itu adalah
makhluk yang tak pernah lepas dari salah.
Oleh karena itu filosofi yang terkandung dalam puisi AKU adalah
janganlah memandang seseorang dari baik-buruknya saja, karena kedua hal itu
pasti akan ditemui dalam setiap manusia. Selain itu, Chairil juga ingin
menyampaikan agar pembaca tidak perlu ragu dalam berkarya. Berkaryalah dan
biarkan orang lain menilainya, seperti apa pun bentuk penilaian itu.
Rasa adalah sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terdapat
pada puisinya. Pada puisi Aku karya Chairil Awar merupakan eskpresi jiwa
penyair yang menginginkan kebebasan dari semua ikatan. Di sana penyair tidak
mau meniru atau menyatakan kenyataan alam, tetapi mengungkapkan sikap
jiwanya yang ingin berkreasi. Sikap jiwa jika sampai waktunya, ia tidak mau
terikat oleh siapa saja, apapun yang terjadi, ia ingin bebas sebebas-bebasnya
sebagai aku. Bahkan jika ia terluka, akan di bawa lari sehingga perih lukanya itu
hilang. Ia memandang bahwa dengan luka itu, ia akan lebih jalang, lebih dinamis,
lebih vital, lebih bergairah hidup. Sebab itu ia malahan ingin hidup seribu tahun
lagi.
Uraian di atas merupakan yang dikemukakan dalam puisi ini semuanya
adalah sikap chairil yang lahir dari ekspresi jiwa penyair. Amanat adalah hal yang
mendorong penyair untuk menciptakan puisinya. Amanat berhubungan dengan
makna karya sastra. Makna bersifat kias, subjektif, dan umum. Makna
berhubungan dengan individu, konsep seseorang dan situasi tempatpenyair
mengimajinasikan puisinya. Amanat dalam Puisi Aku karya Chairil Anwar yang
dapat saya simpulkan dan dapat kita rumuskan adalah sebagai berikut :
1) Manusia harus tegar, kokoh, terus berjuang, pantang mundur meskipun
rintangan menghadang.
51

2) Manusia harus berani mengakui keburukan dirinya, tidak hanya menonjolkan


kelebihannyasaja.
3) Manusia harus mempunyai semangat untuk maju dalam berkarya agar pikiran
dan semangatnya itu dapat hidup selama-lamanya. DiksiUntuk ketepatan
pemilihan kata sering kali penyair menggantikan kata yang dipergunakan
berkali-kali yang dirasa belum tepat, diubah kata-katanya.Seperti pada baris
kedua: bait pertamaKu mau tak seorang kan merayu merupakan pengganti
dari kata ku tahu, kalau sampai waktukudapat berarti kalau aku mati
tak perlu sedu sedandapat berarti berarti tak ada gunannya kesedihan itu.
Tidak juga kau dapat berarti tidak juga engkau anaku, istriku, atau
kekasihku.
Pengimajian gambaran angan, gambaran pikiran, kesan mental atau
bayangan visual dan bahasa yang menggambarkannya biasa disebut dengan citra
atau imaji. Citraan dapat dikelompokan atas beberapa macam, antara lain : citraan
visual

(penglihatan),

citraan

auditif

(pendengaran),

citraan

artikulatoris

(pengucapan), citraan alfaktori (penciuman), citraan gustatory (kecakapan),


citraan taktual (peraba/ perasaan), citraan kinaestetic kinaestetik (gerak), dan
citraan organik. Di dalam sajak ini terdapat beberapa pengimajian, diantaranya
Ku mau tak seorang kan merayu (Imaji Pendengaran) Tak perlu sedu sedan itu
(Imaji Pendengaran), Biar peluru menembus kulitku (Imaji Rasa) Hingga hilang
pedih perih (Imaji Rasa).
Kata-kata konkret adalah kata-kata yang digunakan penyair untuk
menggambarkan suatu lukisan keadaan atau suasana batin dengan maksud untuk
membangkitkan imaji pembaca. Secara makna, puisi Aku tidak menggunakan
kata-kata yang terlalu sulit untuk dimaknai, bukan berarti dengan kata-kata
tersebut lantas menurunkan kualitas dari puisi ini. Sesuai dengan judul
52

sebelumnya, puisi tersebut menggambarkan tentang semangat dan tak mau


mengalah, seperti Chairil itu sendiri.
Versifikasi Ritme dalam puisi yang berjudul Aku ini terdengar menguat
karena ada pengulangan bunyi (Rima) pada huruf vocal U dan IVokal Upada
larik pertama dan ke dua, pengulangan berseling vokal a-u-a-u Larik pertama
Kalau sampai waktuku.Larik kedua Ku mau tak seorang-kan merayu. Larik
kedua Tidak juga kau.Pengulangan vokal I: Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari Hingga hilang pedih perih dan aku akan lebih tidak peduli, Aku mau
hidup seribu tahun lagi.
Tipografi atau disebut juga ukiran bentuk. Dalam Puisi didefinisikan atau
diartikan sebagai tatanan larik, bait, kalimat, frase, kata dan bunyi untuk
menghasilkan suatu bentuk fisik yang mampu mendukung isi, rasa dan suasana.
Namun dalam sajak Aku karya Chairil Anwar tidak menggunakan tipografi.
Sarana Retorika dalam sajak ini intensitas pernyataan dinyatakan dengan
sarana retorika yang berupa hiperbola, dikombinasi dengan ulangan, serta
diperkuat oleh ulangan bunyi vokal a dan u ulangan bunyi lain serta persajakan
akhir seperti telah dibicarakan di atas. Hiperbola tersebut : Aku ini binatang
jalang; Dari kumpulannya terbuang; Biar perlu menembus kulitku; Aku tetap
meradang menerjangAku ingin hidup seribu tahun lagi. Gaya tersebut
disertai ulangan i-i yang lebih menambah intensitas ; Luka dan bisa kubawa
berlari; Berlari Hingga hilang pedih perih; Dan aku akan lebih tidak perduli;
Aku ingin hidup seribu tahun lagi Dengan demikian jelas hiperbola tersebut
penonjolan pribadi tanpa makin nyata disana ia mencoba untuk nyata berada di
dalam dunianya.
Puisi ini memiliki tema pemberontakan dari segala penindasan. Menurut
pendapat penulis, Chairil Anwar adalah orang yang sangat tegas, unik, pandai,
53

kata-kata dalam puisinya pun sangat dalam dan pedas. Ini adalah ciri-ciri pemuda
& pejuang Indonesia di masa lampau. Tidak seperti pemuda zaman sekarang yang
cenderung tidak peduli, terlalu santai, dan terlalu banyak bersenang-senang
daripada belajar.
Isi dari puisi ini kurang lebihnya bahwa si penulis puisi (Chairil Anwar)
jika beliau sudah di ambang kematian maka beliau tidak mau ada satupun orang
yang sedih, baik keluarga, kerabat, ataupun kekasihnya. Karena beliau
beranggapan bahwa dirinya adalah Si Binatang Jalang, alias orang yang tidak
berharga dan terlalu banyak melakukan dosa. Jadi walaupun beliau mengalami
penyakit apapun, maka dirinya akan tetap bertahan hingga penyakit itu sembuh
(Chairil Anwar terkenal dengan gaya hidupnya yang semrawut, ketika beliau
berumur 27 tahun beliau sudah menderita banyak penyakit, di antaranya TBC).
Beliau juga mengungkapkan dalam puisi ini bahwa dia ingin hidup seribu
tahun lagi (panjang umur), meski faktanya meninggal dalam usia muda yakni 26
tahun. Ini berarti sebetulnmya Chairil Anwar masih memiliki cita-cita yang tinggi
dan panjang mengenai nasib bangsanya. Chairil Anwar mungkin sadar bahwa
sebetulnya dia sudah mendekati ajal meski dia masih memiliki banyak cita-cita
untuk diwujudkan demi bangsa ini.

4.1.3. Kajian terhadap Puisi KARAWANG - BEKASI


KARAWANG-BEKASI
Karya : Chairil Anwar
Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
Tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
Terbayang kami maju dan berdegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kami
54

Kami sudah coba apa yang kami bisa


Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan
Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang-kenanglah kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Syahrir
Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang-kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi
Demikianlah sajak yang ditulis oleh Chairil Anwar (26 Juli 1922 - 28 April
1949) pada tahun 1948, untuk mengungkapkan perasaannya terhadap situasi
perang melawan tentara Belanda waktu itu. Sajak ini dapat diresapi dan
dimengerti maknanya, apabila kita berdiri di hadapan makam dari ratusan korban
pembantaian tentara Belanda di Monumen Rawagede, Desa Balongsari, dekat
Karawang, dan mendengarkan berbagai kisah pilu dari para korban, janda korban
dan anak-cucu korban pembantaian.
Pada 9 Desember 1947, dalam agresi militer Belanda I yang dilancarkan
mulai tanggal 21 Juli 1947, tentara Belanda membantai 431 penduduk desa
Rawagede, yang terletak di antara Karawang dan Bekasi, Jawa Barat. Selain itu,
ketika tentara Belanda menyerbu Bekasi, ribuan rakyat mengungsi ke arah
Karawang, dan antara Karawang dan Bekasi timbul pertempuran, yang juga
mengakibatkan jatuhnya ratusan korban jiwa di kalangan rakyat. Pada 4 Oktober

55

1948, tentara Belanda melancarkan "sweeping" lagi di Rawagede, dan kali ini 35
orang penduduk dibunuh.
Di sini, Chairil Anwar menuliskan syairnya tentang kejadian yang ia lihat
dengan mata kepalanya sendiri. Dia melihat berbagai kejadian sepanjang sungai
Bekasi dan sepanjang jalan antara Karawang-Bekasi, di mana ribuan anak-anak
muda tewas silih berganti. Di sepanjang sungai Bekasi dan di atas jembatan laskar
pemuda bertahan tanpa peduli teman-temannya bergelimpangan jatuh tak
bernyawa. Chairil selalu terbayang dengan laskar-laskar pemuda yang melayang
terpelanting jatuh, di lumpur-lumpur, di rawa-rawa, di atas jembatan dan di
benteng-benteng sepanjang sungai, dan kemudian mati. Saat perang itu terjadi,
Chairil langsung menuju pertahanan Bekasi dengan menumpang sebuah mobil
palang merah yang penuh dengan prajurit yang terluka. Wajahnya nampak sangat
terpukul dan teraniaya menyaksikan anak-anak muda yang bergelimpangan tidak
bernyawa.
Pada suatu waktu Chairil mengembara di jalan-jalan ibu kota pada malam
hari. Saat itu dia batuk dan sangat pucat, namun ia tak peduli. Dia selalu teringat
dengan berbagai kejadian sepanjang sungai Bekasi dan sepanjang jalan antara
Karawang-Bekasi yang pernah disaksikannya sendiri. Ketika Chairil mengingatingat kembali peristiwa itu, ia sedang berada di sebuah jembatan sungai Ciliwung,
dimana di seberang jembatan tersebut terdapat restoran yang dipenuhi oleh para
serdadu Belanda, opsir-opsir dan noni-noni Belanda sedang berdansa sambil
makan dan minum. Langkah Chairil terhenti di ujung jembatan karena tiba-tiba
teras restoran tersebut meledak oleh beberapa granat, dan beberapa opsi Belanda
terjungkir ke dalam air. Pada saat itulah narasi Karawang-Bekasi terlantun dari
bibir Chairil Anwar.
Analisis Makna :
56

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi pada kata ini


mengandung makna berapa banyak para pejuang yang telah gugur di daerah
Krawang dan Bekasi. Hal itu di perkuat lagi dengan kata: Tapi kerja belum
selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa. Pada Kalimat tersebut
tertulis Belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa.
Ini berarti betapa banyaknya Pahlawan yang telah gugur sampai-sampai
Sang Penyair mengingatkan pada kita apa arti dari 4 sampai 5 ribu nyawa yang
telah menjadi tulang-tulang yang berserakan, dan tulang-tulang yang berserakan
itu berada di daerah kecil yang bernama KRAWANG dan BEKASI. Sebuah
pengorbanan menjadi total ketika segenap jiwa dan raga menjadi taruhanya. Bumi
akan bahagia bila sang putranya menyiram dengan darah para pejuang, Bumi
mempunyai nilai lebih bila di tempat itu bersemayam bunga-bunga bangsa yang
senantiasa menjadi pembelanya.Bumi tidak akan kecewa karena dari situlah
dilahirkan putra-putra terbaiknya yang senantisa siap untuk menjaga dan
membelanya.Harkat dan martabat Ibu Pertiwi menjadi tinggi karena Putra-putra
terbaiknya senatiasa menjadi pengawalnya.Itulah kesan yang kami tangkap dari
segi judul untuk KRAWANG-BEKASI.
Dari sisi sense (tema, arti) adalah pokok persoalan (subyek matter) yang
dikemukakan oleh pengarang melalui puisinya. Pokok persoalan dikemukakan
oleh pengarang baik secara langsung maupun secara tidak langsung (pembaca
harus menebak atau mencari-cari, menafsirkan). Dilihat dari Sense karya Chairil
Anwar dengan judul Krawang-Bekasi ini bertemakan perjuangan, sebuah tema
yang identik dengan diri Sang Penyair,karena beliau hidup pada masa perjuangan
yang penuh dengan heroisme dan beliau dikenal dengan pelopor angkatan45.
Banyak sekali karya beliau yang bertemakan perjuangan yang menjadi
sepirit bagi para pemuda pada saat itu. Hal itu dapat dilihat dari kata : Tidak bisa
57

teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.Kata Merdeka dan angkat senjata
lagi mempunyai pengertian sebuah penjuangan untuk kebebasan mengatur
negerinya sendiri. Salah satunya cara untuk mencapai cita-cita tersebut adalah
dengan angkat senjata yaitu dengan jalan Perang. Pada kalimat lain nampak
jelas kalau tema yang diangkat pada Krawang-Bekasi adalah sebuah perjuangan
yaitu pada kalimat : Teruskan, teruskan jiwa kami, pada kalimat itu perjuangan
harus dilanjukan meskipun banyak korban yang berjatuhan. Sedang yang
dimaksud dengan jiwa kami adalah semangat dari para pendahulu yang telah
gugur di medan perang supaya dapat dilanjutkan oleh generasi yang akan datang.
Feeling (rasa) adalah sikap penyair terhadap pokok persoalan yang
dikemukakan dalam puisinya. Setiap penyair mempunyai pandangan yang
berbeda dalam menghadapi suatu persoalan. Sikap penyair dalam karya tersebut
sangat tegas,lugas tanpa basa-basi dalam suatu perjuangan, hal itu dapat dilihat
dari kata-kata : Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan
dan harapan atau tidak untuk apa-apa,. Pada kalimat tersebut terlihat bahwa
sang penyair tidak mempunyai pamrih apa-apa dalam berjuang. Semua itu
diserahkan oleh orang yang menilainya,yaitu jiwa mereka,semangat mereka itu
dinilai untuk kemerdekaan,kemenangan,dan harapan atau tidak untuk apa-apa. Hal
inilah yang kami katakan tidak mempunyai Pamrihapa-apa dalam perjuangan
yang berkaitan dengan dirinya.Yang penting ia berjuang untuk mencapai
kemerdekaan.
Tone (nada) adalah sikap penyair terhadap pembaca atau penikmat
karyanya pada umumnya. Terhadap pembaca, penyair bisa bersikap rendah hati,
angkuh, persuatif, sugestif. Pada karya Krawang-Bekasi ini sikap penyair
terhadap pembaca adalah Rendah Hati dan Tegas hal itu terlihat pada kata
pengharapan yang ada yaitu : Kenang, kenanglah kami; Kami sudah coba apa
58

yang kami bisa; Tapi kerja belum selesai,belum bisa memperhitungkan 4-5
ribu

nyawa;Kami

cuma

tulang-tulang

berserekan;

Tapi

adalah

kepunyaanmu;
Pada bait diatas terlihat betapa Sang Penyair dengan kalimat pengaharap
kepada pembacanya,penikmatnya,pemerhatinya menggunakan pilihan akhiran
lah pada kata kenanglah dan rasa rendah hati itu dipertegas pada kalimat
berikutnya yaitu : Kami sudah coba apa yang kami bisa. Pada kalimat tersebut
dapat kita ketahui bahwa perjuangan itu penuh resiko tetapi Sang Penyair
menyatakan bahwa ia sudah mencoba apa yang ia bisa walaupun nyawa jadi
taruhannya.Meskipun begitu tetap ia menyatakan apa yang dilakukan belum
selesai,memang selamanya perjuangan itu akan berkelanjutan sampai hayat
dikandung badan.
Kalimat lain yang menyatakan merendah adalah :Kami Cuma tulangtulang yang berserakan. Tapi adalah kepunyaanmu. Pada kalimat itu ada kata
Cuma yang seakan-akan hal itu tidak berarti,karena dinyatakan sebagai tulangtulang yang berserakan.Padalah tulang-tulang yang berserakan itu adalah tulang
para pejuang yang telah mengorbankan diri untuk tanah air dan bangsa.
Intention (tujuan) atau tujuan dari Sang Penyair dalam karyanya
Krawang-Bekasi disini sangat jelas yaitu sebagaimana karya-karya yang lainnya
yang berkaitan dengan perjuangan,cinta tanah air dan cita-citanya untuk masa
depan. Pada kalimat : Kenang-kenanglah kami Adalah sebuah himbauan,
ajakan, pengharapan pada kita untuk senantiasa tidak melupakan perjuangan dari
para

pendahulu

kita,walaupun

para

pejuang

tersebut

telah

gugur.

Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Pada kalimat diatas tersirat makna untuk bekerja keras, melanjutkan pekerjaan
yang

belum

tuntas,

mempunyai

etos
59

kerja

yang

pantang

menyerah.

Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian Pada kalimat diatas
sangat tegas sekali pernyataan atau tujuan dari Sang Penyair yaitu supaya kita
selalu konsisten dengan pernyataan kita, ucapan kita, janji-janji kita, sumpah kita
dan semua yang pernah kita ucapkan dan pada kata impian mengandung makna
suatu cita-cita.Kita harus punya impian yang sesuai dengan kondisi kita. Impian
itu tidak lain adalah cita-cita bangsa kita. Teruskan, teruskan jiwa kami;
Menjaga Bung Karno; menjaga Bung Hatta; menjaga Bung Sjahrir;
Pada kalimat diatas yaitu Teruskan, teruskan jiwa kami. Menjaga Bung
Karno,menjaga Bung Hatta, menjaga Bung Sjahrir mengandung makna kesetian
rakyat kepada para pemimpinnya.Pejuangan tidak akan berhasil,cita-cita tidak
akan tercapai kalau tidak ada kesetiaan antara rakyat dengan pemimpinnya.
Diction (diksi)

adalah pilihan atau pemilihan kata yang biasanya

diusahakan oleh penyair dengan secermat mungkin. Penyair mencoba menyeleksi


kata-kata baik kata yang bermakna denotatif maupun konotatif sehingga kata-kata
yanag

dipakainya

benar-benar

mendukung

maksud

puisinya.

Pilihan kata yang digunakan oleh Sang Penyair pada karya diatas KrawangBekasi sangat jelas dan lugas. Kami yang terbaring antara Krawang-Bekasi
Tidak bisa teriak Merdeka dan angkat senjata lagi. Pada kata terbaring
mempunyai makna denotasi tidur terlentang, tetapi Sang Penyair menggunakan
kata Terbaring yang mempunyai makna konotasi meninggal dunia, atau
kematian. Akan tetapi kematian tersebut punya makna yang lebih mulia yaitu
gugur sebagai pejuang. Hal itu dipertegas dengan pilihan kata pada kalimat
berikutnya : Tidak bisa teriak Merdeka dan angkat senjata lagi yang
mempunyai makna sudah gugur di medan pertempuran.
Imageri (imaji, daya bayang) atau kata-kata yang dipakai pengarang dalam
mengantarkan pembaca untuk terlibat atau mampu merasakan apa yang dirasakan
60

oleh penyair. Maka penyair menggunakan segenap kemampuan imajinasinya,


kemampuan

melihat

dan

merasakannya

dalam

membuat

puisi.

Imaji disebut juga citraan, atau gambaran angan. Pencitraan yang digunakan Sang
Penyair pada Puisi diatas adalah Citra lingkungan, yaitu citraan yang
menggunakan gambaran-gambaran selingkungan.

Hal tersebut terdapat pada

judul puisi itu sendiri Krawang-Bekasi dan Kami bicara padamu dalam
hening dimalam sepi itu semua Citra lingkungan. Citra kesedihan, yaitu citraan
yang menggunakan gambaran-gambaran kesedihan. Citra kesedihan ada pada kata
Kami sekarang mayat, kesan yang timbul kalau kita dengar kata Mayat
adalah suatu kesedihan. Citra pendengaran, yaitu citraan yang timbul oleh
pendengaran atau berhubungan dengan indra pendengaran. Citra pendengaran ada
pada kata Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu. Pada kata bikin janji dan Aku
sudah cukup lama dengan bicaramu barkaitan dengan citra pendengaran.
Citra gerak, yaitu citraan yang menggambarkan sesuatu yanag sebetulnya
tidak bergerak tetapi dilukiskan sebagai dapat bergerak. Citra gerak KrawangBekasi terlihat pada baris Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlabuh. Di
uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak dan berlabuh. Di sini digambarkan
ada keinginan yang sama,kemauan yang sama, dan tujuan yang sama untuk
mencapai suatu cita-cita sehingga digambarkan seperti kapal yang bergerak
membawa penumpang mencapai tujuan yang sama.
Citra

intelektual,

yaitu

citraan

yang

timbul

oleh

asosiasi

intelektual/pemikiran. Citra intelektual Krawang-Bekasi terlihat pada baris


ketiga bait pertama : Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati?. Pada kalimat tersebut dibutuhkan
pemikiran untuk memahami kata-kata tersebut di atas terutama sebuah pertanyaan
61

dari Sang Penyair Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati?. Apakah yang dimaksud dengan deru
kami pada kalimat tersebut ? Lalu apakah yang dimaksud oleh Sang Penyair
dengan terbayang kami maju dan mendegap hati?. Bisa jadi yang dimaksud
dengan deru kami yaitu segala keinginan dan harapan dari Sang Penyair.Atau
semua gejolak hati yang tidak dapat disampaikan lewat kata-kata oleh Sang
Penyair.
The concrete word (kata-kata kongkret) atau pilihan kata yang di gunakan
oleh Sang Penyair dalam karyanya : Krawang-Bekasi betul-betul bermakna dan
berjiwa hal itu terlihat pada kalimat : Kami yang kini terbaring antara KrawangBekasi. Kata Terbaring yang dimaksud oleh Sang Penyair tersebut bukanlah
tidur terlentang diatas dipan atau lantai tetapi adalah sebuah kematian"
dipanggang diatas apimu, digarami lautmu Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Yang dimaksud dengan dipanggang diatas apimu, digarami lautmu bukanlah
makna sebenarnya tetapi yang dimaksud dengan apimu adalah semangat
perjuangan,motivasi-motivasi dari isi pidato Bung Karno yang penuh semangat
dan jiwa revolusioner. Aku sekarang api aku sekarang laut Bung Karno ! Kau
dan aku satu zat satu urat Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar Di
uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh. Pada bait terakhir dari
karya Krawang-Bekasi tersebut pilihan katanya sangat berjiwa sekali sampaisampai Sang Penyair ikut larut dalam api dan laut Sang Pemimpin,bahkan
Sang Penyair sudah menjadi satu urat dan satu zat yang artinya mempunyai citacita dan semangat yang sama dengan pemimpinya.
Figurative language (gaya bahasa) Adalah cara yang dipergunakan oleh
penyair untuk membangkitkan dan menciptakan imaji dengan menggunakan gaya
bahasa, perbandingan, kiasan, pelambangan dan sebagainya. Jenis-jenis gaya
62

bahasa antara lain Gaya bahasa yang digunakan dalam karya Krawang-Bekasi
adalah Metafora, hal itu terlihat pada Aku sekarang api aku sekarang laut,
disini Sang Penyair mengibaratkan dirinya seperti laut dan api, mempunyai sifatsifat seperti api yang selalu membakar dan panas.Menpunyai sifat-sifat seperti laut
yang selalu bergelombang,luas,tempat bermuaranya dan menampung semua
sungai yang mengalir kearahnya.Artinya tempat menampung semua pendapat dari
semua lapisan rakyatnya.Atau selalu bergerak dan bergelombang, artinya selalu
bersemangat bak laut yang bergelombang.
Personifikasi,hal itu terlihat pada Kami sekarang mayat, Berikan kami
arti di sini terlihat makna seakan-akan mayat yang secara sifatnya tidak dapat
birbicara,tetapi oleh Sang Penyair Mayat tersebut dapat berbicara seperti
manusia hidup dam berpesan Berikan kami arti dan seterusnya.
Alegori, hal itu terlihat pada dipanggang diatas apimu, digarami lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945 Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar Di uratmu di uratku kapal-kapal kita
bertolak & berlabuh. Kiasan yang digunakan diatas adalah seperti api dan laut
dan senantiasa berjalan beriringan dengan Sang Pemimpinnya menjadi satu urat
dan satu zat,sesuatu yang tak terpisahkan sehingga menggunakan kendaraan
kapal-kapal untuk sampai pada tujuan yang sama.
Rhythm dan rima (irama dan sajak) sangat jelas nampak ketika dibaca oleh
seorang penyair karena berkaitan dengan turun naik, panjang pendek, keras
lembutnya ucapan bunyi bahasa dengan teratur. Rima adalah persamaam bunyi
dalam puisi. Dalam rima dikenal perulangan bunyi yang cerah, ringan, yang
mampu menciptakan suasana kegembiraan serta kesenangan. Bunyi semacam ini
disebut euphony. Sebaliknya, ada pula bunyi-bunyi yang berat, menekan, yang
63

membawa suasana kesedihan. Bunyi

semacam ini disebut cacophony.

Pada puisi Krawang-Bekasi mempunyai berbagai jenis rima yaitu : Pada bait
pertama terdapat rima sempurna dan bersajak {aaaa} hal itu terlihat pada
persamaan bunyi di suku-suku kata akhir yaitu : persamaan huruf { i } Kami yang
kini terbaring antara Krawang-Bekasi tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat
senjata lagi. Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ? Pada bait kedua terdapat rima aliterasi
dan bersajak {ab-aa},disamping itu ada perulangan kata yaitu Kami
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi Jika dada rasa hampa dan
jam dinding yang berdetak Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami. Pada bait ke tiga terdapat rima terbuka dan bersajak
{aa} antara sukusa dan wasehingga menimbulkan kesan yang sangat
mendalam. Kami sudah coba apa yang kami bisa Tapi kerja belum selesai, belum
bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa. Pada bait ke empat terdapat rima
tertutup dan bersajak {bab} Kami cuma tulang-tulang berserakan Tapi adalah
kepunyaanmu. Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan.
Dari analisis diatas maka karya Chairil Anwar dengan judul KRAWANGBEKASI adalah sebuah karya puisi yang bertemakan perjuangan sehingga
Feeling (rasa) yang timbul sangat tegas, lugas tetapi sangat indah untuk
dinikmati.Sedangkan sikap penyair terhadap pembaca adalah penuh harapan
supaya perjuangan itu dilanjukan dan mempunyai nilai dan yang menilai arti
perjuangan itu adalah generasi penerusnya. Tujuan dari Penyair pada karya
tersebut adalah semangat perjuangan harus selalu mengelora meskibut berada di
daerah yang dianggap kecil.Pilihan kata yang digunakan oleh Sang Penyair juga
penuh dengan ketegasan,atau keterus terangan dari Sang Penyair.

64

Image yang digunakan sangat beragam mulai dari citra kesedihan,


lingkungan, gerak, intelektual dan sebagainya sehingga pembaca ikut hanyut
dalam perasaan Sang Penyair. Pilihan kata yang digunakan Sang Penyair sangat
berjiwa hal itu terlihat dari bait perbait yang saling berkaitan. Gaya bahasa yang
digunakan juga beragam yaitu Alegari, Personifikasi, dan Metafora.Rima yang
digunakan oleh Sang Penyair juga sangat beragam mulai dari rima sempurna.
Rima aleterasi, rima terbuka dan rima tertutup.Dengan begitu karya Chairil Anwar
dengan judul Krawang-Bekasi ini betul-betul hidup dan sangat berkesan bagi
siapa saja yang membacanya sehingga menimbulkan semangat untuk melanjutkan
sebuah perjuangan yang selalu berkelanjutan.
4.2. Pembahasan Puisi AKU dan KARAWANG-BEKASI dalam
Perpektif Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia
Alhasil, bapak dan ibu guru sastra kita juga menegaskan bahwa romanroman Indonesia 1920-an selain merupakan cermin sosial juga memicu proses
perubahan sosial, di antaranya melalui kiprah Abdul Muis yang aktif sebagai
pengurus Syarikat Islam di Padang. Ketika dibuang ke Jawa Barat oleh
Pemerintah Kolonial Belanda, akibat aktivitas politiknya itu, Abdul Muis
diandaikan (ditafsirkan?) mengalami perubahan (sosial) karena dikatakan hidup
sebagai penulis di Priangan, mengawini seorang gadis Priangan, dan menetap di
Priangan hingga wafatnya.
Mempertentangkan secara oposisi biner antara nilai-nilai tradisional dan
modern; antara kolonialisme dan nasionalisme; dan juga antara nasionalisme dan
globalisme dewasa ini, andai hendak dicemati memang masih menjadi paradigma
yang digemari oleh masyarakat kita. Paradigma ini, sebagaimana diketahui,
memang berdampak tertentu mengingat kehidupan hanya dilihat berdasarkan
dikotomi: hitam-putih, benar-salah, tinggi-rendah, atau baik-buruk. Dalam
ungkapan lain, paradigma tersebut memunculkan suatu rezim kebenaran, berupa
65

pelbagai tipe wacana yang dipaksakan untuk difungsikan sebagai kebenaran


umum.
Di dalam konteks kesusasteraan, itu tadi, muncul pengandaian seolah-olah
tema karya sastra Indonesia 1920-an terbitan Balai Pustaka adalah kawin paksa
(catatan: padahal, perhatikanlah, Sitti Nurbaja menikahi Datuk Maringgih bukan
karena dipaksa WW), dan sementara itu karya sastra di luar terbitan Balai
Pustaka dikatakan bacaan liar. Begitu pula, seolah-olah karya sastra dapat
mendorong proses perubahan sosial (dengan mencontohkan kiprah Abdul Muis di
dalam pergerakan politik dan mengaitkannya dengan gelora semangat
Kemerdekaan Indonesia). Juga, seolah-olah karya sastra tidak perlu dilihat melalui
kesinambungan antarperiodenya (terbukti, sastra periode 1930-an selalu dikatakan
muncul untuk mengkritik sastra periode 1920-an). Padahal, berbicara mengenai
kesusasteraan Indonesia sejak 1920-an hingga dewasa ini adalah berbicara
mengenai nilai-nilai tradisi penulisan sastra Indonesia itu sendiri.
Tidak bisa tidak, paradigma oposisi biner tersebut memang bertalian
dengan pihak penerbit sehubungan dengan popularitas nama sastrawannya. Andai
ketika itu Pemerintah Hindia Belanda tidak memiliki budi baik untuk
mendirikan Balai Pustaka, kita tentu sulit membayangkan apa yang akan dialami
oleh Abdul Muis. Di dalam perspektif bisnis dewasa ini, kita tentu juga sulit
membayangkan mengapa novel-novel yang meledak di pasaran, sekalipun
karena diperhebat oleh media massa melalui iklan-iklan mereka, justru kemudian
lebih mengangkat popularitas penulisnya daripada novelnya sendiri. Bahkan,
dituntut oleh perkembangan teknologi media, di antara novel tersebut diubahbentuk menjadi film layar lebar yang pada gilirannya juga meledak di pasaran.
Padahal, dari segi penyajiannya film tersebut tidak sebaik novelnya, kecuali
karena nama kondang para artisnya. Temanya pun, selain tidak mengandung
66

proses perubahan sosial, juga tidak jauh dari tema yang pernah ditulis sastrawan
Indonesia zaman Balai Pustaka: patah hati, pertentangan antara si miskin dan si
kaya, atau pertentangan keyakinan dalam rangka mempertahankan ideologi
tertentu.
Andai yang dimaksud perubahan sosial bertalian dengan tema-tema yang
telah saya sebutkan itu, agaknya kita harus menerimanya dengan catatan. Apalagi,
jika tema-tema tersebut dihubungkan dengan industri (dibaca: ekonomi), yang di
dalam sosiologi sastra memang digarisbawahi. Seperti diketahui umum, sosiologi
sastra memumpun pada perangkat produksi, distribusi dan pertukaran sastra dalam
suatu masyarakat tertentu, bagaimana buku-buku sastra diterbitkan, bagaimana
komposisi sosial terhadap pengarangnya, bagaimana tingkat keterbacaannya
terhadap masyarakat, dan bagaimana teks-teks sastra relevan dengan sosiologi. Itu
sebabnya, paradigma sosiologi sastra semacam ini harus disikapi secara kritis,
karena pada dasarnya karya sastra tidak akan menciptakan perubahan sosial,
mengingat karya sastra yang dapat dianggap besar adalah karya sastra yang
sepanjang masa dapat melampaui kondisi-kondisi historisnya. Itu sebabnya pula,
tadi saya kutipkan ungkapan bahwa bukan kesadaran yang menentukan
kehidupan, melainkan kehidupanlah yang menentukan kesadaran.
Kehidupan yang menentukan kesadaran, atau keberadaan sosial yang
menentukan kesadaran manusia, di antaranya adalah bagaimana sikap kritis kita
terhadap hegemoni paradigma oposisi biner. Implikasi dari hal ini, sekalipun
industri (dibaca: ekonomi) dewasa ini masih dianggap penguasa kehidupan,
tidak berarti sastra, kepercayaan, mitos, atau kebudayaan harus dijadikan urusan
nomor

dua.

Fakta

membuktikan,

tumbuhnya

tradisi

penulisan

dalam

kesesusasteraan Indonesia modern bukan dipicu karena faktor industri (dibaca:

67

ekonomi), melainkan karena ideologi dan mufakat. Industri mungkin menjadi


dasarnya, namun ideologi dan mufakat adalah praktik nyatanya.
Ideologi dan mufakat bahkan dinyatakan sebagai talking care (terapi
wicara) oleh Althusser (1991), mengingat adanya peluang dialog terbuka antara
penulis dan pembacanya sehubungan dengan interpretasi, hermeneutika, dan
dekonstruksi. Jauh sebelumnya, hal itu ternyata telah disebut pula dalam
ungkapan dont think, but look oleh Wittgenstein (1953), yakni cara kita
melihat bagaimana suatu ungkapan bahasa ketika datang pada kita, dan sejauh
mana kecendekiaan ungkapan bahasa tersebut dalam memengaruhi persepsi kita
tentang hidup. Artinya, buat apa lagi kita mengutak-atik ihwal yang sudah jelas,
sementara ada persoalan lain yang lebih penting.
Selaras

dengan

sejarah

pertumbuhan

tradisi

penulisan

dalam

kesesusasteraan Indonesia modern, saya lebih setuju jika sastrawan Indonesia


disebut sebagai kelompok intelektual, daripada menyebutnya sebagai agen
perubahan sosial. Apalagi, menyebut mereka sebagai subjek-subjek otonom.
Sebagai kelompok intelektual, sastrawan dengan demikian tidak mungkin
mengabaikan tugas-tugas utamanya sebagai seorang intelektual, yakni (1)
menyadari adanya kebebasan berkarya yang dilambari oleh tanggung jawab etis,
dan (2) menyadari otoritasnya untuk melakukan refleksi terhadap realitas yang
menjadi konteks hidupnya. Kesadaran ini patut digarisbawahi, mengingat karya
sastra tidak tiba-tiba jatuh dari langit. Karya sastra pada hakikatnya adalah
pengejawantahan persepsi sastrawannya dalam memandang konteks hidupnya,
tentunya termasuk bagaimana ia merelevansikan konteks hidupnya itu dengan
realitas yang menjadi ideologi sosial yang menyemangati suatu zaman. Dengan
penegasan lain, karya sastra adalah suatu kompleksitas kehidupan, yang untuk
memahaminya harus melihat hubungan fenomenologisnya dengan dunia ideologi
68

penulisnya, sehingga kurang tepat jika hanya melihat temanya, alurnya, atau
penokohannya semata.
Kelompok intelektual sastrawan tersebut, melalui kompetensinya masingmasing dapat saling berbagi pengetahuan dan juga dapat saling membela kaum
sastrawan lain yang terdominasi (apa pun ini maknanya), dengan satu tujuan:
menjadikan abad ini sebagai Abad Kesusasteraan Indonesia; abad yang
menjadikan bangsa Indonesia menjadi manusia yang etis dan estetis di tengah
pergaulan global, mengingat dewasa ini kehidupan manusia seolah-olah
berhenti hanya di seputar masalah ekonomi dan teknologi. Hal ini, kiranya
merupakan praktik suatu rezim kebenaran, yang oleh karena itu harus
dihindarkan jauh-jauh, karena adanya upaya memperjuangkan suatu tipe wacana
yang dipaksakan sebagai kebenaran umum. Itu sebabnya, tanpa menyadari secara
kritis hal tersebut, sastrawan Indonesia akan selalu dikatakan ibarat penjual
kecap keliling, tak ubahnya para anggota parlemen kita belakangan ini.
Menjadi benar, ungkapan bukanlah kesadaran manusia yang menentukan
keberadaan mereka, melainkan keberadaan sosial yang menentukan kesadaran
mereka agaknya setara dengan ungkapan dont think, but look. Kedua
ungkapan ini hemat saya ternyata juga berkelindan dengan nyanyian Amir
Hamzah di dalam Setanggi Timur (1959) berikut ini.
Sampai saat ini masih banyak orang meremehkan sastra. Dengan kata lain
orang cenderung menganggap sastra sebagai sesuatu yang tidak penting dalam
pembangunan masyarakat. Dibandingkan dengan bidang lain, seperti ilmu
pengetahuan alam, tehnik, kesehatan dan bidang praktis lain, sastra dianggap
sesuatu yang tidak mendatangkan nilai ekonomis. Hal ini terlihat pada animo para
mahasiswa yang mayoritas lebih memilih jurusan eksata dibandingkan jurusan
yang berbau sastra. Sastra atau ilmu budaya biasanya menjadi pilihan terakhir
69

setelah yang lain tidak bisa didapatkan. Pandangan ini merupakan gambaran akan
rendahnya apresiasi masyarakat terhadap karya sastra.
Dibandingkan dengan bidang eksata, sastra memang tidak mempunyai
pengaruh secara langsung atau secara fisik. Peranan sastra sebenarnya lebih pada
emosi atau spiritual. Sastra merubah seseorang melalui pola pikir, wawasan dalam
memandang hidup dan lain sebagainya. Ahmadun Yosi (2007) mengatakan bahwa
sejarah pergolakan suatu bangsa tidak pernah lepas dari dorongan-dorongan yang
diekpresikan melalui karya sastra. Karya-karya besar seperti Max Havelar
(Multatuli), Uncle Tom Cabin (Beecher Stower) dan sajak-sajak Rabindranat
Tagore telah menginspirasi perubahan sosial yang begitu dasyat di lingkuangan
masyarkat pembacanya.
Jabrohim (2005) mengatakan bahwa kedudukan sastra sama dengan ilmu
pengetahuan yang lain, yaitu sesuatu yang penting bagi kemajuan masyarakat.
Dengan karya sastra pengarang bisa menanamkan nilai-nilai moral dan pesanpesan tertentu kepada masyarakat pembacanya. Subjektivitas yang disampaikan
pengarang melaui karya sastra mampu memberikan motivasi atau dorongan bagi
suatu

perubahan

baik

secara

individu

maupun

kolektif

(masyarakat).

Yang menjadi pertanyaan, kenapa sastra bisa mempengaruhi masyarakat? Plato


mengatakan bahwa sastra merupakan refleksi sosial (Diana Laurenson, dkk.
1971). Sebagai suatu reflesi sosial ia akan menggambarkan kondisi sosial yang
ada di sekelilingnya. Karena muatan yang ada dalam sastra adalah gambaran atau
reflesi sosial, sastra akan mendapatkan tanggapan dan kritik sekaligus penilaian
dari pembaca. Dari jalan ini sastra akan mempengaruhi pola pikir masyarakatnya.
Rendahnya apresiasi masyarakat terhadap karya sastra diakibatkan oleh
kurangnya pemahaman mereka terhadap pentingnya sastra dalam perubahan
sosial. Masyarakat masih banyak yang tidak memahami nilai-nilai moral dan
70

kritik yang ada dalam sastra. Disamping itu membaca karya sastra memang
membutuhkan waktu yang cukup menyita dibandingkan dengan media lain.
Dibandingkan dengan film dan drama, karya sastra membutuhkan waktu yang
lebih lama. Ditambah lagi budaya membaca masyarakat kita yang memang masih
sangat rendah.
Dewasa ini tanggapan masyarakat masih sebatas golongan terdidik saja.
Para pelajar dan mahasiswa sudah mulai memahami pentingnya menelaah karya
sastra. Meskipun mereka membaca karya sastra masih sebatas sebagai hiburan,
tetap nilai-nilai moral tetap akan mempengaruhi mereka. Sehingga tidak jarang
penulis-penulis terkenal di negeri ini mulai digandrungi oleh para remaja
Indonesia.
Sastra sebagaimana yang disebutkan Horace berfungsi sebagai dulce et
utile, yaitu sebagai penghibur sekaligus berguna (Renne Wellek, dkk 1995). Dari
pengertian ini dapat dipahami bahwa peranan sastra bukan sekedar menghibur
tetapi juga mengajarkan sesuatu.
Karena perenannya yang menghibur sekaligus berguna inilah maka sastra
dianggap sebagai media yang paling efektif. Meminjam istilah yang sering
digunakan oleh Prof. Chamamah Soeratno sastra adalah means that not
transmitable by other means, karya sastra bisa dikatakan sebagai media yang tidak
tergantikan oleh media lain. Ada beberapa poin yang harus kita perhatikan
kelebihan

sastra

dibanding

dengan

media

kritik

lain.

Sastra merupakan sarana kritik yang menghibur sehingga pesan yang


tersampaikan bisa meresap dalam pikiran manusia secara tidak disadari. Dengan
demikian konfrontasi terhadap nilai suatu ideologi yang ada dalam sastra tidak
kasar, tetapi merasuk secara perlahan-lahan. Sastra yang memiliki pengaruh
seperti ini biasanya adalah sastra yang mengandung nilai didaktis yang tinggi; dan
71

umumnya sastra yang demikian biasanya karya sastra yang berkaitan dengan
suatu agama atau ideologi politik.
Montgomery Belgion dalam buku Renne Wellek mengatakan;
Irresponsible propagandist. That is to say, every writer adopts a view or
theory of life... the effect of the work is always to persuade the reader to
accept that view or theory. This persuasion is to say, the reader is always
led to believe something, and that assent is hypnotic-the art of the
presentation seduces the reader...
Sastra yang berkaitan dengan agama bisa kita lihat pada karya sastra
modern saat ini. Karya Helvi Tiana Rosa misalnya merupakan contoh yang paling
kongkrit dari sastra yang berbau keagamaan. Karya-karya Helvi telah
mempengaruhi kalangan muda Indonesia yang gemar membaca karya-karya sastra
islami. Dan objek dari sastra ini adalah kaum muda yang biasanya sangat optimis
terhadap kehidupan. Sastrawan-sastrawan yang seirama dengan Helvi adalah Gola
Gong, Asna Nadia, dll.
Sastra yang biasanya kontraversial dan sering menimbulkan polemik
adalah sastra yang berbau ideologi politik. Sastra yang seperti ini sering
mengkonfrotasi penguasa yang dholim. Pramudia Ananta Toer merupakan
sastrawan yang bisa dikatakan mewakili sastrawan politik. Karya-karyanya
sempat dilarang terbit oleh pemerintahan Orde Baru karena dianggap
membahayakan penguasa Suharto. Selain Pramudya masih banyak sastrawan
Indonesia yang menyerukan perlawanan terhadap kedholiman penguasa
diantaranya; Rendah, M.H. Ainun Najib, Ratna Sarumpaet, dan Nano Riantarno.
Mereka adalah sastrawan yang pernah sercara langsung dianggap berbahaya oleh
pemerintaha Orde Baru.
Adanya pelarangan atau pembredelan terhadap suatu karya sastra
menunjukan pentingnya sastra terhadap perubahan pola pikir pembacanya. Sastra
72

bisa menyadarkan seseorang akan eksistensinya dan juga kebenaran-kebenaran


yang harus diperjugankan dalam kehidupan. Dengan karya sastralah orang akan
mampu memberikan suatu pemahaman atau pemikiran secara leluasa dan
independen. Sastra merupakan sarana nation formation atau nation building yang
berarti

sastra

sebagai

pembentuk

karakteristik

masyarakat.

Sastra merupakan benteng terakhir dari kebudayaan dan peradaban kita yang
masih mampu kita pertahankan dari hempasan gelombang penjajahan ekonomi,
politik dan militer dari penjajah kafir (Jabrohim, 2005). Dengan karya sastra kita
bisa melihat betapa kejayaan masa lalu telah bisa merubah negeri ini seperti yang
kita nikmati selama ini. Dengan adanya karya sastra kita bisa melihat dan
mengerti pemikiran para pejuang dan leluhur yang telah melukiskan pemikiran
mereka dalam karya sastra yang mereka tinggalkan. Peninggalan-peninggalan
seperti hikayat, kitab-kitab, babad dan serat yang ditulis para pujangga mampu
memberikan gambaran kehebatan leluhur kita dimasa yang lalu.
Lebih lanjut sastra merupakan ekpresi identitas yang bisa digunakan untuk
memperteguh identitas suatu bangsa. Nilai-nilai yang ada dalam sastra yang sesuai
dengan nilai-nilai masyarakat tentu akan memberikan corak tersendiri dalam
masyarakat dimana sastra itu lahir. Seorang sastrawan akan memberikan nilainilai didactic sebagai kritik sekaligus peringatan kepada masyarakat. Dengan
demikian masyarakat akan menyadari kekurangan dan kekhilafan yang telah
dilakukan. Dari sinilah nilai-nilai identitas akan muncul dan terjaga karena karya
sastra itu. Sastra akan menanamkan nilai-nilai itu tampa disadari oleh siapapun.
Sastra menyajikan kehidupan, dan kehidupan sebagian besar terdiri atas
kenyataan sosial. Di samping itu, sastra mempunyai fungsi sosial atau manfaat
yang tidak sepenuhnya bersifat pribadi. Dalam masyarakat modern yang penuh
persaingan, norma-norma elit atas cepat ditiru dan cepat pula diganti dengan yang
73

baru (cf. Wellek dan Warren, 1978). Perubahan selera yang sangat cepat akhirakhir ini menunjukkan perubahan sosial yang cepat pula. Hal itu dapat
dicontohkan dengan maraknya demonstasi yang menunjukkan kekuatan rakyat
akhir-akhir ini. Selanjutnya, suatu karya sastra merupakan ekspresi dari obsesi
pengarang. Sastra yang baik akan mampu memberikan renungan bagi kita, atau
paling tidak dapat memberi kita sesuatu atau mengingatkan kita pada sesuatu.
Salah satu wujud dari sesuatu itu adalah perubahan sosial. Perubahan-perubahan
itu dapat diterima dan dapat juga ditolak bergantung pada persepsi penerimaan
masyarakatnya. Secara evolutif, perubahan itu sedikit demi sedikit dapat
mengubah pola budaya masyarakat. Akan tetapi, kadang-kadang perubahan itu
terjadi dengan drastis saat masyarakat belum siap sehingga akan muncul hentakan
dan kekagetan sosial . Dalam hal ini, sastra sebagai salah satu respon khas pribadi
seseorang dalam menyikapi kehidupannya diharapkan dapat ikut berperan dalam
perubahan sosial itu.
Dalam kehidupan, manusia tidak akan luput dari perubahan (termasuk
perubahan sosial) . Selain itu, kehidupan pada hakikatnya merupakan proses
menuju ke suatu bentuk. Alam dan manusia secara bersama-sama berproses
menuju bentuknya. Dalam berproses, masa lampau, sekarang, dan masa yang akan
datang selalu bergerak. Masa lampau menjadi lebih lampau, sekarang menjadi
masa lampau, masa yang akan datang menjadi sekarang, dan masa yang belum
datang menjadi masa yang akan datang tanpa mampu untuk ditolak. Menurut
Adler, dari segi psikologis hidup manusia diarahkan secara finalistis dan setiap
manusia mempunyai rencana hidupnya sendiri yang tidak disadarinya. Semacam
kekuatan abstrak telah menuntun manusia di dalam prosesnya. Sejalan dengan
pendapat Adler, Freud juga menyatakan bahwa jiwa tak sadar itu merupakan
pengemudi hidup

manusia

tanpa manusia itu


74

sendiri

merasakan

dan

mengetahuinya (Hall, 1959). Dalam kondisi yang demikian manusia tidak dapat
didefinisikan karena ia belum berbentuk, selalu bergerak, dan berkembang. Begitu
manusia sadar akan eksistensinya, ia sudah berada di dalam proses yang tidak
diketahui alfa dan omeganya. Selanjutnya, pada saat manusia berada di dunia ini,
saat itu pulalah manusia mulai berhadapan dengan pertanyan tentang sesuatu, baik
yang menyangkut diri sendiri maupun lingkungan. Tetapi anehnya, selalu hadir
jawaban yang tak pasti,. Ada sesuatu yang diam-diam tetap tersembunyi dalam
misterinya. Selama sesuatu itu belum terjawab, manusia akan selalu dalam
kegelisahan karena kehidupan bagi manusia tak lain adalah suatu misteri, sebuah
proses dialektika yang gelap. Petualangan mencari jawaban terhadap sesuatu itu
rasanya begitu melelahkan. Berbagai tantangan dasar kehidupan manusia seperti:
maut, cinta, harapan, tragedi, loyalitas, kekuasaan, arti dan tujuan hidup, serta
kedudukan hal-hal yang transendental dalam eksisitensi manusia akan selalu hadir
dalam kehidupannya (Sujatmoko, 1983). Dalam hal ini, manusia sebagai makhluk
yang terlibat dan berlibat akan memberikan respon yang diharapkan mampu
berperan sebagai alternatif untuk mencapai keseimbangan mentalnya. Apabila
yang memberikan respon khas pribadi itu seorang pengarang, maka respon khas
pribadi yang bersifat idiosinkretik itu paling tidak akan terasa dalam karyakaryanya. Dalam kondisi yang semacam itu muncul suatu pertanyan: Apakah
karya sastra sebagai salah satu respon khas pribadi seseorang dalam menyikapi
kehidupannya akan ikut berperan dalam perubahan sosial?
Kehadiran sastra (dalam hal ini: susastra, yaitu sastra yang baik)
merupakan salah satu sisi yang menarik untuk lebih mendalami sesuatu karena
susastra merupakan salah satu wujud dari pengalaman hidup seseorang. Susastra
menampilkan

peristiwa

kehidupan

manusia,

harapan-harapannya,

keputusasaannya, pamrihnya, siasatnya, serta absurditas-absurditasnya sebagai


75

suatu dimensi peristiwa kehidupan yang lebih menyeluruh tentang manusia yang
meliputi dimensi ontologis dan dimensi metafisis (Cf. Sutardja, 1982).
Pengarang termasuk dalam golongan marginal man, yaitu manusia yang
berada dalam batas dua kebudayan atau lebih yang berbeda dan saling
bersentuhan. Masalah integrasi budaya yang mengandung banyak konflik justru
merupakan sumber kreativitas yang tidak pernah kering. Seorang pengarang yang
baik akan senantiasa merespon dan berdialog dengan masyarakat lingkungannya.
Berikut ini disajikan contoh susastra yang relatif singkat, yaitu puisi dan cerpen.
Dalam puisi, W.S. Rendra mengemukakan keberpihakannya pada rakyat jelata dan
kemarahannya pada pihak penguasa atau pemerintah. Selain itu, puisi Taufiq
Ismail menyuguhkan masalah rantai kehidupan, sedangkan Sapardi Djoko
Damono menyuguhkan masalah integrasi budaya. Selanjutnya, dalam cerpen,
Suhariyanto Soetijoso mencoba mengurai esensi seorang pembunuh .
Berikut ini Puisi W.S. Rendra
Pernyataan dari Rakyat: Menghadapi Kekuasaan yang Tidak Adil
Karena kami makan akar, dan terigu menumpuk di gudangmu
Karena kami hidup berhimpitan, dan ruanganmu berlebihan.
Maka, kita bukan sekutu.
Karena kami kucel, dan kamu gemerlapan.
Karena kami sumpek, dan kamu mengunci pintu
Maka kami mencuri kamu.
Karena kami terlantar di jalan, dan kamu memiliki semua keteduhan.
Karena kami kebanjiran, dan kamu berpesta di kapal pesiar.
Maka kami tidak menyukaimu.
Karena kami dibungkam, dan kamu nerocos bicara.
Karena kami diancam, dan kamu memaksakan kekuasaan.
Maka kami bilang, tidak! Kepadamu.
Karena kami tidak boleh memilih, dan kamu boleh berencana.
Karena kami cuma bersandal, dan kamu bebas memakai senapan.
Karena kami harus sopan dan kamu punya penjara. Maka, tidak.! dan
tidak! Kepadamu.
Karena kami arus kali, dan kamu batu tanpa hati, Maka air akan mengikis
batu.

76

Dalam puisi ini, Rendra semakin meneguhkan kedudukannya sebagai


penyair yang peduli dengan rakyat kecil. Puisi-puisinya mencerminkan
keberpihakannya pada rakyat jelata. Puisinya juga selalu sarat dengan kritik sosial
yang biasanya ditujukan pada pemerintah. Perubahan soial yang terjadi di
Indonesia akhir-akhir ini juga direkam dan dikemukakan lagi dengan jeli dalam
bentuk puisi.
Dalam puisi Pernyataan dari Rakyat ini, Rendra mengungkapkan dengan
gamblang adanya people power (arus kali) yang berhasil mengikis pihak
penguasa atau pemerintah (batu kali tanpa hati). Di sini terdapat unsur mengejek
dan ironi antara dua kekuatan, yaitu rakyat dan penguasa. Rakyat jelata
digambarkan sebagai orang yang papa dan sarat dengan derita kekurangan. Hal ini
digambarkan dengan: makan akar, hidup berihimpitan, kucel, sumpek, terlantar di
jalan, kebanjiran, dibungkam, diancam, tidak boleh memilih, cuma bersandal, dan
harus sopan. Sedangkan di sisi lain kehidupan penguasa yang otoriter
digambarkan penuh dengan gelimang kemewahan dan kekuasan yang
dikemukakan dengan kata-kata: terigu menumpuk di gudang, ruangan berlebihan,
gemerlapan, mengunci pintu, memiliki semua keteduhan, berpesta di kapal pesiar,
nerocos bicara, memaksakan kekuasaan, bebas berencana, bebas memakai
senapan, punya penjara. Perbedaan yang sangat tajam antara dua kelompok ini
membuahkan sikap keras pula pada rakyat jelata. Hal itu digambarkan dengan:
kita bukan sekutu, kami mencuri harta kamu, kami tidak menyukaimu, kami
bilang tidak! Kepadamu, tidak! dan tidak! Kepadamu. Puisi ini merupakan
potret kenyataan perubahan sosial masyarakat Indonesia pada tahun ini (memang
ada semacam potret sosial yang dapat ditarik dari karya sastra) . Puncak peristiwa
ini terjadi pada bulan Mei saat presiden ke-2 RI lengser dari jabatannya. Lengsernya presiden ini dapat disamakan dengan lengser-nya pemerintah karena presiden
77

merupakan simbol penguasa pemerintahan. Saat inilah yang digambarkan dengan


air akan mengikis batu.
Dalam salah satu puisi terbarunya, Taufiq Ismail menulis:
Mahasiswa takut pada dosen
Dosen takut pada rektor
Rektor takut pada menteri
Menteri takut pada presiden
Dan presiden takut pada mahasiswa
Dalam puisi ini, ada students power yang tercermin. Seperti halnya puisi
Rendra, di sini juga terdapat unsur mengejek dan ironi antara dua kekuatan
(mahasiswa-dosen, dosen-rektor, rektor-menteri, menteri-presiden, presidenmahasiswa). Puisi ini juga merupakan potret kenyataan perubahan sosial
masyarakat Indonesia pada tahun ini yang terjadi pada saat presiden ke-2 RI
lengser dari jabatannya. Lengser-nya presiden ke-2 ini secara tidak langsung
berkaitan

dengan

anggapan

mengenai

ketidakmampuannya

menangani

perkembangan terakhir yang makin memanas di Indonesia. Dasar dari anggapan


ini dimotori dan dikumandangkan oleh para mahasiswa. Pada saat itu, mahasiswa
telah menduduki gedung MPR dengan tuntutan supaya presiden mundur. Hal itu
digambarkan oleh Taufiq sebagai ketakutan seorang presiden pada mahasiswa.
Taufiq menangkap hal ini dengan jeli sekali dan menuangkannya dalam bentuk
rantai yang tidak terputus. Segala sesuatu akan kembali secara alamiah.
Selanjutnya, rantai juga merupakan salah satu simbol dalam Pancasila, yaitu
simbol dari kemanusiaan yang adil dan beradab. Jadi, mata rantai yang
tersimpan dalam puisi di atas menunjukkan bahwa kejadian atau hal itu
merupakan hal yang adil karena pada akhirnya rantai itu tersambung dan kembali
ke bawah. Puisi itu juga mengingatkan manusia pada kehidupan yang diibaratkan
seperti roda yang berputar.
78

Ada saatnya manusia itu berada di atas dan ada saatnya berada di bawah.
Ada saatnya mahasiswa takut pada dosennya dan ada saatnya kekuasaan tinggi
dalam hal ini presiden takut pada para mahasiswa. Dengan kata lain, dalam puisi
ini Taufiq Ismail memberi tawaran relativitas nilai yang merupakan buah dari
wawasan relational objectivity (segala sesuatu itu saling berkaitan dan selalu
berproses). Perubahan sosial yang tampak dalam puisi ini adalah pada baris akhir,
yaitu: presiden takut pada mahasiswa. Hal semacam ini belum pernah terjadi
sebelumnya (di Indonesia). Students power ini merupakan hal baru yang
membawa angin segar dalam kancah perubahan sosial di masyarakat. Nilai-nilai
lama banyak yang gugur dan nilai-nilai baru mulai bermunculan.
Hal itu terbukti sekarang dengan adanya krisis moneter yang betul-betul
terjadi dan berkepanjangan akhir-akhir ini karena ketergantungan pada produk
asing yang sangat besar. Bahkan untuk urusan makanan pokok pun ternyata
Indonesia belum mampu mandiri, misalnya: beras, kedelai, dan gandum yang
masih perlu impor. Bahkan untuk membuat plastik, sabun, dll. ternyata Indonesia
juga belum mandiri. Krisis moneter saat ini dan ketergantungan yang sangat besar
pada produk asing dapat mengancam eksistensi bangsa Indonesia sebagai bangsa
yang merdeka. Lihat saja bagaimana sekarang IMF mulai mendikte kebijakan
perekonomian Indonesia. Jadi, pada dasarnya puisi Mata Pisau merupakan
tanggapan Sapardi terhadap kebijakan penempuhan jalan pintas yang dijalankan
dengan sembrono.
Penempuhan jalan pintas ini memang sangat tepat dan menguntungkan
karena dapat secara langsung dirasakan nilai kontan kenikmatannya. Tetapi
hendaknya selalu diingat bagaimanapun baiknya suatu sarana ia tidak akan luput
dari mitos keseimbangan yaitu menguntungkan merugikan. Oleh karena itu, di
samping menempuh jalan pintas, juga harus senantiasa dipupuk kemandirian,
79

jangan sampai jalan panjang itu digilas oleh jalan pintas. Ngono yo ngono ning
ojo ngono. Itulah tema pokok yang terkandung dalam Mata Pisau.
Keseimbangan antara keduaanya merupakan satu-satunya jalan menyelamatkan
kehancuran eksistensi bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar.
Berangkat dari mitos keseimbangan, Sapardi mengingatkan bahwa segala
sesuatu itu dikuasai oleh konsep keseimbangan. Kekaburan eksistensi bangsa
Indonesia seperti yang diungkapkan dalam Mata Pisau itu adalah bukti akibat
salah langkah yang tidak memperhatikan konsep keseimbangan. Melalui bentuk
parodi dalam senjata dapat makan tuan, ia menjelmakan secara tepat mitos
keseimbangan sebagai acuan tematis. Gambaran tersebut memberi amanat
hendaknya manusia selalu eling lan waspodo dalam memaknai segala sesuatu,
memanfaatkan yang baik dan menguntungkan serta bersikap waspada terhadap
keburukan dan kerugiannya (cf. Kisyani-Laksono, 1990).
Kembali pada karya sastra AKU dan KARAWANG-BEKASI
menunjukkan koorelasi yang kuat antara kejadian sejarah pada waktu itu dengan
puisi yang disusun oleh sang penyair. AKU dan KARAWANG-BEKASI tidak
terlepas dari semangat melawan penjajahan pada waktu itu yakni pada saat pasca
kemerdekaan atau pada saat revolusi yakni perubahan yang cepat dari masa
terjajah menjadi bangsa yang merdeka. Berikut ini cuplikan peristiwa yang
mengilhami Chairil Anwar menciptakan KARAWANG-BEKASI yakni
Pembantaian di Rawagede sebagaimana disadur dari laporan Batara Hutagalung
(2005)
Di Jawa Barat, sebelum Persetujuan Renville ditandatangani, tentara
Belanda dari Divisi 1 yang juga dikenal sebagai Divisi 7 Desember, terus
memburu laskar-laskar Indonesia dan unit pasukan TNI yang masih mengadakan
perlawanan terhadap Belanda. Yang ikut ambil bagian dalam operasi di daerah
80

Karawang adalah detasemen 3-9 RI, pasukan para (1e para compagnie) dan 12
Genie veld compagnie, yaitu brigade cadangan dari pasukan para dan DST (Depot
Speciaale Troepen).
Dalam operasinya di daerah Karawang, tentara Belanda mencari Kapten
Lukas Kustario, komandan kompi Siliwangi kemudian menjadi Komandan
Batalyon Tajimalela/Brigade II Divisi Siliwangi yang berkali-kali berhasil
menyerang patroli dan pos-pos militer Belanda. Di wilayah Rawagede juga
berkeliaran berbagai laskar, bukan hanya pejuang Indonesia namun juga
gerombolan pengacau dan perampok.
Pada 9 Desember 1947, tentara Belanda di bawah pimpinan seorang
Mayor mengepung desa Rawagede dan menggeledah setiap rumah. Namun
mereka tidak menemukan sepucuk senjatapun. Mereka kemudian memaksa
seluruh penduduk keluar rumah masing-masing dan mengumpulkan di tempat
yang lapang. Penduduk laki-laki diperintahkan untuk berdiri berjejer, kemudian
mereka ditanya tentang keberadaan para pejuang Republik. Namun tidak satupun
rakyat yang mengatakan tempat persembunyian para pejuang tersebut.
Perwira Tentara Belanda kemudian memerintahkan untuk menembak mati
semua penduduk laki-laki, termasuk para remaja dan bahkan ada yang baru
berusia 11 dan 12 tahun. Beberapa orang berhasil melarikan diri ke hutan,
walaupun terluka kena tembakan. Saih, kini berusia 83 tahun menuturkan, bahwa
dia bersama ayah dan para tetangganya sekitar 20 orang jumlahnya disuruh berdiri
berjejer. Ketika tentara Belanda memberondong dengan senapan mesin - istilah
penduduk setempat: "didredet"- ayahnya yang berdiri di sampingnya tewas kena
tembakan, dia juga jatuh kena tembak di tangan, namun dia pura-pura mati.
Ketika ada kesempatan, dia segera melarikan diri.

81

Hari itu tentara Belanda membantai 431 penduduk Rawagede. Tanpa ada
pengadilan, tuntutan ataupun pembelaan. Seperti di Sulawesi Selatan, tentara
Belanda di Rawagede juga melakukan yang mereka namakan eksekusi di tempat
(standrechtelijke excecuties). Tindakan yang jelas merupakan kejahatan perang.
Diperkirakan korban pembantaian lebih dari 431, karena banyak yang hanyut
dibawa sungai yang banjir karena hujan deras.
Hujan yang mengguyur mengakibatkan genangan darah membasahi desa
tersebut. Yang tersisa hanya wanita dan anak-anak. Keesokan harinya, setelah
tentara Belanda meninggalkan desa tersebut, para wanita menguburkan mayatmayat dengan peralatan seadanya. Seorang ibu menguburkan suami dan 2 orang
putranya yang berusia 12 dan 15 tahun. Mereka tidak dapat menggali lubang
terlalu dalam, hanya sekitar 50 cm saja. Untuk pemakaman secar Islam, yaitu
jenazah ditutup dengan potongan kayu, mereka terpaksa menggunakan daun
pintu, dan kemudian diurug tanah seadanya, sehingga bau mayat masih tercium
selama berhari-hari.
Pimpinan Republik mengadukan peristiwa pembantaian ini kepada
Committee of Good Offices for Indonesia (Komisi Jasa Baik untuk Indonesia) dari
PBB. Namun tindakan Komisi ini hanya sebatas pada kritik terhadap aksi militer
tersebut yang mereka sebut sebagai "deliberate and ruthless", tanpa ada sanksi
yang tegas atas pelanggaran HAM, apalagi untuk memandang pembantaian rakyat
yang tak bedosa sebagai kejahatan perang (war crimes).
Tahun 1969 berdasarkan keputusan sidang Parlemen Belanda, Pemerintah
Belanda membentuk tim untuk meneliti kasus-kasus pelanggaran/penyimpangan
yang dilakukan oleh tentara tentara kerajaan Belanda (KL, Koninklijke
Landmacht dan KNIL, Koninklijke Nederlands-Indische Leger) antara tahun 1945
- 1950. Hasil penelitian disusun dalam laporan berjudul "Nota betreffende het
82

archievenonderzoek naar gegevens omtrent excessen in Indonesie begaan door


Nederlandse militairen in de periode 1945-1950", disingkat menjadi De
Excessennota. Laporan resmi ini disampaikan oleh Perdana Menteri de Jong pada
2 Juni 1969. Pada bulan Januari 1995 laporan tersebut diterbitkan menjadi buku
dengan format besar (A-3) setebal 282 halaman, dengan kata pengantar dari Prof
Dr Jan Bank, guru besar sejarah Universitas Leiden. Di dalamnya terdapat sekitar
140 kasus pelanggaran/ penyimpangan yang dilakukan oleh tentara Belanda.
Dalam laporan De Excessen Nota yang hampir 50 tahun setelah agresi militer
mereka- tercatat bahwa yang dibantai oleh tentara Belanda di Rawagede "hanya"
sekitar 150 orang. Juga dilaporkan, bahwa Mayor yang bertanggungjawab atas
pembantaian tersebut, demi kepentingan yang lebih tinggi, tidak dituntut ke
pengadilan militer.
Di Belanda sendiri, beberapa kalangan dengan tegas menyebutkan, bahwa
yang dilakukan oleh tentara Belanda pada waktu itu adalah kejahatan perang
(oorlogs-misdaden) dan hingga sekarang masih tetap menjadi bahan pembicaraan,
bahkan film dokumenter mengenai pembantaian di Rawagede ditunjukkan di
Australia. Anehnya, di Indonesia sendiri film dokumenter ini belum pernah
ditunjukkan.
Pembantaian di Sulawesi Selatan dan di Rawagede serta berbagai
pelanggaran HAM berat lain, hanya sebagian kecil bukti kejahatan perang yang
dilakukan oleh tentara Belanda, dalam upaya Belanda untuk menjajah kembali
bangsa Indonesia, setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17
Agustus 1945. Parlemen dan Pemerintah Belanda sangat responsif dan cukup
terbuka mengenai pelanggaran HAM yang telah dilakukan oleh tentara Belanda
antara 1945 - 1950, walaupun kemudian belum ada sanksi atau tindakan hukum
selanjutnya. Juga tidak pernah dibahas, mengenai kompensasi bagi para korban
83

dan keluarga korban yang tewas dalam pembantaian akibat agresi militer, yang
sekarang mereka akui, adalah suatu kesalahan.

BAB V
KESIMPULAN
5.1. Kesimpulan
Sastra apapun bentuknya termasuk puisi, ternyata mampu mempengaruhi
masyarakat untuk melakukan perubahan sosial. Sastra merupakan media
penyampai pesan yang dapat mempengaruhi fikiran motivasi hingga sikap hidup
masayarakat yang pada akhirnya akan menggerakkan masayarakat untuk
melakukan perubahan.
Sastra dapat merangsang tumbuhnya dinamika struktural mental bagi
pembacaanya. Wellek dan Warren (1978) berpendapat bahwa sifat sosial hanya
merupakan salah satu ragam sastra dari banyak ragam lainnya Walaupun sebagai
salah satu ragam, peran susastra dalam kehidupan manusia untuk menghadapi
perubahan budaya menjadi sangat berarti dan tidak dapat diabaikan. Memang,
secara umum, sastra mempunyai tujuan dan alasan keberadaannya sendiri. Ayip
84

Rosidi (1975: 7) mengemukakan bahwa Apa yang disampaikan penyair


(pengarang) sebenarnya tak kalah penting dengan yang diucapkan oleh seorang
tokoh politik atau pemimpin masyarakat lainnya. Bahkan kadangkala lebih
penting lagi.
5.2. Saran
Disarankan bahwa kesusastraan terutama yang memiliki makna sejarah
perlu disampaikan kepada masyarakat untuk melawan lupa terhadap sejarahnya
sendiri. Apa yang terjadi pada masa lalu merupakan pijakan untuk masa yang akan
datang untuk kehidupan lebih baik. Sebuah karya sastra bukan hanya sebagai
warisan budaya namun juga dapat dijadikan warisan ideologi bagi masyarakatnya.

85

DAFTAR PUSTAKA
Abrams,M.H. 1976. A Glossary of Literay Terms.New York: Holt-Rinegart and
Winston.
Adzakiey, Hamdani Bakran.2008.Prophetic Intellegence.Yogyakarta: Al-manar.
Astrid S.Susanto, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, TK.Bica Cipta, 1979
Burhanuddin Bungin, Sosiologi Komunikasi Teori, Paradigma dan Diskursus
Chamamah, Soeratno. 2001. Pengkajian Sastra dari Sisi Pembaca:Satu
Pembicaraan Metodologi. Yogyakarta: Hanindita.
Dahana O.P. dan Bhatnagar P.P. Education And Comunication For Defelopmen,
New Delhi: Oxford & IBH Publishing Co, 1980
Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar.Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Damono, Sapardi Djoko. 1982. Mata Pisau. Jakarta: Balai Pustaka.
_______. 2006. Sastra dalam Perubahan Sosial. Yogyakarta: Pass Offset.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Umum Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, 1995
Gazalba, Sidi, Islam dan Perubahan Sosial Budaya,: Kajian Islam tentang
Perubahan masyarakat, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1983
Hall, Calvin S. 1959. Suatu Pengantar ke dalam Ilmu Jiwa Sigmund Freud. Terj.
S. Tasrif. Jakarta: Pembangunan.
Jawa Pos. 1998. Puisi Reformasi. Agustus 1998. Surabaya.
Kisyani-Laksono. 1990. Peran Susastra dalam Kehidupan Manusia. Dalam
Pelangi Bahasa dan Sastra Indonesia . Surabaya.
Nasution, Zulkarimein, Komunikasi Pembangunan: Pengenalan Teori dan
Penerapannya (ed revisi), Jakarta: Logos, 2000
Ogburn William F., Social Chang, New York: Viking Press, 1
Pradopo, Rakhmad Djoko. 1987G. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press. Rendra, W.S. 1998. Pernyataan dari Rakyat:
Menghadapi Kekuasaan yang Tidak Adil. Dalam Oposisi., no. 12 tahun I
Minggu IV, Oktober 1998. Surabaya.
Rosidi. Ayip. 1975. Puisi Indonesia I. Bandung: Peladjar.
Samsuddin, M.Din, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani,Jakarta:
Logos, 2000
Shaleh, Abd.Rasyad, Managemen Dakwah, Jakarta: Bulan Bintang, 1993
Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu
PenerbitUniversitas Indonesia, 1974

Pengantar,

Jakarta:

Yayasan

Soemanto, Bakdi. 1981. Hamartia dan Konsep Tragedi. Yogyakarta.


Soetijoso, Suhariyanto. 1983. Pembunuh. Dalam Horison 6 (1983). Jakarta
Sujatmoko. 1983. Dimensi Manusia dalam Pembangunan. Jakarta: LP3ES
86

Sutarjo. 1982. Sastra Menyuguhkan Kemungkinan dalam Temu Budaya. Dalam


Majalah Mahasiswa, 31 (1982, VI)
Teeuw. 1. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka
Jaya.
Website :
http://pustakahidayah.co.id/buku-pendidikan/buku-antropologi-sastraperananunsurunsur-kebudayaan-dalam-proses-kreatif-penulis-prof-dr-nyomankutha-ratna
http://pustakapelajar.co.id/buku/antropologi-sastra-peranan-unsur-unsurkebudayaan-dalam-proses-kreatif/
https://sites.google.com/site/karyaciptameet/aspek-sastra/antropologi
http://www.anneahira.com/makna-puisi-aku-chairil-anwar.htm
http://www.bimbingan.org/parafrase-puisi-aku.htm
http://id.wikipedia.org/wiki/Pembantaian_Rawagede
http://fai.ummgl.ac.id/jurnal/item/85/pentingnya-sastra-bagi-perkembangan-jiwadan-perubahan-sosial.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Perubahan_sosial
http://www.academia.edu/3684785/PERUBAHAN_SOSIAL
http://carakata.org/perubahan-sosial-budaya-pengertian-contoh-teori-dandampaknya/
http://id.wikipedia.org/wiki/Perubahan_sosial_budaya
http://bestiklidah.wordpress.com/pengetahuan-umum/perubahan-sosial-budaya-diindonesia/
http://www.slideshare.net/yenithanphachoga/perubahan-sosialdanteorimodernisasi
http://id.wikipedia.org/wiki/Pondok_Paman_Tom
http://gayahidup.inilah.com/read/detail/1961188/puisi-memulai-sebuahperubahan-sosial
http://www.anneahira.com/puisi-sosial.htm
http://jurnal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/629
http://www.sumbawanews.com/berita/sastra-dan-perubahan-sosial
http://wahyuwibowo.blog.unas.ac.id/artikel/karya-sastra-sebagai-pendorongproses-perubahan-sosial/
http://www.kukb.nl/main.php?id=6
http://awalbarri.wordpress.com/2009/03/16/1-definisipengertian-antropologiobjek-tujuan-dan-cabang-ilmu-antropologi/
http://wajirannet.blogspot.com/2007/09/sastra-dan-perubahan-masyarakat.html
http://jannysurabaya.blogspot.com/2009/05/analisis-puisi-krawang-bekasi.html
http://ahmad-prayitno.com/2010/10/puisi-karawang-bekasi-karya-chairil-anwar/
87

http://kisyani.wordpress.com/2010/11/17/sastra-dan-perubahan-sosial-1998/
http://eelaa.blogspot.com/2011/01/pengkajian-puisi-karawang-bekasi-karya.html
http://dhanydamopolii.wordpress.com/2011/01/24/penelitian-sastra/
http://dhanydamopolii.wordpress.com/2011/01/24/penelitian-sastra/
http://www.sigodangpos.com/2011/09/analisis-makna-puisi-aku-chairilanwar.html
http://bolangtux.wordpress.com/2011/12/25/makna-puisi-aku-chairil-anwar/
http://juwita.blog.fisip.uns.ac.id/2012/03/09/orang-orang-yang-berharga-dalamhidupku/
http://ajengbgt.blogspot.com/2012/04/apresisasi-sastra-kajian-antropologi.html
http://ajengbgt.blogspot.com/2012/04/apresisasi-sastra-kajian-antropologi.html
http://saeful-azis.blogspot.com/2012/05/analisis-makna-puisi-aku-chairilanwar.html
http://saeful-azis.blogspot.com/2012/05/analisis-makna-puisi-aku-chairilanwar.html
http://maesaroh-sya.blogspot.com/2012/05/sastra-dan-perubahan-sosial.html
http://bangkusekolah-id.blogspot.com/2012/07/pengertian-teori-tentangproses.html
http://selaludisin1.blogspot.com/2012/10/makna-puisi-aku-ciptaan-chairilanwar.html
http://maspbnaru.wordpress.com/2013/03/03/makna-puisi-krawang-bekasi-olehchairil-anwar/
http://eniph.blogspot.com/2013/04/pendekatan-sosiologis-sastra.html
http://forumsanding.wordpress.com/2013/04/11/dari-antropologi-budaya-kesastra-dan-sebaliknya/
http://zagal43.blogspot.com/2013/10/konsepsi-dasar-sosiologi-sastra.html
http://dipustaka.blogspot.com/2013/11/puisi-karawang-bekasi.html
http://dipustaka.blogspot.com/2013/11/puisi-karawang-bekasi.html
http://www.was-was.com/2013/12/kumpulan-puisi-chairil-anwar-lengkap.html
http://ssbelajar.blogspot.com/2014/01/pengertian-dan-unsur-perubahan-sosialbudaya.html
http://www.materi-sma.com/2014/03/pengertian-dan-teori-perubahan-sosial.html

88

Anda mungkin juga menyukai