Anda di halaman 1dari 11

Modul Sastra Modern

PERTEMUAN KE-3: PERIODISASI


SASTRA MODERN INDONESIA

I.TUJUAN PEMBELAJARAN
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai Sejarah Sastra Indonesia
Modern. Setelah mempelajari modul ini diharapkan Anda akan memiliki
kemampuan untuk menjelaskan:
Karakteristik karya sastra Angkatan Balai Pustaka, ’45, dan periode 1955-1965

II. URAIAN MATERI


A. Angkatan Balai Pustaka (1920-an)

Sastra Balai Pustaka lahir sekitar tahun 20-an, di mana kehidupan masyarakat kita
dalam masa penjajahan. Di bawah penindasan kaum penjajah, masyarakat kita
memiliki sikap, cita-cita, dan adat istiadat yang isinya memberontak. Hal tersebut
karena dalam kehidupan mereka selalu diwarnai peristiwa-peristiwa sosial dan
budaya yang sengaja diciptakan oleh pihak penjajah, yakni pemerintah Belanda.
Hal inilah yang menjadi ciri atau karakteristik sastra pada masa itu. Umumnya
karakteristik sastra suatu periode dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu: (1) situasi dan
kondisi masyarakat, (2) sikap hidup dan cita-cita para pengarang, dan (3) sikap
dan persyaratan yang ditentukan oleh penguasa atau pemerintah.

Bertolak dari hal-hal tersebut di atas, maka karakteristik sastra Angkatan Balai
Pustaka adalah sebagai berikut: (1) Bahasa sastra adalah bahasa Indonesia masa
permulaan perkembangan, yang disebut Bahasa Melayu Umum; (2) Sastra Balai
Pustaka umumnya bertema masalah kawin paksa. Masyarakat (terutama kaum
ibu) beranggapan bahwa perkawinan urusan orang tua. Orang tua memiliki
kekuasaan mutlak dalam menentukan jodoh anaknya.

23
S1 Sastra Indonesia Universitas Pamulang
Modul Sastra Modern

Dalam Angkatan Balai Pustaka ada tiga tokoh penting, yakni Nur Sutan Iskandar,
Marah Rusli, dan Abdul Muis. Nur Sutan Iskandar adalah seorang tokoh yang
banyak menghasilkan karya sastra dan selalu berusaha memasukkan semangat dan
cita-cita kebangsaan. Marah Rusli dijadikan tokoh penting karena hasil karyanya
yang berjudul Siti Nurbaya merupakan hasil karya sastra Balai Pustaka yang
paling populer. Sedangkan, Abdul Muis adalah pengarang roman Salah Asuhan
merupakan roman yang paling menonjol dari segi pengolahannya.

Tokoh-Tokoh Sastra Angkatan Balai Pustaka

1) Nur Sutan Iskandar

Nur Sutan Iskandar dilahirkan di Sungai Batang, Maninjau, Sumatra Barat tanggal
3 November 1893. Semasa kecil namanya Muhammad nur, setelah beristri
menurut adat Minang di beri gelar Sutan Iskandar. Hasil-hasil karya sastranya
yang lain, ialah: (1) Abunawas, (2) Neraka Dunia, (3) Cinta Tanah Air.

2) Marah Rusli

Marah Rusli lahir di Padang pada tahun 1889 dan meninggal tahun 1968. Ia
menjadi dokter hewan untuk beberapa lama di Sumbawa dan terakhir di
Semarang. Ia menikah dengan gadis Sunda, namun tidak disetujui keluarga,
akibatnya Marah Rusli diasingkan dari keluarganya. Kondisi ini ikut
memengaruhi karya-karyanya. Roman Siti Nurbaya, yang berisi lukisan realitas
masyarakat pada saat itu, merupakan roman karya Marah Rusli yang paling
populer masa Angkatan Balai Pustaka. Hasil-hasil karya sastra yang lain, di
antaranya ialah: (1) Anak dan Kemenakan (roman), (2) La Hami (roman sejarah
Pulau Sumba).

3) Abdul Muis

Abdul Muis dilahirkan di Bukittinggi tahun 1886 dan meninggal pada tahun 1959
di Bandung. Ia pernah mengenyam pendidikan di Stovia, namun tidak selesai,
kemudian menjadi wartawan dan pemimpin Sarekat Islam. Pernah juga menjadi
anggota delegasi Comite Indie Weerbar (Panitian Pertahanan Hindia) ke negeri
Belanda. Pada tahun 1920 diangkat menjadi anggota Volksraad (Dewan
Perwakilan Rakyat).

24
S1 Sastra Indonesia Universitas Pamulang
Modul Sastra Modern

Karyanya yang paling terkenal ialah Salah Asuhan. Roman ini sangat menarik,
karena tema pas dan cara mengungkapkannya baik. Hasil-hasil karya sastra yang
lain, di antaranya ialah: (1) Pertemuan Jodoh tahun 1933,

(2) Suropati, roman sejarah tahun 1950, (3) Putri Umbun-Umbun Emas tahun
1950, (4) Robert Anak Suropati, roman sejarah tahun 1952. Selain ketiga
pengarang tersebut di atas, sebenarnya masih banyak pengarang Balai Pustaka
yang lain. Mereka di antaranya ialah:

4) Aman Datuk Mojoindo

Hasil karyanya, antara lain: (1) Si Doel Anak Betawi, (2) Si Cebol Rindukan
Bulan.

5) Tulis Sutan Sati

Hasil karyanya, antara lain: (1) Sengsara Membawa Nikmat tahun 1928, (2) Tidak
tahu Membalas Guna tahun 1932, (3) Tak Disangka tahun 1932.

6) Merari Siregar

Hasil karyanya, antara lain: Azab dan Sengsara tahun 1920

B. Sastra Angkatan `45

Mungkin sebagian Anda bertanya mengapa tidak dipakai Pujangga Angkatan


42 untuk menyebut angkatan sastra ini. Alasannya karena golongan ini diberi
nama kemudian, yaitu setelah proklamasi kemerdekaan. Usul Rosihan Anwar
untuk nama angkatan periode ini adalah Pujangga Angkatan ’45 yang segera
mendapat dukungan publik opini, meskipun beberapa kritikus mengkritknya
dengan keras. Nama sebelumnya disebut Pujangga Gelanggang, karena mereka
menulis dalam rubrik majalah Siasat yang diberi nama rubrik Gelanggang.

Latar belakangnya ikhtisarkan sebagai berikut.

a. Pujangga Angkatan ’45 lahir dan tumbuh di saat revolusi kemerdekaan. Jiwa
nasionalisme telah mendarah daging, karena itu suaranya lantang dan keras.

25
S1 Sastra Indonesia Universitas Pamulang
Modul Sastra Modern

b. Di zaman Jepang muncul sajak berjudul 1943 dari Chairil Anwar, prosa Radio
Masyarakat dari Idrus, dan drama Citra dari Usmar Ismail.

c. Pada tanggal 29 November 1946 di Jakarta didirikan Gelanggang oleh Chairil


Anwar, Asrul Sani,Baharudin, dan Henk Ngantung. Anggaran Dasarnya
berbunyi:

Generasi Gelanggang terlahir dari pergolakan roh dan pikiran kita, yang
sedang menciptakan manusia Indonesia yang hidup. Generasi yang harus
mempertanggungjawabkan dengan sesungguhnya penjadian dari bangsa kita.
Kita hendak melepaskan diri dari susunan lama yang telah mengakibatkan
masyarakat lapuk dan kita berani menantang pandangan, sifat, dan anasir
lama untuk menyalakan bara kekuatan baru.

d. Orientasi Pujangga Angkatan ’45 masih ke Barat, namun dalam penyerapan


kebudayaan Baratnya ini mengalami pemasakan dalam jiwa, sehingga lahir
bentuk baru. Karena itu, plagiat Chairil Anwar atas karya Archibald Mac
Leish yang berjudul The Young Dead Soldiers tidak kelihatan, yang menjelma
menjadi sajak Krawang—Bekasi. Namun pula di samping itu Chairil Anwar
juga banyak berjasa dalam memodernisasi kesusastraan Indonesia, dalam
penjiwaannya yang menjulang tajam.
e. Setelah Chairil Anwar meninggal (Jakarta, 28 April 1949, dikuburkan di
Karet), Surat Kepercayaan Gelanggang baru diumumkan dalam warta sepekan
SIASAT tanggal 23 Oktober 1950. dokumen inilah yang dijadikan tempat
berpaling untuk dasar segala konsepsi nilai hidup dan seni dari Angkatan ’45.

2. Karakteristik Karya Sastra Angkatan ‘45

a. Revolusioner dalam bentuk dan isi. Membuang tradisi lama dan menciptakan
bentuk baru sesuai dengan getaran sukmanya yang merdeka.

b. Mengutamakan isi dalam pencapaian tujuan yang nyata. Karena itu bahasanya
pendek, terpilih, padat berbobot. Dalam proses mencari dan menemukan
hakikat hidup. Seni adalah sebagai sarana untuk menopang manusia dan dunia
yang sedalam-dalamnya.

26
S1 Sastra Indonesia Universitas Pamulang
Modul Sastra Modern

c. Ekspresionis, mengutamakan ekspresi yang jernih.

d. Individualis, lebih mengutamakan cara-cara pribadi.

e. Humanisme universal, bersifat kemanusiaan umum. Indonesia dibawa dalam


perjuangan keadilan dunia.

f. Tidak terikat oleh konvesi masyarakat yang penting adalah melakukan segala
percobaan dengan kehidupan dalam mencapai nilai kemansiaan dan
perdamaian dunia.

g. Tema yang dibicarakan: humanisme, sahala (martabat manusia), penderitaan


rakyat, moral, keganasan perang dengan keroncongnya perut lapar.

3. Peristiwa-Peristiwa Penting Yang Terjadi

a. Penjajahan Jepang (1942—1945)

b. Proklamasi kemerdekaan (17 Agustus 1945)

c. Agresi Militer Belanda I dan II (21 Juli 1949 dan 18 Desember 1948)

d. Penyerahan kedaulatan RI (12 Desember 1949)

e. Gebrakan Chairil Anwar dengan bahasa puisinya yang pendek, padat, berbobot,
dan bernas dan struktur puisinya yang menyimpang dari pola sastra
sebelumnya.

f. Diumumkannya Surat Kepercayaan Gelanggang pada 23 Oktober 1950.

4. Sastrawan-Sastrawan Angkatan ‘45

Di bawah ini beberapa sastrawan angkatan ’45 beserta karyanya.

a. Chairil Anwar (Kerikil Tajam dan Yang Terempas dan Yang Putus [1949],
Deru Campur Debu [1949], dll.)

b. Idrus (Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma [1948], Aki [1949], dll.)

c. Pramoedya Ananta Toer (Cerita dari Blora [1963], Keluarga Gerilya [1951],
dll.)

27
S1 Sastra Indonesia Universitas Pamulang
Modul Sastra Modern

d. Mochtar Lubis (Tidak Ada Esok [1982], Harimau! Harimau!, dll.)

e. Utuy Tatang Sontani (Suling [1948], dll.)

f. Achdiat K. Mihardja (Atheis [1958], dll.), dll.

Selain sastrawan yang disebutkan di atas, masih banyak lagi sastrawan


Angkatan ’45 yang belum disebutkan.

5. Relevansi Antara Sastra Angkatan ’45 Dengan Kehidupan Saat Ini

Pada masa kehidupan sastra angkatan ’45, kita ketahui berbagai macam
peristiwa terjadi. Hal ini menjadi nilai positif bagi sastrawan untuk berkarya
secara bebas dan maksimal. Namun, karya-karya dan peristiwa-peristiwa yang
dialami mereka tidak selesai sampai di situ saja karena ada kesamaan antara
sastra Angkatan ’45 dengan kehidupan kita saat ini, antara lain sebagai
berikut.

a. Pada masa angkatan ’45, Chairil Anwar—si binatang jalang—walaupun


melakukan suatu gebrakan dengan bahasanya yang singkat tetapi bernas itu
telah melakukan beberapa kebohongan yang membuatnya dicap sebagai
plagiator. ia menjiplak puisi The Young Dead Soldiers Archibald Mac Leish
dengan menggantinya dengan nama Krawang—Bekasi.

Dalam kehidupan kita saat ini, penjiplakan-penjiplakan karya seperti ini sering
terjadi. Salah satu contoh perseteruan antara Ahmad Dhani (Dewa) dengan
Yudhistira A.M.N. akibat penjipakan yang dilakukan Dhani terhadap karya
Yudhistira, Arjuna Mencari Cinta.

b. Novel Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis yang mengisahkan tentang


kebobrokan seorang pemimpin yang dalam karya itu diperankan oleh tokoh
antagonis, Wak Katok. Wak Katok dalam karya Mochtar Lubis tersebut
diceritakan sebagai pemimpin yang merupakan dukun yang ahli membuat
jimat dan juga seorang yang ksatria dan sakti. Namun, pada akhir cerita,
kebenaran bahwa Wak Katok adalah seorang dukun sakti tak terbukti. Ini
mengindikasikan kebohongan yang dilakukan Wak Katok karena telah menipu
masyarakat dengan ceritanya yang telah membunuh tiga ekor harimau hutan.
28
S1 Sastra Indonesia Universitas Pamulang
Modul Sastra Modern

Bahkan Wak Katok sendiri harus rela dibunuh oleh seorang anak muda yang
menjadi pengikutnya.

Relevansi karya sastra tersebut dengan kehidupan kita di masa kini adalah
banyak pemimpin kita yang akhlaknya bobrok. Mulai dari kebohongan-
kebohongan, penyelewengan-penyelewengan, korupsi, hingga kebijakan-
kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat. Bahkan kekalahan Wak Katok
oleh pemuda dapat kita analogikan sebagai salah satu bentuk dari kekalahan
rezim Soeharto dalam realitanya pada masa sekarang.

Novel Harimau! Harimau! mengajak kita untuk merenungi arti pemimpin


yang sebenarnya dan penghentian pe-mitos-an terhadap seorang pemimpin.

c. Pertentangan antara golongan tua dengan golongan muda yang terjadi antara
sastrawan Angkatan tua (Angkatan sebelum ‘45) dengan Angkatan muda
(Angkatan ‘45). Angkatan ’45 menginginkan sastra Indonesia menjadi bagian
sastra dunia yang universal, artinya tidak hanya menjadi konsumsi bangsa
Indonesia saja, tetapi juga dapat dinikmati oleh masyarakat dunia. Sehingga
mereka melakukan perombakan berupa pernyataan yang terkandung dalam
Surat Kepercayaan Gelanggang yang juga merupakan konsepsi Angkatan ’45.

Dalam kehidupan saat ini juga ditemukan pertentangan antara kaum tua dan
kaum muda. Biasanya yang dipertentangkan adalah masalah budaya. Contoh
yang membuktikan hal tersebut terlihat dalam novel karya Putu Wijaya, Putri.
Novel itu membahas pertentangan antara dua golongan yang mempertahankan
adat lama dengan bentuk baru yang dibawa dan diperkenalkan oleh golongan
muda.

C. Periode 1955-1965

Pada periode 1955-1965 karya-karya fiksi mengalami perbedaan. Hal


ini tampak dari beberapa perubahan umum yang terjadi pada saat itu. Salah
satu perubahan yang paling mencolok adalah berangsur-angsur hilangnya
Balai Pustaka dari pentas sebagai penerbit utama karya fiksi yang berbobot.

29
S1 Sastra Indonesia Universitas Pamulang
Modul Sastra Modern

Berikut akan diuraikan mengenai perubahan fiksi yang terjadi dan


pengarang dalam golongan ini, yaitu D. Suradji dan Motinggo Busye.

Dalam periode 1955-1965 buku-buku karya fiksi memang diterbitkan,


akan tetapi sering disebut “sastra murah”. Mengapa disebut “sastra murah”
akan diuraikan dibawah ini. Karya sastra fiksi yang sebelum tahun itu bisa
dikatakan maju, namun pada tahun itu mengalami perubahan tidak baik.
Perubahan pertama adalah Balai Pustaka barangsur-angsur menghilang dari
pentas sebagai penerbit utama karya fiksi berbobot. Kedua, buku-buku fiksi
diterbitkan dengan edisi murah. Buku-buku yang diterbitkan buruk,
kedodoran, gampang rusak dan dalam format kecil (oktosesimo), serta
dalam oplah kecil pula. Ketiga, karena alasan ekonomi. Terdapat banyak
buku tipis (80-120 hal) yang sebagian besar berisi kumpulan cerpen,
walaupun ada juga yang berisi satu cerita panjang. Novel-novel besar tidak
diterbitkan dalam periode ini, meskipun ada novel yang lebih berisi.
Keempat, perbedaan antara sastra bermutu dan hiburan semakin kabur.
Karena karya fiksi mengalami perubahan yang tidak baik maka sering
disebut “sastra murah”.

Sebenarnya ada banyak pengarang fiksi, namun disini hanya akan


disaajikan 2 pengarang saja, yaitu D. Suradji dan Motinggo Busye.

1) Suradji

Suradji memiliki pandangan sosial yang marxistis dalam karya


fiksi maupun nonfiksinya, namun ia tidak pernah menganut realisme
sosialis. Buku-bukunya diterbitkan oleh perusahaan penerbitannya
sendiri, Haruman Hidup. Buku-buku itu dicetak bagus pada kertas yang
bermutu relatif baik, dipasarkan dengan format yang menarik dan
disertai gambar. Alur drama dan cerita Suradji lebih menarik ditinjau
dari sudut sosiologi ketimbang sudut sastra. Karyanya terasa khas
karena pokok permasalahannya hangat, tentang revolusi, korupsi,
ideologi, atau pertentangan cinta pribadi. Tetapi ceritanya juga
memperlihatkan kelemahan alur yang tak masuk akal. Suradji berhenti
menulis sejak 1965.

30
S1 Sastra Indonesia Universitas Pamulang
Modul Sastra Modern

2) Motinggo Busye

Motinggo mengembangkan bakat seni dan sastranya di bawah


bimbingan Wakidi (pelukis) dan A. A. Navis. Dari tahun 1956-1960 ia
tinggal di Yogyakarta dan selama itu ia menulis cerita dan sajak.
Sejumlah ceritanya menjadi menarik bukan hanya karena suasana yang
dilukiskan (Sumatera Selatan, daerah yang tak pernah tampil di
permulaan sastra Indonesia modern), tetapi juga karena memukau dan
luar biasa oleh sifat keabsurdan tertentu, unsur keganjilan dan kegaiban.
Contonya adalah Malam Djahanam (1962), ceritanya berlatar belakang
autentik sebuah desa nelayan di Lampung yang memberi kesan tentang
emosi primitif dan ancaman tersembunyi. Berbeda dengan Bibi Marsiti
(1963), yang merupakan cerita jenaka yang dibangun di tengah suasana
artistik Yogyakarta. Dalam karya inilah Busye sadar bahwa pornografi
merupakan jalan untuk keberhasilan komersial dalam sastra, sesuai
dengan selera pembacanya, saat penerbit pada umumnya sedang jatuh
dan gulung tikar. Tetapi keberhasilan komersial dengan melacurkan
seninya itu malah menghancurkan bakat sastaranya. Karya-karyanya
dari tahun 1970 hampir semua menjijikan.

Ajib Rosidi (1969:138) mangatakan, ketika terbit majalah


Konfrontasi pada pertengahan 1954, dimuat sebuah esai Sudjatmoko
berjudul “Mengapa Konfrontasi”. Dalam karangan itu secara tandas
dikatakan bahwa sastra Indonesia sedang mengalami krisis yang
diakibatkan dari krisis kepemimpinan politik, lebih lanjut ia
mengatakan karena yang ditulis hanya cerpen kecil tentang
psikologisme perseorangan semata, roman-roman besar tidak ditulis.

Nugroho Notosusanto, S. M. Ardan, Boejoeng Saleh (Ajip


Rosidi, 1969: 138) secara tandas membantah, menolak penamaan krisis
sastra. Menurut mereka sastra Indonesia sedang hidup dengan subur.

H. B. Jassin (Ajip Rosidi, 1969: 138) dalam simposion sastra


yang diselenggarakan oleh Fakultas Sastra Universitas Indonesia di

Prodi Sastra Indonesia


Modul Sastra Modern

Jakarta pada Desember 1954 mengemuka-kan sebuah prasaran yang


diberi judul “Kesusasteraan Indonesia Modern Tidak Ada Krisis”.

Sitor Situmorang (Ajip Rosidi, 1969: 139) dalam tulisannya


yang berjudul “Krisis H. B. Jassin” dalam majalah Mimbar Indonesia
(1955) mengemukakan bahwa yang ada bukanlah krisis sastra,
melainkan krisis ukuran menilai sastra. Sitor Situmorang berkesimpulan
bahwa krisis yang terjadi adalah krisis dalam diri Jassin sendiri karena
ukurannya tidak matang.

A. Teeuw (Sastra Baru Indonesia I, 1978:109-110), roman


picisan sering diterbitkan dalam seri yang memiliki nama menarik
seperti Lukisan Pudjangga, Dunia Pengalaman, dan Roman Indonesia.
Buku-buku kecil ini selalu antara 50-100 halaman, diterbitkan dengan
harga murah, dan berkulit tipis. Tidak terdapat garis pemisah yang jelas
antara buku-buku yang diterbitkan Balai Pustaka dan roman picisan.
Bukanlah nilai seni yang menjadi syarat utama supaya diterbitkan oleh
Balai Pustaka.

Perkembangan atau keadaan suatu karya sastra bersifat relatif,


tergantung siapa yang menilai. Dalam Sastra Indonesia Modern II, pada
periode 1955-1965 karya sastra fiksi dikatakan mengalami
kemerosotan. Hal ini ditunjukkan dari isi dan tampilan fiksi yang
kurang baik, maka sering disebut “sastra murah”. Akan tetapi Nugroho
Notosusanto, S. M. Ardan, dan Boejoeng Saleh mengatakan bahwa
pada tahun itu karya sastra fiksi sedang subur-suburnya.

Di era sekarang ini karya sastra fiksi kembali menjamur. Hal itu
bisa dilihat dari banyaknya teenlit yang bermunculan. Namun, baik
tidaknya “kehidupan” karya sastra fiksi tidak dinilai dari jumlah karya
yang dihasilkan tetapi dilihat dari mutu atau isi karya tersebut. Saran
saya hendaknya penulis karya sastra fiksi lebih banyak belajar untuk
menulis sesuatu yang lebih bermutu, jangan hanya asal-asalan menulis
dan hanya mengejar materi.

Prodi Sastra Indonesia


Modul Sastra Modern

III. SOAL LATIHAN/TUGAS


1. Jelaskan mengapa pada periode 1955-1965 karya sastra mengalami
kemorosatan padahal karya sastra saat itu sedang subur-suburnya!
2. Di era sekarang tahun 2000 banyak novel teenlit bermuculan. Menurut
Anda fenomena apa yang terjadi di masrayakat pembaca?
3. Jelaskan perbedaan karakteristik karya sastra Angkatan 1945 dengan
Angkatan Balai Pustaka!

IV. DAFTAR PUSTAKA

Teeuw,1980. Sastra Baru Indonesia jilid I. Ende:Nusa Indah

Teeuw,1989.Sastra Indonesia Modern II.Jakarta:Pustaka Jaya

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Todorov, Tzvetan. 1985. Tata Sastra. Jakarta: Djambatan.

Waluyo, Herman J. 1987. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.

Prodi Sastra Indonesia

Anda mungkin juga menyukai