Muyassaroh
UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung
nachrowi.muyas@gmail.com
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Karya sastra merupakan hasil kreativitas pengarang yang bersumber dari
kehidupan manusia. Pengarang menghayati berbagai permasalahan kehidupan yang
dijumpainya untuk diungkapkan melalui karya fiksi sesuai dengan pandangannya
(Nurgiyantoro, 2018:2). Meskipun dalam prosa ini memuat unsur imajinasi, tidak
lantas menjadikan karyanya keseluruhan tidak masuk akal tetapi tetap mengandung
kebenaran dan merepresentasikan hubungan antar manusia. Hal itu seperti
dikemukakan Nurgiyantoro (2018:3) yang menyatakan bahwa tidak benar jika fiksi
dianggap sebagai hasil lamunan belaka, tetapi melalui penghayatan dan perenungan
secara intens terhadap hakikat hidup dan kehidupan. Selain itu, perenungan
dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Nofiyanti (2017:115)
memperkuat pendapat Nurgiyantoro yang menjelaskan bahwa melalui karya sastra
dapat diketahui eksistensi kehidupan masyarakat di suatu tempat pada suatu waktu
meskipun pada sisi-sisi tertentu.
Prosa fiksi termasuk cerpen menuntut adanya kreativitas dari pengarangnya
karena dari sinilah akan ditentukan kualitas karya yang dihasilkan. Oleh karena itu,
pengarang karya sastra sering disebut orang yang kreatif dan aktivitasnya pun
termasuk aktivitas kreatif. Hampir setiap pembicaraan mengenai karya sastra tidak
bisa dilepaskan dari unsur intrinsik dan ekstrinsik. Muhardi dan Hasanuddin
(1992:21) menyatakan bahwa unsur intrinsik dan esktrinsik prosa fiksi terdiri atas
unsur utama dan unsur penunjang. Unsur intrinsik terdiri atas unsur utama/makna
berupa alur, penokohan, latar permasalahan, tema, dan amanat. Unsur
penunjang/bahasa terdiri atas gaya bahasa dan sudut pandang. Sementara itu, unsur
esktrinsik juga dibedakan atas unsur utama dan unsur penunjang. Unsur
utama/pengarang dibedakan atas sensitivitas/kepekaan, imajinasi, intelektualitas,
dan pandangan hidup. Unsur penunjang/realitas objektif terdiri atas norma-norma,
ideologi, tata nilai, konvensi budaya, konvensi sastra, dan konvensi bahasa
(Ramadhanti, 2016:25).
Untuk dapat memahami cerpen secara detail, pembaca perlu membongkar
atau menguraikan unsur-unsur yang terdapat di dalamnya, yaitu intrinsik dan
ekstrinsik. Kegiatan menguraikan unsur cerpen ini dikenal dengan analisis. Dalam
penganalisisan cerpen, diperlukan pisau untuk mengkajinya yang disebut
pendekatan. Salah satu pendekatan yang digunakan untuk menganalisis cerpen
adalah pendekatan objektif. Pendekatan objektif adalah pendekatan yang
memandang dan memahami karya sastra dari karya sastra itu sendiri. Di sini karya
sastra dipandang sebagai sesuatu yang otonom, terbebas dari hubungannya dengan
pengarang, realitas, maupun pembaca. Kegiatan analisis didasarkan pada unsur-
unsur intrinsik yang membangun karya tersebut (Sayuti dan Wiyatmi, 2014:14.3;
Ramadhanti, 2016:124). Karena pendekatan objektif memusatkan perhatiannya
pada semata-mata unsur intrinsik, kegiatan analisis cerpen adalah menemukan
unsur-unsur cerpen yang terdiri dari tema, plot/alur, tokoh, watak, latar, kejadian,
sudut pandang, dan amanat.
2. Kajian Teori
2.1 Hakikat Cerpen Konvensional
Menurut Purba (2012:55) cerita pendek konvensional adalah cerita pendek
yang struktur ceritanya sesuai dengan konvensi (aturan) yang ada. Berdasarkan
pandangan ini, istilah konvensional merujuk pada cerpen kebanyakan atau pada
umumnya. Cerpen adalah suatu cerita yang menggambarkan sebagian kecil dari
keadaan, peristiwa kejiwaan, dan kehidupan tokoh yang tidak menyebabkan
perubahan nasib secara drastis (Karmini, 2011:102). Lebih lanjut, Hudson
(1953:339) menjelaskan sebuah cerita pendek harus mengandung sebuah gagasan
yang perlu diinformasikan dan itu merupakan satu-satunya gagasan yang dapat
digarap untuk mencapai simpulan yang logis dengan satu tujuan yang pasti dan
metode yang langsung. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa cerpen memiliki
keterbatasan yang disebabkan oleh adanya ketentuan jumlah kata dan waktu.
Cerpen didefinisikan juga sebagai cerita yang dapat dibaca sekali duduk
(Waluyo, 2011:3). Berdasarkan hal tersebut, cerpen kecenderungannya memiliki
alur tunggal, pelaku terbatas (jumlahnya kecil), dan mencakup peristiwa yang
terbatas pula. Hal ini menjadikan kualitas watak tokoh dalam cerpen seringkali
tidak dikembangkan secara penuh. Karena serba dibatasi, tokoh dalam cerpen
biasanya langsung ditunjukkan oleh pengarangnya melalui narasi, deskripsi, atau
komentar. Begitu pula dengan pembatasan waktu, cerita pendek mengambil rentang
waktu yang pendek pula misalnya semalam, sehari, seminggu, sebulan, setahun,
meskipun ada beberapa cerita pendek yang memuat dimensi waktu yang panjang.
Rampan (2009:2) menegaskan empat dasar penentuan cerpen yang harus dipenuhi,
yaitu penentuan kualitas kata-kata dan halaman yang digunakan untuk satu cerpen
berkisar 500—20.000 kata, plot yang digunakan hanya satu sehingga tidak terjadi
degresi plot, perwatakan dilukiskan hanya satu atau dua watak saja, dan kesan yang
ditimbulkan hanya satu untuk memudahkan pembaca. Tidak jauh berbeda dengan
pendapat Sudjiman (1990:15-16) yang merumuskan bahwa cerita pendek adalah
kisahan pendek kurang dari 10.000 kata yang memberikan kesan tunggal yang
dominan. Cerita pendek juga memusatkan diri pada satu tokoh dalam satu situasi
pada satu ketika. Cerita pendek yang efektif terdiri dari tokoh atau sekelompok
tokoh yang ditampilkan pada satu latar atau latar belakang dan lewat lakuan lahir
atau batin terlibat dalam satu situasi.
Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa cerita pendek adalah
cerita yang memiliki komposisi lebih sedikit dibandingkan dengan novel atau
roman dari segi kepadatan cerita, terpusat pada satu tokoh, satu situasi, dan habis
sekali baca. Oleh karena itu, konflik yang disajikan dalam cerpen biasanya hanya
mengembangkan satu peristiwa sehingga menjadikan cerpen menarik akibat
keterbatasan objek atau peristiwa yang diceritakan.
5. Sudut Pandang
Sebagaimana telah disinggung pada bagian sebelumnya, sebuah cerita pada
hakikatnya adalah lukisan mengenai kehidupan manusia yang ditampilkan melalui
tokoh-tokoh cerita. Untuk menampilkan cerita mengenai kehidupan tokoh tersebut,
pengarang akan menentukan siapa orangnya dan akan berkedudukan sebagai apa
pengarang dalam cerita itu. Dalam sebuah cerita fiksi, pengarang sebagai Tuhan
yang menentukan tokoh-tokohnya sekaligus menjalankan atau menggerakkan
tokoh-tokoh tersebut (mau diapakan tokoh itu terserah pengarang). Dalam cerita
yang dituliskannya, terdapat beberapa kemungkinan posisi pengarang, yaitu
sebagai penutur cerita, berada dalam cerita (pengamat), atau masuk ke dalam salah
satu tokoh cerita menjadi wewenang pengarang sepenuhnya.
Orang yang bercerita disebut pencerita. Pencerita tidak selalu pengarang,
tetapi dapat juga orang lain atau tokoh-tokoh cerita. Pada umumnya, orang
berpendapat bahwa pencerita identik dengan pengarang. Jika penggarang
menggunakan kata ganti ‘aku’ dalam ceritanya, orang lantas menganggap ‘aku’ itu
penggarang. Anggapan seperti ini tidaklah benar. ‘Aku’ dalam suatu cerita adalah
‘aku pencerita’ bukan aku pengarang.
Dalam menampilkan ceritanya, pengarang akan menempatkan dirinya pada
posisi berbeda-beda. Cara memandang tokoh-tokoh cerita dengan menempatkan
dirinya pada posisi tertentu disebut sudut pandang atau point of view. Terdapat
beberapa jenis sudut pandang, yaitu:
a. Pencerita sebagai pelaku utama. Karena pencerita adalah juga pelaku, pencerita
serba tahu tentang apa yang ada di dalam benak pelaku utama. Biasanya
menggunakan kata ganti ‘aku’. Jadi, seakan-akan cerita tersebut merupakan
kisah atau pengalaman diri pencerita.
b. Pencerita sebagai pelaku tetapi bukan sebagai pelaku utama. Dengan kata lain,
sebenarnya cerita tersebut merupakan kisah orang lain, tetapi pencerita terlibat
di dalamnya.
c. Pencerita serba hadir. Dalam cerita dengan jenis sudut pandang ini, pencerita
tidak berperan apa-apa. Pelaku utamanya orang lain, menggunakan kata ganti
‘dia’ atau kadang-kadang disebut namanya, tetapi pencerita serba tahu apa yang
akan dilakukan atau bahkan apa yang ada dalam benak pelaku cerita.
d. Pencerita sebagai peninjau. Sudut pandang jenis ini hampir sama dengan
pencerita serba tahu. Bedanya pada cerita dengan sudut pandang jenis ini,
pencerita seakan-akan tidak tahu apa yang akan dilakukan pelaku cerita atau apa
yang ada dalam benaknya. Pencerita sepenuhnya hanya mengatakan atau
menceritakan apa yang dilihatnya (Aminuddin, 2010:90; Wicaksono, 2014:279).
Hal yang sama juga disampaikan Shipley yang menyatakan bahwa terdapat
dua jenis point of view, yaitu internal point of view dan external point of view.
Internal point of view, ada empat macam, yaitu (1) tokoh yang bercerita; (2)
pencerita menjadi salah seorang pelaku; (3) sudut pandang akuan; dan (4) pencerita
sebagai tokoh sampingan bukan super hero. Sementara untk gaya eksternal,
dikemukakan ada dua jenis, yaitu (1) gaya diaan; dan (2) penampilan gagasan dari
luar tokoh-tokohnya (Waluyo, 2011:25).
6. Amanat
Karya prosa fiksi mengandung tema yang sebenarnya suatu penafsiran atau
pemikiran tentang kehidupan. Permasalahan dalam cerita sering diakhiri dengan
cara yang beragam, ada yang berakhir positif, ada yang berakhir negatif, bahkan
ada yang menggantung, dalam artian permasalahan yang dialami tokoh tidak
menemukan titik terang dan dibiarkan menggantung. Pembaca dibuat penasaran
dengan penyelesaian akhir cerita sehingga mereka pun menyelesaikan sesuai
dengan versi masing-masing. Begitu pun yang dialami tokoh Sukartono, Sumartini,
dan Rohayah dalam roman Belenggu yang tidak ada penyelesaian bagaimanakah
nasib ketiganya berikutnya. Meskipun penyelesaian masalah dalam prosa fiksi
beragam, tetap karya itu mengandung pesan moral tertentu. Pesan yang ingin
disampaikan pengarang ini disebut amanat (Ramadhanti, 2016:110).
Menurut Sudjiman (1992:57) jika permasalahan yang diajukan dalam cerita
diberikan jalan keluarnya oleh pengarang, jalan keluar inilah yang disebut amanat.
Amanat dalam cerita dapat disajikan secara eksplisit dan implisit. Amanat dapat
dikatakan implisit, jika jalan keluar atau ajaran moral itu tersirat dalam tingkah laku
menjelang cerita berakhir. Amanat disajikan eksplisit jika pada tengah atau akhir
cerita, pengarang menyampaikan seruan, saran, peringatan, nasihat, anjuran,
larangan, dan sebagainya sesuai gagasan/tema yang mendasarinya.
Pengalaman membaca karya sastra, pembaca akan banyak belajar tentang
hidup dan kehidupan karena pengarang menuliskn sesuatu pastilah tidak akan jauh
dari pengalamannya sendiri atau pengamatannya. Muhardi & Hasanuddin
(1992:38) menyatakan bahwa amanat merupakan kristalisasi dari fakta cerita, yaitu
peristiwa, perilaku tokoh, dan latar cerita. Amanat juga merupakan opini,
kecenderungan, dan visi pengarang terhadap tema yang dikemukakannya.
Amanat dalam karya sastra berupa ajaran-ajaran moral, yakni ajakan, saran
atau anjuran kepada pembaca untuk meningkatkan kesadaram kemanusiaannya.
Sastra yang baik (dalam arti ditulis dengan penuh kejujuran, kebeningan,
kesungguhan, kearifan, dan keluhuran nurani dan budi manusia) selalu mampu
mengingatkan, menyadarkan, dan mengembalikan manusia ke jalan semestinya,
yaitu jalan kebenaran dalam usaha menunaikan tugas-tugas kehidupannya. Dengan
demikian, sebuah karya sastra dianggap bernilai tinggi jika mengandung moral
yang tinggi yang dapat mengangkat harkat umat manusia. Pada karya sastra
tersebut, diperlihatkan tokoh-tokoh yang memiliki kebijaksanaan dan kearifan
sehingga pembaca dapat mengambilnya sebagai panutan atau teladan (Saryono,
2009:19).
Banyak-sedikitnya, atau luas-sempitnya amanat yang terkandung di dalam
cerita bergantung pada permasalahan yang dipaparkan pengarang. Dalam novel
biasanya akan lebih dijumpai amanat bila dibandingkan dengan cerpen sebab
permasalahan novel lebih kompleks dan rumit daripada cerpen.
‘Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya
semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak
cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu,
saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih
suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting
tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau miskin.
Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk disembah saja. Tidak. Kamu semua mesti
masuk neraka. Hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di
keraknya!’ (Navis, 2009:11-12)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa tema yang menjadi pangkal tolak pengarang
dalam ceritanya adalah nilai keimanan. Nilai inilah yang ingin disampaikan Navis
kepada pembaca yang disampaikannya secara eksplisit. Melalui tokoh Kakek,
Navis memberikan ruang bagi orang-orang yang mengagungkan agama dengan
cara yang dianggapnya ‘kurang benar’. Menurut pandangannya, kegigihan manusia
berdoa sepanjang waktu tidak akan ada gunanya jika tidak peduli dengan
lingkungan dan sesama. Hal ini bukan semata-mata murni pandangan Navis,
melainkan juga telah dianjurkan oleh Islam dengan dalil hablum minallah wa
hablum minannas yang berarti menjaga hubungan dengan Allah dan menjaga
hubungan dengan sesama manusia. Sejatinya, tingkat keimanan manusia tidak
semata diukur dari kuantitas ibadah berupa doa dan puji-pujian semata, tetapi juga
ibadah sebagai bentuk bakti diri terhadap lingkungan dan sesamanya (Ekasiswanto,
2020:43-44).
1) Aku
Tokoh Aku berperan membawakan jalannya cerita. Dalam cerita ini
termasuk cerita berbingkai, yaitu sebuah cerita yang di dalamnya terdapat cerita
lagi. Pengarang cerpen ini, yaitu A.A. Navis membuat cerita yang di dalam
ceritanya itu terdapat narator lain sebagai pembawa cerita, yaitu tokoh aku.
Pengarang menggambarkan tokoh aku secara dramatik. Teknik penggambaran
tokoh secara dramatik, yaitu pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat
dan sikap serta tingkah laku tokoh (Nurgiyantoro, 2018:198). Pengarang
membiarkan para tokoh cerita untuk menunjukkan kehadirannya sendiri melalui
berbagai aktivitas yang dilakukan, baik secara verbal lewat kata maupun nonverbal
lewat tindakan atau tingkah laku, dan juga melalui peristiwa yang terjadi.
Aku orang yang cukup peduli dan perhatian kepada kakek karena sering
memberi kakek uang.
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan
menumpang bis, Tuan akan berhenti di depan pasar (Navis, 2009:1).
Sekali hari aku datang pula mengupah kepada Kakek. Biasanya Kakek
gembira menerimaku, karena aku suka memberinya uang (Navis,2009:2-3).
Tokoh ini juga begitu berperan dalam cerpen ini. Melalui perkataannya,
pembaca bisa mendengar kisah si Kakek yang bunuh diri dengan menggorok
lehernya menggunakan pisau. Narator menggambarkan tokoh ini sebagai orang
yang ingin tahu perkara orang lain.
Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatangan Ajo Sidi kepadanya. Apakah
Ajo Sidi tidak membuat bualan tentang kakek ? Dan bualan itukah yang
mendurjakan kakek ? Aku ingin tahu. Lalu aku tanya pada kakek lagi: ―Apa
ceritanya, kek ? (Navis, 2009:3-4)
Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi
memuncak. Aku tanya lagi kakek : Bagaimana katanya, Kek? (Navis, 2009:4)
―Astaga. Ajo Sidi punya gara-gara,‖ kataku seraya cepat-cepat meninggalkan
istriku yang tercengang-cengang. Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku
berjumpa sama istrinya saja. Lalu aku tanya dia (Navis, 2009:13).
2) Kakek
Kakek adalah tokoh utama dalam cerpen ini. Kisah kakek diceritakan oleh
tokoh Aku. Kakek itu dipanggil garin atau marbot karena tugasnya sebagai
penjaga surau yang diceritakan sangat taat beribadah. Sudah bertahun-tahun
kakek mengabdikan dirinya sebagai penjaga surau walaupun dari hasil
pengabdiannya itu kakek tidak mendapat upah.
Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk di
sana dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-
tahun ia sebagai garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya Kakek (Navis,
2009:1).
Pada usia senjanya, Kakek dicerikan hidup sendiri karena tidak menikah dan
berkeluarga. Kakek menghabiskan waktunya hanya untuk beribadah kepada Tuhan
tanpa memikirkan kehidupan di dunia.
Sedari mudaku aku di sini, bukan? Tak kuingat punya istri, punya anak, punya
keluarga seperti orang-orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak
ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada
Allah Subhanahu wataala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor
enggan aku membunuhnya (Navis, 2009:5).
―Kakek marah?‖
―Marah? Ya, kalau aku masih muda, tapi aku sudah tua. Orang tua menahan
ragam. Sudah lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak
karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadat, bertawakal kepada
Tuhan. Sudah begitu lama aku menyerahkan diriku kepada-Nya. Dan Tuhan akan
mengasihi orang yang sabar dan tawakal (Navis, 2009:4).
―Ya. tadi subuh Kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang
mengerikan sekali. Ia menggoroh lehernya dengan pisau cukur (Navis, 2009:13).
3) Ajo Sidi
Ajo Sidi dikenal sebagai pembual, agak sukar untuk dipercaya bila berbicara
sungguh-sungguh, apalagi dalam membicarakan soal-soal seperti agama.
Pandangannya tentang ibadah kepada Tuhan tidak membuktikan bahwa ia
melakukan ibadah itu karena selama ini baginya dunia adalah segalanya. Dia
termasuk orang yang lebih mementingkan kehidupan di dunia dengan kerja keras.
Pandangan keagamaan yang dikisahkannya bukan untuk meyakinkan dirinya,
melainkan sebagai cerita dalam bentuk sindiran terhadap kehidupan beragama di
lingkungannya. Karakter atau watak Ajo Sidi dilukiskan pengarang melalui
penilaian tokoh aku dalam kutipan berikut ini. Menurut Wicaksono (2014:242)
teknik pelukisan tokoh semacam ini disebut teknik reaksi tokoh lain, yaitu teknik
yang dipergunakan untuk melukiskan tokoh dalam cerita berupa reaksi tokoh lain
yang terdapat dalam cerita terhadap tokoh yang diceritakan.
―Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan
aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa
mengikat orang-orang dengan bualannya yang aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang
terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses
terbesar baginya ialah karena semua pelaku-pelaku yang diceritakannya menjadi
model orang untuk diejek dan ceritanya menjadi pemeo akhirnya (Navis, 2009:3).
Selain itu, karakter Ajo Sidi juga digambarkan sebagai orang yang cuek dan
tidak bertanggung jawab. Hal itu seperti diungkapkan tokoh Aku yang mencari ke
rumahnya begitu tahu Kakek bunuh diri akibat bualannya.
Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa dengan istrinya saja. Lalu aku
tanya dia.
“Dia sudah pergi,” jawab istri Ajo Sidi.
“Tidak ia tahu Kakek meninggal?”
“Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh
lapis.”
“Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa
oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab, “dan sekarang
ke mana dia?”
“Kerja.”
“Kerja?” tanyaku mengulangi hampa.
“Ya, dia pergi bekerja.” (Navis, 2009:13)
4) Haji Saleh
Haji Saleh adalah tokoh rekaan Ajo Sidi dalam bualannya kepada Kakek.
Tokoh Haji Saleh ini sengaja diciptakan Ajo Sidi untuk menarik perbandingan
dengan tokoh Kakek. Haji Saleh digambarkan sebagai seorang haji yang sangat
membanggakan kehajiannya termasuk kepada Tuhan.
Haji Saleh selama hidup di dunia selalu taat beribadah kepada Tuhan. Siang
malam tak hentinya memuja nama Tuhan hingga ia melupakan keluarga dan
lingkungan tempat ia tinggal. Sifat inilah yang pada akhirnya malah membuat Haji
Saleh dimasukkan Tuhan ke dalam neraka. Padahal sebelumnya Haji Saleh sudah
sangat yakin kalau ia akan dimasukkan ke dalan surga Tuhan.
Dan malaikat dengan sigapnya menjewer Haji Saleh ke neraka (Navis, 2009:8).
Karakter Haji Saleh di atas memperlihatkan sebagai orang yang jemawa dalam
beribadah. Ia merasa sangat yakin kalau akan ditempatkan ke surga karena amal
ibadah yang dilakukannya banyak. Pengarang melukiskan karakter Haji Saleh di
atas dengan teknik cakapan. Melalui dialog antara Haji Saleh dan Tuhan,
pembaca mengetahui bagaimana ketakaburan Haji Saleh dengan segala amal
ibadah yang telah diperbuatnya.
c. Alur
Falling action
Kakek meninggal dunia
Rising action
d. Latar/Setting
Latar dalam cerpen diklasifikasikan menjadi empat, yaitu latar tempat,
latar waktu, latar peristiwa, dan latar sosial.
1) Latar Tempat
Latar jenis ini biasa disebut latar fisik. Latar ini dapat berupa daerah,
bangunan, kapal, sekolah, kampus, hutan, dan sejenisnya. Latar tempat yang ada
dalam cerpen ini jelas disebutkan oleh pengarangnya, seperti kota, dekat pasar, di
surau, dan sebagainya. Dalam cerpen tidak disebutkan secara eksplisit di mana
peristiwa yang diceritakan itu terjadi. Hanya disebutkan di surau tua yang di
depannya ada kolam ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran
mandi. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.
―Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan
menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Melangkahlah menyusuri
jalan raya arah ke barat. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tan
di jalan kampungku. Pada simpang kecil kekanan, simpang yang kelima,
membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan itu nanti akan tuan temui
sebuah surau tua. Di depannya ada kolan ikan, yang airnya mengalir melalui empat
buah pancuran mandi (Navis, 2009:1).
4) Latar Sosial
Dari contoh ini tampak latar sosial berdasarkan usia, pekerjaan, dan kebisaan
atau cara hidupnya. Namun demikian, contoh latar sosial yang menggambarkan
kebiasaan yang lainnya, yaitu :
Haji Saleh yang jadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara
yang menggeletar dan berirama indah, Ia memulai pidatonya: ―O, Tuhan kami
yang Mahabesar, kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat
beribadat, yang paling taat menyembah-Mu. Kamilah orang-orang yang selalu
menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran-Mu, mempropagandakan keadilan-
Mu, dan lain-lainnya…(Navis, 2009:9-10).
Selain itu, latar sosial lain yang digambarkan dalam cerpen ini meskipun
hanya sepintas penggambarannya. Latar sosial yang ditunjukkan itu berupa
ditemukannya salah satu tokoh dalam cerita ini yang masuk dalam kelompok sosial
pekerja. Adapun kutipannya sebagai berikut,
“Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa
oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikitpun bertanggung jawab, “dan sekarang
ke mana dia?”
‘”Kerja.”
“Kerja?” tanyaku mengulangi hampa.
“Ya. Dia pergi kerja.” (Navis, 2009:13)
e. Sudut Pandang
Tiba-tiba aku ingat pada kakek dan kedatangan Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo
Sidi telah membuat bualan tentang Kakek? Dan bualan itukah yang mendurjakan
Kakek? Aku ingin tahu. Lalu aku tanya Kakek lagi, “Apa ceritanya, Kek?”
(Navis, 2009:4).
f. Amanat
2) Jangan cepat bangga akan perbuatan baik yang kita lakukan karena hal ini
bisa saja baik di hadapan manusia tetapi mungkin kurang baik di hadapan
Tuhan. Coba saja tengok pengalaman tokoh yang bernama Haji Saleh ketika
dia disidang di akhirat.
Alangkah tercengangnya Haji Saleh, karena di Neraka itu banyak
teman-temannya didunia terpanggang hangus, merintih kesakitan.
Dan tambah tak mengerti lagi dengan keadaan dirinya, karena semua
orang- orang yang dilihatnya di Neraka itu tak kurang ibadahnya dari
dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai empat belas
kali ke Mekkah dan bergelar Syekh pula (Navis, 2009:8).
3) Kita jangan terpesona oleh gelar dan nama besar sebab hal itu akan
mencelakakan diri pemakainya.
4) Jangan menyia-nyiakan apa yang kamu miliki. Untuk itu cermati sabda Tuhan
dalam cerpen ini.
‘Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya
semua, sedang harta bendamu kau biarkan orang lain mengambilnya untuk anak
cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu,
saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas, kau lebih
suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting
tulang. Sedang Aku menyuruh engkau semuanya beramal disamping beribadat.
Bagaimana engkau bisa beramal kalau engkau miskin .…(Navis, 2009:11).
‖…. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau
takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang, tapi engkau melupakan
kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga
mereka itu kucar kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu
egoistis, padahal engkau didunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau
tak memperdulikan sedikitpun (Navis, 2009:12).
Pada akhirnya amanat (4) dan (5) menjadi kunci amanat yang diinginkan
pengarang untuk pembacanya. Kedua amanat itu kemudian dirumuskan, seperti
yang sudah dituliskan pada bagian awal tentang amanat di atas.
4. Simpulan
Cerpen adalah jenis karya sastra yang berbentuk prosa naratif fiktif atau fiksi
yang isinya menceritakan atau menggambarkan kisah suatu tokoh beserta segala
konflik dan penyelesaiannya yang ditulis secara ringkas dan padat. Cerpen
konvensional memiliki ciri dan struktur bagaimana bentuk sebuah cerpen.
Ketentuan itu berupa adanya unsur-unsur pembangun yang harus ada dalam sebuah
cerpen. Unsur-unsur itu terdiri dari tema, tokoh, penokohan, setting, alur, sudut
pandang, dan amanat. Jika pembaca ingin memahami cerpen yang dibaca secara
komprehensif, pendekatan objektif dapat digunakan. Pendekatan objektif ini
bertujuan untuk membongkar atau menguraikan unsur-unsur yang terdapat dalam
prosa fiksi yang dibaca. Begitu pun dalam cerpen “Robohnya Surau Kami”
merupakan salah satu contoh cerpen konvensional yang dapat dianalisis dengan
pendekatan objektif. Pendekatan objektif telah mampu menguraikan unsur-unsur
intrinsik dalam cerpen “Robohnya Surau Kami” dengan akurat.
DAFTAR RUJUKAN
Abrams, M.H. 1981. A Glossary of Literary Terms. New York: Holt, Rinehart and
Winston.
Aminuddin. 2010. Pengantar Apresiasi Sastra. Ketujuh. Bandung: Sinar baru
Algesindo.
Ardhian, Mhd Ichsan, Shinta Dewi Safira, Fitriani Lubis, and Emasta Evayanti
Simanjuntak. 2021. “Analisis Novel ‘Money!’ Karya T. Andar dengan
Pendekatan Objektif Teori MH. Abrams.” LINGUISTIK: Jurnal Bahasa Dan
Sastra 6 (2): 311–19.
Ekasiswanto, Rudi. 2020. “Analisis Cerpen ‘Robohnya Surau Kami’ Karya AA.
Navis dalam Perspektif Posmodernisme Linda Hutcheon.” Sasdaya: Gadjah
Mada Journal of Humanities 4 (1): 27–47.
https://journal.ugm.ac.id/sasdayajournal/article/view/54566.
Hudson, William Henry. 1953. An Introduction to the Study of Literature.
London: George Harrap & Co. Ltd.
Karmini, Ni Nyoman. 2008. Sosok Perempuan Dalam Teks Geguritan Di Bali:
Analisis Feminisme. Denpasar: Universitas Udayana.
———. 2011. Teori Pengkajian Prosa Fiksi Dan Drama. Denpasar: Saraswati
Institut Press.
Minderop, Albertine. 2005. Metode Karakterisasi Telaah Fiksi. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Muhardi, and Hasanuddin. 1992. Prosedur Analisis Fiksi. Padang: Citra Budaya.
Navis, A. A. 2009. Robohnya Surau Kami. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Nofiyanti, Nofiyanti. 2017. “Pendidikan Karakter Dalam Cerpen “Robohnya
Surau Kami’’karya AA Navis.” Semantik 3 (2): 114–28. http://e-
journal.stkipsiliwangi.ac.id/index.php/semantik/article/download/441/310.
Nurgiyantoro, Burhan. 2018. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: UGM press.
Purba, Antilan. 2012. Sastra Indonesia Kontemporer. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Ramadhanti, Dina. 2016. Buku Ajar Apresiasi Prosa Indonesia. Yogyakarta:
Deepublish.
Rampan, Korrie Layun. 2009. Apresiasi Cerpen Indonesia Mutakhir. Jakarta:
BukuPop.
Saryono, Djoko. 2009. Dasar Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Elmatera Publishing.
Sayuti, Suminto A. 2000. Berkenalan Dengan Prosa Fiksi. Yogyakarta: Gama
Media.
Sayuti, Suminto A., and Wiyatmi. 2014. Kritik Sastra. Tangerang Selatan:
Universitas Terbuka.
Sudjiman, Panuti. 1990. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: UI Press.
———. 1992. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Tarigan, Henry Guntur. 1984. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.
Teeuw, A. 1984. Sastra Dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Balai
Pustaka.
Waluyo, Herman J. 2011. Pengkajian Dan Apresiasi Prosa Fiksi. Surakarta: UNS
Press.
Wellek, Rene, and Austin Warren. 1993. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.
Wicaksono, Andri. 2014. Pengkajian Prosa Fiksi. Yogyakarta: Garudhawaca.