Anda di halaman 1dari 30

KARAKTERISTIK CERPEN KONVENSIONAL DAN ANALISIS

CERPEN “ROBOHNYA SURAU KAMI” DENGAN PENDEKATAN


OBJEKTIF

Muyassaroh
UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung
nachrowi.muyas@gmail.com

1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Karya sastra merupakan hasil kreativitas pengarang yang bersumber dari
kehidupan manusia. Pengarang menghayati berbagai permasalahan kehidupan yang
dijumpainya untuk diungkapkan melalui karya fiksi sesuai dengan pandangannya
(Nurgiyantoro, 2018:2). Meskipun dalam prosa ini memuat unsur imajinasi, tidak
lantas menjadikan karyanya keseluruhan tidak masuk akal tetapi tetap mengandung
kebenaran dan merepresentasikan hubungan antar manusia. Hal itu seperti
dikemukakan Nurgiyantoro (2018:3) yang menyatakan bahwa tidak benar jika fiksi
dianggap sebagai hasil lamunan belaka, tetapi melalui penghayatan dan perenungan
secara intens terhadap hakikat hidup dan kehidupan. Selain itu, perenungan
dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Nofiyanti (2017:115)
memperkuat pendapat Nurgiyantoro yang menjelaskan bahwa melalui karya sastra
dapat diketahui eksistensi kehidupan masyarakat di suatu tempat pada suatu waktu
meskipun pada sisi-sisi tertentu.
Prosa fiksi termasuk cerpen menuntut adanya kreativitas dari pengarangnya
karena dari sinilah akan ditentukan kualitas karya yang dihasilkan. Oleh karena itu,
pengarang karya sastra sering disebut orang yang kreatif dan aktivitasnya pun
termasuk aktivitas kreatif. Hampir setiap pembicaraan mengenai karya sastra tidak
bisa dilepaskan dari unsur intrinsik dan ekstrinsik. Muhardi dan Hasanuddin
(1992:21) menyatakan bahwa unsur intrinsik dan esktrinsik prosa fiksi terdiri atas
unsur utama dan unsur penunjang. Unsur intrinsik terdiri atas unsur utama/makna
berupa alur, penokohan, latar permasalahan, tema, dan amanat. Unsur
penunjang/bahasa terdiri atas gaya bahasa dan sudut pandang. Sementara itu, unsur
esktrinsik juga dibedakan atas unsur utama dan unsur penunjang. Unsur
utama/pengarang dibedakan atas sensitivitas/kepekaan, imajinasi, intelektualitas,
dan pandangan hidup. Unsur penunjang/realitas objektif terdiri atas norma-norma,
ideologi, tata nilai, konvensi budaya, konvensi sastra, dan konvensi bahasa
(Ramadhanti, 2016:25).
Untuk dapat memahami cerpen secara detail, pembaca perlu membongkar
atau menguraikan unsur-unsur yang terdapat di dalamnya, yaitu intrinsik dan
ekstrinsik. Kegiatan menguraikan unsur cerpen ini dikenal dengan analisis. Dalam
penganalisisan cerpen, diperlukan pisau untuk mengkajinya yang disebut
pendekatan. Salah satu pendekatan yang digunakan untuk menganalisis cerpen
adalah pendekatan objektif. Pendekatan objektif adalah pendekatan yang
memandang dan memahami karya sastra dari karya sastra itu sendiri. Di sini karya
sastra dipandang sebagai sesuatu yang otonom, terbebas dari hubungannya dengan
pengarang, realitas, maupun pembaca. Kegiatan analisis didasarkan pada unsur-
unsur intrinsik yang membangun karya tersebut (Sayuti dan Wiyatmi, 2014:14.3;
Ramadhanti, 2016:124). Karena pendekatan objektif memusatkan perhatiannya
pada semata-mata unsur intrinsik, kegiatan analisis cerpen adalah menemukan
unsur-unsur cerpen yang terdiri dari tema, plot/alur, tokoh, watak, latar, kejadian,
sudut pandang, dan amanat.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini dipaparkan
berikut ini.
1. Apakah pengertian cerpen konvensional?
2. Apa sajakah ciri-ciri cerpen konvensional?
3. Apa sajakah unsur pembangun cerpen konvensional?
4. Apakah yang dimaksud pendekatan objektif?
5. Bagaimanakah analisis cerpen “Robohnya Surau Kami” dengan pendekatan
objektif?
1.3 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini diuraikan sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan pengertian cerpen konvensional.
2. Mendeskripsikan ciri-ciri cerpen konvensional.
3. Mendeskripsikan unsur pembangun cerpen konvensional.
4. Mendeskripsikan yang dimaksud pendekatan objektif.
5. Mendeskripsikan cerpen “Robohnya Surau Kami” dengan dengan pendekatan
objektif.

2. Kajian Teori
2.1 Hakikat Cerpen Konvensional
Menurut Purba (2012:55) cerita pendek konvensional adalah cerita pendek
yang struktur ceritanya sesuai dengan konvensi (aturan) yang ada. Berdasarkan
pandangan ini, istilah konvensional merujuk pada cerpen kebanyakan atau pada
umumnya. Cerpen adalah suatu cerita yang menggambarkan sebagian kecil dari
keadaan, peristiwa kejiwaan, dan kehidupan tokoh yang tidak menyebabkan
perubahan nasib secara drastis (Karmini, 2011:102). Lebih lanjut, Hudson
(1953:339) menjelaskan sebuah cerita pendek harus mengandung sebuah gagasan
yang perlu diinformasikan dan itu merupakan satu-satunya gagasan yang dapat
digarap untuk mencapai simpulan yang logis dengan satu tujuan yang pasti dan
metode yang langsung. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa cerpen memiliki
keterbatasan yang disebabkan oleh adanya ketentuan jumlah kata dan waktu.
Cerpen didefinisikan juga sebagai cerita yang dapat dibaca sekali duduk
(Waluyo, 2011:3). Berdasarkan hal tersebut, cerpen kecenderungannya memiliki
alur tunggal, pelaku terbatas (jumlahnya kecil), dan mencakup peristiwa yang
terbatas pula. Hal ini menjadikan kualitas watak tokoh dalam cerpen seringkali
tidak dikembangkan secara penuh. Karena serba dibatasi, tokoh dalam cerpen
biasanya langsung ditunjukkan oleh pengarangnya melalui narasi, deskripsi, atau
komentar. Begitu pula dengan pembatasan waktu, cerita pendek mengambil rentang
waktu yang pendek pula misalnya semalam, sehari, seminggu, sebulan, setahun,
meskipun ada beberapa cerita pendek yang memuat dimensi waktu yang panjang.
Rampan (2009:2) menegaskan empat dasar penentuan cerpen yang harus dipenuhi,
yaitu penentuan kualitas kata-kata dan halaman yang digunakan untuk satu cerpen
berkisar 500—20.000 kata, plot yang digunakan hanya satu sehingga tidak terjadi
degresi plot, perwatakan dilukiskan hanya satu atau dua watak saja, dan kesan yang
ditimbulkan hanya satu untuk memudahkan pembaca. Tidak jauh berbeda dengan
pendapat Sudjiman (1990:15-16) yang merumuskan bahwa cerita pendek adalah
kisahan pendek kurang dari 10.000 kata yang memberikan kesan tunggal yang
dominan. Cerita pendek juga memusatkan diri pada satu tokoh dalam satu situasi
pada satu ketika. Cerita pendek yang efektif terdiri dari tokoh atau sekelompok
tokoh yang ditampilkan pada satu latar atau latar belakang dan lewat lakuan lahir
atau batin terlibat dalam satu situasi.
Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa cerita pendek adalah
cerita yang memiliki komposisi lebih sedikit dibandingkan dengan novel atau
roman dari segi kepadatan cerita, terpusat pada satu tokoh, satu situasi, dan habis
sekali baca. Oleh karena itu, konflik yang disajikan dalam cerpen biasanya hanya
mengembangkan satu peristiwa sehingga menjadikan cerpen menarik akibat
keterbatasan objek atau peristiwa yang diceritakan.

2.2 Ciri-ciri Cerpen Konvensional


Cerpen memiliki ciri tersendiri yang membedakannya dengan fiksi lain,
seperti novelet, novel, roman, dan drama. Tarigan (1984:177) merumuskan
beberapa ciri cerpen yang menunjukkan kekhasannya sebagai karya sastra.
1. Singkat, padu, dan intensif. Cerpen hanya ditulis dalam jumlah kata terbatas
(hingga 15.000 kata), tanpa lanturan atau degresi yang membuat cerita
bercabang-cabang, serta intensif dalam tuturan.
2. Unsur-unsur utama cerita pendek adalah adegan, tokoh, dan gerak.
3. Bahasa yang digunakan harus tajam, sugestif, dan menarikp erhatian.
Penggunaan bahasa secara langsung akan mengenai sasaran dan tidak bertele-
tele. Kata-kata atau kalimat yang digunakan juga dapat menyugesti pembaca
sehingga persoalan yang dikemukakan seolah-olah peristiwa atau kejadian
sebenarnya.
4. Interpretasi pengarang tentang konsep kehidupan, baik langsung maupun tidak
langsung.
5. Hanya menimbulkan satu efek saja dalam pikiran pembaca. Karena itu, sifat
singkat, padu, dan intensif harus diterapkan secara akurat.
6. Menyentuh perasaan agar cerita menarik secara nalar. Bentuk haruslah sangat
menonjol sehingga pembaca dapat menganalisis isi cerita.
7. Cerita pendek mengandung detail-detail atau insiden-insiden yang dipilih
dengan sengaja dan yang bisa menimbulkan pertanyaan-pertanyaan dalam
pikiran pembaca.
8. Dalam sebuah cerita pendek, terdapat sebuah insiden yang akan menguasai
jalan cerita.
9. Memiliki seorang tokoh utama yang menentukan. Tokoh utama ini harus
memiliki karakter yang khas yang membedakan dengan tokoh pendamping
atau tokoh tambahan yang hanya meramaikan cerita dan menguatkan bangunan
kisah.
10. Memberi dampak atau kesan tertentu pada pembaca.
11. Hanya ada satu situasi. Situasi itulah yang dieksplorasi sehingga mampu
memberikan kesan mendalam.
12. Memiliki kesan tunggal, tidak berberaian. Dampak yang ditimbulkan akan
bulat dan hanya terjadi satu emosi. Masing-masing elemen cerita mengalir pada
satu kesan, satu dampak, dan pada emosi yang juga tunggal.
Dengan memperhatikan ciri-ciri di atas, dapat menjadi patokan bagi kita untuk
menentukan sebuah karya sastra termasuk cerpen atau bukan. Jika ciri-ciri tersebut
terdapat pada karya sastra tertentu, dapat dinyatakan karya itu termasuk cerpen.
Sebaliknya, jika ciri itu tidak dimiliki karya sastra dapat dinyatakan hal itu bukan
tergolong cerpen.

2.3 Unsur Pembangun Cerpen


Sebagaimana prosa fiksi lainnya, sebuah cerpen dibangun berlandaskan
beberapa elemen yang menjadi unsur utamanya. Unsur-unsur pembangun cerpen
meliputi tema cerita, plot atau kerangka cerita, penokohan dan perwatakan, setting
atau tempat kejadian cerita atau disebut juga latar, sudut pandang pengarang atau
point of view, latar belakang atau background, dialog atau percakapan, gaya
bahasa/gaya bercerita, waktu cerita dan penceritaan, dan amanat (Waluyo, 2011:6).
1. Tema Cerita
Tema adalah makna cerita, gagasan sentral atau dasar cerita. Pengarang
menyampaikan gagasan dan idenya melalui cerita. Gagasan, ide, atau pikiran
utama yang mendasari suatu karya sastra disebut tema (Sudjiman, 1992:50). Tema
yang disajikan pengarang dalam cerita tidak sembarangan saja, tetapi dipilih
sedemikian rupa sesuai dengan pengetahuan pengarang akan tema itu. Pengarang
akan cenderung menulis apabila tema cerita dikuasainya sesuai pengalaman dan
pengetahuan yang dimilikinya akan tema itu. Sebaliknya, pengarang akan
meninggalkan tema-tema cerita yang tidak dikuasainya. Aminuddin (2010:91)
menegaskan tema adalah ide yang mendasari cerita sehingga berperan juga sebagai
pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya. Sebab
itulah, penyikapan terhadap tema yang diberikan pengarang dengan pembaca
umumnya terbalik. Seorang pengarang harus memahami tema yang akan
dipaparkan sebelum melaksanakan proses kreatif penciptaan, sementara pembaca
baru dapat memahami tema bila mereka sudah selesai memahami unsur-unsur
signifikan yang menjadi media pemampar tema tersebut.
Untuk dapat menetapkan tema sebuah karya sastra secara tepat tentulah
harus disimpulkan dari keseluruhan cerita, yakni dengan memahami ceritanya,
mencari kejelasan ide-ide, perwatakan, peristiwa-peristiwa konflik, dan latar
(Nurgiyantoro, 2018:85). Tema ini biasanya dibawakan oleh tokoh utama cerita.
Oleh karena itu, tema dapat dipertanyakan kepada tokoh utama cerita (Karmini,
2008:253).
Cara menafsirkan tema dalam prosa fiksi antara lain dengan langkah berikut
ini: (1) jangan sampai bertentangan dengan setiap rincian cerita; (2) harus dapat
dibuktikan secara langsung dalam teks prosa fiksi itu; (3) penafsiran tema tidak
hanya berdasarkan perkiraan; (4) tema cerita berkaitan dengan rincian cerita yang
ditonjolkan (Nurgiyantoro, 2018:87; Waluyo, 2011:9). Sementara itu, Shipley
(dalam Nurgiyantoro, 2018:80-82) mengklasifikasi tema menjadi lima jenis, yaitu
(1) tema yang bersifat fisik; (2) tema organik; (3) tema sosial; (4) tema egoik (reaksi
pribadi); dan (5) tema divine (ketuhanan). Tema yang bersifat fisik menyangkut inti
cerita yang bersangkut paut dengan kebutuhan fisik manusia, misalnya tentang
cinta, perjuangan mencari nafkah, hubunan perdagangan, dan sebagainya. Tema
bersifat organik atau moral menyangkut soal hubungan antarmanusia, misalnya
penipuan, masalah keluarga, problem politik, ekonomi, adat, dan sebagainya. Tema
yang bersifat sosial berkaitan dengan problem kemasyarakatan. Tema egoik atau
reaksi individual berkaitan dengan protes pribadi kepada ketidakadilan, kekuasaan
yang berlebihan, dan pertentangan individu, sedangkan tema devine (ketuhanan)
menyangkut renungan yang bersifat religius hubungan manusia dengan Sang
Khalik (Waluyo, 2011:8).

2. Tokoh dan Penokohan


Peristiwa dalam karya fiksi seperti halnya peristiwa dalam kehidupan
sehari-hari, selalu diemban oleh tokoh atau pelaku-pelaku tertentu. Pelaku yang
mengembang peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin
suatu cerita disebut tokoh. Sementara itu, cara pengarang menampilkan tokoh atau
pelaku itu disebut penokohan (Aminuddin, 2010:79).
Tokoh dalam cerita biasanya berwujud manusia atau benda yang memiliki
tabiat yang sama seperti manusia. Dalam cerita fiksi, kadangkala tokoh yang
diceritakan binatang tetapi melakukan tindakan-tindakan bahkan dapat berbicara
seperti manusia. Sudjiman (1992:23) menjelaskan bahwa tokoh harus memiliki
relevansi dengan pembaca. Hal-hal yang dialami tokoh dalam cerita berupa
pengalaman hidup yang mungkin saja dialami oleh pembaca maupun pengarang.
Tokoh akan diterima pembaca apabila memiliki sifat-sifat yang dikenal
manusia atau memiliki sifat-sifat yang sama dengan pembaca. Bagaimana tokoh
mengalami peristiwa dan bagaimana tokoh menyelesaikan permasalahan yang
dialaminya dapat dijadikan cerminan dan pedoman pembaca jika mengalami
permasalahan yang sama dengan tokoh yang diceritakan dalam cerita. Sayuti
(2000:72) mengatakan bahwa ada dua cara untuk menentukan relevansi kehadiran
tokoh. Pertama, seorang tokoh dikatakan relevan dengan pengalaman pembaca
apabila karakter tokoh itu seperti pembaca. Kedua, relevansi tokoh terlihat apabila
sisi kehidupan tokoh dianggap menyimpang, aneh, dan luar biasa terasakan ada
dalam diri pembaca.
Tokoh perlu memainkan peran tertentu dalam kisahan atau cerita. Peran
masing-masing tokoh dapat diketahui melalui wataknya. Watak adalah kualitas
tokoh, nalar, dan kejiwaan yang membedakannya dengan tokoh lain (Sudjiman,
1992:23). Penyajian watak dan pencintraan inilah yang disebut
perwatakan/penokohan. Perwatakan atau penokohan ini dapat diketahui melalui
tindakan, ucapan, dan perasaan tokoh. Penokohan juga dapat dilihat dari ciri lahir
(fisik) dan batin (watak) tokoh.
Dalam menggambarkan watak tokoh, pengarang mempertimbangkan tiga
dimensi watak, yaitu dimensi psikis (kejiwaan), dimensi fisik (jasmaniah), dan
dimensi sosiologis (latar belakang kekayaan, pangkat, dan jabatan). Watak dari
segi psikis merupakan faktor utama yang terpenting dalam penggambaran watak
atau temperamen tokoh, apakah tokoh itu baik hati, penyabar, murah hati,
dermawan, pemaaf ataukah ia pemberang, sombong, pemarah, berbuat jahat,
pendengki, pendendam, dan sebagainya.
Watak dari segi fisiologis atau keadaan fisik dapat dikaitkan dengan umur,
ciri fisik, penyakit, dan keadaan diri, dan sebagainya. Datuk Maringgih, misalnya
adalah lelaki tua berusia 60 tahun, badannya kurus, kotor, kulitnya hitam, ada
bercak-bercak hitam di wajahnya, wajahnya selalu murung, pakaiannya kumal dan
sedikit bau, destar hitamnya jarang berganti, dan sebagainya.
Watak dari segi sosiologisi melukiskan suku, jenis kelamin, kekayaan, kelas
sosial, pangkat/kedudukan, dan profesi atau pekerjaan. Datuk Maringgih, misalnya
adalah seorang pedagang kaya raya yang tadinya hanya menjual ikan asin. Karena
kegigihan dan kelicikannya dalam membugakan uang, ia dapat menguasai
pedagang-pedagang lain di daerah itu. Begitupun dengan Bagenda Sulaiman (ayah
Sitti Nurbaya) terbelit hutang cukup besar kepadanya. Untuk membayar hutang
itupun, ia terpaksa merelakan Sitti Nurbaya dinikahi Datuk Maringgih (Waluyo,
2011:21).
Ada tiga macam cara yang sering digunakan pengarang untuk melukiskan
tokoh ceritanya, yaitu dengan cara langsung (analitik), cara tidak langsung
(dramatik), dan campuran antara analitik (kisahan) dan dramatik (ragaan). Disebut
cara langsung apabila pengarang langsung menguraikan atau menggambarkan
keadaan tokoh. Minderop (2005:8) menjelaskan metode langsung mencakup
karakterisasi melalui penggunaan nama tokoh, penampilan tokoh, dan tuturan
pengarang. Sebaliknya, jika pengarang secara tersamar dalam memberitahukan
wujud atau keadaan tokoh ceritanya, dikatakan pelukisan tokohnya sebagai tidak
langsung.
Yang termasuk ke dalam cara tidak langsung, misalnya:
a. Dengan melukiskan keadaan tempat tinggalnya, cara berpakaiannya, cara
berbicaranya, dan sebagainya. Melalui pelukisan tersebut, pembaca dapat
membayangkan wujud tokoh, apakah dia seorang yang rajin, sopan atau kurang
ajar, dan sebagainya.
b. Dengan melukiskan sikap dan perilaku tokoh dalam menanggapi kejadian atau
peristiwa dan sebagainya. Melalui cara ini pembaca dapat mengetahui apakah
tokoh cerita tersebut, besar rasa kemanusiaannya atau tidak, dan sebagainya.
c. Dengan melukiskan pengakuan dan keluhan tentang dirinya sendiri. Melalui cara
ini, pembaca dapat mengetahui jalan pikirannya, cita-citanya, dan sebagainya.
d. Dengan melukiskan bagaimana tanggapan tokoh-tokoh lain terhadap tokoh
tersebut. Melalui cara ini, pembaca dapat mengetahui apakah tokoh tersebut
seorang yang berwibawa, menghargai orang lain, atau sewenang-wenang kepada
orang lain, dan sebagainya.
e. Dengan melukiskan bagaimana tanggapan tokoh tersebut terhadap tokoh-tokoh
lain.
f. Dengan melukiskan bagaimana perbincangan tokoh tersebut dengan tokoh-
tokoh lain.
Karmini (2011:35-41) menjelaskan penampilan tokoh secara dramatik di
antaranya: (1) teknik cakapan atau dialog, (2) teknik tingkah laku, (3) teknik pikiran
perasaan, (4) teknik arus kesadaran, (5) teknik reaksi, (6) reaksi tokoh lain, (7)
teknik pelukisan latar, dan (8) teknik pelukisan tokoh. Akan tetapi, dalam
kenyataannya kedua cara tersebut biasanya digunakan pengarang secara berganti-
ganti. Jadi, dengan kata lain, dalam sebuah novel atau cerpen jarang atau bahkan
tidak pernah dijumpai pelukisan tokoh secara langsung saja atau tak langsung saja.
Sementara itu, dalam upaya memahami watak pelaku pembaca dapat
menelusurinya melalui (1) tuturan pengarang terhadap karakterisasi pelakunya,
(2) gambaran yang diberikan pengarang lewat gambaran lingkungan
kehidupannya maupun caranya berpakaian, (3) menunjukkan bagaimana
perilakunya, (4) melihat bagaimana tokoh itu berbicara tentang dirinya sendiri, (5)
memahami bagaimana jalan pikirannya, (6) melihat bagaimana tokoh lain
berbicara tentangnya, (7) melihat bagaimana tokoh lain berbicara dengannya, (8)
melihat bagaimana tokoh-tokoh yang lain itu memberikan reaksi terhadapnya, dan
(9) melihat bagaimana tokoh itu dalam mereaksi tokoh yang lainnya (Aminuddin,
2010:80-81).
Seorang pengarang seringkali memberikan penjelasan kepada pembaca
secara langsung tentang macam apa tokoh yang ditampilkannya itu. Misalnya,
digambarkan tokoh itu memiliki mata yang selalu kemerah-merahan, kulitnya
hitam kasar dan bibir sedikit tebal dengan gigi besar sedikit menonjol tentu saja
pembaca dapat menebak macam apa perwatakan tokoh yang dimilikinya. Berbeda
halnya dengan seorang pelaku yang digambarkan hidup di lingkungan para santri
dengan senantiasa menggunakan sarung yang bersih, berkopiah dan berbaju putih
bersih, tanpa dijelaskan pengarangnya, pembaca dapat menduga bagaimana
perwatakan yang dimiliki pelaku tersebut.

3. Alur atau Plot


Pengertian alur dalam cerpen atau dalam karya fiksi pada umumnya adalah
rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin
suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita (Aminuddin,
2010:83). Pendapat serupa dengan (Sudjiman, 1992:29) yang menyatakan bahwa
alur adalah rangkaian berbagai peristiwa yang disampaikan dalam urutan tertentu
sehingga membangun tulang punggung cerita.
Rangkaian peristiwa tersebut dikembangkan ke dalam tahap-tahap tertentu
secara kronologis. Abrams (1981:64) menjelaskan bahwa secara teoretis-
kronologis tahap-tahap pengembangan struktur plot atau alur terdiri atas tahap awal
(beginning), tahap tengah (midle), dan tahap akhir (end). Tahap awal disebut
sebagai tahap pengenalan yang berisi sejumlah informasi penting berkaitan
berbagai hal yang akan dikisahkan dalam tahap-tahap berikutnya. Misalnya, berupa
penunjukan dan pengenalan latar, seperti nama tempat, suasana alam, waktu
kejadian, dan lain-lain, yang pada dasarnya berupa pengenalan setting. Selain itu,
tahap ini juga digunakan untuk memperkenalkan tokoh cerita mungkin berupa
deskripsi fisik bahkan juga disinggung perwatakannya.
Tahap tengah disebut juga tahap pertikaian, menampilkan pertentangan atau
konflik yang sudah dimunculkan pada tahap sebelumnya, menjadi semakin
meingkat, semakin menegangkan. Konflik yang dikisahkan dapat berupa konflik
internal (konflik yang terjadi dalam diri seorang tokoh) dan konflik eksternal
(konflik antartokoh, antara tokoh protagonis dan antagonis. Pada tahap tengah ini
juga ditampilkan konflik (utama) yang telah mencapai titik intensitas tertinggi. Pada
bagian ini merupakan bagian terpanjang dan terpenting dari sebuah karya fiksi
sebab bagian ini merupakan inti cerita.
Tahap akhir disebut juga sebagai tahap peleraian, menampilkan adegan
tertentu sebagai akibat klimaks. Bagian ini berisi bagaimana kesudahan sebuah
cerita. Aristoteles (Nurgiyantoro, 2018:146) menjelaskan bahwa penyelesaian
cerita dibedakan ke dalam dua macam kemungkinan, yaitu kebahagiaan (happy
end) dan kesedihan (sad end). Namun, perlu diketahui bahwa tidak semua cerita
berakhir dengan kebahagiaan atau kesedihan. Masih ada cerita yang sudah diakhiri
tanpa diketahui penyelesaiannya. Misalnya, dalam Belenggu berakhirkah dengan
kebahagiaan? Akan tetapi, bukankah Tono ditinggalkan istri dan teman wanitanya?
Apakah Belenggu berakhir dengan kesedihan? Akan tetapi, bukankah Tono justru
terbebas dari belenggu jiwanya dan bertekad berkompensasi secara aktif? (Karmini,
2011:65).
Sementara itu, Montage dan Henshaw (Aminuddin, 2010:84) menjelaskan
bahwa tahapan peristiwa dalam plot suatu cerita dapat tersusun dalam tahapan
exposition, yakni tahap awal yang berisi tempat terjadinya peristiwa serta
perkenalan dari setiap pelaku; rising action, yakni situsai panas karena pelaku-
pelaku dalam cerita sudah diberi gambaran nasib oleh pengarangnya; climax, situasi
puncak ketika konflik berada dalam kadar paling tinggi hingga para pelaku itu
mendapatkan kadar nasibnya sendiri-sendiri; falling action, kadar konflik sudah
menurun sehingga ketegangan dalam cerita sudah mulai mereda sampai menuju
conclusion atau penyelesaian cerita.
Adapun untuk dapat memahami alur atau plot dengan baik, secara teknis
diawali dengan kegiatan membaca cerpen secara keseluruhan. Sambil membaca ini,
pembaca juga menafsirkan pokok pikiran setiap paragraf atau satuan dialog yang
terdapat dalam cerpen itu untuk dimasukkan dalam tahap apa. Setelah memahami
keseluruhan isi cerita, pembaca membaca kembali secara cermat. Selain itu,
pembaca juga meninjau ulang catatan-catatan yang dibuatnya apakah sudah benar
atau belum. Jika belum sesuai, pembaca dapat mengubahnya lagi.
Sehubungan dengan upaya memahami plot atau alur dalam rangka
membaca cerita, pembaca tentu saja harus berusaha dengan baik memahami
komentar pengarang atau action para pelaku, serta monolog dan dialog para tokoh
itu sendiri. Kegiatan pemahaman itu, selain bersifat reseptif, juga harus asosiatif,
yakni pembaca harus mampu membayangkan kira-kira sesuatu yang saya pahami
ini termasuk dalam tahapan plot yang mana. Jalan termudahnya dengan
memberikan nomor pada setiap paragraf dalam cerpen secara runtut (Aminuddin,
2010:87-88).

4. Latar atau Setting


Suatu cerita pada hakikatnya adalah lukisan peristiwa atau kejadian yang
menimpa atau dilakukan oleh seorang atau beberapa tokoh pada suatu waktu di
suatu tempat. Karena manusia atau tokoh cerita itu tidak pernah lepas dari ruang
dan waktu, tidak mungkin ada cerita tanpa latar. Penempatan waktu dan tempat
beserta lingkungannya di dalam fiksi disebut latar atau setting. Abrams (1981:175)
menjelaskan bahwa latar menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan
lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan latar dalam fiksi dibagi
menjadi tiga jenis, yaitu latar waktu, tempat, dan sosial. Latar waktu berkaitan
dengan penempatan waktu di dalam cerita (historis). Latar tempat berkaitan
masalah geografis, menunjuk suatu tempat terjadinya peristiwa dalam cerita. Latar
sosial berkaitan dengan kehidupan kemsayarakatan dalam cerita.
Latar cerita biasanya bukan hanya sekadar sebagai penunjuk kapan dan di
mana cerita itu terjadi, melainkan juga sebagai tempat pengambilan nilai-nilai yang
diungkapkan pengarang melalui ceritanya tersebut. Dengan kata lain, dapat
dikatakan bahwa latar memiliki tipe fisikal (neutral) dan fungsional. Latar fisikal
biasanya berupa benda-benda konkret, seperti meja, tembok, ruang makan, kota,
pulau, dan sebagainya. Sementara itu, latar fungsional memiliki dan menonjolkan
sifat khas latar tertentu, baik yang menyangkut unsur tempat, waktu, maupun sosial-
budaya (Aminuddin, 2010:68-69; Nurgiyantoro, 2018:309). Terdapat pula latar
psikologis dan spiritual. Apabila latar fisikal mampu menggerakkan emosi
pembaca, latar tersebut berfungsi sebagai latar psikologis.
Latar dalam sebuah cerpen, roman atau novel bukan hanya berupa tempat,
waktu, peristiwa, suasana serta benda-benda dalam lingkungan tertentu, melainkan
juga dapat berupa suasana yang berhubungan dengan sikap, jalan pikiran,
prasangka, maupun pandangan hidup masyarakat dalam menanggapi suatu
persoalan. Latar dalam bentuk terakhir inilah yang dikategorikan sebagai latar yang
bersifat psikologis (spiritual).
Berdasarkan penjelasan di atas, ditemukan perbedaan antara latar yang
bersifat tipikal dengan latar psikologis adalah (1) latar yang bersifat fisikal
berkaitan dengan tempat, benda, dan peristiwa yang tidak menuansakan makna apa-
apa. Berbeda halnya, latar psikologis adalah latar yang berupa benda, tempat, dan
peristiwa yang mampu menuansakan makna serta mampu mengajak emosi
pembaca, (2) latar fisikal terbatas pada sesuatu yang bersifat fisik, sesuatu yang
dapat ditangkap panca indera, sedangkan latar psikologis dapat berupa suasana,
sikap serta jalan pikiran manusia atau tokoh cerita, (3) memahami latar yang
bersifat fisikal, pembaca cukup melihat berdasarkan apa yang tersurat, sedangkan
pemahaman terhadap latar yang bersifat psikologis membutuhkan penghayatan dan
penafsiran, dan (4) latar fisikal dan latar psikologis saling mempengaruhi antara
satu dengan lainnya.
Ada beberapa fungsi latar dalam fiksi, yaitu sebagai metafora, sebagai
atmosfer, dan sebagai foregrounding. Tarigan megemukakan “fungsi setting untuk:
(1) mempertegas watak pelaku; (2) memberikan tekanan pada tema cerita; (3)
memperjelas teman yang disampaikan; (4) metafora sebagai situasi psikis pelaku;
sebagai pemberi atmosfer; dan (6) memperkuat posisi plot” (Waluyo, 2011:23).
Dalam sebuah fiksi, kadang-kadang pembaca menjumpai detail latar yang
berfungsi proyeksi atau objektifikasi dari kondisi internal tokohnya atau nilai-nilai
tertentu. Dalam hal demikian, latar berfungsi sebagai ungkapan metaforik.
Ungkapan tersebut diartikan sebagai ungkapan verbal yang menciptakan gambaran
suasana batin tokohnya atau nilai-nilai tertentu.
Fungsi latar yang kedua adalah sebagai penciptaan atmosfer. Atmosfer
sering diartikan sebagai suasana dunia fiksional, misalnya suasana kematian,
misteri atau ketakutan terhadap sesuatu. Penggunaan latar tersebut dapat
membangkitkan getaran emosional tertentu yang dirasakan pembaca.
Fungsi latar yang ketiga adalah sebagai pengedepanan (foregrounding).
Dalam hal ini, yang ditonjolkan atau dikedepankan hanya latar waktu atau latar
tempat saja. Dalam banyak fiksi waktu terjadinya peristiwa menduduki posisi
penting, seperti dalam cerpen Bawuk karya Umar Kayam atau novel Kubah karya
Ahmad Tohari, yang menempatkan G 30 S/PKI sebagai latar waktu yang sangat
penting. Dalam kaitan ini, penunjukan ada tiga kemungkinan, yakni difus,
fragmentaris, dan kalendaris. Difus adalah penunjukan waktu dengan kata-kata:
dulu, selama perjalanan, malam sunyi, menjelang senja, dan sebagainya.
Fragmentaris merupakan penyajiann bagian-bagian waktu, seperti dua belas tahun
yang lalu, pada masa mudanya, sesaat, sebulan kemudian, dan sebagainya.
Sementara itu, kalendaris adalah penunjukan waktu secara tepat, misalnya Januari,
setahun yang lalu, 5 Syafar 1326 (kematian Samsulbachri, tokoh dalam Sitti
Nurbaya), dan sebagainya.
Adapun pengidentifikasian setting dalam suatu karya fiksi dapat dilakukan
oleh pembaca dengan mengajukan beberapa pertanyaan, yaitu (1) adakah unsur
setting dalam karya yang saya baca, (2) apabila ada, setting itu meliputi setting apa
saja: tempat, waktu, peristiwa, suasana kehidupan, ataukah benda-benda dalam
lingkungan tertentu, dan (3) apakah setting itu semata-mata bersifat fisikal
berfungsi sebagai dekor saja, ataukah bersifat psikologis, dan (4) bila bersifat
psikologis, kandungan makna apa dan suasana bagaimana yang dinuansakannya.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat memandu pembaca menemukan unsur
setting karena menentukan setting membutuhkan adanya penafsiran mendalam
karena seringkali pengarang tidak mengungkapkan secara jelas (Aminuddin,
2010:70-71).

5. Sudut Pandang
Sebagaimana telah disinggung pada bagian sebelumnya, sebuah cerita pada
hakikatnya adalah lukisan mengenai kehidupan manusia yang ditampilkan melalui
tokoh-tokoh cerita. Untuk menampilkan cerita mengenai kehidupan tokoh tersebut,
pengarang akan menentukan siapa orangnya dan akan berkedudukan sebagai apa
pengarang dalam cerita itu. Dalam sebuah cerita fiksi, pengarang sebagai Tuhan
yang menentukan tokoh-tokohnya sekaligus menjalankan atau menggerakkan
tokoh-tokoh tersebut (mau diapakan tokoh itu terserah pengarang). Dalam cerita
yang dituliskannya, terdapat beberapa kemungkinan posisi pengarang, yaitu
sebagai penutur cerita, berada dalam cerita (pengamat), atau masuk ke dalam salah
satu tokoh cerita menjadi wewenang pengarang sepenuhnya.
Orang yang bercerita disebut pencerita. Pencerita tidak selalu pengarang,
tetapi dapat juga orang lain atau tokoh-tokoh cerita. Pada umumnya, orang
berpendapat bahwa pencerita identik dengan pengarang. Jika penggarang
menggunakan kata ganti ‘aku’ dalam ceritanya, orang lantas menganggap ‘aku’ itu
penggarang. Anggapan seperti ini tidaklah benar. ‘Aku’ dalam suatu cerita adalah
‘aku pencerita’ bukan aku pengarang.
Dalam menampilkan ceritanya, pengarang akan menempatkan dirinya pada
posisi berbeda-beda. Cara memandang tokoh-tokoh cerita dengan menempatkan
dirinya pada posisi tertentu disebut sudut pandang atau point of view. Terdapat
beberapa jenis sudut pandang, yaitu:
a. Pencerita sebagai pelaku utama. Karena pencerita adalah juga pelaku, pencerita
serba tahu tentang apa yang ada di dalam benak pelaku utama. Biasanya
menggunakan kata ganti ‘aku’. Jadi, seakan-akan cerita tersebut merupakan
kisah atau pengalaman diri pencerita.
b. Pencerita sebagai pelaku tetapi bukan sebagai pelaku utama. Dengan kata lain,
sebenarnya cerita tersebut merupakan kisah orang lain, tetapi pencerita terlibat
di dalamnya.
c. Pencerita serba hadir. Dalam cerita dengan jenis sudut pandang ini, pencerita
tidak berperan apa-apa. Pelaku utamanya orang lain, menggunakan kata ganti
‘dia’ atau kadang-kadang disebut namanya, tetapi pencerita serba tahu apa yang
akan dilakukan atau bahkan apa yang ada dalam benak pelaku cerita.
d. Pencerita sebagai peninjau. Sudut pandang jenis ini hampir sama dengan
pencerita serba tahu. Bedanya pada cerita dengan sudut pandang jenis ini,
pencerita seakan-akan tidak tahu apa yang akan dilakukan pelaku cerita atau apa
yang ada dalam benaknya. Pencerita sepenuhnya hanya mengatakan atau
menceritakan apa yang dilihatnya (Aminuddin, 2010:90; Wicaksono, 2014:279).
Hal yang sama juga disampaikan Shipley yang menyatakan bahwa terdapat
dua jenis point of view, yaitu internal point of view dan external point of view.
Internal point of view, ada empat macam, yaitu (1) tokoh yang bercerita; (2)
pencerita menjadi salah seorang pelaku; (3) sudut pandang akuan; dan (4) pencerita
sebagai tokoh sampingan bukan super hero. Sementara untk gaya eksternal,
dikemukakan ada dua jenis, yaitu (1) gaya diaan; dan (2) penampilan gagasan dari
luar tokoh-tokohnya (Waluyo, 2011:25).

6. Amanat
Karya prosa fiksi mengandung tema yang sebenarnya suatu penafsiran atau
pemikiran tentang kehidupan. Permasalahan dalam cerita sering diakhiri dengan
cara yang beragam, ada yang berakhir positif, ada yang berakhir negatif, bahkan
ada yang menggantung, dalam artian permasalahan yang dialami tokoh tidak
menemukan titik terang dan dibiarkan menggantung. Pembaca dibuat penasaran
dengan penyelesaian akhir cerita sehingga mereka pun menyelesaikan sesuai
dengan versi masing-masing. Begitu pun yang dialami tokoh Sukartono, Sumartini,
dan Rohayah dalam roman Belenggu yang tidak ada penyelesaian bagaimanakah
nasib ketiganya berikutnya. Meskipun penyelesaian masalah dalam prosa fiksi
beragam, tetap karya itu mengandung pesan moral tertentu. Pesan yang ingin
disampaikan pengarang ini disebut amanat (Ramadhanti, 2016:110).
Menurut Sudjiman (1992:57) jika permasalahan yang diajukan dalam cerita
diberikan jalan keluarnya oleh pengarang, jalan keluar inilah yang disebut amanat.
Amanat dalam cerita dapat disajikan secara eksplisit dan implisit. Amanat dapat
dikatakan implisit, jika jalan keluar atau ajaran moral itu tersirat dalam tingkah laku
menjelang cerita berakhir. Amanat disajikan eksplisit jika pada tengah atau akhir
cerita, pengarang menyampaikan seruan, saran, peringatan, nasihat, anjuran,
larangan, dan sebagainya sesuai gagasan/tema yang mendasarinya.
Pengalaman membaca karya sastra, pembaca akan banyak belajar tentang
hidup dan kehidupan karena pengarang menuliskn sesuatu pastilah tidak akan jauh
dari pengalamannya sendiri atau pengamatannya. Muhardi & Hasanuddin
(1992:38) menyatakan bahwa amanat merupakan kristalisasi dari fakta cerita, yaitu
peristiwa, perilaku tokoh, dan latar cerita. Amanat juga merupakan opini,
kecenderungan, dan visi pengarang terhadap tema yang dikemukakannya.
Amanat dalam karya sastra berupa ajaran-ajaran moral, yakni ajakan, saran
atau anjuran kepada pembaca untuk meningkatkan kesadaram kemanusiaannya.
Sastra yang baik (dalam arti ditulis dengan penuh kejujuran, kebeningan,
kesungguhan, kearifan, dan keluhuran nurani dan budi manusia) selalu mampu
mengingatkan, menyadarkan, dan mengembalikan manusia ke jalan semestinya,
yaitu jalan kebenaran dalam usaha menunaikan tugas-tugas kehidupannya. Dengan
demikian, sebuah karya sastra dianggap bernilai tinggi jika mengandung moral
yang tinggi yang dapat mengangkat harkat umat manusia. Pada karya sastra
tersebut, diperlihatkan tokoh-tokoh yang memiliki kebijaksanaan dan kearifan
sehingga pembaca dapat mengambilnya sebagai panutan atau teladan (Saryono,
2009:19).
Banyak-sedikitnya, atau luas-sempitnya amanat yang terkandung di dalam
cerita bergantung pada permasalahan yang dipaparkan pengarang. Dalam novel
biasanya akan lebih dijumpai amanat bila dibandingkan dengan cerpen sebab
permasalahan novel lebih kompleks dan rumit daripada cerpen.

2.4 Pendekatan Objektif


Abrams mengklasifikasikan pendekatan dalam kajian sastra terdapat empat,
yaitu objektif, mimetik, ekspresif, dan pragmatik (Ardhian et al, 2021:313).
Keempat pendekatan tersebut terus mengalami perkembangan hingga kemudian
muncul pendekatan lain, seperti struktural, sosiologi sastra, psikologi sastra, resepsi
sastra, dan moral. Pendekatan objektif adalah metode yang menitikberatkan pada
karya sastra itu sendiri. Metode ini memperlakukan karya sastra sebagai proses
otomatis, terlepas dari fakta, pengarang, atau pembacanya (Ramadhanti, 2016:124-
125).
Menurut Wellek and Warren (1993) menyebutkan metode ini sebagai
metode intrinsik karena menitikberatkan pada unsur intrinsik suatu karya sastra
yang dipandang memiliki kebulatan, koherensi, dan keasliannya. Metode struktural
bertujuan membongkar dan memaparkan dengan cermat dan detail serta mendalam
terkait keterkaitan dan keterjalinan seluruh unsur dan aspek yang terdapat dalam
karya sastra untuk menghasilkan makna secara menyeluruh (Teeuw, 1984).
Karya sastra berupa prosa fiksi dianalisis dengan mengidentifikasi dan
menjelaskan keterkaitan antara karya-karya tersebut dengan unsur intrinsik yang
jadi permasalahannya. Pertama, mengidentifikasi dan mendeskripsikan unsur-unsur
tersebut seperti bagaimana keadaan peristiwanya, plot, tokoh, penokohan, sudut
pandang, dan lain-lain. Setelah itu, baru menjelaskan bagaimana fungsi dari
masing-masing elemen tersebut secara bersama-sama sehingga membentuk sebuah
makna yang totalitas dan padu (Nurgiyantoro, 2018).

3. Analisis Cerpen “Robohnya Surau Kami” dengan Pendekatan Objektif


a. Tema
Tema dalam cerpen “Robohnya Surau Kami” terkategori tema divine atau
ketuhanan. Melalui cerpen ini, pengarang ingin menyampaikan nilai-nilai
keagamaan, yaitu persoalan keimanan dan beribadah. Tema itu disajikan dalam
bentuk sindiran-sindiran yang tajam terhadap orang-orang beragama, terutama yang
menjalankan perintah Tuhan tanpa mampu menafsirkan secara mendalam dan
kritis. Mereka pun terjebak hanya melakukan perbuatan yang bernilai akhirat
sehingga melalaikan amal perbuatan dan tanggung jawab duniawi. Padahal
perbuatan baik untuk amal di akhirat tidak kalah pentingnya dengan tanggung
jawab hidup selama di dunia. Hal itu terlihat pada kutipan berikut.

‘Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya
semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak
cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu,
saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih
suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting
tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau miskin.
Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk disembah saja. Tidak. Kamu semua mesti
masuk neraka. Hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di
keraknya!’ (Navis, 2009:11-12)

Kutipan di atas menunjukkan bahwa tema yang menjadi pangkal tolak pengarang
dalam ceritanya adalah nilai keimanan. Nilai inilah yang ingin disampaikan Navis
kepada pembaca yang disampaikannya secara eksplisit. Melalui tokoh Kakek,
Navis memberikan ruang bagi orang-orang yang mengagungkan agama dengan
cara yang dianggapnya ‘kurang benar’. Menurut pandangannya, kegigihan manusia
berdoa sepanjang waktu tidak akan ada gunanya jika tidak peduli dengan
lingkungan dan sesama. Hal ini bukan semata-mata murni pandangan Navis,
melainkan juga telah dianjurkan oleh Islam dengan dalil hablum minallah wa
hablum minannas yang berarti menjaga hubungan dengan Allah dan menjaga
hubungan dengan sesama manusia. Sejatinya, tingkat keimanan manusia tidak
semata diukur dari kuantitas ibadah berupa doa dan puji-pujian semata, tetapi juga
ibadah sebagai bentuk bakti diri terhadap lingkungan dan sesamanya (Ekasiswanto,
2020:43-44).

b. Tokoh dan Penokohan

1) Aku
Tokoh Aku berperan membawakan jalannya cerita. Dalam cerita ini
termasuk cerita berbingkai, yaitu sebuah cerita yang di dalamnya terdapat cerita
lagi. Pengarang cerpen ini, yaitu A.A. Navis membuat cerita yang di dalam
ceritanya itu terdapat narator lain sebagai pembawa cerita, yaitu tokoh aku.
Pengarang menggambarkan tokoh aku secara dramatik. Teknik penggambaran
tokoh secara dramatik, yaitu pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat
dan sikap serta tingkah laku tokoh (Nurgiyantoro, 2018:198). Pengarang
membiarkan para tokoh cerita untuk menunjukkan kehadirannya sendiri melalui
berbagai aktivitas yang dilakukan, baik secara verbal lewat kata maupun nonverbal
lewat tindakan atau tingkah laku, dan juga melalui peristiwa yang terjadi.
Aku orang yang cukup peduli dan perhatian kepada kakek karena sering
memberi kakek uang.
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan
menumpang bis, Tuan akan berhenti di depan pasar (Navis, 2009:1).

Sekali hari aku datang pula mengupah kepada Kakek. Biasanya Kakek
gembira menerimaku, karena aku suka memberinya uang (Navis,2009:2-3).

Tokoh ini juga begitu berperan dalam cerpen ini. Melalui perkataannya,
pembaca bisa mendengar kisah si Kakek yang bunuh diri dengan menggorok
lehernya menggunakan pisau. Narator menggambarkan tokoh ini sebagai orang
yang ingin tahu perkara orang lain.

Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatangan Ajo Sidi kepadanya. Apakah
Ajo Sidi tidak membuat bualan tentang kakek ? Dan bualan itukah yang
mendurjakan kakek ? Aku ingin tahu. Lalu aku tanya pada kakek lagi: ―Apa
ceritanya, kek ? (Navis, 2009:3-4)

Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi
memuncak. Aku tanya lagi kakek : Bagaimana katanya, Kek? (Navis, 2009:4)
―Astaga. Ajo Sidi punya gara-gara,‖ kataku seraya cepat-cepat meninggalkan
istriku yang tercengang-cengang. Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku
berjumpa sama istrinya saja. Lalu aku tanya dia (Navis, 2009:13).

Kutipan-kutipan di atas menunjukkan karakter tokoh Aku yang memiliki


rasa ingin tahu yang tinggi. Selain itu, dia juga sebagai pendengar yang baik
ketika kakek bercerita telah bertemu Ajo Sidi. Dia sangat penasaran dengan
perubahan wajah kakek yang biasa bersahabat dan ramah ternyata waktu itu
terlihat murung dan durja. Karena itulah, ia bertanya pada kakek apa penyebab
kerisauan hatinya itu.

2) Kakek

Kakek adalah tokoh utama dalam cerpen ini. Kisah kakek diceritakan oleh
tokoh Aku. Kakek itu dipanggil garin atau marbot karena tugasnya sebagai
penjaga surau yang diceritakan sangat taat beribadah. Sudah bertahun-tahun
kakek mengabdikan dirinya sebagai penjaga surau walaupun dari hasil
pengabdiannya itu kakek tidak mendapat upah.

Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk di
sana dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-
tahun ia sebagai garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya Kakek (Navis,
2009:1).

Untuk membiayai hidupnya, kakek mendapatkan dari: sedekah tiap hari


Jumat, seperempat dari hasil panen ikan mas dekat surau setiap enam bulan, dan
zakat fitrah setiap hari raya Idulfitri. Selain menjaga surau, Kakek mahir mengasah
pisau sehingga banyak yang memintanya untuk mengasahkan pisau. Dari hasil
mengasah pisau ini, seringkali kakek tidak mendapatkan imbalan hanya ucapan
terima kasih. Namun, Kakek tetap sukarela mengasahkan pisau orang-orang itu.

Ia lebih dikenal sebagai pengasah pisau. Karena ia begitu mahir dengan


pekerjaannya itu. Orang-orang suka meminta tolong kepadanya, sedang ia tak
pernah meminta imbalan apa-apa (Navis, 2009:2).

Pada usia senjanya, Kakek dicerikan hidup sendiri karena tidak menikah dan
berkeluarga. Kakek menghabiskan waktunya hanya untuk beribadah kepada Tuhan
tanpa memikirkan kehidupan di dunia.
Sedari mudaku aku di sini, bukan? Tak kuingat punya istri, punya anak, punya
keluarga seperti orang-orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak
ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada
Allah Subhanahu wataala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor
enggan aku membunuhnya (Navis, 2009:5).

Sifat Kakek yang mengabaikan urusan dunia inilah yang


menjadikannya korban bualan dari Ajo Sidi. Pada akhir cerita, Kakek
memutuskan bunuh diri setelah mendengar cerita Ajo Sidi itu. Kakek merasa
terusik dengan cerita Ajo Sidi yang mengatakan bahwa tidak selalu orang yang
beribadah akan menjamin dirinya masuk surga. Pada awalnya, kakek sempat kesal
dan menahan marah setelah Ajo Sidi bercerita tentang Haji Saleh yang dimasukkan
ke neraka padahal sudah banyak amal ibadah yang dilakukannya. Kakek merasa
tersindir bahwa semua ibadahnya sia-sia dan tidak berarti apa-apa di mata Tuhan
seperti yang diceritakan Ajo Sidi. Akhirnya, ia pun memilih bunuh diri padahal
perbuatan itu sangatlah bertentangan dengan apa yang diyakininya sebagai orang
yang taat beribadah.

―Kakek marah?‖
―Marah? Ya, kalau aku masih muda, tapi aku sudah tua. Orang tua menahan
ragam. Sudah lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak
karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadat, bertawakal kepada
Tuhan. Sudah begitu lama aku menyerahkan diriku kepada-Nya. Dan Tuhan akan
mengasihi orang yang sabar dan tawakal (Navis, 2009:4).

‘Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami menyembah Tuhan di dunia?”tanya


Haji Saleh.
‘Tidak. Kesalahan engkau karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri.
Kau takut masuk neraka karena itu kau taat sembahyang. Tapi engkau melupakan
kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri sheingga mereka itu
kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu terbesar, terlalu egoistis. Padahal
engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tidak memedulikan
mereka sedikit pun (Navis, 2009:12).

―Ya. tadi subuh Kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang
mengerikan sekali. Ia menggoroh lehernya dengan pisau cukur (Navis, 2009:13).

Berdasarkan kutipan di atas, karakter Kakek yang digambarkan dalam


cerpen “Robohnya Surau Kami” adalah mudah depresi. Setelah mendengar cerita
tentang Haji Saleh, Kakek merasa hidupnya tidak berguna. Keyakinannya selama
ini terpantahkan dengan cerita Ajo Sidi sehingga ia pun memutuskan untuk
mengakhiri hidupnya. Hidupnya yang diserahkan pada Tuhan sepenuhnya tidaklah
berarti apa-apa sehingga ia pun frustrasi dan nekat bunuh diri.

3) Ajo Sidi

Ajo Sidi dikenal sebagai pembual, agak sukar untuk dipercaya bila berbicara
sungguh-sungguh, apalagi dalam membicarakan soal-soal seperti agama.
Pandangannya tentang ibadah kepada Tuhan tidak membuktikan bahwa ia
melakukan ibadah itu karena selama ini baginya dunia adalah segalanya. Dia
termasuk orang yang lebih mementingkan kehidupan di dunia dengan kerja keras.
Pandangan keagamaan yang dikisahkannya bukan untuk meyakinkan dirinya,
melainkan sebagai cerita dalam bentuk sindiran terhadap kehidupan beragama di
lingkungannya. Karakter atau watak Ajo Sidi dilukiskan pengarang melalui
penilaian tokoh aku dalam kutipan berikut ini. Menurut Wicaksono (2014:242)
teknik pelukisan tokoh semacam ini disebut teknik reaksi tokoh lain, yaitu teknik
yang dipergunakan untuk melukiskan tokoh dalam cerita berupa reaksi tokoh lain
yang terdapat dalam cerita terhadap tokoh yang diceritakan.

―Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan
aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa
mengikat orang-orang dengan bualannya yang aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang
terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses
terbesar baginya ialah karena semua pelaku-pelaku yang diceritakannya menjadi
model orang untuk diejek dan ceritanya menjadi pemeo akhirnya (Navis, 2009:3).

Selain itu, karakter Ajo Sidi juga digambarkan sebagai orang yang cuek dan
tidak bertanggung jawab. Hal itu seperti diungkapkan tokoh Aku yang mencari ke
rumahnya begitu tahu Kakek bunuh diri akibat bualannya.

Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa dengan istrinya saja. Lalu aku
tanya dia.
“Dia sudah pergi,” jawab istri Ajo Sidi.
“Tidak ia tahu Kakek meninggal?”
“Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh
lapis.”
“Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa
oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab, “dan sekarang
ke mana dia?”
“Kerja.”
“Kerja?” tanyaku mengulangi hampa.
“Ya, dia pergi bekerja.” (Navis, 2009:13)
4) Haji Saleh
Haji Saleh adalah tokoh rekaan Ajo Sidi dalam bualannya kepada Kakek.
Tokoh Haji Saleh ini sengaja diciptakan Ajo Sidi untuk menarik perbandingan
dengan tokoh Kakek. Haji Saleh digambarkan sebagai seorang haji yang sangat
membanggakan kehajiannya termasuk kepada Tuhan.
Haji Saleh selama hidup di dunia selalu taat beribadah kepada Tuhan. Siang
malam tak hentinya memuja nama Tuhan hingga ia melupakan keluarga dan
lingkungan tempat ia tinggal. Sifat inilah yang pada akhirnya malah membuat Haji
Saleh dimasukkan Tuhan ke dalam neraka. Padahal sebelumnya Haji Saleh sudah
sangat yakin kalau ia akan dimasukkan ke dalan surga Tuhan.

Ya Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain daripada beribadat menyembah-Mu,


menyebut-nyebut nama-Mu. Bahkan dalam kasih-Mu, ketika aku sakit, nama-Mu
menjadi buah bibirku juga. Dan aku selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-
Mu untuk menginsafkan umat-Mu (Navis, 2009:7).

Dan malaikat dengan sigapnya menjewer Haji Saleh ke neraka (Navis, 2009:8).

Karakter Haji Saleh di atas memperlihatkan sebagai orang yang jemawa dalam
beribadah. Ia merasa sangat yakin kalau akan ditempatkan ke surga karena amal
ibadah yang dilakukannya banyak. Pengarang melukiskan karakter Haji Saleh di
atas dengan teknik cakapan. Melalui dialog antara Haji Saleh dan Tuhan,
pembaca mengetahui bagaimana ketakaburan Haji Saleh dengan segala amal
ibadah yang telah diperbuatnya.

c. Alur

Alur yang dikembangkan pengarang, yaitu menggambarkan cerita Kakek


yang seakan-akan terpengaruh cerita bualan Ajo Sidi. Kakek bekerja sebagai garin
atau marbot di sebuah surau dan seringkali dimintai bantuan untuk mengasah pisau
dengan imbalan yang sedikit bahkan tak jarang hanya ucapan terima kasih. Alur
pada cerpen “Robohnya Surau Kami” menggunakan alur mundur atau flashback.
Alur mundur pada cerpen tersebut, dimulai dari proses pengulangan cerita yang
dilakukan tokoh Aku.
Dan biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongeng yang tak dapat disangkal
kebenarannya. Beginilah kisahnya (Navis, 2009:2).
Alur cerita memaparkan prolog hingga akhir cerita secara berurutan. Tokoh
Aku menceritakan kronologis Kakek penjaga surau yang terpengaruh dengan
bualan Ajo Sidi sehingga memutuskan bunuh diri. Tahapan alur dibagi menjadi
tujuh, yaitu exposition, inciting force, rising action, crisis, climax, falling action,
dan conclution (Aminuddin, 2010:84). Tahapan-tahapan itu dalam cerpen
“Robohnya Surau Kami” secara rinci dipaparkan berikut ini.

Ajo Sidi membuat cerita pada Akibat cerita yang dibuat


kakek kalau Haji Saleh masuk Ajo Sidi ini kakek merasa
neraka meski banyak amal frustasi bahwa apa yang
ibadah yang dilakukannya. dilakukannya sia-sia
Climax sehingga nekat bunuh
.
Kakek menahan kemarahannya diri.
Crisis
setelah mendengar cerita Ajo .

Falling action
Kakek meninggal dunia
Rising action

Sidi dan bercerita kepada tokoh


karena keyakinannya
Aku.
digoyahkan dengan bualan
Inciting force Ajo Sidi. Tokoh Aku
Suatu hari tokoh Aku mendapati berita ini dari
mendapati Kakek ini istrinya ketika hendak pergi
murung. bekerja.
Conclution .

Exposition Kakek meninggal dunia


Tokoh aku menceritakan dengan menggorok
tentang sebuah surau tua lehernya sedangkan Ajo
di kota kelahirannya Sidi malah tetap bekerja.
yang dijaga seorang .
garin.

d. Latar/Setting
Latar dalam cerpen diklasifikasikan menjadi empat, yaitu latar tempat,
latar waktu, latar peristiwa, dan latar sosial.
1) Latar Tempat
Latar jenis ini biasa disebut latar fisik. Latar ini dapat berupa daerah,
bangunan, kapal, sekolah, kampus, hutan, dan sejenisnya. Latar tempat yang ada
dalam cerpen ini jelas disebutkan oleh pengarangnya, seperti kota, dekat pasar, di
surau, dan sebagainya. Dalam cerpen tidak disebutkan secara eksplisit di mana
peristiwa yang diceritakan itu terjadi. Hanya disebutkan di surau tua yang di
depannya ada kolam ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran
mandi. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.

―Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan
menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Melangkahlah menyusuri
jalan raya arah ke barat. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tan
di jalan kampungku. Pada simpang kecil kekanan, simpang yang kelima,
membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan itu nanti akan tuan temui
sebuah surau tua. Di depannya ada kolan ikan, yang airnya mengalir melalui empat
buah pancuran mandi (Navis, 2009:1).

Walaupun tidak secara eksplisit disebutkan di mana tempat cerita tersebut


tetapi pembaca dapat menyelidiki dengan cara mencermati nama tokoh seperti
Ajo Sidi. Ajo Sidi adalah nama umum bagi sebagian penduduk Sumatera Barat,
yaitu penduduk bagian pesisir selatan Sumatera Barat. Jadi dapat diperkirakan
bahwa cerita ini berlatar tempat di Minang, Sumatera Barat.
2) Latar Waktu
Begitu pula halnya dengan latar waktu tidak dijelaskan secara eksplisit
dalam cerita, tetapi pembuatan cerpen ini adalah tahun 1986. Karena dalam cerpen
terdapat kutipan “Kalalu beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku
dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar” (Navis, 2009:1). Jadi,
kira-kira latar waktu kejadian dalam cerpen adalah beberapa tahun sebelum
pembuatan cerpen ini.
3) Latar Peristiwa
Pada saat diceritakan kisah tentang Haji Saleh, saat itu Indonesia masih
dijajah oleh bangsa asing, di mana hasil kekayaan Indonesia dibawa ke negeri
penjajah dan rakyat sendiri menjadi kacau-balau karena sering berkelahi.
‘Negeri yang lama diperbudak orang lain?‘
‘Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.‘
‘Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya, dan diangkut ke negerinya,
bukan?‘
‘Benar, Tuhanku. Hingga kami tak mendapat apa-apa lagi.
Sungguh laknat mereka itu.‘
‘Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi,
sedang hasil tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?’ (Navis,
2009:11)

4) Latar Sosial

Di dalam latar ini umumnya menggambarkan keadaan masyarakat,


kelompok-kelompok sosial dan sikapnya, kebiasaannya, cara hidup, dan bahasa.
Di dalam cerpen ini latar sosial digambarkan sebagai berikut.
Dan di pelataran surau kiri itu akan tuan temui seorang tua yang biasanya duduk
disana dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah
bertahun-tahun Ia sebagai Garim, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya
kakek (Navis, 2009:1).

Dari contoh ini tampak latar sosial berdasarkan usia, pekerjaan, dan kebisaan
atau cara hidupnya. Namun demikian, contoh latar sosial yang menggambarkan
kebiasaan yang lainnya, yaitu :

‘Kalau Tuhan akan mau mengakui kehilapan–Nya bagaimana?’ suatu suara


melengking di dalam kelompok orang banyak itu.
‘Kita protes. Kita resolusikan, ‘kata Haji Saleh.
‘Cocok sekali, di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang
kita peroleh, ‘sebuah suara menyela.
‘Setuju. Setuju. Setuju.’ Mereka bersorak beramai-ramai (Navis, 2009:9).

Kebiasaan ini tentunya mengisyaratkan kepada pembaca bahwa tokoh-


tokoh yang terlibat dalam dialog di atas termasuk kelompok orang yang sangat
kritis, vokal, dan berani. Karena kritik dan keberaniannya itulah, terkadang mereka
menganggap enteng orang lain sehingga memiliki sikap takabur. Tokoh-tokoh itu
pun berani takabur di hadapan Tuhan dengan menggugat bahwa Tuhan telah salah
bernilai menjatuhkan putusan-Nya. Padahal apa yang dilakukan mereka tidak
bernilai di mata Tuhan. Perhatikan pada berikut ini.

Haji Saleh yang jadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara
yang menggeletar dan berirama indah, Ia memulai pidatonya: ―O, Tuhan kami
yang Mahabesar, kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat
beribadat, yang paling taat menyembah-Mu. Kamilah orang-orang yang selalu
menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran-Mu, mempropagandakan keadilan-
Mu, dan lain-lainnya…(Navis, 2009:9-10).

Selain itu, latar sosial lain yang digambarkan dalam cerpen ini meskipun
hanya sepintas penggambarannya. Latar sosial yang ditunjukkan itu berupa
ditemukannya salah satu tokoh dalam cerita ini yang masuk dalam kelompok sosial
pekerja. Adapun kutipannya sebagai berikut,
“Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa
oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikitpun bertanggung jawab, “dan sekarang
ke mana dia?”
‘”Kerja.”
“Kerja?” tanyaku mengulangi hampa.
“Ya. Dia pergi kerja.” (Navis, 2009:13)
e. Sudut Pandang

Sudut pandang adalah cara atau pandangan pengarang sebagai sarana


untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang
membentuk cerita. Dalam cerpen “Robohnya Surau Kami” sudut pandang yang
digunakan adalah sudut pandang persona pertama aku tokoh tambahan. Dalam
sudut pandang ini tokoh ―aku muncul bukan sebagai tokoh utama, melainkan
sebagai tokoh tambahan, first person peripheral (Nurgiyantoro, 2018:264). Tokoh
Aku dalam cerpen sebagai pencerita atau narator yang terlibat langsung dalam
cerpen. Hal ini dapt dilihat dalam kutipan berikut.
Tapi aku tak perlu menjawabnya lagi. Sebab aku tahu kalau Kakek sudah
membuka mulutnya, dia takkan diam lagi. Aku biarkan Kakek dengan
pertanyaannya sendiri (Navis, 2009:4).

Tiba-tiba aku ingat pada kakek dan kedatangan Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo
Sidi telah membuat bualan tentang Kakek? Dan bualan itukah yang mendurjakan
Kakek? Aku ingin tahu. Lalu aku tanya Kakek lagi, “Apa ceritanya, Kek?”
(Navis, 2009:4).

f. Amanat

Di dalam sebuah cerita, gagasan atau pokok persoalan dituangkan


sedemikian rupa oleh pengarangnya sehingga gagasan itu mendasari seluuh cerita.
Gagasan yang mendasari seluruh cerita ini dipertegas oleh pengarangnya melalui
solusi bagi pokok persoalan itu. Dengan kata lain solusi yang dimunculkan
pengaranngnya itu dimaksudkan untuk memecahkan pokok persoalan yang di
dalamnya akan terlibat pandangan hidup dan cita-cita pengarang. Hal inilah yang
dimaksudkan dengan amanat. Dengan demikian, amanat merupakan keinginan
pengarang untuk menyampaikan pesan atau nasihat kepada pembacanya.
Jadi amanat pokok yang terdapat dalam cerpen “Robohnya Surau Kami”
karya A.A. Navis adalah: pelihara, jaga, dan jangan bermasabodoh terhadap apa
yang kau miliki. Hal ini terdapat pada paragraf kelima halaman sebelas kalimat
yang terakhir. Amanat pokok/utama ini kemudian diperjelas atau diuraikan dalam
ceritanya. Akibatnya muncullah amanat-amanat lain yang mempertegas amanat
utama itu. Amanat-amanat yang dimaksud itu di antaranya:
1) Jangan cepat marah kalau ada orang yang mengejek atau menasihati kita
karena ada perbuatan kita yang kurang layak di hadapan orang lain.
Amanat ini dimunculkan melalui ucapan kakek seperti kutipan di bawah ini,
“Marah ? Ya, kalau aku masih muda, tetapi aku sudah tua. Orang tua
menahan ragam. Sudah lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku
kalau imanku rusak karenanya, ibadahku rusak karenanya. Sudah
begitu lama aku berbuat baik, beribadah bertawakkal kepada
Tuhan (Navis, 2009:4).

Dari ucapan Kakek Garin itu jelas tergambar pandangan hidup/cita-cita


pengarangnya mengenai larangan untuk cepat marah.

2) Jangan cepat bangga akan perbuatan baik yang kita lakukan karena hal ini
bisa saja baik di hadapan manusia tetapi mungkin kurang baik di hadapan
Tuhan. Coba saja tengok pengalaman tokoh yang bernama Haji Saleh ketika
dia disidang di akhirat.
Alangkah tercengangnya Haji Saleh, karena di Neraka itu banyak
teman-temannya didunia terpanggang hangus, merintih kesakitan.
Dan tambah tak mengerti lagi dengan keadaan dirinya, karena semua
orang- orang yang dilihatnya di Neraka itu tak kurang ibadahnya dari
dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai empat belas
kali ke Mekkah dan bergelar Syekh pula (Navis, 2009:8).

3) Kita jangan terpesona oleh gelar dan nama besar sebab hal itu akan
mencelakakan diri pemakainya.
4) Jangan menyia-nyiakan apa yang kamu miliki. Untuk itu cermati sabda Tuhan
dalam cerpen ini.

‘Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya
semua, sedang harta bendamu kau biarkan orang lain mengambilnya untuk anak
cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu,
saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas, kau lebih
suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting
tulang. Sedang Aku menyuruh engkau semuanya beramal disamping beribadat.
Bagaimana engkau bisa beramal kalau engkau miskin .…(Navis, 2009:11).

5) Jangan mementingkan diri sendiri, seperti yang disabdakan Tuhan dalam


cerpen ini,

‖…. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau
takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang, tapi engkau melupakan
kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga
mereka itu kucar kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu
egoistis, padahal engkau didunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau
tak memperdulikan sedikitpun (Navis, 2009:12).

Pada akhirnya amanat (4) dan (5) menjadi kunci amanat yang diinginkan
pengarang untuk pembacanya. Kedua amanat itu kemudian dirumuskan, seperti
yang sudah dituliskan pada bagian awal tentang amanat di atas.

4. Simpulan
Cerpen adalah jenis karya sastra yang berbentuk prosa naratif fiktif atau fiksi
yang isinya menceritakan atau menggambarkan kisah suatu tokoh beserta segala
konflik dan penyelesaiannya yang ditulis secara ringkas dan padat. Cerpen
konvensional memiliki ciri dan struktur bagaimana bentuk sebuah cerpen.
Ketentuan itu berupa adanya unsur-unsur pembangun yang harus ada dalam sebuah
cerpen. Unsur-unsur itu terdiri dari tema, tokoh, penokohan, setting, alur, sudut
pandang, dan amanat. Jika pembaca ingin memahami cerpen yang dibaca secara
komprehensif, pendekatan objektif dapat digunakan. Pendekatan objektif ini
bertujuan untuk membongkar atau menguraikan unsur-unsur yang terdapat dalam
prosa fiksi yang dibaca. Begitu pun dalam cerpen “Robohnya Surau Kami”
merupakan salah satu contoh cerpen konvensional yang dapat dianalisis dengan
pendekatan objektif. Pendekatan objektif telah mampu menguraikan unsur-unsur
intrinsik dalam cerpen “Robohnya Surau Kami” dengan akurat.

DAFTAR RUJUKAN
Abrams, M.H. 1981. A Glossary of Literary Terms. New York: Holt, Rinehart and
Winston.
Aminuddin. 2010. Pengantar Apresiasi Sastra. Ketujuh. Bandung: Sinar baru
Algesindo.
Ardhian, Mhd Ichsan, Shinta Dewi Safira, Fitriani Lubis, and Emasta Evayanti
Simanjuntak. 2021. “Analisis Novel ‘Money!’ Karya T. Andar dengan
Pendekatan Objektif Teori MH. Abrams.” LINGUISTIK: Jurnal Bahasa Dan
Sastra 6 (2): 311–19.
Ekasiswanto, Rudi. 2020. “Analisis Cerpen ‘Robohnya Surau Kami’ Karya AA.
Navis dalam Perspektif Posmodernisme Linda Hutcheon.” Sasdaya: Gadjah
Mada Journal of Humanities 4 (1): 27–47.
https://journal.ugm.ac.id/sasdayajournal/article/view/54566.
Hudson, William Henry. 1953. An Introduction to the Study of Literature.
London: George Harrap & Co. Ltd.
Karmini, Ni Nyoman. 2008. Sosok Perempuan Dalam Teks Geguritan Di Bali:
Analisis Feminisme. Denpasar: Universitas Udayana.
———. 2011. Teori Pengkajian Prosa Fiksi Dan Drama. Denpasar: Saraswati
Institut Press.
Minderop, Albertine. 2005. Metode Karakterisasi Telaah Fiksi. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Muhardi, and Hasanuddin. 1992. Prosedur Analisis Fiksi. Padang: Citra Budaya.
Navis, A. A. 2009. Robohnya Surau Kami. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Nofiyanti, Nofiyanti. 2017. “Pendidikan Karakter Dalam Cerpen “Robohnya
Surau Kami’’karya AA Navis.” Semantik 3 (2): 114–28. http://e-
journal.stkipsiliwangi.ac.id/index.php/semantik/article/download/441/310.
Nurgiyantoro, Burhan. 2018. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: UGM press.
Purba, Antilan. 2012. Sastra Indonesia Kontemporer. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Ramadhanti, Dina. 2016. Buku Ajar Apresiasi Prosa Indonesia. Yogyakarta:
Deepublish.
Rampan, Korrie Layun. 2009. Apresiasi Cerpen Indonesia Mutakhir. Jakarta:
BukuPop.
Saryono, Djoko. 2009. Dasar Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Elmatera Publishing.
Sayuti, Suminto A. 2000. Berkenalan Dengan Prosa Fiksi. Yogyakarta: Gama
Media.
Sayuti, Suminto A., and Wiyatmi. 2014. Kritik Sastra. Tangerang Selatan:
Universitas Terbuka.
Sudjiman, Panuti. 1990. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: UI Press.
———. 1992. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Tarigan, Henry Guntur. 1984. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.
Teeuw, A. 1984. Sastra Dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Balai
Pustaka.
Waluyo, Herman J. 2011. Pengkajian Dan Apresiasi Prosa Fiksi. Surakarta: UNS
Press.
Wellek, Rene, and Austin Warren. 1993. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.
Wicaksono, Andri. 2014. Pengkajian Prosa Fiksi. Yogyakarta: Garudhawaca.

Anda mungkin juga menyukai