Anda di halaman 1dari 11

Sejarah Sastra Indonesia Periode 1945-1953

2.1.Angkatan 45

Angkatan 45 lahir dalam suasana lingkungan yang sangat prihatin dan serba keras, yaitu
lingkungan fasisme Jepang dan dilanjutkan peperangan mempertahankan kemerdekaan
Indonesia.

Pengalaman hidup dan gejolak sosial-politik-budaya telah mewarnai karya sastrawan Angkatan
\\\\\\\’45. Karya sastra angkatan ini lebih realistik dibanding karya Angkatan Pujangga baru yang
romantik-idealistik. Karya-karya sastra pada angkatan ini banyak bercerita tentang perjuangan
merebut kemerdekaan seperti halnya puisi-puisi Chairil Anwar. Sastrawan angkatan \\\\\\\’45
memiliki konsep seni yang diberi judul \\\\\\\”Surat Kepercayaan Gelanggang\\\\\\\”. Konsep ini
menyatakan bahwa para sastrawan angkatan \\\\\\\’45 ingin bebas berkarya sesuai alam
kemerdekaan dan hati nurani. Selain Tiga Manguak Takdir, pada periode ini cerpen Dari Ave
Maria ke Jalan Lain ke Roma dan Atheis dianggap sebagai karya pembaharuan prosa Indonesia.

Munculnya Khairil Anwar dalam panggung sejarah sastra Indonesia memberikan sesuatu yang
baru. Sajak-sajaknya tidak seperti sajak-sajak Amir Hamzah yang masih mengingatkan kita
kepada sastra Melayu. Bahasa yang dipergunakannya ialah bahasa Indonesia yang hidup,
berjiwa. Bukan bahasa buku, melainkan bahasa percakapan sehari-hari yang dibuatnya bernilai
sastra.

SURAT KEPERCAYAAN GELANGGANG

Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan
dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat bagi
kami adalah kumpulan campur baur dari mana dunia-dunia baru yang sehat dapat dilahirkan.

Ke-Indonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit kami yang sawo matang, rambut kami yang
hitam, atau tulang pelipis kami menjorok ke depan, tapi lebih banyak oleh apa yang diutarakan
oleh wujud pernyataan hati dan pikiran kami. Kalau kami bicara tentang kebudyaan Indonesia,
kami tidak ingat kepada melap-lap hasil kebudayaan lama sampai mengilat dan untuk
dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudyaan baru yang sehat.

Jakarta 18 Februari 1950

Sebegitu banyak yang memproklamasikan kelahiran dan membela hak hidup Angkatan 45,
sebanyak itu pulalah yang menentangnya. Armijn Pane berpendapat bahwa Angkatan 45
hanyalah lanjutan dari yang sudah dirintis angkatan sebelumnya, yaitu Angkatan Pujangga Baru.

Pada tahun 1952, H.B. Jassin mengumumkan sebuah essai berjudul Angkatan 45 yang
merupakan pembelaan terhadap kelahiran dan hak hidup Angkatan 45. Jassin mengatakatan
bahwa bukan hanya dalam gaya saja perbedaan antara Angkatan 45 ini dengan para pengarang
Pujanggga Baru, melainkan juga dalam visi (pandangan). Essai itu kemudian diterbitkan dalam
kumpulan karangan Jassin berjudul Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Essay
(1954).

Ciri-ciri Angkatan 45 adalah:

a) Terbuka

b) Pengaruh unsur sastra asing lebih luas

c) Corak isi lebih realis, naturalis

d) Individualisme sastrawan lebih menonjol, dinamis, dan kritis

e) Penghematan kata dalam karya

f) Ekspresif

g) Sinisme dan sarkasme

h) Karangan prosa berkurang, puisi berkembang

Contoh sastra pada masa Angkatan 45:

a) Tiga Menguak Takdir (Chairil Anwar-Asrul Sani-Rivai Apin)

b) Deru Campur Debu (Chairil Anwar)

c) Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus (Chairil Anwar)

d) Pembebasan Pertama (Amal Hamzah)

e) Kata Hati dan Perbuatan (Trisno Sumarjo)

f) Tandus (S. Rukiah)

g) Puntung Berasap (Usmar Ismail)

h) Suara (Toto Sudarto Bakhtiar)

i) Surat Kertas Hijau (Sitor Situmorang)

j) Dalam Sajak (Sitor Situmorang)

k) Rekaman Tujuh Daerah (Mh. Rustandi Kartakusumah)


2.2.Penulis dan Karya Sastra Angkatan 1945

a. Chairil Anwar

\"\\"\\\\"Chairil\\"\"
Beberapa karya :

Kerikil Tajam (1949)

Deru Campur Debu (1949)

Chairil Anwar Lahir 26 Juli 1922


Medan, Sumatera Utara, Hindia Belanda

Meninggal 24 April 1949


Jakarta, Indonesia Pekerjaan penyair Kebangsaan Indonesia Suku bangsa Suku Minang Periode
menulis 1942 - 1949 Angkatan Angkatan \\\\\\\’45 Karya terkenal Krawang Bekasi.

Masa kecil

Dilahirkan di Medan, Chairil Anwar merupakan anak tunggal. Ayahnya bernama Toeloes,
mantan bupati Kabupaten Indragiri Riau, berasal dari Taeh Baruah, Limapuluh Kota, Sumatra
Barat. Sedangkan ibunya Saleha, berasal dari Situjuh, Limapuluh Kota. Dia masih punya
pertalian keluarga dengan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia.

Sekolahnya hanya sampai mulo ( SMP ) dan itu pun tidak tamat kemudian ia belajar sendiri,
sehingga tulisan-tulisannya matang dan padat berisi. Chairil masuk sekolah Hollandsch-
Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi waktu masa penjajahan
Belanda. Dia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs
(MULO), sekolah menengah pertama Hindia Belanda, tetapi dia keluar sebelum lulus. Dia mulai
untuk menulis sebagai seorang remaja tetapi tak satupun puisi awalnya yang ditemukan.

Pada usia sembilan belas tahun, setelah perceraian orang-tuanya, Chairil pindah dengan ibunya
ke Jakarta di mana dia berkenalan dengan dunia sastra. Meskipun pendidikannya tak selesai,
Chairil menguasai bahasa Inggris, bahasa Belanda dan bahasa Jerman, dan dia mengisi jam-
jamnya dengan membaca karya-karya pengarang internasional ternama, seperti: Rainer M. Rilke,
W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J. Slaurhoff dan Edgar du Perron. Penulis-
penulis ini sangat memengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung memengaruhi puisi tatanan
kesusasteraan Indonesia.

Masa dewasa

Nama Chairil mulai terkenal dalam dunia sastera setelah pemuatan tulisannya di \\\\\\\”Majalah
Nisan\\\\\\\” pada tahun 1942, pada saat itu dia baru berusia dua puluh tahun. Hampir semua
puisi-puisi yang dia tulis merujuk pada kematian.. Chairil ketika menjadi penyiar radio Jepang di
Jakarta jatuh cinta pada Sri Ayati tetapi hingga akhir hayatnya Chairil tidak memiliki keberanian
untuk mengungkapkannya.[4] Puisi-puisinya beredar di atas kertas murah selama masa
pendudukan Jepang di Indonesia dan tidak diterbitkan hingga tahun 1945.

Semua tulisannya yang asli, modifikasi, atau yang diduga diciplak dikompilasi dalam tiga buku:
Deru Campur Debu (1949); Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus (1949); dan Tiga
Menguak Takdir (1950, kumpulan puisi dengan Asrul Sani dan Rivai Apin).

Akhir hidup

Vitalitas puitis Chairil tidak pernah diimbangi kondisi fisiknya, yang bertambah lemah akibat
gaya hidupnya yang semrawut. Sebelum dia bisa menginjak usia dua puluh tujuh tahun, dia
sudah kena sejumlah penyakit. Chairil Anwar meninggal dalam usia muda karena penyakit TBC.
Dia dikuburkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Makamnya diziarahi oleh
ribuan pengagumnya dari zaman ke zaman. Hari meninggalnya juga selalu diperingati sebagai
Hari Chairil Anwar

Dari esai dan sajak-sajaknya jelas sekali ia seorang individualis yang bebas. Dengan berani dan
secara demonstratif pula ia menentang sensor Jepang dan itu menyebabkan ia selalu menjadi
incaran Kenpetai (polisi rahasia Jepang yang terkenal galak dan kejam).

Sajaknya yang termasyhur dan merupakan gambaran semangat hidupnya yang memberist dan
individualis berjudul AKU (ditempat lain diberi judul Semangat). Dalam sajak itu ia menyebut
dirinya sebgai binatang jalang, sebutan yang segera menjadi terkenal.

AKU

Kalau sampai waktuku


Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau.

Tak perlu sedus edan itu


Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku


Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa ku bawa berlari


Berlari

Hingga hilang pedih peri


Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

Selain seorang individualis, Khairil juga amat mencintai tanah air dan bangsanya. Rasa
kebangsaan dan patriotismenya tampak dalam sajak-sajaknya Diponegero, KerawangBekasi,
Persetujuan dengan Bung Karno, Siap Sedia, Cerita Buat Dien Tamaela, dan lain-lain.

DIPONOGORO

Di masa pembangunan ini


Tuan hidup kembali
Dan bara kagus menjadi api
Di depan sekali Tuan menenti
Tak gentar. Laean banyaknya seratus kali
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselubung semangat yang tak bisa mati

Maju
Ini baaaarisan tak bergenderang berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu
Sekali berarti
Sudah itu mati

Maju
Bagimu negeri
Menyediakan api
Punah di atas menghamba
Biansa di atas ditinda
Sungguh pun dalam ajal baaaaaru tercapai
Jika hidup haarus merasai

Maju
Serbu
Serang
Terjang

Meskipun dalam beberapa sajaknya ia sering seolah-olah sinis mengejek nili-nilai moral,
termasuk nilai-niai agama, sebenarnya ia bukan tidak mempunyai rasa keagamaan. Sajaknya
yang berjudul Doa dan Isa menunjukkan perasaan keagamaan yang mendalam.

DOA
Kepada Pemeluk Teguh

Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut nama-Mu
Biar sudah sungguh
Mengingat kau penuh seluruh

Caya-Mu panas suci


Tinggal kerlip lilin di kelam sunyi

Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk

Tuhanku
Aku mengembara di negeri asing

Tuhanku
Di pintu-Mu aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling.

Sajak-sajak Khairil merupakan renungan tentang hidup, penyelaman terhadap kenyataan, lukisan
perasaan manusia, cinta-kasih, berahi, dan lain-lain. Beberapa sajaknya sangat romantis sepeti
Tuti Artic, Senja di Pelabuhan Kecil, Cintaku Jauh di Pulau, dan lain-lain. Dalam sajak Sorga ia
sangat sinis mengejek manusia-manusia yang membayangkan sorga dalam ukuran duniawi.

b. Asrul Sani dan Rivai Apin

Penyair kawan seangkatan Khairil Anwar yang bersama sama mendirikan Gelanggang Seniman
Merdeka ialah Asrul Sani dan Rivai Apin. Ketiga penyair itu biasanya dianggap sebagai trio
pembaharu puisi Indonesia, pelopor Angkatan 45. Ketiga penyair itu menenrbitkan kumpulaan
sajak bersama, Tiga Menguak Takdir (1950).

Asrul Sani (lahir di Rao, Sumatra Barat, 10 Juni 1926 meninggal di Jakarta, 11 Januari 2004
pada umur 77 tahun) adalah seorang sastrawan dan sutradara film asal Indonesia. Menyelesaikan
studi di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Indonesia (1955). Pernah mengikuti seminar
internasional mengenai kebudayaan di Universitas Harvard (1954), memperdalam pengetahuan
tentang dramaturgi dan sinematografi di Universitas California Selatan, Los Angeles, Amerika
Serikat (1956), kemudian membantu Sticusa di Amsterdam (1957-1958).

Bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin, ia mendirikan \\\\\\\”Gelanggang Seniman\\\\\\\” (1946)
dan secara bersama-sama pula menjadi redaktur \\\\\\\”Gelanggang\\\\\\\” dalam warta sepekan
Siasat. Selain itu, Asrul pun pernah menjadi redaktur majalah Pujangga Baru, Gema Suasana
(kemudian Gema), Gelanggang (1966-1967), dan terakhir sebagai pemimpin umum Citra Film
(1981-1982).

Asrul pernah menjadi Direktur Akademi Teater Nasional Indonesia, Ketua Lembaga Seniman
Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi), anggota Badan Sensor Film, Ketua Dewan Kesenian
Jakarta, anggota Dewan Film Indonesia, dan anggota Akademi Jakarta (seumur hidup).
Karyanya: Tiga Menguak Takdir (kumpulan sajak bersama Chairil Anwar dan Rivai Avin,
1950), Dari Suatu Masa dari Suatu Tempat (kumpulan cerpen, 1972)
PERIODE ANGKATAN ‘70

1 Ikhwal Periode 70-an

Latar Belakang Lahirnya Angkatan 70-AnMunculnya angkatan 70-an karena adanya pergeseran
sikap berpikir dan bertindak dalammenghasilkan wawasan estetik dalam menghasilkan karya sastra
bercorak baru, baik di bidang puisi, prosa maupun drama. Pergeseran ini mulai kelihatan setelah
gagalnya kudeta G30 S/PKI.Dalam periode 70-an pengarang berusaha melakukan eksperimen untuk
mencoba batas-batas berupa kemungkinan bentuk baik prosa, puisi drama semakin tidak jelas.2. Siapa
saja yang memberi nama dan berdasarkan peristiwa apaYang memberi nama angkatan 70-an yaitu:a)
Hadi W.M, dan Darui N . Toda.
Ciri-ciri yang mencolok dari eksperimentasi yang diperlihatkan karya-karya yang muncul
dasawarsa 1970-an itu, dapatlah disebutkan beberapa di antaranya. Untuk novel yang dapat diwakili oleh
karya Iwan Simatupang, Putu Wijaya, Kuntowijoyo, dan Budi Darma,12 memperlihatkan adanya
kesamaan tema yang mengangkat masalah keterasingan manusia modern dan kehidupan yang absurd.
Identitas tokoh menjadi tidak penting yang ditandai dengan penamaan Tokoh Kita (dalam novel-novel
Iwan Simatupang) atau cukup disebutkan lelaki setengah baya, penjaga kuburan, buruh pabrik, walikota,
pensiunan dan beberapa nama jabatan atau status sosial yang bisa berlaku untuk siapa saja.
Latar tempat dan latar waktu juga tidak mengacu pada tempat dan waktu tertentu, sehingga
dapat berlaku di mana dan kapan saja. Alur yang dalam novel konvensional selalu harus didasari pada
rangkaian peristiwa yang mempunyai pertalian hubungan sebab-akibat (kausalitas), dalam novel-novel
tahun 1970-an itu tidak lagi berlaku. Segala peristiwa bisa tumpang-tindih tak ada hubungan sebab-
akibatnya (kausalitas).
Peristiwa yang dihasilkan lakuan dan pikiran disajikan seketika secara serempak, seolah-olah
peristiwa itu datang saling menyergap. Akibatnya, peristiwa itu seperti tidak jelas lagi juntrungannya.
Model novel-novel yang seperti inilah yang kemudian disebut sebagai novel arus kesadaran (stream of
conciousness), sebuah aliran dalam sastra (terutama prosa) yang menekankan cerita melalui pikiran,
perasaan, dan alam bawah sadar tokoh-tokohnya.
Untuk cerpen, dapatlah kiranya diwakili oleh karya-karya Danarto, Putu Wijaya, Kuntowijoyo, Fudoli Zaini,
dan Umar Kayam13 Lebih khusus lagi pada cerpen-cerpen Danarto, tokoh-tokoh yang muncul bisa apa
saja. Air, batu, hewan, tanaman, atau benda dan binatang apapun, bisa saja menjadi tokoh yang juga
dapat berdialog dengan tokoh lain. Kumpulan cerpen Danarto, Godlob (1976) dan Adam Ma’Rifat (1982)
memperlihatkan adanya penggalian mistisisme Jawa dan tasawuf, sedangkan kumpulan cerpen
Kuntowijoyo dan Fudoli Zaini mengedepankan tema-tema sufistik. Yang sangat kuat mengungkapkan
warna lokal budaya Jawa tampak pada cerpen-cerpen Umar Kayam, Sri Sumarah dan Bawuk, sementara
karya-karya Putu Wijaya yang cenderung menampilkan serangkaian teror mengangkat tema-tema
keterasingan manusia perkotaan.
Begitulah, cerpen-cerpen Indonesia pada dasawarsa tahun 1970-an seperti sengaja melepaskan
diri dari konvensi cerpen sebelumnya. Ada inovasi (pembaruan) dan pemberontakan terhadap wawasan
estetik cerpen-cerpen periode sebelumnya. Itulah yang dimaksud dengan adanya kecenderungan baru,
baik yang menyangkut tema cerita, tokoh yang ditampilkan, alur cerita, maupun cara penyajiannya.
Untuk bidang drama, dapat diwakili oleh karya-karya Arifin C. Noer (10 Maret 1941—28 Mei
1995), Putu Wijaya, Rendra, Danarto, dan Ikranagara.14 Ciri khas yang menonjol dari karya mereka
adalah terbukanya peluang bagi para pemain untuk melakukan improvisasi. Dalam hal ini, para pemain
yang dalam konvensi drama sebelumnya harus tunduk dan setia pada teks naskah, kini para pemain itu
dibolehkan melakukan improvisasi atau menyampaikan sesuatu di luar teks drama. Bahkan, ada pula
naskah drama yang penulisannya bersamaan dengan proses latihan, sehingga begitu proses latihan
selama beberapa minggu itu selesai, selesai pula penulisan naskahnya.
Jadi, naskah diperlakukan hanya sebatas pegangan dasar, dan ketika pemain mempunyai
kesempatan untuk mengembangkan ekspresinya, pemain boleh melakukan improvisasi. Dengan begitu,
pemain juga dituntut kreatif memanfaatkan momen-momen tertentu untuk mengekspresikan potensi
permainannya.

2. Periode 70 dan Karyanya

1. Goenawan Mohamad

Lahir di Batang, Jawa Tengah, 29 juli 1941. Ia adalah tokoh pejuang angkatan ’66 dalam bidang
sastra budaya. Memimpin majalah Tempo sejak 1971 hingga tahun 1998.
Tahun 1972 mendapatkan Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia dan pada tahun 1973 ia
mengikuti Festival Penyair Internasional di Rotterdam. Ia banyak menulis puisi dengan dasar dongeng-
dongeng daerah atau cerita wayang disertai renungan kehidupan. Buku kumpulan puisinya
adalah Parikesit (1972), Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin
kundang (1972), Interclude (1973), Asmarandana (1995), dan Misalkan Kita di Sarajevo (1998).

2. Taufiq Ismail

Lahir di Bukit Tinggi, 25 Juni 1937. Dibesarkan di Pekalongan, putra seorang wartawan berdarah
Minang. Ia merupakan dokter hewan lulusan IPB. Ia juga dikenal sebagai dramawan terkenal di Bogor
pada era 1960-an. Taufiq Ismail dikenal sebagai penyair puisi-puisi demonstrasi. Ia sendiri aktif dalam
demonstrasi. Kumpulan puisinya dibukukan dalam Tirani (1966) dan Benteng (1966).
Pernah mengikuti Festival Penyair Internasional di Rotterdam (1971), International Writing
Programm di Universitas Lowa (1973-1972), dan Kongres Penyair Dunia di Taipei (1973). Ia pernah
menerima Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia tahun 1970. Kumpulan puisinya yang lain
adalah Puisi-Puisi Sepi (1971), Pelabuhan, Ladang, Angin, dan
Langit (1971), dan Sajak-sajak Ladang Jagung (1975).

3. Sapardi Djoko Darmono

Puisi-puisi Sapardi Djoko Damono dikenal sebagai puisi “sangat sopan”, “sangat gramatikal”, dan
“sangat lembut”. Semula sang penyair tidak pernah dikaitkan dengan puisi-puisi protes atau kritik sosial,
namun kesan itu hilang setelah ia menulis Ayat-ayat Api (2000). Meskipun ada kesan bahwa puisi-puisi
Sapardi adalah puisi-puisi kamar yang harus dibaca dalam keadaan sunyi, namun banyak juga puisi-
puisinya yang sangat populer dan dideklamasikan dalam lomba-lomba deklamasi serta dapat
dikategorikan sebagai puisi auditorium (cocok untuk dibaca di pentas).
Kepenyairan Sapardi membentang sejak tahun 1960-an hingga saat ini. Kumpulan puisinya
terakhir berjudul Ayat-ayat Api. Kepenyairannya tidak mengganggu penjelajahannya dalam dunia ilmu
sastra, sampai beliau menjadi pakar sastra, Dekan Fakultas Sastra Universitas Indonesia, dan terakhir
sebagai anggota Komisi Disiplin Ilmu Sastra dan Filsafat, Dirjen Pendidikan Tinggi Depdiknas.
Kumpulan-kumpulan puisinya adalah Dukamu Abadi (1969), Mata Pisau (1974),Akuarium (1974), Perahu
Kertas (1984), Sihir Hujan (1989), Hujan Bulan Juni (1994) dan Ayat-ayat Api (2000).

4. Hartoyo Andang Jaya

Lahir di Solo, 1930, dan meninggal dunia di kota itu pula pada tahun 1990. Pernah menjadi guru
SLTP, SMU, dan STM. Ia pernah menjadi direktur majalah kanak-kanak Si Kuncung (1962-1964).
Panggilan kepenyairanya sangat kental, sehingga ia tidak mau bekerja di luar bidangnya itu. Ia
meninggal dalam keadaan sakit-sakitan. Setahun kemudian, hari kematiannya diperingati di Taman
Budaya Surakarta (Solo) dan Taman Ismail Marzuki (Jakarta). Karyanya antara lain Simfoni
Puisi (bersama D.S. Moeljanto, 1945) dan Buku Puisi
(1973).

5. Sutardji Calzoum Bachri

Sutardji Calzoum Bachri pernah menyatakan diri sebagai “Presiden Penyair Indonesia”. Pelopor
penulisan puisi konkret dan mantra ini akhir-akhir ini banyak terlibat dalam pembacaan puisi di sekolah
dalam rangka pembinaan apresiasi puisi. Ia merintis bentuk baru dalam perpuisian Indonesia, uaitu puisi
konkret dan mantra, puisi itu dikembalikan pada kodratnya yang paling awal yaitu sebagai kekuatan bunyi
yang tidak “dijajah” oleh makna atau pengertian.
Sutardji lahir di Rengat, Riau, 24 juni 1941. Ia pernah mendapat Hadiah Seni dari Pemerintah
Republik Indonesia (1993) dan dari Dewan Kesenian Jakarta (1976-1977) juga dari South East Asia
Write Award (Bangkok, 1981).
Kumpulan puisinya berjudul O, Amuk Kapak (1981). Selain itu, kritik sastranya dilontarkan dalam
masalah penulisan terkenal dengan nama kredo puisi.

6. Abdul Hadi W.M.

Abdul Hadi Wiji Muntari lahir di sumenep pada tanggal 24 juni tahun 1944, ia pernah kuliah di
Fakultas Sastra UGM hingga Sarjana Muda (1967), Fakultas Filsafat UGM (1968-1971) dan Universitas
Padjajaran (1971-1973), dia pernah tinggal di pulau penang. Selain itu, dia bekerja sambil belajar di
Universitas Sains Malaysia sejak tahun 1991. Kumpulan puisinya Riwayat (1967), Laut Belum
Pasang (1972), Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur (1975), Meditasi (1976), Tergantung
pada Angin (1977) dan Anak Laut Anak Angin (1984).

7. Yudhistira Adhi Nugraha Massardi

Lahir di Subang, Jawa Barat, 28 Februari 1954. Novelnya yang terkenal yaitu Arjuna Mencari
Cinta (1977) dan Dingdong (1978). Sementara itu kumpulan puisinya dibukukan dalam Omong
Kosong (1978), Sajak Sikat Gigi (1978), Rudi Jalak Gugat (1982). Puisi-puisinya mirip dengan
puisi mbling, yaitu puisi yang keluar dari pakem penulisan puisi yang harus memperhatikan rima, bunyi,
verifikasi, dan tipografi, tapi bukan berarti bahwa puisinya dibuat dengan main-main atau tanpa
kesungguhan.

8. Apip Mustopa

Lahir di Garut, 23 April 1938. Terakhir bekerja sebagai pengasuh ruang sastra budaya RRI
Manokwari (1969-1970). Karyanya ditulis dalam bahasa Indonesia dan Sunda. Puisi-puisinya juga dimuat
dalam antologi sastra karya Ajip Rosidi Laut Biru Langit Biru.

9. D. Zawami Imron

Lahir di Sumenep, Madura dan memperoleh pendidikan di lingkungan pesantren. Ia pernah


mendapat Hadiah Penulisan Puisi dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1985). Buku kumpulan
puisinya adalah Semerbak Mayang (1977), Bulan Tertusuk Larang (1980), Nenek Moyangku Air
Mata (1985), Cerulit Emas (1986), Bantalku Ombak, SelimutkuAngin (1996), Semerbak Mayang (1997),
dan Madura Aku Darah-Mu (1999).

http://ilbaindo.blogspot.co.id/2012/06/sejarah-sastra-angkatan-70.html

http://rengga92.blogdetik.com/2011/03/23/periode-sastra-indonesia-1945-1953

Anda mungkin juga menyukai