Anda di halaman 1dari 10

Ulasan Makna dalam Kumpulan Puisi Perjuangan di Era Kemerdekaan Karya Chairil Anwar

1. Pendahuluan

Sastra adalah karya dan kegiatan seni yang berhububngan dengan ekspresi atau mimik dan
penciptaan, sedangkan Karya Sastra adalah karya yang dibuat oleh manusia hasil dari refleksi pikiran
manusia yang dituangkan dalam bentuk tulisan ataupun gambar. Hasil karya sastra dalam bentuk
tulisan, seperti novel, puisi, cerpen, dan karya sastra lainnya. Semua hasil karya sastra sangat menarik
untuk diulas.

Dalam penulisan sajak atau puisi, setiap penyair atau sastrawan mempersembahkan nya
dengan gaya bahasa sendiri. Gaya bahasa juga menjadikan sebuah karya itu bermutu tinggi di mata
pembaca. Biasanya, gaya bahasa itu bergantung terhadap pengalaman, ilmu, dan kemahiran berbahasa
yang dimiliki tiap sastrawan atau penyair. Para sastrawan juga bebas menuliskan puisi tentang apa
saja, salah satu contoh tentang perjuangan. Banyak sastrawan yang menghasilkan puisi berisi tentang
perjuangan Indonesia melawan penjajah, puisi yang bertema patriotisme atau perjuangan
kemerdekaan. Tema patriotisme dapat meningkatkan perasaan cinta akan bangsa dan tanah air.
Banyak puisi yang melukiskan perjuangan merebut kemerdekaan dan mengisahkan riwayat pahlawan
yang berjuang merebut kemerdekaan atau melawan penjajah. Tema patriot juga dapat diwujudkan
dalam bentuk usaha penyair untuk membina kesatuan bangsa atau membina rasa kenasionalan
(Waluyo, 1991: 115).

Chairil Anwar adalah salah satu sastrawan yang menuliskan puisi bertema perjuangan atau
semangat kemerdekaan. Nama Chairil Anwar sudah tidak asing di telinga masyarakat luas dalam
dunia sastra Indonesia. Ini membuktikan bahwasanya ia dikenal sebagai sastrawan Indonesia,
khususnya sebagai penyair. Chairil Anwar meninggal dalam usia yang dibilang masih muda yaitu usia
27 tahun, namun dalam karyanya ia membuktikan kata-kata dalam sajaknya, yakni “sekali berarti
setelah itu mati dan aku mau hidup seribu tahun lagi”. Chairil Anwar juga dikenal sebagai “Si
Binatang Jalang” (dalam karyanya berjudul Aku) adalah pelopor Angkatan ’45 yang menciptakan
trend baru untuk pemakaian kata di dalam puisinya. Puisi yang ia tulis terkesan sangat lugas, solid dan
kuat. Puisi-puisi karya Chairil Anwar memiliki makna yang sangat mendalam. Juga, sosok Chairl
Anwar dan karyanya memiliki banyak keunikan yang tidak dimiliki oleh sastrawan lain seperti,
kesalahan atau sifat buruk dalam sajaknya tetap dicontohkan pada dirinya sendiri. Kalau sastrawan
lain mencontohkan dengan mengumpamakan makhluk lainnya.

Ada dua hal yang menjadikan Chairil Anwar sangat terkenal. Pertama, para ahli sastra
menyebutkan jenis sastra yang digunakan Chairil Anwar adalah jenis sastra sastra mimbar, yaitu jenis
sastra yang secara tematis berkaitan erat dengan keadaan dan juga persoalan zaman. Ini bisa berupa
tanggapan dari persoalan yang terjadi di zaman itu. Chairil Anwar sering menulis sajak-sajak yang
bernilai tinggi yang mengangkat sebuah pemikiran tertentu diantaranya revolusi, perang, dan lainnya.
Oleh karena itu, ulasan essay ini akan membahas makna puisi perjuangan yang ditulis oleh Chairil
Anwar. Berikut empat puisi karya Chairil Anwar yang akan dibahas sebagai ulasan makna dengan
tema perjuangan yakni Aku, Diponegoro, Prajurit Jaga Malam, dan Krawang-Bekasi.

2. Puisi Perjuangan “Aku”

Pada lirik pertama, chairil berbicara masalah waktu seperti pada kutipan (1).

“Kalau sampai waktuku”

Waktu yang dimaksud dalam kutipan (1) adalah sampaian dari waktu atau sebuah tujuan yang dibatasi
oleh waktu. Chairil adalah penyair yang sedang dalam pencarian bahasa ucap yang mampu memenuhi
luapan ekspresinya sesuai dengan yang diinginkannya, tanpa harus memperdulikan bahasa ucap dari
penyair lain saat itu. Chairil juga memberikan awalan kata kalau yang berarti sebuah pengandaian
atau keinginannya. Jadi, Charil seolah-olah berandai-andai tentang suatu masa saat ia sampai pada apa
yang ia cari selama ini, yaitu penemuan bahasa ucap yang berbeda dengan ditandai keluarnya puisi
tersebut.

“Ku mau tak seorang ‘kan merayu”

Pada kutipan (2) inilah watak Charil Anwar yang sangat tampak mewarnai sajaknya. Ia tahu bahwa
dengan menuliskan puisi Aku ini akan memunculkan banyak protes dari berbagai kalangan
masyarakat, terutama dari kalangan penyair. Memang dasar sifat Chairil, ia tak pernah menanggapi
pembicaraan orang tentang karyanya ini, karena memang inilah yang dicarinya selama ini. Bahkan
ketidakpeduliannya itu lebih dipertegas pada lirik selanjutnya pada kutipan (3).

“Tidak juga kau”

Kau yang dimaksud dalam kutipan (3) adalah pembaca puisi ini. Ini menunjukkan betapa tidak
pedulinya Chairil dengan semua orang yang pernah mendengar atau pun membaca puisi Aku, entah itu
baik, atau pun buruk.

Berbicara tentang baik dan buruk, bait selanjutnya akan berbicara tentang nilai baik atau buruk dan
masih tentang ketidakpedulian Chairil atas keduanya.

“Tidak perlu sedu sedan itu”

“Aku ini binatang jalang”

“Dari kumpulannya terbuang”


Ini menunjukkan suatu sikap hidup Chairil yang tidak mempersoalkan baik-buruknya suatu perbuatan,
baik itu dari segi ketetetapan masyarakat, maupun agama. Menurut Chairil, yang perlu diperhatikan
justru lemah atau kuatnya orang.

Dalam kutipan (4), ia menggunakan kata binatang jalang, karena ia ingin melukiskan dirinya seolah-
olah seperti binatang yang hidup dengan bebas, seenaknya sendiri tanpa ada orang yang mengatur.
Lebih tepatnya adalah binatang liar. Dalam suatu kelompok binatang pasti ada sebuah ikatan antara
satu dengan yang lainnya, seperti binatang kerbau yang berkumpul bersama. Akan tetapi, yang
digambarkan oleh Chairil Anwar, sebuah binatang yang ingin lepas dari ikatan tersebut dan berjalan
kearah yang berbeda. Sama dengan kutipan puisi dari kumpulannya terbuang. Di sini Chairil
menggambarkan kalau dirinya tak ingin mengikuti suatu ikatan tersebut dan ingin merasa bebas.

“Biar peluru menembus kulitku”

“Aku tetap meradang menerjang”

“Luka dan bisa kubawa berlari”

“Berlari”

“Hingga hilang pedih peri”

Peluru tak akan pernah lepas dari pelatuknya, yaitu pistol. Sebuah pistol berfungsi untuk melukai atau
menembak sesuatu. Pada kutipan (5), bait tersebut tergambar bahwa Chairil sedang diserang dengan
adanya Biar peluru menembus kulit, tetapi ia tidak mempedulikan peluru yang merobek kulitnya.
Meskipun dalam keadan diserang dan terluka, Chairil masih memberontak, ia tetap meradang
menerjang seperti binatang liar yang sedang diburu oleh pemburu. Selain itu, larik ini juga
menunjukkan sikap Chairil yang tak mau pantang menyerah.

Semua cacian dan berbagai pembicaraan tentang baik atau buruk pasti juga akan hilang, seperti yang
ia tuliskan pada larik Hingga hilang pedih peri.

“Dan aku akan lebih tidak perduli”

“Aku mau hidup seribu tahun lagi”

Inilah yang menegaskan watak dari penyair Chairil, yaitu watak ketidakpedulian. Pada kutipan (6),
bait ini seolah menjadi penutup dari puisi tersebut. Sebagaimana sebuah karya tulis, penutup terdiri
atas kesimpulan dan harapan. Kesimpulannya adalah Dan aku akan lebih tidak perduli, ia tetap tidak
mau peduli tentang berbagai pembicaraan mengenai dirinya. Chairil berharap bahwa dirinya dapat
hidup seribu tahun lagi agar ia tetap bisa mencari-cari apa yang diinginkannya.
3. Puisi Perjuangan “Diponegoro”

Diponegoro merupakan seorang pangeran yang lahir pada 11 November 1785. Pangeran
Diponegoro adalah seorang pemberani khususnya dalam melawan pemerintahan Belanda yang ada di
Indonesia saat itu. Sikap pangeran Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat
simpati dan dukungan dari masyarakat. Pada saat perang Diponegoro kerugian dari pihak Belanda
tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden.

Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Pangeran Diponegoro. Bahkan
sayembara pun dipergunakan, hadiah sebesar 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa
menangkap Diponegoro. Dengan semangatnya pangeran Diponegoro melawan tantara Belanda,
membuat Chairil Anwar ingin membangkitkan semangat untuk meraih kemerdekaan Indonesia dalam
puisi ini, apalagi puisi Diponegoro ini lahir sekitar bulan Februari tahun 1943 saat Indonesia belum
merdeka. Chairil Anwar sebagai penulis puisi ini, ingin menghidupkan semangat untuk kemerdekaan
seperti semangat perjuangan Pangeran Diponegoro dalam melawan penjajah pada saat itu.

“Di masa pembangunan ini”

“Tuan hidup kembali”

Pada kata pembangunan di baris kesatu bukan berarti pembangunan secara fisik seperti
membangun tempat. Tetapi, kata pembangunan dalam puisi ini, mempunyai makna untuk
membangun semangat meraih kemerdekaan Indonesia. Puisi ini muncul pada tahun 1943 yang berarti
Indonesia masih belum merdeka dan masih dijajah oleh para penjajah. Semangat serta keberanian
Pangeran Diponegoro dalam melawan penjajah saat itu ingin di ungkapkan oleh Chairil Anwar
melalui puisi tersebut supaya bisa membangkitkan semangat masyarakat Indonesia untuk segera
berjuang untuk merebut kemerdekaan dari penjajah. Pada kata hidup mempunyai arti masih terus ada,
bergerak, dan bekerja sebagaimana mestinya. Bukan berarti Pangeran Diponegoro setelah beliau
meninggal kemudian harus hidup kembali jasadnya, tetapi kata hidup disini diartikan semangat
Pangeran Diponegoro dalam melawan tentara Belanda

“Dan bara kagum menjadi api”

Kata api pada bait kedua baris ketiga bukan mempunyai arti api pada umumnya yang berupa
terbakar. Tetapi, kata api pada puisi ini mempunyai makna kekaguman Chairil Anwar kepada
Diponegoro. Hal itu, terlihat ketika ada kata bara yang masih ada kaitannya dengan api Begitupun
juga kekaguman Chairil Anwar kepada pangeran Diponegoro yang tidak hanya sekadar menjadi bara
saja tetapi sudah menjadi api.

“Di depan sekali tuan menanti”

“Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.”


“Pedang di kanan, keris di kiri”

“Berselempang semangat yang tak bisa mati”

Di depan sekali tuan menanti memiliki makna bahwa masyarakat Indonesia sudah tidak sabar
untuk menunggu perjuangan supaya Indonesia berhasil menyingkirkan para penjajah demi meraih
kemerdekaan, apalagi kata menanti bisa dikatakan mempunyai arti menunggu. Kata pedang pada bait
ketiga baris keenam, bukan arti parang panjang atau parang yang tajam, tetapi kata pedang pada puisi
ini mempunyai arti bantuan kekuatan dari militer atau tantara yang sudah terlatih. Sedangkan kata
keris berarti senjata tajam bersarung, berujung tajam, dan bermata dua.

Dalam puisi ini kata keris memiliki makna bantuan kekuatan doa karena keris dipercaya
identik dengan kekuatan mistis. Keris juga dipercaya oleh masyarakat jawa bukan hanya untuk
melindungi diri dari lawan secara fisik, Kata Berselempang sendiri merupakan sesuatu yang
disandangkan di anggota badan. Kata Berselempang dalam puisi ini mempunyai makna bertabur
semangat yang sangat besar didalam tubuh yang tidak akan bisa mati.

“MAJU”

Kata MAJU dalam puisi ini ditulis oleh Chairil Anwar menggunakan huruf kapital sebagai
kata seruan agar segera memanfaatkan semangat kemerdekaan yang sudah mulai terbangun untuk
melawan penjajah.

“Ini barisan tak bergenderang-berpalu”

“Kepercayaan tanda menyerbu.”

Pada kata Ini barisan tak bergenderang-berpalu mengartikan bahwa pasukan tidak membawa
senjata apa-apa selain mengandalkan semangat meraih kemerdekaan dan saling mempercayai satu
sama lain untuk bersama melawan penjajah. Meskipun tanpa berbekal senjata yang lengkap mereka
masih punya tekad, semangat, serta saling percaya yang kuat untuk melawan para penjajah.

“Sekali berarti”

“Sudah itu mati”

Kata berarti yang ditulis Chairil pada baris kesebelas mempunyai makna mengandung pengorbanan.
Mereka ingin sebelum meninggal mempunyai jasa dengan ikut serta melawan penjajah. Mereka tidak
peduli meskipun setelah itu mereka mati. semangat yang sudah terbangun membuat mereka tidak
takut dengan resiko terburuk yang akan mereka hadapi.

“Bagimu negeri”

“Menyediakan api”
Kata api pada baris kelima belas ini berbeda dengan kata api pada baris ketiga bait kedua
yang mempunyai makna kekaguman Chairil kepada sosok Pangeran Diponegoro. Tetapi, kata api
pada baris kelima belas ini, mempunyai makna semangat dan pantang menyerah serta berharap
dukungan penuh dari semua pihak supaya Indonesia segera merdeka.

“Punah di atas menghamba”

“Binasa di atas ditinda”

Kata punah pada baris keenam belas mempunyai makna menyuruh masyarakat untuk berhenti
mengabdi kepada para penjajah. Saatnya bangsa Indonesia untuk merdeka daripada negara ini rusak
karena penjajah. Segala bentuk penindasan khususnya yang dilakukan oleh penjajah harus segera di
hilangkan dari negeri ini.

“Sungguhpun dalam ajal baru tercapai”

“Jika hidup harus merasai”

Pada bait kesepuluh ini mempunyai makna mereka tidak peduli jika kemerdekaan bangsa
Indonesia baru bisa diraih ketika mereka sudah meninggal atau ajal menjemput. Itu terlihat pada kata
dalam ajal baru tercapai, maksud dari kata tercapai yaitu tercapainya kemerdekaan bangsa Indonesia.
Meskipun seandainya mereka tidak bisa merasakan bagaimana kemerdekaan itu tetapi yang terpenting
mereka sudah ikut berjuang dengan semangatnya melawan para penjajah. Mereka sudah pernah
merasakan tidak enaknya saat dijajah jadi mereka berharap jangan sampai anak cucu mereka
merasakan apa yang sudah mereka alami selama masa penjajahan.

“Maju”

“Serbu.“

“Serang”

“Terjang.”

Pada bait kesebelas memang setiap kata bunyi berbeda, kata Maju pada baris keduapuluh
mempunyai makna berjalan kedepan. Kata Serbu pada baris keduapuluh satu mempunyai makna
mendatangi dengan maksud melawan atau menyerang. Kata Serang pada baris keduapuluh dua juga
mempunyai makna mendatangi untuk melawan. Kata Terjang pada baris keduapuluh tiga juga
mempunyai makna yang sebenarnya hampir sama dengan serang. Keseluruhan makna pada bait ini
yaitu melawan dan menyerang para penjajah.

4. Puisi Perjuangan “Prajurit Jaga Malam”


Puisi ini menceritakan tentang prajurit-prajurit Indonesia yang berjaga malam di wilayah Indonesia
pada masa penjajahan. Terlihat dari bait pertama

“Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu? “

“Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,”

“bermata tajam”

Ketika bangsa Indonesia sedang dijajah, para prajurit tidak mengetahui apa nasib bangsa ini
kedepannya. Mereka tidak dapat menerka apa yang akan mereka hadapi, entah ancaman apa yang
mengintai mereka ketika berjaga malam. Pemuda-pemuda yang sigap, orang-orang tua yang memiliki
tekat kuat, dan bermata jeli untuk mempertahankan bangsa yang sedang dijajah.

“Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya

“Kepastian”

“ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini”

“Aku suka pada mereka yang berani hidup”

Pemuda dan orang tua yang dimaksud dalam puisi Chairil Anwar adalah para pejuang atau
prajurit. Mimpi atau harapan mereka adalah kemerdekaan, hanya dengan bermodalkan rasa percaya
bahwa suatu saat nanti mereka pasti merdeka. Itulah yang mampu membuat mereka bertahan
melewati malam-malam yang suram. Mereka bersama-sama dalam menjaga negara yang sedang
dijajah ini. Chairil Anwar menyukai sifat para pejuang atau prajurit yang berani hidup dan tak takut
mati dalam mempertahankan kemerdekaan.

“Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam”

“Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu……”

“Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu !”

Chairil Anwar juga menyukai prajurit yang ikut berpartisipasi dalam membela bangsa yang
sedang dijajah. Bangsa yang mengharapkan kemerdekaan, dan terlepas dari penjajah. Ketika bangsa
Indonesia sedang dijajah, para prajurit tidak mengetahui apa nasib bangsa ini kedepannya.

5. Puisi Perjuangan “Krawang-Bekasi”

Puisi Karawang-Bekasi merupakan puisi yang memiliki tempat tersendiri bagi masyarakat sekitar
Karawang sampai Bekasi. Puisi yang menggambarkan bagaimana beratnya mempertahankan
kemerdekaan yang diproklamirkan oleh kedua Bung besar kita, Bung Karno dan Bung Hatta pada 17
Agustus 1945. Puisi itu adalah bukti nyata bagaimana pedihnya kesedihan yang dirasakan oleh para
anggota keluarga yang ditinggalkan sekaligus juga bukti nyata bagi kesadisan perang yang dilakukan
oleh tentara Belanda.

“Kami yang kini terbaring antara Karawang – Bekasi”

“Tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi”

“Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami”

“Terbayang kami maju dan berdegap hati?”

Para pahlawan yang dimakamkan sepanjang jarak Karawang-Bekasi seakan mengatakan pada kita
bahwa mereka sudah tidak dapat berteriak lagi. Tetapi mereka merasa yakin bahwa tidak ada yang
lupa terhadap deru semangat saat mereka maju ke medan perang. Mereka telah tidur panjang di
pemakaman sepanjang Karawang-Bekasi.

“Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi”

“Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak”

“Kami mati muda.”

“Yang tinggal tulang diliputi debu. Kenang, kenanglah kami”

“Kami sudah coba apa yang kami bisa”

Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa”

Walaupun mereka mati muda, tetapi semangat mereka tetap membara. dan terus membahana di langit
malam yang sepi. Mereka selalu berharap agar pada malam- malam sepi dan hening, keberadaan
mereka tetap dikenang sebagai sosok-sosok yang tiada henti berjuang untuk kemerdekaan bangsa dan
negara ini. Mereka menyadari bahwa mereka hanya tulang-tulang belulang yang berserakan, dan kita
yang menentukan nilai dari tulang-tulang tersebut.

Semangat perjuangan mereka begitu bergelora, walau kemudian mereka terpaksa harus mati muda.
Tetapi, semangat kepahlawanan mereka tidak pernah padam. Setiap saat, rasanya mereka bangkit dan
ikut maju ke medan perang. Bagi mereka, pekerjaan belumlah selesai. Mereka sudah berusaha sekuat
tenaga, tetapi kematian telah menyergap mereka sehingga tidak dapat lagi membuat perhitungan atas
gugurnya 4 sampai 5 ribu sahabat mereka.

Kenang, kenanglah kami, adalah sebagian ungkapan yang dituliskan oleh Chairil Anwar sebagai
bentuk harapan tulus. Mereka hanya ingin keberadaan mereka tidak dilupakan begitu saja sebab bagi
mereka negeri ini adalah jiwanya.
“Kami cuma tulang-tulang berserakan”

“Tapi adalah kepunyaanmu”

“Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan”

“Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan”

“atau tidak untuk apa-apa,”

“Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata”

“Kaulah sekarang yang berkata”

“Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi”

“Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak”

“Kenang, kenanglah kami”

“Teruskan, teruskan jiwa kami”

“Menjaga Bung Karno”

“menjaga Bung Hatta”

“menjaga Bung Sjahrir”

Pengharapan para pahlawan tidak pernah berbatas. Mereka tetap berharap untuk dapat menjaga Bung
Karno, menjaga Bung Hatta, menjaga Bung Sjahrir. Mereka tidak rela para pimpinan negeri
mengalami hal-hal yang tidak diinginkan. Oleh karena itulah, mereka menitipkan dan berharap agar
para pimpinan tetap dijaga.

“Kami sekarang mayat”

“Berikan kami arti”

“Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian”

“Kenang, kenanglah kami”


“yang tinggal tulang-tulang diliputi debu”

“Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi ...................”

Dan, meskipun mereka telah terbaring dalam pemakaman sepanjang jarak antara Karawang-Bekasi,
tetapi mereka tetap memberikan semangat perjuangan yang tidak ada habisnya. Inilah pengharapan
tak berbatas yang sepertinya ingin mereka katakan. Walaupun sebenarnya, mereka telah menjadi
tulang belulang yang berserakan antara Karawang-Bekasi.

Anda mungkin juga menyukai