Anda di halaman 1dari 11

Aku

Kalau sampai waktu ku


‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

Tugas 1
1. Siapa yang berbicara pada puisi "Aku" ?

Yang berbicara atau yang menyampaikan puisi "Aku" adalah sang penulis yaitu
Chairil Anwar. Penulis sangat semangat dalam menciptakan sebuah puisi untuk di
terbitkan dan dibaca oleh orang banyak.

2. Kepada siapa puisi "Aku" di sampaikan ?

Puisi ini ditujukan tentunya untuk pembaca atau penikmat puisi, agar dapat merasakan
pesan yang terkandung dalam puisi tersebut. Penulis ingin memperlihatkan kepada
pembaca bahwa diriku ini sangat liar untuk dapat dapat menciptakan sebuah puisi.

3. Apa yang di bicarakan pada puisi "Aku" ?

Yang di bicarakan pada puisi ini adalah semangat hidup untuk menciptakan sebuah
puisi meskipun tidak pernah menerima ia koreksi dari orang lain untuk puisi yang ia akan
terbitkan.

4. Kapan dan dimana pembicaraan terjadi ?

Pembicaraan terjadi pada puisi "Aku" menjelang kemerdekaan Republik Indonesia.


5. Tujuan puisi "Aku" ?

Tujuan puisi "Aku" di tunjukan kepada seseorang yang mencintainya.

Tugas 2: Biografi Pengarang

Chairil Anwar adalah seorang penyair legendaris yang dikenal juga sebagai “Si Binatang
Jalang” (dalam karyanya berjudul “Aku”). Salah satu bukti keabadian karyanya, pada Jumat
8 Juni 2007, Chairil Anwar, yang meninggal di Jakarta, 28 April 1949, masih dianugerahi
penghargaan Dewan Kesenian Bekasi (DKB) Award 2007 untuk kategori seniman sastra.
Penghargaan itu diterima putrinya, Evawani Alissa Chairil Anwar.

Biografi Chairil Anwar dari Biografi Web

Chairil Anwar dilahirkan di Medan, 26 Julai 1922. Chairil Anwar merupakan anak tunggal.
Ayahnya bernama Toeloes, mantan bupati Kabupaten Indragiri Riau, berasal dari Taeh
Baruah, Limapuluh Kota, Sumatra Barat. Sedangkan ibunya Saleha, berasal dari Situjuh,
Limapuluh Kota. Dia masih punya pertalian keluarga dengan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri
pertama Indonesia. Dia dibesarkan dalam keluarga yang cukup berantakan. Kedua ibu
bapanya bercerai, dan ayahnya menikah lagi. Selepas perceraian itu, saat habis SMA, Chairil
mengikut ibunya ke Jakarta.

Chairil masuk sekolah Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang
pribumi waktu masa penjajahan Belanda. Dia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer
Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), sekolah menengah pertama Hindia Belanda, tetapi dia
keluar sebelum lulus. Dia mulai untuk menulis sebagai seorang remaja tetapi tak satupun
puisi awalnya yang ditemukan.
Pada usia sembilan belas tahun, setelah perceraian orang-tuanya, Chairil pindah dengan
ibunya ke Jakarta di mana dia berkenalan dengan dunia sastra. Meskipun pendidikannya tak
selesai, Chairil menguasai bahasa Inggris, bahasa Belanda dan bahasa Jerman, dan dia
mengisi jam-jamnya dengan membaca karya-karya pengarang internasional ternama, seperti:
Rainer M. Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J. Slaurhoff dan Edgar du
Perron. Penulis-penulis ini sangat mempengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung
mempengaruhi puisi tatanan kesusasteraan Indonesia.

Tugas 3: Pengebumian Puisi ''Aku"

2.1 Tema atau Sense

Tema dalam puisi ‘AKU’ ini adalah perjuangan seperti pada baris keempat dan kelima :

‘Biar peluru menembus kulitku’

‘Aku tetap meradang menerjang’.

2.2 Feeling atau Rasa

Feeling atau Rasa merupakan salah satu unsur isi yang dapat mengungkapkan sikap penyair
pada pokok persoalan puisi. Pada puisi di atas merupakan eskpresi jiwa penyair yang
menginginkan kebebasan dari semua ikatan. Di sana penyair tidak mau meniru atau
menyatakan kenyataan alam, tetapi mengungkapkan sikap jiwanya yang ingin berkreasi.
Sikap jiwa “jika sampai waktunya”, ia tidak mau terikat oleh siapa saja, apapun yang terjadi,
ia ingin bebas sebebas-bebasnya sebagai “aku”. Bahkan jika ia terluka, akan di bawa lari
sehingga perih lukanya itu hilang. Ia memandang bahwa dengan luka itu, ia akan lebih jalang,
lebih dinamis, lebih vital, lebih bergairah hidup. Sebab itu ia malahan ingin hidup seribu
tahun lagi. Uraian di atas merupakan yang dikemukakan dalam puisi ini semuanya adalah
sikap chairil yang lahir dari ekspresi jiwa penyair.

2.3 Tone atau Nada

Kalau feeling menggambarkan sikap penyair kepada pokok persoalan puisinya, sedangkan
tone atau nada merupakan unsur isi yang menggambarkan sikap penyair kepada pembacanya.
Dalam Puisi ‘Aku’ terdapat kata ‘Tidak juga kau’, Kau yang dimaksud dalam kutipan diatas
adalah pembaca atau penyimak dari puisi ini. Ini menunjukkan betapa tidak pedulinya Chairil
dengan semua orang yang pernah mendengar atau pun membaca puisi tersebut, entah itu
baik, atau pun buruk. Disamping Chairil ingin menunjukkan ketidakpeduliannya kepada
pembaca, dalam puisi ini juga terdapat pesan lain dari Chairil, bahwa manusia itu itu adalah
makhluk yang tak pernah lepas dari salah. Oleh karena itu, janganlah memandang seseorang
dari baik-buruknya saja, karena kedua hal itu pasti akan ditemui dalam setiap manusia. Selain
itu, Chairil juga ingin menyampaikan agar pembaca tidak perlu ragu dalam berkarya.
Berkaryalah dan biarkan orang lain menilainya, seperti apa pun bentuk penilaian itu.

2.4 Amanat

Amanat dalam Puisi ‘Aku’ karya Chairil Anwar yang dapat saya simpulkan dan  dapat kita
rumuskan adalah sebagai berikut :

 Manusia harus tegar, kokoh, terus berjuang, pantang mundur meskipun   rintangan
menghadang.
 Manusia harus berani mengakui keburukan dirinya, tidak hanya menonjolkan
kelebihannyasaja.
 Manusia harus mempunyai semangat untuk maju dalam berkarya agar pikiran dan
semangatnya itu dapat hidup selama-lamanya.

Tugas 4: Parafrase Puisi

Parafrase adalah penyampaian puisi dalam bahasa yang sama dengan gaya tulisan yang
berbeda tanpa mengubah makna yang ada. Berikut adalah parafrase puisi Aku ke dalam
bentuk prosa:

Suatu saat aku pasti harus pergi. ketika saatnya aku untuk pergi itu tiba, aku tak ingin ada
yang merayuku untuk tetap tinggal. Meskipun itu kau yang merayu, aku akan tetap pergi.

Aku tak membutuhkan tangisan dan air mata darimu untuk mengantar kepergianku, jadi
jangan menangis.

Menurut rezim saat ini, aku ini merupakan binatang jalang. Aku menentang segala aturan dan
belenggu yang dipaksakan kepada rakyat untuk dikenakan. Oleh sebab itu aku ini adalah
bagian dari kumpulan kaum yang terbuang, dikucilkan. Karyaku tidak dianggap karena aku
enggan tunduk pada keinginan penguasa.

Meskipun hujan peluru menyambut, aku akan tak akan pernah menyerah dan berhenti
berjuang melalui tulisanku. Aku akan tetap berlari menerjang dengan kobaran semangat yang
terus meradang.

Walau tubuhku penuh luka dan racun serta bisa, aku akan terus berlari. Meski aku harus mati,
aku tak akan menghentikan lariku.

Sampai aku tak bisa merasakan apa pun lagi. Hilang sudah semua pedih dan perih yang
kurasa.

Aku tidak peduli dengan semua yang sedang terjadi, tidak peduli dengan bagaimana orang
lain memandang dan menilaiku. Meski tubuhku sudah tidak ada lagi di dunia ini, tapi namaku
akan tetap hidup hingga seribu tahun lagi. Karyaku akan terus dikenang dan dikenal melebihi
zamanku.

Puisi Aku menggambarkan tentang keyakinan dan semangat Chairil Anwar dalam melahirkan
karya-karya tulisannya. Ia dikenal vokal dan sering melanggar aturan yang telah dibuat.
Diketahui bahwa tulisannya sering mendapat penolakan karena pemilihan bahasa yang
digunakannya bertentangan dengan penguasa pada masa itu. Namun, ia tidak goyah dengan
keyakinannya dan tetap menulis sesuai dengan keyakinannya.

Deskripsi Puisi "Aku"

1.1 Diksi

Untuk ketepatan pemilihan kata sering kali penyair menggantikan kata yang dipergunakan
berkali-kali yang dirasa belum tepat, diubah kata-katanya.

Seperti pada baris kedua: bait pertama

“Ku mau tak seorang ’kan merayu”

Merupakan pengganti dari kata “ku tahu”.

“kalau sampai waktuku”

dapat berarti “kalau aku mati”


“tak perlu sedu sedan“

dapat bererti “berarti tak ada gunannya kesedihan itu”. “Tidak juga kau” dapat berarti “tidak
juga engkau anaku, istriku, atau kekasihku”.

1.2 Kata Nyata

Secara makna, puisi Aku tidak menggunakan kata-kata yang terlalu sulit untuk dimaknai,
bukan berarti dengan kata-kata tersebut lantas menurunkan kualitas dari puisi ini. Sesuai
dengan judul sebelumnya, puisi tersebut menggambarkan tentang semangat dan tak mau
mengalah, seperti Chairil itu sendiri.

1.3 Majas

Dalam sajak ini intensitas pernyataan dinyatakan dengan sarana retorika yang berupa
hiperbola, dikombinasi dengan ulangan, serta diperkuat oleh ulangan bunyi vokal a dan u
ulangan bunyi lain serta persajakan akhir seperti telah dibicarakan di atas.

Hiperbola tersebut :

Aku ini binatang jalang

Dari kumpulannya terbuang

Biar perlu menembus kulitku

Aku tetap meradang menerjang

………

Aku ingin hidup seribu tahun lagi

Gaya tersebut disertai ulangan i-i yang lebih menambah intensitas :

Luka dan bisa kubawa berlari

Berlari

Hingga hilang pedih peri


Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku ingin hidup seribu tahun lagi

Dengan demikian jelas hiperbola tersebut penonjolan pribadi tanpa makin nyata disana ia
mencoba untuk nyata berada di dalan dunianya.

1.4 Pengimajian

Melalui diksi, kata nyata, dan majas yang digunakannya, penyair berupaya menumbuhkan
pembayangan para penikmat sajak-sajaknya. Semakin kuat dan lengkap pembayangan yang
dapat dibangun oleh penikmat sajak-sajaknya, maka semakin berhasil citraan yang dilakukan
penyair. Di dalam sajak ini terdapat beberapa pengimajian, diantaranya :

‘Ku mau tak seorang ’kan merayu (Imaji Pendengaran)

‘Tak perlu sedu sedan itu’ (Imaji Pendengaran)

‘Biar peluru menembus kulitku’ (Imaji Rasa)

‘Hingga hilang pedih perih’ (Imaji Rasa).

1.5 Versifikasi

Ritme dalam puisi yang berjudul ‘Aku’ ini terdengar menguat karena ada pengulangan bunyi
(Rima) pada huruf vocal ‘U’ dan ‘I’

Vokal ‘U’pada larik pertama dan ke dua, pengulangan berseling vokal a-u-a-u

Larik pertama ‘Kalau sampai waktuku.’

Larik kedua ‘Ku mau tak seorang-’kan merayu.

Larik kedua ‘Tidak juga kau’.

Pengulangan vokal ‘I’:

Luka dan bisa kubawa berlari


Berlari

Hingga hilang pedih perih

Dan aku akan lebih tidak peduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

1.6 Tipogafri

Tipografi atau disebut juga ukiran bentuk. Dalam Puisi didefinisikan atau diartikan sebagai
tatanan larik, bait, kalimat, frase, kata dan bunyi untuk menghasilkan suatu bentuk fisik yang
mampu mendukung isi, rasa dan suasana. Namun dalam sajak ‘Aku’ karya Chairil Anwar
tidak menggunakan tipografi.

Tugas 5 TOPIK

Aku
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

puisi di atas bertopik tentang si "aku" yang liar. Aku adalah sosok individu yang
memiliki jiwa patriotisme dan etos hidup yang tinggi. Hal ini sangat berkenaan dengan masa
si "Aku" yang berada di zaman kemerdekaan, di mana perjuangan sedang masif-masifnya.
Puisi ini memberikan semangat baru kepada masyarakat Indonesia pada saat itu. Pada saat itu
masyarakat Indonesia termotivasi untuk mengobarkan semangat patriotisme.
Mengkaji Puisi "Aku" Dengan Pendekatan Struktural

Puisi “Aku” Karya Chairil Anwar

Aku

Kalau sampai waktuku

‘ku mau tak seorang ‘kan merayu

Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan tau

Aku ini binatang jelan

Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku

Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari

Berlari

Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

(Deru Campur Debu, 1959:7)

Pembahasan
Kalau si aku meninggal, ia menginginkan jangan ada seseorang pun yang bersedih
(“merayu”), bahkan juga kekasih atau istrinya.

Tidak perlu juga ada sedu sedan yang meratapi kematian si aku sebab tidak ada
gunanya. Si aku ini adalah binatang jalan yang lepas bebas, yang terbuang dari kelompoknya.
Ia merdeka tidak mau terikat oleh aturan-aturan yang mengikat, bahkan meskipun ia
ditembak peluru menembus kulitnya, si aku tetap meradang menerjang, barang dan
memberontak terhadap aturan-aturan yang mengikat tersebut.

Segala rasa sakit dan penderitaan akan ditanggungkan, ditahan, diatasinya, hingga
rasa sakit dan penderitaan itu pada akhirnya akan hilang dengan sendirinya.

Si aku makin tidak peduli pada segala aturan dan ikatan, halangan, serta penderitaan.
Si aku mau hidup seribu tahun lagi. Maksudnya, secara kiasan si aku menginginkan
semangatnya, pikirannya, karya-karyanya akan hidup selama-lamanya.

Secara structural, dengan melihat hubungan antar unsur-unsur dan keseluruhannya,


juga berdasarkan kiasan-kiasan yang terdapat di dalamnya, maka dapat ditafsirkan bahwa
dalam sajak ini dikemukakan ide kepribadian bahwa orang itu harus bertanggung jawab
terhadap dirinya sendiri: “ku mau tak seorang ‘kan merayu (bersedih)”. Orang lain
hendaknya jangan campur tangan akan nasibnya, baik dalam suka maupun duka maka “tak
perlu sedu sedan itu”. Semua masalah pribadi itu urusan sendiri.

Dikemukakan secara ekstrim bahwa si aku itu orang yang sebebas-bebasnya (sebagai
“binatang jalang”). Tak mau dibatasi oleh aturan-aturan yang mengikat. Dengan penuh
semangat si aku akan menghadapi segala rintangan (“tembusan peluru “, “bisa dan luka”)
dengan kebebasannya yang mutlak itu. Makin banyak rintangan makin tak
memperdulikannya sebab dengan hanya demikian, ia dapat berkarya yang bermutu sehingga
pikiran dan semangatnya itu dapat hidup selama-lamanya, jauh melebihi umur manusia. “aku
mau hidup seribu tahun lagi”, berdasar konteksnya kalimat itu harus ditafsirkan sebagai
kiasan bahwa yang hidup seribu tahun adalah semangatnya bukan fisiknya.

Sikap penonjolan kepribadian ini ditandai dengan penyebutan “aku” yang berulang-
ulang: waktuku, ‘ku mau , aku ini, menembus kulitku, aku tetap meradang, ku bawa berlari,
aku akan lebih lebih tidak perduli, aku mau hidup.

Dalam sajak ini kemantapan pikiran dan semangat selain di tandai dengan pemilihan
kata yang menunjukan ketegasan seperti: ‘ku mau, tak perlu sedu sedan itu, aku tetap
meradang aku akan lebih tidak perduli, dan aku mau hidup seribu tahun lagi; juga ditandai
dengan bunyi vocal yang erat: a dan u yang dominan pernyataan diri sebagai binatang jalang
adalah kejujuran yang besar, berani melihat diri sendiri dari segi buruknya. Efeknya membuat
orang tidak sombong terhadap kehebatan diri sendiri sebab selain orang mempunnyai
kehebatan juga ada cacatnya, ada segi jelek dalam dirinya.

Si aku Chairil ini adalah manusia yang terasing, keterasingannya ini memang di
sengaja oleh dirinya sendiri sebagai pertanggungjawaban pribadi: ‘ku mau tak seorang ‘kan
merayu / tidak juga kau’. Hal ini karena si aku adalah manusia bebas yang tidak mau terikat
kepada orang lain: ‘aku mau hidup seribu tahun lagi’.

Pengakuan dirinya sebagai binatang jalang dan penentuan nasibnya sendiri: ‘aku mau
hidup seribu tahun lagi’ adalah merupakan sikap revolusioner terhadap paham dan sikap atau
pandangan para penyair yang mendahuluinya (pujangga baru).

Dalam sajak ini intensitas pernyataan dinyatakan dengan sarana retorika yang berupa
hiperbola, di kombinasi dengan ulangan (tautologi), serta diperkuat dengan ulangan bunyi
vocal a dan u ulangan bayi lain serta persajakan akhir seperti telah dibicarakan di atas.

Hiperbola tersebut:

Aku ini binatang jalang

Dar kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku

Aku tetap meradang menerjang

……………………………………

Aku mau hidup seribu tahun lagi

Gaya tersebut disertai dengan ulangan bunyi i-i yang lebih menambah intensitas:

Luka dan bisa ku bawa berlari

Berlari

Hingga hilang pedih peri

…..perduli

…..lagi

Dengan hiperbola tersebut penonjolan pribadi tampak lebih nyata.

Anda mungkin juga menyukai