Anda di halaman 1dari 44

Kalam 26 / 2014

Se(r)ikat Puisi dari Tanah Air


Tanpa Batas
Zen Hae
Sepotong situasi: 1950-an
Goenawan Mohamad hadir di gelanggang sastra Indonesia sekitar
satu dasawarsa setelah kematian Chairil Anwar. Dalam esainya
Potet Seorang Penyair Muda sebagai Si Malin Kundang Goenawan
menulis: Pada umur yang kedelapan-belas (yakni, 1959ZH),
seorang anak muda menulis sajak.1 Tapi, karyanya yang paling awal
dan berhasil dikumpulkan dalam Sajak-Sajak Lengkap 1961-2001 adalah
puisi bertitimangsa 1961, atau puisi yang ditulis ketika ia berusia 20
tahun.2 Perbedaan satu dasawarsa ini tidak serta-merta memisahkan
Zen Hae menulis puisi, cerita, esai dan kritik sastra. Buku kumpulan cerita pendeknya
adalah Rumah Kawin (2004) dan buku puisinya Paus Merah Jambu (2007).
Versi pertama tulisan ini berjudul Setelah 89 Puisi dan Seorang Majenun dan
disampaikan pada peluncuran buku puisi 70 Puisi dan Don Quixote karya Goenawan
Mohamad di Dia.lo.gue Artspace, Kemang, Jakarta Selatan, 27 Juli 2011.
Pada mulanya esai ini dimuat dalam buku Goenawan Mohamad, Potret Seorang
Penyair Sebagai Si Malin Kundang (Jakarta: Pustaka Jaya, 1971), 9-20. Esai itu
kemudian dimuat lagi dalam Goenawan Mohamad, Kesusastraan dan Kekuasaan
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), 55-66. Komentar dalam kurung dari penulis.
Selanjutnya ditulis Kesusastraan dan Kekuasaan.
2
Goenawan Mohamad, Sajak-Sajak Lengkap 1961-2001, suntingan Ayu Utami dan
Sitok Srengenge (Jakarta: Metafor, 2001). Sebagian besar pembahasan puisipuisi Goenawan Mohamad dalam esai ini bersumber pada buku ini, selain 70
Puisi (Jakarta: Tempo dan Grafiti Pres, 2011) dan Don Quixote (Jakarta: Tempo
& Grafiti Pers, 2011).
1

Kalam 26 / 2014

Goenawan dengan Chairil, tetapi, sebaliknya, menghubungkan


keduanya, juga dengan situasi di sekitar kemunculannya, yakni di
pengujung era 1950-an.
Kematian Chairil Anwar pada 28 April 1949 menimbulkan
perkara serius dalam gelanggang sastra Indonesia. Setelah kematiannya
orang mulai menyoal, antara lain, nasib Angkatan 45, pengaruh
persajakan Chairil terhadap penyair-penyair sesudahnya, krisis
penciptaan sastra akibat kepulangan Chairil selaku tokoh terpenting
angkatan tersebut, plagiarisme yang ditujukan kepada beberapa puisi
Chairil, hingga soal kemunculan angkatan baru setelah Angkatan
45. Begitulah, meskipun sejumlah eksponen Angkatan 45bahkan
Pujangga Barumasih tetap berkarya setelah kematian Chairil
sekadar menyebut beberapa nama: Asrul Sani, Rivai Apin, Idrus,
Pramoedya Ananta Toer, Utuy Tatang Sontani, Sitor Situmorang,
pada awal 1950 mulai muncul keluhan akan krisis atau kelesuan di
dalam kesusastraan Indonesia modern, dan itu berlangsung hingga
pertengahan dasawarsa itu.3 Malah, Soedjatmoko, salah seorang
Soal ini kemudian menjadi pembahasan penting dalam Symposium
Kesusasteraan Indonesia Modern yang diselenggarakan oleh Sticusa di
Amsterdam, 26 Juni 1953; Symposium Kesusasteraan yang diselenggarakan
mahasiswa Fakultas Sastra UI di Jakarta, 5 Desember 1954, dan menjadi bahan
polemik di media massa. Beberapa penulis mencoba membantahnya dengan
mengajukan sejumlah bukti. Di antaranya Nugroho Notosusanto dalam empat
seri esai Situasi 1954 dan H.B. Jassin dalam Kesusastraan Indonesia Modern
Tak Ada Krisis. Untuk esai Nugroho Notosusanto, baca E. Ulrich Kratz,
ed., Sumber Terpilih Sastra Indonesia Abad XX (Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia, 2000), 270-303; selanjutnya ditulis Sumber Terpilih. Untuk esai H.B.
Jassin, baca H.B. Jassin, Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei III
(Jakarta: Gramedia, 1985), 1-25. Juga Asrul Sani, dalam Salah Sangka Sekitar
Kata Krisis dalam Siasat, 13 Maret 1955, yang kemudian dimuat dalam
kumpulan esainya Surat-Surat Kepercayaan (Jakarta: Pustaka Jaya, 1997), 133139.

Kalam 26 / 2014

pemikir kebudayaan yang aktif di masa itu, menyebut kriris sastra itu
sebagai akibat dari krisis kepemimpinan politik.4
Memang, saat itu telah muncul satu generasi sastrawan baru
yang cukup menonjolseperti Kirjomulyo, Ajip Rosidi, Rendra,
Ramadhan K.H., Nugroho Notosusanto, Subagio Sastrowardoyo
tetapi dengan kualitas dan orientasi budaya yang berbeda dari
Angkatan 45. Setidaknya, mereka tidak lagi sibuk dengan proyek
meraih pengakuan sebagai ahli waris kebudayaan dunia
sebagaimana dinyatakan dalam Surat Kepercayaan Gelanggang.5
Mereka lebih tergolong ke dalam generasi pengarang yang menjadi
Indonesia, sebuah situasi kebudayaan yang berlangsung sepanjang
1950-1965.6 Malah, Nugroho Notosusanto, dalam esainya Situasi
1954, bagian 4, esai yang ditulisnya untuk Ramadhan K.H. dan dimuat
di majalah Kompas, mencirikan generasi sastrawan baru ini sebagai
generasi yang orientasinya kepada sastra dunia tidak seluas mereka
Soedjatmoko, Mengapa Konfrontasi dalam majalah Konfrontasi, edisi I/1954.
Baca juga uraian Ajip Rosidi tentang krisis ini dalam Ajip Rosidi, Ikhtisar Sejarah
Sastra Indonesia (Jakarta: Binacipta, cetakan ketiga, 1992), 135-140.
5 Esai karangan Asrul Sani yang bertitimangsa Jakarta, 18 Februari 1950 ini
kerap disebut sebagai pandangan umum Angkatan 45. Esai ini muncul pertama
kali dalam lembar seni dan sastra Gelanggang di majalah Siasat edisi 22
Oktober 1950. Sebelumnya, pernah pula dibacakan dalam sebuah pertemuan
budayawan dan intelektual di paviliun Hotel Indes, Jakarta, pada Juni 1950.
Informasi terakhir ini saya peroleh dari skripsi Alex Supartono, LEKRA vs
MANIKEBU: Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950-1965 (Jakarta: STF
Driyarkara, 2000).
6
Dalam pengantar untuk bunga rampai yang disuntingnya bersama Maya H.T.
Liem, Jennifer Lindsay menulis: Menjadi Indoneisa pada tahun 1950 adalah
menjadi modern. Ada rasa girang terhadap kebaruan menjadi terlahir sebagai
bangsa dan warga baru, dan kata-kata baru, lahir dan modern merembes pada
tuisan periode tersebut. Baca, Jennifer Lindsay dan Maya H.T. Liem, ed., Ahli
Waris Budaya Dunia: Menjadi Indonesia 1950-1965 (Denpasar: Pustaka Larasan,
Jakarta: KITLV, 2011), 18.
4

Kalam 26 / 2014

yang mengecap pendidikan Belanda dulu. Sebaliknya, karya-karya


dan mahakarya-makakarya sastrawan dunia yang terkemuka yang
mereka baca kebanyakan dari wilayah bahasa Inggeris, termasuk
juga teori dan esai yang menunjukkan pertumbuhan-pertumbuhan
terbaru di dalam sastra dunia. Selanjutnya, Nugroho menyatakan:
Karena hal itu, karya-karya mereka lebih mempunyai corak
Indonesia. Pengaruh sastrawan-sastrawan luar negeri tidak sampai
membinasakan kepribadiannya. Alam pikiran mereka, motif-motif
yang mereka pakai, tema mereka, bercorak Indonesia dan mereka
peroleh langsung dari degupan jantung hidup Indonesia.7

Pandangan Nugroho Notosusanto ini memberi cetak tebal


kepada proyek menjadi Indonesia di atas. Semacam nasionalisasi
kesusastraan demi membedakan generasi pengarang baru ini dari
generasi sastrawan yang berambisi menjadi warga dunia (Angkatan
45) atau menjadi epigones dari 80 (Angkatan Pujangga Baru).8
Karena itu, Nugroho mengajukan nama-nama baru yang menurutnya
telah menjadi pembeda dari Chairil Anwar dan kawan-kawan
segenerasinya: Rijono Pratikto, S.M. Ardan, Sukanto S.A., Ajip
Rosidi, Hussayn Umar, Yusach Ananda, Suwardi Idris.
Akan tetapi, jika kita maju ke beberapa tahun kemudian,
akan tampak fakta-fakta baru yang keluar dari perhitungan Nugroho
Notosusanto. Penyair-penyair seperti Kirjomulyo, Ajip Rosidi,
Sumber Terpilih, 270-303.
Yang terakhir ini adalah sebutan Chairil Anwar untuk generasi Pujangga Baru.
Generasi pengarang ini ditengarai banyak dipengaruhi oleh generasi pengarang
Angkatan 1880 di Belanda. Baca, surat Chairil kepada H.B. Jassin dalam Chairil
Anwar, Aku Ini Binatang Jalang, suntingan Pamusuk Eneste (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, cetakan ke-21, Juni 2009), 97.

Kalam 26 / 2014

Rendra, Ramadhan K.H.golongan sastrawan yang tidak terlampau


dikuasai Nugroho, dan karena itu dalam esainya itu ia menyerahkan
tilikan terhadap kaum penyair ini kepada Ramadhanmemberikan
rerinci yang berbeda satu sama lain. Kirjomulyo,9 misalnya, melihat
tempat-tempat di Indonesia saat itu sebagai semacam ladang
pelancongan, tempat-tempat yang dari mereka ia mengambil ilham
perenungan, menarik abstraksi di antara belitan lirisisme, dan
kecenderungan memberat-beratkan persoalan. Sementara Ajip,10
menempatkan subyek lirik puisi-puisinya secara autobiografis untuk
memotret perkembangan psikologi anak muda perantauan desa di
Jakarta. Ia mencairkan kembali seraya menggelapkan kepadatan dan
kejernihan larik-larik puisi Chairil Anwar. Dalam pada itu, dengan
puisi naratif berjenis balada yang terbilang barang baru dalam
kesusastraan Indonesiaseraya menyadap gaya persajakan Federico
Garcia LorcaRendra tampil dengan tokoh-tokoh hero kampung dan
pikiran mereka yang masih tampak murni.11 Di sini alam pedesaan
antah-berantah tampak cerah dan berwarna-warni, menghasilkan
kontras yang tajam terhadap nasib tokoh-tokohnya yang brutal, fatal,
dan tanpa harapan. Ihwal sikap tokoh-tokoh puisinya yang tampak
remaja, tak pelak, menyisakan pengaruh pengucapan remaja sajak Kirjomulyo, Romance Perjalanan (1957). Pada 1979 buku ini diterbitkan kembali
bersama buku puisi Romansa Perjalanan II dengan judul Romansa Perjalanan.
10
Sepanjang dasawarsa 1950 Ajip Rosidi menerbitkan tiga buku puisi: Ketemu di
Jalan (bersama Sobron Aidit dan S.M. Ardan, 1956), Pesta (1956), Cari Muatan
(1959) dan Surat Cinta Enday Rasidin (1960).
11
Buku puisi Rendra yang dimaksud adalah Ballada Orang-Orang Tercinta (1957).
Berkat buku ini Rendra meraih Hadiah Sastra Nasional dari BMKN. Tentang
pengaruh Lorca pada sajak-sajak awal Rendra, sila baca Subagio Sastrowardoyo
Kerancuan Kepribadian Rendra-Lorca dalam Sosok Pribadi dalam Sajak
(Jakarta: Pustaka Jaya, 1980), 169-212.
9

Kalam 26 / 2014

sajak Chairil Anwar. Sementara Ramadhan K.H.12 mengajukan puisi


lirik dengan latar tanah Priangan yang indah tetapi juga remukredam oleh perang saudaradi samping menyadap pula puitika
Lorca. Serangkaian puisi yang mencoba menyejajarkan keindahan
bunyi dengan kehancuran dan ketidakpastian nasib manusia. Di sisi
lain ada penyair Subagio Sastrowardoyo yang tampil dengan buku
puisi Simphoni (1957), dengan sajak-sajak simbolis yang meluaskan
pencariannya dari kampung halaman, kisah 1001 Malam, hingga imaji
biblikal dan solidaritas warga dunia.13
Apa yang ditampilkan Ramadhan K.H. dalam Priangan Si Jelita
adalah satu eksemplar merasuknya suasana revolusi dalam karya sastra
yang diproduksi sepanjang dasawarsa 1950-an. Para pengarang yang
mengalami langsung revolusi 1945 maupun yang tidak, yang pernah
menjadi tentara ataupun tidak, menulis kembali dampak revolusi itu
dalam pelbagai karya mereka. Dampak buruk perang dan perilaku
manusia di dalamnya, termasuk cita-cita luhur kemerdekaan dan
kebebasan manusia, cinta kasih di tengah derita, menjadi perhatian
Toto Sudarto Bachtiar di masa sebelumnyadan Taufiq Ismail yang
lebih kemudian. Juga pada karya-karya Pramoedya Ananta Toer, Asrul
Sani, Subagio Sastrowardojo, Nugroho Notosusanto, Toha Mohtar,
Trisnojuwonosekadar menyebut beberapa namamenggemakan
kembali sepotong kalimat dalam Surat Kepercayaan Gelanggang,
bahwa revolusi di tanah air kami sendiri belum selesai.

Ramadhan K.H., Priangan Si Jelita: Kumpulan Sajak 1956 (1958). Buku ini
mendapat Hadiah Pertama BMKN (1957-1958).
13
Uraian ringkas tentang kemunculan generasi mereka baca A. Teeuw, Modern
Indonesian Literature II (The Hague: Martinus Nijhoff, 1979), 1-11.
12

Kalam 26 / 2014

Separuh suasana, setengah ide


Goenawan Mohamad tidak menulis puisi tentang revolusi 45 atau
revolusi daerah sebagaimana rekan segenerasinya atau pendahulunya. Ia
juga tidak menggarap panorama desa yang indah sekaligus mematikan
sebagaimana dilakukan oleh Ramadhan K.H. dan Rendra. Bahkan,
ia tidak menulis sejenis puisi sosial yang dilancarkan Ajip Rosidi
dan Toto Sudarto Bachtiar di masa sebelumnya. Yang ditulis oleh
Goenawan di masa awal kepenyairannya adalah puisi yang bergerak
bolak-balik antara suasana dan ide, antara desa dan kota. Keharuan si
penyair tidak diarahkan kepada manusia (si pengemis, si tentara atau
si pengelana), tetapi kepada sebuah wilayah yang lebih luas lagi: kota,
bahkan sebuah negeri, sebagai sebuah entitas yang lengkap. Bentuknya
adalah puisi-puisi yang bertumpu pada permainan rima akhir yang
tidak terlampau tertibberbeda dari puisi-puisinya yang kemudian.
Ada pemerian ekstrem akan alam bendasehingga puisinya menjelma
puisi fisik (physical poetry), meminjam istilah John Crowe Ransom14
tetapi ada pula ide tentang sesuatu di luar puisi. Itulah ide yang lahir dari
pertalian bunyi dan citraan. Semacam penjelajahan terhadap tegangan
abadi dalam puisi: bunyi (sound) dan makna (sense). Puisi Di Muka
Jendela (1961), salah satu puisi Goenawan Mohamad yang paling
awal, menandai permainan dua kaki tersebut. Saya kutip lengkap:
Di Muka Jendela
Di sini
cemara pun gugur daun. Dan kembali
ombak-ombak hancur terbantun.
Cleanth Brooks, Modern Poetry and the Tradition (Chapel Hill: The University
of North Carolina Press, 1967), 71. Selanjutnya ditulis Modern Poetry and the
Tradition.

14

Kalam 26 / 2014

Di sini
kemarau pun menghembus bumi
menghembus pasir, dingin dan malam hari
ketika kedamaian pun datang memanggil
ketika angin terputus-putus di hatimu menggigil
dan sebuah kata merekah
diucapkan ke ruang yang jauh:Datanglah!
Ada sepasang bukit, meruncing merah
dari tanah padang-padang yang tengadah
tanah padang-padang tekukur
di mana tangan-hatimu terulur. Pula
ada menggasing kincir yang sunyi
ketika senja mengerdip, dan di ujung benua
mencecah pelangi:
Tidakkah siapa pun lahir kembali di detik begini
ketika bangkit bumi,
sajak bisu abadi,
dalam kristal kata
dalam pesona?

Dalam puisi ini suasana terbangun, setidaknya, dalam dua


cara. Pertama, hadirnya kata dan frasa yang sugestif: cemara gugur
daun, ombak hancur terbantun, kemarau menghembus bumi,
menghembus pasir, dingin dan malam hari, angin terputusputus, hatimu menggigil, kata merekah. Citraan penglihatan yang
ditampilkan dalam puisi ini telah mendorong pembaca pada suasana
yang kurang lebih lengkap: kesepian dan kedamaian. Sementara
permainan rima akhir yang didominasi oleh bunyi i dan variasinya,
membuat suasana sajak itu bertambah lirih. Dan vokal a di dua larik
terakhir (merekah, Datanglah) muncul sebagai semacam harapan dari
suasana lirih tadi. Kata yang merekah di tengah panorama alam benda
8

Kalam 26 / 2014

adalah bukti adanya ide yang mencuat dalam sajak suasana ini. Kata
itu memanggil seseorang atau sesuatu datang ke tengah panorama
ini, menjadi semacam disonansi citraan. Ia sebenarnya memanggil
suara penyair yang di bait berikutnya akan tampak jelas maunya.
Pola ini kemudian diulang pada bait kedua, di mana permainan
rima akhir tampak lebih beragam. Dua larik pertama di bait ini,
yang masih memainkan rima akhir ah (merah, tengadah) menjadi
semacam pengembangan dari rima akhir pada dua larik terakhir bait
pertama tadi. Dua larik ini akan bersilangan bunyi akhirnya dengan
dua larik berikutnya (tekukur, terulur). Tetapi enjabemen pada larik
keempat (. . .terulur. Pula/ada menggasing. . .) membuat tegangan
beralih dari bunyi dan makna menjadi sintaksis dan semantik.
Secara sintaksis larik keempat tampak gerumpung, tetapi secara
semantik ia berhubungan dengan larik berikutnya. Setelah itu, di
larik-larik berikutnya, yang muncul adalah dominasi rima akhir i,
sebagaimana pada bait pertama, dengan seruan yang sepola dengan
dua baris terakhirnya. Bandingkan dan sebuah kata merekah/diucapkan
ke ruang yang jauh:Datanglah! pada bait pertama dengan dalam kristal
kata/dalam pesona pada bait terakhir. Keduanya tampak sejajar bukan
hanya dalam bunyi, tetapi juga dalam makna.
Jika optimisme di bait pertama baru sekadar harapan, maka
pada bait kedua ia tampil dengan pemerian yang lebih lengkap.
Manusia akan terpesona, akan hidup kembali perasaannya, begitu
menyaksikan bumi yang bangkit dengan pelbagai pesonanya,
sebagaimana telah diungkapkan di bait pertama. Sementara puisi yang
mengungkapkan semua pesona itu, hanya sebatas mengungkapkan,
seakan bisu abadi. Di sinilah kembali dimainkan tegangan yang telah
menjadi permanen dalam puisi. Sajak akan bisu di hadapan pesona
9

Kalam 26 / 2014

bumi, tetapi penyair menampilkan kebisuan itu lewat sederetan katakata. Kebisuan yang mesti dikatakan adalah paradoks yang tak ada
habisnya dalam puisi. Maka kini, kata-kata itulah yang berpijar dan
menampilkan pesona. Kata-kata yang berhasil menghidupkan puisi,
baik yang menampilkan suasana maupun ide, akan tetap memesona
siapa pun yang membacanya.
Dari nadanya yang optimistis, bisa dipastikan puisi ini
setidaknya berilhamkan puisi Derai-Derai Cemara (1949) karya
Chairil Anwar. Puisi yang ditulis di masa akhir hidup sang penyair itu
memperlihatkan suasana murung menjelang malam tiba, semacam
isyarat kepasrahan akan maut maut yang siap menjemput. Orang
mengingat kematian, atau merasa kematian akan menjemputnya,
begitu melihat tanda-tanda alam seperti ini: cemara menderai, hari
malam, dahan merapuh, angin memukul. Sementara dalam sajak
Goenawan Mohamad suasana itu justru menimbulkan harapan
baru. Goenawan di sini bukan hanya menggunakan kembali motif
cemara menderai yang kini menjadi cemara gugur daun, tapi juga
menambahkan pemerian dengan ombak-ombak hancur terbantun
dan kemarau menghembus bumi, angin terputus-putus. Frasafrasa ini punya konotasi yang kurang lebih sama: kehancuran
dan situasi yang menyakitkan. Tapi ia tidak terperosok kepada
jebakan Chairil yang siap menantang maut. Ia justru merindukan
manusia lahir dalam situasi seperti ini, tanda kehidupan akan terus
berlangsung. Optimisme ini tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata,
karenanya melihat situasi ini sajak bisu abadi.
*

10

Kalam 26 / 2014

Begitulah, puisi-puisi awal Goenawan Mohamad adalah serangkaian


perhitungan akan efektivitas pengucapan puisi dan keluasan dunia.
Puisi mau tidak mau adalah sebuah pernyataan penyair akan dunia
di sekitarnya, atau dunia yang di sana, di masa silam ataupun di masa
datang. Sebagai sebuah pernyataan tentang dunia, pada mulanya
puisi-puisi Goenawan Mohamad tampak gagap berhadapan dengan
modernitas kota. Kota dengan segala keajaiban dan kebrengsekannya
masih dilihat sebagai lawan dari desa yang menjanjikan ketenangan
dan kedamaian.
Goenawan Mohamad menampilkan lukisan suasana yang
sebentar, segera menggantikannya dengan pernyataan pikiran
si penyair. Ia hendak bercerita tetapi segera cerita yang belum
sempurna itu terdesak oleh abstraksi yang tampaknya datang kelewat
cepat. Dalam tegangan seperti ini kita mendapatkan hanya separuh
sajak suasana, setengah sajak ide, dan lebih dari itu adalah percobaan
bentuk yang belum matang.
Goenawan Mohamad baru mencapai kematangan puisi-puisi di
masa awalnya ketika ia menulis puisi naratif yang bertumpu pada satu
tokoh, baik dari tradisi lokal maupun dari kehidupan modern. Parikesit,
misalnya. Dalam puisinya Pariksit (1963) watak naratif puisinya
tampak menonjol, di samping permainan senandika (monolog) yang
permanen di dalamnya. Pariksit diberi semacam pengantar satu bait/
paragraf yang dicetak miring yang menunjukkan kuasa penyair dalam
puisi ini. Ia menjelaskan duduk perkara sajak ini: tentang Parikesit yang
tengah menungggu kutukan Crengi. Akankah ia terbebas dari Naga
Taksaka atau tidak, itulah soalnya. Setelah itu bait-bait puisi bebas yang
menampung luapan perenungan Parikesit tentang dirinya, tentang
wibawanya sebagai raja, juga kepengecutannya, dan nasib rakyatnya
11

Kalam 26 / 2014

setelah kematiannya nanti. Dalam senandika itu ia telah memastikan


bahwa ia akan mati oleh naga Taksaka: Pada akhirnya kita/tak
senantiasa bersama. Ajal/memisah kita masing-masing tinggal.
Tapi kematian bukan akhir dari puisi ini, sebagaimana yang
diharapkan di akhir kisah tentang kematian seseorang. Puisi ini adalah
medan perenungan yang tanpa batas. Itulah permenungan yang
mementingkan bukan akhir prosesnya itu, tapi bagaimana si narator
atau si subyek lirik mengungkapkannya. Puisi ini berakhir dengan
lukisan suasana tentang betapa fananya manusia di tengah alam yang
luas ini, tapi hanya menampilkan satu pemandangan: malam, bulan
yang baru tumbuh dan cemara yang menggigil di bawahnya. Dan
setiap kali malam pun tumbuh, juga pagi, siang / dan senja / dan setiap
kali demikian baka, tapi demikian fana / seperti bulan tumbuh / dan
cemara / menggigil dingin ke udara.
Lukisan suasana itu dengan mudah kita temukan dalam
puisi-puisi Chairil Anwar sebelumnya. Pada larik Bulan inikah yang
membikin dingin, / Jadi pucat rumah dan kaku pohonan (Malam di
Pegunungan, 1947) atau Cemara menderai sampai jauh (Derai-Derai
Cemara, 1949). Hal ini, sekali lagi, membuktikan kaitan erat antara
Goenawan Mohamad dan Chairil Anwar. Termasuk, menyangkut
kemahiran keduanya dalam mendayagunakan kembali pantun dalam
puisi modern, sebagaimana terbahas dalam bagian berikut ini.

Dua jalan pantun


Jika seorang penyair mesti berpegang teguh pada prinsip keseorangan
yang benar-benar utuh (Kesusastraan dan Kekuasaan, 59), maka itulah
pula anutannya pada sebuah tradisi sastra. Goenawan Mohamad,
12

Kalam 26 / 2014

sebagaimana pengakuannya dalam esainya itu, telah memilih Chairil


Anwar sebagai pemula, tradisi sastra yang paling dekat dengan
dirinya, sebelum yang lain-lain. Tetapi kemudian ia menjalankan
tradisi itu dengan caranya sendiri. Ia seperti menangkap kembali
gema kalimat Cleanth Brooks, A healthy tradition is capable of
continual modification (Modern Poetry and the Tradition, 69). Dalam
memandang pantun, atau kuatrin pada tradisi sastra di belahan dunia
lain, sebagai sumber ciptaan, kedua penyair, yang jarak kelahirannya
terbentang 19 tahun, telah menempuh jalan yang sedikit berbeda.
Chairil Anwar telah memperluas bentuk pantun berkait dan
memainkan secara kreatif posisi sampiran yang berisi citraan alam
dan isi yang menegaskan maksud subyek lirik. Pada puisi Senja di
Pelabuhan Kecil, misalnya, ia membuka puisinya dengan selarik
pernyataan subyek lirik dan kemudian larut di dalam lukisan suasana
hingga bait kedua sebelum akhirnya si pengujar itu muncul kembali
menyatakan suasana hatinya di tengah kepungan citraan alam pada
bait ketiga.15 Atau, ia memperluas sampiran pada satu bait pertama
dan isi pada dua bait terakhir dalam puisi Derai-derai Cemara16.
Sementara pada puisi Hampa ia menampilkan sepenuhnya citraan
alam dalam satu puisi, sehingga menjelma puisi suasana.
Goenawan Mohamad masih memainkan pola sampiran dan
isi pantun dalam puisi-puisinya. Musikalitas pantun dihidupkannya
bukan hanya dalam bentuk kuatrin tetapi juga puisi bebas. Hubungan
Lebih lanjut simak tulisan saya tentang puisi-puisi Chairil Anwar, Chairil
Anwar dan Sebuah Lompatan, makalah untuk diskusi Chairi Anwar, Hari Ini
di Freedom Institute, Jakarta, 29 April 2010.
16
Nirwan Dewanto, Arus Tengah, bahan kuliah umum untuk peringatan 70 Tahun
Sapardi Djoko Damono, di Teater Salihara, 26 Maret 2010. Esai ini kemudian
dimuat dalam Riris K. Toha-Sarumpaet dan Melani Budianta, ed., Membaca
Sapardi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010), 00-00.
15

13

Kalam 26 / 2014

antara sampiran dan isi pantun tetap dipertahankan berurutan, tetapi


skala keduanya diperluas. Seperti dalam puisi Cambridge (1990)
berikut ini:
Cambridge
70 camar pucat
hinggap
di gelombang yang beku.
Sungai jadi kedap.
Putih merambat. Surya layu.
Ranting jadi rangka, tebing muram durja. Hari menyembilu.
Pagi ini tak ada koran untukku.
Kian nikam suhu. Lapar mengetam. Gedung-gedung
menggertakkan geraham: bata merah padam yang tak punya lagi
pohon-pohonan. Di sisinya uap, kabut, embun, kelabu. Etalaseetalase es. Langit yang seperti asbes.
Menit pun memberat, seakan waktu
berlindungkan mantel bulu.
Dan ketika malam datang, bulan cuma 3 gram,
seperti sebutir merjan.
Trotoar gemetar. Angin menyajikan harum restoran.
Hari ini tak ada koran untukku.
Kudengar gerutumu, pemabuk di Masachussets Avenue. Tapi dunia
dan kita
tak berteguran, dunia dan kita tak bersapaan.

14

Kalam 26 / 2014

Kota telah terkurung


dalam parantesis salju.

Citraan rupa yang yang bekerja di dalam bait-bait puisi


ini diusahakan sepadat mungkin seraya menyuling tenaga haiku.
Bayangan Cambridge di musim salju membentang begitu rupa dan
kemurungan meraja lela di situ. Semacam situasi yang tanpa harapan.
Semua citraan alam pada lanskap tampak paralel: 70 camar pucat,
gelombang beku, surya layu, tebing muram durja. Benda-benda
di situ dibangkitkan nalar manusiawinya sehingga tebing pun bisa
bermuram durja sebagaimana manusia dan suasana murung dan
pedih itu kemudian meledak pada satu pernyataan yang bekerja dalam
tenaga personifikasi: Hari menyembilu. Tetapi itu masih bersifat
pembangun suasana, sebab yang ingin disasar kemudian adalah
pernyataan dalam cetak miring: Pagi ini tak ada koran untukku.
Pernyataan seseorang yang belum bisa kita kenali, apakah ia seorang
tokoh atau si pengujar puisi.
Bait kelima masih merinci lanskap, tetapi pandangan mulai
bergeser. Dimulai dari lapar yang teramat perih, ia mengetam seperti
kepiting atau ani-ani, lapar dari perut seseorang yang merindukan
koran pagi, beranjak gedung-gedung bata merah tanpa pohonan,
dengan suasana murung yang belum lagi hilang, sebab di sisi lain ada
uap, kabut, embun yang sewarna: kelabu. Es yang menempel pada
dinding gedung, juga langit yang tidak lagi biru, tetapi abu-abu seperti
asbes, langit yang tak menggirangkan hati.
Bait keenam mulai masuk kepada permainan citraan yang
segera terasa ajaib, waktu yang tidak pernah bisa kita indrai kini
maujud: ia memberat seperti seseorang yang mengenakan mantel
15

Kalam 26 / 2014

bulu. Waktu telah dimanusiakan, sebagaimana malam yang datang


kepada kita dengan bulan yang kecil sekali, ibarat sebutir merjan,
seperti emas 3 gram. Dingin musim salju belum habis sebab trotoar
gemetar seperti manusia yang kedinginan tanpa mantel. Lapar
jahanam yang tadi muncul di bait kelima kian punya arti, sebab angin
menyajikan harum restoran. Lapar kian menjadi-jadi sebab si aku
mencium bau makanan dimasak di dapur restoran. Dan pernyataan
dalam cetak miring kembali di ulang dengan sedikit variasi: Hari ini
tak ada koran untukku. Artinya sudah seharian si aku tidak membaca
koran, di samping perutnya yang keroncongan.
Pada bait kedelapan baru tampak bahwa si pengujar itu adalah
tokoh puisi naratif ini, sebab si pengujar yang sebenarnya menyapanya
dalam kalimat: Kudengar gerutumu, pemabuk di Massachussets Avenue.
Tapi dunia dan kita tak berteguran, dunia dan kita tak bersapaan.
Artinya, aku-pengujar sebenarnya bernasib sama dengan aku-tokoh,
si pemabuk, sama-sama diacuhkankan dunia, sama-sama kelaparan.
Dan tidak ada jalan keluar untuk dua orang yang lapar dan diacuhkan
ini. Sebab di akhir larik, si pengujar mengembalikan semuanya itu
kepada lukisan suasana seperti semula: Kota telah terkurung / dalam
parantesis salju.
Dari pemaparan di atas dapat dipetakan bahwa pengembangan
bentuk sampiran dan isi berkembang dengan cara membagi sampiran
utama ke dalam dua sampiran sekunder dan dua isi sekunder,
sementara isi utama dilengkapi lagi atau ditutup dengan satu sampiran
sekunder.
Pengorganisasian sampiran dan isi yang berlapis-lapis ini
dikerjakan juga oleh Goenawan Mohamad pada puisinya yang lebih
awal Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi (1966).
16

Kalam 26 / 2014

Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi


Di beranda ini angin tak kedengaran lagi
Langit terlepas. Ruang menunggu malam hari
Kau berkata: pergilah sebelum malam tiba
Kudengar angin mendesak ke arah kita
Di piano bernyanyi baris dari Rubayyat
Di luar detik dan kereta telah berangkat
Sebelum bait pertama. Sebelum selesai kata
Sebelum hari tahu ke mana lagi akan tiba
Aku pun tahu: sepi kita semula
Bersiap kecewa, bersedih tanpa kata-kata
Pohon-pohon pun berbagi dingin di luar jendela
Mengekalkan yang esok mungkin tak ada

Secara garis besar bait pertama puisi ini melukiskan alam


dalam tatapan dan pendengaran seorang subyek lirik, baik yang
tampak jauh maupun dekat atau mendekat ke arahnya. Sebuah lukisan
suasana yang menguatkan kesepian di sebuah rumah, kesepian batin
dua orang menjelang perpisahan. Bait kedua adalah ilustrasi tentang
perpisahan yang tergesa-gesa sebelum segala selesai dan dipahami.
Sedangkan bait terakhir adalah pernyataan batin subyek lirik tentang
risiko perpisahan itu. Ia bersiap kecewa dan bersedih tanpa katakata. Kekecewaan dan kesepian yang tidak perlu ditangisi, tak perlu
dikatakan. Tapi bukankah bersedih tanpa kata-kata itu dinyatakan
dalam serangkaian kata-kata?
Masuk lebih ke dalam lagi, akan tampak sejumlah masalah
di tiap-tiap bait. Larik Di beranda ini angin tak kedengaran lagi
menunjukkan wataknya yang khas sebagai puisi lirik yang mencoba
17

Kalam 26 / 2014

meneguhkan irama pembacaan sebagaimana yang umum pada


pantun. Ia mencoba menciptakan kesejajaran irama di antara katakata yang menyusunnya. Goenawan lebih memilih kata kedengaran
ketimbang terdengar. Sebab dengan kedengaran ia bisa
mempertahankan kemiripan bunyi kata di beranda di paruh larik
berikutnya, sehingga terciptalah irama dengan penyejajaran bunyi
vokal i-e-a-a pada kata di beranda dengan bunyi vokal e-e-a-a pada
kata kedengaran. Padahal, sebenarnya, ia bisa memainkan aliterasi
jika menggunakan bentukan yang benar dalam ragam tulisan, tak
terdengar. Tetapi permainan aliterasi itu menjadi kurang sedap di
telinga sebab tidak bisa menyalin bunyi vokal pada kata sebelumnya.
Munculnya ciri-ciri kelisanan ini membuktikan sekali lagi
bukan hanya intertekstualitas antara Goenawan Mohammad dengan
Chairil Anwar dan penyair Pujangga Baru,17 tetapi juga menunjukkan
risiko pantun yang dihidupkan kembali dalam sastra tulis. Puisi
modern, betapa pun ia mendayagunakan puitika pantun, tetaplah
bagian dari sastra tulis, sastra cetak, bukan sastra lisan. Sementara
pantun adalah milik kebudayaan lisan yang tidak mengenal tulisan.
Karena itu, irama dalam puisi modern yang mendayagunakan puitika
pantun, jika ia tercipta, bukanlah irama yang lazim dalam pelisanan,
tetapi irama yang menyembul dalam struktur larik setelah ia dituliskan
dengan tipografi dan montase tertentu.
Montase pula yang mengizinkan kehadiran citraan lain yang
bisa jadi tidak sejajar sebab hakikat montase adalah menghadirkan
pelbagai benda, bunyi, warna, yang berbeda-beda demi komposisi
tertentu. Montase pula yang membuat fokus perhatian subyek lirik
Simak lagi tulisan saya Chairil Anwar dan Sebuah Lompatan.

17

18

Kalam 26 / 2014

puisi ini bergerak dari beranda ini ke langit terlepas, dari sepi
yang terasa sempit kepada yang sepi yang mahaluas tetapi mendesak,
sebelum akhirnya ia kembali ke ruang dengan yang kesepian yang
lain lagi, ruang yang menunggu malam hari. Itulah ruang yang
mengalami personifikasi dan telah mengambil alih tugas si kita dalam
menunggu malam, momen perpisahan.
Frasa langit terlepas itu sendiri adalah kasus menarik dalam
puisi ini. Ia menawarkan sejumlah kemungkinan pemaknaan karena
strukturnya yang gerumpung. Apakah ia berarti langit yang terlepas
dari gantungan dan jatuh menimpa kita? Seperti langit-langit kamar?
Atau ia langit yang terlepas seperti burung yang kian meluaskan
dirinya. Atau ia langit yang terlepas dari tatapan kita? Atau ia memang
citraan yang secara sengaja diselipkan dalam kesejajaran antara
beranda dan ruang, yang keduanya adalah bagian dari rumah.
Kecuali langit-langit, langit tentu saja bukan bagian dari bangunan
sebuah rumah. Tetapi, dengan begitu, langit terlepas menimbulkan
kontras pada kalimat berikutnya: ruang menunggu malam hari.
Yang satu terkesan teramat luasnya dan tidak bisa dijangkau, yang
lain terukur dan gampang dijelajahi. Dengan begitu pula, frasa
langit terlepas memperkuat unsur disonansi dalam puisi ini. Tapi
dalam puisi puisi Goenawan Mohamad, disonansi bukan sekadar
disharmoni bunyi, bunyi lain yang menyeleweng dari tertib irama,
tetapi juga disharmoni citraan yang muncul sebagai efek montase
tadi. Sebab puisi, sebagaimana musik, pada akhirnya bukan sematamata keindahan belaka, tetapi organisasi citraan. Sebagaimana
dikatakan Northrop Frye, music is concerned not with the beauty but
with the organization of sound.18
Alex Premiger dan T.V.F. Brogan, The New Princeton Encyclopedia of Poetry and

18

19

Kalam 26 / 2014

Jika dua larik pertama ini kita terima sebagai serangkaian


citraan alam, maka larik ketiga adalah pernyataan kau, lawan bicara
subyek lirik: Kau berkata: pergilah sebelum malam tiba. Kemunculan
kalimat perintah ini menjadi bagian dari pengekstreman kesepian
tadi. Ruangan mesti dikosongkan dari manusia, si subyek lirik,
ia yang selama ini menguasai ujaran puisi. Tapi harus ke mana ia?
Menyongsong langit yang terlepas atau ke entah? Atau ke luar puisi?
Tidak jelas. Tentu saja aku tidak menjawab, atau tidak menuruti
perintah itu. Dan ketiadan jawaban aku itu sebenarnya melanjutkan
kesepian tadi. Ketimbang menjawab, ia malah mendengar angin
mendesak ke arah kita. Citraan aural yang seolah-olah memberi
sedikit penghiburan kepada perpisahan yang kelak terjadi.
Permainan citraan aural ini masih berlanjut ke bait kedua,
terutama pada dua larik pertama: Di piano bernyanyi baris dari
Rubayyat / Di luar detik dan kereta telah berangkat. Saya kesulitan
menemukan hubungan maknawi antara nyanyian piano dengan
detik dan kereta yang berangkat, kecuali bahwa keduanya diikat
oleh rima akhir yang sama (Rubayyat, berangkat) dan menunjukkan
suatu proses. Tetapi keberangkatan detik dan kereta terjadi ketika
nyanyian itu belum lagi usai. Keberangkatan keduanya yang tergesagesa adalah hal yang tidak diharapkan, sebab seharusnya mereka
berangkat setelah nyanyian itu selesai. Tetapi detik dan kereta tidak
bisa menunggu. Detik menuruti alur waktu, kereta menuruti jadwal
keberangkatan.
Soalnya kemudian: bagaimana detik dan kereta itu berangkat?
(Sebagaimana klausa sore dan debu bertaut dalam puisi Skhak,
Poetics (Princeton: Princeton University Press, 1993), 299.
20

Kalam 26 / 2014

2010).19 Di sini, detik adalah metonimi dari jarum jam, dari waktu
secara keseluruhan, yang mengalami personifikasi dan sejajar dengan
kereta. Keduanya kini ditempatkan sebagai yang visual dan aural
sekaligus. Visual jika dalam jarak pandang tertentu kita masih bisa
melihat kereta (dan detik) yang meninggalkan stasiun. Aural jika kita
mendengar deru atau pluit kereta, juga detak detik, yang melaju di
luar jarak pandang kita.
Akan tetapi, gerak detik mengacu kepada waktu, dari awal
ke akhir, sementara gerak kereta merujuk kepada tempat atau ruang,
dari sini ke sana, atau sebaliknya. Inilah penyejajaran yang akhirnya
mengguncangkan nalar semantik kita. Sang penyair mungkin tidak
membayangkan betapa berisikonya jukstaposisi dua matra yang
berbeda ini, terutama jika kita memikirkan ke mana tujuan atau akhir
keberangkatan detik dan kereta itu. Mungkin ia sedang mengejar efek
surrealisme, suasana yang juga bisa kita temukan dalam pantun.20 Tetapi
Mengorek logika metafora seperti ini memang bisa tampak sebagai pertanyaan
orang awam yang letih. Kita bisa tidak ambil peduli atau menerima saja
permainan metafora itu seperti apa adanya, toh pada akhirnya kita akan paham
sesuai kadar kepahaman kita. Dalam sebuah puisinya Di Depan Sancho
Panza (Don Quixote, 62) Goenawan melukiskan sikap tidak ambil peduli atau
ketidakmengertian seseorang pada permainan metafora yang ajaib, seperti ini:
Di sepan Sancho Panza yang lelah, / seorang perempuan bercerita / tentang sajak /
yang disisipkan ke dalam hujan /yang tak tidur. // Tentu saja Sancho tak mengerti /
bagaimana sajak disisipkan / ke dalam hujan, tapi ia mengerti / cinta yang sungguh.
Dipegangnya tangan / perempuan itu dan berkata, Jangan cemas.
20
Dalam permainan petak umpet anak-anak di Betawi ada pantun seperti ini:
Tengkeroeng ketimun bonteng / Kuda lari di atas genteng / Capcipcup bondol ijo /
Kaki Kuncup berak melinjo. Kita bisa membayangkan betapa ajaibnya kuda yang
berlari di atas genteng atau kakek yang berak melinjo, tetapi suasana surreal itu
tercipta tanpa menimbulkan tanda tanya. Salah satu sebabnya, karena kita telah
dibikin nyaman oleh permainan rima akhir pada pantun itu, oleh rangsangan
petualangan dalam permainan kanak-kanak itu. Kesejajaran bunyi dan
rangsangan rasa menjadi lebih penting ketimbang kesejajaran semantik.
19

21

Kalam 26 / 2014

yang juga masuk akal adalah bahwa sang penyair ingin mencapai akibat
keberangkatan itu: suasana ketergesa-gesaan dan sepi pada segala yang
ditinggalkan. Hari bertambah malam, yang berangkat kiat menjauh,
yang ditinggalkan kian sendirian, kesepian kian terasa di rumah itu.
Lebih jauh dari itu, larik kesatu bait kedua menunjukkan
kondisi intertekstualitas. Bisa jadi Rubayyat yang dimaksud mengacu
kepada rubayyat apa pun yang pernah ada di dunia ini. Tetapi jika
rubayyat dalam larik ini mengacu kepada Rubayyat karya Omar
Khayyam, pujangga Persia Klasik itu, jelaslah bagaimana pertautan
keduanya. Dalam Rubayyat Omar Khayyam hasil terjemahan dan
suntingan Edward FitzGerald, terutama kuplet kedua dan ketiga,
terlukis begini:
Dreaming when Dawns Left Hand was in the Sky
I heard a Voice within the Tavern cry,
Awake, my Little ones, and fill the Cup
Before Lifes Liquor in its Cup be dry.
And, as the Cock crew, those who stood before
The Tavern shoutedOpen then the Door!
You know how little while we have to stay,
And, once departed, may return no more. 21

Dalam dua contoh ini momen boleh berbeda: subuh pada Omar
Khayyam, senja pada Goenawan Mohamad. Tetapi suasananya lebihkurang sama: perintah untuk pergi secepatnya. Yang pertama, dengan
prinsip Carpe Diem, mendesak agar seseorang keluar dari rumah
untuk menyongsong pagi, memberi makna pada yang sebentar (motif
Edward FitzGerald, Rubaiyat Omar of Khayyam (New York: Oxford University
Press, 2009), 17.

21

22

Kalam 26 / 2014

yang juga kerap muncul dalam puisi-puisi Goenawan Mohamad);


yang kemudian mendesak agar seseorang menyongsong malam, tanpa
kepastian untuk apa. Yang pertama membayangkan pergi yang tak
kembali, yang kemudian mengekalkan kehilangan yang tak tertebus.
Jika baris-baris rubayyat Omar Khayyam itu memberi suasana
yang menyaran kepada keberangkatan detik dan kereta, itu pula yang
dilakukan detik dan kereta kepada si kita. Keberangkatan mereka
yang tergesa-gesa itu berasosiasi dengan kepergian aku dari kau
yang sebentar lagi terjadi, sebelum malam tiba. Memang hingga larik
terakhir puisi ini tidak menunjukkan bagaimana aku meninggalkan
kau, tetapi di bait terakhir itulah kita temukan momen ketika
subyek lirik menyatakan perasaannya: Aku pun tahu: sepi kita semula
/ bersiap kecewa, bersedih tanpa kata-kata. Cukuplah sampai di situ.
Sebab selebihnya adalah citraan alam yang secara tidak langsung
juga menggambarkan bagaimana kesepian dan kesementaraan yang
masih cukup berharga: Pohon-pohon pun berbagi dingin di luar jendela
/ mengekalkan yang esok mungkin tak ada.
Puisi ini memulai dirinya dengan lukisan suasana dan
menutupnya dengan lukisan suasana pula. Dominannya lukisan
suasana dalam puisi ini bukan kasus yang berdiri sendiri, sebab di puisipuisi Goenawan Mohamad yang lain tampak pula kecenderungan itu.
Dan kecenderungan Goenawan dalam menggarap puisi-puisi suasana,
di samping puisi ide, pada akhirnya memberikan ciri tersendiri pada
puisi-puisinya. Suasana bukan perkara latar belaka, tetapi lebih dari
itu, semacam perlambang dari kondisi batin si pengujar, ia yang
terserimpung dalam melankoli.

23

Kalam 26 / 2014

Gerimis melogam, darah menghijau


Saya menandai permainan citraan dalam puisi Di Beranda
Ini Angin Tak Kedengaran Lagi sebagai semacam percobaan awal
Goenawan Mohamad untuk melangkah lebih jauh kepada permainan
citraan yang lebih berani. Terutama yang menyangkut pembangunan
suasana surreal, ajaib, dengan dengan teknik montase dan jukstaposisi.
Puisi Di Kota Itu, Kata Orang, Gerimis Telah Jadi Logam
(1971) membuktikan kecenderungan itu lagi:
Di Kota Itu, Kata Orang, Gerimis Telah Jadi Logam
Di kota itu, kata orang, gerimis telah jadi logam. Di bawah cahaya
hari pun bercadar, tapi aku tahu kita akan sampai ke sana.
Dan kita bercinta tanpa batuk yang tersimpan, membiarkan gumpal
darah di gelas itu menghijau. Dan engkau bertanya mengapa udara
berserbuk di antara kita?
Lalu pagi selesai, burung lerai dan sisa bulan tertinggal di luar, di atas
cakrawala aspal.
Jika samsu pun berdebu, kekasihku, juga pelupukmu. Tapi tutup
matamu, dan bayangkan aku menjemputmu, mautmu.

Bagi saya, soal utama puisi ini adalah permainan citraan yang
sudah sampai taraf gila-gilaan dan tergelincir pada kegelapanjika
bukan melejitkan humor dan parodi. Bayangkan jika gerimis yang telah
menjadi logam itu jatuh di atap seng akan riuh sekali suaranya, atau siapa
saja yang berjalan di bawahnya, pasti akan benjol-benjol atau terluka
kepalanya. Tetapi permainan citraan yang gila-gilaan ini terkesan
disengaja karena ada frasa yang mendahuluinya kata orang. Frasa ini
24

Kalam 26 / 2014

bersinonim dengan kata konon yang bisa berarti gosip, desas-desus,


kabar yang belum tentu kebenarannya, sesuatu yang boleh dipercaya
boleh tidak. Sesuatu dalam status kata orang atau konon memang
bisa sangat ajaib, tidak masuk akal, tetapi justru di situlah daya tariknya.
Di luar permainan citraan yang gila-gilaan itu, kalimat ini
sebenarnya menegaskan semacam daya tarik yang luar biasa dari
sebuah kotasemacam modernitas kota yang menyedot orang untuk
datang sebagai kaum urban. Sebab kalimat berikutnya menunjukkan
adanya hasrat orang untuk ke sana: Di bawah cahaya hari pun bercadar,
tapi aku tahu kita akan sampai di sana. Masalahnya adalah pada
kalimat pertama. Mengapa hari bercadar di bawah cahaya? Di bawah
cahaya matahari atau cahaya lampu jalan? Apakah ia seperti seorang
perempuan Afganistan saat rezim Taliban berkuasa? Jika kita terima
perumpamaan hari bercadar, apakah itu berarti ia tengah melindungi
dirinya bukan hanya dari cahaya, tetapi dari gerimis yang melogam. Di
sini kembali muncul majas yang menyejajarkan waktu (hari) dan ruang
(cahaya), seperti dalam kalimat Di luar detik dan kereta telah berangkat
dalam puisi Di Beranda Angin Tak Kedengaran Lagi. Waktu yang
telah meruang itu telah masuk ke dalam kancah montase, sekali lagi.
Bait kedua berfokus pada percintaan kita, yang belum jelas
tempak kejadian perkaranya. Sekali lagi, lukisan percintaan ini
menimbulkan efek surreal. Sebab mereka bercinta dengan membiarkan
gumpal darah di gelas itu menghijau. Mereka bercinta tanpa halangan
sama sekali, tanpa batuk yang menjengkelkan. Seakan-akan mereka
telah memindahkan darah yang semula di dada mereka ke dalam
gelas di atas meja. Yang karenanya bisa mereka pandangi darah itu
bukan lagi berwarna merah, tetapi hijau, warna yang membawa
kesejukan dan kegembiraan. Tapi sampai di mana kebebasan itu?
25

Kalam 26 / 2014

Ternyata hanya sesaat. Sebab pada larik berikutnya sepasang kekasih


itu dihadang oleh pemandangan surrealis yang lain lagi. Pemandangan
yang segera menawarkan berahi yang semula bergelora. Dan engkau
bertanya mengapa udara berserbuk di antara kita? Udara yang beserbuk
ini tampaknya berkorelasi dengan gerimis yang telah melogam di bait
pertama. Serbuk logam dan gerimis logam menandai suasana dan
tempat yang sama. Bisa dipastikan sepasang kekasih itu sudah menjadi
penghuni kota dengan gerimis yang melogam itu. Sebuah kota yang
telah memberikan mereka kebebasan bercinta, yang membebaskan
mereka dari gosip tetangga di kampung dan ancaman penyakit.
Bait ketiga menegaskan datangnya pagi dan percintaan yang
usai. Ada burung terbang dan sisa bulan pucat di atas cakrawala aspal.
Lukisan suasana yang menjadi jeda dari kekerasan pemandangan di
dua bait pertama. Tetapi itu pemandangan yang tidak mengenakan
hati, sebuah pemandangan yang sudah mulai dirasakan si engkau
ketika mereka tengah bercinta: udara beserbuk.
Suasana tanpa harapan ini kemudian dipertegas di bait
berikutnya. Perhatikan kalimat pertama bait terakhir: Jika samsu
pun berdebu, kekasihku, juga pelupukmu. Ada permainan elipsis di
sini sehingga kalimat itu tampak macet, terutama menjelang juga
pelupukmu. Struktur yang lengkap dari kalimat ini, bisa jadi, adalah:
Jika samsu pun berdebu, kekasihku, begitu juga pelupukmu. Jelas
sudah maksudnya, sebab sebelumnya engkau merasa udara beserbuk,
dan karenanya pelupuknya ikut berdebu. Namun, kalimat berikutnya
membuat kita terhenyak: Tapi tutupkan matamu, dan bayangkan aku
menjemputmu, mautmu. Dari mata yang kelilipan debu logam beranjak
ke ambang kematian. Dengan kalimat ini kita bisa bertanya, siapa
sebenarnya si aku? Sang kekasih atau elmaut? Mengapa ia hendak
26

Kalam 26 / 2014

menghabisi engkau setelah percintaan itu usai? Kita bisa menerima


satu perkiraan bahwa aku adalah maut yang menyaru sebagai kekasih
dan terus menguntit kau yang sakit (TBC) itu. Dengan kata lain,
penyair telah menghidupkan penyakit sebagai sesosok kekasih, untuk
menunjukkan betapa beratnya sakit yang merundung engkau. Ia
bukan lagi sesuatu yang ditakuti, tetapi dicintai, seperti kekasih yang
tidak bisa dipisahkan. Sejatinya, otoritas pengucapan puisi ini telah
diserahkan kepada elmaut yang memanusia.
Dengan permainan citraan yang gila-gilaan di awal, puisi ini
pada isinya adalah puisi yang memilukan. Sebab sebuah kota yang
menggoda orang untuk datang, tersebab dirinya yang modern,
adalah tempat yang mematikan. Sebuah kota tempat cakrawala telah
melelehkan segalanya, yang paling keras sekalipun. Kaum urban,
siapa pun ia, akan mati di kota yang modern tetapi ganas itu. Apakah
itu perlambang untuk Jakarta di awal Orde Baru?
Dengan dua contoh ini bisa disimpulkan bahwa puisi-puisi
Goenawan Mohamad meski dibangun oleh teknik montase yang
amat berisiko dan permajasan yang ajaib, ternyata memiliki struktur
yang cukup jelas. Ada pengorganisasian bait yang cukup ketat. Ada
tilas cerita yang bergerak dari awal menuju akhir. Dan karena ia
menceritakan perpisahan atau kematian, nada akhirnya kerap kali
murung. Murung yang di puisi-puisi lainnya tampak bukan lagi nada
minor, tetapi nada mayor.

Puisi suasana, pantun, puisi ide


Dalam khazanah puisi Indonesia modern, puisi suasana sudah
tampak pada Chairil Anwar, terutama dalam puisi Hampa. Tetapi
27

Kalam 26 / 2014

istilah puisi suasana baru muncul pada 1970-an. Terutama ketika


Goenawan Mohamad, di samping Abdul Hadi W.M., dan Budi
Darma, memakai istilah itu, bersama puisi ide, untuk membicarakan
sejumlah puisi Indonesia modern yang relevan dengan dua istilah
itu.22 Dalam puisi suasana subyek lirik sebagai pengujar puisi absen
dari apa yang ia ujarkan, yang hadir hanyalah hasil ujarannya. Ia
seperti berada entah di mana, tetapi ujarannya kita tangkap kata demi
kata, larik demi lari, hingga puisi itu selesai. Ia seakan-akan pantun
yang sepenuhnya berisi sampiran, tanpa isi. Dengan begitu, ia seperti
mengosongkan manusia dari puisi dan melulu menghadirkan alam
(benda) dengan berbagai citraannyasemacam puisi fisik ala John
Crowe Ransom. Saya kutip lagi puisi Chairil Anwar yang pernah
dijadikan contoh oleh Goenawan Mohamad itu:
HAMPA

kepada Sri yang selalu sangsi

Sepi di luar, sepi menekan mendesak


Lurus-kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak
Sepi memagut
Tak suatu kuasa-berani melepas diri
Segala menanti. Menanti-menanti
Sepi.
Dan ini menanti penghabisan mencekik
Memberat-mencengkung punda
Goenawan Mohamad Puisi Suasana, Puisi Ide dalam Satyagraha Hoerip,
Sejumlah Masalah Sastra (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1982, 159-171.
Selanjutnya ditulis Sejumlah Masalah Sastra. Untuk dua nama lain, Abdul Hadi
W.M. dan Budi Darma, saya memakai pembacaan Dami N. Toda dalam esainya
Peta Perpuisian Indonesia 1970-an dalam Sketsa di buku yang sama.

22

28

Kalam 26 / 2014

Udara bertuba
Rontok-gugur segala. Setak bertempik
Ini sepi terus ada. Menanti. Menanti.
Maret 1943

Mengacu kepada puisi ini, dalam esainya itu Goenawan


Mohamad menegaskan bahwa Dalam sajak-sajak imajis, yang
sering berupa puisi suasana, imaji muncul atau bermunculan bebas
mereka dibebaskan dari konsep, dari tertib yang diatur oleh rencana
pikiran. Mereka tidak berperan sebagai lambang. Mereka itu mandiri,
bagian yang hidup dari latar (set) yang memberi aksen pada suasana,
bukan diambil dari alam benda yang dengan disengaja sebagai bahan
perbandingan bagi suatu gagasan (Sejumlah Masalah Sastra, 167).
Jika kita cermati lagi puisi itu, sebenarnya, masih ada jejakjejak subyek lirik di sana. Bagaimanapun tampak desak-mendesak
dan berantakan, montase citraan pada puisi itu hanya bisa muncul
karena rancangan si pengujar, semacam desain visual yang membuat
larik pertama tidak bisa dipindah ke larik terakhir atau frasa rontokgugur segala tidak mungkin menggantikan frasa segala menanti.
Dalam puisi itu pula, bagi saya, citraan alam pada akhirnya juga
semacam perbandingan untuk suatu gagasan. Memang bukan
gagasan yang kerap dinyatakan Chairil pada sajaknya yang lain, tetapi
gagasan yang tertunda untuk dinyatakan. Simaklah larik kelima dan
keenam puisi ini: Tak suatu kuasa-berani melepas diri / Segala menanti.
Menanti-menanti. Di sini aku yang juga ikut menanti dan tak berani
melepaskan diri dari sepi. Dengan begitu ia sebenarnya menjadi
bagian dari suasana alam itu sendiri, dan judul sajak itu kemudian
memperkuat suasana kehampaan yang sedang mengamuk.
29

Kalam 26 / 2014

Goenawan Mohamad sendiri menciptakan beberapa jenis


puisi suasana. Di awal-awal kepenyairannya ia mencoba jenis puisi
suasana yang hampir total, sebagaimana tercermin dalam puisi
Di Muka Jendela atau Dingin Tak Tercatat atau Sydney atau
Pangrango. Saya kutip lengkap Sydney (1978):
Sydney
Pada jam ke-24
kota seperti khianat:
Sydney telah terkunci
dalam gelas pagi
Ada bulan mengukur luas
laut dan musim panas
Ada beton membentang bentuk
dan bayang hanya merunduk
Ada melintas jutaan mimpi
menyeberangi galaksi
sebelum akhirnya tertembak matari
lalu lenyap, lagi, ke hutan besi
Seusai jam ke-24
kitalah yang berkhianat

Jika puisi suasana tampak seperti pantun yang seluruh


tubuhnya terbangun oleh sampiran (apakah ia masih bisa disebut
pantun?), di manakah sebenarnya isinya? Di manakah tempat untuk
pernyataan pikiran penyair? Sebetulnya, di dalam bait-bait yang tidak
memuat pernyataan isi pikirannya, penyair mempersilakan pembaca
untuk menyusun sendiri isi menurut cara pembacaan masing-masing.
30

Kalam 26 / 2014

Pembaca ditantang untuk mengikuti ke mana puisi itu bergerak dan


menyaran ke mana permainan citraan di dalamnya. Khusus dalam
puisi suasana Goenawan Mohamad, ketika kita selaku pembaca tidak
dapat meraih isi puisi, maka kita dipersilakan menikmati permainan
citraan itu sebagai pengganti dari isi yang tertunda. Lantaran apa
sebuah kota terkunci dalam gelas pagi, mengapa bulan mengukur luas
laut dan musim panas, dan seterusnya.
Goenawan Mohamad memang tidak pernah membiarkan
pembaca puisinya sepenuhnya menikmati lukisan suasana atau alam
benda. Ia selalu punya kepentingan menyusupkan pemikirannya
ke dalam suasana yang sudah terbangun sebelumnya. Pertanyaan
Tuhan, kenapa kita bisa bahagia (puisi Dingin Tak Tercatat, 1971)
membuktikan kesadaran penyair untuk memecahkan tamasya visual
atau menangguhkan kenikmatan itu. Tidak boleh terlalu banyak
tamasya itu, kita butuh perenungan dan itu selalu kita dapatkan di
bait terakhir. Sebagaimana dalam puisi Sydney: Seusai jam ke-24 /
kitalah yang berkhianat.
Begitulah, dalam puisi modern subyek lirik tidak pernah bisa
lagi membiarkan sepenuhnya citraan alam bermain sendirian. Selalu
saja subyek lirik atau pernyataannya menyeruak atau mengendapngendap di balik bangun puisi yang seakan-akan telah kehilangan
manusia itu. Kondisi ekstrem lenyapnya manusia dalam puisi suasana
hanya bisa kita temukan dalam haiku. Dalam haiku benda-benda di
alam dibiarkan pada dirinya sendiri dalam potretnya yang imajistis.23
Dengan sendirinya benda-benda di alam itu memiliki kualitas
sensibilitas tertentu yang menggetarkan batin penyairnya. Karena
Matsuo Bash, Bashs Haiku, terjemahan, anotasi, pengantar oleh David Landis
Barnhill (Albany: State University of New York Press, 2004), 8.

23

31

Kalam 26 / 2014

itu selalu ada garis lurus antara keheningan alam dengan keheningan
dalam batin penyair, kekosongan. Tema yang juga penting dalam Zen.
Menunda manusia untuk menginterupsi alam, itulah
tantangan utama puisi suasana.
Sehubungan dengan itu, puisi Pastoral (2002) berhasil dengan
wataknya yang ganda: puisi suasana sekaligus puisi ide. Sebagai puisi
suasana ia menyadap tenaga haiku dengan amat baiknya karena dua
hal. Pertama, larik-lariknya, bahkan bait, ditata sedemikian baik,
sehingga kepadatan dan keringkasan terselenggara di sana. Kedua,
subyek liriknya sendiri berhasrat mengosongkan diri dari puisi untuk
membiarkan alam berbicara sebagai semacam perlambang untuk
dirinya. Sebagai puisi ide ia menyajikan pernyataan subyek lirik yang
tidak terperangkap pada abstraksi. Ia tidak diskursif tetapi metaforis.
Saya kutipkan enam bagian pertama:
Pastoral
I
15 meter dari jalan ke Batuan, ada pematang pada tebing, dan
seseorang hingar menggusah burung,
seseorang turun ke kali dan menyanyi,
seseorang mencicipi alir,
mengikuti bunyi
kercap dingin
liang hutan,
arus yang menyisir batu
batu yang, seperti pundak kerbau, menahanmu
Pada pukul 7:15, jernih sungai menelanjangimu

32

Kalam 26 / 2014

II
Terkadang aku ingin
Kita hilang seperti kadal
di ilalang
seperti kilau
III
Mungkin sudah tiba saatnya
kita membiarkan kata
terpesona pada luas lumut
atau pada jeram
dan parit
yang menciut
Mungkin sudah saatnya
kita terpesona
IV
Sementara di selatan
jerami telah dihimpun,
dan orang hingar
menggusah burung,
Hai! Hai! Hai!
sebaris bangau
membubuhkan putihnya
pada padi

V
Katakan, kenapa di tubuhmu yang sempurna
sungai seperti tak menyentuh
apa-apa?

33

Kalam 26 / 2014


VI
Misalkan terkait
teratai
pada air
misalkan terkait
air
pada hijau
misalkan terkait
kekal
pada daun
aku akan tetap takut
sengak maut
pada petang yang rembang
seperti dosa

Bagian I adalah lukisan alam yang sudah barang tentu


akan menggugah sensibilitas pembaca. Hampir seluruh indra kita
dibiarkan bekerja menikmati lukisan itu: penglihatan, pendengaran,
pengecapan, perabaandan secara mengejutkan citraan visual
yang erotis juga muncul di akhirnya. Tamasya alam ini mendorong
manusia dengan rela hati untuk lenyap sepenuhnya merasakan alam
yang kini hidup dalam seluruh indranya itu. Bahkan pada bagian II
si pengujar ini menjadi bagian dari alam itu sendiri, menjadi kadal
dan kilau: Terkadang aku ingin / kita hilang seperti kadal di ilalang /
seperti kilau. Itulah mengapa pada bagian III muncul pernyataan
yang menggugah kita agar membiarkan kata-kata, perangkat utama
para penyair, terpesona pada pelbagai anasir alam (lumut, jeram,
parit), kata-kata yang peka pada alam, yang menghadirkan alam
secara indrawi, bukan lewat abstraksi. Dengan kata lain, sebenarnya
34

Kalam 26 / 2014

Goenawan Mohamad ingin mengatakan, jika soal soal citraan alam


ini mau ditarik kepada tradisi kepenyairan kita hari ini, Wahai
penyair, pedulilah kalian pada detail, konkretlah. Rincilah secara
indrawi, jangan lewat abstraksi.
Di bagian IV subyek yang terpesona pada alam itu dibiarkan
menikmati citraan alam yang yang khas dalam lukisan-lukisan Mooi
Indie: Orang menghimpun jerami dan menggusah burung, bangau
di atas pepadian. Tetapi itu jeda visual yang nyaman sebelum kita
sampai pada teka-teki di bagian berikutnya: Tubuh yang sempurna,
yang berdarah-daging, tetapi bisa ditembus oleh air, semacam tubuh
yang kosong, yang menyiratkan ketakutan. Itulah ketakutan pada
maut yang ditegaskan lewat permajasan di bagian VI.
Selanjutnya adalah porsi puisi ide, terutama bagian VII-IX.
Kehendak merumuskan sesuatu yang hakiki sebagai bagian dari kerja
filsafat berlangsung dalam permainan metafora yang menggetarkan.
Dan itu tentang waktu, kesementaraan, yang masih punya makna.
Berikut ini:
VII
Detik adalah lugut
yang bertebar
di tengah oktober
dan hari gatal,
dan ajal turun,
pada jam yang menyulap kapas
ke dalam embun
VIII
Saat kau sentuh putrimalu
kau lihat
tangkai waktu
35

Kalam 26 / 2014

IX
Yang sementara
tak akan menahan
bintang hilang
di bimasakti
Yang bergetar
akan terhapus
Yang bercinta
akan berhenti
Tapi aku teringat sebuah sajak
yang meminta:
Sandarkan sirahmu, kekasihku,
ke lenganku
yang tak percaya

Goenawan Mohamad dengan cara yang Heideggerian


merumuskan pemikirannya tentang waktu ke dalam puisi, ia pemikir
selaku penyair.24 Semaksimal mungkin ia menghindari abstraksi
sebab abstraksi hanya berurusan dengan pikiran, sementara pelukisan
yang metaforis mendekatkan dirinya kepada sensibilitas pembaca.
Ia telah memikirkan hakikat waktu dan kematian dengan cara yang
amat konkret. Waktu, detik dalam kasus ini, dirumuskan bukan
sebagai rentang masa yang abstrak, tetapi yang bisa diindrai sebagai
lugut yang bertebar / di tengah oktober dan membuat hari gatal. (Di
puisinya yang lain, Di Sebuah Losmen, ia juga merumuskan nasib
dengan caranya yang konkret sekaligus metaforis: Nasib adalah
Baca, Martin Heidegger, Poetry, Language, Thought, terjemahan dan pengantar
oleh Albert Hofstadter (New York: Perenial Classic, 2001)

24

36

Kalam 26 / 2014

persentuhan / di sebuah losmen / sebelum fajar. / Tak lebih, tak kurang. /


Dan di luar, / hanya ada lorong batu.) Detik memang satuan yang amat
kecil, layaknya lugut, tetapi dalam jumlahnya yang besar, ia adalah
kekuatan yang bisa mendesak hari. Ia membuat hari tidak nyaman,
seperti orang yang kegatalan terkena lugut atau miang. Hari gatal
adalah majas yang sama ajaibnya dengan detik dan kereta telah
berangkat dengan sore dan debut bertaut. Hari yang tidak nyaman
adalah hari ketika maut datang dan itu adalah pagi hari, ketika
kabut yang seperti kapas bersitegang dengan embun: pada jam yang
menyulap kapas / ke dalam embun.
Manusia akan mati, sementara waktu berjalan terus. Jika
manusia mati di pagi hari, waktu baru menunjukkan awalnya kepada
kita, Saat kau sentuh putrimalu / kau lihat / tangkai waktu. Tetapi
kapan pun masanya, kematian menjadi semacam isyarat bahwa hidup
manusia hanya sebentar saja. Segalanya punya batas, akan berujung
pada ketiadaan. Karena itu, setelah menampilkan jeda visual tentang
petualangan ke negeri jauh, ke teluk yang jauh, dan mempertanyakan
apa itu makna ujung, puisi ini akhirnya kembali menegaskan apa
yang pernah dinyatakan di bagian II: hilang yang bukan kematian,
tetapi menjadi anasir alam. Sebab hanya dengan begitu manusia bisa
menjelang kematiannya yang pasti. Bait XII:
XII
15 meter dari jalan ke Batuan, ada pematang
pada tebing. Terkadang aku ingin
kita jatuh, seperti rama-rama jatuh
dari dahan
sebelum mati yang pasti
37

Kalam 26 / 2014

Dengan caranya sendiri, puisi ini juga menyajikan satu


paradoks. Alam yang indah adalah juga alam yang menyaran kepada
kematian. Pada mulanya manusia menghayati alam raya, kemudian
merasuk ke dalam benda-benda, lenyap dari tatapan manusia, sebelum
akhirnya mengalami kematiannya yang pasti. Paradoks seperti ini
pernah muncul dengan sangat baik dalam buku puisi Priangan Si Jelita
karya Ramadhan K.H. Bahwa alam Priangan yang indah di saat yang
bersamaan juga menyimpan kesedihan, melecutkan tragedi karena
pemberontakan DI/TII S.M. Kartosuwiryo. Motif kematian manusia
dalam puisi ini dengan sendirinya berkaitan dengan motif lenyapnya
aku sebagai juru bicara puisi. Soal yang dalam beberapa puisi
Goenawan Mohamad juga menarik untuk mendapat penjelasannya.

Aku yang kalah lagi majenun


Sebagaimana watak dasarnya, puisi lirik menempatkan aku sebagai
agen bahasa.25 Ialah yang membahasakan maksud penyair di dalam
puisi. Sebagi pemegang otoritas aku adalah subyek yang paling
menonjol dalam puisihanya sesekali ia menyertakan kau dalam
ujarannya. Karena sering kali ia tidak membutuhkan lawan bicara;
pertanyaan-pertanyaannya bersifat apostrofik. Pada puisi Chairil
Anwar, misalnya, jelas aku adalah subyek lirik yang sangat dominan
dan tampil dengan pelbagai pernyataan. Ia subyek yang hampir tidak
bisa diusir atau dilenyapkan di dalam puisi: Aku ini binatang jalang
(puisi Aku), kalau ku mati, dia mati iseng sendiri (puisi Aku
Mutlu Konuk Blasing, Lyric Poetry: The Pain and The Pleasure of Words
(Princeton: Princeton University Press, 2007), 30.

25

38

Kalam 26 / 2014

Berkisar Antara Mereka), bahkan aku yang siap binasa-membinasa


dengan Tuhan hingga Satu menista lain gila (puisi Di Mesjid).
Puisi Goenawan Mohamad tetap mempekerjakan aku di
dalamnya. Bukan hanya sebagai pengujar, tetapi juga tokoh di dalam
puisi. Sebutlah puisi Pariksit, Gatoloco dan Penangkapan Sukra.
Tetapi kita akan segera tahu bahwa aku yang dominan dan heroik ini
hanya dipakai penyair untuk menampilkan pikiran-pikiran subversif
atau segala sesuatu yang berlawanan dengan kewarasan umum. Pada
mulanya ia adalah sosok yang melawan tetapi di akhir kisah segala
perlawanan itu akan berakhir dengan kekalahan dan kematian. Pariksit
yang mencoba melawan kutukan Crenggi dengan cara membangun
menara tertinggi akhirnya mati juga. Gatoloco yang semula pendebat
ulung Tuhan akhirnya kalah juga, menangis ditinggalkan Tuhan.
Atau Sukra yang sejak awal kita tahu telah dibekuk akhirnya dihukum
dengan sangat keji.
Dengan kata lain, tak ada heroisme. Kalaupun Geonawan
Mohamad memasang seorang hero, itu dilakukannya dengan
semangat yang antihero, sebagaimana terselenggara dengan baik
sosok Don Quixote, majenun yang mabuk cinta dan dibekuk polisi.
Dengan kata lain pula, puisi-puisi Goenawan tidak cocok untuk
aku yang pongah dan sok pahlawan, sebagaimana Chairil pernah
mencobanya. Yang lebih cocok adalah aku yang rendah hati, aku
yang memberi tempat kepada kau, aku yang membutuhkan lawan
bicara dan menghidupkan kau di sampingnya, dengan hak suaranya
sendiri. Aku yang bisa kalah oleh pelbagai keadaan, dari cinta hingga
kematian. Itulah Orfeus, perempuan yang dirajam karena berzinah
atas nama cinta, pemburu babi hutan, si bapak penunggang kuda,
Frida Kahlo, si ibu dari Zagreb, Rama, Tiar, pengamen.
39

Kalam 26 / 2014

Tidak jarang pula Goenawan Mohamad mempekerjakan aku


dengan dengan kerendahatian sudut pandang orang ketiga. Aku absen
dari larik dan bait, tetapi ia membiarkan ujarannya menghampar
sebagai bagian dari penggambaran perasaan dan pikirannya, atau
ia memasang tokoh lain, subyek yang sama sekali tidak berkaitan
dengan dirinyakecuali dengan penyairdan itulah Don Quixote,
tokoh sentral proto-roman Don Quixote karya Cervantes.
Goenawan Mohamad telah mengambil Don Quixote dari
khazanah kisah yang jauh, dan mendudukkannya pada khazanah
sastranya hari ini, sebagaimana Gandari. Ia pengarang kesekian yang
menafsir Don Quixote sebagai salah satu tokoh sastra dunia.26 Ia
mengerjakannya dengan prinsip menuliskan kembali sehingga ia
bisa mencipta kembali sosok majenun itu dengan semacam perlintasan
pengetahuan yang relevan. Di dalamnya bukan hanya kita temukan
lanskap semenanjung Iberia, tetapi juga penaklukan pasukan Muslim
di Andalusia, hingga situasi interteks dengan kehidupan politik di
Peru, lewat kehadiran tokoh (Vladimiros) Montesinos. Goenawan
memang tidak menghapus humor, tapi mendesakkan terus-menerus
melankoli ke dalamnya. Don Quixote, seorang hidalgo, dengan
abdinya yang setia, Sancho Panza, telah menjelma pencinta yang keras
kepala sekaligus dungu. Dalam puisi Aku Akan Tugur (2007) kita
bisa tahu bagaimana ia dengan tabah menjaga Dulcinea del Toboso,
kekasihnya, yang entah di mana:

Meski bermula dari Spanyol dan Cervantes diakui sebagi penulisnya, Don
Quixote telah ditulis berulang-ulang dari waktu ke waktu, di pelbagai tempat,
dalam pelbagai bentuk, oleh banyak pengarang. Salah satu buku yang menelaah
internasionalitas Don Quixote adalah: Theo Dhaen and Reindert Dhondt, ed.,
International Don Quixote (New York: Rodopi, 2009).

26

40

Kalam 26 / 2014

Aku Akan Tugur


Aku akan tugur sepanjang malam
di puri tua itu, Dulcinea.
Menjaga mimpimu,
meski kau tak pernah ada.
Jalan putih, bulan putih,
fajar jauh, aku sendiri
seperti tonggak
sebelum gempa.
Kutulis sajak yang lelah,
mungkin
di pelana dingin
seperti somnabulis terakhir
yang menempuh pasir, sepanjang malam
dari tingkap itu, Dulcinea,
dengan kasut sedih
kata-kata

Itu tentu saja sebuah wujud kegilaan. Dan kegilaan Don


Quixote bukan hanya karena ia mencinati seorang Dulcinea secara
berlebihan, tetapi ia tidak bisa lagi membedakan khayalan dari
kenyataan, baginya fiksi adalah fakta itu sendiri atau sebaliknya.
Bagaimana ia terusik oleh permainan teater boneka dan ingin
masuk ke dalam dunia khayal itu (puisi Di Teater Boneka, 20072008) menunjukkan betapa dunia fiksi di balik layar itu adalah juga
dunia sehari-hari yang bisa ia masuki. Tetapi, tampaknya, kegilaan
seperti itu memang bukan semata-mata apa yang dikehendaki oleh
pengarang, tapi hal yang sejatinya diinginkan oleh Don Quixote.
Kegilaan bisa melenyapkan kejemuan hidup, bisa melahirkan kembali
41

Kalam 26 / 2014

manusia dalam dunianya yang baru, dan itu semua karena tenung,
hidup adalah tenung itu sendiri. Seperti terlukis dalam senandika
dalam dua bait pertama puisi Justru (2007):
Justru
Justru karena tenung, telah
diselamatkan kita dari jemu zaitun
dan warna tua pohon-pohon encina.
Memang masih ada sore yang hanya
itu dan dusun yang tak berubah.
Tapi ternyata hari bisa berkelindan
dengan mimpi, dan kau dan aku
lahir kembali, tercengang dalam
cinta yang fiktif, percaya pada harap
yang tak bersungguh-sungguh.
Justru karena tenung, aku tak akan
membebaskanmu.

Dalam bait terakhir puisi Rocinante (2007) Don Quixote


sebenarnya telah menyadari kegilaannya, tetapi ia ingin tetap
bertahan dengan keperkasaannya sebagai seorang pendekar tua.
Hanya jika ia mati, ia ingin kudanya tercinta itu membawanya keluar
dari kegilaannya selama ini:
Maka jika esok aku mati,
dengan kaki tetap di sanggurdi,
bawa aku ke laut, Rocinante,
dari kegilaan ini.

42

Kalam 26 / 2014

Dengan strategi naratif yang Borgesian, Goenawan Mohamad


juga mempermainkan hubungan antara pengarang dan tokohnya,
antara penyair dan subyek liriknya, Khalik dan makhluknya.
Hubungan ini bisa dibolak-balik, sudut pandang bisa dimainkan.
Karena itu dalam sudut pandang Don Quixote, sebuah momen
penceritaan kisah dirinya adalah bentangan hidup yang punya awal
dan akhir. Ia seperti menunggu kapan sang sahibul hikayat, Sayid
Hamid Benangeli, akan menamatkan kisahnya. Ia pasrah, tak akan
melawan seperti yang sudah-sudah. Bait terakhir puisi 30 Menit
Sebelum Sayid Hamid (2007):
Don Quixote mengerti. Pada saat itulah Sayid Hamid
Benengeli mulai membuat tanda terakhir dengan
dawat di kertasnya, seperti sebuah titik, seperti
melankoli. Meskipun yang ingin ditulisnya sederet
epilog yang berbahagia: Dan Don Quixote pun
melihat, pahlawan terakhir itu telah direnggutkan
jantungnya.
Ya, di jurang gua.

Dari bentuknya, puisi-puisi dalam Don Quixote adalah


perpanjangan dari puisi-puisi Goenawan Mohamad selama ini.
Permainan metaforanya, citraannya, bunyinya, pun suasana yang
dibangun di dalamnya adalah pengulangan dan perluasan dari apa
yang telah diupayakan Goenawan sebelumnya. Secara bentuk ia tidak
terlampau mengejutkan, tetapi sebagai sebuah proyek penulisan
kembali kita menemukan Don Quixote yang terbikin oleh Goenawan
Mohamad ini sebagai sesuatu yang penting bagi sastra Indonesia. Meski
banyak di antara kita sudah membaca novelnya, dalam bentuknya
43

Kalam 26 / 2014

sebagai puisi ia tetaplah sesuatu yang lain. Dalam himpunan puisi


ini kita menemukan tegangan yang terus-menerus antara puisi yang
cenderung memadatkan dan prosa yang menguraikan.
Dan yang juga penting dalam proyek ini adalah penyadaran
bahwa sebuah khazanah sastra, sekali lagi, teramat luasnya, ia tidak
tunduk pada nasionalisme, apalagi pada semangat yang keras kepala
untuk menggali estetika dari bumi sendiri. Penulisan kembali Don
Quixote, dan tokoh-tokoh lain yang ditemukan Goenawan Mohamad
dari khazanah luar, memperluas kecenderungan pelancongan dalam
puisi Indonesia sebelumnya, di samping watak puisi Goenawan yang
cenderung transnasional.27 Tanpa pernyataan kami adalah ahli waris
yang sah dari kebudayaan dunia Goenawan telah membuktikan
pencarian dan perluasan puisinya hingga kepada kemungkinan yang
tak terbatas. Puisi-puisinya tidaklah bertanah air Indonesia semata,
tetapi tanah air yang seluas dunia. Sebuah kecenderungan yang
pernah ia nyatakan dalam sebuah esai angkuh yang ia tulis buat
pertama kali: Tanah air atau bumi kelahirannya pada hakikatnya
sebuah daerah yang bersifat terbuka, melepaskan diri dari segala
batasan ajaran (Kesusastraaan dan Kekuasaan, 68).

Tentang puitika transnasional puisi-puisi penyair Inggris dan Amerika


Utara, baca Jahan Ramazani, A Transnational Poetics (Chicago dan London: The
University of Chicago Press, 2009).

27

44

Anda mungkin juga menyukai