Kalam 26 / 2014
Kalam 26 / 2014
pemikir kebudayaan yang aktif di masa itu, menyebut kriris sastra itu
sebagai akibat dari krisis kepemimpinan politik.4
Memang, saat itu telah muncul satu generasi sastrawan baru
yang cukup menonjolseperti Kirjomulyo, Ajip Rosidi, Rendra,
Ramadhan K.H., Nugroho Notosusanto, Subagio Sastrowardoyo
tetapi dengan kualitas dan orientasi budaya yang berbeda dari
Angkatan 45. Setidaknya, mereka tidak lagi sibuk dengan proyek
meraih pengakuan sebagai ahli waris kebudayaan dunia
sebagaimana dinyatakan dalam Surat Kepercayaan Gelanggang.5
Mereka lebih tergolong ke dalam generasi pengarang yang menjadi
Indonesia, sebuah situasi kebudayaan yang berlangsung sepanjang
1950-1965.6 Malah, Nugroho Notosusanto, dalam esainya Situasi
1954, bagian 4, esai yang ditulisnya untuk Ramadhan K.H. dan dimuat
di majalah Kompas, mencirikan generasi sastrawan baru ini sebagai
generasi yang orientasinya kepada sastra dunia tidak seluas mereka
Soedjatmoko, Mengapa Konfrontasi dalam majalah Konfrontasi, edisi I/1954.
Baca juga uraian Ajip Rosidi tentang krisis ini dalam Ajip Rosidi, Ikhtisar Sejarah
Sastra Indonesia (Jakarta: Binacipta, cetakan ketiga, 1992), 135-140.
5 Esai karangan Asrul Sani yang bertitimangsa Jakarta, 18 Februari 1950 ini
kerap disebut sebagai pandangan umum Angkatan 45. Esai ini muncul pertama
kali dalam lembar seni dan sastra Gelanggang di majalah Siasat edisi 22
Oktober 1950. Sebelumnya, pernah pula dibacakan dalam sebuah pertemuan
budayawan dan intelektual di paviliun Hotel Indes, Jakarta, pada Juni 1950.
Informasi terakhir ini saya peroleh dari skripsi Alex Supartono, LEKRA vs
MANIKEBU: Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950-1965 (Jakarta: STF
Driyarkara, 2000).
6
Dalam pengantar untuk bunga rampai yang disuntingnya bersama Maya H.T.
Liem, Jennifer Lindsay menulis: Menjadi Indoneisa pada tahun 1950 adalah
menjadi modern. Ada rasa girang terhadap kebaruan menjadi terlahir sebagai
bangsa dan warga baru, dan kata-kata baru, lahir dan modern merembes pada
tuisan periode tersebut. Baca, Jennifer Lindsay dan Maya H.T. Liem, ed., Ahli
Waris Budaya Dunia: Menjadi Indonesia 1950-1965 (Denpasar: Pustaka Larasan,
Jakarta: KITLV, 2011), 18.
4
Kalam 26 / 2014
Kalam 26 / 2014
Kalam 26 / 2014
Ramadhan K.H., Priangan Si Jelita: Kumpulan Sajak 1956 (1958). Buku ini
mendapat Hadiah Pertama BMKN (1957-1958).
13
Uraian ringkas tentang kemunculan generasi mereka baca A. Teeuw, Modern
Indonesian Literature II (The Hague: Martinus Nijhoff, 1979), 1-11.
12
Kalam 26 / 2014
14
Kalam 26 / 2014
Di sini
kemarau pun menghembus bumi
menghembus pasir, dingin dan malam hari
ketika kedamaian pun datang memanggil
ketika angin terputus-putus di hatimu menggigil
dan sebuah kata merekah
diucapkan ke ruang yang jauh:Datanglah!
Ada sepasang bukit, meruncing merah
dari tanah padang-padang yang tengadah
tanah padang-padang tekukur
di mana tangan-hatimu terulur. Pula
ada menggasing kincir yang sunyi
ketika senja mengerdip, dan di ujung benua
mencecah pelangi:
Tidakkah siapa pun lahir kembali di detik begini
ketika bangkit bumi,
sajak bisu abadi,
dalam kristal kata
dalam pesona?
Kalam 26 / 2014
adalah bukti adanya ide yang mencuat dalam sajak suasana ini. Kata
itu memanggil seseorang atau sesuatu datang ke tengah panorama
ini, menjadi semacam disonansi citraan. Ia sebenarnya memanggil
suara penyair yang di bait berikutnya akan tampak jelas maunya.
Pola ini kemudian diulang pada bait kedua, di mana permainan
rima akhir tampak lebih beragam. Dua larik pertama di bait ini,
yang masih memainkan rima akhir ah (merah, tengadah) menjadi
semacam pengembangan dari rima akhir pada dua larik terakhir bait
pertama tadi. Dua larik ini akan bersilangan bunyi akhirnya dengan
dua larik berikutnya (tekukur, terulur). Tetapi enjabemen pada larik
keempat (. . .terulur. Pula/ada menggasing. . .) membuat tegangan
beralih dari bunyi dan makna menjadi sintaksis dan semantik.
Secara sintaksis larik keempat tampak gerumpung, tetapi secara
semantik ia berhubungan dengan larik berikutnya. Setelah itu, di
larik-larik berikutnya, yang muncul adalah dominasi rima akhir i,
sebagaimana pada bait pertama, dengan seruan yang sepola dengan
dua baris terakhirnya. Bandingkan dan sebuah kata merekah/diucapkan
ke ruang yang jauh:Datanglah! pada bait pertama dengan dalam kristal
kata/dalam pesona pada bait terakhir. Keduanya tampak sejajar bukan
hanya dalam bunyi, tetapi juga dalam makna.
Jika optimisme di bait pertama baru sekadar harapan, maka
pada bait kedua ia tampil dengan pemerian yang lebih lengkap.
Manusia akan terpesona, akan hidup kembali perasaannya, begitu
menyaksikan bumi yang bangkit dengan pelbagai pesonanya,
sebagaimana telah diungkapkan di bait pertama. Sementara puisi yang
mengungkapkan semua pesona itu, hanya sebatas mengungkapkan,
seakan bisu abadi. Di sinilah kembali dimainkan tegangan yang telah
menjadi permanen dalam puisi. Sajak akan bisu di hadapan pesona
9
Kalam 26 / 2014
bumi, tetapi penyair menampilkan kebisuan itu lewat sederetan katakata. Kebisuan yang mesti dikatakan adalah paradoks yang tak ada
habisnya dalam puisi. Maka kini, kata-kata itulah yang berpijar dan
menampilkan pesona. Kata-kata yang berhasil menghidupkan puisi,
baik yang menampilkan suasana maupun ide, akan tetap memesona
siapa pun yang membacanya.
Dari nadanya yang optimistis, bisa dipastikan puisi ini
setidaknya berilhamkan puisi Derai-Derai Cemara (1949) karya
Chairil Anwar. Puisi yang ditulis di masa akhir hidup sang penyair itu
memperlihatkan suasana murung menjelang malam tiba, semacam
isyarat kepasrahan akan maut maut yang siap menjemput. Orang
mengingat kematian, atau merasa kematian akan menjemputnya,
begitu melihat tanda-tanda alam seperti ini: cemara menderai, hari
malam, dahan merapuh, angin memukul. Sementara dalam sajak
Goenawan Mohamad suasana itu justru menimbulkan harapan
baru. Goenawan di sini bukan hanya menggunakan kembali motif
cemara menderai yang kini menjadi cemara gugur daun, tapi juga
menambahkan pemerian dengan ombak-ombak hancur terbantun
dan kemarau menghembus bumi, angin terputus-putus. Frasafrasa ini punya konotasi yang kurang lebih sama: kehancuran
dan situasi yang menyakitkan. Tapi ia tidak terperosok kepada
jebakan Chairil yang siap menantang maut. Ia justru merindukan
manusia lahir dalam situasi seperti ini, tanda kehidupan akan terus
berlangsung. Optimisme ini tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata,
karenanya melihat situasi ini sajak bisu abadi.
*
10
Kalam 26 / 2014
Kalam 26 / 2014
Kalam 26 / 2014
13
Kalam 26 / 2014
14
Kalam 26 / 2014
Kalam 26 / 2014
Kalam 26 / 2014
Kalam 26 / 2014
17
18
Kalam 26 / 2014
puisi ini bergerak dari beranda ini ke langit terlepas, dari sepi
yang terasa sempit kepada yang sepi yang mahaluas tetapi mendesak,
sebelum akhirnya ia kembali ke ruang dengan yang kesepian yang
lain lagi, ruang yang menunggu malam hari. Itulah ruang yang
mengalami personifikasi dan telah mengambil alih tugas si kita dalam
menunggu malam, momen perpisahan.
Frasa langit terlepas itu sendiri adalah kasus menarik dalam
puisi ini. Ia menawarkan sejumlah kemungkinan pemaknaan karena
strukturnya yang gerumpung. Apakah ia berarti langit yang terlepas
dari gantungan dan jatuh menimpa kita? Seperti langit-langit kamar?
Atau ia langit yang terlepas seperti burung yang kian meluaskan
dirinya. Atau ia langit yang terlepas dari tatapan kita? Atau ia memang
citraan yang secara sengaja diselipkan dalam kesejajaran antara
beranda dan ruang, yang keduanya adalah bagian dari rumah.
Kecuali langit-langit, langit tentu saja bukan bagian dari bangunan
sebuah rumah. Tetapi, dengan begitu, langit terlepas menimbulkan
kontras pada kalimat berikutnya: ruang menunggu malam hari.
Yang satu terkesan teramat luasnya dan tidak bisa dijangkau, yang
lain terukur dan gampang dijelajahi. Dengan begitu pula, frasa
langit terlepas memperkuat unsur disonansi dalam puisi ini. Tapi
dalam puisi puisi Goenawan Mohamad, disonansi bukan sekadar
disharmoni bunyi, bunyi lain yang menyeleweng dari tertib irama,
tetapi juga disharmoni citraan yang muncul sebagai efek montase
tadi. Sebab puisi, sebagaimana musik, pada akhirnya bukan sematamata keindahan belaka, tetapi organisasi citraan. Sebagaimana
dikatakan Northrop Frye, music is concerned not with the beauty but
with the organization of sound.18
Alex Premiger dan T.V.F. Brogan, The New Princeton Encyclopedia of Poetry and
18
19
Kalam 26 / 2014
Kalam 26 / 2014
2010).19 Di sini, detik adalah metonimi dari jarum jam, dari waktu
secara keseluruhan, yang mengalami personifikasi dan sejajar dengan
kereta. Keduanya kini ditempatkan sebagai yang visual dan aural
sekaligus. Visual jika dalam jarak pandang tertentu kita masih bisa
melihat kereta (dan detik) yang meninggalkan stasiun. Aural jika kita
mendengar deru atau pluit kereta, juga detak detik, yang melaju di
luar jarak pandang kita.
Akan tetapi, gerak detik mengacu kepada waktu, dari awal
ke akhir, sementara gerak kereta merujuk kepada tempat atau ruang,
dari sini ke sana, atau sebaliknya. Inilah penyejajaran yang akhirnya
mengguncangkan nalar semantik kita. Sang penyair mungkin tidak
membayangkan betapa berisikonya jukstaposisi dua matra yang
berbeda ini, terutama jika kita memikirkan ke mana tujuan atau akhir
keberangkatan detik dan kereta itu. Mungkin ia sedang mengejar efek
surrealisme, suasana yang juga bisa kita temukan dalam pantun.20 Tetapi
Mengorek logika metafora seperti ini memang bisa tampak sebagai pertanyaan
orang awam yang letih. Kita bisa tidak ambil peduli atau menerima saja
permainan metafora itu seperti apa adanya, toh pada akhirnya kita akan paham
sesuai kadar kepahaman kita. Dalam sebuah puisinya Di Depan Sancho
Panza (Don Quixote, 62) Goenawan melukiskan sikap tidak ambil peduli atau
ketidakmengertian seseorang pada permainan metafora yang ajaib, seperti ini:
Di sepan Sancho Panza yang lelah, / seorang perempuan bercerita / tentang sajak /
yang disisipkan ke dalam hujan /yang tak tidur. // Tentu saja Sancho tak mengerti /
bagaimana sajak disisipkan / ke dalam hujan, tapi ia mengerti / cinta yang sungguh.
Dipegangnya tangan / perempuan itu dan berkata, Jangan cemas.
20
Dalam permainan petak umpet anak-anak di Betawi ada pantun seperti ini:
Tengkeroeng ketimun bonteng / Kuda lari di atas genteng / Capcipcup bondol ijo /
Kaki Kuncup berak melinjo. Kita bisa membayangkan betapa ajaibnya kuda yang
berlari di atas genteng atau kakek yang berak melinjo, tetapi suasana surreal itu
tercipta tanpa menimbulkan tanda tanya. Salah satu sebabnya, karena kita telah
dibikin nyaman oleh permainan rima akhir pada pantun itu, oleh rangsangan
petualangan dalam permainan kanak-kanak itu. Kesejajaran bunyi dan
rangsangan rasa menjadi lebih penting ketimbang kesejajaran semantik.
19
21
Kalam 26 / 2014
yang juga masuk akal adalah bahwa sang penyair ingin mencapai akibat
keberangkatan itu: suasana ketergesa-gesaan dan sepi pada segala yang
ditinggalkan. Hari bertambah malam, yang berangkat kiat menjauh,
yang ditinggalkan kian sendirian, kesepian kian terasa di rumah itu.
Lebih jauh dari itu, larik kesatu bait kedua menunjukkan
kondisi intertekstualitas. Bisa jadi Rubayyat yang dimaksud mengacu
kepada rubayyat apa pun yang pernah ada di dunia ini. Tetapi jika
rubayyat dalam larik ini mengacu kepada Rubayyat karya Omar
Khayyam, pujangga Persia Klasik itu, jelaslah bagaimana pertautan
keduanya. Dalam Rubayyat Omar Khayyam hasil terjemahan dan
suntingan Edward FitzGerald, terutama kuplet kedua dan ketiga,
terlukis begini:
Dreaming when Dawns Left Hand was in the Sky
I heard a Voice within the Tavern cry,
Awake, my Little ones, and fill the Cup
Before Lifes Liquor in its Cup be dry.
And, as the Cock crew, those who stood before
The Tavern shoutedOpen then the Door!
You know how little while we have to stay,
And, once departed, may return no more. 21
Dalam dua contoh ini momen boleh berbeda: subuh pada Omar
Khayyam, senja pada Goenawan Mohamad. Tetapi suasananya lebihkurang sama: perintah untuk pergi secepatnya. Yang pertama, dengan
prinsip Carpe Diem, mendesak agar seseorang keluar dari rumah
untuk menyongsong pagi, memberi makna pada yang sebentar (motif
Edward FitzGerald, Rubaiyat Omar of Khayyam (New York: Oxford University
Press, 2009), 17.
21
22
Kalam 26 / 2014
23
Kalam 26 / 2014
Bagi saya, soal utama puisi ini adalah permainan citraan yang
sudah sampai taraf gila-gilaan dan tergelincir pada kegelapanjika
bukan melejitkan humor dan parodi. Bayangkan jika gerimis yang telah
menjadi logam itu jatuh di atap seng akan riuh sekali suaranya, atau siapa
saja yang berjalan di bawahnya, pasti akan benjol-benjol atau terluka
kepalanya. Tetapi permainan citraan yang gila-gilaan ini terkesan
disengaja karena ada frasa yang mendahuluinya kata orang. Frasa ini
24
Kalam 26 / 2014
Kalam 26 / 2014
Kalam 26 / 2014
Kalam 26 / 2014
22
28
Kalam 26 / 2014
Udara bertuba
Rontok-gugur segala. Setak bertempik
Ini sepi terus ada. Menanti. Menanti.
Maret 1943
Kalam 26 / 2014
Kalam 26 / 2014
23
31
Kalam 26 / 2014
itu selalu ada garis lurus antara keheningan alam dengan keheningan
dalam batin penyair, kekosongan. Tema yang juga penting dalam Zen.
Menunda manusia untuk menginterupsi alam, itulah
tantangan utama puisi suasana.
Sehubungan dengan itu, puisi Pastoral (2002) berhasil dengan
wataknya yang ganda: puisi suasana sekaligus puisi ide. Sebagai puisi
suasana ia menyadap tenaga haiku dengan amat baiknya karena dua
hal. Pertama, larik-lariknya, bahkan bait, ditata sedemikian baik,
sehingga kepadatan dan keringkasan terselenggara di sana. Kedua,
subyek liriknya sendiri berhasrat mengosongkan diri dari puisi untuk
membiarkan alam berbicara sebagai semacam perlambang untuk
dirinya. Sebagai puisi ide ia menyajikan pernyataan subyek lirik yang
tidak terperangkap pada abstraksi. Ia tidak diskursif tetapi metaforis.
Saya kutipkan enam bagian pertama:
Pastoral
I
15 meter dari jalan ke Batuan, ada pematang pada tebing, dan
seseorang hingar menggusah burung,
seseorang turun ke kali dan menyanyi,
seseorang mencicipi alir,
mengikuti bunyi
kercap dingin
liang hutan,
arus yang menyisir batu
batu yang, seperti pundak kerbau, menahanmu
Pada pukul 7:15, jernih sungai menelanjangimu
32
Kalam 26 / 2014
II
Terkadang aku ingin
Kita hilang seperti kadal
di ilalang
seperti kilau
III
Mungkin sudah tiba saatnya
kita membiarkan kata
terpesona pada luas lumut
atau pada jeram
dan parit
yang menciut
Mungkin sudah saatnya
kita terpesona
IV
Sementara di selatan
jerami telah dihimpun,
dan orang hingar
menggusah burung,
Hai! Hai! Hai!
sebaris bangau
membubuhkan putihnya
pada padi
V
Katakan, kenapa di tubuhmu yang sempurna
sungai seperti tak menyentuh
apa-apa?
33
Kalam 26 / 2014
VI
Misalkan terkait
teratai
pada air
misalkan terkait
air
pada hijau
misalkan terkait
kekal
pada daun
aku akan tetap takut
sengak maut
pada petang yang rembang
seperti dosa
Kalam 26 / 2014
Kalam 26 / 2014
IX
Yang sementara
tak akan menahan
bintang hilang
di bimasakti
Yang bergetar
akan terhapus
Yang bercinta
akan berhenti
Tapi aku teringat sebuah sajak
yang meminta:
Sandarkan sirahmu, kekasihku,
ke lenganku
yang tak percaya
24
36
Kalam 26 / 2014
Kalam 26 / 2014
25
38
Kalam 26 / 2014
Kalam 26 / 2014
Meski bermula dari Spanyol dan Cervantes diakui sebagi penulisnya, Don
Quixote telah ditulis berulang-ulang dari waktu ke waktu, di pelbagai tempat,
dalam pelbagai bentuk, oleh banyak pengarang. Salah satu buku yang menelaah
internasionalitas Don Quixote adalah: Theo Dhaen and Reindert Dhondt, ed.,
International Don Quixote (New York: Rodopi, 2009).
26
40
Kalam 26 / 2014
Kalam 26 / 2014
manusia dalam dunianya yang baru, dan itu semua karena tenung,
hidup adalah tenung itu sendiri. Seperti terlukis dalam senandika
dalam dua bait pertama puisi Justru (2007):
Justru
Justru karena tenung, telah
diselamatkan kita dari jemu zaitun
dan warna tua pohon-pohon encina.
Memang masih ada sore yang hanya
itu dan dusun yang tak berubah.
Tapi ternyata hari bisa berkelindan
dengan mimpi, dan kau dan aku
lahir kembali, tercengang dalam
cinta yang fiktif, percaya pada harap
yang tak bersungguh-sungguh.
Justru karena tenung, aku tak akan
membebaskanmu.
42
Kalam 26 / 2014
Kalam 26 / 2014
27
44