Anda di halaman 1dari 31

REPRESENTASI PIKTORIAL DALAM FILSAFAT SENI SUSANNE KATHERINA LANGER (1895-1985) :

SUMBANGANNYA BAGI
INTERPRETASI PENGGAMBARAN WAYANG PURWA GAYA YOGYAKARTA
SUDARYANTO 1
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Penelitian

1. Permasalahan

Gambar dalam bahasa Inggris disebut picture adalah istilah umum yang

mencakup berbagai bentuk, seperti: lukisan (painting), gambar (drawing), etsa

(etching), grafis (printing), fotografi, dan sebagainya. Semua gambar yang diberi

nama berbeda-beda itu semuanya berbentuk dua dimensi, perbedaannya terletak

pada teknik yang mendasari berbagai bentuk gambar tersebut. Judul penelitian

disertasi ini mempergunakan istilah piktorial karena mengacu pada istilah picture,

dan tidak mempergunakan istilah gambar atau representasi gambar karena dapat

disalahfahami sebagai drawing yang hanya merupakan salah satu bentuk gambar.

Gambar (picture) telah dibuat manusia sejak zaman purba. Para peneliti

antropologi menemukan gambar-gambar pada dinding-dinding gua diberbagai

tempat seperti Perancis selatan, Spanyol atau Maroko yang diperkirakan telah ada

sejak 60.000-10.000 tahun yang lampau. Peninggalan itu berupa goresan-goresan,

lukisan dan bekas telapak tangan yang bagi manusia moderen masih mengesankan

(Hartoko, 1988: 21). Gambar-gambar yang sangat terkenal seperti gambar rusa

kutub (reindeer) terdapat di dalam gua Font-de-Gaume, Dordogne, Perancis ;

gambar bison berbaring (recumbent bison) dan sketsa berbagai binatang yang

ditemukan di gua Altamira, Santander di Spanyol. Berbagai gambar tersebut

cukup mengesankan karena visi, kepekaan bentuk, teknik penggambaran dan

pewarnaan sebagaimana karya seniman.


REPRESENTASI PIKTORIAL DALAM FILSAFAT SENI SUSANNE KATHERINA LANGER (1895-1985) :
SUMBANGANNYA BAGI
INTERPRETASI PENGGAMBARAN WAYANG PURWA GAYA YOGYAKARTA
SUDARYANTO 2
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Gambar-gambar peninggalan zaman purba tersebut terbukti telah menjadi

sumber informasi yang berharga bagi para peneliti antropologi untuk menyingkap

sejarah kehidupan manusia pada masa lampau. Para antropolog dapat memperoleh

berbagai informasi tentang cara hidup, kebiasaan-kebiasaan, kepercayaan yang

ada pada zaman tertentu dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa gambar

memiliki arti penting bagi kehidupan manusia sebagai sumber informasi

disamping sumber-sumber artefak yang lain.

Manusia pada masa lampau mempergunakan gambar untuk

menyampaikan pesan. Candi-candi terdapat relief-relief atau gambar-gambar yang

tidak sekedar untuk hiasan atau untuk memperindah. Gambar-gambar itu dapat

merupakan simbol-simbol atau bahkan berisi cerita yang mengandung pesan

bahkan ajaran. Para seniman sering menggunakan istilah bahasa visual atau

bahasa rupa untuk menyebut karya seni visual termasuk di dalamnya berupa

gambar. Sebutan semacam itu bukan merupakan sesuatu yang asing, bahkan

Horatius pernah mengatakan bahwa “ut pictura poesis” (puisi bagaikan lukisan),

dan kata-kata mutiara Simonides “lukisan ialah puisi diam dan puisi adalah

lukisan yang bertutur kata” (Cassirer, 1987: 210). Pernyataan itu menunjukkan

bahwa kata-kata dapat menggambarkan sesuatu dan gambar dapat menyampaikan

pesan sebagai bahasa.

Kendall L. Walton (1991: 102) menyatakan bahwa salah satu cara untuk

merepresentasikan sesuatu adalah dengan membuat gambar. Cara yang lain adalah

mendeskripsikannya dengan kata-kata. Kata-kata dapat memberikan gambaran

yang sama dalam merepresentasikan tentang sesuatu yang kasat mata. Gambar
REPRESENTASI PIKTORIAL DALAM FILSAFAT SENI SUSANNE KATHERINA LANGER (1895-1985) :
SUMBANGANNYA BAGI
INTERPRETASI PENGGAMBARAN WAYANG PURWA GAYA YOGYAKARTA
SUDARYANTO 3
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

adalah representasi visual dan kata-kata merupakan representasi verbal. Sering

dikatakan bahwa representasi piktorial adalah “natural” mengingat representasi

verbal hanya konvensi. Sesuatu yang wajar jika suatu gambar seekor anjing

nampak seperti seekor anjing, sedangkan kata “dog” bermakna anjing hanya

karena kaidah atau kesepakatan atau konvensi dalam bahasa Inggris. Orang tidak

perlu belajar untuk mengetahui bahwa sebuah gambar itu merepresentasikan

seekor anjing atau nampak sebagai gambar anjing ; akan tetapi untuk mengetahui

bahwa kata “dog” itu berarti anjing harus belajar bahasa Inggris.

Isitilah representasi dalam filsafat seni memiliki makna yang khusus.

Gordon Graham (1997: 89) menyatakan bahwa istilah mimesis dalam bahasa

Yunani diterjemahkan dan dipergunakan dalam berbagai variasi oleh para filsuf

seni, yaitu : resemblance (kemiripan), copy (salinan), dan juga representation

(representasi). Pernyataan bahwa gambar seekor anjing nampak seperti anjing,

menimbulkan pertanyaan tentang apa yang dimaksud dengan istilah “nampak

seperti” dalam pernyataan tersebut. Pernyataan “nampak seperti seekor anjing”

dapat diartikan sebagai “mirip seekor anjing”, dapat pula diartikan sebagai

“mempresentasikan seekor anjing”, dan bahkan dapat diartikan sebagai

“mengingatkan akan bentuk seekor anjing”. Problem semacam itu telah menarik

perhatian para filsuf analitika bahasa.

Gambar sebagai bentuk representasi semakin diperlukan kehadirannya,

bahkan telah menjadi kebutuhan di antara kebutuhan yang lain di dalam

kehidupan modern. Representasi piktorial pada saat ini telah berkembang bukan

hanya dalam seni, bahkan representasi piktorial lebih banyak ditemukan dalam
REPRESENTASI PIKTORIAL DALAM FILSAFAT SENI SUSANNE KATHERINA LANGER (1895-1985) :
SUMBANGANNYA BAGI
INTERPRETASI PENGGAMBARAN WAYANG PURWA GAYA YOGYAKARTA
SUDARYANTO 4
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

bidang yang sama sekali tidak berpretensi sebagai karya seni. Representasi

piktorial diperlukan atau dibutuhkan dalam menjelaskan anatomi dalam berbagai

bidang kajian biologi, dalam iklan dan berita surat kabar, sebagai dokumentasi

bagi peristiwa-peristiwa yang dianggap perlu, dalam rancangan berbagai produk

termasuk arsitektur dan berbagai bidang yang lain yang tidak mungkin di

deskripsikan satu demi satu.

Representasi piktorial sebagai karya seni juga telah berkembang terus

menerus. Gambar naturalistik yang semula dianggap sebagai gambar yang paling

unggul dalam merepresentasikan sesuatu objek maupun peristiwa telah

mengalami pergeseran. Dengan munculnya alat fotografi yang mampu

menghasilkan tiruan realitas atau (mimesis) yang memiliki kemiripan yang cukup

akurat, menurut Bambang Sugiharto memengaruhi atau merangsang orang

berubah pikiran tentang arti melukis. Gaya naturalistik banyak ditinggalkan

berubah ke arah impresionistik. Perubahan ini juga dimungkinkan karena tradisi

naturalistik telah mencapai puncak kesetiaannya pada mimesis hingga jenuh

(Sugiharto, 2002: 34). Pergeseran dari gaya naturalistik tidak hanya seperti yang

dinyatakan Sugiarto yaitu berubah ke arah impresionistik, akan tetapi berbagai

gaya yang lain juga banyak bermunculan.

Munculnya berbagai corak atau gaya penggambaran dalam berbagai

bidang dan khususnya dalam bidang seni piktorial, telah memicu usaha untuk

merumuskan kembali arti mimesis. Mimesis yang semula diartikan sebagai meniru

dengan setia terhadap objek perlu mendapat koreksi. Koreksi makna mimesis

diperlukan karena berbagai gaya non-naturalistik yang masih memperlihatkan ciri


REPRESENTASI PIKTORIAL DALAM FILSAFAT SENI SUSANNE KATHERINA LANGER (1895-1985) :
SUMBANGANNYA BAGI
INTERPRETASI PENGGAMBARAN WAYANG PURWA GAYA YOGYAKARTA
SUDARYANTO 5
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

representasional telah mendapat apresiasi dalam dunia seni. Lukisan gaya

impresionistik, ekspresionistik, kubistik, surealistik, dan sebagainya tidak dapat

lagi dipandang lebih rendah dari lukisan naturalistik.

Plato adalah filsuf yang pertama kali dan terkenal dengan teori mimesis

tentang seni. Menurut Plato seni adalah tiruan realitas terindera. Secara kebetulan

Plato menunjukkan contoh dengan lukisan atau gambar. Menurutnya sebuah

gambar tempat tidur misalnya adalah tiruan dari tempat tidur yang dibuat oleh

tukang. Teori ini diikuti oleh Aristoteles dan pemikir setelahnya. Aristoteles

memperluas makna mimesis, baginya seni bukanlah deskripsi realitas, karena hal

itu merupakan tugas dari sejarawan, seniman menampilkan tiruan realitas yang

mungkin (Alperson, 1991: 63 dan Hartoko, 1988: 33). Nicolas P. Wolterstorff

memberikan catatan bahwa konsep umum tentang mimesis yang telah dipakai

oleh Plato dan Aristoteles biasanya lebih baik diterjemahkan dengan

“representasi” daripada “imitasi”, karena atas sifat dasar seni merepresentasikan

(to re-present) realitas (Wolterstorff, 1999: 572).

Teori mimesis tentang seni atau suatu teori yang menyatakan bahwa karya

seni adalah tiruan realitas yang dapat ditemukan di dalam pengalaman empiris,

bertahan hingga paruh pertama abad keenambelas. Prinsip mimesis yang sudah

bertahan berabad-abad lamanya harus menyisih dengan hadirnya konsep baru

bahwa seni bukan deskripsi atau reproduksi dunia empiris, melainkan luapan

emosi perasaan dikemukakan oleh Rousseau. Cassirer menyebut bahwa konsep

baru tersebut menandai pembelokan yang menentukan babak baru yaitu seni

karakteristik mengungguli seni imitatif (Cassirer, 1987: 212, 214).


REPRESENTASI PIKTORIAL DALAM FILSAFAT SENI SUSANNE KATHERINA LANGER (1895-1985) :
SUMBANGANNYA BAGI
INTERPRETASI PENGGAMBARAN WAYANG PURWA GAYA YOGYAKARTA
SUDARYANTO 6
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Langer menyatakan, bahwa terdapat perspektif saling berseberangan atau

paradoks bagi cara pandang terhadap karya seni. Cara pandang seniman berbeda

dengan pengamat (spectator), pendengar, pembaca; perspektif pertama hadir

sebagai ekspresi, dan perspektif lain sebagai impresi (Langer, 1953: 13).

Pandangan Langer ini dapat diinterpretasi bahwa dari sisi pengamat, karya seni

dapat mengesankan atau menimbulkan impresi suatu representasi dunia empiris.

George Dickie melihat filsafat seni Langer mengesankan perspektif karya seni

dari aspek pengamat. Dickie menyatakan bahwa seni karya berseri Langer yang

meliputi : Philosophy in a New Key, Feeling and Form, dan Problem of Art, jika

ditinjau lebih mendalam menampakkan bahwa Langer mengadaptasi teori imitasi

dengan mengakomodasi emosi dan perasaan. Berdasar pandangan tersebut, maka

Dickie menyebut teori Langer sebagai “A Twentieth Century Imitation Theory of

Art” (Dickie, 1997: 58). Pandangan Dickie tersebut menunjukkan bahwa filsafat

seni Langer mengembangkan teori imitasi atau sering pula disebut sebagai teori

representasi yang sudah ada sebelumnya, sehingga menurut peneliti menarik

untuk dilakukan pengkajian lebih mendalam.

Dari aspek yang lain, Langer sendiri menyatakan bahwa dalam

membangun filsafat seni memilih melakukan refleksi dari perspektif seniman

yang berkarya di studio, dan bukan menggali konsep-konsep tentang seni dari

galeri di mana seni yang sudah jadi disajikan. Langer terinspirasi dari para filsuf

yang membangun filsafat ilmu dari laboratorium dan bukan dari ilmu yang

dihasilkan (Langer, 1953: ix). Pernyataan Langer ini menunjukkan orientasi

subjektif Langer, karena memandang seni sebagai aktivitas seniman berkreasi dan
REPRESENTASI PIKTORIAL DALAM FILSAFAT SENI SUSANNE KATHERINA LANGER (1895-1985) :
SUMBANGANNYA BAGI
INTERPRETASI PENGGAMBARAN WAYANG PURWA GAYA YOGYAKARTA
SUDARYANTO 7
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

berekspresi. Pendekatan Langer yang berangkat dari seniman berkarya di studio

ini oleh Sudiarja disebut sebagai pendekatan baru dalam estetika (Sudiarja, 1982:

67).

Langer juga menyatakan bahwa tugas filsafat seni adalah mengurai

kekusutan dan mengorganisasi konsep-konsep, untuk memberikan makna yang

pasti dan memuaskan tentang berbagai subjek (pokok soal) dalam hal ini

berkaitan dengan seni. Adalah tidak mungkin berbicara tentang seni tanpa

mengadopsi berbagai ungkapan bahasa para seniman (Langer, 1953: vii, ix).

Pendekatan baru Langer selain berangkat dari proses seniman berkarya juga dari

pendekatan analitika bahasa yang dipergunakan untuk menyusun filsafat seninya.

Selain itu menurut Sudiarja, Langer mencoba merumuskan suatu teori seni dengan

pendekatan teori simbol atau merupakan studi lanjutan mengenai simbol

(Sudiarja, 1982: 67). Pendekatan baru Langer ini menarik perhatian peneliti untuk

mempelajarinya lebih lanjut.

Monroe Beardsley menyatakan bahwa semenjak Nelson Goodman

memublikasikan karangan bertajuk Language of Art pada tahun 1968, problem

representasi kembali mengemuka (Beardsley, 1981: xxxvii). Pendekatan semiotik

terhadap representasi piktorial dan berkonsentrasi pada makna representasi

khususnya representasi piktorial dimulai oleh Goodman dan Gombrich yang

menolak gagasan mimesis berdasar pada “transkripsi” alam dan berkonsentrasi

pada visi subjektif. Visi subjektif Goodman terdapat pada asumsi bahwa denotasi

sebagai inti dari representasi. Visi subjektif Gombrich didasarkan pada gagasan

bahwa orang melakukan pembelajaran untuk menginterpretasi efek visual tentang


REPRESENTASI PIKTORIAL DALAM FILSAFAT SENI SUSANNE KATHERINA LANGER (1895-1985) :
SUMBANGANNYA BAGI
INTERPRETASI PENGGAMBARAN WAYANG PURWA GAYA YOGYAKARTA
SUDARYANTO 8
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

isyarat alam ke dalam skema yang lebih luas (dalam keanekaan bentuk

penggambaran oleh berbagai kebudayaan maupun berbagai aliran). Goodman

maupun Gombrich tidak memahami representasi sebagai kemiripan namun

merupakan referensi visual (Alperson, 1993: 88-89).

Sementara itu, Bantinaki menyatakan bahwa kajian filosofis tentang

penggambaran (depiction) bertujuan untuk menjelaskan tentang perbedaan

representasi piktorial (dengan gambar) berbeda dengan representasi jenis lain.

Walaupun perenungan tentang sifat gambar memiliki sejarah panjang semenjak

zaman kuno, penggambaran (representasi piktorial) menjadi studi sistematis

semenjak pertengahan abad duapuluh. Para filsuf mendapatkan bahan teoritis dari

perkembangan filsafat bahasa, psikologi visual dan eksperimental, serta

antropologi (Bantinaki, 2009: 238).

Problem representasi piktorial mengemuka dan menjadi studi sistematis

dari para pemikir filsafat seni setelah fisafat seni Langer dibangun. Filsafat seni

Langer belum memfokuskan pembahasannya tentang seni secara khusus,

melainkan masih berfokus pada filsafat seni secara umum. Langer tidak

membicarakan representasi piktorial secara khusus, bahkan istilah “representasi

piktorial” sejauh pengamatan peneliti tidak pernah disebut di dalam karya-

karyanya. Namun demikian, peneliti menemukan banyak ungkapan teoritis

tentang penggambaran (depiction) atau seni piktorial yang tersebar di dalam

berbagai karya filosofisnya. Peneliti meyakini jika dilakukan eksplorasi dan

elaborasi atau ditangani secara seksama dapat ditemukan konstruksi pemikiran

representasi piktorial Langer secara utuh dan komprehensif. Dengan demikian


REPRESENTASI PIKTORIAL DALAM FILSAFAT SENI SUSANNE KATHERINA LANGER (1895-1985) :
SUMBANGANNYA BAGI
INTERPRETASI PENGGAMBARAN WAYANG PURWA GAYA YOGYAKARTA
SUDARYANTO 9
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

penelitian disertasi ini memiliki objek material gagasan representasi piktorial

dalam pemikiran Langer, sedangkan objek formalnya adalah filsafat seni.

Telah banyak dilakukan penelitian tentang wayang purwa, namun

kebanyakan memusatkan perhatian pada muatan nilai yang terkandung di dalam

cerita. Penelitian ini mencoba melakukan kajian dari sisi yang berbeda, yaitu dari

penggambarannya. Wayang purwa dari suatu sisi sering dianggap sebagai boneka

dari sisi bentuk fisik yang menunjukkan tiga dimensi yang tipis, sisi lain adalah

sebagai gambar dua dimensi. Peneliti memandang wayang kulit sebagai betuk

gambar karena dimensi ketiganya tidak secara nyata mendukung bentuk seni tiga

dimensi seperti halnya seni patung. Bentuk wayang dapat disamakan dengan

gambar tanpa latar belakang. Hasil penelitian tentang representasi piktorial

terutama yang terdapat dalam filsafat seni Langer dapat di manfaatkan untuk

membantu dalam melakukan interpretasi tentang penggambaran wayang kulit

gaya Yogyakarta. Gambar wayang bukanlah “transkripsi” dari alam atau dunia

terindera, melainkan bersumber dari dunia imajinasi manusia yaitu berdasar dari

visi subjektif dari penciptanya.

2. Perumusan masalah

Berdasarkan permasalahan yang telah dipaparkan maka dapatlah

dirumuskan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Apa konsep-konsep pokok, sifat dasar yang berlaku bagi setiap seni, serta

bagaimana proses seniman berkreasi dan berekspresi dalam menghasilkan

karya dalam filsafat seni Susanne K. Langer ?


REPRESENTASI PIKTORIAL DALAM FILSAFAT SENI SUSANNE KATHERINA LANGER (1895-1985) :
SUMBANGANNYA BAGI
INTERPRETASI PENGGAMBARAN WAYANG PURWA GAYA YOGYAKARTA
SUDARYANTO 10
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

b. Bagaimana konstruksi pemikiran representasi piktorial serta argumen yang

dipergunakan untuk menjelaskan tentang sifat dasar, fungsi, dan proses

terbentuknya representasi piktorial dalam filsafat seni Susanne K. Langer ?

c. Apa sumbangan pemikiran representasi piktorial Susanne K. Langer bagi

interpretasi penggambaran wayang purwa gaya Yogyakarta ?

3. Keaslian penelitian

Penenelitian tentang representasi piktorial dalam perspektif filsafat seni

Susanne K. Langer sejauh penelusuran peneliti belum pernah dilakukan. Perlu

peneliti memaparkan beberapa penelitian atau karya tulis yang berkaitan dengan

objek material penelitian yaitu representasi piktorial, dan objek formal penelitian

yaitu filsafat seni Susanne K. Langer.

N.G.Chernyshevsky menulis yang disebut sebagai disertasinya, diterbitkan

dengan judul The Aesthetic Relation of Art to Reality pada tahun 1953,

diterjemahkan dalam bahasa Indonesia Hubungan Estetik Seni dengan Realitas.

Chernyshevsky membahas estetika dan seni secara umum, dan menyatakan bahwa

seni berkedudukan lebih rendah dari realitas. Seni kurang lebih sekedar

merupakan imitasi dari realitas, dan karya seni yang baik mendekati

kesempurnaan tetapi tidak pernah benar-benar mencapainya. Pandangan ini

merupakan kritik atas estetika Hegel dan pengikut-pengikutnya. Hegel

berpendapat bahwa ide absolut hanya menemukan realisasinya yang sempurna

dalam keseluruhan ruang dan keseluruhan keberadaan alam semesta. Objek

khusus yang dibatasi ruang dan waktu merupakan bentuk manifestasi terbatas
REPRESENTASI PIKTORIAL DALAM FILSAFAT SENI SUSANNE KATHERINA LANGER (1895-1985) :
SUMBANGANNYA BAGI
INTERPRETASI PENGGAMBARAN WAYANG PURWA GAYA YOGYAKARTA
SUDARYANTO 11
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

yang tidak pernah sempurna, maka seni mempunyai peluang untuk

menyempurnakannya. Chernyshevsky menyatakan bahwa seni tidak perlu malu

untuk mengakui keunggulan realitas, seperti ilmu tidak malu untuk mengatakan

tujuannya adalah memahami dan menjelaskan realitas secara terbatas.

Samuel Bufford di dalam “The Journal Aesthetics and Art Criticism”

volume 31, halaman 9-20, tahun 1972, membahas filsafat seni Langer dengan

judul “Susanne K. Langer Two Philosophies of Art.” Bufford menjelaskan bahwa

Langer mengajukan dua teori yang berbeda, yaitu expression theory dengan

percievability theory tentang seni. Menurut Bufford dua teori ini satu dengan yang

lain berbeda dan tidak dapat dipersatukan (Bufford, 1972: 9-20).

A. Sudiarja menulis naskah yang dimuat dalam buku “Manusia Multi

Dimensional : Sebuah Renungan Filsafat, dengan judul “Susanne K. Langer :

Pendekatan Baru dalam Estetika”, pada tahun 1982, pada halaman 69-81.

Sudiarja membahas antara lain : teori simbol Langer dan mengungkapkan bahwa

seni sebagai simbol presentasional berbeda dengan smbol diskursif, definisi seni

Langer yang diambil dari karya “Feeling and Form” yaitu sebagai bentuk

simbolis, penciptaan seni, dan seni sebagai bentuk hidup (living form).

Dibyasuharda menulis disertasi berjudul Dimensi Metafisik dalam Simbol :

Ontologi Mengenai Akar Simbol, pada tahun 1990. Disertasi tersebut memuat

teori simbol dari Susanne K. Langer pada sub-bab pada bab III. Pembahasan

dalam disertasi tersebut berkonsentrasi pada teori simbol Langer tanpa membahas

lebih spesifik tentang teori simbol itu terkait dengan konsep seni ataupun filsafat
REPRESENTASI PIKTORIAL DALAM FILSAFAT SENI SUSANNE KATHERINA LANGER (1895-1985) :
SUMBANGANNYA BAGI
INTERPRETASI PENGGAMBARAN WAYANG PURWA GAYA YOGYAKARTA
SUDARYANTO 12
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

seni. Dibyasuharda hanya berfokus pada pemikiran atau teori simbol Langer yang

termuat dalam Philosophy of A New Key saja.

Soewarno menulis karya berjudul “Dimensi Estetika Kesenian Tradisional

Lengger Banyumasan Kajian Teori Susanne K. Langer” untuk mencapai dejarat

sarjana S-2 pada Fakultas Filsafat UGM pada tahun 2005. Salah satu kesimpulan

penilitian ini yang berkaitan dengan pemikiran Susanne K. Langer adalah, bahwa

menurut Langer semua seni mempunyai persamaan antara lain yang disebut

ekspresi, bentuk/wujud dan kreasi. Langer mengemukakan tentang simbol seni

yang merupakan metafora suatu citra yang lahir atau kedalaman makna harfiah

yang samar, karena kesadaran sebenarnya, emosi, vitalitas, gejolak yang dirasakan

dalam kapasitas batiniah.

Novella Parchiano menulis karya berjudul “Konsep Seni dalam

Ekspresivisme” dalam tesis S-2 pada Fakultas Filsafat UGM pada tahun 2008.

Hasil dari penelitian ini yang diungkapkan bahwa hakikat seni menurut

ekspresivisme adalah ekspresi emosi. Sub-aliran di dalam ekspresivisme, yaitu :

ekspresivisme harian maupun ekspresivisme lanjut memiliki beberapa pokok

persamaan, perbedaan, dan kelemahan dalam konsep kualitas seni, sarana seni,

kandungan seni, dan audien seni. Aliran ini mempunyai andil besar dalam

membedakan antara memahami seni secara imajinasi dan konseptual. Karya ini

tidak membahas pemikiran Langer, namun tokoh-tokoh seperti Ducase, Tolstoy,

Collingwood, dan sebagainya.

Penelitian sebagai studi awal tentang representasi piktorial telah peneliti

lakukan dengan judul “Esensi Gambar dalam Perspektif Filsafat Seni” pada
REPRESENTASI PIKTORIAL DALAM FILSAFAT SENI SUSANNE KATHERINA LANGER (1895-1985) :
SUMBANGANNYA BAGI
INTERPRETASI PENGGAMBARAN WAYANG PURWA GAYA YOGYAKARTA
SUDARYANTO 13
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

tahun 2012. Melalui penelitian ini peneliti memperoleh pandangan tentang

representasi piktorial secara garis besar dari berbagai tokoh, sehingga peneliti

tertarik untuk meneliti lebih lanjut dalam disertasi ini.

Penelitian sebagai studi awal terhadap objek material yaitu filsafat seni

Susanne K. Langer, telah peneliti lakukan, yaitu :

a. Penelitian berjudul “Esensi Seni dalam Pemikiran Susanne K. Langer”, pada

tahun 2010. Penelitian ini berusaha untuk mengungkapkan pokok-pokok

pemikiran seni, sehingga dapat ditemukan esensi seni dalam pemikiran Langer.

Penelitian ini juga untuk memperjelas posisi filsafat seni Langer di antara

pemikiran filsafat seni dan juga pandangan-pandangan tentang seni dari

pemikiran tokoh-tokoh yang lain.

b. Penelitian berjudul “Seni dan Bukan Seni Dalam Pemikiran Susanne K.

Langer”, pada tahun 2011. Penelitian ini mengungkapkan pandangan Langer

berkaitan dengan seni sebagaimana sering dipahami sebagai gejala universal

yang telah ada semenjak dahulu kala dalam sejarah umat manusia dan belum

dibedakan dengan produk kerajinan (craftmanship), sementara itu pada era

moderen seni dibedakan dengan hasil kerajinan dan memiliki kriteria yang oleh

para filsuf seni ditafsirkan secara berbeda-beda. Penelitian ini juga

mengungkapkan kriteria umum yang berlaku bagi setiap seni.

Setelah peneliti memutuskan filsafat seni Susanne K. Langer sebagai objek

material dalam penulisan disertasi, peneliti melakukan penelitian penunjang

disertasi berjudul “Konsep Seni dalam Pemikiran Susanne K. Langer.” Penelitian


REPRESENTASI PIKTORIAL DALAM FILSAFAT SENI SUSANNE KATHERINA LANGER (1895-1985) :
SUMBANGANNYA BAGI
INTERPRETASI PENGGAMBARAN WAYANG PURWA GAYA YOGYAKARTA
SUDARYANTO 14
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

ini sengaja dimaksudkan untuk menunjang penulisan atau pembahasan yang

merupakan sub-bab dalam pembahasan filsafat seni Susanne K. Langer.

Berdasar penelusuran tersebut di atas maka menurut peneliti belum ada

penelitian yang khusus meneliti representasi piktorial dari sudut tinjauan filsafat

seni Susanne K. Langer

4. Manfaat Penelitian

a. Bagi peneliti penelitian memberikan tambahan wawasan dan pengetahuan

dalam bidang filsafat seni pada umunya, serta filsafat seni Susanne K.

Langer dan representasi piktorial pada khususnya.

b. Bagi ilmu pengetahuan, penelitian ini menambah referensi tentang kajian

filsafat seni dalam Bahasa Indonesia yang pada saat ini kajian dan buku

tentang filsafat seni masih jarang ditemukan.

c. Bagi bangsa dan negara, penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangan bagi pemahaman filsafat wayang sehingga wayang sebagai

salah satu hasil budaya Indonesia dapat difahami lebih mendalam.

B.Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Melakukan deskripsi sistematis dan memadahi tentang konsep-konsep pokok,

sifat dasar yang berlaku bagi setiap seni, serta proses seniman berkreasi dan

berekspresi dalam menghasilkan karya dalam filsafat seni Susanne K.

Langer.
REPRESENTASI PIKTORIAL DALAM FILSAFAT SENI SUSANNE KATHERINA LANGER (1895-1985) :
SUMBANGANNYA BAGI
INTERPRETASI PENGGAMBARAN WAYANG PURWA GAYA YOGYAKARTA
SUDARYANTO 15
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

2. Menemukan konstruksi dan kejelasan pemikiran representasi piktorial, serta

argumen yang dipergunakan untuk menjelaskan sifat dasar, fungsi, dan proses

terbentuknya representasi piktorial dalam filsafat seni Susanne K. Langer.

3. Menemukan sumbangan pemikiran representasi piktorial Susanne K. Langer

terhadap interpretasi penggambaran wayang purwa gaya Yogyakarta.

C. Tinjauan Pustaka

Asumsi yang sangat tua dari representasi piktorial, yaitu bahwa gambar

yang tepat dari sebuah objek adalah yang menyerupai objek. Semakin menyerupai

objek sebuah gambar semakin baik dan semakin sempurna, sebaliknya gambar

yang tidak menyerupai atau menyimpang dari objek adalah gambar yang kurang

baik atau tidak baik. Gambar adalah tiruan dua dimensi dari objek-objek tiga

dimensi yang ditemukan dalam realitas terindera atau yang dialami. Di dalam

tradisi pemikiran filsafat Barat Plato dan Aristoteles telah menjelaskan hal

tersebut. Plato menaruh minat terhadap seni rupa khusunya seni lukis, berdasar

refleksi kritis di dalam bidang tersebut, teori atau pandangannya tentang seni

disusun. Berbeda dengan Plato, Aristoteles dalam menyusun teori seninya dengan

jalan melakukan analisis terhadap sastra khusunya puisi dan drama sebagai dasar

menyusun teori seninya. Akhirnya teori seni Plato dan Aristoteles ini ditarik pada

kesimpulan umum bahwa seni merupakan imitasi (mimesis) dari realitas, yaitu

bahwa produk seni seperti lukisan, karya sastra dan lain-lain adalah imitasi dari

benda-benda atau peristiwa yang ada di alam, Matius Ali (2011: 15-16)

menyatakan:
REPRESENTASI PIKTORIAL DALAM FILSAFAT SENI SUSANNE KATHERINA LANGER (1895-1985) :
SUMBANGANNYA BAGI
INTERPRETASI PENGGAMBARAN WAYANG PURWA GAYA YOGYAKARTA
SUDARYANTO 16
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Pandangan Plato tentang karya seni dikenal sebagai teori mimesis


(representasi, tiruan). Teori ini mengemukakan bahwa segala yang ada di
dunia ini merupakan tiruan (mimesis) dari yang “asli” di dunia Ide. Dalam
Republic, Plato menjelaskan bahwa seorang pengrajin yang membuat sebuah
kursi, sebenarnya menirukan “Bentuk” (Form) “kekursian” (Chairness) dan
seorang artis yang melukis sebuah kursi tersebut. Karenanya, yang terjadi
adalah tiruan dua tingkat (2 levels of imitation)...Itulah sebabnya kenapa ia
menyebut karya seni sebagai ‘tiruan dari’ (mimesis-memeseos).

Oleh karena pandangan Plato bahwa karya seni merupakan tiruan literal

dan objek atau peristiwa yang dialami dalam kehidupan, maka Jerome Stolnitz

menyebutnya sebagai simple imitation. Stolnitz menyatakan:

This will suggest to the reader the historical scope of “simple imitation”. The
first statement of this theory is I have noted, in Plato in his dialogue. The
Republic, he says that the poet or pamter, “besides producting any kind of
artificial thing...can create all plants and animals, him self in cluded, and
earth and sky and gods and the heavenly bodies and all the things under
earth in Hades” (Stolnitz, 1960: 111).

Simple imitation ditemukan juga dalam pernyataan Leonardo da Vinci seorang

pelukis besar Renaisance..., Leonardo da Vinci, describing painting as “the sole

imitator of all visible work of nature”, and saying “That painting is the most

praise worthy which is most like the thing represented” (Stolnitz, 1960: 111).

Teori imitasi dari Aristoteles berbeda dengan Plato, Aristoteles

berpendapat bahwa seni tidak meniru secara literal suatu objek atau peristiwa.

Penggambaran atau deskripsi peristiwa partikular merupakan tugas dari seorang

sejarawan, tugas seorang seniman adalah menampilkan sesuatu yang universal

atau esensi dari objek para pelukis purba seperti pelukis rusa kutub maupun bison

berbaring di gua Font-de-Gaume maupun di gua Altamira tidak harus membawa

rusa kutub dan bison ke dalam gua sebagai model. Para pelukis melukis atau

menggambar cukup mempergunakan kemampuan imajinasinya tentang binatang


REPRESENTASI PIKTORIAL DALAM FILSAFAT SENI SUSANNE KATHERINA LANGER (1895-1985) :
SUMBANGANNYA BAGI
INTERPRETASI PENGGAMBARAN WAYANG PURWA GAYA YOGYAKARTA
SUDARYANTO 17
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

tersebut. Hal ini juga dapat dilakukan oleh para pelukis dan anak-anak masa kini,

tidak melukis atau menggambar sesuatu yang khusus seperti gambar si anu atau

peristiwa tertentu, sebagaimana seorang sastrawan dapat berceritera sesuatu yang

berupa rekaan. Menurut Stolnitz teori seni Aristoteles termasuk dalam kategori

imitation of essence theory, sebagaimana dinyatakan:

Aristoteles discussion in the Poetic was, however, elaborated by later


thinkers into a theory of “fine art” generally-We shall call this theory of
“imitation of essence”.
...In philosophy, “essence” signifies those properties or characteristics which
an object must posses if it is to be an object of certain class or kind (Stolnitz,
1960: 120).

Sebuah lukisan dapat menggambarkan manusia, pohon, bunga tanpa harus

menggambarkan bagian-bagiannya secara detail sebagaiman gambar yang

diperoleh memakai alat fotografi. Sebuah gambar dapat sekedar berupa sketsa

yang hanya merupakan bentuk bagan dari objek, tidak harus berwarna

sebagaimana objek nampak dalam realitas. Sebuah gambar dikenali sebagai

gambar manusia, pohon atau bunga karena bentuknya memperlihatkan kesamaan

dengan bentuk esensial yang diketahui oleh pengamat.

Seorang seniman melakukan seleksi terhadap objek yang hendak

direpresentasikan atau hendak dilukis, tidak setiap objek dikehendaki dan

diangkat sebagai objek lukisan, melainkan memilih objek yang dianggap ideal

dari bentuk maupun dari pertimbangan pesan yang hendak disampaikan. Selain

mengemukakan simple imitation dan imitation of essences, Stolnitz juga

mengajukan imitation of the ideal.

...The author and painter must either depict events which are, in
themselves,praiseworthy, e.g., a classic episode of heroism, or else he should
“idealize” the “real life” object, by removing its moral imperfections. In the
REPRESENTASI PIKTORIAL DALAM FILSAFAT SENI SUSANNE KATHERINA LANGER (1895-1985) :
SUMBANGANNYA BAGI
INTERPRETASI PENGGAMBARAN WAYANG PURWA GAYA YOGYAKARTA
SUDARYANTO 18
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

seventeenth and eighteenth centuries this is known as the doctrine of la bella


nature-“beautyful nature”. This doctrine includes not only moral, but also
aesthetic “idealization”, ... (Stolnitz, 1960: 128)

Monroe C. Beardsley di dalam bukunya Aesthetics membahas representasi

di dalam seni visual yang mencakup seni piktorial. Beardsley membedakan objek

representasi itu dalam dua kategori yaitu objek yang pernah eksis dan objek yang

tidak pernah eksis. Representasi diartikan sebagai “a relation between a design

and something else”. Penggambaran tentang objek yang tidak pernah eksis seperti

lukisan : amazon (wanita berkuda), griffin (binatang khayalan dengan badan dan

kaki belakang seperti singa, kepala dan sayap seperti elang), chimera (monster

yang berkepala singa, bertubuh kambing, berekor ular) atau makhluk yang

menakutkan, kota masa depan, dan sebagainya Beardsley sebut sebagai “depict”.

Penggambaran sesuatu yang pernah eksis seperti potret diri Rembrant misalnya,

disebut dengan “portrayal”. (Beardsley, 1981 : 269-272). Beardsley menyatakan

bahwa : “Each of these subjects is particular object, or particular group of object,

either named or referred to by a unique description. Boardening slightly term

already in use, we may call this sort of representation portrayal (Beardsley, 1981

: 273).

E.H. Gombrich di dalam “Art and Illusion: A Study in the Psichology of

Pictorial Representation”, menyatakan bahwa copy theory of representation yang

berpendapat bahwa seni sebagai salinan realitas, tidak mampu menjelaskan

tentang perbedaan representasi dunia terindera dalam berbagai masa dan negara.

Hal itu oleh Gombrich disebut sebagai teka-teki tentang gaya (ridle of style).

Gombrich berpendapat bahwa copy theory berdasar kepada apa yang disebutnya
REPRESENTASI PIKTORIAL DALAM FILSAFAT SENI SUSANNE KATHERINA LANGER (1895-1985) :
SUMBANGANNYA BAGI
INTERPRETASI PENGGAMBARAN WAYANG PURWA GAYA YOGYAKARTA
SUDARYANTO 19
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

sebagai “myth of innocent eye” (mata yang tidak bersalah), yaitu gagasan yang

berasal dari penglihatan adalah suatu bahan registrasi pasif dari data mental indera

visual. Copy theory memiliki keyakinan bahwa pelukis mampu meproduksi dan

menghadirkan representasi imaji yang ada di dalam retina. Di dalam kenyataan

seni tidak sekedar ditangani dengan satu model yang statis. Menurut Gombrich

penglihatan adalah proses aktif dari pencarian motif-motif ke dalam skema yang

akrab atau dikenali. Melihat adalah kondisi yang bergantung kepada kebiasaan-

kebiasaan dan harapan-harapan, seniman representasional tidak memulai dari

impresi visual, namun dengan gagasan atau konsepnya. Seniman cenderung

melukis lebih dari sekedar bersandar pada apa yang dilihatnya. Gaya bukanlah

tambahan dari proses representasi. Perbedaan gaya artistik adalah seperti

perbedaan bahasa. Seseorang harus belajar membaca (bahasa) agar mengerti

dengan benar. Sejarah tentang gaya atau style adalah sejarah tentang evolusi

bahasa ini (Alperson, 1992: 58).

Nelson Goodman bersikap sama dengan Gombrich yang menyerang copy

theory, dan berpendapat bahwa terdapat hubungan antara representasi piktorial

dengan representasi verbal. Jika Gombrich melihat pengamat realisme berusaha

untuk menciptakan secara berhasil sebuah ilusi, maka Goodman berpendapat

bahwa representasi piktorial sebaiknya difahami sebagai model “linguistic

denotation”. Gambar manusia, tempat-tempat, benda-benda atau sekelompok

pokok soal atau tema menunjukkan kesulitan untuk didasarkan pada “kemiripan”

sebagai dasar teori. Representasi yang realistis bukanlah hubungan konstan atau

mutlak antara gambar dengan objek, melainkan hubungan antara sistem


REPRESENTASI PIKTORIAL DALAM FILSAFAT SENI SUSANNE KATHERINA LANGER (1895-1985) :
SUMBANGANNYA BAGI
INTERPRETASI PENGGAMBARAN WAYANG PURWA GAYA YOGYAKARTA
SUDARYANTO 20
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

representasi yang digunakan dengan sistem standar. Kemiripan bukanlah kondisi

yang cukup atau yang diperlukan untuk suatu representasi. Model denotasi

linguistik memungkinkan untuk mewadahi representasi piktorial terhadap hal-hal

yang fiktif tentang orang, tempat, benda-benda, subjek yang bersifat umum (a

class of subjects) yang tidak memadai untuk ditangani dengan teori berbasis

kemiripan (Alperson, 1992: 69).

Para pemikir awal terutama penganut teori mimesis yang sering disebut

copy theory memandang representasi piktorial sebagai hubungan antara gambar

dengan objek yang digambar berdasar kemiripan antara keduanya. Jika Goodman

menyatakan bahwa representasi piktorial bukanlah hubungan yang konstan atau

tetap antara gambar dengan objek, sehingga kemiripan bukan kondisi yang cukup

diperlukan bagi suatu representasi. Berbeda dengan pemikiran tersebut di atas

Kendall L. Walton menyatakan bahwa para teoritisi tersebut ialah menempatkan

kemiripan itu secara keliru. Walton menyatakan :

Most disputes about the role of resemblance in depiction and pictorial


realism have been misquided in my opinion. Theorist have looked for
resemblances in the wrong place. Rather then asking abaout resemblances
beetwen pictures and the things they pictures. We should consider
resemblance between looking at pictures and looking at things. The
significant similarities are to be found between the acts of preception, not
between the thing percieved...
Picture are props in games of make-believe. They function in many
ways as dolls., hobby horse, and toy truck do. (There are important
diferences too, but i will focus on the similarities now). We can speak the
world of game of dolls in which the participants bathe and dress babies, rock
them to sleep, etc. Likewise there are world (pictional worlds) associated
with the games viewers play with painting (Walton, 1992: 103).

Walton tidak bermaksud untuk menjelaskan gambar itu merupakan sesuatu

yang fiktif. Walton ingin menyatakan bahwa semua gambar representasi membuat
REPRESENTASI PIKTORIAL DALAM FILSAFAT SENI SUSANNE KATHERINA LANGER (1895-1985) :
SUMBANGANNYA BAGI
INTERPRETASI PENGGAMBARAN WAYANG PURWA GAYA YOGYAKARTA
SUDARYANTO 21
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

orang yang mengamati masuk ke dunia fiksi, suatu permainan khayalan (game of

make-believe), serentak antara orang dan objek yang digambarkan (Walton, 1992:

103). Dengan gambaran semacam itu maka gambar naturalis dan yang tidak realis

kedudukannya sama, di dalam dunia permainan dianggap sama nyatanya.

Malcolm Budd mencoba memperbarui teori representasi kemiripan

(resemblance theory of representation), yaitu teori yang menyatakan bahwa

representasi piktorial berdasar pada relasi kemiripan antara representasi dengan

objek yang direpresentasikan. Budd mengadopsi pandangan psikologi persepsi

(perceptual psychologist) dari James J. Gibson, yang membedakan antara persepsi

terhadap visual world objek yang bersifat tiga dimensi dengan visual field yaitu

objek gambar dua dimensi. Budd menyatakan:

...The division it highlights introduces a distinction between my visual field


and my visual world that is quite different from early Gibsonian conceptions,
according to which the visual world is just the world (as we see it to be) and
the visual field is never wholly depthless. I shall understand the distinction in
such a way that my visual field is proprer part of my visual world...(Budd,
2004: 385).

Oleh karena itu representasi piktorial merupakan kemiripan dengan salah satu

sudut pandang dari pengalaman terhadap dunia terindera.

Richard Wollheim menyatakan bahwa terdapat dualitas ketika seseorang

melakukan kegiatan persepsi terhadap gambar, Wollheim menyebutnya

“twofoldness”. Pengalaman atau tindakan mempersepsi terhadap permukaan

gambar (seperti foto adalah kertas berbentuk persegi) disebut sebagai objek

“configurational”, sedangkan tindakan mempersepsi objek yang teramati dalam

gambar sebagai objek “recognitional”. Ketika melihat gambar seseorang secara

simultan menyadari bentuk permukaan gambar dan sekaligus objek yang terdapat
REPRESENTASI PIKTORIAL DALAM FILSAFAT SENI SUSANNE KATHERINA LANGER (1895-1985) :
SUMBANGANNYA BAGI
INTERPRETASI PENGGAMBARAN WAYANG PURWA GAYA YOGYAKARTA
SUDARYANTO 22
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

di dalam gambar. Tindakan mempersepsi atau melihat gambar semacam itu

Wollheim sebut sebagai “seeing in”

...the British philosopher Richard Wollheim proposes that representation


involves not seeing as but seeing in. We see the pictures subject in the painted
surface and are simultaneously aware of both. Wollheim refer to the
twofoldness of the experience as characteristic of representation (Davies,
2009: 170).
Slamet Sutrisno bersama tim penulis dan peneliti wayang dalam

kesimpulannya menyatakan bahwa :

Dari perspektif semiotik wayang baik secara gestalt maupun segmental


merupakan sebuah simbol, yakni simbolik dari hidup dan kehidupan manusia.
Disisi lain akan dijumpai perspektif ikonik dan indeksikal diantara bagian-
bagian atau detail-detail pewayangan. Bentuk-bentuk wayang secara
individual merupakan ikon seperti tampak dalam tokoh-tokoh wayang,
peralatan berupa senjata dan sebagainya, ...Tiap-tiap wayang tersebut mau
menggambarkan realitas, sama halnya sebuah patung kuda mau
menggambarkan realitas kuda (Sutrisno, dkk, 2009: 178).

Aart van Zoest (1993: 14, 22, 23) menyatakan bahwa sebuah gambar dan semua

hal yang melukiskan seperti foto atau lukisan, karena corak tandanya terutama

diperoleh dari suatu hubungan persamaan antara tanda dan denotatum adalah

tanda ikonis. Denotatum adalah unsur kenyataan yang ditunjuk oleh tanda yang

Peirce sendiri mempergunakan istilah “objek”. Antara tanda yang ditunjuk oleh

tanda terdapat relasi sehingga tanda mempunyai sifat representatif.

D. Landasan Teori

Pandangan tradisional tentang seni berdasar pada jenis kepemilikan

(property) yang menjadi ciri atau sifat dari setiap seni. Seni dapat dipandang dan

dengan objek maupun pokok soal yang direpresentasikan, maka seni sering
REPRESENTASI PIKTORIAL DALAM FILSAFAT SENI SUSANNE KATHERINA LANGER (1895-1985) :
SUMBANGANNYA BAGI
INTERPRETASI PENGGAMBARAN WAYANG PURWA GAYA YOGYAKARTA
SUDARYANTO 23
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

dipandang memiliki sifat representasional. Berdasarkan atas sifat tersebut

munculah teori mimesis atau teori representasi. Seni dapat pula dilihat dari

kaitannya dengan subjek seniman yang berkarya dan dipahami sebagai sifat

ekspresif yang memunculkan teori ekspresi. Seni dapat pula dilihat sebagai bentuk

atau dari artefaknya maka memunculkan teori formalis, dan organis.

Teori awal tentang filsafat seni dikenal dalam pemikiran Plato dan

Aristoteles dengan teori mimesis. Dalam tradisi pemikiran filsafat Barat tentang

esetetika dan seni, konsep imitasi atau mimesis telah menjadi pusat usaha untuk

menyusun teori tentang esensi ekspresi artistik, imitasi atau mimesis kemudian

dijadikan atau ditempatkan sebagai karakteristik yang membedakan karya seni

dengan fenomena yang lain. Dengan kata lain bagi Plato dan Aristoteles imitasi

merupakan kondisi yang diperlukan dalam praktek berkesenian ciri umum tentang

apa yang disebut sebagai karya seni harus memiliki sifat imitatif, dan jika sesuatu

tidak memiliki ciri itu maka bukan merupakan karya seni. Noel Carroll

menyatakan bahwa teori mimesis dari Plato dan Aristoteles tersebut terlalu

eksklusif dan harus berhadapan dengan pengecualian-pengecualian yang terlalu

banyak. Namun demikian, seorang pendukung teori imitasi dalam seni dapat

mengatakan bahwa sebagian besar karya seni dan yang paling mengemuka atau

menonjol seperti lukisan, drama, opera, patung adalah bentuk peniruan dari orang,

benda, tempat, tindakan, atau peristiwa (Carroll, 1999: 22).

Mengatasi kekurangan teori imitasi itu, maka teori imitasi direkonstruksi

menjadi teori representasional (representasional theory) tentang seni yang secara

umum memiliki jangkauan lebih luas. Konsep representasi lebih luas dari konsep
REPRESENTASI PIKTORIAL DALAM FILSAFAT SENI SUSANNE KATHERINA LANGER (1895-1985) :
SUMBANGANNYA BAGI
INTERPRETASI PENGGAMBARAN WAYANG PURWA GAYA YOGYAKARTA
SUDARYANTO 24
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

imitasi, atau imitasi sebagai sub-kategori dari representasi. Namun demikian, teori

inipun dipandang kurang memadai karena tidak semua karya seni bersifat

representasional. Oleh karena itu kemudian muncul variasi dari teori tersebut,

yaitu teori neo-representasional yaitu bahwa untuk dapat disebut sebagai karya

seni maka harus memiliki pokok soal (subject). Menurut teori neo-

representasional, semua yang merupakan karya seni tentu memiliki aboutness

yaitu memiliki konten semantik atau memiliki subjek (pokok soal) yang

mengungkapkan/mengekspresikan sesuatu. Guernica karya Picasso, misalnya

adalah lukisan tentang pemboman yang menakutkan. Fountain dari Marcell

Duchamp disebut sebagai karya seni karena memiliki aboutness, berbeda dengan

tempat kencing (urinal) biasa dalam dunia nyata yang bukan karya seni (Carroll,

1999: 25-27).

Istilah teori ekspresi (exspression theory) dapat dipergunakan dalam

lingkup luas dan dapat pula dipergunakan dalam arti sempit. Secara umum teori

ekspresi adalah pemikiran bahwa dalam menciptakan karya seni, seniman dengan

berbagai cara berusaha mewujudkan (embody) keadaan pikiran dalam karyanya

untuk disampaikan di depan penonton atau audience. Teori ekspresi yang luas

ditemukan dalam pandangan Leo Tolstoy. Tolstoy menganggap bahwa seni

sebagai aktivitas manusia harus membuktikan diri berharga secara moral dan

kehidupan agama (mewujudkan cita-cita Kristiani), selain untuk menularkan

(infection) perasaan seniman kepada orang lain. Teori ini memiliki kelemahan

adalah bahwa karya seni menjadi kendaraan untuk mentransmisikan ide-ide moral

dan keagamaan. Teori ekspresi sempit mengacu pada teori Benedetto Croce dan
REPRESENTASI PIKTORIAL DALAM FILSAFAT SENI SUSANNE KATHERINA LANGER (1895-1985) :
SUMBANGANNYA BAGI
INTERPRETASI PENGGAMBARAN WAYANG PURWA GAYA YOGYAKARTA
SUDARYANTO 25
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Collingwood yang membatasi pada ekspresi emosi seniman (Matravers, 2009:

264). Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya dalam tinjauan pustaka bahwa

teori ekspresi dapat mengungkapkan dua kemungkinan, yaitu karya seni sebagai

ekspresi emosi seniman, dan kemungkinan kedua seni bersifat ekspresif dapat

membangkitkan emosi pengamat atau audien.

Teori ekspresi dalam lingkup luas sebagaimana dikemukakan oleh Tolstoy

mendapatkan reaksi dari para kritikus seni maupun seniman. Para kritikus dan

seniman banyak yang menolak bahwa seni harus mengabdi kepada bidang lain,

dan menginginkan atau mempunyai gagasan bahwa seni sebagai bidang yang

mandiri dan memiliki nilainya sendiri (nilai intrinsik). Reaksi ini memunculkan

gerakan yang bersemboyan “seni untuk seni”.pandangan filsafat seni terbagi

dalam dua kelompok yang berbeda dalam menilai suatu karya seni. Teori ekspresi

terutama dalam lingkup yang luas sebagaimana antara lain dikemukakan Tolstoy

lebih mementingkan pernilaian seni dari segi isi, dilain pihak Roger Fry dan Clive

Bell beserta pendukungnya menilai karya seni dari segi bentuknya. Teori Roger

Fry dan Clive Bell disebut sebagai teori formalis. Fry dan Bell sebagian besar

tulisan-tulisannya tentang seni lukis, namun keduanya menegaskan bahwa teori

yang dikemukakannya dapat diterapkan dalam bidang seni yang lain. Bell

menyatakan bahwa hubungan elemen-elemen plastis dalam lukisan, yaitu

kombinasi garis, warna, bentuk, volume yang ada di kanvas, kecuali elemen

representasional dapat membangkitkan emosi spesifik yang disebutnya sebagai

bentuk bermakna (significant form). Bentuk signifikan hanya dimiliki oleh karya

seni dan tidak dimiliki oleh hal-hal yang lain (Weitz, 1995: 185). Teori formalis
REPRESENTASI PIKTORIAL DALAM FILSAFAT SENI SUSANNE KATHERINA LANGER (1895-1985) :
SUMBANGANNYA BAGI
INTERPRETASI PENGGAMBARAN WAYANG PURWA GAYA YOGYAKARTA
SUDARYANTO 26
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

mengesampingkan elemen representasional dan isi yang hendak disampaikan atau

dieskpresikan seniman. Sementara itu, teori organis menyatakan bahwa seni

merupakan keutuhan organis dari berbagai macam unsur yang tersaji dalam media

sensual. Setiap karya seni memiliki kompleksitas hubungan yang unik; misalnya

dalam lukisan garis, warna, volume, pokok soal, dan lain-lain, semuanya

berinteraksi satu dengan yang lain dalam permukaan lukisan.

E. Cara Penelitian

1. Bahan atau materi penelitian

Penelitian filsafat dalam disertasi ini adalah penelitian pustaka dengan

mengambil bentuk model penelitian historis-faktual mengenai tokoh (Bakker dan

Zubair, 1994: 61). Objek material penelitian ini adalah representasi piktorial

dalam pemikiran Susanne K. Langer, dengan sudut tinjauan atau objek formal

filsafat seni Susanne. Adapun bahan kepustakaan yang dipergunakan sebagai

sumber penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Kepustakaan primer

1) Langer. Susanne K., 1953, Feeling and Form : A Theory of Art


Developed from Philosophy in a New Key, Charles Seribner’s Sons,
New York.

2) Langer. Susanne K., 1957, Problem of Art: Ten Philosophical


Lectures, Charles Scribners sons, New York

3) Langer. Susanne K., 1964, Philosophycal Sketches: A Study of Human


Mind in Relation to Feeling, Explored Through Art, Language, and
Symbol, The John Hopkins Press, Baltimore
REPRESENTASI PIKTORIAL DALAM FILSAFAT SENI SUSANNE KATHERINA LANGER (1895-1985) :
SUMBANGANNYA BAGI
INTERPRETASI PENGGAMBARAN WAYANG PURWA GAYA YOGYAKARTA
SUDARYANTO 27
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

4) Langer. Susanne K., 1978, Philosophy In A New Key: A Study in The


Symbolism of Reason, Rite and Art, Harvard University Press, USA.

5) Langer. Susanne K., 1980, An Essay on Human Feeling, vol I, The


John Hopkins University Press, Baltimore and London.

6) Kepustakaan filsafat yang membahas tentang representasi piktorial.

b. Kepustakaan sekunder

1) Buku-buku dan artikel yang memuat pemikiran filsafat seni Susanne

K. Langer.

2) Buku-buku filsafat seni pada umumnya.

2. Jalan penelitian

Penelitian disertasi ini merupakan penelitian kualitatif dengan model

penelitian kepustakaan, maka langkah-langkah penelitian ini adalah sebagai

berikut:

a. Mengidentifikasi dan melacak sumber pustaka:

1) Buku-buku dan artikel dari Susanne K. Langer yang berkaitan dengan

pemikirannya tentang seni.

2) Buku-buku dan artikel yang memuat tentang representasi piktorial.

3) Pemikiran dan tawaran pemecahan masalah yang telah dilakukan para

pemikir berkaitan dengan problem representasi piktorial.

b. Membuat skema awal tentang :

1) Pemikiran filsafat seni Susanne K. Langer.

2) Problematik dan polemik yang telah mendapat perhatian para pemikir

tentang representasi piktorial.


REPRESENTASI PIKTORIAL DALAM FILSAFAT SENI SUSANNE KATHERINA LANGER (1895-1985) :
SUMBANGANNYA BAGI
INTERPRETASI PENGGAMBARAN WAYANG PURWA GAYA YOGYAKARTA
SUDARYANTO 28
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

3) Relevansi pemikiran Susanne K. Langer dalam memecahkan problem

representasi piktorial.

c. Teknik pengumpulan data

Kaelan (2012: 163-168) penelitian kepustakaan proses pengumpulan

data adalah membaca dan mencatat informasi yang terkandung di dalam

data dengan tujuan untuk mendapatkan keterangan-keterangan yang

berkaitan dengan penelitian. Langkah-langkah pengumpulan data tersebut

adalah sebagai berikut:

1) Membaca pada tingkat simbolik.

Pada tahap ini peneliti membaca sumber pustaka untuk menangkap

sinopsis dari isi buku, bab yang menyusunnya sampai bagian terkecil dari

buku. Membaca pada tingkat simbolik ini terutama untuk memenuhi dan

mengembangkan peta penelitian dengan menangkap kategori atau sub

kategori dari data yang dikumpulkan. Data yang diperoleh disusun

menurut sistematisasi dari peta penelitian.

2) Membaca pada tingkat semantik

Pada tahap semantik peneliti mengumpulkan data dengan membaca

lebih terinci, terurai dan menangkap esensi dari data primer dan

dilanjutkan pada data sekunder untuk pengayaan. Dalam rangka menyusun

rencana laporan penelitian. Hasil pembacaan yang terinci dan terurai

tersebut dicatat secara quotasi yaitu dengan mengutip secara langsung

tanpa mengubah teks dari pengarang. Peneliti juga melakukan pencatatan

secara paraphrase yaitu menangkap intisari hasil pembacaan dengan


REPRESENTASI PIKTORIAL DALAM FILSAFAT SENI SUSANNE KATHERINA LANGER (1895-1985) :
SUMBANGANNYA BAGI
INTERPRETASI PENGGAMBARAN WAYANG PURWA GAYA YOGYAKARTA
SUDARYANTO 29
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

kalimat atau yang disusun oleh peneliti sendiri. Data yang lain dicatat

secara sinoptik atau dengan cara membuat ikhtisar yang merupakan

sinopsis atau ringkasan hasil bacaan yang memuat unsur-unsur yang sama

secara logis yang terkandung dalam data.

d. Melakukan pengolahan data dengan melakukan evaluasi data tahap demi

tahap, memperhatikan koherensi serta hubungan logis antara unsur-unsur

terkait konsep pemikiran filsafat seni Susanne K. Langer dengan problem-

problem representasi piktorial.

e. Merefleksikan hasil-hasil dari pengolahan data terkait dengan filsafat seni

Susanne K. Langer dan pendapat-pendapat tentang representasi piktorial

untuk dapat dirumuskan relevansinya terhadap penggambaran wayang

purwa gaya Yogyakarta

3. Analisis hasil

Penelitian ini mempergunakan pendekatan hermeneutika. Analisis hasil

dalam penelitian disertasi ini mempergunakan unsur metodis, mengikuti

pemikiran Bakker dan Zubair (1994: 64-65) sebagai berikut :

a. Deskripsi

Peneliti berusaha menguraikan secara teratur pendapat-pendapat para

tokoh berkaitan dengan objek material penelitian ini, yaitu tentang

representasi piktorial. Peneliti juga berusaha untuk menguraikan setepat

mungkin pemikiran filsafat seni Susanne K. Langer sebagai objek

material penelitian ini.


REPRESENTASI PIKTORIAL DALAM FILSAFAT SENI SUSANNE KATHERINA LANGER (1895-1985) :
SUMBANGANNYA BAGI
INTERPRETASI PENGGAMBARAN WAYANG PURWA GAYA YOGYAKARTA
SUDARYANTO 30
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

b. Koherensi intern

Agar dapat memberikan interpretasi secara tepat mengenai pemikiran para

tokoh terutama tentang representasi piktorial dan filsafat seni Susanne K.

Langer perlu dicari inti pemikiran dan topik-topik sentral, dan diteliti

secara logis-sistematis tentang pemikirannya secara keseluruhan.

c. Kesinambungan historis

Pemikiran seorang tokoh berada dalam keterkaitan dengan pemikiran

tokoh lain, sehingga perlu untuk mencari latar belakang pemikiran yang

mempengaruhi. Konsep-konsep tentang topik yang sejenis atau yang

sama diletakkan dalam urutan kronologis sehingga diketahui benang

merah atau kesinambungan pendapat-pendapat para tokoh. Pemikiran

para tokoh perlu diperbandingkan satu dengan yang lain agar dapat

diketahui persamaan dan perbedaan dari pendapat-pendapat yang

dikemukakan.

d. Bahasa inklusif atau analogal

Filsuf sering mempergunakan bahasa atau isitilah yang diberikan makna

secara khusus yang berbeda dengan makna yang diberikan oleh filsuf atau

pemikir yang lain, sehingga peneliti perlu mengetahui pemakaian bahasa

atau istilah dari tokoh yang dibahas dalam penelitian.

e. Heuristika

Problem representasi piktorial bukan merupakan pembahasan secara

khusus apa lagi menjadi ciri khas dari filsafat seni Susanne K. Langer.

Peneliti berusaha untuk menemukan pendapat Langer tentang representasi


REPRESENTASI PIKTORIAL DALAM FILSAFAT SENI SUSANNE KATHERINA LANGER (1895-1985) :
SUMBANGANNYA BAGI
INTERPRETASI PENGGAMBARAN WAYANG PURWA GAYA YOGYAKARTA
SUDARYANTO 31
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

piktorial yang tersebar dalam berbagai karyanya, sehingga didapatkan

pemahaman baru atau interpretasi baru terhadap filsafat seni dari Langer.

Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini kemudian dipergunakan untuk

menemukan pemikiran baru tentang penggambaran wayang kulit gaya

Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai