Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

TEORI INTERTEKSTUALITAS JULIA KRISTEVA

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Ida Bagus Putera Manuaba, Drs., M.Hum

Kelompok 10
Retno Dwi Wahyuni (227221004)
Widjati Hartiningtyas (227221005)

PROGRAM MAGISTER KAJIAN SASTRA DAN BUDAYA


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Adanya kebudayaan dalam kehidupan manusia tidak lain merupakan hasil
dari pikiran, akal budi, adat istiadat yang sudah menjadi kebiasan dan diwariskan
secara turun temurun oleh suatu kelompok masyarakat yang sudah bersifat sukar
diubah. Sedangkan definisi kebudayaan secara umum merupakan seluruh sistem
nilai, gagasan, tindakan, serta karya masyarakat yang didalamnya terdapat simbol
pencerminan yang digunakan untuk memahami lingkungan serta digunakan
sebagai pedoman hidup oleh masyarakat yang bersepakat untuk meyakini hal
yang sama. Dari kebudayaan tersebut muncul nilai-nilai yang tertuang dalam
perilaku maupun karya seni, termasuk karya sastra yang ada pada saat ini.
Hidup dalam beragam kebudayaan manusia tersebut membuat kehadiran
teori-teori analisis menjadi penting dan dapat diibaratkan sebagai pisau pembedah
fenomena-fenomena yang terjadi di dalam kehidupan. Teori-teori ini muncul
sebagai suatu konsep yang digunakan untuk memandang, mempelajari, dan
menjelaskan gejala-gejala empiris yang memuat asumsi dasar berupa nilai,
model, masalah, dan istilah-istilah tertentu untuk metode penelitian, analisis,
hingga hasil analisis dan representasi. Secara umum teori-teori ini dapat juga
diartikan sebagai sebuah kerangka berpikir yang setiap unsur di dalamnya tidak
harus dilihat sebagai hal yang berurutan meskipun unsur-unsur tersebut saling
berkaitan satu dengan yang lain.
Dari banyaknya teori-teori analisis yang ada, satu diantaranya adalah teori
intertekstual. Teori intertektual bermula dari gagasan dan pemikiran filsuf Rusia
yang memiliki minat pada kebudayaan dan kesusastraan yaitu Mikhail Bakhtin.
Menurut filsuf tersebut teori intertekstual menekankan pada pengertian sebuah
teks sastra yang dipandang sebagai tulisan sisipan dari pemikiran yang berbentuk
kerangka teks sastra lain, seperti tradisi, parodi, acuan, kutipan atau jenis sastra
itu sendiri. Teori intertekstual tersebut kemudian dikembangkan oleh Julia
Kristeva. Untuk mengetahui perkembangan teori tekstualitas yang disajikan oleh
Julia Kristeva maka di dalam makalah ini akan diuraikan secara mendalam
mengenai gagasan tersebut.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka muncullah dua rumusan
masalah berikut:
1. Apakah teori intertekstualitas?
2. Bagaimana bentuk teori intertekstualitas oleh Julia Kristeva?

C. TUJUAN PENELITIAN
Berangkat dari rumusan masalah di atas, maka didapatkan tujuan penelitian
adalah untuk:
1. Memahami teori intertekstualitas yang dikemukakan oleh Julia Kristeva
2. Menggunakan teori intertekstualitas dalam menganalisis sastra

D. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat penelitian ini adalah untuk menambah wawasan; memahami konsep
dasar teori intertekstualitas Julia Kristeva; dan mampu menerapkan teori
intertekstualitas Julia Kristeva sebagai alat untuk menganalisis karya sastra.
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN TEORI INTERTEKSTUALITAS

Mikhail Mikhailovich Bakhtin adalah seorang filsuf yang berasal dari Rusia
dan memiliki ketertarikan di bidang kesusastraan dan kebudayaan. Hasil pemikiran
dan gagasan Bakhtin meluas di berbagai disiplin akademis. Diantara banyaknya
gagasan yang diliki, gagasan yang memiliki pengaruh besar dalam proses pemahaman
kebudayaan dan kesusastraan adalah pemikirannya mengenai dialogisme atau
kensepsi tentang dialog. Untuk selanjutnya gagasan dari Bakhtin ini disebut sebagai
teori intertekstual. Intertekstual Bakhtin menekankan bahwa setiap dialog mengenai
kondisi eksistenasial dari manusia dimana manusia yang satu dengan manusia lainnya
miliki ikatan yang erat. Manusia dapat dikatakan ada hanya jika manusia tersebut
berkomunikasi secara dialogis. Lalu saat dialog tersebut berakhir maka tidak ada lagi
hakikat dari manusia tersebut yang tertinggal. Berangkat dari pemikiran tersebut,
dialog didefinisikan sebgai proses yang berlangsung terus-menerus di dalam setiap
kehidupan manusia (Alfaro 1996).

Dalam penerapannya di kebudayan dan kesusastraan, Bakhtin berpendapat


bahwa prespektif intertekstual hendaknya berdasar kepada sebuah teks sastra yang
dipandang sebagai tulisan sisipan atau cangkokkan pada kerangka teks sastra lainnya,
seperti tradisi, jenis sastra, parodi, acuan atau kutipan (Noor 2007: 4-5).

Pemikiran Bakhtin ini melahirkan prinsip dasar dari intertekstual itu sendiri
yaitu sebuah karya baru bisa dipahami maknanya secara utuh apabila ada di dalam
kaitannya dengan teks lain yang menjadi hipogram. Hipogram yang dimaksudkan
adalah karya sastra terdahulu yang dijadikan sandaran karya selanjutnya baik secara
tersirat atau yang sudah tersurat. Dalam kaitan ini, sastrawan yang lahir berikut adalah
reseptor dan transformator karya sebelumnya. Penulisan atau pemunculan sebuah
karya sering ada kaitanya dengan unsur kesejarahannya, sehingga pemberian makna
itu akan lebih lengkap jika dikaitkan dengan unsur kesejarahan itu (Teeuw, 1983:62-
5) 
B. INTERTEKSTUALITAS OLEH JULIA KRISTEVA

Dalam perspektif pemikiran Kristeva konsep intertekstual memiliki pandangan


yang lain dengan pendahulunya. Menurut perempuan berkebangsaan Perancis ini,
intertekstual tidak hanya dilihat sebagai suatu teks yang kehadirannya diakibatkan
oleh adanya plagiarisme dari teks sebelumnya. Di dalam bukunya, Kristeva
menegaskan bahwa suatu karya yang lahir tidak berhubungan dengan pengaruh
seorang penulis ke penulis lain atau suatu karya ke karya lain (Kristeva, 1980: 15).
Dengan kata lain hal ini menjelaskan bahwa adanya teks diakibatkan dari pergulatan
batin pengarang dalam melakukan proses kreatifitas penciptaan teks itu sendiri.

Selanjutnya Kristeva menyatakan bahwa Bakhtin adalah salah satu orang


pertama yang melakukan pemotongan statis teks dengan model di mana struktur
sastra tidak hanya ada tetapi dihasilkan dalam hubungan linguistik, semiotika,
tekstualitas ke struktur lain. Apa yang memungkinkan adanya dimensi dinamis bagi
strukturalisme adalah konsepsinya tentang 'kata sastra' sebagai perpotongan
permukaan tekstual dari sebuah titik (makna tetap), sebagai dialog di antara beberapa
tulisan: tulisan tentang. penulis, penerima (atau karakter) dan konteks budaya
kontemporer atau sebelumnya (Kristeva, 1980: 36).

Kristeva memang mengakui bahwa teks yang tercipta bukan merupakan


pengaruh dari teks ataupun pengarang lain, melainkan teks yang tercipta merupakan
hasil dari produktifitas pengarang, tetapi ia menyadari bahwa kehadiran suatu teks
dianggap merupakan proses penyerapan ataupun transformasi dari beberapa hal
(Kristeva, 1980:66). Kristeva menegaskan bahwa setiap pengarang tidak hanya
membaca teks itu secara sendiri, tetapi pengarang membacanya berdampingan dengan
teks-teks lain sehingga pemahaman terhadap teks yang terbit setelah pembacaan tidak
dapat dilepaskan dari teks-teks lain tersebut (Kristeva 1980: 18).

Tipe-Tipe Intertekstualitas
Intertekstualitas mencakup kutipan langsung, kiasan, konvensi sastra, imitasi,
parodi, dan sumber tak sadar. Intertekstualitas dapat ditemukan dalam musik, film,
dan lukisan. Empat tipe intertekstualitas yang akan dibahas di makalah ini antara lain:
1) Kiasan
Kiasan adalah sebuah ekspresi yang merujuk pada sesuatu tanpa secara jelas
menyebutnya. Contohnya ketika seorang gadis mengatakan pada kekasihnya: “Terima
kasih, Romeo”, dia mengasosiasikan kekasihnya dengan tokoh Romeo dalam karya
Shakespeare.
Kiasan memiliki beberapa jenis:
 Kiasan Sejarah, contohnya Cleopatra (yang merujuk pada seorang wanita
cantik)
 Kiasan dari Kitab Suci, contohnya istilah “melawan Goliat” (menggambarkan
sosok raksasa yang kuat)
 Kiasan Sastra, contohnya istilah “Masuk ke lubang kelinci” (Merujuk pada
suatu adegan di Novel Alice in Wonderland)
 Kiasan budaya, contohnya istilah Boneng (merujuk pada struktur gigi depan
atas yang maju seperti aktor Indonesia yang terkenal di era tahun 80 dan 90an)
2) Parodi
Parodi adalah proses meniru dengan menambahkan sedikit humor. Yang bisa ditiru
adalah setting, plot, karakter, atau bagian lain dari karya asli.
Misalnya: Lagu-lagu Project Pop yang memparodikan lagu barat yang tenar dengan
menambahkan lirik menggelitik.
3) Pastiche
Pastiche adalah meminjam satu elemen dari sebuah atau beberapa karya dan
menciptakan sesuatu yang baru. Tidak seperti parodi yang sedikit mengolok-olok,
atau seperti plagiarisme yang berniat sepenuhnya mengambil tanpa memodifikasi,
pastiche meminjam elemen karya lain dengan dasar rasa hormat.
Misalnya: Komik Yoko Kamio yang berjudul Boys Over Flower (Hana Yori Dango)
yang telah diadaptasi ke dalam film Jepang berjudul sama, Serial Meteor Garden
(Taiwan), Sinetron Siapa Takut Jatuh Cinta (Indonesia), Serial Boys Over Flower
(Korea), Serial F4 (Thailand)
4) Kutipan langsung
Dalam tipe ini, penulis mengutip teks sastra lain ke dalam tulisannya sendiri dan
mencantumkan nama asli dan judul karya yang dia kutip.
Misalnya: Buku Troubled Blood karya Robert Galbraith yang mengutip The Fairie
Queene karya Edmund Spenser di setiap awal babnya.

Kaidah dan Prinsip Intertekstualitas

Kehadiran teks lain, dalam keseluruan hubungan ini, bukanlah sesutu yang
polos (Innocent), yang tidak mengikutkan suatu proses pemaknaan, suatu signifying
process. Teori intertekstual yang digagas oleh Julia Kristeva dalam bukunya Desire in
Language: A Semiotic Approach to Literature and Art bukanlah menyanding dua
buah karya yang berbeda dan menganggap karya yang lebih awal sebagai hipogram
dari karya sesudahnya atau karya yang muncul belakangan dianggap sebagai resepsi
dari karya yang ada sebelumnya. Kristeva memandang dua teks yang dianggap
memiliki persamaan secara sejajar. Kesamaan itu bukanlah tindakan meniru.
Kesamaan itu muncul dari latar belakang sosial dan sejarah yang sama dalam
penulisannya (Kristeva, 1980: 15).

Sejalan dengan hal tersebut, teori intertekstualitas mempunyai kaidah dan prinsip
sebagai berikut:

1) Pada hakikatnya sebuah teks mengandung berbagai teks yang memiliki


kedudukan sejajar dengan sosial, budaya dan sejarahnya.
2) Studi intertekstualitas menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik teks.
3) Studi intertekstualitas itu mempelajari hubungan antara unsur intrinsik dan
ekstrinsik teks yang disesuaikan dengan fungsi teks di masyarakat.
4) Dalam kaitan dengan proses kreatif pengarang, kehadiran sebuah teks itu
sebenarnya tidak merupakan hasil peniruan dari teks-teks lain, melainkan
persamaan terjadi karena adanya persamaan sosial, budaya dan sejarah.
5) Dalam kaitan studi intertekstualitas, pengertian teks (sastra) janganlah
ditafsirkan terbatas pada bahan sastra, tetapi harus mencakup seluruh unsur
teks, termasuk bahasa (Julia Kristeva dalam Hutomo, 1993: 13 – 14).
Ideologeme

Pada tataran praktik, penelitian intertekstual dilakukan dengan cara


menemukan hubungan-hubungan yang bermakna di antara dua teks atau lebih.
Menurut Kristeva teks bukanlah objek individu terpisah, melainkan teks merupakan
kompilasi dari teks yang terdapat di dalam karya sastra dan teks yang terdapat diluar
karya sastra yang tidak dapat dipisahkan di antara keduanya. Teks tidak dapat
dipisahkan dari kondisi budaya dan sosial saat teks tersebut diciptakan (Kristeva,
1980:36). Dalam pembuatan teks terdapat ideologeme dan perjuangan penulis yang
terdapat di dalam masyarakat. Teks terdiri dari apa yang pada waktu disebut teks
budaya (atau sosial), semua wacana yang berbeda, cara berbicara dan mengatakan,
struktur dan sistem yang disetujui secara institusional yang membentuk apa yang kita
sebut budaya (Allen, 2000:36).

Ideologeme yang dimaksud oleh Kristeva (1980) adalah memahami


transformasi tuturan/ungkapan terhadap keseluruhan teks. Lebih lanjut, Kristeva
menjelaskan bahwa ideologeme adalah persilangan dari pengaturan teks yang
disampaikan melalui tuturan sehingga tuturan tersebut berasimilasi ke dalam
ruangnya sendiri (interior text) dan merujuk ke ruang teks luar (exterior text).
Ideologeme merupakan fungsi baca intertekstual sebagai sesuatu yang terwujud
ditingkat struktural yang berbeda dari setiap teks, dan membentang pada seluruh
lintasan atau alur, memberikan keselarasan antara sejarah dan sosial (Kristeva
1980:36). Dengan kata lain, tuturan atau potongan teks yang ditemukan dalam dalam
sebuah teks sastra memiliki kaitan dengan yang ada di luar karya.

Untuk mendapatkan ideologeme dalam teks dapat dilakukan dengan dua


analisis yaitu analisis suprasegmental dan analisis intertekstual. Analisis
suprasegmental dilakukan dengan cara memahami dialog dalam teks, sedangkan
analisis intertekstual dilakukan untuk memahami hubungan suatu teks dengan teks
lain secara sejajar. Ideologeme sebuah teks dapat dilihat melalui tiga proses, yaitu:

1) Konsep oposisi adalah sesuatu yang tidak dapat tukar-menukar dan mutlak di
antara dua kelompok yang kompetitif, tidak pernah rukun, tidak pernah saling
melengkapi, dan tidak pernah bisa didamaikan, Konsep ini muncul karena
adanya jaringan persilangan ganda dan perbedaan simbol-simbol kebudayaan
yang tidak pernah bisa bersatu antar dua kelompok atau lebih. Simbol
kebudayaan dapat berupa benda-benda yang berhubungan dengan budaya
seperti: pakaian, adat, kebiasaan, properti upacara kebudayaan dan lain
sebagainya.
2) Konsep transposisi adalah adanya perpindahan teks dari suatu sistem tanda ke
sistem tanda yang lain, perubahan ini diikuti dengan perbuatan yang baru.
Maksudnya adalah bagaimana sebuah sistem tanda dimasukkan ke dalam
sistem tanda lain serta hal-hal yang berkaitan dengan perubahan semiotik
sebagai akibat transposisi itu. Misalnya, dari posisi denotatif ke konotatif.
3) Transformasi adalah adanya perubahan bentuk dari satu teks ke teks yang lain
(Kristeva, 1980). Dalam konteks ini, teks dilihat sebagai teks yang dibaca oleh
penulis, kemudian penulis itu menyisipkan dirinya sendiri dengan menulis
ulang teks tersebut sehingga dalam tulisan tersebut yang diakronis bisa
berubah menjadi sinkronis (Nasri 2017)

BAB III
PENUTUP
Ideologeme merupakan sari pati pemikiran Julia Kristeva dalam
mengungkapkan gagasannya tentang Intertekstual. Dalam Desire in Language: A
Semiotic Approach to Literature and Art jelas dinyatakan bahwa intertekstual tidak
berbicara tentang pengaruh satu pengarang atas pengarang yang lain atau pengaruh
karya sastra yang dibaca seseorang. Karya sastra yang muncul lebih awal bukanlah
hipogram dari karya sesudahnya; sedangkan karya yang muncul belakangan bukanlah
hasil resepsi dari karya sebelumnya. Intertekstualitas juga tidak menyinggung
persamaan dan perbedaan antar karya sastra.
DAFTAR PUSTAKA

Alfaro, M. J. M. (1996). Intertextuality : Origins And Development Of The Concept .Atlantis


18(1):268–85.

Allen, G. (2000). Intertextuality. New York. Routledge.

Hutomo, Suripan Sadi. (1993). Merambah Matahari: Sastra dalam Perbandingan. Surabaya:
Gaya Masa.
Kristeva, J. (1980). Desire language: A semiotic to literature and art. (T. Gora, A. Jardine,
dan L.S. Roudiez, penerjemah dan Leon S. Roudiez, editor). New York: Columbia
University.
______. (2013). Teori sastra dan Julia Kristeva. (Sunaryono Basuki Ks, penerjemah). Bali:
CV. Bali Media Adhikarsa). (Karya asli diterbitkan pada 2005).
Nasri, Daratullaila. (2017). Oposisi Teks Anak Dan Kemenakan Karya Marah Rusli: Kajian
Intertekstual Julia Kristeva. Kandai 13(2):205.
Noor, Juliansyah. (2007). Metode Penelitian Kualitatif, Kencana Prenada Media Group.

Teeuw, A. (1983). Membaca dan Menilai karya Sastra. Jakarta: Gramedia.

Sumber online
https://www.youtube.com/watch?v=xyFHEKC6hz4
https://www.youtube.com/watch?
v=hJ4_gmE37oI&list=PL4aIKAQ4TQXxKodbyF8ojYZdiTGZejzlK
https://www.youtube.com/watch?v=C1ESYAS7ayM
https://www.youtube.com/watch?v=bKmSGIkrg8Y
https://www.youtube.com/watch?v=uJYZd0EYnCs
https://www.youtube.com/watch?v=18l-i3wR7Ao

Anda mungkin juga menyukai