Anda di halaman 1dari 9

ALIH WAHANA (EKRANISASI) NOVEL HUJAN BULAN JUNI KARYA

SAPARDI DJOKO DAMONO DENGAN FILM HUJAN BULAN JUNI


YANG DISUTRADARAI OLEH RENI NURCAHYO HESTU SAPUTRA

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis ekranisasi novel Hujan Bulan


Juni karya Sapardi Djoko Damono yang ditransformasikan ke dalam film dengan
judul yang sama karya sutradara Reni Nurcahyo Hestu Saputra. Tolak ukur analisis
ini meliputi ekranisasi berupa pengurangan/pemotongan (latar, tokoh dan
penokohan) novel dalam film, penambahan/perluasan (latar, tokoh dan penokohan)
dalam film dan perubahan bervariasi (latar, tokoh dan penokohan) novel dan film.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif naratif. Metode
pengumpulan data yang digunakan adalah metode studi pustaka dan metode
perbandingan, selanjutnya metode analisis data menggunakan pendekatan
struktural.
A. Pendahuluan
Dunia sastra meliputi prosa merupakan salah satu genre yang memiliki
bidang cakupan berupa karya fiksi. Fiksi merupakan sebuah cerita rekaaan/rekayasa
buatan yang memiliki fungsi memberitahukan kepada pembaca tentang sebuah
kejadian atau peristiwa yang bisa saja terjadi di kehidupan nyata. Sifat dari karya
sastra fiksi berbeda dengan karya sastra nonfiksi, karya sastra nonfiksi bersifat
faktual atau fakta yang terjadi, sedangkan karya sastra fiksi bermula dari imajinasi
pengarang yang terkadang ceritanya diangkat dari kehidupan nyata Karya sastra
fiksi memiliki sebuah amanat yang terkandung dalam unsur-unsur cerita.
Salah satu bentuk karya sastra yang mengupas kehidupan manusia dan
masyarakat sekitarnya adalah novel. Novel merupakan bentuk karya sastra fiksi
yang bersifat kreatif imajinatif yang menceritakan persoalan kehidupan manusia
secara kompleks dengan berbagai konflik, sehingga pembaca memperoleh
pengalaman-pengalaman baru tentang kehidupan. Abrams (dalam Nurgiyantoro,
1995:9) menyatakan bahwa kata novel berasal dari bahasa Italia yaitu novella yang
secara harfiah berarti sebuah barang baru yang kecil dan kemudian diartikan
sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa.
Novel dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu
secara lebih banyak, lebih rinci, lebih detil, dan lebih banyak melibatkan berbagai
permasalahan yang lebih kompleks (Nurgiyantoro,1995:11).
Novel yang menarik perhatian pembaca biasanya menyuguhkan alur cerita
yang menarik pula. Muhardi dan Hasanuddin WS (1992:28) menyatakan bahwa
alur adalah hubungan antara suatu peristiwa atau kelompok peristiwa dengan
peristiwa lain dalam novel. Tanpa hubungan sebab akibat suatu rentetan peristiwa
maka tidaklah dapat disebut suatu alur. Setiap perubahan tokoh, tindakan, tempat,
dan waktu pada cerita dapat menyebabkan munculnya peristiwa baru yang disebut
episode cerita. Menurut Ensiklopedi Sastra Indonesia, episode berasal dari istilah
Inggris dan Perancis, yaitu suatu lakuan pendek sebuah karya sastra yang
merupakan bagian integral dari alur utama, tetapi jelas batas-batasnya (bagian yang
dapat berdiri sendiri dalam deretan peristiwa suatu cerita).
Film adalah gambar hidup, juga sering disebut movie. Film, secara kolektif
sering disebut sinema. Sinema itu sendiri bersumber dari kata kinematik atau gerak.
Film juga sebenarnya merupakan lapisan-lapisan cairan selulosa, biasa dikenal di
dunia para sineas sebagai seluloid. Pengertian secara harfiah film (sinema) adalah
cinemathographie yang berasal dari “cinema”, “tho” (berasal dari kata phytos
artinya cahaya) dan “graphie” (berasal dari graph artinya tulisan, gambar, citra).
Jadi pengertiannya adalah melukis gerak dengan cahaya. Agar kita dapat melukis
gerak dengan cahaya, kita harus menggunakan alat khusus, yang biasa kita sebut
dengan kamera. (http://bahasfilmbareng.blogspot.com/2008/04/ pengertian-
film.html).
Bluestone (dalam Eneste, 1991:18) menyatakan, film merupakan gabungan
dari berbagai ragam kesenian, yaitu musik, seni rupa, drama, sastra ditambah
dengan unsur fotografi. Eneste (1991:60) menyatakan bahwa film merupakan hasil
kerja kolektif atau gotong royong. Baik dan tidaknya sebuah film akan sangat
bergantung pada keharmonisan kerja unitunit yang ada di dalamnya (produser,
penulis skenario, sutradara, juru kamera, penata artistik, perekam suara, para
pemain, dan lain-lain). Oleh karena itu, film merupakan medium audio visual,
suarapun ikut mengambil peranan di dalamnya.
Sapardi Djoko Damono (dalam kuliah wawasan ilmu sosial dan budaya)
memiliki istilah alih wahana untuk membicarakan transformasi karya sastra ini.
Istilah ini hakikatnya memiliki cakupan yang lebih luas dari ekranisasi. Ekranisasai
merupakan perubahan ke atau menuju layar putih. Sedangkan alih wahana seperti
yang dijelaskan Sapardi bisa dari berbagai jenis karya seni ke jenis karya seni lain.
Akan tetapi, istilah ini tidak bertentangan dengan makna dan konsep dasar yang
dimiliki oleh ekranisasi sebagai proses pengubahan dari satu wahana ke wahan lain.
Ekranisasi adalah pelayarputihan atau pemindahan sebuah novel ke bentuk
film. Eneste menyebutkan bahwa ekranisasi adalah suatu proses pelayarputihan
atau pemindahan atau pengangkatan sebuah novel ke dalam bentuk film. Eneste juga
menyebutkan bahwa pemindahan dari novel ke layar putih mau tidak mau
mengakibatkan timbulnya berbagai perubahan. Oleh karena itu, ekranisasi juga bisa
disebut sebagai proses perubahan bisa mengalami penciutan, penambahan
(perluasan), dan perubahan dengan sejumlah variasi.
Eneste (1991:61—66) menjelaskan bahwa perubahan yang terjadi dalam
ekranisasi adalah sebagai berikut:
1) Pengurangan
Salah satu langkah yang ditempuh dalam proses transformasi karya
sastra ke film adalah pengurangan. Pengurangan adalah pengurangan atau
pemotongan unsur cerita karya sastra dalam proses transformasi. Eneste
(1991:61) menyatakan bahwa pengurangan dapat dilakukan terhadap unsur
karya sastra seperti cerita, alur, tokoh, latar, maupun suasana. Dengan adanya
proses pengurangan atau pemotongan maka tidak semua hal yang
diungkapkan dalam novel akan dijumpai pula dalam film. Dengan demikian
akan terjadi pemotongan-pemotongan atau penghilangan bagian di dalam
karya sastra dalam proses transformasi ke film.
Eneste (1991:61—62) menjelaskan bahwa pengurangan atau
pemotongan pada unsur cerita sastra dilakukan karena beberapa hal, yaitu: (1)
anggapan bahwa adegan maupun tokoh tertentu dalam karya sastra tersebut
tidak diperlukan atau tidak penting ditampilkan dalam film. Selain itu, latar
cerita dalam novel tidak mungkin dipindahkan secara keseluruhan ke dalam
film, karena film akan menjadi panjang sekali. Oleh karena itu, latar yang
ditampilkan dalam film hanya latar yang memadai atau yang pentingpenting
saja. Hal tersebut tentu saja tidak lepas dari pertimbangan tujuan dan durasi
waktu penayangan. (2) Alasan mengganggu, yaitu adanya anggapan atau
alasan sineas bahwa menghadirkan unsur-unsur tersebut justru dapat
mengganggu cerita di dalam film. (3) Adanya keterbatasan teknis film atau
medium film, bahwa tidak semua bagian adegan atau cerita dalam karya sastra
dapat dihadirkan di dalam film. (4) Alasan penonton atau audience, hal ini
juga berkaitan dengan persoalan durasi waktu.
2) Penambahan
Penambahan (perluasan) adalah perubahan dalam proses transformasi
karya sastra ke bentuk film. Seperti halnya dalam kreasi pengurangan, dalam
proses ini juga bisa terjadi pada ranah cerita, alur, penokohan, latar, maupun
suasana. Penambahan yang dilakukan dalam proses ekranisasi ini tentunya
memiliki alasan. Eneste (1991:64) menyatakan bahwa seorang sutradara
mempunyai alasan tertentu melakukan penambahan dalam filmnya karena
penambahan itu penting dari sudut filmis.
3) Perubahan Bervariasi
Perubahan bervariasi adalah hal ketiga yang memungkinkan terjadi
dalam proses transformasi dari karya sastra ke film. Menurut Eneste
(1991:65), ekranisasi memungkinkan terjadinya variasi-variasi tertentu antara
novel dan film. Variasi di sini bisa terjadi dalam ranah ide cerita, gaya
penceritaan, dan sebagainya. Terjadinya variasi dalam transformasi
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain media yang digunakan,
persoalan penonton, durasi waktu pemutaran. Eneste (1991:67) menyatakan
bahwa dalam mengekranisasi pembuat film merasa perlu membuat
variasivariasi dalam film, sehingga terkesan film yang didasarkan atas novel
itu tidak seasli novelnya.

B. Sinopsis Novel Hujan Bulan Juni


Hujan Bulan Juni adalah sebuah novel yang menceritakan Sarwono, lelaki
keturunan jawa tulen, dengan Pingkan yang sejatinya mempunyai darah Manado
dari ayahnya dan darah jawa yang berasal dari ibunya. Sarwono merupakan dosen
Antropolog di sebuah universitas. Di sanalah ia bertemu dengan Pingkan, adik
sahabatnya sendiri yang bernama Toar. Pingkan juga sebagai dosen muda Jepang
di universitas yang sama. Karena sering bertemu itulah mereka menjadi akrab.
Mereka sama-sama tahu bahwa mereka saling mencintai walau menunjukkannya
dengan cara berbeda.
Cerita cinta mereka penuh dengan liku karena banyak perbedaan; latar
belakang, suku, dan agama. Bahkan orang tua Pingkan selalu menyudutkan Pingkan
agar tidak melanjutkan hubungannya dengan Sarwono dan menjodohkan dengan
lelaki bernama Katsuo yang juga menyukai Pingkan.
Karena Pingkan adalah orang yang pandai, ia dikirim oleh prodinya untuk
melanjutkan studi di Jepang. Sarwono merasa gamang. Terlebih saat ia mendengar
bahwa Katsuo, lelaki Jepang yang pernah dekat dengan Pingkan akan menjadi
dosen di Universitas Kyoto, kampus yang akan dimasuki oleh Pingkan.
Di ending, diceritakan bahwa keadaan Sarwono tidak baik-baik saja. Karena
sering merokok dan ada flek di paru-parunya, ia pun memiliki penyakit paru-paru
basah. Dia harus menahan rindu kepada Pingkan sekaligus melawan penyakitnya
sendiri.

C. Ekranisasi Perbandingan Novel dan Film “Hujan Bulan Juni”


1. Pengurangan/penciutan

No Novel Film

Bagian awal dimulai dengan Pada bagian awal menampilkan


menceritakan tentang kehidupan secara sekilas adengan akhir
dan keseharian tokoh utama laki- cerita dan kemudian dilanjutkan
1. laki (Sarwono) dengan pertemuan dan
percakapan antara tokoh utama
laki-laki (Sarwono) dan
tokohutama perempuan
(Pingkan)
Latar tempat diawal cerita di Latar tempatnya di
2. lingkungan sekitar hotel di Perpustakaan Kampus
Bulaksumur, dekat kampus UGM
ke Malioboro
Pesan via e-mail dari Kaprodi Seketika Sarwono
mengenai tugasnya untuk memberitahukan langsung
3. melanjutkan perjalanan kepada Pingkan tentang
sosialisasinya ke Gorontalo keberangkatan mereka ke
Gorontalo
Adanya seorang asisten yang ikut Tidak ada
4. dalam perjalanan mereka selama di
Manado
5. Adengan Pingkan dan Sarwono Tidak ada
yang saling menyender di bahu
masing-masing sambil
mendengarkan musik Jazz-Klasik
Pernyataan dan ungkapan kasih Ungkapan kasih sayang yang
6. sayang dijabarkan secara terperinci dilantunkan melalui puisinya
melalui hati dan ketuhanan
7. Perbincangan antara Sarwono Hanya ada perbincangan antara
dengan Benny dan keluarganya Sarwono dan Benny di Bandara
Perjalanan Sarwono keliling Tidak ada. Melainkan
Indonesia selama 6 minggu memperlihatkan keseharian
8. lamanya, dia pun mulai merokok Pingkan selama di Jepang
lagi hingga mempengaruhi kondisi
fisiknya yang semakin melemah.

2. Penambahan/perluasan (dalam Novel)


a) Adanya tokoh baru dari Jepang yang bernama Katsuo dalam film yang
berperan sebagai instruktur yang telah membantu Pingkan melanjutkan
studinya ke Jepang.
b) Pegawai kampus yang membantu urusan keberangkatan Sarwono dan
Pingkan ke Manado (dalam film) ternyata memiliki ketertarikan kepada
Sarwono.
c) Terkadang di setiap adengan dalam film disisipkan puisi Sapardi Djoko
Damono, misalnya puisi motivasi, kesepian, hujan bulan juni.
d) Pingkan mengunjungi sanak keluarga ayahnya yang tinggal di Manado dan
selaman dia merayakan pesta, tetapi di lain sisi Sarwono merasakan
kehampaan karena tak seorangpun dari keluarga Pingkan memulai
pembicaraan dengannya.
e) Seorang pria yang pak Tumbelaka sering menggoda Pingkan selama proses
sosialisasinya di Universitas Sam Ratulangi.
f) Ketika hendak melakukan perjalan ke Gorontalo, sepupu Pingkan, Benny,
mengantar mereka mengendarai mobil.
g) Penggambaran tentang karakter kemusliman Sarwono ditampakkan dalam
film melalui aktivitas shalat 5 waktunya.
h) Adengan dalam film ketika berada di Gorontalo lebih memfokuskan pada
kisah asmara Sarwono dan Pingkan. Berkembangnya perasaan cinta diantara
keduanya untuk menarik penonton terhanyut dalam kisah mereka.
i) Pingkan yang kembali dari Jepang menyaksikan langsung kepergian Sarwono
yang dalam kondisi koma di Rumah Sakit hingga detik terakhirnya.

3. Perubahan Bervariasi
a) Latar/setting
Latar pada novel lebih kompleks dan tidak digambarkan secara terperinci
pada setiap tempat kejadian atau peristiwa, sedangkan latar pada film agak
berbeda dengan novel dan bervarian sehingga penggambaran imajinasi yang
dilihat secara langsung agak meresap ke dlam hati penonton. Begitupun
dengan latar waktu pada novel terkadang sedikit berbeda dengan latar
filmnya.
b) Alur/plot
 Alur pada film tidak sesuai dengan alur pada novel karena puisi yang
seharusnya dibaca setelah kejadian seharusnya, telah diungkapkan di
adegan lain dalam film.
 Di bagian tengah novel banyak part/bagian kejadian yang tidak
ditampilkan dalam film. Dimana pada bagian tersebut menceritakan
kisah Sarwono selama ditinggal Pingkan ke Jepang, tentang perecanaan
pernikahan kakak Pingkan, Tour.
 Kisah dalam film memfokuskan pada kisah asmara antara Sarwono dan
Pingkan yang tak pernah hilang walaupun jasad dan raga tidak bersama
tetapi jiwa mereka terhubung di dunia senyap/kedap suara, hanya ada
mereka berdua, yaitu Surat Takdir melalui puisi-puisinya.
 Alur yang digunakan ialah alur campuran (maju mundur).
c) Sudut pandang
Sudut pandang yang ada pada novel melibatkan banyak tokoh, akan tetapi
dalam film memfokuskan pada orang ketiga pelaku utama.
DAFTAR PUSTAKA

Eneste, Pamusuk. 1991. Novel dan Film. Flores: Nusa Indah.

Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press.

Muhardi dan Hasanuddin WS. 1992. Prosedur Analisis Fiksi. Padang: IKIP Padang
Press.

Dothy.2008.“PengertianFilm”.
http://bahasfilmbareng.blogspot.com/2008/04/pengertian-film.html. Diunduh 8
Januari 2019.

Damono, Sapardi Djoko. 2009. Sastra Bandingan. Ciputat: Editum.

Anda mungkin juga menyukai