Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

FILSAFAT ILMU
TENTANG

PANDANGAN TENTANG PRINSIP


METODOLOGI ALFRED JULES AYER
DAN KARL R. ROPPER

DOSEN PEMBIMBING :
Dr. IHSAN SANUSI, S.Fil.I, M.Ag

DISUSUN OLEH :

WIWIT VIANORA
&
DEWI FETRI MELY

PROGRAM PASCASARJANA
MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
BATUSANGKAR
TAHUN 2021
1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunianya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Kami selaku penulis menyampaikan
ucapan terima kasih kepada Dr. Ihsan Sanusi, S.Fil.I, M.Ag selaku dosen
pembimbing mata kuliah yang telah memberikan arahan dan membimbing tentang
pembuatan makalah ini, serta kepada teman-teman yang memberi dukungan demi
selesainya makalah ini.
Dalam pembuatan makalah ini, kami menyadari masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu kami selaku tidak menutup diri dari para pembaca
akan saran dan kritik yang sifatnya membangun demi perbaikan dan peningkatan
kualitas pembuatan makalah yang akan datang. Dan kami berharap, semoga makalah
ini bisa memberikan suatu manfaat bagi para pembaca semuanya. Aamiin ya
Robbal‘Alamin.

Batusangkar, Mei 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR..................................................................................................i

DAFTAR ISI................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penulisan................................................................................1

B. Tujuan Penulisan...............................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

A. Alfred Jules Ayer

a. Biografi................................................................................................... 4

b. Positisme logis versus metafisik ............................................................ 5

c. Prisip verifikasi Ayer ..............................................................................7

d. Pengaruh verifikasi bagi perkembangan ilmiah .....................................10

B. Karl Raymond Popper


a. Biografi .................................................................................................. 11
b. Pemikiran Popper .................................................................................. 13
c. Prinsip falsifikasi popper ....................................................................... 17
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan....................................................................................................22

B. Saran...............................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Metodologi (ilmu tentang metode) adalah bagian epistemologi (teori


pengetahuan) yang mengkaji tentang urutan langkah-langkah yang ditempuh agar
pengetahuan yang diperoleh memenuhi ciri-ciri ilmiah. Metodologi juga dapat dipandang
sebagai bagian dari logika yang mengkaji kaidah penalaran yang tepat. Bernalar secara
tepat itu penting. Benar tidaknya cara kita berpikir, menganalisa, melogika, dan menarik
kesimpulan mempengaruhi pengetahuan yang kita dapat dan kebenarannya. Manakala
kita membicarakan metodologi, maka hal yang tak kalah pentingnya adalah asumsi-
asumsi yang melatarbelakangi berbagai metode yang dipergunakan dalam aktivitas
ilmiah.
Asumsi-asumsi yang dimaksud adalah pendirian atau sikap yang akan
dikembangkan para ilmuan di dalam kegiatan ilmiah  mereka. Filsuf-filsuf yang paling
banyak menaruh perhatian terhadap persoalan penting dibalik metodologis atau prinsip-
prinsip metodologi yaitu Alfed Jules Ayer, dan Karl Raimund Popper. Dan untuk lebih
jelasnya tentang pemikiran mereka akan dibahas dalam bab selanjutnya.

B. Tujuan Penulisan

1. Bagaimana prinsip metodologi ilmu menurut Alfed Jules Ayer?


2. Bagaimana prinsip metodologi ilmu menurut Karl Raimund Popper?

3
BAB II
PEMBAHASA
N

A. Alfred Jules Ayer

a. Biografi Intelektual
Alfred Jules Ayer dilahirkan di London 29 Oktober 1910, ayahnya berkebangsaan
Swiss dan ibunya berkebangsaan Belgia. Istrinya keturunan dari keluarga Yahudi lahir di
Antwerpen dan masih satu keluarga dengan keluarga Citroen pendiri pabrik mobil
terkenal di Prancis. Keterlibatan Ayer di dunia pendidikan khususnya filsafat di mulai
ketika ia mengeyam pendidikan di sekolah tinggi elit Eton selama rentan waktu 1923
sampai 1929, karena kefasihannya dalam sastra Latin dan Yunani, Ayer mendapatkan
beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di Christ Church Collage, Oxford untuk
mendalami filologi klasik dan filsafat.(K.Bertens, 1990). Setelah menyelesaikan
pendidikannya, Ayer menghabiskan waktunya selama beberapa bulan di Universitas
Wina atas rekomendasi Schlick untuk belajar secara langsung dengan Lingkungan Wina
yang mencapai era keemasannya pada saat itu. Ayer kembali ke Oxford 1933 sebagai
dosen di almameternya Christ Chruch Collage dan pada tahun 1935 ia mendapatkan
beasiswa untuk melanjutkan jenjang doktoral dan penelitian. Setahun berikutnya ia
berhasil menulis bukunya yang terkenal Language, Truth and Logic.
Pada saat perang dunia kedua, Ayer mengikuti dinas militer hingga tahun 1945
dan lebih banyak bertugas dengan bagian intelegen namun setelah itu ia kembali
mengajar dan kemudian diangkat menjadi dekan di Wadham Collage, Oxford. Ada
sebuah cerita menarik tentang kelogisan pemikirannya yang positivistik dan empiris, pada
tahun 1988 jantungnya pernah berhenti berdetak selama empat menit kemudian Ayer
melihat cahaya merah yang menyakitkan. Pengalaman ini membuatnya menerima
kemungkinan bahwa sesudah mati manusia tidak berakhir, namun Ayer tetap
mempertahankan pemikirannya yang positivistik dan cenderung ateis.( Frans
Magns,2000). Setahun setelah peristiwa itu ia meninggal dunia, namun pemikiran tetap
mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan hingga saat ini.

4
b. Positivisme Logis Versus Metafisik
Positivisme logis merupakan trend filsafat abad-20 yang membentuk positivisme
modern dengan mencabut filsafat dari akar pokoknya atau metafisik. Menurut sistem ini,
pengetahuan tentang kenyataan diberikan hanya dalam pemikiran ilmiah yang konkret
sedangkan filsafat sebagai analisis bahasa yang diungkapkan dengan suatu pemikiran
yang terbatas pada pengalaman langsung.(Lorens Bagus, 2000). Aliran ini dipelopori oleh
filsuf-filsuf Lingkungan Wina, kelompok ini tidak ada bedanya dengan kaum atomisme
logis dengan menggunakan tehnik analisis bahasa dalam menanggapi realitas yang ada,
hanya berbeda dalam hal penyelesaian kesimpulannya. Positivisme logis tidak menerima
pendapat Atomisme Logik, karena dianggap masih berbau metafisik sehingga mereka
menawarkan suatu kriteria yang dinamakan prinsip verifikasi. Prinsip verifikasi adalah
suatu cara untuk menentukan bermakna dan tidak bermaknanya suatu
proposisi/pernyataan dengan tolak ukur empiris namun rumusannya berbeda-beda antar
filosof. Pada dasarnya, terdapat lima asumsi dasar bagi positivisme logis yang dijadikan
pijakan bagi konstruksi positivisme logis. Kelima asumsi itu adalah realitas objektif,
reduksionisme, asumsi bebas nilai, determinisme dan logiko-empirisme. Asumsi tersebut
membatasi filsafat pada epistemologi dan logika. Filsuf Positivisme Logis, menolak
gagasan bahwa filsafat dapat mempersoalkan tentang realitas sebagai keseluruhan.
Penolakan itu dilakukan dengan dua alasan, yaitu; 1) berusaha mengembalikan semua
persoalan menjadi masalah pengalaman inderawi; 2) menganalisis bahasa dan berusaha
menunjukkan bahwa setiap individu terkadang sangat dipengaruhi oleh struktur bahasa.
(Asep Ahmat, 2006).
Ayer sebagai salah satu tokoh neo-positivisme berusaha mengembangkan
hubungan makna dan fakta pada prinsip verifikasi, mengkritik Hegelian atas kepercayaan
terhadap metafisik dan memberikan pengaruh yang besar terhadap filsuf Inggris sehingga
mereka membantah adanya metafisik. Istilah “metafisik” (“meta” dan “fisika”) menunjuk
kepada sesuatu yang melampaui alam inderawi, sehingga tidak dapat diobservasi secara
empiris. Contoh lain pernyataan seperti: “substansi”, “hakikat”, “roh”, “akal budi”
merupakan pernyataan metafisik yang tidak bermakna dan mempunyai nilai kebenaran.
Filsafat Ayer bercorak analitis mengikuti alur pemikiran Moore dan Russel yang
disintesiskan dengan logika sebagai landasan berfikir dan menolak adanya metafisik.
(Mintaredja, 2003). Hal tersebut, dikembangkan oleh Ayer dengan membedakan
pernyataan-pernyataan yang bersifat logis atau tidak logis dalam gagasan verifikasi. Ayer
5
berusaha mengembangkanajaran neo-positivisme dengan merumuskan prinsip verifikasi,
dalam bukunya Language, Truth and Logic (1974:48):
We say that sentence is factually significant to any given person, if and only if he
knows what observations would be lead him, under certain condition, to accept
the proposition as being true, or reject is being false. If on the other hand, the
putative proposition is of such a character that the assumption of its truth, or
falsehood is consistent with any assumption whatsoever concerning the nature of
his future experience, then, as far as he is concerned, it is, if not a tautology,a
mere pseudo-proposition. The sentence expressing it may be emotionally
sifnificant to him, but it is not literally significant.
Maksud dari pernyataan Ayer, menerangkan bahwa pertama-tama suatu kalimat
harus dipahami dengan baik bahwa prinsip verifikasi yang diaplikasikan dalam suatu
kalimat bermaksud menentukan makna suatu ucapan, bukan kebenarannya karena suatu
ucapan yang bermakna bisa benar atau salah. Misalnya, orang yang mengatakan,
“Surabaya ibukota Republik Indonesia” mengucapkan kalimat yang tidak benar, tetapi
kalimat itu bermakna, sebab ketidakbenarannya dapat ditetapkan. Tetapi bagaimana
halnya jika dikatakan “Hari ini cuaca di dalam rumah lebih bagus daripada di luar?”
Ucapan terakhir ini tidak bermakna sebab sama sekali tidak diketahui maksud yang
ditujukannya. Tidak ada observasi apa pun yang dapat membuat ucapan itu benar atau
tidak benar. Ucapan itu tetap tidak bermakna karena tidak ada hubungannya dengan
pengalaman kita sekarang dan di masa mendatang.
Menurut Ayer, “A proposition is said tobe veriable, in the strong sense term, if
and only if, its truth could be conclusively established in experience. But it is veriable, in
the weak sense, if its possible for experience to render it probable...”. Pernyataan Ayer
diatas, menjelaskan bahwa ucapan akan bermakna, bila merupakan observation
statement artinya pernyataan yang menyangkut realitas inderawi atau memiliki hubungan
antara makna dan fakta. Supaya ucapan mempunyai makna, perlulah kita menunjuk
kepada suatu hal empiris yang membuat ucapan itu benar atau tidak benar. Ucapan
seperti “Di dalam kotak pensil ada dua spidol” dengan mudah dapat diverifikasi karena
sesuai dengan fakta. Fakta tersebut membuat kita lebih mengerti makna positivisme logis:
perlu suatu fakta atau data empiris agar ucapan-ucapan kita boleh dianggap bermakna.
Ayer menguatkan pandangannya dengan mengemukakan adanya prinsip verifikasi
sebagai tolok ukur kebenaran dari ucapan sehingga akan diketahui bahwa pernyataan-
pernyataan yang tidak bisa diverifikasi dan dianalisis secara logika adalah pernyataan
6
yang tidak bermakna terutama ucapan yang berkaitan dengan metafisika karena tidak bisa
dibuktikan secara empiris.
Ajaran terpenting dari Alfred Jules Ayer yang terkait dengan masalah metodologi
dalam prinsip verifikasi. Ayer termasuk salah satu penganut Positivisme Logika yang
muncul setelah Moritz Schlik. Positivisme logic berprinsip sesuatu yang tidak dapat
diukur itu tidak mempunyai makna. Dengan demikian makna sebuah proposisi tergantung
apakah kita dapat melakukan verifikasi terhadap proposisi yang bersangkutan’. (Rizal
Mustansyir, dkk.,2001) Walaupun tokoh Positivisme Logik secara umum menerima
prinsip verifikasi sebagai tolak ukur untuk menentukan konsep tentang makna, namun
mereka membuat rincian yang cukup berbeda mengenai prinsip verifikasi itu sendiri.
Prinsip verifikasi itu merupakan pengandaian untuk melengkapi suatu kriteria, sehingga
melalui kriteria tersebut dapat ditentukan apakah suatu kalimat mengandung makna atau
tidak.

c. Makna dan Fakta Pada Prinsip Verifikasi Ayer


Pemikiran positivisme logis merupakan proyeksi pemikiran filsuf yang meyakini
bahwa kebenaran hanya bisa ditinjau dengan cara empirik atau diuji. Fred Jelus Ayer,
adalah filsuf yang mengemukakan prinsip verifikasi untuk meyakini suatu kebenaran.
Membedakan bahasa atas pernyataan-pernyataan yang bermakna dan tidak bermakna
(common sense). Common sense adalah suatu pernyataan dimana bahasa yang
mengandung makna bisa diverifikasi atau dianalisis secara logika dan dapat dibuktikan
secara empirik. Prinsip verifikasi logis muncul saat filsuf Positivisme sangat terkesan
akan metode ilmiah yang digunakan oleh fisikawan modern. Konsep-konsep fisika
tersebut, seperti yang digambarkan oleh Einstein dalam kritiknya terhadap ruang absolut
(absolute space) dan fisikawan klasik Newtonian yang menerangkan waktu absolut
(obsolute time), ruang dan waktu absolut bermakna jika dikhususkan dalam operasi-
operasi eksperimental sehingga dapat diverifikasi. Berdasarkan ruang dan waktu absolut,
terdapat dua hal utama untuk memahami proposisi yang dapat diverifikasi, diantaranya:
1. Proposisi Empiris dan Proposisi Analitis Ayer
Usaha Ayer untuk mendefinisikan kembali prinsip verifikasi filsuf positivisme
logis terdahulu yang sempit kedalam pengertian yang luas dengan jalan
membuat distingsi antara proposisi-proposisi empiris dengan proposisi
analitis. Proposisi empiris dapat diverifikasi empiris secara langsung karena
memiliki referensi faktual, sementara proposisi-proposisi analistis tidak
7
memiliki referensi faktaul, namun benar dan bermakna secara definisi
karena mampu untuk memverifikasi dirinya sendiri.
Distingsi sendiri adalah sebuah keniscayaan mengingat proposisi-proposisi
empiris seringkali merupakan bentuk aktif dari proposisi analitis. Dengan
alasan adanya distingsi di atas, Ayer mengungkapkan bahwa,”a sentence
has literal meaning if and only if the proposition it expresses is either
analytic or empirically verifiable”. Intinya suatu kalimat memiliki makna
bila dan hanya bila proposisi yang mengekspresikannya dapat diverifikasi
secara analitis dan empiris menjadi dapat dipahami dan diapresiasikan
dengan lebih baik sehingga membuat sebuah kalimat menjadi rentan untuk
difalsifikasi dengan beberapa observasi empiris.
Ayer juga menekankan penjelasannya bahwa,“We enquire in every case what
observations would lead us to answer the question, one way for the other;
and if non can be discovered, we must conclude that the sentence under
consideration does not, as far as we are concerned, express a genuine
proposition, however strongly its grammatical form may suggest that it
dose”.
Pernyataan Ayer tersebut menekankan bahwa apabila seseorang tidak mampu
untuk menjelaskan dengan baik bagaimana proposisi yang ingin
diekspresikannya diverifikasi, maka bagi Ayer orang tersebut telah gagal
mengkomunikasikan ucapannya. Ayer melihat proposisi analitis memiliki
beberapa arti, yakni; pertama,proposisi yang benar dengan definisi, true
solely in virtue of the meaning of its constituent symbols, kedua, proposisi
yang tidak ditemukan pengalaman pada proposisi yang dimaksud tetapi
bersifat a priori, ketiga, proposisi yang memiliki kepastian dan kebutuhan
yang merupakan tautologi, keempat, proposisi yang memiliki makna sejauh
proposisi itu mendefinisikan penggunaan linguistik terhadap suatu terma
yang pasti sehingga maknanya adalah linguistis atau verbal (Ayer,
1954:78).
Penjelasan diatas menyatakan bahwa menurut Ayer terma-terma analitis
dikatakan benar jika menggunakan definisi a priori, tautologis, linguistik
dan verbal sebagai terma-terma yang sama sesuai dengan pernyataan Ayer,
“Just as our knowledge that every oculist is an eye doctor depens on the fact
that the symbol “eye-doctor” is synonymous with ‘oculist’, so our
8
knowledge of 5+7 is synonymous with 12... And the same explanation
holds good for every other a priori truth”. Intinya, proposisi bersifat analitis
jika dapat mengekspresikan hukum-hukum logis dan matematis atau
proposisi yang analitis memiliki keterkaitan antara makna dan fakta
sehingga prinsip verifikasi bisa diterapkan.
2. Makna dan Fakta dalam Prinsip Verifikasi
Berlainan dengan para filsuf pendahulunya dari Lingkaran Wina yang
menganggap prinsip verifikasi sebagai sebuah teori mengenai makna dan
mengakui prinsip verifikasi empiris secara langsung, maka Ayer
memandang prinsip verifikasi sebagai sebuah kriteria mengenai makna (a
criterion of meaning), sehingga tidak hanya proposisi-proposisi yang dapat
diverifikasi secara empiris langsung saja yang bermakna, tapi juga
proposisi-proposisi lainnya yang dapat diverifikasi secara tidak langsung.
Dalam usahanya untuk memposisikan metafisika sebagai sesuatu yang tidak
bermakna dan masalah-masalah metafisis sebagai masalah yang tidak logis,
maka Ayer mempertanyakan pelbagai syarat ketidakbermaknaan dari suatu
proposisi. Jika metafisika beranggapan mampu mengetahui realitas yang
ada di balik pengamatan-pengamatan empiris, maka dengan sendirinya
tidak akan pernah ada proposisi metafisis yang dapat bermakna karena
hanya proposisi yang dapat diverifikasi dengan pengamatan empiris yang
bermakna. Oleh sebab itu, proposisi-proposisi metafisistidak memiliki
status hipotesis karena tidak ada relevansi yang ditemukan dalam metafisika
yang memungkinkan untuk diamati.
Ayer tidak pernah secara eksplisit memilah rumusannya tentang prinsip
verifikasi dalam pilahan tertentu. Ia hanya menjelaskan bahwa semua
proposisi dapat diverifikasi dengan dua artian, yaitu dapat diverifikasi
secara ketat dan secara longgar. Arti ketat bila proposisi-proposisi tersebut
berkaitan langsung dengan pengalaman. Sementara itu, proposisi juga dapat
diverifikasi dalam arti longgar bila terhadap proposisi dimaksud
dimungkinkan bagi pengalaman untuk mewujudkannya atau “A proposition
is said to be variable, in the strong sense of term, if and only if, its truth
could be conclusively established in experience. But it is veriable, in the
weak sense, if its possible for experience to render it probable....”.

9
d. Pengaruh Prinsip Verifikasi Ayer Bagi Perkembangan Metode Ilmiah

Metode ilmiah adalah prosedur yang mencakup berbagai tindakan pikiran, pola
kerja, cara teknis dan tata langkah untuk memperoleh pengetahuan baru atau
mengembangkan pengetahuan yang telah ada. Metode sendiri secara etimologis berasal
dari kata Yunani meta berarti sebuah dan hodos berarti jalan, sehingga metode ilmiah
adalah langkah-langkah yang diambil menurut urutan tertentu untuk mencapai
pengetahuan yang benar, yaitu sesuatu tatacara, tehnik atau jalan yang telah dirancang
dan dipakai dalam proses untuk memperoleh Karakteristik masalah ilmiah yang bersifat
nyata, maka ilmu yang digunakan untuk mencari jawabannya ada pada dunia nyata .
Ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri dengan fakta apapun melalui teori yang
menjembatani antara keduanya. Teori yang dimaksud di sini adalah penjelasan mengenai
gejala yang terdapat dalam dunia fisik sebagai suatu abstraksi intelektual di mana
pendekatan secara rasional digambungkan dengan pengalaman empiris. Artinya, teori
ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang
dijelaskan. Berawal dari hal ini, pola pendekatan rasional digabungkan dengan
pendekatan empiris dalam langkah-langkah yang dikenal dengan metode ilmiah. Secara
rasional, ilmu menyusun pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif sedangkan
secara empiris, ilmu memisahkan antara pengetahuan yang sesuai dengan fakta maupun
sebaliknya. Metode ilmiah memiliki dua syarat utama, yakni bahwa teori ilmiah harus
konsisten dengan teori-teori sebelumnya yang memungkinkan terjadinya kontradiksi
dengan teori keilmuwan secara keseluruhan. Selain itu, teori ilmiah juga harus didukung
dengan fakta-fakta empiris sebab teori yang bagaimanapun konsistennya, sekiranya
didukung dengan verifikasi empiris. Dengan demikian, logika ilmiah adalah gabungan
antara logika deduktif dan logika induktif sebagai suatu sistem mekanisme korektif.
Persoalan pembenaran pada pengetahuan ilmiah memiliki keterikatan dengan
prinsip verifikasi, karena setiap pengetahuan hanya dapat dikatakan sebagai pengetahuan
ilmiah bila dapat diverifikasi sebagai salah satu bagian terpenting dari metode ilmiah.
Lingkungan Wina menaruh perhatian yang lebih terhadap ilmu empiris yang disertai
dengan prinsip verifikasi, sehingga mereka kemudian dikenal dengan Positivisme Logis
yang memiliki pengaruh sangat kuat. Bagi mereka suatu ilmu harus dapat menerapkan
prinsip verifikasi secara empiris yang disebut metode ilmiah. Ketika persoalan tersebut
dikaitkan dengan prinsip verifikasi yang diusulkan oleh Ayer, maka prinsip verifikasi

10
memiliki relevansi bagi pengembangan metode ilmiah dalam tahapan verifikasi data.
Ayer juga mengakui batas-batas yang berlaku pada prinsip verifikasi, tidak perlu suatu
ungkapan bahasa verifikasi secara langsung karena dapat pula melalui seorang yang dapat
dipercaya. Sehingga ia menerima kebenaran atas kesaksian tersebut, bila tidak dapat
diverifikasi maka semua ungkapan bahasa masa lalu akan menjadi tidak bermakna.
Dalam pengertian inilah maka terdapat tempat bagi prinsip verifikasi atas kebenaran fakta
sejarah. Misalnya, ungkapan kemerdekaan bangsa Indonesia diproklamirkan oleh Bung
Karno dan Bung Hatta, dapat dietrima sebagai suatu ungkapan yang bermakna karena
berdasarkan suatu kesaksian melalui orang yang dapat dipercaya, melalui orang yang
hadir saat peristiwa itu. Verifikasi juga tidak harus dilakukan secara lengkap melainkan
sebagian saja dan hal ini sangat banyak dilakukan dalam bidang-bidang ilmu alam dan
fisika. Misalnya, untuk mengetahui hukum umum bahwa semua logam kalau dipanasi
akan memuai maka tidak perlu melakukan eksperimen untuk seluruh logam. Pernyataan
diatas menjelaskan pemikiran Ayer yang terlihat lebih rinci dalam merumuskan prinsip
verifikasi dibandingkan dengan filsuf pendahulunya dari Lingkaran Wina, bahkan
metodenya banyak diimplikasikan dalam dunia ilmiah maupun penelitian hingga saat ini
(penelitian, skripsi, tesis, disertasi di dalamnya tidak bisa lepas dari prinsip verifikasi
sebagai alur penelitian yang benar).

B. Karl Raimond Popper


Popper dikenal dengan gagasan falsifikasi sebagai lawan
dari verifikasionisme dan induktivisme klasik dalam metode ilmiah. Falsifikasionime
mengatakan bahwa suatu teori ilmiah tidaklah terbukti keilmiahannya hanya dengan
pembuktian saja, tapi harus diusahakan mencari kesalahan dari teori tersebut sampai
kemudian teori tersebut bisa difalisfikasi. Apabila teori tersebut tidak berhasil di
falsifikasi maka teori tersebut tidak teruji keilmiahannya. Popper juga dikenal sebagai
penentang besar aspek justifikasionisme dalam studi ilmiah yang dilakukan para
induktivis. Ia memahami bahwa keseluruhan studi ilmiah tidak semestinya dicapai
dengan justifikasi, melainkan rasionalisme kritis.

11
a. Biografi Karl Popper
Karl popper, nama lengkapnya Karl Raimund Popper, merupakan salah satu
kritikus abad ke-20 yang paling tajam terhadap gagasan lengkaran Wina. Ia dilahirkan
di Wina pada tanggal 21 Juli 1902 dari keluarga Yahudi Protestan. Ayahnya, Dr.
Simon S.C. Popper, seorang pengacara yang meminati filsafat dan masalah sosial.
Pada tahun 1928, Popper meraih gelar Doktor dengan judul disertasi
Zur Methodenfrage der Denkpsychologie (Masalah Metode dalam Psikologi
Pemikiran). Popper yang berdarah Yahudi, harus meninggalkan tempat
kelahirannya sebab pada waktu itu Jerman di bawah kekuasaan Hitler telah
menduduki tempat itu. Popper lalu pindah ke Selandia Baru dan mengajar
di Universitas Christchurch. Ia pun tidak menetap di sana, sebab pada
tahun1945, ia pindah ke Inggris dan mengajar di LondonSchool of
Economics (Edwards, 1967 : 398). Di London School of Economics ini ia
diangkat menjadi professor pada tahun 1948, berkat karyanya yang anti
Komunis berjudul The open Society and Its Enemies, yang ia buat tahun
1945 (Muslih, 2005 : 105).
Tampaknya, Popper termasuk filsuf yang beruntung karena hidup di
masa Postmodern, ia mewarisi problem-problem filosofis para
pendahulunya dan menjadi terakumulasi sedemikian rupa di dalam
pemikirannya, terlebih setelah perkenalannya dengan Albert Einstein dan
menyaksikan tergantikannya teori Newton dengan Relativismenya Einsten
(Popper, 2008 : 292). Peristiwa ini mampu membuka cakrawala baru bagi
dirinya untuk membangun teori kritis.
Karl Popper meninggal dunia pada tanggal 17 September 1994 di
London Selatan akibat penyakit jantung. Adapun beberapa karya tulisnya
yang terbesar antara lain sebagai berikut: The Poverty of Historicism
(1945); The Open Society and Its EnemiesI dan II (1945); The Logic of
Scientific Discovery (1959); Conjectures and Refutations: The Growt of
Scientific Knowledge An Evolutionary Approach (1963); The Philosiphy of
Karl Popper (1974); Unended Quest; dan The Self and Its Brain.

12
b. Pemikiran Karl R Popper
Popper telah berupaya melakukan pencerahan terhadap proses
produksi sebuah teori untuk menghindar dari sebuah subjektivitas yang
akan berakibat pada kesalahan serius, bahwa peninjauan ilmu pengetahuan
tidak dapat dipisahkan dari filsafat. Menghilangkan ambisius dari para
pelaku induksi yang sebenarnya menurut Popper menjadi sebuah kesalahan
besar.Bahkan sering kali terjadi ilmuan telah memberikan derajat kebenaran
ilmu berdasar pada penentuan sendiri, tanpa melewati syarat penelitian yang
layak. Hal ini akan menjadi teori yang palsu dan dapat berkembang
seterusnya sehingga akhirnya menjadi rentetan-rentetan, dan hasil
pengamatan yang dihasilkan pada babak berikutnya berakibat dalam
rentang kesalahan.
Karl Popper menunjukkan bahwa sebuah teori tidak pernah dapat
diverifikasi (dibuktikan benar) tetapi teori yang bermakna seharusnya dapat
difalsifikasi (dibuktikan salah). Popper dengan metodologi falsifikasi
mendekatkan persoalan bukan dengan merujuk pada otoritas tetapi
persoalan itu sendiri menjadi patokan untuk menilai dan mengadili teori,
harapan, atau kebenaran-kebenaran yang sedang dihayati. Popper sungguh
yakin bahwa setiap kenyataan baru mengandung kebenaran tertentu dalam
dirinya dan dengan itu pengetahuan manusia akan diperbaiki atau ditolak
(asas refutalibilitas pengetahuan). Perbaikan atau penolakan itu adalah
sesuatu yang sepantasnya terjadi untuk mengisi wilayah keterbatasan
pengetahuan sekaligus mempersempit ruang ketidaktahuan manusia.
Semakin sering manusia melakukan perbaikan atau penolakan atas
pengetahuannya, semakin maju dan berkembang pula pengetahuannya.
Falsifikasi secara harfiah diartikan sebagai “melihat dari sudut
pandang kesalahan” . Dengan menganggap teori itu salah, maka segala
upaya dilakukan untuk membuktikaan teori tersebut memang mutlak salah,
lalu dibuatlah teori baru untuk menggantikannya. Karl Popper telah
membuktikan Falsifikasi (suatu teori untuk membuktikan kesalahan suatu
hal/kejadian), yang berbeda dengan verifikasi (pembuktian kebenaran).
Suatu teori selama tidak terbukti salah, maka ia akan mengalami penguatan
(koloborasi) walaupun suatu saat bisa juga runtuh teori tersebut ketika
13
didapatinya satu saja data yang berbeda yang bisa meruntuhkan teori
tersebut.
Untuk mencapai kondisi tersebut, pernyataan dan teori perlu ditest
melalui bukti empiris. Kalau hasil testnya menunjukkan bahwa pernyataan
dan teori tersebut benar, maka disebut verifiability. Sebaliknya, kalau hasil
test empiris tersebut membuktikan bahwa keduanya salah, maka disebut
falsiability. Upaya/test untuk membuktikannya salah disebut falsifikasi.
Dengan demikian, sistem test dalam ilmu pengetahuan tidak selalu harus
berarti positif (membuktikan benar) tetapi juga harus berarti negative
(membuktikan salah). Menurut Popper, ciri khas ilmu pengetahuan adalah
falsifiable, artinya harus dapat dibuktikan salah melalui proses falsifikasi.
Dengan falsifikasi, ilmu pengetahuan mengalami proses pengurangan
kesalahan (error elimination). Proses falsifikasi inilah yang mengantar ilmu
pengetahuan tersebut mendekati kebenaran, namun tetap memiliki ciri
falsifiable.
Popper mencoba merumuskan sebuah langkah dalam falsifikasi
yang menjadi alternatif dalam pembuktian ilmiah, menurut Popper terdapat
empat langkah untuk menguji sebuah teori, semua langkah ini harus
dilakukan dari tahap demi tahap, langkah-langkah yang dimaksud
dijelaskan oleh Popper sebagai berikut :
1. Membandingkan secara logis terhadap kesimpulan-kesimpulan antar teori,
sehingga diketahui konsistensi internal dari teori tersebut;
2. Kemudian menyelidiki bentuk logis dari teori untuk menentukan apakah ia
mempunyai ciri teori empiris atau ilmiah.
3. Teori yang satu dibandingkan dengan teori yang lain untuk menentukan
apakah teori yang akan membentuk suatu kemajuan ilmiah telah tahan uji
4. Kalau sebuah teori telah lolos dari ketiga langkah tersebut lantas dilakukan
pengujian terakhir melalui penerapan empiris.
Langkah-langkah tersebut di atas menurut Popper dilakukan untuk
mengetahui sejauh mana berbagai konsekuensi-konsekuensi baru teori itu
bertahan terhadap tuntutan - tuntutan praktis, entah yang dimunculkan oleh
eksperimen ilmiah, ataupun oleh penerapan-penerapan teknologi praktis.
Ketika pengujian telah dilakukan maka akan diketahui apakah kesimpulan
tunggal dapat diterima (acceptable) atau terbukti (verified), maka teori itu
14
untuk sementara waktu telah lolos dari ujiannya. Namun jika kesimpulan itu
telah terbukti kesalahannya (falsified) maka falsifikasinya juga
memfalsifikasi teori yang dari sana ia disimpulkan secara logis.
Popper berpendapat bahwa falsiability merupakan syarat awal untuk
mengatakan bahwa sebuah ilmu itu hitam atau putih, ilmiah atau tidak
ilmiah. Jika sebuah ilmu tanpa melalui verifikasi apa yang disebut sebagai
falsifikasi maka menjadi tidak ilmiah. Sebuah teori harus berdiri diatas
benar atau salah, artinya berada tidak ditengah-tengahnya. Harus berani
dinyatakan salah atau benar, tidak boleh berdiri ditempat yang tak ada
pilihan. Misalnya Popper memberikan contoh tentang sebuah pernyataan
”besok hujan atau tidak hujan saya datang”. Dalam pernyataan tersebut
tidak dibangun atas pertentangan yaitu benar atau salah, tidak ada tempat
untuk meletakkan hipotesis.
Popper juga menentang prinsip demarkasi dengan metode verifikasi
induktif untuk membedakan sebuah ilmu bermakna atau tidak bermakna.
Popper menolak dengan keras semua permasalahan demarkasi dengan
metode induksi. Karena sebuah teori menurut Popper tidak dapat diangkat
dari pernyataanpernyataan tunggal. Tetapi melalui pernyataan-pernyataan
Universal, kesalahan dalam demarkasi juga akan menjadi penyebab
dipertanyakannya kembali tentang kebenaran tersebut, karena kebenaran
tentunya tidak bisa diputuskan dari pendekatan yang salah. Dipertegas oleh
Popper “karena saya menolak logika induktif, saya juga harus menolak
semua usaha memecahkan masalah demarkasi. karena pernyataan universal
tidak pernah dapat diasalkan oleh pernyataan tunggal, tetapi dapat disangkal
oleh pernyataan tunggal”.
Dia mengusulkan suatu demarkasi lain, yaitu demarkasi antara ilmu
yang ilmiah dan tidak ilmiah berdasarkan tolak ukur pengujian deduktif.
Masalah demarkasi melalui falsisikasi dirumuskan oleh Popper sebagai
bentuk menemukan sebuah kebenaran sebuah ilmu, hal ini dalam rangka
menghindar dari hal-hal yang sifatnya subjektif, perlu dibedakan antara
ilmiah dan metafisik, atau juga hal yang justru cenderung dogmatis. Popper
menawarkan sebuah solusi kriteria yang lebih tepat dalam kerangka kerja
ilmiah, yaitu falsiability sebagai kriteria demarkasi

15
c. Prinsip Falsifikasi Karl R. Popper
meski Popper banyak berkenalan dengan gagasan-gagasan para
filosuf yang tergabung di lingkaran Wina atau kaum positivism logis,
namun ia tidak sependapat dengan gagasan mereka dalam bidang keilmuan
terutama terkait dengan tiga ide utama, yakni masalah induksi, demarkasi,
dan dunia ketiga (Muslih, 2005 : 105). Dalam masalah induksi, Popper
tidak sependapat dengan penerapan keabsahan generalisasi yang didasarkan
pada prinsip induksi (Popper, 2008 : 4). Misalnya, “Apabila sejumlah besar
A telah diobservasi pada variasi kondisi yang luas, dan apabila semua A
yang diobservasi tanpa kecuali memiliki sifat B, maka semua A memiliki
sifat B” (Chalmers, 1983 : 5). Proses induksi melalui observasi seperti
inilah yang dipandang oleh kaum positivisme
Selanjutnya Popper menegaskan bahwa setiap teori ilmiah selalu
hanya bersifat hipotetis, yakni berupa dugaan sementara (conjecture), tidak
akan pernah ada kebenaran final. Setiap teori selalu terbuka untuk
digantikan oleh teori baru yang lebih tepat. Terkait hal ini, ia lebih suka
memakainya dengan istilah hipotesa ketimbang teori, hanya semata-mata
didasarkan pada sifat kesementaraannya. Ia menegaskan bahwa suatu
hipotesa atau proposisi dikatakan ilmiah jika secara prinsipil ia memiliki
kemungkinan untuk menyangkalnya (refutability).
Secara sederhana falsifikasi Popper tersebut dalam digambarkan
sebagai berikut :

16
Dari sinilah terlihat jelas bahwa keberadaan kritik atas teori atau proposisi-
proposisi ilmu menjadi sebuah keniscayaan. Begitu juga setiap ilmuwan juga tidak
dibenarkan alergi terhadap kritik. Sebaliknya seorang ilmuwan yang sejati dirinya harus
selalu berharap akan adanya kritik. Karena hanya dengan keberlangsungan adanya kritik
seperti inilah ilmu pengetahuan akan terus mengalami perkembangan. Keberadaan kritik
tidak lain merupakan bentuk realisasi prinsip refutasi atau penyangkalan terhadap suatu
teori. Dengan keberadaan kritik akan melahirkan eror elimination, yakni eliminasi
terhadap kemungkinan kekeliruan atau kesalahan yang terkandung dalam suatu teori.
Begitu juga semakin berlangsung keberadaan eror elimination, maka semaki
bermunculan pula teori-teori yang baru.
Oleh karena kebenaran suatu teori hanya dugaan yang kebenarannya bersifat
sementara, maka suatu teori sah untuk ditinggalkan dan beralih kepada teori baru yang
lebih memuaskan dalam menjelaskan fakta-fakta yang ada. Jika dalam pandangan kaum
Positivisme kriteria kebenaran suatu ilmu atau teori didasarkan pada kriteria dapat atau
tidaknya dibenarkan secara empiris melalui konfirmasi atau verifikasi, maka tidak
demikian halnya menurut Popper. Menurutnya ada beberapa kelemahan prinsip verifikasi
yang dipakai kaum positivisme logis dalam menentukan perbedaan antara proposisi yang
meaningfull dan meaningless. Beberapa kelemahan tersebut, menurut Popper (dalam
Muslih, 2005 : 108) adalah, pertama, prinsip verifikasi tidak pernah mungkin untuk
menyatakan kebenaran hukum-hukum umum. Menurutnya, hukum-hukum umum dan
ilmu pengetahuan tidak pernah dapat diverifikasi. Karena itu, seluruh ilmu pengetahuan
alam, yang sebagian besar terdiri dari hukum-hukum umum menjadi tidak bermakna,
sama seperti metafisika. Kedua, berdasarkan prinsip verifikasi, metafisika yang sering
dipandang tidak bermakna, justeru dalam sejarah seringkali terbukti telah melahirkan
berbagai ilmu pengetahuan. Suatu ungkapan metafisik, bahkan agama atau mistik, bukan
saja dapat bermakna tetapi juga benar jika berhasil diuji atau ditest. Jika semakin tahan
terhadap ujian dan test, yang berusaha menunjukkan kesalahan-kesalahannya, maka
ungkapan yang bersifat metafisik itu menjadi bermakna dan benar. Ketiga, untuk
menyelidiki bermakna atau tidaknya suatu ungkapan atau teori, terlebih dulu harus bisa
dimengerti. Jika tidak bisa dimengerti, maka mana mungkin uangkapan atau teori tersebut
bisa dikatakan bermakna atau tidak bermakna. Kemudian Popper menawarkan gagasan
falsifikasi sebagai penentu demarkasi antara proposisi atau teori yang ilmiah dan yang
tidak ilmiah. Gagasan tentang falsifikasi inilah yang oleh dirinya dijadikan sebagai ciri
17
utama proposisi atau teori yang ilmiah. Menurutnya, suatu proposisi atau teori empiris
harus dilihat potensi kesalahannya. Selama suatu teori mampu bertahan dalam upaya
falsifikasi, maka selama itu pula teori tersebut menurut R. Henre (dalam Edward, 1967 :
294) tetap dipandang kokoh, meski ciri kesemntaraannya tetap tidak pernah hilang. Suatu
teori bersifat ilmiah, jika terdapat kemungkinan secara prinsipil untuk menyatakan
salahnya. Inilah yang dimaksud dengan prinsip falsifikasi menurut Popper. Sebaliknya,
jika suatu proposisi atau teori secara prinsipil tidak menerima kemungkinan untuk
menyatakan salahannya, maka proposisi atau teori tersebut tidak bersifat ilmiah.
Penerapan falsifikasi seperti ini berdampak pada hakekat perkembangan ilmu
pengetahuan. Menurut Popper, kemajuan ilmu pengetahuan tidak bersifat akumulatif dari
waktu ke waktu, tetapi terjadi akibat adanya eliminasi yang semakin ketat terhadap
kemungkinan salahnya. Pengembangan ilmu dilakukan dengan melalui uji-hipotesis
sehingga bisa ditunjukkan kesalahannya, dan ilmu itu akan dibuang atau diabaikan jika
memang salah. Begitu seterusnya, setiap ilmu atau teori yang baru akan dilakukan uji
hipotesis, dan jika semakin menunjukkan kesalahannya akan diabaikan dan diganti
dengan teori yang baru. Dengan demikian, pada dasarnya aktifitas keilmuan hanya
bersifat mengurangi kesalahan sampai sejauh mungkin mendekati kebenaran yang
obyektif. Oleh karrena itu pengembangan ilmu dilakukan dengan merontokkan teori
karena terbukti salahnya, untuk kemudian digantikan dengan teori baru. Untuk itu,
falsifikasi menjadi alat penentu demarkasi, yakni pembeda, antara apa yang oleh Popper
dinamakan genuine science (ilmu asli) dan apa yang disebutnya dengan pseudo science
(ilmu tiruan) (Popper, 2008 : 21). Popper sebagaimana dikemukakan (Muslih, 2005 : 109)
mengatakan science is revolution in permanence and criticism is the heart of the scientific
enterprise. Jadi, kriteria keilmiahan sebuah ilmu atau teori adalah ilmu atau teori itu harus
bisa disalahkan (falsibility), bisa disangkal (refutability), dan bisa diuji (testability).
Gagasannya seperti ini telah mengantarkannya dikenal sebagai seorang epistemology
rasional-kritis dan empirisis modern. Selain persoalan induksi dan demarkasi
sebagaimana dijelaskan di atas, Popper juga membicarakan tentang masalah dunia ketiga.
Yang dimaksud dengan istilah dunia ketiga di sini bukan dalam pengertia politik, tetapi
epistemologis. Artinya Popper membedakan realitas menjadi apa yang dia sebut sebagai;
Pandangan falsifikasionis Popper ini juga tidak lepas dari kritik dari tokoh-tokoh
yang datang sesudahnya. Imre Lakatos (1974) mengkritik prinsip falsifikasi Popper yang
sangat menentang penerapan induksi dalam metode ilmu pengetahuan. Metodologi atau
logika penemuan ilmiah yang dikembangkan Popper dalam bukunya logic of Scientific
18
Discovery hanya terdiri dari aturan untuk menilai sebuah teori yang sudah dirumuskan,
dimana dalam pandangan Popper tersebut ditegaskan bahwa teori ilmiah tidak didasarkan
atau dikukuhkan oleh fakta melainkan dirontokkan olehnya (Mungkasa, 2002 : 6).
Taryadi (1991 : 67) menilai bahwa metodologi yang dikembangkan oleh popper hanya
terdiri dari aturan-aturan untuk menilai teori-teori yang sudah dirumuskannya sendiri.
Metodologi itu berdiri di atas kaki sendiri, dikejar demi dirinya sendiri. Istilah benar dan
salah dihindarkan. Ilmu hanya bisa ditemukan kekeliruannya. Akibatnya Popper sendiri
tidak bisa menjawab pertanyaan apa yang bisa diperoleh dalam aturan permainan ilmu
atau metodologi.
Asumsi pokok teorinya Karl Raimund Popper adalah satu teori harus diji dengan
menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya, dan
Popper menyajikan teori ilmu pengetahuan baru ini sebagai penolakannya atas
positivisme logis yang beranggapan bahwa pengetahuan ilmiah pada dasarnya tidak lain
hanya berupa generalisasi pengalaman atau fakta nyata dengan menggunakan ilmu pasti
dan logika. Dan menurut positivisme logis tugas filsafat ilmu pengetahuan adalah
menanamkan dasar untuk ilmu pengetahuan.
Hal yang dikritik oleh Popper pada Positivisme Logis adalah tentang metode
Induksi, ia berpendapat bahwa Induksi tidak lain hanya khayalan belaka, dan mustahil
dapat menghasilkan pengetahuan ilmiah melalui induksi. Tujuan Ilmu Pengetahuan
adalah mengembangkan pengetahuan ilmiah yang berlaku dan benar, untuk mencapai
tujuan tersebut diperlukan logika, namun jenis penalaran yang dipakai oleh positivisme
logis adalah induksi dirasakan tidak tepat sebab jenis penalaran ini tidak mungkin
menghasilkan pengetahuan ilmiah yang benar dan berlaku, karena elemahan yang bisa
terjadi adalah kesalahan dalam penarikan kesimpulan, dimana dari premis-premis yang
dikumpulkan kemungkinan tidak lengkap sehingga kesimpulan atau generalisasi yang
dihasilkan tidak mewakili fakta yang ada. Dan menurutnya agar pengetahuan itu dapat
berlaku dan bernilai benar maka penalaran yang harus dipakai adalah penalaran deduktif.
Penolakan lainnya adalah tentang Fakta Keras, Popper berpendapat bahwa fakta
keras yang berdiri sendiri dan terpisah dari teori sebenarnya tidak ada, karena fakta keras
selalu terkait dengan teori, yakni berkaitan pula dengan asumsi atau pendugaan tertentu.
Dengan demikian pernyataan pengamatan, yang dipakai sebagai landasan untuk
membangun teori dalam positivisme logis tidak pernah bisa dikatakab benar secara
mutlak.

19
Menurut Popper teori yang melatar belakangi fakta-fakta pengamatan adalah titik
permulaan ilmu pengetahuan dan teori diciptakan manusia sebagai jawaban atas masalah
pengetahuan tertentu berdasarkan rasionya sehingga teori tidak lain hanyalah pendugaan
dan pengiraan dan tidak pernah benar secara mutlak sehingga perlu dilakukan pengujian
yang secermat-cermatnya agar diketahuan ketidakbenarannya. Ilmu pengetahuan hanya
dapat berkembang apabila teori yang diciptakannya itu berhasil ditentukan
ketidakbenarannya. Dan Popper mengganti istilah verifikasi dengan falsifikasi.
Adapun prinsip falsifikasi yang menjadi pokok pemikiran Karl Raimund Popper
terhadap prinsip verifikasi yaitu:
1.      Popper menolak anggapan umum bahwa suatu teori dirumuskan dan dapat dibuktikan
kebenarannya melalui prinsip verifikasi. Teori-teori ilmiah selalu bersifat hipotesis
(dugaan sementara), tidak ada kebenaran terakhir. Setiap teori selalu terbuka untuk
digantikan oleh teori yang lebih tepat.
2.      Cara kerja metode induksi yang secara sistematis dimulai dari pengamatan (observasi)
secara teliti gejala yang sedang diselediki. Pengamatan yang berulang-ulang itu akan
adanya ciri-ciri umum yang dirumuskan menjadi hipotesa. Selanjutnya hipotesa itu
dikukuhkan dengan cara menemukan bukti-bukti empiris yang dapat mendukungnya.
Hipotesa yang berhasil dibenarkan akan berubah menjadi hukum. Popper menolak  cara
kerja di atas, terutama pada asas verifiabilitas, bahwa sebuah pernyataan itu dapat
dibenarkan bukti-bukti pengamatan empiris.
3.      Popper menawarkan pemecahan  baru dengan  mengajukan prinsip falsifiabilitas, yaitu
bahwa sebuah pernyataan dapat dibuktikan kesalahannya. Maksudnya, sebuah hipotesa,
hukum, ataukah teori kebenarannya yang bersifat sementara, sejauh belum ditemukan
kesalahan-kesalahan yang ada di dalamnya. Bagi Popper, ilmu pengetahuan dapat
berkembang maju manakala suatu hipotesa telah dibuktikan salah, sehingga dapat
digantikan dengan hipotesa baru. Namun ada kemungkinan lain, yaitu salah satu unsur
hipotesa yang dibuktikan salah untuk digantikan dengan unsur baru yang lain, sehingga
hipotesa telah disempurnakan. Menurut Popper, apabila suatu hipotesa dapat
melawan  segala usaha penyangkalan, maka hipotesa tersebut semakin
diperkokoh (corroboration).

Falsifikasi adalah suatu paham atau pemikiran yang berpendapat bahwa setiap
teori yang dikemukakan manusia tidak akan seluruhnya sesuai dengan hasil observasi
atau percobaan. Dengan kata lain menurut pandangan falsifikasionisme, ilmu dipandang
20
sebagai satu set hipotesa yang bersifat tentatif untuk menggambarkan atau menghitung
tingkah laku suatu aspek dunia atau universe. Jadi bagi mereka tidak ada suatu ilmu yang
dibuat manusia bisa seratus persen sama apabila dikonfrontasi dengan hasil pengamatan
dari kenyataan yang ada.
Dalam hal ini, akan dikemukakan bagaimana seorang memperoleh pengetahuan dan
selanjutnya pengetahauan tersebut dapat diputuskan ilmiah atau tidak ilmiah, atau bagian
dari true science  atau bagian dari pseudoscinces. Menurut Popper, manusia dalam
memperoleh pengetahuan berdasarkan rasio yang ia miliki. Pandangan ini sesuai dengan
pandangan kaum rasionalis yang mengakui bahwa ada prinsip-prinsip dasar dunia
tertentu yang diakui benar oleh manusia. Prinsip-prinsip pertama ini bersumber dalam
budi manusia dan tidak dijabarkan pengalaman, bahkan apa yang dialami dalam
pengalaman emprisis bergantung pada prinsip-prinsip ini

21
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Adapun simpulan yang diambil dari pokok pemikiran para filsafat tentang prinsip
metodologi ilmu yaitu:

A. Alfred Jules Ayer (tentang teori verifikasi):


Suatu cara sederhana untuk merumuskan hal itu adalah dengan mengatakan bahwa suatu
kalimat itu mengandung makna, jika dan hanya proposisi yang diungkapkan itu dapat
dianalisis atau dapat di verifikasi ini sehingga mengatasi kelemahan yang dapat
diverifikasi secara empiris.

B. Karl Raimund Popper (teori prinsip falsifikasi) :

1.      Popper menolak anggapan umum bahwa suatu teori dirumuskan dan dapat
dibuktikan kebenarannya melalui prinsip verifikasi.
2.      Popper menolak Cara kerja metode induksi yang secara sistematis yang dimulai dari
pengamatan (observasi), karena pengamatan yang berulang-ulang itu akan
dirumuskan menjadi hipotesa.
3.      Popper menawarkan pemecahan  baru dengan  mengajukan prinsip falsifiabilitas,
yaitu bahwa sebuah pernyataan dapat dibuktikan kesalahannya. Sehingga sebuah
hipotesa yang teori kebenarannya bersifat sementara dapat diganti dengan hipotesa
yang baru apabila hipotesa yang pertama dinyatakan salah, sehingga ilmu
pengetahuan berkembang di dalamnya.

B. Saran
Dalam penulisan makalah ini pemakalah menyadari bahwa masih banyak terdapat
kekurangan dan kesalahan di dalamnya, baik dari segi penulisan maupun dari segi isinya
sehingga penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran dari pembaca untuk
perubahan yang lebih baik kedepannya. Semoga makalah ini dapat dipahami dan
bermanfaat bagi pembaca.

22
DAFTAR PUSTAKA

Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum; Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra,
(Jakarta : Rosda, 2004)

Abidin, Zainal, Filsafat Manusia, Memahami Manusia Melalui Filsafat


(Bandung:PT Remaja Rosdakarya,2011)

Annes, B.A, Hambali, R.J.A, Filsafat Untuk Umum, (Jakarta : Prenada Media,
2003)

Dedi Haryono, GAGASAN UJI TEORI EMPIRIS MELALUI FALSIFIKASI (Analisis


Pemikiran Karl Popper dalam Filsafat Ilmu), JURNAL PENELITIAN
DAN PEMIKIRAN KEISLAMAN Februari 2014. Vol.1. No.1 JURNAL
PENELITIAN DAN PEMIKIRAN KEISLAMAN Februari 2014. Vol.1.
No.1

Komarudin, Jurnal at-Taqaddum, Volume 6, Nomor 2, Nopember 2014 , Jurnal


at-Taqaddum, Volume 6, Nomor 2, Nopember 2014

Surajiyo, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010)

Susanto, A, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011)

Stanford Encyclopedia of Philosophy, 2014


(https://plato.stanford.edu/entries/descartes/)

Hakim, Atang Abdul, Saeban, B.A, Filsafat Umum, (Bandung : Pustaka Setia,
2008)

Hardiman,Budi. Pemikiran-Pemikiran Yang Membentuk Dunia Modern,


(Jakarta : Erlangga, 2011), hal 32

Anda mungkin juga menyukai