Anda di halaman 1dari 17

Problematika Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Dalam

Perspektif Filsafat Ilmu


Disusun dalam rangka memenuhi salah satu tugas kelompok Filsafat Ilmu

Dosen Mata Kuliah :


Dr.Imam Amrusi Jailani, M.Ag
Disusun Oleh :
M.ISHOMUDDIN ISKANDAR (05030221093)
SYARIFAH NUR SAHILAH (05020221087)
ERISA AYU LARASATI (05040221107)
ZEFINANDA DWI AURELITA (05010221028)

KELAS C
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Problematika Ontologi,
Epistemologi, dan Aksiologi Dalam Perspektif Filsafat Ilmu” dengan baik. Sholawat serta
salam semoga dapat tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah
menjadi pembimbing bagi umat islam diseluruh dunia. Kami selaku penulis makalah
mengucapkan terima kasih kepada :

1. Allah SWT atas anugerahnya kami bisa mendapatkan ide untuk membuat tugas
makalah.
2. Bapak Dr. Imam Amrusi Jailani, M.Ag selaku Dosen mata kuliah Filsafat Ilmu yang
mendukung tugas kelompok makalah ini.
3. Teman-teman kelompok kami yang telah ikut serta menyelesaikan tugas makalah ini.
4. Serta semua pihak yang bersangkutan yang telah membantu serta memberi saran
tugas makalah ini.

Makalah ini kami susun untuk presentasi mata kuliah Filsafat Ilmu dan kami berharap
dengan makalah ini dapat bermanfaat untuk semua, baik untuk pembaca dan menambah
pengalaman untuk kami pribadi maupun para mahasiswa lainnya.

Kami sebagai penyusun merasa masih banyak sekali kekurangan dalam penyusunan
makalah ini. Untuk itu kami harapkan kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaannya
makalah ini, atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

Sidoarjo, 5 Maret 2022.

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................2

DAFTAR ISI.............................................................................................................................3

BAB I.........................................................................................................................................4

PENDAHULUAN.....................................................................................................................4

1.1 Latar Belakang.................................................................................................................4

1.2 Rumusan Masalah............................................................................................................4

1.3 Tujuan Penelitian..............................................................................................................4

BAB II.......................................................................................................................................5

PEMBAHASAN.......................................................................................................................5

2.1 Problematika Ontologi.....................................................................................................5

2.2 Epistemologi.....................................................................................................................7

2.3 Aksiologi Dalam Perspektif Filsafat Ilmu......................................................................11

BAB III....................................................................................................................................16

PENUTUP...............................................................................................................................16

3.1 Kesimpulan.....................................................................................................................16
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perkembangan ilmu pengetahuan selama ini tidaklah berlangsung secara mendadak,
melainkan terjadi secara bertahap hingga saat ini. Perkembangan ilmu pengetahuan ini
muncul dari adanya rasa ingin tahu tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam
sekitarnya dapat bersifat sederhana dan juga dapat bersifat kompleks. Rasa ingin tahu yang
bersifat sederhana didasari dengan rasa ingin tahu tentang apa (ontologi), sedangkan rasa
ingin tahu yang bersifat kompleks meliputi bagaimana peristiwa tersebut dapat terjadi dan
mengapa peristiwa itu terjadi (epistemologi), serta untuk apa peristiwa tersebut dipelajari
(aksiologi). Ketiga landasan tersebut yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi, yakni
merupakan ciri spesifik dalam penyusunan pengetahuan termasuk filsafat ilmu. Ketiga
landasan ini saling terkait satu sama lain dan tidak bisa dipisahkan antara satu dengan
lainnya. Berbagai usaha orang untuk dapat mencapai atau memecahkan peristiwa yang terjadi
di alam atau lingkungan sekitarnya. Bila usaha tersebut berhasil dicapai, maka diperoleh apa
yang dikatakan sebagai ketahuan (pengetahuan). Yang mana jika pengetahuan dikumpulkan
akan menjadi yang namanya ilmu pengetahuan.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Problematika Ontologi?


2. Apa yang dimaksud dengan Epistemologi?
3. Apa yang dimaksud dengan Aksiologi Dalam Perspektif Filsafat Ilmu?

1.3 Tujuan Penelitian


1. Untuk mengetahui apa itu Problematika Ontologi?
2. Untuk mengetahui apa itu Epistemologi?
3. Untuk mengetahui apa itu Aksiologi Dalam Perspektif Filsafat Ilmu?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Problematika Ontologi


Ontologi asalnya dari bahasa Yunani, yang kalimatnya terdiri dari dua kata. Yang
pertama “ontos” artinya yang berada dan “logi” yang artinya ilmu pengetahuan atau ajaran
tentang keberadaan.1 Ontologi juga merupakan bagian dari metafisika. Ontologi adalah salah-
satu kajian kefilsafatan kuno yang berawal dari alam pikiran barat dengan munculnya
perenungan di bidang ontologi. Ontologi membahas yang ada, yang tidak terikat oleh satu
perwujudan tertentu. Sifat ontologi yaitu universal yang memperlihatkan pemikiran semesta
universal dan berusaha mencari inti dalam setiap kenyataan atau dalam rumusan Lorens
Bagus menjelaskan yang ada terdiri dari semua realitas dalam semua bentuknya. Terdapat
beberapa istilah penting yang berkaitan dengan ontologi yaitu eksistensi, esensi, substansi,
perubahan, yang ada (being) kenyataan atau realitas (reality).2

Ontologi adalah teori cabang filsafat yang berkaitan dengan hakikat hidup dan
membahas realititas. Realitas merupakan kenyataan yang condong terhadap kebenaran.
Sehingga, realitas dalam ontologi ini memunculkan beberapa pertanyaan: Apa hakikat dari
realitas ini? Apakah realitas yang ada merupakan realita materi saja? Apakah realita ini
monoisme, dualisme, atau pluralisme?. Menurut Bramel, interprestasi tentang realita ada
variasinya.3

Ontologi dapat dirumuskan secara sederhana sebagai ilmu yang membahas realitas
atau kenyataan faktual secara analitis. Dalam pengetahuan ontologi bisa dijumpai pandangan
pokok pemikiran seperti berikut ini :

1. Monoisme
Yang menganggap bahwa hakikat yang ada diseluruh kenyataan itu hanya satu yang
dijadikan sebagai sumber asal, baik berupa materi maupun rohani. Sehingga tidak ada

1
Ltfltf November 2018. “problematika filsafat, epistimologi, ontology, aksiologi”
https://www.slideshare.net/Ltfltf/problematika-filsafat-epistimologi-ontologi-aksiologi diakses pada 07 Maret
2021 pukul 20.49.
2
Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu: Positivisme, PostPositivisme, Dan PostModernisme, 2nd ed. (yogyakarta:
Rakesarasin, 2001).
3
Suparman Syukur, Epistemologi Islam Skolastik : Pengaruhnya Pada Pemikiran Islam Modern / Suparman
Syukur (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007).
hakikat. Masing-masing bebas dan berdiri sendiri. Thomas Davidson disebut menyebut
istilah monoisme dengan sebutan Block Universe. Paham ini akan terbagi menjadi 2 aliran:

a. Matearilisme
Sumber dari aliran matearilisme berasal dari materi bukan rohani. Aliran ini
mempunyai sebutan lain yaitu naturalisme. Menurut aliran ini zat mati adalah
kenyataan dan satu-satunya fakta yang ada hanya materi selain itu dianggap berdiri
sendiri, contohnya ialah jiwa dan ruh yang merupakan akibat dari proses gerakan
kebenaran dengan salah satu cara tertentu.
b. Idealisme
Aliran ini memiliki sebutan lain, yaitu spiritualisme. Aliran ini bertolak belakang dari
aliran matearilisme. Idealisme artinya serba cita, sedangkan spiritualisme berarti serba
ruh. Idealisme berasal dari kata “idea”. Aliran ini menganggap jika hakikat kenyataan
yang bermacam-macam berasal dari ruh. Aliran idealisme adalah aliran yang
menjadikan hal ghaib (supernatural) sebagai bahan kajian. Bentuknya dapat berupa
animisme yang dimana manusia percaya jika batu, pohon, air dan lain-lain terdapat roh
yang bersifat ghaib. Animisme adalah kepercayaan yang terdapat dalam sejarah
perkembangan kebudayaan manusia.4

2. Dualisme
Aliran yang mencoba memadukan materialisme dan idelisme yang bertolak belakang.
Menurut aliran dualisme, materi & ruh merupakan hakikat yang muncul bukan karena
adanya ruh, dan ruh pun muncul bukan karena materi. Namun, dalam perkembangan
selanjutnya aliran ini mempunyai masalah saat memadukan kedua aliran diatas.

3. Pluralisme
Paham ini menganggap jika segala macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme
bertentangan dari keseluruhan dan mengakui jika segala macam bentuk itu nyata. Dalam
Dictionary of Philosophy & Religion adalah paham yang menyatakan bahwa kenyataan
alam tersusun dari beberapa macam unsur. Buktinya dapat diketahui dalam pernyataan
tokoh pada masa Yunani kuno yang bernama a naxagoras dan Empedocles yang

4
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001), hal
64.
mengemukakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari 4 unsur, yaitu
tanah, air, api dan udara.

Berhubungan dengan metode yang dipakai dalam ontologi, Lorens Bagus


mengenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi. Yang pertama adalah abstraksi fisik,
abstraksi ini menampilkan semua sifat khas sebuah objek. Yang kedua yaitu abstraksi
bentuk, abstraksi ini mendeskripsikan sifat umum yang menjadi ciri sesuatu yang sejenis
atau sama. Dan yang terakhir yaitu abstraksi metafisik dengan mengetengahkan prinsip
umum yang menjadi dasar dari semua realitas.

2.2 Epistemologi
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani episteme yang berarti pengetahuan atau ilmu
atau teori ilmu pengetahuan. Istilah “epistemologi” diperkenalkan oleh filsuf Skotlandia
James Frederick Ferrier (1808–1864). Epistemologi adalah cabang filsafat yang memberikan
fokus perhatian pada sifat dan ruang-lingkup ilmu pengetahuan, yang terdiri dari pertanyaan
berikut.

 Apakah pengetahuan?
 Bagaimanakah pengetahuan diperoleh?
 Bagaimana kita mengetahui apa yang kita ketahui?

Dalam kajian epistomologis ini, banyak perdebatan yang menganalisis sifat


pengetahuan dan bagaimana ia berhubungan dengan istilah-istilah yang berkaitan dengannya,
seperti kebenaran, kepercayaan (belief), dan penilaian (justifikasi). Ada juga yang mengkaji
sarana produksi pengetahuan, termasuk juga skeptisisme tentang klaim-klaim pengetahuan
yang berbeda.

Sebagai cabang filsafat, pemahaman para ahli tentang epistemology memiliki


perbedaan, baik dari sudut pandang maupun cara mengungkapkan nya. Kadang redaksi
penyampaiannya juga membuat persoalan substansinya juga berbeda. Epistemologi
membicarakan hakikat pengetahuan, unsur-unsur, dan susunan berbagai jenis pengetahuan,
pangkal tumpuannya yang fundamental, metode-metode, dan batasan-batasannya. Dalam
epistemologi, yang paling pokok perlu dibahas adalah apa yang menjadi sumber
pengetahuan, bagaimana struktur pengetahuan.5

A. Definisi Pengetahuan

Istilah “pengetahuan” dipergunakan ketika manusia mengenal sesuatu. Unsur


pengetahuan adalah yang mengetahui, diketahui, serta kesadaran tentang hal yang ingin
diketahuinya. Oleh karena itu,pengetahuan selalu menuntut adanya subjek yang mempunyai
kesadaran untuk mengetahui tentang sesuatu dan objek yang merupakan sesuatu yang
dihadapinya sebagai hal yang ingin diketahuinya. Pengertian ilmu dapat dirujukkan pada
kata‘ilm (Arab), science (Inggris), watenschap (Belanda), dan wissenschaf (Jerman). 6 Dalam
bahasa Indonesia, kata “ilmu” jelas berasal dari bahasa Arab. Istilah “ilmu” menyiratkan
suatu hal yang melebihi pengetahuan. Pada zaman dulu orang yang berilmu jelas merupakan
orang yang telah dianggap memiliki kemampuan yang didapat melalui syarat-syarat tertentu.
Orang yang dianggap berilmu merupakan orang yang lolos ujian dan syarat-syarat, dan
syarat-syarat tersebut menunjukkan “predikat” yang layak untuk dimilikinya. Ilmu
pengetahuan berarti suatu ilmu yang didapat dengan cara mengetahui, yang dilakukan dengan
cara-cara yang tidak sekedar tahu.

B. Sumber-Sumber Pengetahuan

1. Empirisme

Aliran ini menganggap bahwa pengetahuan diperoleh melalui pengalaman empiris.


Dalam hal ini, harus ada tiga hal, yaitu yang mengetahui (subjek), yang diketahui (objek), dan
cara mengetahui (pengalaman). Tokoh yang terkenal dari aliran ini antara lain John Locke
(1632–1704), George Barkeley (1685–1753), dan David Hume. Secara etimologis, empirisme
berasal dari kata bahasa Inggris empiricism dan experience. Kata-kata ini berasal dari kata
bahasa Yunani (empeiria) dan dari kata experietia yang berarti berpengalaman dalam,
berkenalan dengan, dan terampil untuk. Jadi, empirisme adalah aliran dalam filsafat yang
berpandangan bahwa pengetahuan secara keseluruhan atau parsial didasarkan kepada
pengalaman yang menggunakan indra.

Menurut aliran ini, mustahil kita dapat mencari pengetahuan mutlak dan mencakup
semua segi, apalagi jika di dekat kita terdapat kekuatan yang dapat dikuasai untuk
5
A. Susanto, Filsafat Ilmu : Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, Dan Aksiologis, ed. 1
(Jakarta: Bumi Aksara, 2011).
6
Imam Syafi ’ie, Konsep Ilmu Pengetahuan dalam al-Qur’an, (Yogyakarta: UII Press, 2000), hlm. 26.
meningkatkan pengetahuan manusia, yang meskipun bersifat lebih lambat, lebih dapat
diandalkan. Kaum empiris cukup puas dengan mengembangkan sebuah sistem pengetahuan
yang mempunyai peluang besar untuk benar meskipun kepastian mutlak tidak akan pernah
dapat dijamin. Usaha manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak dan
pasti telah berlangsung secara terus-menerus. Namun, terdapat sebuah tradisi epistemologis
yang kuat untuk mendasarkan diri kepada pengalaman manusia yang meninggalkan cita-cita
untuk mendapatkan pengetahuan yang mutlak dan pasti tersebut. Salah satunya adalah
empirisme.

Kaum empiris berpandangan bahwa pengetahuan manusia dapat diperoleh melalui


pengalaman.7 David Hume, misalnya, mengatakan bahwa, “Nihil est intelectu quod non
antea fuerit in sensu’’ (tidak ada satu pun ada dalam pikiran yang tidak terlebih dahulu
terdapat pada data-data indrawi).”8

2. Rasionalisme

Aliran ini menyatakan bahwa akal (reason) merupakan dasar kepastian dan kebenaran
pengetahuan walaupun belum didukung oleh fakta empiris. Tokohnya adalah Rene Descartes
(1596–1650), Baruch Spinoza (1632–1677), dan Gottried Leibniz (1646–1716). Secara
etimologis, rasionalisme berasal dari kata bahasa Inggris rationalism. Kata dasarnya berasal
dari bahasa Latin ratio yang berarti akal. Aliran ini dipandang sebagai aliran yang berpegang
pada prinsip bahwa akal harus diberi peranan utama dalam penjelasan.akal budi (rasio)
sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul atas, dan bebas (terlepas) dari
pengamatan indrawi. Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akal yang memenuhi syarat
semua pengetahuan ilmiah.

3. Institusi

Intuisi dapat menjadi sumber pengetahuan. Dengan intuisi, manusia memperoleh


pengetahuan secara tiba-tiba tanpa melalui proses pernalaran tertentu. Henry Bergson,
menganggap intuisi merupakan hasil evolusi pemikiran yang tertinggi, tetapi bersifat
personal. Ada pandangan yang berbareng dengan hal itu, yaitu bahwa pemahaman yang
berakar pada logika dan analisis kritis, empiris, dan rasionalis bukanlah hal yang dibutuhkan.
Pola pandang seperti ini memang kenes dan menarik hati. Inilah yang dinyatakan oleh
Malcolm Gladwell sebagai filosofi barunya, yang dapat dijumpai dalam bukunya yang
7
Susanto, Filsafat Ilmu : Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, Dan Aksiologis.
8
Donny Gahral Adian, Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan dari David Hume Sampai Th omas Kuhn.
(Jakarta: Teraju 2002), hlm. 50.
berjudul Blink-The Power of Thinking without Thinking, sebuah judul yang aneh, genit, dan
menarik perhatian.9 Asumsinya adalah bahwa dalam benak kita terdapat kekuatan bawah
sadar yang menyerap banyak sekali informasi dan data dari indra dan dengan tepat
membentuk situasi, memecahkan masalah, dan seterusnya, tanpa adanya pikiran formal yang
kaku dan mengatur. Salah satu daya tarik pemahaman semacam itu adalah bahwa kita semua
seolah punya intuisi dan dengan tergantung padanya dapat membantu kita membuat
keputusan hari demi hari.

4. Wahyu

Sumber pengetahuan “ wahyu” identik dengan agama atau kepercayaan yang sifatnya
mistis. Wahyu merupakan pengetahuan yang bersumber dari Tuhan melalui hambanya yang
terpilih untuk menyampaikannya (nabi dan rasul).

5. Otoritas

Otoritas adalah kekuasaan yang sah yang dimiliki oleh seseorang dan diakui oleh
kelompoknya.10

C. Paradigma Ilmu Pengetahuan

Paradigma adalah acuan awal yang harus dilalui dalam setiap penelitian karena hal ini
akan memberi warna tersendiri terhadap suatu bentuk penelitian. Thomas Kuhn dalam sebuah
bukunya The Structure Of Scientific Revolution (1962) menjelaskan bahwa paradigma
memiliki peran penting terhadap perkembangan dan pertumbuhan suatu ilmu pengetahuan. 11
Paradigma berperan vital dalam melihat setiap kajian atau penelitian. Sebab, hal ini berkaitan
dengan aspek filosofis dalam melihat kompleksitas fenomena.

D. Tentang Kebenaran
1. Guna Kebenaran

9
Michael R.LeGault, Sekarang Bukan Saatnya untuk “Blink” Tetapi Saatnya untuk THINK: Keputusan Penting
Tidak Bisa Dibuat Hanya dengan Sekejap Mata, (Jakarta: PT.Transmedia, 2006), hlm. 8.
10
Susanto, Filsafat Ilmu : Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, Dan Aksiologis.
11
Kuhn menjelaskan bahwa perkembangan suatu ilmu pengetahuan tidak mungkin terlepas dari perubahan
paradigma yang mendasarinya. Sementara, setiap pertumbuhan ilmu melalui beberapa proses, yaitu Paradigma
I, Normal science, anomaly, krisis dan revolusi ilmu, yang diakhiri dengan paradigma II. Th omas Kuhn. Th e
Structure of Scintifi c
Revolution, (Bandung: Rosda Karya, 2000), hlm. 18
Kebenaran merupakan tema sentral dlm filsafat ilmu sebab semua orang ingin
mencapai kebenaran kebenaran.Yang benar biasanya akan dijadikan panduan. Tanpa
kebenaran, kita akan ragu untuk melangkah, dalam hal ini kebenaran memberikan
kepastian.Kebenaran memberikan keyakinan untuk melakukan sesuatu pada waktu
berikutnya.Semakin kita terbiasa dengan kebenaran dan kepastian, hidup kita juga penuh
kepastian, membuat kita optimis dan mudah untuk menghadapi persoalan, atau setidaknya
mengetahui persoalan yang kita hadapi dan dengan demikian tahu apa yang harus dilakukan
untuk mengatasinya.Karena diam itu emas dan kebenaran itu pahit, tidak ada orang yang
menyukainya.

2. Teori Kebenaran, ada 3 yaitu :


 Saling Berhubungan (Coherence Theory of Truth)

Teori ini menganggap bahwa sesuatu dianggap benar apabila pernyataan itu koheren atau
konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar

 Saling Berkesesuaian (Correspondence Theory of Truth)

Suatu pernyataan dianggap benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu
berkorespondensi (berhubungan) dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Sebuah
pernyataan itu benar jika apa yang diungkapkannya merupakan fakta

 Pragmatis

Teori ini berpandangan bahwa sesuatu dianggap benar apabila berguna. Artinya, kebenaran
suatu pernyataan bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Ajaran pragmatisme memang
memiliki banyak corak (variasi). Tetapi, yang menyamakan di antara mereka adalah bahwa
ukuran kebenaran diletakkan dalam salah satu konsekuensi.

2.3 Aksiologi Dalam Perspektif Filsafat Ilmu


Aksiologi merupakan nilai kegunaan ilmu. Ilmu akan berguna bagi perkembangan
peradaban manusia. Di dalam kehidupan, ilmu akan saling terkait dengan moral. Masalah
moral tidak bisa dilepaskan dengan tekad manusia untuk menemukan kebenaran, sebab untuk
menemukan kebenaran dan terlebih-lebih lagi untuk mempertahankan kebenaran, diperlukan
keberanian moral. Sejarah kemanusiaan dihiasi oleh semangat para martir yang rela
mengorbankan nyawanya demi mempertahankan apa yang dianggap benar.12

12
Syampadzi Nurroh, “Filsafat IImu (Point of Review),” 2017, 1–23.
Aksiologi merupakan bagian dari filsafat ilmu yang menekankan pembahasannya di
sekitar nilai guna atau manfaat suatu ilmu pengetahuan. Di antara kegunaan ilmu
pengetahuan adalah memberikan kemaslahatan dan berbagai kemudahan bagi kelangsungan
hidup manusia itu sendiri. Aspek ini menjadi sangat penting dalam proses pengembangan
ilmu pengetahuan, sebab suatu cabang ilmu yang tidak memiliki nilai aksiologis, maka
cenderung mendatangkan kemudharatan bagi kelangsungan hidup manusia. Bahkan tidak
menutup kemungkinan ilmu yang bersangkutan menjadi ancaman yang sangat berbahaya,
baik bagi keberlangsungan kehidupan sosial maupun keseimbangan alam.13

A. Pengertian Aksiologi

Aksiologi berasal dari kata Yunani: axion (nilai) dan logos (teori), yang berarti teori
tentang nilai (Salam, 1997). Sumantri (1996) menyatakan aksiologi adalah teori nilai yang
berkaitan dengan kegunaan dan pengetahuan yang diperoleh. Menurut kamus bahasa
Indonesia, aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian
tentang nilai-nilai khususnya etika.

Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu yang membicarakan tentang tujuan ilmu
pengetahuan itu sendiri dan bagaimana manusia menggunakan ilmu tersebut. Jadi hakikat
yang ingin dicapai aksiologi adalah hakikat manfaat yang terdapat dalam suatu pengetahuan.
Objek kajian aksiologi adalah menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu karena ilmu harus
disesuaikan dengan nilai-nilai budaya dan moral sehingga nilai kegunaan ilmu itu dapat
dirasakan oleh masyarakat. Aksiologi disebut teori tentang nilai yang menaruh perhatian baik
dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tata cara dan tujuan (mean
and end). Dalam aksiologi ada dua komponen yang mendasar, yakni:

1. Etika

Etika adalah cabang filsafat aksiologi yang membahas masalah-masalah moral,


perilaku, norma, dan adat istiadat yang berlaku pada komunitas tertentu.

2. Estetika

Estetika merupakan bidang studi manusia yang mempersoalkan tentang nilai


keindahan. Keindahan mengandung arti bahwa didalam diri segala sesuatu terdapat unsur-
unsur yang tertata secara tertib dan harmonis dalam suatu hubungan yang utuh menyeluruh.
13
Juhari, “AKSIOLOGI ILMU PENGETAHUAN (Telaah Tentang Manfaat Ilmu Pengetahuan Dalam Konteks
Ilmu Dakwah) | Hasan | Al-Idarah: Jurnal Manajemen Dan Administrasi Islam,” AL-IDARAH 3 (2019): 95–108,
https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/alidarah/article/view/4839/pdf.
Maksudnya adalah suatu objek yang indah bukan semata-mata bersifat selaras serta berpola
baik melainkan harus juga mempunyai kepribadian. Untuk mengetahui kegunaan filsafat ilmu
atau untuk apa filsafat ilmu itu digunakan, kita dapat memulainya dengan melihat filsafat
sebagai tiga hal, yaitu:

1. Filsafat sebagai kumpulan teori digunakan memahami dan mereaksi dunia pemikiran.
2. Filsafat sebagai pandangan hidup.
3. Filsafat sebagai metodologi dalam memecahkan masalah.

B. Aksiologi Menurut Filsafat Dunia

1. Menurut Idealisme

Aliran filsafat Idealisme merupakan suatu aliran filsafat yang mengagungkan jiwa.
Pertemuan antara jiwa dan cinta melahirkan suatu angan-angan, yaitu dunia idea. Pokok
pemikiran Idealisme ialah

a. Menyakini adanya Tuhan sebagai ide tertinggi dari kejadian alam semesta ini.
b. Dunia adalah suatu totalitas, suatu kesatuan yang logis dan bersifat spiritual.
c. Kenyataan sejati ialah bersifat spiritual.
d. Idealisme berpendapat bahwa manusia menganggap roh atau sukma lebih berharga dan
lebih tinggi dari pada materi bagi kehidupan manusia.
e. Idealisme menganggap bahwa pengetahuan adalah sesuatu yang muncul dan terlahir
dari kejadian di dalam jiwa manusia.
f. Menurut idealisme, tujuan pendidikan untuk menciptakan manusia yang berkepribadian
mulia dan memiliki taraf kehidupan rohani yang lebih tinggi dan ideal serta memiliki
rasa tanggung jawab kepada masyarakat.

2. Menurut Realisme

Real berarti yang aktual atau yang ada, kata tersebut menunjuk kepada benda-benda
atau kejadian-kejadian yang sungguh- sungguh, artinya yang bukan sekadar khayalan atau
apa yang ada dalam pikiran. Real menunjukkan apa yang ada. Reality adalah keadaan atau
sifat benda yang real atau yang ada, yakni bertentangan dengan yang tampak. Dalam arti
umum, realism berarti kepatuhan kepada fakta, kepada apa yang terjadi, jadi bukan kepada
yang diharapka atau yang diinginkan. Akan tetapi dalam filsafat, kata realisme dipakai dalam
arti yang lebih teknis. Dalam arti filsafat yang sempit, realisme berarti anggapan bahwa
obyek indra kita adalah real, benda-benda ada, adanya itu terlepas dari kenyataan bahwa
benda itu kita ketahui, atau kita persepsikan atau ada hubungannya dengan pikiran kita.

Dari pernyataan tersebut, kita tidak dapat mengambil kesimpulan bahwa benda yang
tidak diketahui orang itu tidak mempunyai kualitas atau bahwa pengalaman 'mengetahui'
benda akan mengubah benda itu atau merupakan eksistensinya. Realisme menegaskan bahwa
sikap common sense yang diterima orang secara luas adalah benar, artinya, bahwa bidang
aam atau obyek fisik itu ada, tak bersandar kepada kita, dan bahwa pengalaman kita tidak
mengubah watak benda yang kita rasakan. Banyak filosof pada zaman dahulu dan sekarang,
khususnya kelompok idealis dan pragmatis berpendapat bahwa benda yang diketahui atau
dialami itu berbeda daripada benda itu sendiri sesudah mempunyai hubungan dengan kita.

3. Menurut Pragmatisme

Istilah pragmatisme berasal dari kata Yunani ”pragma” yang artinya perbuatan atau
tindakan. ”Isme” di sini sama artinya dengan isme-isme yang lainnya, yaitu aliran atau ajaran
atau paham. Dengan demikian, pragmatisme berarti ajaran yang menekankan bahwa
pemikiran itu menuruti tindakan. Kriteria kebenarannya adalah ”faedah” atau ”manfaat”.
Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh pragmatisme benar apabila membawa suatu hasil.
Dengan kata lain, suatu teori adalah benar if it works (apabila teori dapat diaplikasikan).

Aliran pragmatis ini beranggapan bahwa segala kebenaran ialah apa yang
membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan memperhatikan kegunaannya secara praktis.
Tokoh aliran ini adalah William James. Ia termasuk tokoh sangat berpengaruh dari Amerika
Serikat. Tokoh lainnya adalah John Dewey, Charles Sanders Peirce dan F.C.S. Schiller. Bagi
William James (1842-1910 M), pengertian atau putusan itu benar jika pada praktik dapat
dipergunakan. Putusan yang tidak dapat dipergunakan itu keliru. Kebenaran itu sifat
pengertian atau putusan bukanlah sifat halnya. Pengertian atau putusan itu benar, tidak saja
jika terbuktikan artinya dalam keadaan jasmani ini, akan tetapi jika bertindak dalam
lingkungan ilmu, seni dan agama.
4. Menurut Eksistensialisme

Eksistensialisme berasal dari kata eksistensi dari kata dasar exist. Kata exist itu
sendiri berasal dari bahasa ex: keluar, dan sister: berdiri. Jadi, eksistensi berdiri dengan keluar
dari diri sendiri. Filsafat eksistensi tidak sama persis dengan filsafat eksistensialisme. Filsafat
eksistensialisme lebih sulit ketimbang eksistensi. Dalam filsafat dibedakan antara esensia dan
eksistensia. Oleh esensia, sosok dari segala yang ada mendapatkan bentuknya. Oleh esensia,
kursi menjadi kursi. Pohon mangga menjadi pohon mangga. Namun, belum pasti apakah
semua itu sungguh ada, sungguh tampil, sungguh hadir. Disinilah peran eksistensia.

Eksistensia membuat yang ada dan bersosok jelas bentuknya, mampu berada, eksis.
Oleh eksistensia kursi dapat berada di tempat Oleh eksistensia kursi dapat berada di tempat.
Pohon mangga dapat tertanam, tumbuh, berkembang. Demikiankah penting peranan
eksistensia. Olehnya, segalanya dapat nyata ada, hidup, tampil, dan berperan. Tanpanya,
segala sesuatu tidak nyata ada, apalagi hidup dan berperan. Eksistensialisme adalah aliran
filsafat yang menekankan eksistensia. Para pengamat eksistensialisme tidak mempersoalkan
esensia dari segala yang ada. Karena memang sudah ada dan tak ada persoalan. Kursi adalah
kursi. Pohon mangga adalah pohon mangga. Namun, mereka mempersoalkan bagaimana
segala yang ada berada dan untuk apa berada. Oleh karena itu, mereka menyibukkan diri
dengan pemikiran tentang eksistensia. Dengan mencari cara berada dan eksis yang sesuai pun
akan ikut terpengaruhi.14

14
Firdausi Nuzulah, Unis Yadri, and Lailatul Fitria, “Aksiologi Pendidikan Menurut Macam-Macam Filsafat
Dunia,” Peningkatan Kompetensi Guru Melalui Pelatihan & Sumber Belajar Teori Dan Praktik, no. 2008
(1997): 1–15.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan dari beberapa pembahasan yang telah diuraikan diatas bisa ditarik
kesimpulan bahwasannya ontologi merupakan teori cabang filsafat yang berkaitan dengan
hakikat hidup dan membahas realitas, sehingga dapat dijumpai beberapa pandangan pokok
pemikiran seperti monoisme, monoisme sendiri terbagi menjadi 2 aliran, yaitu matearilisme
dan idealisme. pandangan pokok berikutnya ialah dualisme, dan yang terakhir yaitu
pluralisme. terdapat juga 3 tingkatkan abstraksi dalam ontologi, yaitu abstraksi fisik, bentuk
dan metafisik.

Sedangkan epistimologi merupakan cabang filsafat yang menyelidiki asal mula,


susunan, metode-metode, dan status sahnya pengetahuan. Epistimologi juga membicarakan
tentang sumber-sumber pengetahuan, dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan tersebut.
Karena teori ini seringkali membicarakan hal-hal yang berkaitan tentang pengetahuan,
sehingga menjadi penyebab kalau teori ini dikenal sebagai teori pengetahuan/ filsafat
pengetahuan.

Kalau aksiologi ini adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai atau
sering disebut teori nilai, teori nilai ini membahas mengenai kegunaan atau manfaat dari ilmu
pengetahuan. Aksiologi disebut teori tentang nilai yang menaruh perhatian baik dan buruk
(good and bad), seperti etika dan estetika.
DAFTAR PUSTAKA

Drs.A.Susanto M.pd. Filsafat ilmu “suatu kajian dalam dimensi ontologis,Epistemologis,dan


Aksiologis” 2021,bumi aksara.
Jujun S. Suriasumantri, filsafat ilmu sebuah pengantar popular (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2001), hal 64.
Ltfltf November 2018. “problematika filsafat, epistimologi, ontology, aksiologi”
https://www.slideshare.net/Ltfltf/problematika-filsafat-epistimologi-ontologi-aksiologi
diakses pada 07 Maret 2021 pukul 20.49.
Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu; Posivitisme, Post-Positivisme dan Post-Modernisme, Edisi II
(Yogyakarta:Rakesarasin, 2001,hal.59
Suparman Syukur, Espitemologi Islam Skloastik, (Semarang:Pustaka Pelajar, 2007) hlm.
205-206.

Anda mungkin juga menyukai