Anda di halaman 1dari 32

Pemeriksaan di Pengadilan dan Gugatan Class Action

Disusun Oleh:

Nadiah Putri Nur Amalia1, Qurrotul Uyun2,

Agung Rendra Saputra3, Abdul Jamil4

Fakultas Syari’ah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

E-Mail:

05010221018@student.uinsby.ac.id

05010221023@student.uinsby.ac.id

05020221032@student.uinsby.ac.id

05020221029@student.uinsby.ac.id

ABSTRAK

Salah satu upaya dalam proses pengadilan adalah pemeriksaan. Pemeriksaan


dilakukan oleh hakim pada perkara berdasarkan gugatan masing-masing pihak.
Gugatan memiliki banyak macam salah satunya gugatan class action.
Berdasarkan uraian tersebut artikel ini akan menjelaskan secara komprehensif
tahapan-tahapan dalam persidangan di pengadilan mulai dari tahap mediasi
hingga tahap persidangan yang menghasilkan putusan hakim. Serta menjelaskan
pula mengenai gugatan class action.

PENDAHULUAN
Hukum merupakan bentuk perlindungan dari hak asasi manusia yang salah satunya
yakni merupakan hak untuk hidup. Menurut R. Atang Ranoemihardja, penegakan hukum
merupakan kegiatan untuk menyelaraskan hubungan nilai-nilai sehingga dapat menciptakan
kehidupan sosial yang damai. Dalam merealisasikan hal tersebut, terdapat beberapa tahapan

1
yang harus ditempuh seperti tindakan pencegahan dam tindakan pemberantasan. Hukum
peerdata merupakan rangkaian peraturan-peratutan hukum yang mengatur hubungan hukum
antara orang yang satu dengan orang lain, dengan menitikberatkan kepada kepentingan
perseorangan.1 Hukum acara perdata meruakan hukum hukum formil yang merupakan bagia
dari hukum perdata. Maksud dari hukum perdata formil merupakan hukum yang berisi
peraturan perundang-undangan berisi tentang pelaksanaan sanksi hukum materiil dengan sifat
memaksa.
Dalam penegakan hukum, pengadilan merupakan lembaga yang diharapkan untuk
mewujudkan keadilan bagi masyarakat, terutama bagi pihak-pihak yang berada dalam suatu
permasalahan. Dalam penegakan keadilan di pengadilan terdapat tindakan yang disebut
dengan pemeriksaan perkara. Pemeriksaan perkara muncul ketika perkara tersebut telah
diajukan oleh pihak yang berperkara. Pemeriksaan perkara yang dilakukan oleh hakim,
advokat serta pejabat pengadilan yang terkait merupakan sebuah subfungsi dalam penegakan
hukum. Sehingga, dalam hal ini pengadilan diharuskan agar dapat mewujudkan kepastian
hukum agar menjadi suatu nilai yang terkandung dalam aturan-aturan hukum. 2 Dalam proses
pemeriksaan perkara perdata di pengadilan negeri terdapat beberapa acara pemeriksaan yang
dilaksankan dimuka hakim, diantaranya pengajuan gugatan oleh penggugat, dilanjutkan
dengan pembacaan gugatan oleh penggugat, pengajuan jawaban tergugat, replik, duplik,
pembuktian, kesimpulan sampai, putusan hakim, sampai menjalankan putusan tersebut.
Tata beracara dalam perihal hukum menjadi penting dalam dunia hukum terutama
dalam peradilan perdata. Hal tersebut menjadi penting dikarenakan rangkaian proses
pemeriksaan harus dilaksanakan menurut tata cara yang ditentukan oleh peraturan perundang-
undangan. Rangkaian proses beracara pengadilan dimulai dari pemanggilan para pihak untuk
menghadiri persidangan. Pemanggilan ini tentunya dilandaskan dengan wewenang hakim
untuk memeriksa , mengadili, dan memutus perkara yang ditangani. Seperti yang dijelaskan
sebelumnya, bahwa pemeriksaan ada setelah seseorang yang mengajukan perkara sebagai
wujud dari gugatan ke pengadilan. Tentunya, dalam mengajukan gugatan diharuskan untuk
mengetahui lebih dahulu dasar hukumya. Karena gugatan yang tanpa disertai dasar hukum
maka akan ditolak oleh majelis hakim dalam persidangan. 3 Gugatan sendiri terdiri dari
berbagai jenis, namun pada umumnya masyarakat hanya mengenal beberapa seperti voluntair
(permohonan), contentiosa (gugatan sengketa), dan class action (gugatan kelompok).
1
Kansil, Pengantar ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), hal. 214.
2
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 3-4.
3
Wafda Husnul Mukhiffa, “Urgensi dan Bentuk Dasar Hukum (Rechtelijke Gronden) dalam Fundamentum
Petendi,” 2019, hal. 2.

2
Gugatan perwakilan kelompok (class action) merupakan sebuah prosedur yang
dilakukan untuk melakukan pengajuan gugatan. Gugatan ini dilakukan oleh satu orang atau
lebih yang mewakili suatu kelompok untuk mengajukan gugatan atas dirinya sendiri
sekaligus meakili sekelompok orang dengan jumlah banyak. Dasar yang digunakan dalam
gugatan yang diajukan ini didasarkan atas kesamaan fakta serta kesamaan dasar hukum antara
wakil dari kelompok tersebut dan jga anggota kelompoknya.4 Gugatan Class Action's juga
dikatakan sebagai suatu prosedur beracara dalam perkara perdata yang biasanya berkaitan
dengan permintaan injunction atau ganti kerugian. Gugatan ini merupakan bentuk gugatan
yang memperjuangkan kepentingan yang ratusan, ribuan, bahkan jutaan orang lainnya yang
mengalami kesamaan penderitaan atau kerugian dengan memberikan hak prosedural terhadap
satu atau beberapa orang untuk bertindak sebagai penggugat.

PEMBAHASAN
Tinjauan Umum Pemeriksaan
Pemeriksaan perkara merupakan tahap yang dilakukan oleh hakim setelah mendapatkan
surat penetapan dari Ketua Pengadilan Negeri. Tentunya, sebelum berada pada tahap ini,
lebih dahulu terdapat gugatan yang diajukan oleh penggugat ke pengadilan negeri untuk
kemudian dicatat oleh panitera dan dilakukan pelunasan oleh penggugat. 5 Hal ini sesuai
dengan asas hakim yang bersifat menunggu dan pengajuan tuntutan merupakan inisiatif dari
penggugat.6 Setelah melakukan penggugat melakukan pendaftaran gugatan sebahai tindaan
pertama, penggugat hanya perlu menunggu pemberitahuan hari, tanggal dan jam oleh hakim
yang telah diberi wewenang untuk melaksanakan pemeriksaan. Kemudian, tergugat dan
penggugat akan diberikan surat panggilan beserta salinan surat gugatan di tempat tinggalnya
agar dapat hadir ke persidangan. Pemanggilan ini juga disertai dengan membawa segala surat
keterangan yang akan digunakan serta membawa saksi-saksi yang dikehendaki para pihak
(Ps. 145 RBg / Ps. 121 ayat (1) HIR). 7 Tahap panggilan ini harus dilakukan dengan patut
yang diharuskan untuk menunjukkan pengembalian risalah panggilan kepada hakim yang
akan memeriksa persidangan. Pengembalian risalah merupakan bentuk bukti kepada hakim
bahwa para pihak terkait telah dipanggil. Apabila pihak yang dipanggil berada di luar wilayah
hukum pengadilan negeri, maka pemanggilan bisa dilakukan melalui Ketua Pengadilan
Negeri di wilayah hukum pihak terkait.
4
Emerson Yuntho, “Class Action Sebuah Pengantar,” 2007, hal. 7.
5
Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 157.
6
Nyoman A. Martana, Hukum Acara dan Praktek Peradilan Perdata (Denpasar, 2016), hal. 15.
7
Martana, hal. 15.

3
Terkadang dalam praktik persidangan terdapat para pihak yang tidak menghadiri dan
menunaikan panggilan dari pengadilan yang akan memeriksa perkara. Ketidakhadiran atas
panggilan para pihak ini, bisa saja dari pihak penggugat maupun tergugat. Apabila dalam
penggugat tidak hadir pada sidang pertama, maka masih diberi kelonggaran atau kesempatan
oleh hakim untuk tidak menjatuhkan putusan pada persidangan pertama dan meminta juru
sita memanggil penggugat sekali lagi. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam
Pasal 148 RBg/124 HIR memuat ketentuan: “Bila penggugat yang telah dipanggil dengan
sepatutnya tidak datang menghadap dan juga tidak menyuruh orang mewakilinya, maka
gugatannya dinyatakan gugur dan penggugat dihukum untuk membayar biayanya, dengan
tidak mengurangi haknya untuk mengajukan gugatan lagi setelah melunasi biaya tersebut”.
Gugatan akan menjadi gugur apabila penggugat telah dipanggil dua kali dan ternyata tetap
tidak hadir, sedangkan dari pihak tergugat selalu hadir. Selain itu, penggugat juga akan
dihukum dengan membayar biaya perkara. Putusan pengguguran gugatan penggugat
dilakukan karena pokok perkara gugatan yang telah diajukan oleh penggugat tidak pernah
dipertimbangkan oleh hakim, karena memang pemeriksaan belum dilakukan dalam
persidangan.8 Namun, apabila penggugat hadir dalam sidang pertama tetapi hadir dalam
sidang berikutnya, maka perkaranya akan diperiksa dan diputus secara contradictoir.
Sedangkan, apabila pihak tergugat yang tidak menghadiri persidangan 2 (dua) kali
berturut-turut setelah panggilan dari pengadilan negeri secara patut dan tidak mewakilkan
kepada kuasa hukumnya, maka hakim akan memberikan putusan verstek (putusan di luar
hadirnya tergugat). Kecuali jika gugatan yang diajukan oleh penggugat melawan hak atau
tidak beralasan.9 Hal ini sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 149 RBg/Ps. 125
HIR ditentukan: “Bila pada hari yang telah ditentukan tergugat tidak datang meskipun sudah
dipanggil dengan sepatutnya, dan juga tidak mengirimkan wakilnya, maka gugatan
dikabulkan tanpa kehadirannya (verstek) kecuali bila ternyata menurut pengadilan negeri itu,
gugatannya tidak mempunyai dasar hukum atau tidak beralasan”. Putusan verstek ini
merupakan putusan yang pengabulan atas suatu gugatan walaupun tergugat tidak hadir atau
tidak mengirimkan perwakilannya. Kemudian, putusan tersebut akan diberitahukan dan
diingatkan kepada bahwa tergugat mengenai hak untuk mengajukan perlawanan (verzet)
terhadap keputusan verstek kepada hakim yang memeriksa perkara tersebut atau kepada
pengadilan negeri yang sama. Pengajuan perlawanan terhadap keputusan verstek harus

8
Endang Hadrian dan Lukman Hakim, Hukum Acara Perdata di Indonesia: Permasalahan Eksekusi dan Mediasi
(Deepublish, 2020), hal. 27.
9
Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik, hal. 158.

4
dilakukan sesuai dalam waktu serta dengan cara yang ditentukan dalam Ps. 153 RBg / PS.
129 HIR, sebagai berikut : “Tergugat/ Para Tergugat yang dihukum dengan Verstek berhak
mengajukan verzet atau perlawanan dalam waktu 14 (empat belas) hari terhitung setelah
tanggal pemberitahuan putusan verstek itu kepada Tergugat semula jika pemberitahuan
tersebut langsung disampaikan sendiri kepada yang bersangkutan.” Namun, “Apabila pihak
yang tidak hadir dalam persidangan diberikan putusan verstek mengajukan perlawanan
ternyata tidak hadir dalam persidangan 2 (dua) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah dan
atau tidak mewakilkan kepada kuasa hukumnya, maka untuk yang kedua kalinya tergugat
diputus (verstek) dan jika tergugat mengajukan perlawanan (verzet) lagi, tidak akan
diterima.” (Pasal 127 dan Pasal 129 ayat (5) HIR dan Pasal 153 ayat (6) RBg)
Pada prinsipnya adanya verstek ini merupakan bentuk realisasi dari asas asas audi et
alteram partem. Asas tersebut ada di dalam Hukum Acara Perdata memliki makna bahwa
hakim akan mendengar kedua belah pihak berperkara di persidangan. Dengan adanya hal ini,
mennadakan bahwa kepentingan kedua belah pihak dalam perkara merupakan hal yang harus
diperhatikan. Dengan adanya sistem verstek dapat menyederhanakan proses persidangan dan
mendorong para pihak untuk mengikuti tata tertib beracara. Sehingga, persidangan akan
terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan, seperti iktikad buruk tergugat untuk
menghambat jalannya persidangan dan menyelesaikan perkara dengan tidak hadirnya
tergugat dalam persidangan. Oleh sebab itu, pemeriksaan perkara tidak digantungkan kepada
kehadiran tergugat di persidangan karena telah mempertimbangkan akibat buruk yang akan
mengganggu jalannya pemeriksaan persidangan.10

Tata Cara Pemanggilan Pihak


Pemanggilan menurut KBBI merupakan sebuah proses, cara, atau perbuatan
memanggil. Menurut Yahya Harahap, pemanggilan atau panggilan berasal dari convocation,
convocatie memilki arti sempit yaitu sebuah perintah agar pada hari tertentu yang telah
ditetapkan dapat menghadiri suatu sidang. Sedangkan, arti luas dari panggilan meliputi
tindakan hukum pemberitahuan, yang antara lain; pemberitahuan putusan PTA dan MA,
permintaan Banding, memori, kontra memori banding dan lain-lain (Pasal 388 HIR).11
Menurut Pasal 388 dan Pasal 390 ayat (1) HIR, yang berfungsi melakukan panggilan adalah
juru sita. Hanya panggilan yang dilakukan juru sita merupakan panggilan yang dianggap sah
dan resmi. Tujuan dari adanya pemanggilan adalah penyampaian pesan kepada pihak yang

10
Hadrian dan Hakim, Hukum Acara Perdata di Indonesia: Permasalahan Eksekusi dan Mediasi, hal. 29.
11
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 213.

5
mempunyai hak untuk mendapatkan informasi terkait segala hal tentang hal-hal yang
dilakukan atau tindakan hukum pihak lawan di pengadilan. 12 Dengan demikian, karena
panggilan yang dimaksud disini meliputi hal-hal yang berisi pemberitahuan akan proses
pemeriksaan pengadilan. Maka, syarat dan tata cara terkait tindakan hukum pemanggilan
ditentukan dalam undang-undang.13
Tahap pemanggilan dimulai dengan perintah pemanggilan dari majelis setelah adanya
pelimpahan beras dari ketua PN. Namun, sebelumnya majelis hukum terlebih dahulu
melakukan penetapan hari sidang beserta pencantuman ke panitera atau juru sita untuk
memanggil kedua belah pihak (tergugat dan penggugat) ke persidangan sesuai dengan hari
yang telah ditentukan sebelumnya. Pemanggilan ini disertai dengan perintah untuk
menghadirkan saksi-saksi para pihak sesuai dengan Pasal 121 ayat (1) HIR. Sesuai dengan
ketentuan Pasal 39 UU No. 6 Tahun 1986 juru sita merupakan salah satu subsistem dalam
organisasi PN, yang fungsi utamanya membantu panitera melaksanakan pemanggilan,
pemberitahuan, penyitaan, dan eksekusi.14
Bentuk panggilan berdasarkan Pasal 390 ayat (1) HIR dan Pasal 2 ayat (3) Rv
dilakukan dalam tertulis (telegram dan surat tercatat) dan lazim (surat panggilan atau rela
panggilan maupun berita acara panggilan). Sedangkan, panggilan secara lisan tidak
dibenarkan dalam hal ini, karena panggilan secara lisan dapat menimbulkan kesulitan untuk
menunjukkan keabsahannya sehingga dianggap sah menurut hukum. Isi surat panggilan
memiliki sifat kumulatif, sifat ini merupkan adalah sifat memaksa atau imperatif (tidak
wajib). Sehingga, jika dalam isinya terdapat kekurangan atau kelalaian dalam penulisan maka
surat panggilan akan cacat hukum dan dianggap tidak sah. Berkenaan dengan isi surat
panggilan ini diatur dalam Pasal 121 ayat (1) HIR dan Pasal 1 Rv yang menjelaskan surat
pertama berisi: “Nama yang dipanggil, hari dan jam serta tempat sidang, membawa saksi-
saksi yang diperlukan, membawa surat-surat yang hendak digunakan, dan penegasan dapat
menjawab gugatan dengan surat.” Selain itu, pada Pasal 121 ayat (2) HIR dan Pasal 1 Rv
mewajibkan juru sita untuk melampiri surat panggilan dengan salinan surat gugatan dan
salinan tersebut dianggap gugatan asli.
Cara pengadilan melakukan panggilan menurut hukum terdapat pada Pasal 390 ayat (1)
dan ayat (3) HIR serta Pasal 1 dan Pasal 1 dan Pasal 6 ke-7 Rv. Dalam ketentuan tersebut,
dapat diklasifikasikan tata cara panggilan dibagi berdasarkan berdasarkan beberapa faktor,
12
Retno Wulan Sutianto, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek (Bandung: Mandar Maju, 2002), hal.
22.
13
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, 2 ed. (Jakarta: Sinar Grafika, 2019), hal. 288.
14
Harahap, hal. 272.

6
antara lain: faktor diketahui dan tidak diketahui kediaman tergugat atau orang yang
dipanggil.15 Jika kehunian tergugat diketahui maka cara pemanggilan yang sah dilakukan
dengan penyampaian di tempat domisilinya secara langsung kepada tergugat atau
keluarganya (in person). Jangkauan keluarga yang dimaksud disini merupakan keluarga
dengan garis lurus ke atas dan ke bawah serta istri. Sehingga keluarga yang dimaksud disini
merupakan ayah, ibu, anak yang telah dewasa, beserta istri. Namun, apabila di kediaman
tergugat tidak ada yang bersangkutan maupun keluarganya, maka sesuai dengan Pasal 390
ayat (1) HIR dan Pasal 3 Rv, menjelaskan bahwa surat panggilan bisa disampaikan kepada
kepala desa yang disertai dengan perintah supaya dengan segera menyampaikan surat
panggilan itu kepada pihak yang bersangkutan.16 Karena, surat panggilan ini menjadi sah
ketika telah benar-benar sampai ke tangan pihak yang bersangkutan atau keluarganya.
Cara panggilan kepada tergugat yang tidak diketahui tempat tinggalnya diatur dalam
Pasal 390 ayat (1) HIR dan Pasal 6 ke-7 Rv. Maksud dari tidak diketahuinya tempat tinggal
ini diikuti dengan beberapa faktor, antara lain: (1) apabila sudah dengan jelas diterangkan
dalam surat gugatan bahwa tempat tinggal tergugta tidak diketahui, (2) terdapat alamat dalam
surat gugatan, namun ketika juru sita melakukan pemanggilan, ternyata tergugat tidak ada
atau dinyatakan pinmeninggalkan tempat tinggalnya oleh kepala desa tanpa menyebutkan
alamat tinggal yang baru. Dalam menghadapi kasus seperti ini, sudah dijelaskan dalam Pasal
390 ayat (3) HIR untuk melakukan panggilan umum atau pemberitahuan umum.
Pemberitahuan ini dilakukan dengan cara menyampaikan kepada bupati atau walikota, yang
kemudian memaklumkan surat juru sita dan menempelkanya pada pintu umum kamar
persidangan PN yang bersangkutan. Namun, ketentuan pada pasal tersebut dianggap tidak
realistis karena hanya ditempelkan di pintu ruang sidang pengadilan. Sehingga diperlukan
cara pemanggilan yang lebih objektif dan realistis, yang kemudian diperlukan pengadilan
agar memedomani ketentuan Pasal 9 ke-7 Rv yang menegaskan bahwa: dalam hal
penempelan pengumuman di pintu ruang sidang harus juga dimuat dalam surat kabar harian
atau surat kabar yang terbit di sekitar wilayah pengadilan terkait. Hal ini dilakukan dengan
tujuan agar pengumuman emanggilan pihak menjadi lebih luas dan kemungkinan tergugat
untuk mengetahui pemanggilan menjadi lebih efektif.17
Pemanggilan tergugat apabila berada di luar negeri diatur dalam Pasal 6 ke-8 Rv
dilakukan dengan cara: “Panggilan disampaikan kepada jaksa penuntut umum (JPU) sesuai

15
Subekti, Hukum Acara Perdata (Jakarta: Bina Cipta, 1977), hal. 45.
16
Harahap, Hukum Acara Perdata, 2019, hal. 274.
17
Hukum Acara Perdata, hal. 45.

7
dengan yurisdiksi relatif yang dimilikinya; Selanjutnya, JPU memberi tanda mengetahui pada
surat aslinya, dan; Mengirimkan turunannya kepada pemerintah (barangkali Menteri Luar
Negeri) untuk disampaikan kepada yang bersangkutan. Dalam praktiknya, Pasal tersebut
dijadikan sebagai pedoman dalam peneatapan yang lebih sederhana, sebagai berikut: (a)
tempat tinggal diketahui, panggilan akan diampaikan melalui jalur diplomatik (Deplu,
kedutan, atau konsultan) yang langsung dilakuka oleh juru sita tanpa melibatkan JPU; (b)
tempat tinggal tidak diketahui, tata cara pemanggilan tunduk kepada ketentuan Pasal 390 ayat
(3) HIR dan Pasal 6 ke-7 Rv, yaitu disampaikan melalui panggilan umum.”18
Pemanggilan terhadap yang meninggal dirujuk pada Pasal 390 ayat (2) HIR dan Pasal 7
Rv berisi tentang, antara lain: “(a) Apabila ahli waris dikenal, pemanggilan dilakukan dengan
memanggil semua ahli waris tanpa menyebutkan tempat tinggal mereka satu persatu dan
hanya cukup menyertakan nama beserta tempat tinggal mereka, yang panggilannya
disampaikan di tempat tinggal tinggal terakhir pihak terkait. (b) Apabila ahli waris tidak
dikenal, dilakukan dengan penyampaian ke kepala desa tempat tinggal terakhir pihak terkait
agar dapat menyampaikan panggilan kepada ahli waris, namun apabila kepala desa tidak
mengenal ahli waris maka panggilan dikembalikan ke juru sita disertai dengan keterangan
tidak diketahui. Sehingga atas penjelasan kepala desa, juru sita dapat menempuh tata cara
panggilan umum.”
Dalam menentukan hari sidang, tentunya diperlukan pertimbangan jarak waktu antara
panggilan dengan hari sidang. Untuk menentukan jarak waktu panggilan dirujuk dalam Pasal
122 HIR dan Pasal 10 Rv, yang terbagi menjadi beberapa faktor, antara lain: “(a) Jarak antara
tempat sidang dan tampat tinggal tergugat, yaitu 8 (delapan) hari jika tidak jauh, 14 (empat
belas) jika cukup jauh, 20 (dua puluh) hari jika jaraknya jauh; (b) Jarak waktu panggilan
dalam keadaan mendesak, sesuai dengan Pasal 122 HIR yang aturannya yaitu jarak waktunya
dapat dipersingkat namun tidak boleh kurang dari 3 (tiga) hari; (c) Jarak waktu pemanggilan
di luar negeri yang dilakukan dengan pendasaran pada perkiraan faktor yang wajar, antara
lain: Jarak Negara tempat tinggal tergugat dengan Indonesia pada satu segi serta jarak tempat
tinggal tergugat dengan Konsulat Jenderal RI, dan; Faktor birokrasi yang harus ditempuh
dalam penyampaian panggilan.”19 Kemudian, yang terakhir dalam penentuan waktu yaitu
ketika tergugat terdiri dari beberapa orang. Penentuan waktu dilakukan dengan didasarkan
pada tergugat yang bertempat tinggal paling jauh dari tempat sidang bukan berdasarkan
tempat tinggal tergugat paling dekat.

18
Harahap, Hukum Acara Perdata, 2019, 276.
19
Harahap, hal. 278.

8
Cara pemanggilan pihak lainnya adalah adanya pendelegasian pemanggilan. Hal
tersebut merupakan bentuk tindakan melimpahkan pelaksanaan pemanggilan kepada juru sita
di PN yang lain. Pelimpahan ini bisa terjadi dikarenakan orang yang hendak dipanggil berada
di luar yurisdiksi relatif juru sita yang telah mendelegasikannya. Masalah pendelegasiannya
ini terdapat pada Pasal 5 Rv, yaitu: “Orang yang hendak dipanggil berada di luar wilayah
hukum juru sita; Pemanggilan dilaksanakan oleh juru sita Pengadilan yang meliputi wilayah
hukum tempat tinggal orang yang hendak dipanggil; Ketua Pengadilan bersangkutan meminta
bantuan kepada Ketua Pengadilan yang membawahi wilayah hukum tempat tinggal tergugat,
untuk memerintahkan juru sita Pengadilan tersebut menyampaikan panggilan; Ketua
Pengadilan yang diminta bantuan, mengeluarkan perintah pemanggilan kepada juru sita
berdasarkan permintaan bantuan dimaksud; Segera setelah itu, menyampaikan langsung
kepada Ketua Pengadilan yang melimpahkan, tentang pelaksanaan panggilan yang
dilakukan.”
Dalam penyampaian pemanggilan terdapat batasan untuk juru sita atau larangan yang
harus dipatuhi yang terdapat pada Pasal 18 Rv, yaitu: “Tidak boleh disampaikan sebelum jam
6 pagi, sesudah jam 6 sore, dan tidak boleh disampaikan hari Minggu. Namun larangan ini
mendapatkan pengecualian apabila: ada izin dari Ketua Pengadilan, izin diberikan atas
permintaan penggugat, izin diberikan dalam keadaan mendesak, dan izin dicantumkan pada
kepala surat panggilan/pemberitahuan.” Kemudian, terdapat pula tata cara pemanggilan
ditegakkan asas Lex Fori, merupakan prinsip hukum perdata internasional yang
menganjurkan hukum acara yang diterapkan ialah hukum nasional dari hakim yang
memeriksa dan memutusperkara. Prof. Asikin Kusuma Atmadja berpendapat “karena cara
mengajukan perkara dan cara pemanggilan kedua belah pihak yang berperkara adalah sangat
bersifat acara maka dari ituharus tunduk pula kepada peraturan hukum dari Negara hakim
sendiri, in casu berlakulah hukum acara perdata yang diatur dalam HIR.” Kemudian, agar
surat panggilan bersifat sah secara otentik maka ada beberapa syarat yang harus dipenuhi
seperti ditandatangani oleh juru sita dan keterangan juru sita bahwa telah disampaikan kepada
yang bersangkutan atau kepada keluarga atau kepala desa (tulis tangan). Juru sita juga bisa
mendapatkan hukuman apabila suart panggilan batal yang dilakukan karena sengaja atau
kelalaian (Pasal 21 Rv). Dalam hal tersebut, juru sita bertanggung jawab akan biaya
panggilan dan acara biaya yang batal dengan membayar ganti rugi pihak yang dirugikan
berdasaran PMH Pasal 1365 KUH Perdata.20
Tahap Perdamaian (Mediasi)
20
Harahap, hal. 281.

9
Dalam suatu perkara perdata tentulah pihak-pihak yang saling bersengketa memiliki
harapan untuk memenangkan gugatannya masing-masing. Dengan kata lain hasil akhir dari
suatu perkara ini adalah menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Putusan hakim
sangat berpengaruh dalam penyelesaian suatu perkara. Akan tetapi tentu dalam upaya
menyelesaikan perkara ini para pihak yang berselisih akan terbebani oleh waktu dan biaya
yang tidak sedikit.
Oleh karena itu ada yang namanya alternatif dalam penyelesaian suatu perkara perdata.
Penyelesaian alternatif tersebut dinamakan perdamaian antar para pihak. Salah satu upaya
perdamaian tersebut adalah mediasi. Mediasi merupakan penyelesaian alternatif suatu
perkara melalui jalan damai. Ini berarti suatu perkara diselesaikan bukan demi mencapai hasil
menang atau kalah, melainkan hasil win win solution. Atau dengan kata lain dengan adanya
mediasi ini kedua belah pihak menyepakati penyelesaian perkara dengan jalan damai yang
menguntungkan mereka.
Perdamaian melalui mediasi dilakukan dengan menggunakan hadirnya mediator. Hal
ini sesuai dengan namanya yang secara etimologi mediare yang berarti tengah21. Maksud dari
tengah ini adalah pihak mediator yang digunakan dalam penyelesaian perkara ini haruslah
memiliki sifat yang netral alias tidak memihak kubu manapun. Mediator akan menjadi pihak
yang menampung aspirasi dari kedua pihak dan mendiskusikannya serta menawarkan jalan
tengah bagi kedua belah pihak yang berperkara.
Mediasi disebutkan dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 tahun 2008
tentang perubahan atas PERMA Nomor 2 tahun 2003 tentang prosedur mediasi di
pengadilan yang berbunyi: “Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses
perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator”
Jadi, secara definitif mediasi merupakan proses negosiasi antar para pihak yang
berperkara dengan menggunakan jasa mediator yang bersifat netral alias tidak condong pada
satu pihak demi mewujudkan kesepakatan yang menciptakan jalan damai 22. Mediasi berbeda
dengan negosiasi. Mediasi memerlukan pihak ketiga sebagai mediator untuk mencapai
kesepakatan, sedangkan negosiasi tidak memerlukan mediator. Atau dengan kata lain
negosiasi hanya memerlukan kedua pihak yang berperkara dan mendiskusikan kesepakatan
mereka sendiri. Intinya negosiasi merupakan bagian dari mediasi.
21
“Proses Acara Perkara Perdata,” diakses 17 Maret 2023,
https://www.pn-mentok.go.id/tentang-pengadilan/kepaniteraan/kepaniteraan-perdata/proses-acara-perkara-
perdata.html.
22
Mardalena Hanifah, “KAJIAN YURIDIS : MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN
SENGKETA PERDATA DI PENGADILAN,” ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata 2, no. 1 (11 Januari
2016): 1–13, https://doi.org/10.36913/jhaper.v2i1.21.

10
Manfaat adanya mediasi ini adalah menghemat biaya serta waktu dalam menyelesaikan
suatu perkara. Bila ditinjau kembali suatu perkara yang diputuskan melalui putusan hakim
tentulah membutuhkan proses yang memakan waktu, tenaga juga biaya yang tidak sedikit.
Belum lagi apabila putusan hakim yang dikeluarkan justru memiliki potensi yang dapat
menimbulkan perkara baru bukannya perdamaian antar para pihak. 23 Sedangkan dengan
adanya mediasi kesepakatan yang menciptakan jalan damai dapat diperoleh dengan waktu
serta biaya yang ringan. Prinsip dari perdamaian melalui mediasi adalah sebagai berikut:
1. Mediasi bersifat informal, mediator menggunakan pendekatan non-legal yang tidak kaku
sehingga para pihak juga tidak tegang dalam mencari jalan damai.
2. Mediasi berlangsung dalam waktu relatif singkat, disebutkan dalam pasal 13 ayat (1)
PERMA Nomor 1 tahun 2008 mediasi membutuhkan waktu paling lama 40 hari dengan
tambahan waktu maksimal 14 hari menurut pasal 13 ayat (4).
3. Mediasi berupa penyelesaian berdasarkan kesepakatan para pihak.
4. Mediasi memerlukan biaya ringan dan murah, biaya yang dikeluarkan untuk biaya
pemanggilan pihak yang tidak hadir saja, sedangkan biaya untuk mediator sendiri apabila
merupakan mediator dari pengadilan (hakim) maka tidak dikenalkan biaya apapun.
5. Mediasi bersifat tertutup dan rahasia kecuali para pihak berkehendak lain.
6. Mediasi menghasilkan kesepakatan mengakhiri perkara
7. Mediasi menggunakan pendekatan komunikasi
8. Mediasi bersifat win-win solution, tidak ada pihak yang menang atau kalah, keduanya
memiliki konsekuensi atas kesepakatan yang ada.
9. Mediasi berkekuatan hukum tetap, bersifat final sama seperti putusan hakim.
Upaya mediasi dapat dilakukan di luar maupun di dalam pengadilan. Mediasi di luar
pengadilan dapat dilaksanakan melalui mediator swasta atau perorangan yang kemudian
apabila sudah mencapai kesepakatan damai, pihak menggugat dapat mencabut gugatannya.
Sedangkan untuk mediasi di dalam pengadilan, mediator terdiri dari hakim-hakim yang tidak
menangani perkara tersebut.
Dalam memeriksa perkara perdata, hakim harus mengupayakan terlebih dahulu jalan
perdamaian antar pihak penggugat dan tergugat. Hal ini sesuai dengan ketentuan dari pasal
130 ayat (1) H.I.R.24 apabila hakim berhasil mendamaikan kedua belah pihak maka dibuatlah
akta perdamaian. Akta perdamaian ini memuat ketentuan-ketentuan yang telah disepakati dan
harus ditaati oleh pihak penggugat juga pihak tergugat.
23
Sri pusptaningrum, “MEDIASI SEBAGAI UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA DI
PENGADILAN,” spektrum hukum 15 (2018), http://sister.untagsmg.ac.id/index.php/SH/article/view/1121/968.
24
Retnowulan Sutanto, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik (Bandung: Mandar Maju, 1997).

11
Adapun mediasi yang dilakukan di dalam pengadilan memiliki kekuatan hukum tetap,
artinya kesepakatan damai yang dilakukan kedua belah pihak memiiki kekuatan hukum yang
mengikat atau krach van gewijsde25. Jadi, apabila pihak tergugat keberatan dikemudian hari
dan ingkar janji (wanprestasi), maka dalam perkara yang sama pihak penggugat tidak dapak
mengajukan kembali perkara tersebut di pengadilan karena sudah dianggap Nebis in Idem
atau tidak dapat diperiksa kembali karena sudah ada keputusan tetap terkait perkara, pihak
dan objek yang sama.
Adapun tahap-tahap dalam upaya perdamaian melalui mediasi di pengadilan adalah
sebagai berikut26:
1. Tahap pra mediasi
Gugatan didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan dan berlangsungnya proses hingga
adanya pemanggilan untuk sidang pertama. Jika semua pihak hadir pada hari sidang
pertama, upaya mediasi wajib dilakukan. Majelis Hakim menjelaskan prosedur mediasi
dan para pihak memilih mediator
Jika dalam dua hari tidak ditentukan mediator, maka hakim akan mencari hakim
pengadilan di luar hakim pemeriksa perkara yang bersertifikat mediator, atau jika tidak
ada hakim yang memiliki sertifikasi tersebut maka, salah satu hakim pemeriksa perkara
ditunjuk oleh ketua majelis. Proses mediasi dilakukan selama kurun waktu empat puluh
hari kerja dan waktu tersebut dapat pula diperpanjang hingga empat belas hari kerja.
2. Pembentukan forum
Lima hari setelah mediator terpilih, para pihak menyerahkan resume perkara pada
mediator. Mediator dapat meminta pertemuan mediasi dihadiri oleh pihak yang
berperkara langsung, bukan kuasa hukum.
3. Pendalaman masalah
Pendalaman masalah dengan metode kaukus, yakni mengolah data, mengembangkan
informasi, eksplorasi kepentingan para pihak kemudian mediator memberikan penilaian
serta menawarkan solusi kepada para pihak hingga mencapai kesepakatan.
4. Penyelesaian akhir dan penentuan hasil kesepakatan
Setelah mencapai kesepakatan, mediator mecatatnya dalam dokumen kesepakatan yang
disebut dengan akta perdamaian. Dokumen ini haruslah sesuai dengan kehendak para
pihak, tidak bertentangan dengan hukum, tidak merugikan pihak ketiga, dapay dieksekusi,

25
Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan praktik (Jakarta Timur: Sinar Grafika, 2011).
26
“Proses Acara Perkara Perdata.”

12
dan dilakukan dengan itikad baik. Setelah adanya akta perdamaian, para pihak wajib
menjalankannya sesuai kesepakatan dan persidangan dibatalkan atau tidak berlanjut.

Persidangan
Persidangan merupakan proses puncak untuk mencapai penyelesaian suatu perkara.
Dalam persidangan hakim akan memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara. Sebelum
melaksanakan persidangan para pihak yang berperkara akan menempuh upaya mediasi
terlebih dahulu. Namun apabila upaya mediasi gagal maka perkara tersebut akan berlanjut
pada proses persidangan selanjutnya. Adapun tahap-tahap persidangan adalah sebagai
berikut27:
1. Tahap mediasi
2. Jika upaya mediasi gagal, maka proses persidangan dilanjutkan.
3. Penggugat atau kuasanya membacakan gugatan di pengadilan.
4. Tergugat memberikan jawaban atas gugatan yang diterima. Misalnya bantahan, eksepsi,
permohonan putusan provisionil, gugatan rekonvensi.
5. Proses surat menyurat (jawab jinawab), pada proses ini kemungkinan ada gugatan
intervensi (voeging, Vrijwaring, toesenkomst).
6. Sebelum pembuktian ada kemungkinan muncul putusan sela (putusan provisionil, putusan
tentang dikabulkannya eksepsi absolut, atau ada gugat intervensi).
7. Pembuktian, dimulai dari penggugat berupa surat bukti dan saksi. Dilanjutkan dari
tergugat berupa surat bukti dan saksi.
8. Apabila menyangkut tanah dilakukan pemeriksaan setempat.
9. Kesimpulan
10. Majelis hakim melakukan musyawarah yang bersifat rahasia. Musyawarah ini ditujukan
untuk melahirkan putusan.
11. Pembacaan Putusan oleh majelis hakim. Isi putusan oleh hakim diantaranya gugatan
dikabulkan, gugatan ditolak, gugatan tidak dapat diterima.
12. Atas putusan ini para pihak diberitahu hak-haknya apakah akan menerima, pikir-pikir
atau akan banding. Apabila pikir-pikir maka diberi waktu selama 14 hari.
13. Dalam hal ada pihak yang tidak hadir maka diberitahu terlebih dahulu dan dalam waktu
14 hari setelah pemberitahuan diberi hak untuk menentukan sikap. Apabila waktu 14 hari
tidak menentukan sikap maka dianggap menerima putusan.
27
“Tata Urutan Persidangan Perkara Perdata,” diakses 20 Maret 2023,
https://pn-karanganyar.go.id/main/index.php/tentang-pengadilan/kepaniteraan/kepaniteraan-perdata/813-tata-
urutan-persidangan-perkara-perdata.

13
Berubah dan Bertambahnya Surat Gugatan
Pada dasarnya surat gugatan tidak bisa ditambah maupun dirubah, akan tetapi dalam
praktik dan yurisprudensi diperbolehkan dengan adanya syarat-syarat.28 Dalam hal apa dan
kapan surat gugatan boleh berubah. Didalam yurisprudensi disebutkan, bahwa:
1. Putusan MA-RI No.434.k/sip/tanggal 11 Maret 1971:
Perubahan gugatan dapat dikabulkan asalkan tidak melampaui batas-batas materi pokok
yang dapat menimbulkan kerugian pada hak pembelaan para tergugat.
2. Putusan MA-RI No.1043.k/sip/1971, tanggal 13 Desember 1974 dan
No.283.k/sip/1973,tanggal 29 Januari 1976:
Penambahan dan perubahan gugatan diizinkan oleh yurisprudensi, asal tergugat tidak
dirugikan haknya untuk membela diri atau pembuktian dan tidak mengakibatkan
perubahan prosta.
3. Putusan MA-RI No.823.k/sip/1973, tanggal 29 Januari 1976:
Karena perubahan tersebut tidaklah merugikan tergugat dalam pembelaan atau
pembuktian, sehingga tidak bertentangan dengan hukum acara dan demi peradilan yang
cepat dan murah (tentang perubahan tanggal, bulan, tahun, dalam gugatan).

Masuknya Pihak Ketiga Dalam Perkara


Masuknya pihak ketiga dalam sebuah perkara disebut dengan intervensi. Setiap orang
ketiga yang masuk dalam perkara pasti memiliki kepentingan atas suatu perkara tersebut dan
Ia juga berhak untuk ikut bergabung dalam perkara tersebut untuk membela hak dan
kepentingannya. Di dalam praktik peradilan dan teori maupun di dalam pasal 279 Rv,
bergabungnya pihak ketiga dalam perkara memiliki tiga bentuk:
1. Tussenkomst (intervention)
Pada dasarnya jenis gugatan yang benar-benar berbentuk gugatan intervention adalah
Tussenkomst. Yakni pihak ketiga memiliki kepentingan atas apa yang disengketakan
dalam suatu perkara perdata yang dihadapkan di persidangan pengadilan tingkat pertama.
Alasan dari masuknya pihak ketiga dalam perkara pada jenis ini adalah adanya
kepentingan diri sendiri atas apa yang disengketakan oleh para pihak. Ada beberapa hal
yang harus diperhatikan ketika pihak ketiga ingin masuk dalam suatu perkara pada jenis
ini:

28
Wayan Wadirman Winata, Nyoman Bagiastra, Cara mengajukan gugatan dan perubahan gugatan dalam
praktik peradilan Hukum Acara Perdata. Hal 73

14
a) Syarat utama intervensi dalam bentuk Tussenkomst, objek gugatan intervansi sama
dengan objek gugatan perkara pokok yang disengketakan oleh para pihak yang
berperkara. Syarat ini juga ditegaskan oleh salah satu putusan MA No.827.k/sip/1971
yang mengatakan bahwa:
“Bertentangan dengan asas hukum acara perdata, judex factie yang menerima dan
memeriksa gugatan insidentil berupa intervensi pihak ketiga yang ternyata gugatan
intervensi adalah berbeda dengan objek perkara gugatan pokok, harus dinyatakan
tidak diterima”
Alasan pokok pengajuan gugatan intervensi ialah mempertahankan dan membela
suatu perkara yang disengketakan yang mana alasan itu harus didukung oleh alasan
objektif bahwa secara nyata dan objektif objek gugatan yang diajukan dalam gugatan
intervensi tersebut adalah sama dengan objek yang disengketakan para pihak.
b) Prosedur pengajuan gugatan intervensi
Mengenai masalah tata cara dan prosedur pengajuan gugatan intervensi telah
dijelaskan di dalam kalimat pertama pasal 280 Rv, yang mengatakan:
“Tindakan-tindakan ini dilakukan dengan surat permohonan pada hari sidang yang
telah ditetapkan sebelum atau pada waktu terakhir diambil dalam perkara yang sedang
berjalan”
Dari pasal ini dijelaskan bahwa prosedur dan tata cara pengajuan gugatan intervensi
adalah:
1) Pengajuan berbentuk permohonan
2) Batas tenggang waktu pengajuan gugatan intervensi
a. Diajukan pada hari sidang yang ditetapkan
b. Diajukan sebelum atau pada saat sidang kesimpulan terakhir
3) surat permohonan atau gugatan intervensi
Formulasi surat permohonan telah dijelaskan di dalam pasal 281 Rv, yang mengacu
pada ketentuan pasal 118 dan 120 HIR.
1) Dialamatkan dan ditujukan kepada ketua Pengadilan Negeri sesuai dengan
kompetensi relatif perkara pokok
2) Diberi tanggal
Pencantuman tanggal pada hakikinya tidak bersifat imperatif karena undang-
undang atau hukum acara juga tidak mewajibkan hal itu.29

29
M. Yahya Harahap, S.H, Hukum Acara Perdata Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan
Pengadilan, 2007, Sinar Grafika. Hal 153

15
1) Ditanda tangani oleh pemohon atau penggugat atau kuasanya
2) Menyebut dengan jelas dan lengkap komparasi pemohon identitas yang
memenuhi syarat formil dan yang bersifat imperatif, minimal nama, alamat.
3) Fundamentun petendi yang menjelaskan dasar alasan permohonan atau
gugatan
Ditegaskan dalam. Pasal 281 Rv yang mengatakan bahwa permohonan atau
gugatan intervensi yang tidak mengajukan dasar alasan, maka gugatan atau
permohonan intervensi tersebut diancam batal. Maka dengan demikian surat
permohonan atau gugatan intervensi harus memenuhi syarat formil, yakni
menjelaskan tentang dasar hukum dan dasar fakta
c) Permohonan atau gugatan intervensi terlebih dahulu diperiksa dalam proses sidang
insidentil.
Pemeriksaan surat permohonan atau gugatan intervensi telah diatur dalam pasal 282
Rv. Hal pertama yang harus diperiksa oleh majelis hakim adalah objek yang diajukan
dalam permohonan atau gugatan intervensi apakah sama dengan objek pokok yang
disengketakan oleh para pihak.30
Pemeriksaan yang dilakukan oleh hakim antara lain:
a) Dalam pemeriksaan sidang insidentil. Pemohon atau penggugat intervensi dan
para pihak yang terlibat dalam perkara pokok, dipanggil dan didengar
pendapatnya. para pihak yang terlibat harus dipanggil dan didengar pendapatnya
agar pemeriksaan dan penilaiannya benar-benar objektif dan komprehensif.
b) Hakim mengambil putusan yang dituangkan dalam putusan sela. Persidangan
insidentil harus ditempuh dengan secepat mungkin dan setelah itu hakim harus
mengambil putusan dalam bentuk putusan sela sesuai alternatif berikut:
1) Menyatakan tidak diterimanya gugatan atau permohonan intervensi yang tidak
sesuai dengan syarat formil
2) Menolak surat gugatan intervensi apa bila objek gugatan dengan objek perkara
berbeda
3) Jika syarat formil dan materiil nya terpenuhi maka surat permohonan atau
gugatan diterima
d) Penetapan atas penolakan permohonan atau gugatan intervensi langsung merupakan
putusan akhir

30
Hukum Acara Perdata Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Hakim. Hal 154

16
Sama sepeti apa yang telah dijelaskan diatas bahwa hakim dapat menerima dan
menolak permohonan atau gugatan intervensi apabila tidak sesuai dengan syarat
formil dan materiil. Dalam hal ini putusan hakim yang berupa penolakan atau tidak
diterimanya surat permohonan atau gugatan intervensi merupakan putusan akhir.
a) Terhadap keputusan tersebut dapat diajukan banding.
Apabila surat permohonan atau gugatan yang diajukan ditolak oleh hakim, maka
pemohon atau penggugat diperbolehkan untuk mengajukan banding. Hal ini
dikarenakan putusan tidak diterimanya surat permohonan atau gugatan intervensi
merupakan putusan akhir.
b) Proses pengiriman dan penerimaannya pada tingkat banding bersamaan dengan
perkara pokok.
Meskipun pemohon atau penggugat memiliki hak untuk mengajukan banding atas
permohonan atau gugatan intervensinya akan tetapi penerimaan dan
pemeriksaannya tertunda sampai dengan:
1) Sampai perkara pokok antara penggugat dan tergugat asal dijatuhkan putusan
akhir
2) Oleh karena itu pengiriman dan pemeriksaannya pada dan ke tingkat banding
harus bersama-sama dengan putusan pokok perkara
c) Terhadap putusan pokok perkara tidak dapat diajukan banding oleh penggugat dan
tergugat, permohonan banding dari tergugat atau penggugat intervensi tidak
diteruskan ke tingkat banding.
d) Tindakan atau upaya hukum yang dapat ditempuh pemohon atau penggugat
intervensi, mengajukan gugatan tersendiri.
Jika pemohon atau penggugat intervensi gugur atau dikesampingkan upaya
bandingnya, maka yang dapat Ia lakukan adalah dengan mengajukan gugatan
perdata tersendiri dan para pihak yang terlibat dalam gugatan perkara pokok juga
harus terlibat.
2. Voeging
Voeging atau joinder adalah pihak ketiga yang masuk kedalam perkara perdata atas
kehendak dan kemauannya sendiri.31 Voeging mencampuri perkara perdata yang
pemeriksaannya pada sidang pengadilan tingkat pertama. Masuknya voeging adalah
bukan untuk mempertahankan dan membela haknya sendiri, akan tetapi voeging
berfungsi untuk membantu penggugat atau tergugat yang terlibat dalam masalah tersebut.
31
Hukum Acara Perdata Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Hakim. Hal 156

17
Voeging tidak semata-mata membantu pihak yang berada dalam perkara perdata, bisa jadi
voeging juga mempertahankan dan membela haknya. Syarat yang harus dipenuhi
voeging, adalah:
a) Dapat menunjukkan data fakta prima facie yang menunjukkan bahwa Ia memiliki
kepentingan untuk membela dan mempertahankan kepentingan salah satu pihak .
b) Batas tenggang waktu pengajuannya
c) Surat formulasi permohonan atau gugatan voeging
d) Pemeriksaan terlebih dahulu terhadap surat atau permohonan voeging dalam sidang
insidensil
e) Hasil pemeriksaan sidang insidensil dituangkan dalam putusan sela. Pada dasarnya
hal ini sama seperti permohonan intervensi hanya saja ketika permohonan voeging
diterima maka harus dengan tegas menyatakan kedudukan orang ketika dalam putusan
sela:
a) Apakah berkedudukan untuk membela penggugat atau tergugat atau;
b) Sekaligus juga untuk membela kepentingannya bersama dengan penggugat atau
tergugat
f) Permohonan atau gugatan ditolak. Ketika permohonan atau gugatan voeging ditolak
maka dapat mengajukan banding, yang penjelasannya sama seperti permohonan atau
gugatan intervensi
3. Vrijwaring
Vrijwaring adalah ditariknya pihak ketiga oleh tergugat untuk bertanggung jawab atas apa
yang digugat atau dituntut penggugat kepadanya.32
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh tergugat sebelum melakukan vrijwaring
adalah objek atau materi pokok yang digugat penggugat kepada tergugat sangat berkaitan
atau diperoleh dari pihak ketiga. Maka dengan demikian ketika tergugat mengajukan
permohonan vrijwaring kepada Hakim Ia harus memiliki bukti-bukti yang jelas bahwa
apa yang digugat oleh penggugat kepada tergugat sangat berkaitan dengan pihak ketiga.
Syarat selanjutnya adalah syarat formil dan proses penyelesaian permohonan vrijwaring
yang semuanya sama dengan apa yang telah dijelaskan di permohonan intervensi, baik
prosedur, syarat formil dan yang lainnya.

Alur Jalannya Persidangan

32
Hukum Acara Perdata Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Hakim. Hal 158

18
Tahap-tahap dan tata cara persidanganperkara pidana di pengadilan negeri secara
umum di atur dalam KUHAP(UU. No. 8 tahaun 1981). Dalam garis besarnya dalam proses
persidangan pidana pada peradilan tingkat pertama di pengadilan Negri untuk memeriksa
perkara biasa terdiri dari empat tahap sebagai berikut:
1. Sidang Pertama
Pada hari sidang yang telah di tetapkan oleh hakim/majelis hakim,siding pemeriksaan
perkara pidana di buka, adapun tata caranya adalah sebagai berikut :
a) Hakim/majelis hakim memasuki ruangan sidang
1) Yang pertama-tama memasuki ruangan adalah panitera pengganti, jaksa penuntut
umum,penasehat hukum dan pengunjung sidang.
2) Pejabat yang bertugas sebagai protocol (karena kurangnya tersedianya personel,
dalam praktek biasanya tugas ini dilakukan oleh panitera
pengganti)mengumumkan bahwa hakim/majlis hakim akan memasuki ruang
sidang dengan kata-kata(kurang lebih)sebagai berikut:”hakim/majelis hakim
memasuki uang sidang, hadirin dimohon untuk berdiri”
3) Semua yang hadir dalam ruangan sidang tersebut,termasuk jaksa penuntut
umumdan penasehat hukum berdiri.
4) Hakim/majelis hakim memasuki ruangan sidang melalui pintu khusus,kemudian
hakim uduk di tempat duduknya masing masing.
5) Panitera pengganti mempersilahkan hadirin duduk kembali.
6) Hakim ketua membuka sidang dengan kata kata kurang lebih sebagai
berikut “sidang pengadilan negeri......(kota tempat pengadilan berada),yang
memeriksa perkara pidana nomor....(no perkara)atas nama........pada
hari.....tanggal.....dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum.di ikuti dengan
ketokan palu sebanyak tiga kali
b) Pemanggilan terdakwa supaya masuk ke ruang sidang:
1) Hakim ketua kepada penunut umum apakah terdakwa sudah siap di hadirkan pada
sidang hari ini, jika penuntut umum tidak dapat meng hadirkan pada sidang hari
ini maka hakim harus menunda persidangan pada hari yang akan di tetapkan
dengan perintah ke penuntut umum supay a memanggil dan menghadap terdakwa.
a. Jika penuntut umum sudah siap menghadirkan terdakwa maka hakim
ketuan memerintahkan supaya terdakwa di pnggil masuk.
b. Petugas membawa terdakwa ke ruang sidang dan mempersilahkan
terdakwa duduk di kursi pemeriksaan.

19
c. Hakim ketua mengajukan pertanyaan sebagai berikut:
1) Apakah terdakwa dalam keadaan sehatdan siap mengikuti
persidangan.
2) Identitas terdakwa (nama,umur,alamat,pekerjaan dll)
Selanjutnya hakim mengingatka pada terdakwa agar memperhatikan
segala sesuatu yang di dengar dandilihatnya dalam sidang ini.
d. Hakim bertanya apakah terdakwa didampingi oleh penasehat hukum.
Jika terdakwa tidak didampingi penasehat hukum, maka hakim
menegaskan hak terdakwa untuk di dampingi penasehat
hukum,selanjutnya hakim member 1 kesempatan kepada terdakwa untuk
mengambil beberapa sikap sebagai berikut :
1) Menyatakan tidak akan didampingi penasehat hukum (maju sendiri).
2) Mengajukan permohonan agar pengadilan menunjuk penasehat hukum
agar mendampinginya secara Cuma-Cuma.
3) Meminta waktu kepada majelis hakim agar mencari/menunjuk
penasehaat hukumnya sendiri.
c) Pembacaan surat dakwaan
1) Hakim ketua sidang meminta pada terdakwa untuk mendengarkan dengan
seksama pembacaan surat dekwaan dan selanjutnya mempersilahkan jaksa
penuntut umum untuk membacaka surat dakwaan.
2) Jaksa membacakan surat dakwaan, berdiri/duduk, boleh bergantian dengan rekan
JPU
3) Selanjutnya hakim ketua menayakan kepada ter dakawa apakah ia sudah paham
tentang apa ang didakwaan padanya.apabila terdakwa ternyata tidak mengerti
maka penuntut umum atas permintaan hhakim ketua, wajib memberikan
penjelasan seperlunya
d) Pengajuan eksepsi (keberatan)
1) Hakim ketua menanyakan pada terdakwa atau penasehat hukumnya,apakah
mengajukan keberatan(eksepsi) terhadap dakwaan jaksa penuntut umum
2) Eksepsi (keberata) terdakwa/penasehat hukum meliputi:
a. Pengadilan tidak berwenang mengadili (berkitan dengan kompetensi
absolute / relative)
b. Dakwaan tidak dapat diterima ( dakwaan dinilai kabur/obscuar libelli)
c. Dakwaan harus di batalkan (karena keliru,kadaluwarsa/nebis in idem).

20
3) Tata caranya:
a. pertama tama hakim bertanya kepada terdakwa dan member kesempatan
untuk menanggapi, selanjutnya kesempatan kedua diberikan kepada
penasehat hukum.
b. Apabila terdakwa/penasehat hukumnya tidak membei tanggapan atau
tidakmengajukan eksepsi, maka persidangan dilanjutkan ke tahap
pembuktian.
c. Apabila tardakwa/penasehat hukumnya mengajukan eksepsi,maka hakim
bertanya apakah, apakah telah siap unuk mengajukan eksepsi.
d. Apabila terdakwa/penasehathukum belum siap,maka hakim ketua
menyatkan sidangdi tunda untuk member kesempatan pada
terdakwa/penasehat hukum untuk mengajukan eksepsi pada sidang
berikutnya
e. Apabila terdakwa /penasehat hukum telah siap mengajukan eksepsi maka
hakim ketua mempersilahkan untuk mengajukan eksepsi.
f. Pengajuan eksepsi bisa di ajukan secara lisan maupun tertulis.
g. Apabila eksepsi di ajukan secara tertulis,maka setelah dibacakan eksepsi
tersebut diserahkan pada hakim dan salinannya di serahkan pada penuntut
umum.
h. Tata cara pennuntut umum membacakan surat dakwaan berlaku pula bagi
terdakwa/penasehat hukum dalam mengajukan eksepsi.
i. Eksepsi dapat di ajukan oleh penasehat hukum saja atau di ajukan oleh
terdakwa sendiri, atau kedua-duanya mengajukan eksepsinya menurut
versinya masing-masing.
j. Apabila terdakwa dan penasehat hukum masing-masing akan mengajukan
eksepsi maka kesempatan pertama akan di berikan kepada terdakwa
terrlebih dahulu untuk mengjukan eksepsinya setelah itu baru penasehat
hukumnya.
k. Setelah pengajuan eksepsi dari terdakwa/penasehat hukum,hakim ketua
memberikan kesempatan pada penuntut umum untuk mengjukan tanggapan
atas eksepsi (replik) tersebut.
l. Atas tanggapan tersebut hakim ketua memberikan kesempatan kepada
terdakwa/penasehat hukum untuk mengajukan tanggapan sekali lagi(duplik)

21
m. Atas eksepsi dan tanggapan-tanggapan tersebut, selanjutnya hakim ketua
meminta waktu untuk mepertimbangkan dan menyusun putusan sela
n. Apabila hakim/majelis hakim berpendapat bahwa pertimbangan untuk
memutuskan permohonan eksepsi tersebut mudah /sederhana,maka sidang
dapat di skors selama beberapa waktu(menit)untuk menentukan putusan sela
o. Tata cara skorsing sidang ada dua macam :
p. Majelis hakim meninggalkan ruang sidang untuk
membahas/mempertimbangkan putusan sela di ruang hakim,sedangkan
penuntut umum,terdakwa/penasehat hukum sera pengunjung sidang tetap
tinggal di tempat.
q. Hakim ketua memppersilahkan semua yang hadir di persidangan tersebut
supaya keluar dari ruang sidang,selanjutny petugas menutup pintu ruang
sidang dan majelis hakim merundingkan itusanseladalam ruangan
sidang(cara ini yang paling sering di pakai)
r. Apabila hakim/majelis hakim berpendapat bahwa memerlukan waktu yang
lebih lama dalam mempertimbangan putusan sela tersebut,maka sidang
dapat di tunda untuk mempersiapkan putusa sela yang akan di bacakan pada
hari sidang berikutnya
e) Pembacaan/pengucapan putusan sela
1) Setelah hakim mencabut skorsing atau membuka sidang kembali,hakim ketua
menjelaskan kepad para pihak yang hdir dipersidangsn bahwa acara selanjutnya
pembacaan putusan sela.
2) Model putusan sela ada dua macam:
a. Tidak dibuat secara khusus,biasnya untuk putusan sela pertimbangannya
sederhana, hakim/majelis hakim cukup menjatuhkan putusan sela secara
lisan,selanjutnya putusan tersebut di catat dalam berita acara persidangan dan
nantinya akan di muat dalam putusan akhir.
b. Dibuat secara khusus dalam suatu naskah putusan.
3) Tata caranya tata caranya adalah: putusan sela tersebut di bacakan oleh hakim
ketua sambil duduk di kursinya.apabila naskah putusan sela tersebut panjang,
boleh dibaca secara bergantian dengan hakim anggota, pembacaan amar putusan
di akhiri dengan ketokan palu(1 kali)
4) Kemudian hakim ketua menjelaskan seperlunya mengeni garis besar isi putusan
sela sekali gus menyampaikn hak penuntut umum, terdakwa/penasehat hukum

22
untuk mengambil sikap menerima putusan sela tersebut atau akan mengajukan
perlawanan
2. Sidang Pembuktian
Apabila hakim/majelis hakim menetapkan bahwa sidang pemeriksaan perkara harus
diteruskan maka acara persidangan memasuki tahap pembuktian yaitu pemeriksaan
terhadap alat bukti-bukti dan barang bukti yang di ajukan.
Sebelum memasuki acara pembuktian, hakim ketua mempersilahkan terdakwa supaya
duduknya berpindah dari kursi pemeriksaan ke kursi terdakwa yang terletak disamping
kanan penasehat hukum, selanjutmya prosedur dan tata cera pembuktian adalah sebagai
berikut:
Pembuktian oleh jaksa penuntut umum
a) Pengajuan saksi yang memberatkan(saksi A charge)
1) Hakim ketua bertanya kepada penuntut umum apakah sudah siap menghadirkan
saksi-saksi pada sidang hari ini.
2) Apabila penuntut umum telah siap,maka hakim segera memerintahkan pada jaksa
penuntut umum untuk menghadirkan saksi seorang demi seorang kedaam ruang
sidang.
3) Saksi yang pertama kali diperiksa adalah saksi korban setelah itu baru saksi yang
lain yyang di pandang relevan dengan tujuan mengenai tindak piadana yang di
dakwakan.
4) Tata cara pemeriksaan saksi:
a. Penuntut umum menyebutkan nama saksi yang akan di periksa.
b. Petugas membawa saksi keruang sidang dan mempersilahkan saksi di kursi
pemeriksaan.
c. Hakim ketua bertanya pada saksi tentang:
d. Identitas saksi(nama,umur,alamat,pekerjaan,agama dll)
e. Apakah saksi kenal dengan terdakwa,apakah saksi memiliki hubungan darah
(sampai derajat berapa)dengan terdakwa,apakah saksi memiliki hubungan
suami istri dengan terdakwa,apakah saksi memiliki hubungan kerja dengan
terdakwa
f. Apabila perlu hakim dapat pula bertanya apakah saksi sekarang saksi dalam
keadaan sehat dan siap di periksa sebagai saksi.
g. Hakim ketua meminta saksi untuk bersedia mengucapkan sumpah atau janji
sesua dengan agamanya

23
h. Saksi mengucapkan sumpah menurut agama/keyakinannya,lafal sumpah
dipandu oleh hakim dan pelaksanaan sumpah di bantu oleh peugas juru sumpah
i. Tatacara pelaksanaan sumpah yanglazim dipergunakan di pengadiailan negri
adalah:
1) Saksi dipersilahkan agak bediri kedepan
2) Untuk saksi yang beragama islam ,cukup berdiri tegak.pada saat
melapalkaan sumpah .petugas berdiri di belakang saksi dan mengangkat
Alquran diatas kepela saksi,untuk saksi yang beragama Kristen/katolik
petugas membawakan injil(alkitab)disebalah kiri saksi pada saat saksi
melapalkan sumpah,tangan kiri saksi diletakkan di atas injil dan tangan
kanan saksi   di angkat dan jari tengah dan jari telunjuk membentuk hurup
“V” untuk yang beragama Kristen untukmengacungkan jari telunjuk,jari
tegah dan jari manis untuk yang bragama katolik.sedangkan agama lainnya
lagi,menyesuakan dengan tata cara penyumpahan pada agama yang
bersangkutan.
3) Hakim meminta agar saksi mengikuti kata-kata(lafal sumpah)yang di
ucapkan oleh hakim atau saksi mengucapkan sendiri lafl sumpahnya ata
persetujuan hakim.
4) Lapal sumpah saksi-saksi adalah sebagai berikut: ”saya bersumpah
(berjanji)bahwa saya akan menerangkan dengan sebenarnya dan tiada lain
dari yang sebenarnya”
Setelah selesai, hakim haki ketua mempersilahkan duduk kembali dan
memngingatkan saksi harus member keterangan yang sebenarnya sesua
dengan apa yang di alaminya, apa yang dilihatnya atau apa yang di dengarnya
sendiri, jika perllu hakim dapat mengingatkan bahwa apbila saksi tidak
mengatakan yang sebenarnya ia dapat di tuntut karena sumpah palsu. hakim
ketua mulai memeriksa saksi ddengan mengajukan pertanyaan yang berkaitan
dengan tindak pidana yang di dakwakan pada terdakwa. Kemudian hakim
anggota,penuntut umum, terdakawa dan penasehat hukum juga diberi
kesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada saksi.
Pertanyaan yang di ajukan di arahkan untukmengungkap fakta yang
sebenarnya sehingga harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a) Materi pertanyaan di arahkan pada pembuktian unsure-unsur yang
didakwakan.

24
b) Pertanyaan harus relevan dan tidak berbelit-belit bahasa dan pehaman
harus dipahami oleh saksi
c) Pertanyaannya tidak boleh bersifat menjerat atau menjabaksaksi.
d) Peranyaan tidak boleh bersifat pengkualifasi delik.
1) Selama menerima saksi hakim dapat menunjukkan barang bukti pada
saksi guna memastikan kebenaran yang berkaitan dengan barang bukti
tersebut.
2) Setiap kali saksi selesai memberikan keteranngan, hakim ketua
menanyakan kepada terdakwa, bagaimana pendapatnya tentang
keterangan tersebut
b) Pengajuan alat bukti lainnya guna mendukun argumentasi penuntut umum.
1) Hakim ketua menanyakan apakah penuntut umum masih mengajukan bukti-bukti
lainnya seperti:keterangan ahli dan surat serta tambahan barang bukti yang
ditemukan selama proses persidagan.
2) Apabila terdakwa/penasehat hukummengatakan masih.maka tata cara pengajuan
bukti-bukti sama dengan yang dikatakan oleh penunttut umum.
3) Apabila terdakwa/penasehat hukum mengatakan bahwa semua bukti-bukti telah di
ajukan,maka hakim ketua menyatakan bahwa acara selanjutnya adalah
pemeriksaan terdakwa.
3. Pemeriksaan terdakwa:
a) Hakim ketua memperrsilahkan pada terdakwa agar duduk di kursi pemeriksaan
b) Terdakwa berpindah tempat dari kursi terdakwa menuju k ursi pemeriksaan.
c) Hakim bertanya kepada terdakwa apakah terdakwa dalam keadaan sehat dan siap
menjalani pemeriksaan.
d) Hakim mengingatkan pada terdakwa agar menjawab semua pertanyaan dengan jelas
dan tidak berbelit-beit sehingga tidak mempersulit jalannya persidangan.
e) Hakim ketua mulai mengajukan pertanyaan-perrtanyaan pada terdakwa di ikuti hakm
anggota, penuntut umu dan penasehat hukum, majelis hakim menunjukkan segala
barang bukti dan menanyakan pada terdakwa apakah ia mengenal benda tersebut.
f) Selanjutnya tata cara pemeriksaan pada terdakwa sama pada tata cara pemeriksaan
saksi kecuali dalam hal sumpah.
g) Apa bila terdakwa lebih dari satu dan di periksa secara brsama sama dlam satu
perkara,maka pemeriksaan dilakukan satu perssatu secara bergiliran, apa bila terdapat

25
ketidak sesuaian jawaban di antara terdakwa maka hakim dapat meng cross-check-kan
antara jawaban terdakwa yang satu dengan jawaban terdakwa lain.
h) Setelah terdakwa telah selesai dipeiksa maka hakim ketua menyatakan bahwa seluruh
rangkaian sidang pembuktian telah selesai dan selanjutnya hakim ketua member
kesempatan pada penuntut umum untuk mempersiapkan surat tuntutan pidana untuk
di ajukan pada hari sidang berikutnya.
4. Sidang Pembacaan Tuntutan Pidana, Pembelaan dan Tanggapan-Tanggapan
a) Pembacaan tuntutan pidana (requisitor)
1) Setelah membuka sidang, hakim ketua menjelaskan bahwa acar sidang hari ini
adalah pengajuan tuntutan pidana.selanjutnya hakim ketua bertanya pada jaksa
penuntut umum apakah siap mengajukan tuntutan pidana pada sidang hari ini.
2) Apabila penuntut umum sudah siap mengajukan tuntutan pidana. Maka hhakim
ketua memperilahkannya untuk membacakannya. Tata cara pembacaannya sama
dengan pembacaan tata cara pembacaan dakwaan.
3) Setelah selesai, penuntut umum menyerahkan naskah tuntuta pidana(asli)pada
hakim ketua dan salinannya diserahkan pada terdakwa dan penasehat hukum.
4) Hakim ketua bertanya kepada terdakwa apakah terdakwa paham dengan isi
tuntutan pidana yang telah dibacakan oleh penuntut umum tadi.
5) Hakim ketua bertanya pada terdakwa/penasehat hukum apakah akan mengajukan
pembelan(pleidoo)
6) Apabila terdakwa/penasehat hukum menyatakan akan mengajukan pembelaan
maka hakim ketua memberikan kesempatan pada terdakwa/penasehat hukum
untuk mempersiapkan pembelaan.
b) Pengajuan/pembacaan nota pembelaan (pleidool)
1) Hakim ketua bertanya kepada terdakwa apakah mengajukan pembelaan,jika
terdakwa mengajukan pembelaan terhada dirinya, maka hakim menayakan apakah
terdakwa akan mengajukan sendiri atau telah menyerahkan sepenuhnya kepada
penasehat hukumnya.
2) Terdakwa mengajukan pembelaan:
a. Apabila terdakwa mengajukan pembelaan secara lisan maka pada umumnya
terdakwa mengemukakan pembelaan sambil tetap duduk di kursi pemeriksaan
dan isi pembelaan tersebut selain di catat oleh panitera kembali kedalam berita
acara pemeriksaan, juga di catat oleh pihak yang berkepentingan termasuk
hakim.

26
b. Apabila terdakwa mengajukkannya secara tertulis, maka hakim dapat meminta
agar terdakwa membacakannya sambil berdiri di depan kursi pemeriksaan dan
setelah selesai dibaca nota pembelaan diserahkan pada hakim
3) Setelah terdakwa mengajukan pembalaannya atau jika terdakwa telah
menyerahkan sepenuhnya masalah pembelaaan terhadap dirinya kepada penasehat
hukum,hakim ketua bertanya kepada penasehat hukum, apakah telah siap dengan
nota pembelaannya.
4) Apabila telah siap, maka hakim ketua segera mempersilahkan penasehat hukum
untuk membacakan pembelaannya.caranya sama dengan cara pengajuan eksepsi
5) Setelah selesai.maka naskah asli diserahkan kepada ketua dan salinannya
diserahkan pada terdakwa dan penuntut umum.
6) Selanjutnya hakim ketua bertanya pada penuntut umum apakah ia akan
mengajukan jawaban(tanggapan)tterhadap pembelaan terdakwa/penasehat
hukum(replik)
7) Apabila penuntut umum akan menanggapi pembelaan terdakwa/penasehat hukum
mak hakim ketua memberikan kesempatan kepada penuntut umum untuk
mengajukan replik
c) Pengajuan/pembacaan tanggapa-tanggapan(replik dan dupplik)
1) Apabila penuntut umum telah siap dengan tanggapan terhadap pembelaan maka
hakim ketua mempersilahkannya untuk membacakannya. Pembacaannya sama
dengan pembacaan requisitor
2) Setelah selesai, hakim ketua memberikan kesempatan kepada terdakwa /penasehat
hukum untuk mengajukan tanggapan atas replik tersebut(duplik)
3) Apabila terdakwa/penasehat hukum telah siap dengan dupiknya maka hakim ketua
segera mempersilahkan pada terdakwa/penasehat hukum untuk membacakannya.
C aranya sama dengan cara membaca pembelaan
4) Selanjutnya hakim ketua dapat member i kesempatan pada penuntut umum untuk
mengajukan tanggapan sekali lagi(rereplik)dan atass tanggappan tersebut
terdakwa dan penasehat hukum juga di beri kesempatan untuk menagapai.
5) Setelah selesai, hakim ketua bertanya kepad pihak yang hair dalam persidangan
tersebu, apakah hal-hal yang akan di ajukan dalam pemeriksaan.apabila penuntut
umum, terdakwa/penasehat hukum menganggap pemeriksaan telah cukup, maka
hakim hakim ketua menyatakan bahwa “pemeriksaan dinyatakan di tutup”.

27
6) Hakim ketua menjelaskan bahwa acara sidang selanjutnya adalah pembacaan
putusan, oleh sebab itu guna mempersiapkan konsep putusannya hakim meminta
agar sidang di tunda beberapa waktu
5. Sidang Pembacaan Putusan
Sebelum menjatuhkan putusan hakim mempertimbangkan berdasarkan atas surat dakwa,
segala sesuatu yang terbukti dipersidangann, tuntutan pidana, pembelaan dan tanggapan-
tanggapan. Apabila perkara ditangani oleh majelis hakim. Maka dasar-dasar
pertimbangan tersebut harus dimusywarahkan oleh majelis haki. Setelah naskah putusan
siap di bacakan, maka langkah selanjutnya adalah:
a) Hakim ketua menjelaskan bahwa acara sidang hari ini adalah pembcaan
putusan,sebelum putusan dibacakan hakimketua meminta agar para pihak yang hadir
supaya memperhatikan isi putusan dengan seksama.
b) Hakim ketua mulai membaca isi putusan.tata caranya sama dengan pembacaan
putusan sela.apabila naskah putusan terlalu pajang maka bolehh di bacakan ole hakim
anggota secara bergantian.
c) Pada saat hakim akan membaca amar putusan (sebelum memulai
membaca/mengucapkan kata”mengadili”)hakim ketua memerintahkan agar terdakwa
berdiri di tempat.
d) Setelah amar putusan dibacakan seluuhny,hakim ketua mengetuk palu(1x)dan
mempersilahkan terdakwa untuk duduk kembali
e) Hakim ketua menjelaskan isi putusan secara singkat terutama yang berkaitan dengan
amar putusan hingga terdakwa paham terhadap putusan yang di jatuhkan padanya.
f) Hakim ketua menjelaskan hak-hak para pihak terhadap putusan tersebut,selanjutnya
hakim ketua menawarkam kepada terdakwa untuk memnentukan sikapnya, apakah
akan menyatakan menerima putusan tersebut,menatakan menerima dan mengajukan
grasi,menyatakan naik banding atau menyatakan pikir-pikir,dalam hal ini terdakwa
dapat diberi waktu sejenak untuk berkonsultasi dengan penasehat hukumnya atau
terdakwa mempercayakan haknya kepada penasehat hukumnya,hal yang sama juga di
tawarkan kepada penuntut umumjika terddakwa/penasehat hukum menyatakan sikap
menerima,maka hakim ketua meminta terdakwa agar segera menanda tangani berita
cara pernyataan menerima putusan yang telah disiapkan oleh panitra pengganti..jika
terdakwa menyatakan banding maka terdakwaa segera diminta untuk menanda
tangani akta permohonan banding,jika terdakwa/penasehat hukum pikir-pikir dulu,
maka hakim ketua menjelaskan bahwa masa pikir-pikir diberika selama tujuh hari,

28
apabila setelah tujuh hari terdakwa tidak menyatakan sikap maka terdakwa di anggap
menerima putusan. Hal sama juga dilakukan terhadap penuntut umum.
g) Apabila tidak da hal-hal yang akan di sampaikan lagi maka hakim ketua menyatakan
seluruh rangkaian acara persidangan perkara pidana yang bersangkutan telah selesai
dan menyatakan sidang di tutup. Tata caranya adalah setelah mengucapkan kata kata
“....sidang dinyatakan di tutup” hakim ketua mengtuk palu sebanyak tiga kali.
h) Panitra pengganti mengumumkan bahwa majelis hakim akan meninggalkan ruangan
sidang dengan kata-kata (kurang lebih) segai berikut” hakim/majelis hakim akan
meninggalkan ruang sidang,hadirin dimohon untuk berdiri”.
i) Semua yang hadir di ruangan sidang tersebut berdiri terpasuk JPU,
terdakwa/penasehat hukum.
j) Hakim/majelis hakim meninggalkan ruang sidang melalui pintu khusus
k) Para pengunjung sidang, penuntut umum penasehat hukum dan terdakwa berangsur-
angsur meninggalkan ruang sidang. Apabila putusan menyatakan terdakwa tetap di
tahan, maka pertama-tama keluar adalah terdakwadengan dikawal oleh petugas.

Class Action
Dari perspektif sejarah, konsep gugatan perwakilan masyarakat (Class Action) pertama
kali dikenal di Inggris yang menganut Common Law System. Sejak diberlakukannya Supreme
Court Judicature Act pada tahun 1873 di Inggris, gugatan Class Action (CA) disidangkan
pada Supreme Court. Namun, sebelum tahun 1873 gugatan CA hanya dapat disidangkan pada
Court of Chancery. Kemudian, gugatan CA diadopsi dan dikembangkan lebih lanjut di
Amerika Serikat, Kanada, dan Australia dengan menggunakan konsep dan praktik-praktik
peradilan yang berlangsung di Inggris.
Menurut UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang
dimaksud Class Action adalah hak kelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili
masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan permasalahan, fakta
hukum dan tuntutan yang ditimbulkan karena pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup.
Sedangkan Acmad Santosa menyebutkan Class Action pada intinya adalah gugatan
perdata (biasanya terkait dengan permintaan injuntction atau ganti kerugian) yang diajukan
oleh sejumlah orang (dalam jumlah yang tidak banyak. Misalnya satu atau dua orang sebagai
perwakilan kelas (class repesentatif) mewakili kepentingan mereka, sekaligus mewakili

29
kepentingan ratusan atau ribuan orang lainnya yang juga sebagai korban. Ratusan atau ribuan
orang yang diwakili tersebut diistilahkan sebagai class members.
Tujuan gugatan perwakilan kelompok atau yang disebut dengan class action dalam PERMA,
diatur dalam konsiderans, antara lain sebagai berikut:
a) Mengembangkan penyerdehanaan akses masyarakat memperoleh keadilan
Dengan satu gugatan, diberi hak prosedural terhadap satu atau beberapa orang bertindak
sebagai penggugat untuk memperjuangkan kepentingan penggugat dan sekaligus
kepentingan anggota kelompok (bisa ratusan atau ribuan orang). Hal ini dikemukakan
dalam huruf akonsiderans bahwa salah satu tujuan utama proses Gugatan Perwakilan
Kelompok untuk menegakkan atas penyelenggaraan peradilan sederhana, cepat, biaya
ringan dan transparan agar akses masyarakat terhadap keadilan semakin dekat. Oleh
karena itu, perlu dikembangkan sistem Class Action yang dianggap mampu
mengefektifkan atau mengefisienkan proses penyelesaian perkara yang menyangkut
kelompok yang banyak anggotanya.
b) Mengefektifkan efisiensi penyelesaian pelanggaran hukum yang merugikan orang banyak
Dikatakan dapat mengefektifkan efisiensi dari penyelesaian pelanggaran hukum yang
merugikan orang banyak, karena melalui proses berperkara dengan gugatan perwakilan
kelompok secara serentak atau sekaligus dan massal kepentingan kelompok, dibolehkan
cukup hanya diajukan dalam satu gugatan saja. Gugatan perwakilan kelompok ini juga
dapat ditempuh apabila ternyata mereka (anggota kelompok) memiliki fakta atau dasar
hukum yang sama dan berhadapan dengan tergugat yang sama. Serta dapat dibandingkan
apabila gugatan diselesaikan sendiri-sendiri maka penyelesaian tidaklah efektif dan
efisien, bahkan dimungkinkan terjadi putusan yang saling bertentangan.
Syarat formil Class Action
a) Adanya sejumlah anggota yang besar Jumlah anggota kelompok (class members) harus
sedemikan banyak sehingga tidaklah efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan secara
sendiri-sendiri.
b) Adanya kesamaan, Terdapat kesamaan fakta (peristiwa) dan kesamaan dasar hukum
(question of law) antara pihak yang mewakilili (class representative) dan pihak yang
diwakili (class members). Wakil Kelompok dituntut untuk menjelaskan adanya kesamaan
ini.
c) Sejenis, Tuntutan (bagi plaintiff Class Action) maupun pembelaan (bagi defedant Class
Action) dari seluruh anggota yang diwakili (class members) haruslah sejenis. Pada

30
umumnya dalam class action, jenis tuntutan yang dituntut adalah pembayaran ganti
kerugian.
d) Wakil kelompok yang jujur, Wakil kelompok harus memiliki kejujuran dan kesungguhan
untuk melindungi kepentingan anggota kelompok yang diwakili. Untuk menentukan
apakah wakil kelompok memiliki kriteria Adequacy of Repesentation tidaklah mudah, hal
ini sangat tergantung dari penilaian hakim. Untuk mewakili kepentingan hukum anggota
kelompok, wakil kelompok tidak dipersyaratkan memperoleh surat kuasa khusus dari
anggota kelompok. Namun, dalam hal wakil kelompok mewakilkan proses beracara
kepada pengacara, maka wakil kelompok harus memberikan surat kuasa khusus kepada
pengacara pilihannya.

KESIMPULAN
Didalam dunia hukum ketika seseorang melakukan kesalahan yang melanggar hukum
maka Ia akan mendapat sanksi-sanksi tertentu yang sesuai dengan apa yang telah dia lakukan,
terlebih lagi ketika berbicara tentang hukum perdata. Tidak hanya orang kepada orang yang
bisa melapor, akan tetapi bisa juga dengan kelompok yang melaporkan hal ini disebut juga
dengan class action. Ketika ada orang atau kelompok yang melapor yang melaporkan kepada
pengadilan negeri tentang masalah perdata maka perbuatan tersebut tidak akan lepas dari tata
cara dan prosedur tentang hal itu, sehingga apa yang dilaporkan bisa diterimah oleh hakim.
Ada banyak proses yang dilalui sebelum ketika mereka mendapat keputusan hakim atas
perkara yang dilaporkan, seperti pemanggilan para pihak, berubah dan bertambahnya
gugatan, bahkan sampai masuknya orang ketiga dalam perkara yang berlangsung.
Akan tetapi dalam hal ini tidak semerta-merta dilakukan dengan asal, tapi pasti ada tata
cara dan prosedurnya sendiri. Seperti ketika memanggil para pihak pasti ada prosedurnya
sendiri, begitu pula ketika masuknyanorang ketiga dalam perkara yang berlangsung juga
ketika berubah dan bertambahnya gugatan. Dengan adanya prosedur dan tata cara yang
seperti itu tidak semata-mata hanya untuk membuat proses dan berjalannya persidangan
dengan lancar, akan tetapi juga untuk mencari keputusan yang seadil-adilnya sehingga tidak
timbul kerugian bagi para pihak yang menjalani perkara.

31
DAFTAR PUSTAKA

Hadrian, Endang, dan Lukman Hakim. Hukum Acara Perdata di Indonesia: Permasalahan
Eksekusi dan Mediasi. Deepublish, 2020.
Hanifah, Mardalena. “KAJIAN YURIDIS : MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF
PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA DI PENGADILAN.” ADHAPER: Jurnal
Hukum Acara Perdata 2, no. 1 (11 Januari 2016): 1–13.
https://doi.org/10.36913/jhaper.v2i1.21.
Harahap, Yahya. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika, 2004.
———. Hukum Acara Perdata. 2 ed. Jakarta: Sinar Grafika, 2019.
Husnul Mukhiffa, Wafda. “Urgensi dan Bentuk Dasar Hukum (Rechtelijke Gronden) dalam
Fundamentum Petendi,” 2019.
Kansil. Pengantar ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1986.
Martana, Nyoman A. Hukum Acara dan Praktek Peradilan Perdata. Denpasar, 2016.
Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000.
“Proses Acara Perkara Perdata.” Diakses 17 Maret 2023.
https://www.pn-mentok.go.id/tentang-pengadilan/kepaniteraan/kepaniteraan-perdata/
proses-acara-perkara-perdata.html.
pusptaningrum, Sri. “MEDIASI SEBAGAI UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA
PERDATA DI PENGADILAN.” spektrum hukum 15 (2018).
http://sister.untagsmg.ac.id/index.php/SH/article/view/1121/968.
Sarwono. Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik. Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
———. Hukum Acara Perdata Teori dan praktik. Jakarta Timur: Sinar Grafika, 2011.
Subekti. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Bina Cipta, 1977.
Sutanto, Retnowulan. Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik. Bandung: Mandar
Maju, 1997.
Sutianto, Retno Wulan. Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek. Bandung: Mandar
Maju, 2002.
“Tata Urutan Persidangan Perkara Perdata.” Diakses 20 Maret 2023. https://pn-
karanganyar.go.id/main/index.php/tentang-pengadilan/kepaniteraan/kepaniteraan-
perdata/813-tata-urutan-persidangan-perkara-perdata.
Yuntho, Emerson. “Class Action Sebuah Pengantar,” 2007.

32

Anda mungkin juga menyukai