Anda di halaman 1dari 14

UPAYA HUKUM

(Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Acara Peradilan
Agama dan dalam rangka memberikan penjelasan yang komprehensif terkait dengan
upaya hukum)

Dosen Pengampu:

Hotnidah Nasution M.A,

Disusun Oleh Kelompok 10 Hukum Acara Peradilan Agama

Alif Fachrul Rachman 11180430000118

Evi Nurhasanah 11180430000115

Ahmad Ismail Nasution 11170430000065

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1442 H/ 2020 M
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Berangkat dari pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan
secara tegas bahwa Indonesia adalah negara hukum. Konsekuensi logis berdasarkan
pasal konstitusional tersebut bahwa seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara di
Indonesia diatur dan harus berdasarkan atas hukum1.
Ide dasar negara hukum tersebut secara teoritis tidak terlepas dari pandangan
Gustav Radbruch yang dalam tesisnya berpandangan bahwa terdapat tiga unsur
penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yakni adanya kepastian hukum,
kemanfaatan dan keadilan, dimana ketiga unsur tersebut hanya akan tercapai
manakala sebuah negara mendeklarasikan dirinya sebagai negara hukum dan secara
adaptif berpegang teguh pada aturan yang telah ditetapkan oleh hukum2.
Namun demikian, secara praktik terkadang belum sepenuhnya ketiga unsur
tersebut terimplementasi dengan baik dan bahkan secara a contrario justru melanggar
unsur-unsur tersebut. Dalam hal penegakan hukum misalnya, hakim yang menjadi
wakil tuhan di muka bumi untuk menentukan benar atau salahnya suatu perkara, tidak
jarang didapati kesalahan dalam melakukan tindakannya (dalam menjatuhkan vonis)3.
Hal ini dapat dipahami mengingat hakim juga manusia yang tidak luput dari
kesalahan. Sehingga untuk dapat meninjau kembali putusan hakim tersebut dalam
rangka mencari keadilan seutuhnya dilakukanlah upaya hukum untuk mereka yang
sedang beracara di pengadilan jika dirasa kurang puas atas putusan hakim dan dirasa
belum mencerminkan rasa keadilan baginya.
Secara normatif berdasarkan Pasal 1 angka 12 Undang-undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), pengertian upaya hukum adalah
hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang
berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan

1
Refly Harun, “Kedaulatan rakyat sebagai wujud pembangunan politik hukum nasional
dalam menghadapi era revolusi industri 4.0”, Orasi ilmiah dalam acara Uin Law Fair, Studiun general
auditorium harun nasution, Jakarta 15 November 2019.
2
Kepastian hukum yang dimaksud adalah adanya jaminan perlindungan kepada masyarakat
atas tindakan sewenang-wenang yang hendak dilakukan oleh pemerintah. Kemudian kemanfaatan
adalah agar hukum dapat memberikan manfaat dan kebahagiaan bagi sebesar-besarnya masyarakat.
Adapun keadilan adalah kebenaran yang hakiki, tidak memihak dan dapat dipertanggung jawabkan
secara ilmiah dan realita. Lihat M. Lutfi Chakim, “Mewujudkan Keadilan Melalui Upaya Hukum
Peninjauan Kembali pasca Putusan Mahkamh Konstitusi”. Jurnal Konstitusi, Volume 12, Nomor 2,
Jakarta Juni 2015. Halaman. 330-331.
permohonan peninjauan kembali (PK) dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam
KUHAP.4
Bertalian dengan hal tersebut, disatu sisi upaya hukum dapat menjadi sarana
penilaian dan pengujian dari suatu putusan hakim apakah putusan yang dijatuhkan
telah sesuai dengan prinsip, prosedur dan berdasarkan keadilan yang paripurna, dan di
sisi lain adanya upaya hukum yang diberikan oleh undang-undang terhadap para
pelaku yang sedang beracara dipersidangan merupakan salah satu bentuk penjaminan
terhadap hak asasi manusia dan sebagai sarana untuk mengingatkan kepada hakim
agar ketika memutus suatu perkara dibutuhkan ketelitian, keakuratan, kecermatan dan
kehati-hatian yang mendalam.5
Berdasarkan hal tersebut penting kiranya untuk mengkaji lebih dalam
mengenai upaya hukum secara komprehensif dalam rangka membuka cakrawala
pengetahuan terhadap isu-isu hukum yang berkaitan dengan kenegaraan dan
khususnya terhadap kekuasaan kehakiman (Pengadilan Agama). Maka pada
kesempatan kali ini kami dari kelompok 10 akan menuliskan dan hendak
mempersentasikannya dalam makalah yang berjudul Upaya Hukum.

Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Upaya Hukum dan apa saja macam-macamnya?
2. Bagaimana penjelasan terhadap Upaya Hukum Banding, Kasasi dan
Peninjauan Kembali?

Tujuan Penulisan
1. Untuk memberikan pemahaman kepada mahasiswa/i terkait dengan upaya
hukum baik ditinjau secara historis, folosofis maupun yuridis. Agar menjadi
lentera keilmuwan yang dapat dirasakan manfaatnya serta dapat pula untuk
diaplikasikannya.
2. Untuk mengetahui mekanisme dan prosedur dalam melakukan upaya hukum
terhadap suatu perkara di pengadilan.

4
Lihat Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP).
5
Putusan hakim bukanlah sekedar untaian kata-kata atau kalimat belaka yang merangkum
proses memriksa, mengadili dan memutus suatu perkara, tetapi juga gambaran dari kualitas hakim,
kualitas majelis dan kualitas proses persidangan itu sendiri untuk itu dibutuhkan kecermatan keakuratan
dan kehati-hatian didalam mengadili suatu perkara. Lihat Komisi Yudisial, Kualitas Putusan Hakim,
dalam kata sambutan Suparman Marzuki. Jakarta, Pusat analisis dan layanan Informasi. 2014. Halaman
XV.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Macam-Macam Upaya Hukum
Dalam suatu proses pengadilan para pihak yang sedang berperkara memiliki
tujuan untuk mendapatkan putusan dari hakim yang seadil-adilnya, namun ibarat kata
tiada gading yang tak retak putusan yang telah dijatuhkan oleh hakim terkadang
menyimpang dari substansi keadilan itu sendiri dan terkadang dianggap memihak
kepada salah satu pihak. Berdasarkan hal tersebut undang-undang memberi suatu cara
bagi pihak yang merasa tidak puas terhadap putusan yang dijatuhkan oleh hakim
untuk melakukan perlawanan dalam hal tertentu sebagai alat untuk mencegah atau
memperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan.
Cara tersebut adalah dengan melakukan upaya hukum, dalam pandangan
Sudikno Mertokusumo upaya hukum diartikan suatu upaya yang diberikan oleh
undang-undang kepada semua pihak yang sedang berperkara di pengadilan untuk
mengajukan perlawanan terhadap keputusan hakim.6 Lebih lanjut pemahaman
mengenai upaya hukum juga dijelaskan oleh Retno Wulan Sutantio yang
mendefinisikan upaya hukum sebagai upaya yang diberikan oleh undang-undang
kepada seseorang atau badan hukum untuk dalam hal tertentu melawan putusan
hakim.7
Bertalian dengan hal tersebut dalam teori dan praktik dikenal adanya 2 (dua)
macam upaya hukum yaitu, upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Adapun
yang termasuk dalam upaya hukum biasa meliputi perlawanan (verzet), banding dan
kasasi. Sedangkan yang termasuk dalam upaya hukum luar biasa meliputi peninjauan
kembali (PK) dan upaya hukum pihak ketiga (derdenverzet).
Perbedaan yang ada diantara keduanya adalah bahwa pada azasnya upaya
hukum biasa menangguhkan eksekusi (kecuali bila terhadap suatu putusan dikabulkan
tuntutan serta mertanya), Sedangkan upaya hukum luar biasa tidak menangguhkan
eksekusi. Berdasarkan hal ini, penjelasan mengenai upaya hukum biasa dan upaya
hukum luar biasa secara konkrit akan dijelaskan pada subbab berikutnya.

6
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1998.
Halaman 234
7
Retno Wulan Setianto, Hukum Acara Perdata, cetakan kesebelas, Bandung CV, mandar
maju, 2009. Halaman 140.
B. Upaya Hukum Biasa
Yang termasuk dalam upaya hukum biasa adalah:
1. Perlawanan (verzet)
Pada dasarnya perlawanan ini disediakan bagi pihak tergugat yang pada
umumnya menjadi pihak yang dikalahkan. Yang dimaksud dengan upaya hukum
perlawanan adalah upaya hukum terhadap putusan hakim yang dijatuhkan diluar
hadirnya tergugat atau biasa disebut putusan verstek8. Adapun prosedur melakukan
perlawanan adalah sebagai berikut:
a) Perlawanan terhadap putusan verstek dapat diajukan dalam tenggang waktu 14 (empat
belas) hari terhitung sejak pemberitahuan diterima tergugat secara pribadi.
b) Jika putusan verstek ini tidak diberitahukan kepada tergugat pribadi, maka
perlawanan masih dapat diajukan sampai hari ke- 8 (delapan) setelah teguran untuk
melaksanakan putusan verstek itu.
c) Apabila tergugat tidak datang menghadap ketika ditegur atau dipanggil, maka
perlawanan tergugat dapat diajukan sampai hari ke-8 (Pasal 129 ayat 2 HIR) sampai
hari ke-14 (Pasal 153 ayat 2 RBG) sesudah putusan verstek dijalankan. Perlawanan
atas suatu putusan verstek berdasarkan (Pasal 125 Jo Pasal 129 HIR 149 Jo Pasal 153
RBG). Dan yurisprudensi MA RI No. 290 K/Sip/1973 tanggal 13 Agustus 1974 yang
menyatakan bahwa jika perlawanan yang diajukan terlambat, maka harus dinyatakan
tidak dapat diterima, bukannya ditolak.
Upaya hukum perlawanan hanya dapat diajukan satu kali, apabila terhadap
upaya perlawanan ini tergugat tetap dikenakan putusan verstek, maka tergugat harus
menempuh upaya banding.
2. Upaya Hukum Banding
Banding merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh
salah satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan
ditingkat pertama (pengadilan agama). Para pihak mengajukan banding bila merasa
tidak puas dengan isi putusan pengadilan agama kemudian diajukan kembali ke
Pengadilan Tinggi Agama. Sesuai azasnya dengan diajukannya banding maka
pelaksanaan isi putusan Pengadilan Agama belum dapat dilaksanakan, karena putusan

8
Ibid, Putusan Verstek merupakan putusan yang dijatuhkan oleh Majelis hakim tanpa
hadirnya tergugat dan tanpa adanya alasan yang sah meskipun telah dipanggil secara resmi dan tergugat
dalam putusan tersebut terbukti bersalah. Halaman 142.
tersebut belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap sehingga belum dapat
dieksekusi, kecuali terhadap putusan serta merta (uit voerbaar bij voeraad)9.
Adapun dasar hukum mengenai upaya hukum banding diatur dalam pasal 188
s.d. 194 HIR (untuk daerah Jawa dan Madura) dan dalam pasal 199 s.d. 205 RBg
(untuk daerah di luar Jawa dan Madura). Kemudian berdasarkan pasal 3 Jo pasal 5
UU No. 1/1951 (Undang-undang Darurat No. 1/1951), pasal188 s.d. 194 HIR
dinyatakan tidak berlaku lagi dan diganti dengan UU Bo. 20/194710.
Sedangkan Prosedur mengajukan banding menurut pasal 26 Undang-undang
Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 7 s/d 9 UU RI No.
20/1947 yaitu:
a) Dinyatakan dihadapan Panitera Pengadilan Agama dimana putusan tersebut
dijatuhkan, dengan terlebih dahuku membayar lunas biaya permohonan banding.
b) Permohonan banding dapat diajukan tertulis atau lisan (pasal 7 UU No. 20/1947) oleh
yang berkepentingan maupun kuasanya.
c) Panitera Pengadilan Agama akan membuat akta banding yang memuat hari dan
tanggal diterimanya permohonan banding dan ditandatangani oleh panitera dan
pembanding. Permohonan banding tersebut dicatat dalam Register Induk Perkara
Perdata dan Register Banding Perkara Perdata.
d) Permohonan banding tersebut oleh panitera diberitahukan kepada pihak lawan paling
lambat 14 hari setelah permohonan banding diterima.
e) Para pihak diberi kesempatan untuk melihat surat serta berkas perkara di Pengadilan
Agama dalam waktu 14 hari.
f) Walau tidak harus tetapi pemohon banding berhak mengajukan memori banding
sedangkan pihak Terbanding berhak mengajukan kontra memori banding. Untuk
kedua jenis surat ini tidak ada jangka waktu pengajuannya sepanjang perkara tersebut
belum diputus oleh Pengadilan Tinggi. (Putusan MARI No. 39 k/Sip/1973, tanggal 11
September 1975).
g) Pencabutan permohonan banding tidak diatur dalam undang-undang sepanjang belum
diputuskan oleh Pengadilan Tinggi pencabutan permohonan banding masih
diperbolehkan.11

9
Putra Halomon Hasibuan, “Tinjauan Yuridis Tentang Upaya-upaya Hukum”, Yurisprudentia
Volume 1 Nomor 1 Juni 2015. Halaman 43.
10
Riduan Syahrani, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum, cet. 1, (Jakarta
:Sinar Grafika,1994), hal. 94.
11
Ibid, Halaman 95-96.
Apabila jangka waktu pernyatan permohonan banding telah lewat maka
terhadap permohonan banding yang diajukan akan ditolak oleh Pengadilan Tinggi
karena terhadap putusan Pengadilan Agama yang bersangkutan dianggap telah
mempunyai kekuatan hukum tetap dan dapat dieksekusi.12
3. Upaya Hukum Kasasi
Kasasi adalah satu tindakan mahkamah agung sebagai pengawas tertinggi atas
putusan-putusan pengadilan lain. Sedangkan, menurut Sudarsono, kasasi adalah
pembatalan atau pernyataan tidak sah oleh Mahkamah agung terhadap putusan hakim
dalam tingkat peradilan di bawahnya karena putusan itu menyalahi atau tidak sesuai
dengan undang-undang13.
Kasasi berasal dari perkataan “casser” yang berarti memecahkan atau
membatalkan, sehingga bila suatu permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan
dibawahnya diterima oleh Mahkamah Agung, maka berarti putusan tersebut
dibatalkan oleh Mahkamah Agung karena dianggap mengandung kesalahan dalam
penerapan hukumnya.14 Pemeriksaan kasasi hanya meliputi seluruh putusan hakim
yang mengenai hukum, jadi tidak dilakukan pemeriksaan ulang mengenai duduk
perkaranya sehingga pemeriksaaan tingkat kasasi tidak boleh/dapat dianggap sebagai
pemeriksaan tinggak ketiga.15.
Adapun alasan mengajukan kasasi menurut pasal 30 Undang-undang Nomor
14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung16 antara lain:
a) Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang.

12
Permohonan banding yang diajukan melalmpaui tenggang waktu menurut undang-undang
tidak dapat diterima dan surat-surat yang diajukan untuk pembuktian dalam pemeriksaan banding tidak
dapat dipertimbangkan. Akan tetapi bila dalam hal perkara perdata permohonan banding diajukan oleh
lebih dari seorang sedang permohonan banding hanya dapat dinyatakan diterima untuk seorang
pembanding, perkara tetap perlu diperiksa seluruhnya, termasuk kepentingan-kepentingan mereka yang
permohonan bandingnya tidak dapat diterima. Lihat Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
No. 46 k/Sip/1969, tanggal 5 Juni 1971.
13
H. Zainuddin Mappong, Eksekusi Putusan Serta Merta (Proses Gugatan Dan Cara
Membuat Putusan Serta Pelaksanaan Eksekusi Dalam Perkara Perdata). Malang: Tunggal Mandiri
Publishing. 2010. Halaman 233.
14
Sutantio, Prosedur Peradilan, (Jakarta: Hidayah, 1999). Halaman. 163.
15
Ibid,
16
Undang-undang Mahkamah Agung sempat beberapa kali mengalami perubahan yang
terbaru sekarang diatur dalam undang-undang no 3 tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-
undang no 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, namun bebrapa ketentuan pasal dalam Undang-
undang yang lama masih berlaku seperti pasal 30 yang penulis jadikan dasar dalam penulisan mengenai
alasan diajukannya kasasi. Lihat Undang-undang nomor tahun 14 tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung..
Tidak berwenangan yang dimaksud berkaitan dengan kompetensi relatif dan
absolut pengadilan, sedang melampaui batas bisa terjadi bila pengadilan mengabulkan
gugatan melebihi yang diminta dalam surat gugatan.
b) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku.
Yang dimaksud disini adalah kesalahan menerapkan hukum baik hukum
formil maupun hukum materil, sedangkan melanggar hukum adalah penerapan hukum
yang dilakukan oleh Judex facti salah atau bertentangan dengan ketentuan hukum
yang berlaku atau dapat juga diinterprestasikan penerapan hukum tersebut tidak tepat
dilakukan oleh judex facti.
c) Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan
yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.
Contohnya dalam suatu putusan tidak terdapat irah-irah.
Sedangkan prosedur mengajukan kasasi adalah sebagai berikut:
a) Permohonan kasasi disampaikan oleh pihak yang berhak baik secara tertulis atau lisan
kepada Panitera Pengadilan Agama yang memutus perkara tersebut dengan melunasi
biaya kasasi.
b) Pengadilan Agama akan mencatat permohonan kasasi dalam buku daftar, dan hari itu
juga membuat akta permohonan kasasi yang dilampurkan pada berkas (pasal 46 ayat
(3) UU No. 14/1985).
c) Paling lambat 7 hari setelah permohonan kasasi didaftarkan panitera Pengadilan
Agama memberitahukan secara tertulis kepada pihak lawan (pasal 46 ayat (4) UU No.
14/1985).
d) Dalam tenggang waktu 14 hari setelah permohonan kasasi dicatat dalam buku daftar
pemohon kasasi wajib membuat memori kasasi yang berisi alasan-alasan permohonan
kasasi (pasal 47 ayat (1) UU No. 14/1985).
e) Panitera Pengadilan Agama menyampaikan salinan memori kasasi pada lawan paling
lambat 30 hari (pasal 47 ayat (2) UU No. 14/1985).
f) Pihak lawan berhak mengajukan kontra memori kasais dalam tenggang waktu 14 hari
sejak tanggal diterimanya salinan memori kasai (pasal 47 ayat (3) UU No. 14/1985)
g) Setelah menerima memori dan kontra memori kasasi dalam jangka waktu 30 hari
Panitera Pengadilan Agama harus mengirimkan semua berkas kepada Mahkamah
Agung (pasal 48 ayat (1) UU No. 14/1985).
Permohonan kasasi harus sudah disampaikan dalam jangka waktu 14 hari
setelah putusan atau penetepan pengadilan yang dimaksud diberitahukan kepada
Pemohon (pasal 46 ayat 1 UU No. 14/1985), bila tidak terpenuhi maka permohonan
kasasi tidak dapat diterima.
C. Upaya Hukum Luar Biasa
Yang termasuk dalam upaya hukum luar biasa adalah sebagai berikut:
1. Upaya Hukum Peninjaun Kembali (request civil).
Upaya hukum peninjauan kembali (PK) disebut juga dengan request civil yang
merupakan suatu upaya agar putusan pengadilan baik dalam tingkat Pengadilan
pertama, Pengadilan Tinggi, maupun Mahkamah Agung yang telah berkekuatan
hukum tetap (inkracht van gewijsde) agar mentah kembali. Ungkapan demikian pun
didukung oleh Soeroso yang dalam pandangannya menjelaskan bahwa peninjaun
kembali (PK) adalah meninjau kembali putusan perdata yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, karena diketahuinya hal-hal baru yang dulu tidak dapat
diketahui oleh hakim, sehingga apabila hal-hal itu diketahuinya maka putusan hakim
akan menjadi lain.17
Lebih lanjut dasar hukum mengenai peninjauan kembali (PK) diatur dalam
pasal 66-76 Undang-undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang
menyebutkan:
a) Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) kali
b) Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan
pelaksanaan putusan Pengadilan.
c) Permohonan peninjauan kembali dapat dicabut selama belum diputus, dan dalam hal
sudah dicabut permohonan peninjauan kembali itu tidak dapat diajukan lagi.
Adapun alasan ingin melakukan peninjuan kembali (PK) harus didasarkan
pada hal-hal berikut ini:
a) Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan
yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang
kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
b) Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat
menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;
c) Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang
dituntut;

17
R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata, Tata Cara, Proses Persidangan, Sinar Grafika,
Jakarta, 1994. Halaman 92.
d) Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan
sebab-sebabnya;
e) Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar
yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan
yang bertentangan satu dengan yang lain;
f) Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan
yang nyata.
Sedangkan prosedur mengenai peninjauan kembali (PK) adalah sebagai
berikut:
a) Permohonan peninjauan kembali diajukan oleh pihak yang berhak kepada Mahkamah
Agung melalui Ketua Pengadilan Agama yang memutus perkara dalam tingkat
pertama.
b) Membayar biaya perkara.
c) Permohonan Pengajuan Kembali dapat diajukan secara lisan maupun tertulis.
d) Bila permohonan diajukan secara tertluis maka harus disebutkan dengan jelas alasan
yang menjadi dasar permohonannnya dan dimasukkan ke kepaniteraan Pengadilan
Agama yang memutus perkara dalam tingkat pertama. ( Pasal 71 ayat 1 )
e) Bila diajukan secara lisan maka ia dapat menguraikan permohonannya secara lisan
dihadapan Ketua Pengadilan Agama yang bersangkutan atau dihadapan hakim yang
ditunjuk Ketua Pengadilan Agama tersebut, yang akan membuat catatan tentang
permohonan tersebut. ( Pasal 71 ayat 2 )
f) Hendaknya surat permohonan peninjauan kembali disusun secara lengkap dan jelas,
karena permohonan ini hanya dapat diajukan sekali.
g) Setelah Ketua Pengadilan Agama menerima permohonan peninjauan kembali maka
panitera berkewajiban untuk memberikan atau mengirimkan salinan permohonan
tersebut kepada pihak lawan pemohon paling lambat 14 hari dengan tujuan agar dapat
diketahui dan dijawab oleh lawan. ( Pasal 72 ayat 1 )
h) Pihak lawan hanya punya waktu 30 hari setelah tanggal diterima salinan permohonan
untuk membuat jawaban bila lewat maka jawaban tidak akam dipertimbangkan. (
Pasal 72 ayat 2 )
i) Surat jawaban diserahkan kepada Pengadilan Agama yang oleh panitera dibubuhi cap,
hari serta tanggal diteimanya untuk selanjutnya salinan jawaban disampaikan kepada
pemohon untuk diketahui. ( Pasal 72 ayat 3 )
j) Permohonan peninjauan kembali lengkap dengan berkas perkara beserta biayanya
dikirimkan kepada Mahkamah Agung paling lambat 30 hari. ( Pasal 72 ayat 4 )
k) Pencabutan permohonan peninjauan kembali dapat dilakukan sebelum putusan
diberikan, tetapi permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan satu kali. (
Pasal 66 )18.
2. Upaya Hukum Perlawanan Pihak Ketiga (derden verzet)
Pada asasnya suatu putusan hanya mengikat para pihak yang berperkara dan
tidak mengikat pihak ketiga (Pasal 1917 BW). Akan tetapi apabila pihak ketiga
merasa hak-haknya dirugikan oleh suatu putusan, maka ia dapat mengajukan
perlawanan terhadap putusan tersebut (Pasal 378 Rv). Pihak ketiga yang hendak
mengajukan perlawanan terhadap suatu putusan tidak cukup hanya mempunyai
kepentingan saja, tetapi harus nyata- nyata telah dirugikan haknya. Apabila
perlawanan itu dikabulkan, maka putusan yang dilawan itu diperbaiki sepanjang
merugikan pihak ketiga (Pasal 382 Rv)19
Adapun prosedur dalam mengajukan perlawanan pihak ketiga sebagaimana
yang diungkapkan oleh Rocky Marbun adalah sebagai berikut:
a) Diajukan oleh pihak ketiga guna membela dan mempertahankan hak kepentingannya
di pengadilan, bukan sebagai kewajiban;
b) Pelawan bukan subjek yang terlibat langsung sebagai pihak dalam putusan yang
dilawan;
c) Pada derden verzet, pelawan harus menarik seluruh pihak yang terlibat dalam putusan
yang dilawan. Hal ini merupakan syarat mutlak yang tidak boleh diabaikan, bila
diabaikan mengandung cacat formal berupa error in persona yang dapat
mengakibatkan putusan atau gugatan tidak dapat diterima;
d) Tenggang waktu derden verzet dapat dikatakan luas tetapi juga dapat dikatakan
sempit, karena tidak dibatasi oleh jumlah hari, minggu, bulan, dan bahkan tahun, yang
membatasinya adalah eksekusi putusan. Kalau eksekusi itu cepat maka cepat pula
habisnya tenggang waktu untuk mengajukan derden verzet. Apabila lambat maka
lambat pula berakhirnya tenggang waktu untuk mengajukan derden verzet;
e) derden verzet didaftar sebagai perkara baru dengan membayar biaya perkara baru;

18
Lihat Undang-undang nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
19
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cetakan kelima, Universitas
Atma Jaya,Yogyakarta, 2010. Halaman. 2-3.
f) Karena derden verzet didaftar sebagai perkara baru dengan membayar biaya perkara
baru, maka terpisah dari nomor perkara yang dilawan;
g) Karena derden verzet itu sebagai perkara baru, yang menjadi bahan pemeriksaan
adalah perlawanan pelawan. Bila terlawan membantah dalil pelawan maka pelawan
berkewajiban membuktikan dalilnya.20

20
Rocky Marbun, Kiat Jitu Menyelesaikan Kasus Hukum, Transmedia Pustaka, Jakarta, 2011.
Halaman. 172.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Pada hakikatnya pengadilan adalah tempat terakhir bersemayam bagi mereka


yang mencari keadilan, namun tidak dapat dipungkiri, alih-alih ingin menegakkan
hukum yang sesuai dengan prosedur, prinsip dan norma-norma yang terkandung
dalam pengadilan itu sendiri terkadang tidak semerdu seperti tujuannya. Maka
tepatlah dalam hal ini negara memberikan separuh kebijaknnya melalui Undang-
undang untuk memberikan kepada pengguggat maupun tergugat hak untuk melakukan
upaya hukum dalam rangka menilai dan meninjau kembali putusan hakim yang telah
dikeluarkanya yang dirasa belum sepenuhnya menyentuh rasa keadilan bagi mereka
yang sedang beracara.
Secara filosofis upaya hukum dapat diartikan sebagai pengujian terhadap
putusan hakim, mengingat hakim juga manusia yang tidak luput dari kesalahan dan
kekhilafan, untuk itu kiranya menjadi suatu kelaziman dalam menilai dan menakar
putusan hakim pasca dikeluarkannya untuk diteliti dan dikaji secara ilmiah melalui
prosedur yang telah di tetapkan oleh Undang-undang yang salah satunya melaului
upaya hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Buku

Marbun, Rocky, Kiat Jitu Menyelesaikan Kasus Hukum, Transmedia Pustaka, Jakarta,
2011.
Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cetakan kelima,
Universitas Atma Jaya,Yogyakarta, 2010.
Mappong, H Zainuddin, Eksekusi Putusan Serta Merta (Proses Gugatan Dan Cara
Membuat Putusan Serta Pelaksanaan Eksekusi Dalam Perkara Perdata).
Malang: Tunggal Mandiri Publishing. 2010.
Soeroso, R, Praktik Hukum Acara Perdata, Tata Cara, Proses Persidangan, Sinar
Grafika, Jakarta, 2009.
Sutantio, Prosedur Peradilan, (Jakarta: Hidayah, 1999).
Syahrani, Ridwan, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum, cet. 1,
(Jakarta :Sinar Grafika,1994).
Setianto, Wulan Retno, Hukum Acara Perdata, cetakan kesebelas, Bandung CV,
mandar maju, 2009.
Komisi Yudisial, Kualitas Putusan Hakim, dalam kata sambutan Suparman Marzuki.
Jakarta, Pusat analisis dan layanan Informasi. 2014.

Jurnal

Chakim, M Lutfi, “Mewujudkan Keadilan Melalui Upaya Hukum Peninjauan


Kembali pasca Putusan Mahkamh Konstitusi”. Jurnal Konstitusi, Volume 12,
Nomor 2, Jakarta Juni 2015.
Hasibuan, Halomon Putra“Tinjauan Yuridis Tentang Upaya-upaya Hukum”,
Yurisprudentia Volume 1 Nomor 1 Juni 2015.

Perundang-undangan

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 46 k/Sip/1969, tanggal 5 Juni


1971.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Lain-lain

Refly Harun, “Kedaulatan rakyat sebagai wujud pembangunan politik hukum


nasional dalam menghadapi era revolusi industri 4.0”, Orasi ilmiah dalam
acara Uin Law Fair, Studiun general auditorium harun nasution, Jakarta 15
November 2019.

Anda mungkin juga menyukai