Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH TENTANG

“PERANCANGAN KONTRAK DALAM HUKUM KONTRAK DRAFTING”

DOSEN : DARJI SAFUTRA SH.M.Kn

OLEH :

REKY SYADEWO 188400243

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MEDAN AREA

2021

1
DAFTAR ISI

Kata Pengantar………………………………………………………………………… i

Daftar isi………………………………………………………………………………… ii

BAB I PENDAHULUAN
A .Latar Belakang Masalah………………………………………………………………..… 1

B.     Rumusan Masalah ………………………………………………………………….…… 2

C.     Manfaat Penulisan………………………………………………………………………… 3

BAB II PEMBAHASAN

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan………………………………………………………………………………… 10

B. Saran…………………………………………………………………………......................11

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………… 12

2
KATA PENGANTAR

Assalamu alaikum wr. wb.


Salam sejahtera bagi kita semua
Dengan memanjatkan puji syukur atas kehadirat Tuhan yang maha Esa, Allah swt
oleh karena berkat rahmat, taufiq dan hidayahnyalah sehingga Makalah sederhana ini dapat
selesai tepat pada waktunya dengan  judul “PERANCANGAN KONTRAK DALAM
HUKUM KONTRAK DRAFTING”..
Makalah ini disusun sebagai tugas akhir dari dosen pengajar mata kuliah Hukum
kontrak darfting.
            Dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dalam
penulisannya, baik dari teknik penulisan, metodologi, maupun substansinya, sehingga penulis
menghimbau masukan dan kritikanya yang bersifat membangun demi kesempurnaan
Makalah ini. Atas perhatiannya, penulis ucapkan terimakasih.
Wassalamu’alaikum wr. wb                                    
                                                                                                                Medan, 19 Mei 2021

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.Latar Belakang

Sebagai mahluk sosial manusia selalu berhubungan dengan manusia lainnya. Interaksi
yang terjalin dalam komunikasi tersebut tidak hanya berdimensi kemanusiaan dan sosial
budaya, namun juga menyangkut aspek hukum, termasuk perdata. Naluri untuk
mempertahankan diri, keluarga dan kepentingannya membuat manusia berfikir untuk
mengatur hubungan usaha bisnis mereka ke dalam sebuah perjanjian Salah satu bidang
hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dimiliki pada subyek hukum
dan hubungan antara subyek hukum. Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum
sipil sebagai lawan dari hukum publik. Maka hukum perdata mengatur hubungan antara
penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang,
perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, perjanjian, kegiatan usaha dan
tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya.

Hukum Perdata adalah hukum antar perorangan yang mengatur hak dan kewajiban
perorangan yang satu terhadap yang lain di dalam hubungan keluarga dan di dalam pergaulan
masyarakat. Pelaksanaannya diserahkan kepada masing-masing pihak.Perkataan “Hukum
Perdata” dalam arti yang luas meliputi semua hukum privat materiil, yaitu segala hukum
pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan. Keberadaan hukum perdata
yang mengatur hubungan sesama manusia atau masyarakat merupakan warisan peninggalan
politik Pemerintah Hindia Belanda. Pedoman politik bagi Pemerintah Hindia Belanda
terhadap hukum di Indonesia dituliskan dalam pasal 131 Indische staatsregeling, yang dalam
pokoknya sebagai berikut: Pemerintah Hindia Belanda melakukan modifikasi atas hukum
perdata dengan memuat sekumpulan peraturan perundang-undangan dalam suatu kitab yang
bernama “Burgerlijk Wetboek” yang sekarang dikenal dengan istilah Kitab Undang-undang
Hukum Perdata,

2. RUMUSAN MASALAH –

1.Apakah yang dimaksud dengan hukum perjanjian & kontrak? –

4
2.Apa saja yang menjadi dasar hukum perjanjian & kontrak? –

3.Apa saja asas-asas yang terdapat dalam hukum perjanjian & kontrak dan Apa saja penyebab
batalnya perjanjian/kontrak?

3. TUJUAN PENULIS

1.Untuk mengetahui apa dasar-dasar hukum dan perjanjian kontrak

2.Untuk mengetahui sistem pengaturan hukum dan perjanjian kontrak

3.Untuk mengetahui Asas-asas hukum perjanjian kontrak

5
BAB II

PEMBAHASAN

PERANCANGAN KONTRAK (Contract Drafting)

Sekilas apabila kita mendengar kata kontrak, kita akan langsung berpikir bahwa yang
dimaksud dengan kontrak adalah suatu perjanjian tertulis. Artinya, kontrak sudah dianggap
sebagai suatu pengertian yang lebih sempit dari perjanjian. Kesan ini tidaklah salah
mengingat penekanan kontrak selalu dianggap sebagai medianya suatu perjanjian yang dibuat
secara tertulis.
Kontrak merupakan salah satu bagian penting dari Hukum Perdata yang mengalami
perkembangan dalam rangka memberikan kepastian hukum pada bidang ekonomi dan
stabilitas nasional, baik bagi kegiatan usaha orang-perorangan maupun badan seperti
pemerintah, swasta dan koperasi. Esensi kontrak adalah sekumpulan janji yang dapat
dipaksakan pelaksanaannya.
Sebagai sekumpulan janji yang wajib ditunaikan, maka suatu kontrak akan memiliki
kekuatan yang lebih apabila diwujudkan dalam bentuk tulisan atau biasa disebut sebagai
kontrak tertulis. Penyusunan suatu kontrak (tertulis) tidak semudah menulis di atas kertas.
Karena suatu kontrak yang disusun atau dirancang harus memenuhi unsur-unsur dan
melewati berbagai tahapan.

A.  Istilah dan Pengertian Perancangan Kontrak


Istilah perancangan kontrak berasal dari bahasa Inggris, yakni contract drafting.
Perancangan adalah proses, cara, atau perbuatan merancang. Sedangkan kontrak adalah
hubungan hukum antara dua orang atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan
akibat hukum hak dan kewajiban. Jadi, perancangan kontrak merupakan proses atau cara
merancang kontrak.

6
Merancang kontrak adalah mengatur dan merencanakan struktur, anatomi, dan substansi
kontrak yang dibuat oleh para pihak. Struktur kontrak adalah susunan dari kontrak yang akan
dibuat atau dirancang oleh para pihak. Anatomi kontrak adalah berkaitan dengan letak dan
hubungan antara bagian-bagian yang satu dengan bagian yang lainnya. Substansi kontrak
merupakan isi yang akan dituangkan dalam kontrak yang akan dirancang oleh para pihak.
Substansi kontrak ada yang dinegosiasi oleh para pihak dan ada yang telah ditentukan secara
sepihak oleh salah satu pihak. Kontrak semacam ini disebut dengan kontrak baku (standard
contract).[1]

B.  Asas-asas Hukum dalam Perancangan Kontrak


Dalam Buku III KUHPerdata dikenal lima asas hukum, yaitu asas konsensualisme, asas
kebebasan berkontrak, asas pacta sunt servanda (asas kepastian hukum), asas iktikad baik,
dan asas kepribadian. Namun dari kelima asas tersebut yang berkaitan erat dengan
perancangan kontrak hanyalah asas kebebasan berkontrak dan asas pacta sunt servanda (asas
kepastian hukum).
1.    Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak diatur dalam ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang
berbunyi: ”Semua perjanjian yang dibuat sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya.” Asas kebebasan berkontrak adalah suatu kontrak yang memberikan
kebebasan para pihak untuk: (1) membuat atau tidak membuat perjanjian; (2) mengadakan
perjanjian dengan siapapun; (3) menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
dan (4) menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.[2]
2.    Asas Pacta Sunt Servanda
Asas Pacta Sunt Servanda disebut juga kebebasan kepastian hukum. Asas ini berhubungan
dengan akibat dari suatu perjanjian. Asas pacta sunt servanda menggariskan bahwa hakim
atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak
sebagaimana layaknya sebuah undang-undang, sehingga mereka tidak berhak melakukan
intervansi terhadap substansi kontrak tersebut. Asas ini dapat disimpulkan dalam Pasal 1338
ayat (1) KUHPerdata, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat sah berlaku sebagai
undang-undang.”

C.  Sumber-sumber Perancangan Kontrak

7
Sumber hukum dari perancangan kontrak yang berasal dari undang-undang adalah
sumber hukum yang berasal dari peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah
atas persetujuan DPR, di antaranya:
1.    KUHPerdata (BW)
a.    Buku III BW tentang Perikatan, khususnya Pasal 1338 ayat (1).
b.    Buku IV KUHPerdata tentang pembuktian dan daluarsa, khususnya dari Pasal 1865 sampai
dengan Pasal 1894 yang berkaitan dengan pembuktian dan tulisan.
2.    Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999, yaitu Pasal 1 ayat (5) dan Pasal 22.
3.    Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 11 sampai dengan Pasal 17 Undang-undang Nomor 4 Tahun
1986 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Serta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah.
4.  Pasal 5 sampai dengan Pasal 6 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia.
5.    Pasal 38 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
6.    Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
Selain undang-undang yang disebutkan di atas, terdapat pula sumber hukum perancangan
kontrak lainnya, seperti traktrat dan yurisprudensi. Traktat adalah suatu perjanjian yang
dibuat antara dua negara atau lebih dalam bidang keperdataan, sedangkan yurisprudensi
merupakan produk yudikatif yang berisi kaidah atau peraturan hukum yang mengikat pihak-
pihak yang berperkara, dalam hal ini terutama mengenai pembatalan kontrak.

D.  Prinsip-prinsip dalam Perancangan Kontrak


Setiap perancangan kontrak, baik itu kontrak yang terdapat dalam KUHPerdata maupun
kontrak yang hidup dan berkembang dalam masyarakat tentunya harus memperhatikan
prinsip-prinsip di dalam merancang kontrak. Yang dimaksud dengan prinsip-prinsip dalam
perancangan kontrak adalah dasar atau asas yang harus diperhatikan dalam merancang
sebuah kontrak. Erman Rajaguguk mengemukakan ada sepuluh prinsip dasar yang harus
diperhatikan dalam kontrak-kontrak yang lazim digunakan di Indonesia dan patut menjadi
perhatian perancang kontrak dagang internasional.[3] Kesepuluh prinsip tersebut meliputi:
1.    Penggunaan istilah,
2.    Prinsip kebebasan berkontrak,
3.    Prinsip penawaran dan penerimaan,
4.    Iktikad baik,
5.    Peralihan risiko,

8
6.    Ganti kerugian,
7.    Keadaan darurat,
8.    Alasan pemutusan,
9.    Pilihan hukum, dan
10.     Penyelesaian sengketa.
Di samping itu, Peter Mahmud mengemukakan dua prinsip yang harus diperhatikan
dalam mempersiapkan kontrak, yaitu beginselen der contractsvrijheid atau party
autonomy dan pacta sunt servanda. Beginselen der contractsvrijheid atau party autonomy,
yaitu para pihak bebas untuk memperjanjikan apa yang mereka inginkan, dengan syarat tidak
bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Langkah pertama
yang mesti dilakukan oleh para pihak untuk menghindari ketidakjelasan maksud para pihak
ialah dengan menjelaskan sejelas-jelasnya kepada mereka yang terlibat dan bertugas di dalam
melakukan transaksi. Sementara itu, kewajiban pertama perancang kontrak adalah
mengomunikasikan kepada kliennya apakah yang telah dirumuskannya tersebut sudah sesuai
dengan keinginan kliennya.[4]

E.  Faktor-faktor yang Harus Diperhatikan dalam Perancangan Kontrak


Sebagaimana telah dijelaskan di atas, pada dasarnya kontrak yang dibuat oleh para pihak
berlaku sebagai undang-undang yang membuatnya. Oleh karena itu, untuk merancang suatu
kontrak diperlukan ketelitian dan kecermatan dari para pihak, baik pihak kreditur maupun
debitur, pihak investor maupun pihak yang bersangkutan, perancang kontrak maupun notaris.
Namun dalam kenyataannya, dalam pembuatan kontrak tidak ditentukan format tertentu
karena dalam undang-undang tidak ada yang mengaturnya secara tegas. Kontrak yang dibuat
secara tertulis yang memang telah diperintahkan berdasarkan undang-undang dengan
ancaman bahwa kontrak tersebut tidak mengikat jika tidak dibuat secara tertulis, atau biasa
disebut dengan perjanjian formal, biasanya sudah ada format tertentu yang telah disiapkan
oleh notaris kalau kontrak tersebut harus dibuat dalam bentuk akta notaris. Tetapi perjanjian
tersebut bukan merupakan perjanjian formal, dalam arti tidak diwajibkan oleh undang-
undang untuk dibuat secara tertulis, kontrak semacam inilah yang biasanya dirundingkan
secara langsung oleh para pihak. Namun ada pula yang dibuat dalam bentuk perjanjian
kontrak atau kontrak standar.[5]
Karena tidak ada ketentuan undang-undang yang mengatur tentang format kontrak maka
dalam membuat kontrak, hal yang paling penting yang harus diperhatikan oleh para pihak

9
adalah syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata, yang
pada intinya mengatur tentang:
1.    Kesepakatan para pihak,
2.    Kecakapan (termasuk juga kewenangan) para pihak;
3.    Hal atau objek tertentu; dan
4.    Kausa atau sebab yang halal.
Selain syarat sahnya perjanjian, hal yang penting yang harus diperhatikan oleh para
pihak adalah unsur-unsur perjanjian, yakni unsur esensialia, unsur aksidentalia, dan unsur
naturalia.
§    Unsur esensialia; dalam perjanjian ini sangat terkait dengan syarat hal tertentu dalam
perjanjian, karena unsur esensialia merupakan unsur pokok yang harus ada dalam suatu
perjanjian. Misalnya unsur pokok dalam perjanjian jual beli adalah adanya barang yang sudah
ditentukan atau dapat ditentukan dan adanya harga barang. Sedangkan klausul-klausul
lainnya yang bukan merupakan hal pokok dalam kontrak itulah yang disebut unsur
aksidentalia.
§  Unsur aksidentalia; biasanya baru akan ada jika diperjanjikan oleh para pihak, termasuk di
dalamnya cara pembayaran, tempat pembayaran, tempat dan cara penyerahan, dan lain-lain.
Apabila tidak dicantumkan oleh para pihak, pengaturannya diatur dalam undang-undang yang
biasa disebut unsur naturalia.
§   Unsur naturalia; merupakan unsur yang selalu dianggap ada dalam perjanjian, dalam arti
apabila para pihak tidak mengaturnya, maka pengaturannya diatur dalam undang-undang.[6]
Dalam sumber lain disebutkan bahwa faktor-faktor yang harus diperhatikan oleh para
pihak yang akan mengadakan dan membuat kontrak adalah:
1)   Kemampuan hukum para pihak
Kemampuan para pihak yaitu kecapakatan dan kemampuan para pihak untuk
mengadakan dan membuat kontrak. Dalam KUHPerdata ditentukan bahwa orang yang
bercakap atau mampu untuk melawan hukum adalah orang yang telah dewasa, yakni mereka
yang telah berumur 21 tahun atau pernah menikah. Orang di bawah umur atau di bawah
pengampuan tidak wenang membuat kontrak, sehingga apabila mereka membuat dan
menandatangi kontrak dengan orang yang sudah dewasa maka kontrak tersebut dapat
memintakan pembatalan kepada pengadilan.
2)   Perpajakan

10
Pada dasarnya didalam setiap kontrak yang dibuat oleh para pihak mengandung
kewajiban untuk membayar pajak pada negara, baik itu PPh, BPHTB, dan bea materai.
Pengenaan pajak ini disesuaikan dengan objek kontrak.
3)   Alas hak yang sah
Yang dimaksud dengan alas hak adalah peristiwa hukum yang merupakan dasar
penyerahan barang, seperti tukar menukar, jual beli, dan sebagainya. Alas hak yang sah ini
berkaitan dengan cara seseorang memperoleh atau menguasai suatu benda dengan cara yang
sah. Sehingga sebelum disetujui kontrak para pihak harus memperhatikan objek kontraknya,
apakah objek kontrak tersebut milik yang sah dari para pihak atau tidak. 
4)   Masalah keagrariaan
Perancang kontrak juga harus memperhatikan masalah-masalah yang berkenaan dengan
hukum agraria, apabila objek kontrak atau perjanjian berupa tanah atau semacamnya.
5)   Pilihan hukum
Dalam suatu kontrak yang berlaku secara internasional, pilihan hukum menjadi sangat
penting dalam perancangan kontrak. Pilihan hukum ini berkaitan dengan hukum apakah yang
akan digunakan. Apabila terjadi sengketa antara para pihak.
6)   Penyelesaian sengketa
Perjanjian tidak selalu dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, dalam
setiap kontrak perlu dimasukkan klausul mengenai sengketa apabila salah satu pihak ingkar
janji (wanprestasi).
7)   Pengakhiran kontrak
Dalam Pasal 1266 KUHPerdata ditentukan bahwa: “Tiap-tiap pihak yang akan
mengakhiri kontrak harus dengan keputusan pengadilan yang mempunyai yurisdiksi atas
kontrak.” Ketentuan ini bertujuan melindungi pihak yang lemah.
8)   Bentuk perjanjian standar
Perjanjian standar atau biasa disebut dengan standard contract adalah perjanjian yang
ditentukan oleh satu pihak  dan dituangkan dalam bentuk formulir.

F.   Tahap-tahap Perancangan Kontrak


Pada dasarnya, setiap kontrak yang dibuat oleh para pihak harus dirancang dengan benar.
Dalam merancang kontrak tersebut tentunya harus diperhatian berbagai tahapan dalam
perancangan kontrak. Akan tetapi, hingga kini belum ada aturan ataupun model yang baku

11
dalam perancangan ini. Para ahli berbeda pendapat tentang tahapan-tahapan yang harus
dilalui dalam perancangan kontrak.
Hikmahanto Juwana mengemukakan bahwa terdapat 7 tahap dalam perancang kontrak
khususnya kontrak bisnis, yang meliputi:
1.    Kesepakatan para pihak,
2.    Pembuatan kontrak,
3.    Penelahaan kontrak,
4.    Negosiasi perancang kontrak,
5.    Penandatanganan kontrak,
6.    Pelaksanaan, dan
7.    Sengketa.[7]
Namun dalam pandangan ini kurang lengkap karena tidak menganalisis pada tahap
prakontraktual berupa penawaran dan penerimaan, sehingga harus dilengkapi dengan
menjadikan penawaran dan penerimaan sebagai tahap pertama sebelum adanya kesepakatan
para pihak.
Dalam pandangan lain disebutkan bahwa secara sistematis terdapat 3 tahap dalam
perancangan kontrak di Indonesia sebagai berikut:

a)   Tahap Pra-Perancangan Kontrak


Tahap pra-perancangan merupakan tahap sebelum kontrak dirancang dan disusun.
Sebelum kontrak disusun, terdapat empat hal yang harus diperhatikan oleh para pihak, yang
meliputi:
1.    Identifikasi para pihak
Tahap identifikasi para pihak merupakan tahap untuk menentukan dan menetapkan
identitas para pihak yang akan mengadakan kontrak itu. Identitas para pihak harus jelas dan
para pihak harus memiliki kewenangan hukum untuk membuat kontrak sebagaimana di
tentukan pada Pasal 1330 KUHPerdata. Selain itu, hal ini penting untuk mengetahui para
pihak yang benar-benar mempunyai full power sebagai representatif dari suatu perusahaan
yang bonafit atau tidak.[8]
2.    Penelitian awal aspek terkait
Pada dasarnya pihak-pihak yang membuat kontrak berharap bahwa kontrak tersebut
dapat menampung semua keinginan yang menjadi hakikat kontrak tersebut secara terperinci
dan jelas. Perancangan kontrak harus menjelaskan hal-hal yang tertuang dalam kontrak yang
bersangkutan, konsekuensi yuridis, serta alternatif lain yang mungkin dapat dilakukan, dalam

12
penelitian ini pula diteliti dalam beberapa aspek yang berkaitan dengan kondisi politik dakam
negeri para pihak, sistem hukum, dampak sosial, dan aspek ekonomi. Hal ini perlu dilakukan
agar pelaksanaan kontrak tersebut tidak banyak mendapat hambatan. Pada akhirnya
perancang kontrak akan menyimpullkan hak dan kewajiban masing-masing pihak terkait
dengan isi kontrak, seperti unsur pembayaran, ganti rugi, dan perpajakan.
3.    Pembuatan Memorandum of Understanding (MoU)
Pembuatan Memorandum of Understanding (MoU) merupakan nota kesepahaman yang
dibuat oleh para pihak sebelum kontrak itu dibuat sebelum kontrak itu dibuat secara
terperinci. Memorandum of Understanding (MoU) ini memuat berbagai kesepakatan para
pihak dalam berbagai bidang, seperti di bidang investasi, pasar modal, pengembangan
pendidikan, kesepakatan dalam bidang ekonomi, dan lain-lain. Bentuk MoU ini dalam praktik
dapat berbentuk nota kesepahaman, nota kesepakatan, perjanjian pendahuluan, dan lain
sebagainya.[9]
4.    Perundingan (negosiasi)
Negosiasi mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting dalam perancangan
kontrak, karena tahap ini merupakan tahap untuk menentukan objek dan substansi kontrak
yang dibuat oleh para pihak. Negosiasi ini memiliki 2 corak, yaitu negosiasi dengan
perunding lunak (soft bergainer) dan negosiasi dengan perunding keras (hard bergainer).
Negosiasi dengan perunding lunak banyak dilakukan di lingkungan keluarga, antara sahabat
dan sebagainya, yang bertujuan untuk membina hubungan baik. Kelebihan corak ini adalah
cepat menghasilkan kesepakatan, namun mengandung risiko berupa pola menang-kalah (win-
lose). Adapun negosiasi dengan perunding keras sering menemui kebuntuan lantaran adanya
tekanan dan ancaman, terutama pada situasi di mana perunding keras saling bertemu.
Sehingga yang paling efektif dalam bernegosiasi adalah dengan memadukan kedua corak,
yaitu menganut asas win-win solution.[10]

b)   Tahap Perancangan Kontrak


Tahap kedua dalam membuat kontrak adalah tahap perancangan kontrak, yang
memerlukan ketelitian dan kejelian para pihak maupun notaris. Tahap perancangan kontrak
ini terbagi dalam beberapa bagian yaitu:
1.    Perumusan dan pembuatan naskah kontrak
Naskah atau draf kontrak merupakan konsep kontrak yang dirancng oleh para pihak.
Dengan tahap ini para pihak akan merumuskan dan membuat kontrak yang mana selanjutnya
akan diserahkan pada pihak lain dan dikaji lebih mendalam. Naskah kontrak ini meliputi

13
judul kontrak, pembukaan kontrak, pihak-pihak dalam kontrak, resital, substansi kontrak, dan
penutup. Adapun di Amerika, kontrak ini berisi hal-hal sebagai berikut,
yaitu: recital (penjelasan resmi/latar belakang terjadinya suatu kontrak), consideration (berisi
tentang prestasi), warranties and reseprentation (garansi/jaminan dan
perwakilan), risk allocatian (pembagian resiko), coditions and terms (syaratnya), dates and
termination (mulai dan pengakhiran kontrak), boilerplate dan signature (tanda tangan para
pihak).[11]
2.    Perundingan atau negosiasi lanjutan
Setelah para pihak selesai membuat naskah kontrak, maka naskah kontrak ini akan
ditukar. Hal ini bertujuan untuk memberikan kesempatan pada para pihak untuk mempelajari
isi kontrak yang telah disusun. Apabila salah satu pihak tidak menyetujui perihal salah satu
kontrak, pihak tersebut dapat mengusulkannya untuk dirundingkan bersama. Selanjutnya para
pihak akan merundingkan atau menegosiasikan lanjutan dalam isi kontrak. Apabila pada hasil
perundingan tersebut telah tercapai kesepakatan, usulan tadi dapat dimasukan dalam draf
kontrak yang selanjutnya dapat dilakukan revisi terhadap rancangan naskah kontrak.
3.    Pembahasan naskah akhir kontrak
Pembahasan naskah hasil kontrak merupakan tahap penyelesaian akhir, yaitu upaya
untuk membereskan atau menyudahi naskah kontrak yang dibuat oleh para pihak, dan telah
menyetujui naskah kontrak yang telah dirancang, baik oleh salah satu pihak maupun secara
bersama oleh para pihak. 
4.    Penandatanganan naskah hasil kontrak
Bagian akhir dari tahap-tahap perancangan kontrak ini adalah tahap penandatangannan
kontrak, yang merupakan wujud persetujuan atau kesepakatan atas segala substansi kontrak
yang dibuat oleh para pihak

c)    Tahap Pasca-Perancangan Kontrak


Setelah melalui tahap pra dan perancangan kontrak, naskah kontrak yang telah
ditandatangani oleh para pihak akan memasuki tahap pasca tahap peancangan yang meliputi
tahap pelaksanaan dan penasfsiran, serta penyelesaian sengketa.
1.    Pelaksanaan
Setelah suatu kontrak selesai disusun dan ditandatangani oleh para pihak, barulah
kontrak tersebut dapat dilaksanakan. Pelaksanan kontrak ini harus sesuai dengan substansi-
substansi yang telah disepakati dalam isi kontrak, karena sebagaimana disebutkan dalam

14
Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata bahwa setiap perjanjian yang dibuat sah berlaku sebagai
undang-undang bagi para pembuatnya.
2.    Penafsiran
Pada dasarnya, suatu kontrak atau perjanjian yang dibuat oleh para pihak haruslah dapat
dimengerti dan dipahami isinya. Akan tetapi pada kenyataannya banyak kontrak yang isinya
membingungkan bagi para pihak. Penafsiran kontrak dilakukan apabila dalam kontrak yang
telah disepakati maupun dalam pengimplementasian kontrak terdapat kata-kata atau kalimat
yang membingungkan, sehingga menimbulkan hambatan untuk mewujudkan maksud dan
tujuan dari para pihak. Penafsiran dalam kontrak diatur dalam Pasal 1342 sampai dengan
Pasal 1351 KUHPerdata.
Dalam Pasal 1342 KUHPerdata disebutkan bahwa apabila suatu kontrak memiliki kata-
kata yang jelas, maka tidak diperkenankan untuk menyimpang daripadanya dengan jalan
penafsiran. Barulah apabila kata-katanya tidak jelas dapat dilakukan penafsiran terhadap isi
kontrak dengan memperhatikan beberapa aspek, di antaranya:
a)    Jika kata-kata dalam kontrak memberikan berbagai macam penafsiran, maka harus
menyelidiki maksud para pihak yang membuat perjanjian (Pasal 1343 KUHPerdata).
b)   Jika suatu janji memberikan berbagai penafsiran, maka harus diselidiki pengertian untuk
memungkinkan perjanjian itu dapat dilaksanakan (Pasal 1344 KUHPerdata).
c)    Jika kata-kata dalam perjanjian mengandung dua macam pengertian, maka harus dipilih
pengertian yang paling selaras dengan sifat perjanjian (Pasal 1345 KUHPerdata).
d)   Apabila terjadi keragu-raguan, maka harus ditafsirkan menurut kebiasaan dalam negeri atau
di tempat perjanjian dibuat (Pasal 1346 KUHPerdata).
e)    Jika ada keragu-raguan, perjanjian harus ditafsirkan atas kerugian orang yang meminta
diperjanjikan suatu hal, dan untuk keuntungan orang yang mengikatkan dirinya untuk itu
(Pasal 1349 KUH Perdata).[12]
3.    Penyelesaian sengketa
Dalam pelaksanan kontrak tidak menutup kemungkinan terjadinya sengketa. Dalam hal
seperti ini para pihak bebas menentukan cara yang akan ditempuh jika timbul perselisihan
atau sengketa di kemudian hari. Penyelesaian sengketan ini biasanya diatur secara tegas
dalam kontrak. Secara garis besarnya, penyelesaian sengketa ini dibagi menjadi dua, yaitu
melalui pengadilan (litigasi) dan di luar pengadilan (non-litigasi), seperti mediasi, arbitrase
dan negosiasi.

15
G. Format Kontrak
Salah satu unsur paling penting dalam merancang kontrak adalah memperhatikan
struktur dan anatomi kontrak yang dibuat. Struktur kontrak adalah susunan kontrak yang akan
dirancang, sedangkan anatomi kontrak berkaitan dengan letak dan hubungan antara bagian
satu dengan bagian lainnya.
Apa yang dimuat di dalam masing-masing bagian tentunya tidak sama pentingnya antara
satu kontrak dengan kontrak lainnya, karena biasanya kontrak yang sederhana tidak banyak
dicantumkan hal-hal dalam bagian pendahuluan maupun penutupnya. Sedangkan bagian
isilah yang biasanya mengatur berbagai hal yang dikehendaki oleh para pihak, baik itu unsur
esensialia maupun unsur aksidentalia.[13]
Dalam suatu kontrak terdapat beberapa syarat. Banyaknya macam syarat yang
dicantumkan dalam pasal-pasal tentang persyaratan yang diinginkan beberapa pihak biasanya
sangat bergantung pada besarnya nilai ontrak atau rumitnya permasalahan pada kontrak
tersebut.[14] Akan tetapi, yang harus diingat bahwa unsur esensial dari kontrak tersebut harus
dicantumkan sedangkan unsur lainnya boleh juga tidak dimuat karena telah diatur oleh
undang undang.
Pada umumnya kontrak terbagi atas tiga bagian utama, yaitu bagian pendahuluan, bagian
isi, dan penutup.
1.    Bagian Pendahuluan
a.    Sub bagian pembuka (description of the instruments)
Sub bagian ini memuat beberapa hal, yaitu:
§  Sebutan atau nama kontrak dan peyebutan lainnya (penyingkatan yang akan dilakukan);
§  Tanggal dari kontrak yang dibuat dan ditandatangani; dan
§  Tempat dibuat dan ditandatanganinya konttak (catatan: tidak selalu ada).[15]
b.    Sub pencantuman identitas para pihak (caption)
Dalam sub bagian ini dicantumkan identitas para pihak yang mengikatkan diri dalam
kontrak dan siapa-siapa yang menandatangi kontrak. Ada tiga hal yang harus diperhatikan
tentang identitas para pihak, yaitu:
§  Para pihak harus disebutkan dengan jelas;
§  Orang yang menandatangani harus disebutkan kapasitasnya sebagai apa; dan
§  Pendefinisian pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak.[16]
c.    Sub bagian penjelasan

16
Pada sub bagian ini diberikan penjelasan mengapa para pihak mengadakan kontrak
(sering disebut sebagai premis, witnesseth, whereby, recitals, menerangkan terlebih dahulu,
dan lain-lain).[17]

2.    Bagian Isi
Pada bagian isi terdapat empat hal pengaturan, yaitu sebagai berikut.[18]
a.    Klausul definisi (definition)
Pada klausul ini biasaanya dicantumkan sebagai definisi untuk keperluan kontrak, di
mana definisi ini hanya berlaku pada kontrak tersebut dan dapat mempunyai arti khusus dari
pengertian umum. Klausul definisi dalam rangka mengefesienkan klausul-klausul selanjutnya
karena tidak perlu diadakan pengulangan.
b.    Klausul transaksi (operative language)
Klausul transaksi adalah klausul-klausul yang berisi tentang transaksi yang akan
dilakukan. Misalnya dalam jual beli aset, harus diatur tentang objek yang akan dibeli dan
pembayarannya. Demikian pula dengan suatu kontrak patungan, perlu diatur tentang
kesepakatan para pihak dalam kontrak tersebut.
c.    Klausul spesifik
Klausul spesifik mengatur hal-hal yang spesifik dalam suatu transaksi. Artinya, klausul
tersebut tidak terdapat dalam kontrak dengan transaksi yang berbeda.
d.   Klausul ketentuan umum
Klausul ketentuan umum adalah klausul yang seringkali dijumpai dalam berbagai
kontrak dagang maupun kontrak lainnya. Klausul ini antara lain mengatur tentang domisili
hukum, penyelesaian sengketa, pilihan hukum, pemberitahuan, keseluruhan dari perjanjian,
dan lain-lain.

3.    Bagian Penutup
Pada bagian penutup terdapat hal-hal berikut.[19]
a.     Sub bagian kata penutup (closing)
Kata penutup biasanya menerangkan bahwa perjanjian tersebut dibuat dan
ditandatangani oleh pihak-pihak yang memiliki kapasitas untuk itu. Atau para pihak
menyatakan ulang bahwa mereka akan terikat dengan isi kontrak.
b.    Sub bagian ruang penempatan tanda tangan

17
Sub bagian ini merupakan tempat di mana pihak-pihak menandatangani perjanjian
dengan menyebutkan nama pihak yang terlibat dalam kontrak, nama jelas “orang” yang
menandatangani dan jabatan dari orang yang menandatangani.
c.     Lampiran (apabila ada)
d.    Status lampiran
Lampiran selalu disebut sebagai sesuatu yang merupakan bagian tidak terpisahkan dalam
kontrak.

BAB III
PENUTUP

A.KESIMPULAN

1. Asas kebebasan berkontrak dapat mempengaruhi sahnya perjanjian dalam hal ini perjanjian
Kredit Pemilikan Rumah, jika terbukti adanya unsur penyalahgunaan keadaan/keunggulan di
mana pihak bank sebagai pihak ekonomi yang kuat memanfaatkan posisinya untuk menarik
keuntungan sebesar-besarnya dari nasabah, tidak sesuai dengan kemampuan nasabah itu
sendiri. Dalam hal perjanjian KPR sendiri asas kebebasan berkontrak sudah tercermin tetapi
dalam hal ini para pihak tidak sepenuhnya bebas karena ada hal yang masih dapat dibicarakan
dengan pihak bank sebagai ekonomi yang kuat dan ada hal yang tidak dapat dibicarakan.
Contohnya hal yang dapat dibicarakan oleh para pihak adalah bagian konsideran/identitas
para pihak saja, sedangkan bagian esensial seperti besarnya bunga dan waktu pelunasan
sudah ditentukan oleh pihak bank.

2. Hak-hak debitur dalam pembuatan perjanjian baku KPR sendiri sudah terlindungi karena
adanya pembatasan dalam pencantuman klausula baku yang terdapat dalam ketentuan pasal
18 ayat (1), (2), (3), dan ayat (4) Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Bank sebagai
kreditur dalam 56 praktek Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah memperhatikan isi pasal
tersebut.

B.SARAN

18
1. Sebaiknya perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dalam pembuatannya lebih dapat
memperhatikan unsur dari asas kebebasan berkontrak dan dapat memperhatikan kepentingan
konsumen yang tidak memahami banyak mengenai hukum. Sehingga bentuk perjanjian dapat
dibuat sesuai dengan kepentingan masing-masing pihak dan tidak memberatkan pihak
ekonomi yang lemah. Sebaiknya ada aturan yang memuat tentang ketentuan asas kebebsan
berkontrak dalam suatu perjanjian baku mengingat sering digunakannya perjanjian baku
dalam kehidupan sehari-hari.

2. Mengingat bentuk perjanjian kredit yang ada saat ini berupa perjanjian yang baku dan
ternyata masih banyak yang mengandung klausulaklausula yang secara tidak wajar sangat
memberatkan bagi debitur, maka hendaknya dalam pembuatan perjanjian kredit harus lebih
memperhatikan UU.

19
DAFTAR PUSTAKA

AK, Syahmin. 2006. Hukum Kontrak Internasional. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

HS, Salim, dkk. 2007. Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (MoU).


Jakarta: Sinar Grafika.

Hutagalu, Sophar Maru. 2013. Kontrak Bisnis di Asean: Pengaruh Sistem Hukum Common Law
dan Civil Law. Jakarta: Sinar Grafika.

Miru, Ahmadi. 2013. Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak.  Jakarta: Rajawali Pers.

Rajaguguk, Erman. 1994. Kontrak Dagang Internasional dalam Praktik di Indonesia. Jakarta:


Universita

20
BIODATA DIRI PEMAKALAH

Nama : Reky Syadewo

Jenis Kelamin :Laki - Laki

Tempat, tanggal lahir :Medan, 17 Juni 1999

Kewarganegaraan : Indonesia

Agama : Islam

Alamat lengkap : Jalan STM Gg syukur, Medan Amplas

Telepon : 083194316658

21

Anda mungkin juga menyukai