2. KUASA KHUSUS
Pasal 123 ayat (1) HIR/Pasal 147 ayat (1) RBG hanya mensyarat pokok saja yaitu, berbentuk tertulis atau
akta dan hanya berisi formulasi “memberi kuasa kepada seseorang untuk mewaki pemberi kuasa
menghadap di semua pengadilan”.
Mahkamah Agung menyempurnakan syarat dalam surat kuasa khusus di Pengadilan melalui Surat Edaran
Mahkamah Agung (“SEMA”), yaitu:
1. SEMA Nomor 2 Tahun 1959, tanggal 19 Januari 1959;
2. SEMA Nomor 5 Tahun 1962, tanggal 30 Juli 1962;
3. SEMA Nomor 01 Tahun 1971, tanggal 23 Januari 1971; dan
4. SEMA Nomor 6 Tahun 1994, tanggal 14 Oktober 1994.
Berdasarkan ke-4 SEMA tersebut diatas, maka secara garis besar syarat-syarat dan formulasi Surat Kuasa
Khusus adalah :
1) Menyebutkan dengan jelas dan spesifik surat kuasa, untuk berperan di pengadilan;
2) Menyebutkan kompetensi relatif, pada Pengadilan Negeri mana kuasa itu dipergunakan mewakili
kepentingan pemberi kuasa;
3) Menyebutkan identitas dan kedudukan para pihak (sebagai penggugat dan tergugat);
4) Menyebutkan secara ringkas dan konkret pokok dan obyek sengketa yang diperkarakan antara
pihak yang berperkara. Paling tidak, menyebutkan jenis masalah perkaranya.
Bentuk kuasa inilah yang menjadi landasan pemberian kuasa untuk bertindak di depan Pengadilan
mewakili kepentingan pemberi kuasa sebagai principal.
Contoh surat kuasa khusus lainnya, surat kuasa untuk menjual rumah.
3. KUASA ISTIMEWA
Surat kuasa ini dibuat ketika sesorang yang wajib melakukan sesuatu tidak dapat melakukan hal tersebut
karena sesuatu hal. Sehingga suatu tindakan yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang bersangkutan
secara pribadi dapat diwakilkan kepada kuasa.
Tentang lingkup tindakan berdasarkan surat kuasa ini yaitu;
Untuk memindahtangankan benda-benda milik pemberi kuasa atau untuk meletakkan hak
tanggugan di atas benda tersebut;
Untuk membuat perdamaian dengan pihak ketiga (Mediasi);
Untuk mengucapkan sumpah tertentu (Ikrar Talak)
Menurut R. Sosilo menafsirkan Pasal 123 HIR yang menyatakan surat kuasa istimewa hanya dapat
diberikan dalam bentuk surat yang sah yaitu surat kuasa dalam bentuk akta otentik (Notaris) atau di buat
dihadapan pejabat yang berwenang.
Misalnya : Panitera, Pejabat Perwakilan Indonesia (KBRI/KJRI/KDEI principal berada diluar negeri)
Dalam setiap beracara di Pengadilan maupun di lembaga-lembaga lain yang sifatnya mewakili, maka
setiap pihak yang mewakili salah satu pihak harus dapat menunjukkan keabsahannya dalam mewakili
tersebut. Keabsahan tersebut diwujudkan dalam suatu surat pelimpahan yang dikenal dengan sebutan
Surat Kuasa. Dilihat dari jenisnya Surat Kuasa terbagi kepada empat macam yaitu; Kuasa Umum, Kuasa
Khusus, Kuasa Istimewa dan Kuasa Perantara. Dalam Tulisam ini akan lebih fokus pada pembahasan
tentang Surat Kuasa Khusus (bijzondere schriftelijke machtiging ) yang dalam hal ini merupakan jenis
kuasa yang digunakan dalam beracara di Pengadilan.
Sehingga dapat disimpulkan Surat Kuasa Khusus terdiri dari 3 unsur yaitu;
1. Adanya Pemberi dan Penerima Kuasa.
Seperti kuasa pada umumnya, kuasa khusus adalah sebuah perikatan yang dibangun berdasarkan
adanua pemberi dan penerima, meskipun dalam hal ini para praktisi bersilang pendapat tentang
apakah kuasa khusus bersifat ikatan sepihak atau ikatan timbal balik. Mengenai hal ini akan
dibahas pada bagian tersendiri dalam tulisan ini.
2. Untuk dan atas Nama Pemberi Kuasa.
Bahwa tindakan yang dilakukan oleh penerima kuasa adalah semata-mata untuk kepentingan
pemberi kuasa dan akibat hukum yang timbul dari tindakan penerima kuasa mengikat terhadap
pemberi kuasa sepanjang penerima kuasa tidak melampaui batasan yang telah ditentukan.
3. Pada hal-hal atau tindakan yang terbatas pada apa yang tertulis atau dikuasakan.
Artinya bahwa tindakan yang boleh dilakukan oleh Penerima Kuasa adalah terbatas pada hal-hal
yang tertulis atau dikuasakan secara khusus, sehingga dalam hal ini surat kuasa harus secara
detail dan lengkap menyebut apa saja tindakan yang boleh dilakukan penerima kuasa untuk dan
atas nama pemberi kuasa.
Pasal 147 ayat (1) R.B.g menyebut syarat pokok yaitu kuasa khusus berbentuk tertulis atau jika Pihak
Materil hadir di muka sidang dapat memberikan kuasa melalui pernyataan lisan, Namun demikian pada
praktiknya pemberian kuasa secara lisan di hadapan sidang jarang dilakukan dan lebih banyak dihindari
mengingat bahwa hal tersebut dinilai kurang komprehensif dalam menjamin hak-hak kedua belah pihak
baik pemberi kuasa atau penerima kuasa.
Pada awalnya surat kuasa untuk beracara dapat dibuat secara sederhana sebagaimana disebut dalam Pasal
147 (1), Pasal 142 (1) dan pasal 144 (1) namun sejarah peradilan di Indonesia menganggap syarat
sederhana seperti itu kurang tepat. Maka disempurnakan dengan SEMA secara kronologis sbb:;
1. SEMA No 2 Tahun 1959, tanggal 19 Januari 1959
Dalam sema ini mensyaratkan surat kuasa khusus sbb:
Menyebutkan kompetensi relatif, di pengadilan mana kuasa itu digunakan
Menyebutkan identitas dan kedudukan para pihak
Menyebutkan secara ringkas dan kongkret pokok dan objek sengketa yang diperkarakan antara
pihak, paling tidak menyebut jenis perkara, seperti waris atau transaksi jual beli.
Selain itu tidak logis pula Pasal 1813 KUHPer diabaikan, selain karena sifat dan kekuatan hukum dari
pasal tersebut, kuasa juga bukan merupakan persetujuan bersifat dua arah atau timbal balik melainkan
hanya sepihak saja, sehingga jelas disebutkan bahwa pencabutan kuasa dapat dilakukan sepihak dari
pemberi kuasa. Hal ini sejalan Putusan MA-RI No.1060.K/Sip/1972, tanggal 14 Oktober 1975 yang
menyatakan: Meskipun dalam surat kuasa tanggal 3 Agustus 1969 ada kata-kata “Surat Kuasa penuh
yang tidak dapat ditarik kembali”, pembatalan surat Kuasa tersebut oleh pemberi kuasa dapat dibenarkan
menurut hukum, karena hal ini adalah hak daripada pemberi kuasa dan ternyata penerima kuasa telah
mengadakan penyimpangan dan pelanggaran terhadap Surat Kuasa ;
2. Surat Kuasa Dibuat Di Luar Negeri
Persyaratan pokok surat kuasa khusus yang dibuat di luar negeri sama yang dibuat di dalam negeri.
Sesuai asas lex fori yang dianut hukum perdata internasional dengan doktrin the law of forum yaitu
hukum acara yang berlaku tunduk kepada ketentuan pengadilan tempat gugatan diajukan atau diterima.
Selain syarat pokok sebagaimana diharuskan pasal 147 ayat (1) R.Bg. , SEMA No.1/1971 Jo. SEMA No.
6/1994 juga terdapat syarat tambahan yaitu harus dilegalisasi oleh KBRI atau KONJEN setempat.
Maksud dari legalisasi adalah kepastian hukum bagi pengadilan tentang kebenaran dan eksistensi surat
kuasa dan pemberi kuasa. Hal tersebut sesuai dengan Yurisprudensi Putusan MA No. 3038 K/Pdt/1981
tanggal 18 September 1986 yang menyatakan bahwa keabsahan surat kuasa yang dibuat di luar negeri
selain harus memenuhi persyaratan formil juga harus dilegalisir lebih dahulu oleh KBRI setempat.
Klausul ini dimaksudkan agar dalam membuat dokumen yang diajukan dihadapan sidang tidak
diharuskan ditandatangani oleh semua penerima Kuasa sebagaimana disebut dalam surat kuasa. Berkas
yang ditandatangani oleh sebagian penerima kuasa tetap sah dan merupakan tindakan yang dibenarkan
untuk dan atas nama pemberi kuasa .
5. Kuasa yang ditunjuk dalam surat gugatan
Berdasarkan pasal 147 (1) R.Bg mengatur bahwa Penggugat dalam gugatan itu dapat langsung
mencantumkan dan menunjuk kuasa yang dikehendakinya untuk mewakilinya dalam proses
pemeriksaan. Dalam praktik pencantuman dan penunjukan didasarkan atas surat kuasa khusus padahal
menurut hukum penunjukan kuasa dalam surat gugatan tidak memerlukan syarat adanya surat kuasa
khusus atau syarat formalitas lainnya.
Pendapat Yahya Harahap yang dikutip Hukum Online melalui komunikasi via telepon menerangkan pada
dasarnya surat kuasa memang perjanjian hukum sepihak, surat kuasa masuk kedalam ranah perjanjian
tertentu kalau seandainya dituangkan dalam kesepakatan juga bisa, penerapannya tidak terlalu kaku.
Dalam konteks perjanjian timbal-balik pasal 1299 KUHPer menyatakan bahwa pembatalan perjanjian
dalam hal salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban, harus dimintakan kepada Pengadilan.
Demikian pula Pasal 1814 KUHPer menyatakan Pemberi Kuasa dapat menarik kembali kuasanya
menakala itu dikehendakinya dan jika ada alasan untuk itu, memaksa si kuasa untuk mengembalikan
kuasa yang dipegang. Sehingga dari dua ketentuan diatas disimpulkan bahwa surat kuasa merupakan
perjanjian sepihak yang artinya tidak terdapat keharusan penerima kuasa untuk menandatangani surat
kuasa.
Dilain pihak, dalam praktik peradilan, surat kuasa memerlukan adanya tandatangan dari penerima kuasa.
Hal ini dinilai sebagai upaya untuk menjamin kepastian dan sebuah bukti bahwa penerima kuasa dalam
hal yang dikuasakan menerima dan bersedia menjalankan segala kewajiban yang tertuang dalam surat
kuasa dan untuk selanjutnya bahwa penerima kuasa juga mempunyai hak-hak sebagaimana dijamin oleh
ketentuan dalam Undang-Undang tentang Advokat. Konsep Surat Kuasa sendiri dalam KUHPer lebih
mendasarkan pada prinsip Lastgeving (perjanjian pemberian perintah) dimana pihak penerima
mengikatkan diri terhadap pihak lain yakni Pemberi Kuasa.
Biasanya hak ini digunakan jika dalam kuasa tersebut hanya ada satu pengacara, sehingga ketika si
pemegang kuasa berhalangan hadir dalam menjalankan tugasnya, ada orang lain yang dapat
menggantikannya.
Dasar hukum hak substitusi diatur dalam Pasal 1803 KUHPerdata, yang berbunyi:
“Penerima kuasa bertanggung jawab atas orang lain yang ditunjuknya sebagai penggantinya dalam
melaksanakan kuasanya:
1. Bila tidak diberikan kuasa untuk menunjuk orang lain sebagai penggantinya.
2. Bila kuasa itu diberikan tanpa menyebutkan orang tertentu sedangkan orang yang dipilihnya
ternyata orang yang tidak cakap atau tidak mampu. Pemberi kuasa senantiasa dianggap telah
memberi kuasa kepada penerima kuasanya untuk menunjuk seorang lain sebagai penggantinya
untuk mengurus barang-barang yang berada di luar wilayah Indonesia atau di luar pulau tempat
tinggal pemberi kuasa. Pemberi kuasa dalam segala hal, dapat secara langsung mengajukan
tuntutan kepada orang yang telah ditunjuk oleh penerima kuasa sebagai penggantinya.”
Surat Kuasa Khusus sebagai bukti formil penerima kuasa dari pemberi kuasa untuk beracara di
Pengadilan, syarat ketentuan foramlitasnya telah diatur dalam Pasal 147 (1) R.Bg dan SEMA yang
beberapa kali diterbitkan oleh Mahkamah Agung RI. Meski demikian masih terdapat penafsiran yang