Anda di halaman 1dari 16

TUGAS RANGKUMAN

Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah: Adminitrasi pengadilan
Dosen Pengampu: Sugali, S.H, M.H

Nama Kelompok:
Ati Latifah
Taufik Yahya
M. Nizar
FAKULTAS SYARI’AH
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
INSTITU AGAMA ISLAM CIREBON (IAIC) 2022
JL. TUPAREV NO.111 KEDAWUNG KOTA CIREBON

BAB I
ADMINISTRASI PERADILAN
A. Pendahuluan
Dalam berapa dekade terakhir, pembahasan mengenai administrasi peradilan semakin
meningkat dan menarik minat, baik para ilmuwan maupun para praktisi yang bekerja dalam
ruang lingkup lembaga peradilan, seperti hakim, administrator peradilan, lawyer, akademisi,
peneliti, dan berbagai profesi lain yang bersentuhan dengan proses peradilan. Meningkatnya
perhatian publik mengenai administrasi peradilan tidak lepas dari peran penting lembaga
peradilan di dalam sistem bernegara, terutama negara hukum seperti Indonesia di mana
lembaga peradilan menjadi salah satu pilar utama dalam memperkuat nilai-nilai yang sangat
fundamental dalam sistem demokrasi.
Selain itu, administrasi peradilan merupakan subjek yang sangat penting tidak hanya bagi
mereka yang terlibat dalam tugas mengelola keadilan, tetapi juga untuk masyarakat secara
luas. Sulit membayangkan masyarakat atau bangsa yang tidak menempatkan hukum dalam
menjalankan kehidupan bernegara dan berbangsa. Tanpa supremisi, akan tercipta anarki atau
despotisme.
Bahwa administrasi peradilan yang efektif tergantung secara kritis pada kerjasama yang
berhasil antara lembaga peradilan dan pihak yang bertanggung jawab atas administrasi
peradilan saat ini perhatian mengenai pentingnya kolaborasi yang efektif antara lembaga
peradilan dan organisasi yang memberikan dukungan administratif dalam menjalankan
kewenangan lembaga peradilan semakin meningkat. sebagai contoh the united nations office
of drugs and crime (UDNOCD), ya itu panduan sumber daya tentang penguatan integritas dan
kapasitas peradilan. Meskipun sebagian besar pembahasan tentang kompetensi peradilan dan
etika berfokus pada peran hakim, ada pengakuan yang semakin besar tentang pentingnya
peran administrator pengadilan. Administrator pendukung bidang non yudisial yang sering
menjadi bagian terbesar dari porsi pegawai peradilan, sangat penting untuk mengembangkan
setiap program reformasi yang bertujuan untuk memperkuat integritas dan kapasitas dari
sistem peradilan.
Salah satu fungsi paling penting dari posisi para administrator peradilan ini adalah fungsi
mereka sebagai garda terdepan dalam pelayanan publik dan sumber informasi bagi seluruh
pihak yang bersentuhan dengan sistem peradilan dan membutuhkan layanan peradilan.
Sebagai gerbang awal bagi masyarakat dalam mendapatkan layanan peradilan, posisi ini
membentuk kesan bagi warga terhadap sistem yang diterapkan dalam lembaga peradilan dan
sangat berpotensi membentuk kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan.
Pengelolaan dan kinerja lembaga peradilan sangat tergantung pada faktor-faktor struktural
dan kelembagaan yang mempengaruhinya sebagai bagian dari sistem yang lebih besar.
Selanjutnya, konsep administrasi dan manajemen sering digunakan secara bergantian
dalam literatur tentang organisasi, termasuk dalam organisasi peradilan. Namun, sebagaimana
yang akan penulis bahas dalam buku kajian ini, penulis akan mencoba menjelaskan mengenai
kedua konsep tersebut secara terpisah dalam bab masing-masing, dengan harapan pembaca
akan mengerti dan memahami mengenai perbedaan mendasar antara kedua konsep tersebut
terutama ketika kedua konsep tersebut diterapkan dalam konteks organisasi peradilan.
B. Organisasi dan sistem peradilan
Dalam buku ini organisasi peradilan mengacu pada struktur dasar dan kewenangan
peradilan yang memiliki pengaruh terhadap kinerja lembaga peradilan. Struktur tersebut
memiliki dimensi-dimensi tersendiri yang memiliki kekhasan, seperti artikulasi, kerjasama,
dan administrasi antara peradilan sebagai kesatuan unit sistem peradilan, dan antara peradilan
dengan lembaga-lembaga lainnya.
Sebagai contoh model peradilan ini ada di Amerika serikat. Selanjutnya contoh praktik
sistem peradilan dua cabang yaitu sistem hierarki ganda yang terdiri dari peradilan biasa dan
peradilan administrasi yang berada di Prancis, di mana masing-masing cabang hierarki
peradilan dipimpin oleh badan yudisial tertinggi dari masing-masing, yaitu coure casation dan
conseil d'etat. Model sistem peradilan ini telah diikuti oleh beberapa negara di Eropa dan
Amerika latin.
Sebagai contoh model peradilan ini ada di Amerika serikat. Selanjutnya contoh praktik
sistem peradilan dua cabang yaitu sistem hierarki ganda yang terdiri dari peradilan biasa dan
peradilan administrasi yang berada di Prancis, di mana masing-masing cabang hierarki
peradilan dipimpin oleh badan yudisial tertinggi dari masing-masing, yaitu coure casation dan
conseil d'etat. Model sistem peradilan ini telah diikuti oleh beberapa negara di Eropa dan
Amerika latin.
Salah satu masalah penting yang harus dipecahkan oleh model federal ini adalah sejauh
mana keputusan yang dibuat oleh pengadilan negara bagian dapat diajukan banding ke
pengadilan federal, karena selalu ada sejumlah tekanan untuk mengajukan banding otoritas
peradilan yang lebih tinggi.
Relatif sedikit kasus negara bagian yang dibawa ke pengadilan federal, sebagian karena
pengadilan negara bagian dan pengadilan tinggi federal sama-sama memiliki deskresi dalam
peninjauan keputusan pengadilan yang lebih rendah.
Aspek utama yang kedua dari lembaga peradilan adalah hubungan lembaga peradilan
dengan cabang-cabang pemerintah lainnya.
Seperti dijelaskan sebelumnya, kompleksitas hubungan internal dan eksternal lembaga
peradilan menghasilkan sejumlah problematika yang menarik, seperti artikulasi, koordinasi,
pembuatan dan implementasi kebijakan lembaga peradilan, serta masalah-masalah lain yang
terkait dengan kelebihan dan kekurangan dari sistem pengelolaan yang kompleks.
Administrasi lembaga peradilan memiliki aspek-aspek utama yang membedakan dengan
administrasi di organisasi lain serta yang membedakan dengan manajemen lembaga peradilan,
adapun aspek-aspeknya adalah:
1. Tata kelola sistem peradilan, ya itu definisi pedoman umum dan kebijakan organisasi.
2. Administrasi status kepegawaian bagi hakim dan pegawai lembaga peradilan.
3. Tata kelola tugas dan fungsi organisasi peradilan
4. Administrasi sumber daya lembaga peradilan, termasuk keputusan untuk dibentuknya
pengadilan baru atau untuk merasionalisasi yang sudah ada.
Administrasi dan tata kelola organisasi peradilan menjadi semakin otonom dan
terspesialisasi, dalam arti ada kecenderungan yang semakin besar untuk memberikan
kewenangan yang luas di tangan lembaga peradilan itu sendiri.
Sementara itu, dalam sistem administrasi lembaga peradilan yang menggunakan model
eksekutif, departemen dari cabang eksekutif pemerintah, biasanya oleh kementerian
kehakiman, memiliki kewenangan terkait tata kelola dan fungsi administrasi dari lembaga
peradilan. Sebagai contohnya di Inggris, di mana lord chancellor's departemen bertanggung
jawab atas semua fungsi tata kelola dan administrasi yang berkaitan dengan peradilan
termasuk pemilihan hakim.
Namun, mengingat saat ini ada kecenderungan ke arah otonomi yang lebih besar bagi
cabang kekuasaan yudikatif, model eksekutif dari sistem administrasi peradilan tampaknya
semakin tergantikan oleh model campuran, di mana fungsi tata kelola dan administrasi
peradilan didelegasikan dengan beragam variasi pendelegasian oleh kementerian kehakiman
dan lembaga peradilan itu sendiri.
Tidak ada kesimpulan secara umum yang dapat diambil untuk menentukan model mana
yang dianggap paling efisien, karena setiap model sangat bergantung pada faktor-faktor
politik dan kelembagaan tertentu yang berlaku di masing-masing negara. Namun dengan
demikian, saat ini fakta menunjukkan bahwa sistem administrasi peradilan telah menjadi
bidang khusus dan membutuhkan para profesional di bidangnya dalam mengelola urusan
tersebut, dan sebagian besar para profesional itu berasal dari jajaran lembaga peradilan itu
sendiri.
Berdasarkan pembahasan di atas dari para ahli, membuat kita sadar bahwa peradilan yang
independen dan administrasi lembaga peradilan yang otonom memiliki kelebihan dan
kekurangannya tersendiri dan ada konsekuensi tersendiri yang harus disadari oleh masyarakat
jika benar adanya bahwa independensi dan otonomi adalah nilai-nilai yang harus dijunjung
tinggi.
BAB II
MODEL ADMINISTRASI PERADILAN
Pada setiap Negara dengan tradisi hukum yang berbeda tentu memiliki model
adminitrasi peradilan yang berbeda, perbedaan tersebut dilatarbelakangi oleh banyak faktor,
seperti sejarah, sosial, politik, dasar hukum, kondisi ekonomi, dan banyak faktor lainnya yang
mempengaruhi dinamika perkembangan sebuah Negara. Akan tetapi, upaya penelitian dan
pencarian mengenai model-model administrasi peradilan yang efektif dan efesien dalam
menjalankan tugas dan kewenangan lembaga peradila terus dilaksanakan.
Dalam upaya mengeksplorasi dan membahas kecenderungan pemerintah dalam
memberikan otonomi administrative yang lebih besar ke lembaga peradilan, dalam kajian ini
dibahas dan dipaparkan tujuh model administrasi peradilan yang berbeda dan diterapkan pada
sejumlah lembaga peradilan di berbagai Negara. Dalam proyek penelitian ini, para peneliti
membahas dan mengevaluasi berbagai model-model administrasi peradilan yang pernah atau
sedang diterapkan pada berbagai Negara. Model-model tersebut mengacu pada kerangka kerja
organisasi yang menentukan cara pengambilan keputusan yang menentukan kebijakan
administrasi peradilan dan praktik teknisnya.
Salah satu isu penting yang dibahas adalah upaya pencarian cara terbaik untuk
menghindari negoisasi antara cabang kekuasaan eksekutif dan lembaga peradilan, memastikan
penyediaan layanan peradilan yang sesuai dan fasilitas lembaga peradilan yang memadai dan
meningkatkan akuntabilitas untuk penggunaan anggaran Negara dengan tetap menjaga
independen lembaga peradilan.
Adapun tujuan utama penelitian mengenai model-model alternatif administrasi peradilan ini
adalah:
1. Mengidentifikasi standar-standar kontrol administratif yang harus dimiliki lembaga
peradilan untuk memastikan standar independensi lembaga yudisial yang diperlukan.
2. Mengeksplorasi, mengembangkan, dan mengidentifikasi model-model administrasi
pengadilan yang merupakan alternatif dari model eksekutif yang sudah ada.
Sebelum penulis membahas mengenai model-model administrasi peradilan, akan dibahas
terlebih dahulu cakupan administrasi peradilan itu sendiri sekaligus akan membahas faktor-
faktor utama yang mempengaruhi efektivitas dan efesien sistem administrasi peradilan.
A. CAKUPAN ADMINISTRASI PERADILAN
Banyak ahli yang memiliki pandangan berbeda tentang definisi pengambilan keputusan
dalam administrasi pengadilan. Paling tidak dari pendapat-pendapat yang ada dapat dipahami
bahwa para ahli telah menekankan bidang-bidang utama tertentu terkait pengambilan
keputusan dalam administrasi peradilan.
Ada 5 elemen utama terkait efektivitas dan efesiensi administrasi peradilan:
a. Leadership & Direction
b. Organization, Partnerships & Responsibilities
c. Strategis, Tactic & Procedures
d. Human & Equipment Resources
e. Support System

Adapun penjelasan lebih rinci mengenai kelima elemen utama tersebut adalah:
a. Kepemimpinan dan Pengendalian
Kepemimpian yang jelas dan visioner adalah kunci untuk mengembangkan administrasi
pengadilan yang efektif dan efesien. Khususnya, kepemimpinan diperlukan untuk
mengembangkan komitmen semua pegawai sehingga dapat bekerja mencapai visi bersama
dan tujuan organisasi. Kepemimpinan dibutuhkan dalam memastikan pelaksanaan jenis
kegiatan manajemen perubahan lainnya yang diperlukan untuk memastikan terciptanya
lingkungan oragnisasi yang terus menerus berkembang sesuai lingkungan dan memiliki
budaya inovasi yang berkelanjutan.

b. Organisasi dan Tanggung Jawab


Dalam administrasi peradilan yang efektif, akuntabilitas dan tanggung jawab untuk semua
tugas utama peradilan akan secara jelas didefinisikan dan diberikan kepada unit kerja yang
sesuai.
c. Strategi dan Prosedur yang Efektif
Upaya yang berkelanjutan harus dilakukan dalam rangka memfasilitasi dan meningkatkan
langkah-langkah untuk memastikan bahwa seluruh unit kerja mampu memanfaatkan secara
optimal semua sumber daya yang tersedia dengan cara yang terbaik dalam upaya memberikan
layanan yang prima kepada masyarakat dan dalam rangka untuk mencapai tujuan organisasi.
d. Sumber Daya
Tingkat ketersediaan dan sumber daya yang memadai sangat penting untuk administrasi
peradilan yang efektif. Hal ini mencakup pengembangan staf pengadilan yang professional
melalui perekrutan yang tepat, pelatihan, pengawasan, dan pengembangan sistem serta
lingkungan yang mendukung kinerja yang positif.
e. Sistem Pendukung
Pekerjaan administrasi peradilan harus difasilitasi oleh manajemen yang efesien dan
sistem pendukung administratif, yang semuanya dirancang untuk mendukung proses
pengambilan keputusan di pengadilan.

Dalam mempertimbangkan bagaimana dan apakah lembaga peradilan dapat mengambil


manfaat dari model-model alternative pengambilan keputusan administratif, penting untuk
mempertimbangkan kelima elemen tersebut. Selanjutnya berikut ini dijelaskan model-model
administrasi peradilan.

B. MODEL-MODEL ADMINISTRASI PERADILAN


Dalam bagian ini akan membahas mengenai model-model administrasi peradilan dengan
berbagai alternative model dari model eksekutif yang biasanya merupakan model umum yang
diterapkan di berbagai Negara. Selain itu model ini juga dimaksudkan untuk membahas
permasalahan mengenai bagaimana organisasi dapat memperbaiki situasi sistem administrasi
saat ini dan lebih khusus lagi.
Adapun 7 model pengambilan keputusan dalam administrasi peadilan yang akan kita
bahas adalah sebagai berikut:
1. Model Eksekutif
2. Model Komisi Independen
3. Model Kemitraan
4. Model Pendampingan
5. Mode Otonomi Terbatas
6. Model Otonomi dan Komisi Terbatas
7. Model Peradilan
Dari keseluruhan model tersebut, akan dideskripsikan dan dibahas mengenai hubungan
antar lembaga peradilan dengan cabang-cabang kekuasaan Negara lain, yaitu cabang
kekusaan eskeskutif dan legislatif. Dan pada setiap model tersebut pola hubungan antara
lembaga peradilan dengan cabang kekuasaan lain tersebut juga memiliki karakteristik dan
implikasi yang berbeda terhadap sistem administrasi peradilan.
Pembahasan dan analisis masing-masing model tersebut didasarkan pada pendapat yang
beragam, baik dari pihak peradilan, lembaga eksekutif, serta peserta lain dalam penelitian
mengenai model administrasi peradilan ini. Harus ditekankan sekali lagi bahwa pembahasan
tentang preferensi model administrasi tertentu terjadi dengan latar belakang berbagai fungsi
utama administrasi peradilan yang dijelaskan pada bagian sebelumnya di atas.
Selanjutnya sebelum masuk pada pembahasan masing-masing model administrasi
peradilan, penting untuk dipahami bahwa model-model alternatif tersebut menggambarkan
peran yang sangat berbeda dari lembaga peradilan dan cabang pemerintahan lain dan model-
model alternatif tersebut memiliki kesamaan satu sama lain, tetapi sangat berbeda dengan
model yang sudah eksis saat ini dalam dua hal fundamental.
Pertama adalah terkait unit administrasi peradilan yang terpisah seluruhnya. Yang kedua,
ekspektasi yang jelas terkait administrasi pengadilan. Adapun penjelasan lebih rinci terkait
ketujuh model tersebut diilustrasikan dan dijelaskan pada bagian di bawah ini:

1. Model Eksekutif
Model ini mensyaratkan penugasan pengawasan fungsi administratif lembaga peradilan
sebagai kewenangan lembaga ekskutif. Menteri ditugaskan untuk mengelola administrasi
lembaga peradilan dan bertanggung jawab atas fungsi lembaga peradilan yang efesien dan
efektif. Selain itu menteri juga menjadi juru bicara peradilan mengenai alokasi dana dan
operasi lembaga peradilan.
2. Model Komisi Independen
Meskipun model “Komisi Independen” tidak meningkatkan keterlibatan yudisial dalam
pengambilan keputusan administratif, model ini memiliki perubahan mendasar dari model
eksekutif. Model komisi independen juga menunjukkan bahwa tidak harus ada trade off
langsung antara peradilan dan eksekutif. Pengurangan otoritas eksekutif atas lembaga
peradilan tidak perlu mengarah pada peningkatan pula dalam otoritas lembaga peradilan
terkait administrasi peradilan.
Untuk memudahkan dan sebagai referensi ada tiga variasi dari model komisi independen
tersebut yang dapat diidentifikasikan dari mandate penyelesaian sengketa yang dimiliki
komisi independen tersebut yaitu:
a. Kewenangan penyelesaian permasalahan administratif.
b. Kebijakan terbatas dan atau kewenangan operasional.
c. Komisi layanan adminisrasi.
3. Model Kemitraan
Pemikiran yang mendasari pembentukan model kemitraan adalah adanya gagasan untuk
memastikan adanya partisipasi lembaga peradilan dalam bidang administrasi lembaga
peradilan. Semakin dirasakannya penurunan kualitas proses penanganan perkara yang adil dan
pelaksanaan yang tidak efektif atas pengelolaan lembaga peradilan mendorong untuk
pencarian solusi baru.
Dalam praktiknya, model kemitraan sangat bervariasi dalam tingkat kewenangan control
terhadap administrasi lembaga peradilan dan tergantung pada komposisi dewan pimpinan,
adapun penjelasan variasi model kemitraan tersebut adalah sebagai berikut:
Model Kemitraan Terbatas
Model kemitraan ini biasanya cenderung lebih terbatas dan simbolis, dengan Ketua
Mahkamah Agung mewakili lembaga peradilan sebagai ex officio dalam dewan pertimbangan
bersama perwakilan pemerintah. Ketua Mahkamah Agung dapat bekerja dalam lembaga ini
bersama dengan berbagai peradilan, lembaga eksekutif, dan perwakilan dari organisasi lain.
Model Kemitraan yang Setara
Variasi lainnya dari model kemitraan adalah model kemitraan setara, di mana Ketua
Mahkamah Agung atau seorang hakim menduduki posisi pada dewan lembaga tersebut.
Model Supervisi Kemitraan
Sangat menarik untuk dijadikan contoh model supervise kemitraan adalah peran
kepemimpinan lembaga peradilan pada Badan Layanan Peradilan Irlandia dan keinginan
pemerintah di sana untuk melepaskan kewenangan dalam administrasi peradilan.
4. Model Pendampingan (Guardian Model)
Model keempat atau model pendampingan memberikan tanggung jawab utama untuk
perencanaan sehari-hari dan pelaksanaan tugas lembaga peradilan kepada lembaga eksekutif.
5. Model Otonomi Terbatas
Model ini mencerminkan tren yang muncul di Negara-negara di seluruh dunia untuk
memberikan wewenang dan tanggung jawab yang semakin besar pada lembaga peradilan
dalam urusan administrasi peradilan. Tren ini juga konsisten dengan perkembangan
instrument internasional yang semakin diterima oleh Negara-negara demokrasi di seluruh
duia.

6. Model Otonomi dan Komisi Terbatas


Model otonomi dan komisi terbatas yang diidentifikasikan di sini merupakan kombinasi
dari model otonomi terbatas, di mana lembaga peradilan bertanggung jawab atas administrasi
peradilan dan menerapkan standar pertanggungjawaban kepada public atas pelaksanaan
kewenangan tersebut, dengan model komisi independen di mana peradilan memiliki
kewenangan yang terbatas dalam penyelesaian masalah tertentu.
7. Model Peradilan
Model terakir yang diusulkan di sini adalah yang didasarkan pada kewenangan penuh
lembaga peradilan atas administrasi peradilan. Dengan model ini, lembaga peradilan tidak
hanya mengendalikan administrasinya sendiri, tetapi juga memiliki wewenang dan
kemampuan untuk menetapkan aturanya sendiri, merekrut dan memberhentikan pegawai
administratifnya sendiri serta menetapkan anggarannya sendiri.
C. Pertimbangan dalam Menentukan Model Administrasi Peradilan
Kriteria utama untuk memilih satu di antara berbagai model administrasi peradilan
sebagaimana yang dijelaskan di atas adalah apakah model tersebut dapat mewujudkan sistem
kerja yang lebih baik untuk mencapai tujuan dan sasaran administrasi peradilan.
Adapun kriteria-kriteria tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1. Inovasi atau perubahan dalam administrasi peradilan adalah fungsi dari kepercayaan
diri atau keyakinan organisasi dan kewenangan administrasi organisasi.
2. Keinginan untuk berinovasi atau berubah akan meningkat seiring dengan munculnya
keyakinan organisasi bahwa organisasi mampu melakukan inovasi dan mengendalikan
arah organisasi.
3. Sebagai hasilnya, inovasi dan perubahan di lembaga peradilan akan lebih mudah
diamati dalam sistem tersebut karena seiring waktu berjalan.

BAB IV
MANAJEMEN PERADILAN

A. Manajemen Peradilan
Perspektif manajemen yang diterapkan pada lembaga peradilan sebagai sebuah
organisasi terdiri dari seperangkat tugas dan aktifitas organisasi yang dirancang untuk
meningkatkan kuantitas dan kualitas penyediaan layanan peradilan.
Dalam pengertiannya yang paling sederhana, urusan manajemen itu menyangkut
persoalan “man, money, and material”, yaitu sumber daya manusia, sistem administrasi
keuangan, dan urusan sarana dan prasarana penunjang. Ketiganya dapat dibedakan dalam dua
urusan, yaitu administrasi yang langsung berhubungan dengan manajemen perkara, dan
administrasi yang berhubungan dengan kelembagaan organisasi lembaga hukum yang
bersangkutan. Dalam kaitan dengan lembaga peradilan, maka aspek administrasi dan
manajemen ini biasa dibedakan antara urusan kepaniteraan dan urusan kesekretariatan badan-
badan peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman.
Manajemen peradilan dapat dikatakan memiliki dua pengertian yang saling terkait: di
satu sisi, dan sesuai dengan konsep yang diusulkan di atas, umumnya mengacu pada kontrol
atau pengawasan perilaku dalam organisasi peradilan. Dalam istilah yang agak berbeda
manajemen peradilan mengacu pada suatu bentuk administrasi peradilan yang
terdesentralisasi karena masing-masing pengadilan harus melakukan tugas-tugas organisasi
dan administrasi internal yang tidak dapat diserahkan sepenuhnya kepada badan pusat untuk
melaksanakannya. Oleh karena itu, masalah utama dari manajemen lembaga peradilan terletak
pada keseimbangan yang tepat yang harus ditemukan antara administrasi terpusat dan
otonomi organisasi dan administrasi yang didesentralisasi yang harus dilakukan oleh setiap
pengadilan secara individual agar dapat menjalankan tugas dan fungsi secara optimal serta
menciptakan sistem koordinasi yang baik ada di antara kedua jenjang organisasi.
Selanjutnya, pengertian kedua mengenai manajemen lembaga peradilan yang lebih
spesifik terkait dengan konsep efisiensi dan efektivitas dalam konteks reformasi lembaga
peradilan dan kebijakan modernisasi yang pada dasarnya disebabkan karena adanya tuntutan
sosial dan ketidakpastian kondisi sosial. Dari sudut pandang ini, manajemen organisasi
peradilan mengalami banyak redefinisi yang terdiri dari: pembaruan sumber daya manusia
dan material; peningkatan struktur layanan dan metode kerja, pelaksanaan prosedur
penangananperkara yang baru; dan pengenalan prosedur manajemen dan evaluasi. Dengan
demikian, modalitas manajemen menjadi lebih sadar, lebih berorientasi pada tujuan, dan lebih
jelas capaiannya.
Dengan kata lain, ketika kebutuhan akan rasionalisasi dan modernisasi lembaga peradilan
menjadi masalah yang dirasakan penting oleh masyarakat dan adanya motivasi untuk
membuat kebijakan lembaga peradilan yang nyata, maka manajemen pengadilan dapat dilihat
sebagai suatu gerakan reformasi atau perubahan yang menarik dan berbeda untuk menjadi
dasar dalam melakukan penelitian mengenai lembaga peradilan.

B. Pengadilan sebagai sebuah organisasi layanan publik


Pengadilan dipandang sebagai organisasi yang menyediakan layanan publik. Layanan
utama lembaga peradilan adalah putusan perkara berdasarkan standar penanganan perkara
yang telah ditetapkan, dengan manajemen menjadi alat untuk mengelola sumber daya secara
rasional yang diperlukan dalam memberikan layanan kepada para pihak yang beperkara.
Perspektif layanan memiliki implikasi tertentu, yaitu berfokus pada aspek-aspek tertentu,
seperti adanya demand (permintaan), adanya biaya layanan tertentu sesuai dengan layanan
yang diberikan, kualitas yang berkaitan dengan biaya layanan, kebutuhan dan harapan klien,
dan sebagainya. Layanan layanan semacam itu juga dianggap disediakan dengan terus-
menerus adanya peningkatan.
Salah satu masalah yang sangat penting dalam upaya perbaikan sistem peradilan dan
penegakan hukum dan keadilan di Indonesia adalah masalah manajemen. Persoalan
manajemen ini biasanya kurang mendapat perhatian serius di kalangan sarjana hukum yang
mendominasi pengelolaan pelbagai lembaga-lembaga hukum di tanah air kita. Mulai dari
fungsi penyidikan, penuntutan, pembelaaan, pengadilan, sampai ke fungsi eksekusi dan
pemasyarakatan selalu didominasi oleh para sarjana hukum yang tidak begitu terlatih dalam
urusan administrasi dan manajemen. Karena itu, hampir semua lembaga-lembaga hukum di
tanah air kita menghadapi persoalan-persoalan administrasi dan manajemen yang kurang
responsif dan cenderung ketinggalan zaman dalam menghadapi perkembangan dalam
masyarakat yang menuntut akses keadilan (access to justice) yang lebih adil dan berkepastian
dan pelayanan hukum (legal services) yang lebih efisien dan terbuka.

C. Manajemen Perkara
Manajemen perkara, dimulai sejak pelaporan, pengaduan, ataupun pendaftaran pelayanan
hukum sampai ke tahap eksekusi putusan dan pemasyarakatan merupakan satu kesatuan
proses mulai dari terjadinya peristiwa hukum dalam masyarakat sampai terwujudnya keadaan
atau terpulihkannya kembali keadilan dalam masyarakat. Dalam proses itu diperlukan adanya
jaminan bahwa:

(i) Prosesnya berlangsung tepat dalam menjamin keadilan (justice) dan kepastian hukum
(legal certainty);
(i) Prosesnya berlangsung efisien, cepat dan tidak membebani para pihak di luar
kemampuannya;
(ii) menurut aturan hukumnya sendiri, yaitu berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku sejak sebelum perkara itu sendiri terjadi;
(iii) Secara independen tanpa campur tangan atau dipengaruhi oleh kepentingan-
kepentingan politik dan ekonomi dari pihak-pihak lain atau kepentingan salah satu pihak
dengan merugikan pihak yang lain; dan
(iv) Secara akuntabel dan transparan sehingga hasilnya dapat dipercaya oleh para pihak
dan masyarakat pada umumnya.

Untuk mengharapkan adanya perbaikan di lembaga peradilan, kelima hal itu sangat
penting untuk diperhatikan. Para pencari keadilan (justice seekers) harus dibuat yakin dan
percaya bahwa proses yang ia tempuh akan menghasilkan keadilan yang pasti dan kepastian
yang adil. Prosesnya cepat dan efisien, sehingga tidak membebani atau yang hanya dapat
dijangkau oleh mereka yang mampu. Misalnya, jika sesuatu persoalan dapat diselesaikan
dalam waktu hanya 1 hari, mengapa mesti dtunggu sampai 1 minggu, 1 bulan, atau bahkan 1
tahun. Proses peradilan berjalan independen, sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, tidak diintervensi untuk kepentingan politik atau ekonomi oleh pihak manapun
secara tidak adil. Kecuali untuk hal-hal yang wajib dirahasiakan, maka keseluruhan proses
menuju keadilan itu haruslah terbuka sehingga dapat dikontrol oleh masyarakat dan para
pihak yang berperkara. Untuk mewujudkan keenam hal tersebut dalam praktik, ada beberapa
faktor menentukan yang perlu mendapat perhatian, yaitu:

(a) Faktor Substansi Aturannya


Dalam hal ini yang paling menentukan adalah hukum acara yang diterapkan dalam
proses, baik peradilan pidana, perdata, tatausaha negara, peradilan agama, maupun peradilan
konstitusi (tata negara), perlu disempurnakan sesuai dengan kebutuhan zaman;
(b) Faktor Sumber Daya Manusia
Baik panitera maupun petugas administrasi pada umumnya perlu terus menerus
mengikuti perkembangan zaman, sehingga dapat bekerja efisien dan produktif. Demikian pula
para hakim, dari waktu ke waktu harus pula terus menerus memutakhirkan diri dengan
pengetahuan-pengetahuan baru tentang hukum dan peraturan perundang-undangan yang
berkembang sangat dinamis.
(c) Faktor Sistem Informasi dan Komunikasi Hukum
Oleh karena dunia hukum dewasa ini sudah berkembang semakin kompleks, maka
teknologi informasi dan komunikasi (ICT) tidak dapat tidak harus dimanfaatkan dengan
sebaik-baiknya dalam mengembangkan sistem administrasi dan manajemen, baik manajemen
peradilan maupun manajemen kelembagaan.
(d) Faktor Dukungan Sarana dan Prasarana serta Anggaran
Cara kerja peradilan harus dilngekapi dengan pelbagai sarana dan prasarana yang
memadai. Prasarana bangunan, ruang persidangan, perlengkapan teknologi, sistem renumerasi
dan fasilitas kesejahteraan yang memadai sangat diperlukan untuk menjamin kualitas dan
produktifitas kerja peradilan.
(e) Faktor Kepemimpinan
Yang sering diabaikan adalah pentingnya peran kepemimpinan dalam menyukseskan
agenda perbaikan sistem dan iklim kerja di lembaga hukum. Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris
dan Panitera sangat menentukan berhasil tidaknya upaya-upaya perbaikan sistemik.
D. Masalah Penumpukan Perkara
Administrasi personalia perlu diperbaiki dengan didukung oleh data dasar yang memadai.
Harus dicegah jangan sampai masih ada pengadilan di suatu daerah yang kekurangan jumlah
hakim karena jumlah perkaranya sangat banyak, sedangkan di daerah lain ada pengadilan
yang jumlah hakimnya banyak menganggung karena perkaranya sangat sedikit. Pola distribusi
hakim yang tidak didasarkan atas data dasar yang benar, tentu dapat menyebabkan hal-hal
semacam itu.
Demikian pula dari segi kualitas dan proporsionalitas bidang keahlian para hakim yang
harus memeriksa perkara. Harus dicegah jangan sampai hakim dengan keahlian berbeda harus
menangani perkara yang menuntut keahlian yang khusus. Di samping itu, perkembangan
pengetahuan hakim akan dinamika hukum dan peraturan perundang-undangan juga sangat
penting, sehingga kegiatan pendidikan bagi para hakim mutlak dlakukan secara bertahap dan
terus menerus.
Sebaiknya, di setiap pengadilan, dapat pula diupayakan agar terbentuk suatu kultur dan
iklim kerja intelektual yang mendorong semangat dan kegairahan belajar serta kegemaran
membaca, mencari informasi pengetahuan, dan berdiskusi yang intensif di kalangan para
hakim. Dengan demikian, kualitas para hakim dapat terus menerus mengikati perkembangan
hukum dalam teori dan praktik, yang justru sangat diperlukan dalam menyelesaikan pelbagai
perkara yang dihadapi.
BAB 5
PRINSIP PRINSIP TATA KELOLA PERADILAN

Berdasarkan penjelasan Rhodes di atas mengenai penggunaan istilah governance,


diketahui bahwa dari enam definisi yang terkait dengan governance memiliki titik berat atau
kecenderung pada penerapan paradigma new public management, fungsi-fungsi manajemen
modern dalam sektor publik, seperti networking, socio cybernetic system, dan juga terkait
dengan good governance yang merupakan perpaduan antara paradigma new public
management dengan demokrasi liberal. Terdapat pandangan bahwa apabila sebuah organisasi
publik ingin berjalan secara efektif, efisien, dan dapat memberikan layanan publik yang
optimal, organisasi publik seyogianya mengadopsi prinsip dan model kerja sebagaimana yang
diterapkan dalam organisasi swasta, seperti menggunakan mekanisme pasar, nilai kompetisi,
sistem kontrak, privatisasi, lebih mementingkan hasil ketimbang prosedur, dan beberapa hal
lain yang biasa diterapkan dalam sistem manajemen organisasi privat.
Rhodes juga membuat daftar mengenai enam pendekatan dalam governance, termasuk
di dalamnya tipe lain dari hubungan lebih dari sekadar network relations,yang dinamakan
sebagai hubungan hierarkis dan hubungan bergaya pasar. Penggunaan terminologi
‘government’ mengacu pada institusi formal dari suatu negara dan sistem monopoli terhadap
kekuasaan yang dapat memaksa.
Lebih khusus lagi government dipahami sebagai proses formal dan institusional yang
berlangsung pada tingkatan negara dalam mengelola tatanan masyarakat dan melaksanakan
kegiatan kolektif. Akan tetapi, dalam perkembangannya di sistem pemerintahan ada perbaikan
penggunaan istilah governance yang menekankan arti penting dari istilah tersebut.
Elemen-elemen Good Governance setelah membahas mengenai beberapa definisi
mengenai good governance perlu kiranya dalam bagian ini untuk mendiskusikan mengenai
elemen-elemen dari good governance atau faktor atau parameter untuk meningkatkan
pemahaman tentang konsep good governance.
Penjelasan dari seperangkat indikator World Bank tersebut terkait public sector
governance meliputi 212 negara diakui sebagai instrumen pengukuran yang efektif di seluruh
dunia. Termasuk kekerasan yang dimotivasi secara politik dan terorisme. Efektivitas
pemerintahan, mengukur persepsi mengenai kualitas masyarakat, kualitas pegawai negeri dan
tingkatan kemerdekaan dari tekanan politik, kualitas dari formulasi kebijakan dan
pelaksanaannya, dan kredibilitas dari pemerintah terhadap sejumlah kebijakan. Kualitas
regulasi, mengukur persepsi mengenai kemampuan pemerintah untuk memformulasikan, dan
melaksanakan sejumlah kebijakan dan regulasi yang memungkinkan, serta mendukung
pembangunan sektor privat.
Aturan hukum, mengukur persepsi pada tingkatan mana agen-agen percaya diri dan
mematuhi aturan masyarakat,dan secara lebih khusus kualitas pelaksanaan kontrak, hak
kekayaan intelektual, dan kebijakan, serta peradilan yang independen, dan juga kemungkinan
terjadinya kriminalitas dan kekerasan. Mengontrol korupsi, mengukur persepsi mengenai pada
tingkatan mana kekuatan publik dilaksanakan untuk tujuan pribadi, termasuk di dalamnya
uang dan bentuk lain dari korupsi, dan juga penguasaan.negara oleh sejumlah elite dan
kepentingan swasta. Kemudian, UNDP mengidentifikasi sembilan karakteristik utama yang
dapat mengukur tingkat good governance.
Contohnya partisipasi yang luas dibangun atas dasar kebebasan berkumpul dan
berpendapat, dan juga kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif.
Paling tepat, dan prosedur apa yang akan dipilih. Akuntabilitas ini berbeda tergantung
pada organisasi dan apakah keputusan merupakan bagian dari internal atau eksternal
organisasi. Di sana juga terdapat pemahaman mengenai sejarah, budaya, dan kompleksitas
sosial di mana suatu perspektif didasarkan.
United Nation Center for Human Settlements mengidentifikasi baik yang berasal dari
politisi maupun dari PNS. Fungsi politisi dan PNS seyogianya melayani komunitas dalam
skala yang luas. Hal ini bukan hanya terkait penyajian informasi secara sederhana, akan tetapi
informasi yang disediakan seyogianya dapat dipercaya, dan dapat memberi manfaat serta
dapat dimengerti dalam rangka menjaga akuntabilitas. Setiap masyarakat, baik di negara maju
maupun berkembang membutuhkan institusi atau lembaga yang dapat menyelesaikan
perselisihan antara pihak yang berselisih, yaitu lembaga peradilan.
Sistem administrasi di lembaga peradilan memiliki bentuk yang berbeda dengan
sistem di lembaga lain. Proses legislasi, pelaksanaan, dan penanganan dikendalikan oleh
otoritas yang berdaulat, yaitu penguasa, raja, atau pimpinan adat. Tempat tinggal yang lebih
luas, kebutuhan akan diferensiasi dan desentralisasi kewenangan tidak dapat dihindari. 294
bagian dari kondisi perkembangan ini dapat juga ditemukan di lingkungan religius, dan
sebagian lain ada dalam perubahan yang terjadi di dunia sekuler.
Hanya sedikit ahli yang fokus dalam proses ini dan di antaranya ahli yang memiliki
minat besar dalam bidang ini adalah Max Weber. Weber, bagaimanapun juga sensitif terhadap
ketegangan yang muncul di dalam proses tersebut. Weber menekankan bahwa proses ini
terkait pengumpulan dan merasionalisasi secara logis semua peraturan yang sah secara hukum
dan membentuk seperangkat proposisi hukum yang konsisten secara internal. Hal ini
merefleksikan keyakinan bahwa manusia bertindak dengan nilai-nilai tertentu di dalam
pikirannya, terlepas apakah manusia bersifat utilitarian dan terlepas dari asal Pembahasan
singkat ke dalam sejarah tradisi hukum Barat dibuat dengan maksud untuk melakukan
beberapa pengamatan penting mengenai isu yang dianalisis berkaitan dengan good
governance.
Ketiga, dunia Barat memperluas pengaruhnya di seluruh dunia selama era
imperialisme pada abad ke-19 dan abad ke 20, di mana situasi yang dihadapi saat itu adalah
terjadinya benturan dengan peraturan lama. Selanjutnya, warisan yang ditinggalkan pada
negara berkembang saat ini sangat beragam. Terdapat pengadilan «modern» dan pengadilan
«adat», baik kelembagaan formal maupun informal yang berkaitan dengan dispensasi
keadilan. Budaya hukum yang berkembang di masyarakat sebagai hasil arbitrase dalam arti
yang lebih luas penting untuk mengetahui bagaimana penerimaan masyarakat tidak hanya
dalam sistem hukum, tetapi lebih luas lagi dalam sistem politik.
Selanjutnya, dalam bagian ini penulis akan berfokus pada dua rangkaian isu yang
dominan dalam literatur yang berkaitan dengan governance pada lembaga peradilan. Kedua,
berkaitan dengan aturan hukum atau model hukum mana yang dianggap paling ideal.
Kemudian, meskipun transplantasi hukum, seperti yang dikatakan di atas, telah menjadi ciri
permanen sejarah dunia, 298 gagasan bahwa aturan hukum penting bagi pembangunan suatu
negara menjadi perhatian khusus pada tahun 1960-an, ketika pembangunan dianggap secara
meluas sebagai proses meniru kesuksesan dari masyarakat Barat. Didorong oleh kekuatan
intelektual ilmuwan Amerika Serikat pada saat itu, seperti Paul, Diaz, dan Seidman, mereka
kemudian membentuk kembali silabus pendidikan hukum dan peran pengacara di masyarakat
yang menjadi prioritas upaya saat itu.
Fakta lainnya terkait aturan hukum dan model hukum adalah adanya kenyataan bahwa
untuk mencapai transformasi sistem hukum pada negara berkembang yang baru merdeka dan
negara berkembang lainnya, bagaimanapun, terbukti lebih sulit dilakukan daripada
perkiraannya. Dua anggota lain dari kelompok «Hukum dan Pembangunan», yaitu Trubek dan
Galanter berpendapat bahwa usaha keduanya sedikit sia-sia karena kesalahpahaman mengenai
gagasan bahwa model Amerika, yang disebut sebagai legalisme liberal, dapat diterapkan dan
berakar di negara berkembang. Pertama-tama karena adanya redistribusi sumber daya untuk
orang miskin, dan kemudian saat memberikan insentif untuk partisipasi yang lebih besar di
pasar. Bukti nyata lainnya menunjukkan bahwa pelanggaran hukum dan institusi hukum yang
lemah telah berdampak negatif terhadap kemajuan ekonomi dan sosial.
Baru kemudian pada tahun 1990-an, dengan penekanan baru pada demokrasi dan good
governance, isu yang berkaitan dengan peran hukum dalam pembangunan hidup kembali.
Selanjutnya, antara good governance dan sistem hukum jelas saling terkait di mana tanpa
sebuah keadilan dan peradilan yang efektif berdasarkan peraturan undang-undang, seseorang
hampir tidak dapat membayangkan terwujudnya good governance.
Prinsip good governance
Suatu good governance tidak akan berjalan dengan baik, jika tidak memenuhi prinsip-
prinsip good governance, antara lain:
1. Partisipasi
Semua masyarakat dari berbagai kalangan, harus ikut ambil bagian dan berpartisipasi
dalam penyampaian pendapat. Contohnya pemilu yang aman dan demokratis.
2. Kepastian hukum
Good governance tentunya berjalan lancar dengan dukungan pihak aparatur negara
yang mampu menegakkan hukum secara adil.
3. Transparansi
Akses data dan informasi publik bisa diperoleh dengan mudah dan transparan.
4. Tanggung jawab
Setiap warga negara berhak dan berkesempatan mendapatkan kehidupan yang layak.
5. Orientasi pada kesepakatan
Pemerintah peka pada pendapat dan aspirasi masyarakatnya.
6. Visi strategis
Good governance juga berpegang pada prinsip pembangunan daerah yang berwawasan
masa depan yang jelas.
7. Tanggung jawab
Pemerintah bertanggung jawab sebagai pelaksana kebijakan dan fokus pada
kepentingan masyarakat luas.
8. Pengawasan
Pemerintah bertindak sebagai pengawas bersama berbagai pihak swasta, maupun
masyarakat umum dalam penyelenggaraan kebijakan.
9. Efektif dan efisien
Pemerintah menjadi pelayan bagi masyarakat dengan memaksimalkan sumber daya
yang ada secara bijak dan bertanggung jawab.
Ciri-ciri good governance
Apakah suatu pemerintahan sudah bisa dikategorikan good governance atau belum? Coba
temukan ciri-ciri berikut:
 Good governance mampu memanfaatkan sumber daya secara efektif dan efisien sesuai
kebutuhan masyarakat
 Good governance mampu memenuhi rasa keadilan dan kesetaraan masyarakat
 Good governance mampu menyediakan informasi secara transparan
 Good governance siap menerima keluhan, kritik, serta saran terbuka dari masyarakat
dan siap menindaklanjutinya
 Penerapan good governance mengacu pada wawasan masa depan
 Memprioritaskan perhatian kepada masyarakat lapisan bawah yang paling
membutuhkan
 Manfaat good governance
 Ternyata, ada banyak manfaat dari good governance. Pemerintahan yang baik,
tentunya akan membuat masyarakat merasa makmur, tenteram, dan bahagia karena
segala kebutuhannya telah terpenuhi dengan baik.
 Berikut adalah beberapa manfaat lain dari good governance:
 Munculnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah
 Warga negara lebih giat dan aktif mengikuti setiap kegiatan politik
 Kegiatan administrasi negara berlangsung lebih transparan dan kredibel
 Sistem keuangan menjadi lebih akuntabel dan jauh dari kecurangan seperti korupsi
 Meningkatkan nilai moral masyarakat dan saling menjaga keamanan di tengah
masyarakat
 Penegakan hukum di setiap lapisan menjadi lebih terjamin
 Tidak ada tindakan yang bersifat diskriminatif terhadap masyarakat kelas bawah
 Pemerintah mampu mengelola kebijakan dengan baik, sehingga masyarakat lebih
sejahtera dan makmur .
 Sistem pemerintahan menjadi lebih bersih, efisien, dan efektif
 Berbagai aspek kehidupan negara seperti politik, ekonomi, sosial, dan budaya dapat
berjalan harmonis.

Anda mungkin juga menyukai