Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah: Adminitrasi pengadilan
Dosen Pengampu: Sugali, S.H, M.H
Nama Kelompok:
Ati Latifah
Taufik Yahya
M. Nizar
FAKULTAS SYARI’AH
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
INSTITU AGAMA ISLAM CIREBON (IAIC) 2022
JL. TUPAREV NO.111 KEDAWUNG KOTA CIREBON
BAB I
ADMINISTRASI PERADILAN
A. Pendahuluan
Dalam berapa dekade terakhir, pembahasan mengenai administrasi peradilan semakin
meningkat dan menarik minat, baik para ilmuwan maupun para praktisi yang bekerja dalam
ruang lingkup lembaga peradilan, seperti hakim, administrator peradilan, lawyer, akademisi,
peneliti, dan berbagai profesi lain yang bersentuhan dengan proses peradilan. Meningkatnya
perhatian publik mengenai administrasi peradilan tidak lepas dari peran penting lembaga
peradilan di dalam sistem bernegara, terutama negara hukum seperti Indonesia di mana
lembaga peradilan menjadi salah satu pilar utama dalam memperkuat nilai-nilai yang sangat
fundamental dalam sistem demokrasi.
Selain itu, administrasi peradilan merupakan subjek yang sangat penting tidak hanya bagi
mereka yang terlibat dalam tugas mengelola keadilan, tetapi juga untuk masyarakat secara
luas. Sulit membayangkan masyarakat atau bangsa yang tidak menempatkan hukum dalam
menjalankan kehidupan bernegara dan berbangsa. Tanpa supremisi, akan tercipta anarki atau
despotisme.
Bahwa administrasi peradilan yang efektif tergantung secara kritis pada kerjasama yang
berhasil antara lembaga peradilan dan pihak yang bertanggung jawab atas administrasi
peradilan saat ini perhatian mengenai pentingnya kolaborasi yang efektif antara lembaga
peradilan dan organisasi yang memberikan dukungan administratif dalam menjalankan
kewenangan lembaga peradilan semakin meningkat. sebagai contoh the united nations office
of drugs and crime (UDNOCD), ya itu panduan sumber daya tentang penguatan integritas dan
kapasitas peradilan. Meskipun sebagian besar pembahasan tentang kompetensi peradilan dan
etika berfokus pada peran hakim, ada pengakuan yang semakin besar tentang pentingnya
peran administrator pengadilan. Administrator pendukung bidang non yudisial yang sering
menjadi bagian terbesar dari porsi pegawai peradilan, sangat penting untuk mengembangkan
setiap program reformasi yang bertujuan untuk memperkuat integritas dan kapasitas dari
sistem peradilan.
Salah satu fungsi paling penting dari posisi para administrator peradilan ini adalah fungsi
mereka sebagai garda terdepan dalam pelayanan publik dan sumber informasi bagi seluruh
pihak yang bersentuhan dengan sistem peradilan dan membutuhkan layanan peradilan.
Sebagai gerbang awal bagi masyarakat dalam mendapatkan layanan peradilan, posisi ini
membentuk kesan bagi warga terhadap sistem yang diterapkan dalam lembaga peradilan dan
sangat berpotensi membentuk kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan.
Pengelolaan dan kinerja lembaga peradilan sangat tergantung pada faktor-faktor struktural
dan kelembagaan yang mempengaruhinya sebagai bagian dari sistem yang lebih besar.
Selanjutnya, konsep administrasi dan manajemen sering digunakan secara bergantian
dalam literatur tentang organisasi, termasuk dalam organisasi peradilan. Namun, sebagaimana
yang akan penulis bahas dalam buku kajian ini, penulis akan mencoba menjelaskan mengenai
kedua konsep tersebut secara terpisah dalam bab masing-masing, dengan harapan pembaca
akan mengerti dan memahami mengenai perbedaan mendasar antara kedua konsep tersebut
terutama ketika kedua konsep tersebut diterapkan dalam konteks organisasi peradilan.
B. Organisasi dan sistem peradilan
Dalam buku ini organisasi peradilan mengacu pada struktur dasar dan kewenangan
peradilan yang memiliki pengaruh terhadap kinerja lembaga peradilan. Struktur tersebut
memiliki dimensi-dimensi tersendiri yang memiliki kekhasan, seperti artikulasi, kerjasama,
dan administrasi antara peradilan sebagai kesatuan unit sistem peradilan, dan antara peradilan
dengan lembaga-lembaga lainnya.
Sebagai contoh model peradilan ini ada di Amerika serikat. Selanjutnya contoh praktik
sistem peradilan dua cabang yaitu sistem hierarki ganda yang terdiri dari peradilan biasa dan
peradilan administrasi yang berada di Prancis, di mana masing-masing cabang hierarki
peradilan dipimpin oleh badan yudisial tertinggi dari masing-masing, yaitu coure casation dan
conseil d'etat. Model sistem peradilan ini telah diikuti oleh beberapa negara di Eropa dan
Amerika latin.
Sebagai contoh model peradilan ini ada di Amerika serikat. Selanjutnya contoh praktik
sistem peradilan dua cabang yaitu sistem hierarki ganda yang terdiri dari peradilan biasa dan
peradilan administrasi yang berada di Prancis, di mana masing-masing cabang hierarki
peradilan dipimpin oleh badan yudisial tertinggi dari masing-masing, yaitu coure casation dan
conseil d'etat. Model sistem peradilan ini telah diikuti oleh beberapa negara di Eropa dan
Amerika latin.
Salah satu masalah penting yang harus dipecahkan oleh model federal ini adalah sejauh
mana keputusan yang dibuat oleh pengadilan negara bagian dapat diajukan banding ke
pengadilan federal, karena selalu ada sejumlah tekanan untuk mengajukan banding otoritas
peradilan yang lebih tinggi.
Relatif sedikit kasus negara bagian yang dibawa ke pengadilan federal, sebagian karena
pengadilan negara bagian dan pengadilan tinggi federal sama-sama memiliki deskresi dalam
peninjauan keputusan pengadilan yang lebih rendah.
Aspek utama yang kedua dari lembaga peradilan adalah hubungan lembaga peradilan
dengan cabang-cabang pemerintah lainnya.
Seperti dijelaskan sebelumnya, kompleksitas hubungan internal dan eksternal lembaga
peradilan menghasilkan sejumlah problematika yang menarik, seperti artikulasi, koordinasi,
pembuatan dan implementasi kebijakan lembaga peradilan, serta masalah-masalah lain yang
terkait dengan kelebihan dan kekurangan dari sistem pengelolaan yang kompleks.
Administrasi lembaga peradilan memiliki aspek-aspek utama yang membedakan dengan
administrasi di organisasi lain serta yang membedakan dengan manajemen lembaga peradilan,
adapun aspek-aspeknya adalah:
1. Tata kelola sistem peradilan, ya itu definisi pedoman umum dan kebijakan organisasi.
2. Administrasi status kepegawaian bagi hakim dan pegawai lembaga peradilan.
3. Tata kelola tugas dan fungsi organisasi peradilan
4. Administrasi sumber daya lembaga peradilan, termasuk keputusan untuk dibentuknya
pengadilan baru atau untuk merasionalisasi yang sudah ada.
Administrasi dan tata kelola organisasi peradilan menjadi semakin otonom dan
terspesialisasi, dalam arti ada kecenderungan yang semakin besar untuk memberikan
kewenangan yang luas di tangan lembaga peradilan itu sendiri.
Sementara itu, dalam sistem administrasi lembaga peradilan yang menggunakan model
eksekutif, departemen dari cabang eksekutif pemerintah, biasanya oleh kementerian
kehakiman, memiliki kewenangan terkait tata kelola dan fungsi administrasi dari lembaga
peradilan. Sebagai contohnya di Inggris, di mana lord chancellor's departemen bertanggung
jawab atas semua fungsi tata kelola dan administrasi yang berkaitan dengan peradilan
termasuk pemilihan hakim.
Namun, mengingat saat ini ada kecenderungan ke arah otonomi yang lebih besar bagi
cabang kekuasaan yudikatif, model eksekutif dari sistem administrasi peradilan tampaknya
semakin tergantikan oleh model campuran, di mana fungsi tata kelola dan administrasi
peradilan didelegasikan dengan beragam variasi pendelegasian oleh kementerian kehakiman
dan lembaga peradilan itu sendiri.
Tidak ada kesimpulan secara umum yang dapat diambil untuk menentukan model mana
yang dianggap paling efisien, karena setiap model sangat bergantung pada faktor-faktor
politik dan kelembagaan tertentu yang berlaku di masing-masing negara. Namun dengan
demikian, saat ini fakta menunjukkan bahwa sistem administrasi peradilan telah menjadi
bidang khusus dan membutuhkan para profesional di bidangnya dalam mengelola urusan
tersebut, dan sebagian besar para profesional itu berasal dari jajaran lembaga peradilan itu
sendiri.
Berdasarkan pembahasan di atas dari para ahli, membuat kita sadar bahwa peradilan yang
independen dan administrasi lembaga peradilan yang otonom memiliki kelebihan dan
kekurangannya tersendiri dan ada konsekuensi tersendiri yang harus disadari oleh masyarakat
jika benar adanya bahwa independensi dan otonomi adalah nilai-nilai yang harus dijunjung
tinggi.
BAB II
MODEL ADMINISTRASI PERADILAN
Pada setiap Negara dengan tradisi hukum yang berbeda tentu memiliki model
adminitrasi peradilan yang berbeda, perbedaan tersebut dilatarbelakangi oleh banyak faktor,
seperti sejarah, sosial, politik, dasar hukum, kondisi ekonomi, dan banyak faktor lainnya yang
mempengaruhi dinamika perkembangan sebuah Negara. Akan tetapi, upaya penelitian dan
pencarian mengenai model-model administrasi peradilan yang efektif dan efesien dalam
menjalankan tugas dan kewenangan lembaga peradila terus dilaksanakan.
Dalam upaya mengeksplorasi dan membahas kecenderungan pemerintah dalam
memberikan otonomi administrative yang lebih besar ke lembaga peradilan, dalam kajian ini
dibahas dan dipaparkan tujuh model administrasi peradilan yang berbeda dan diterapkan pada
sejumlah lembaga peradilan di berbagai Negara. Dalam proyek penelitian ini, para peneliti
membahas dan mengevaluasi berbagai model-model administrasi peradilan yang pernah atau
sedang diterapkan pada berbagai Negara. Model-model tersebut mengacu pada kerangka kerja
organisasi yang menentukan cara pengambilan keputusan yang menentukan kebijakan
administrasi peradilan dan praktik teknisnya.
Salah satu isu penting yang dibahas adalah upaya pencarian cara terbaik untuk
menghindari negoisasi antara cabang kekuasaan eksekutif dan lembaga peradilan, memastikan
penyediaan layanan peradilan yang sesuai dan fasilitas lembaga peradilan yang memadai dan
meningkatkan akuntabilitas untuk penggunaan anggaran Negara dengan tetap menjaga
independen lembaga peradilan.
Adapun tujuan utama penelitian mengenai model-model alternatif administrasi peradilan ini
adalah:
1. Mengidentifikasi standar-standar kontrol administratif yang harus dimiliki lembaga
peradilan untuk memastikan standar independensi lembaga yudisial yang diperlukan.
2. Mengeksplorasi, mengembangkan, dan mengidentifikasi model-model administrasi
pengadilan yang merupakan alternatif dari model eksekutif yang sudah ada.
Sebelum penulis membahas mengenai model-model administrasi peradilan, akan dibahas
terlebih dahulu cakupan administrasi peradilan itu sendiri sekaligus akan membahas faktor-
faktor utama yang mempengaruhi efektivitas dan efesien sistem administrasi peradilan.
A. CAKUPAN ADMINISTRASI PERADILAN
Banyak ahli yang memiliki pandangan berbeda tentang definisi pengambilan keputusan
dalam administrasi pengadilan. Paling tidak dari pendapat-pendapat yang ada dapat dipahami
bahwa para ahli telah menekankan bidang-bidang utama tertentu terkait pengambilan
keputusan dalam administrasi peradilan.
Ada 5 elemen utama terkait efektivitas dan efesiensi administrasi peradilan:
a. Leadership & Direction
b. Organization, Partnerships & Responsibilities
c. Strategis, Tactic & Procedures
d. Human & Equipment Resources
e. Support System
Adapun penjelasan lebih rinci mengenai kelima elemen utama tersebut adalah:
a. Kepemimpinan dan Pengendalian
Kepemimpian yang jelas dan visioner adalah kunci untuk mengembangkan administrasi
pengadilan yang efektif dan efesien. Khususnya, kepemimpinan diperlukan untuk
mengembangkan komitmen semua pegawai sehingga dapat bekerja mencapai visi bersama
dan tujuan organisasi. Kepemimpinan dibutuhkan dalam memastikan pelaksanaan jenis
kegiatan manajemen perubahan lainnya yang diperlukan untuk memastikan terciptanya
lingkungan oragnisasi yang terus menerus berkembang sesuai lingkungan dan memiliki
budaya inovasi yang berkelanjutan.
1. Model Eksekutif
Model ini mensyaratkan penugasan pengawasan fungsi administratif lembaga peradilan
sebagai kewenangan lembaga ekskutif. Menteri ditugaskan untuk mengelola administrasi
lembaga peradilan dan bertanggung jawab atas fungsi lembaga peradilan yang efesien dan
efektif. Selain itu menteri juga menjadi juru bicara peradilan mengenai alokasi dana dan
operasi lembaga peradilan.
2. Model Komisi Independen
Meskipun model “Komisi Independen” tidak meningkatkan keterlibatan yudisial dalam
pengambilan keputusan administratif, model ini memiliki perubahan mendasar dari model
eksekutif. Model komisi independen juga menunjukkan bahwa tidak harus ada trade off
langsung antara peradilan dan eksekutif. Pengurangan otoritas eksekutif atas lembaga
peradilan tidak perlu mengarah pada peningkatan pula dalam otoritas lembaga peradilan
terkait administrasi peradilan.
Untuk memudahkan dan sebagai referensi ada tiga variasi dari model komisi independen
tersebut yang dapat diidentifikasikan dari mandate penyelesaian sengketa yang dimiliki
komisi independen tersebut yaitu:
a. Kewenangan penyelesaian permasalahan administratif.
b. Kebijakan terbatas dan atau kewenangan operasional.
c. Komisi layanan adminisrasi.
3. Model Kemitraan
Pemikiran yang mendasari pembentukan model kemitraan adalah adanya gagasan untuk
memastikan adanya partisipasi lembaga peradilan dalam bidang administrasi lembaga
peradilan. Semakin dirasakannya penurunan kualitas proses penanganan perkara yang adil dan
pelaksanaan yang tidak efektif atas pengelolaan lembaga peradilan mendorong untuk
pencarian solusi baru.
Dalam praktiknya, model kemitraan sangat bervariasi dalam tingkat kewenangan control
terhadap administrasi lembaga peradilan dan tergantung pada komposisi dewan pimpinan,
adapun penjelasan variasi model kemitraan tersebut adalah sebagai berikut:
Model Kemitraan Terbatas
Model kemitraan ini biasanya cenderung lebih terbatas dan simbolis, dengan Ketua
Mahkamah Agung mewakili lembaga peradilan sebagai ex officio dalam dewan pertimbangan
bersama perwakilan pemerintah. Ketua Mahkamah Agung dapat bekerja dalam lembaga ini
bersama dengan berbagai peradilan, lembaga eksekutif, dan perwakilan dari organisasi lain.
Model Kemitraan yang Setara
Variasi lainnya dari model kemitraan adalah model kemitraan setara, di mana Ketua
Mahkamah Agung atau seorang hakim menduduki posisi pada dewan lembaga tersebut.
Model Supervisi Kemitraan
Sangat menarik untuk dijadikan contoh model supervise kemitraan adalah peran
kepemimpinan lembaga peradilan pada Badan Layanan Peradilan Irlandia dan keinginan
pemerintah di sana untuk melepaskan kewenangan dalam administrasi peradilan.
4. Model Pendampingan (Guardian Model)
Model keempat atau model pendampingan memberikan tanggung jawab utama untuk
perencanaan sehari-hari dan pelaksanaan tugas lembaga peradilan kepada lembaga eksekutif.
5. Model Otonomi Terbatas
Model ini mencerminkan tren yang muncul di Negara-negara di seluruh dunia untuk
memberikan wewenang dan tanggung jawab yang semakin besar pada lembaga peradilan
dalam urusan administrasi peradilan. Tren ini juga konsisten dengan perkembangan
instrument internasional yang semakin diterima oleh Negara-negara demokrasi di seluruh
duia.
BAB IV
MANAJEMEN PERADILAN
A. Manajemen Peradilan
Perspektif manajemen yang diterapkan pada lembaga peradilan sebagai sebuah
organisasi terdiri dari seperangkat tugas dan aktifitas organisasi yang dirancang untuk
meningkatkan kuantitas dan kualitas penyediaan layanan peradilan.
Dalam pengertiannya yang paling sederhana, urusan manajemen itu menyangkut
persoalan “man, money, and material”, yaitu sumber daya manusia, sistem administrasi
keuangan, dan urusan sarana dan prasarana penunjang. Ketiganya dapat dibedakan dalam dua
urusan, yaitu administrasi yang langsung berhubungan dengan manajemen perkara, dan
administrasi yang berhubungan dengan kelembagaan organisasi lembaga hukum yang
bersangkutan. Dalam kaitan dengan lembaga peradilan, maka aspek administrasi dan
manajemen ini biasa dibedakan antara urusan kepaniteraan dan urusan kesekretariatan badan-
badan peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman.
Manajemen peradilan dapat dikatakan memiliki dua pengertian yang saling terkait: di
satu sisi, dan sesuai dengan konsep yang diusulkan di atas, umumnya mengacu pada kontrol
atau pengawasan perilaku dalam organisasi peradilan. Dalam istilah yang agak berbeda
manajemen peradilan mengacu pada suatu bentuk administrasi peradilan yang
terdesentralisasi karena masing-masing pengadilan harus melakukan tugas-tugas organisasi
dan administrasi internal yang tidak dapat diserahkan sepenuhnya kepada badan pusat untuk
melaksanakannya. Oleh karena itu, masalah utama dari manajemen lembaga peradilan terletak
pada keseimbangan yang tepat yang harus ditemukan antara administrasi terpusat dan
otonomi organisasi dan administrasi yang didesentralisasi yang harus dilakukan oleh setiap
pengadilan secara individual agar dapat menjalankan tugas dan fungsi secara optimal serta
menciptakan sistem koordinasi yang baik ada di antara kedua jenjang organisasi.
Selanjutnya, pengertian kedua mengenai manajemen lembaga peradilan yang lebih
spesifik terkait dengan konsep efisiensi dan efektivitas dalam konteks reformasi lembaga
peradilan dan kebijakan modernisasi yang pada dasarnya disebabkan karena adanya tuntutan
sosial dan ketidakpastian kondisi sosial. Dari sudut pandang ini, manajemen organisasi
peradilan mengalami banyak redefinisi yang terdiri dari: pembaruan sumber daya manusia
dan material; peningkatan struktur layanan dan metode kerja, pelaksanaan prosedur
penangananperkara yang baru; dan pengenalan prosedur manajemen dan evaluasi. Dengan
demikian, modalitas manajemen menjadi lebih sadar, lebih berorientasi pada tujuan, dan lebih
jelas capaiannya.
Dengan kata lain, ketika kebutuhan akan rasionalisasi dan modernisasi lembaga peradilan
menjadi masalah yang dirasakan penting oleh masyarakat dan adanya motivasi untuk
membuat kebijakan lembaga peradilan yang nyata, maka manajemen pengadilan dapat dilihat
sebagai suatu gerakan reformasi atau perubahan yang menarik dan berbeda untuk menjadi
dasar dalam melakukan penelitian mengenai lembaga peradilan.
C. Manajemen Perkara
Manajemen perkara, dimulai sejak pelaporan, pengaduan, ataupun pendaftaran pelayanan
hukum sampai ke tahap eksekusi putusan dan pemasyarakatan merupakan satu kesatuan
proses mulai dari terjadinya peristiwa hukum dalam masyarakat sampai terwujudnya keadaan
atau terpulihkannya kembali keadilan dalam masyarakat. Dalam proses itu diperlukan adanya
jaminan bahwa:
(i) Prosesnya berlangsung tepat dalam menjamin keadilan (justice) dan kepastian hukum
(legal certainty);
(i) Prosesnya berlangsung efisien, cepat dan tidak membebani para pihak di luar
kemampuannya;
(ii) menurut aturan hukumnya sendiri, yaitu berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku sejak sebelum perkara itu sendiri terjadi;
(iii) Secara independen tanpa campur tangan atau dipengaruhi oleh kepentingan-
kepentingan politik dan ekonomi dari pihak-pihak lain atau kepentingan salah satu pihak
dengan merugikan pihak yang lain; dan
(iv) Secara akuntabel dan transparan sehingga hasilnya dapat dipercaya oleh para pihak
dan masyarakat pada umumnya.
Untuk mengharapkan adanya perbaikan di lembaga peradilan, kelima hal itu sangat
penting untuk diperhatikan. Para pencari keadilan (justice seekers) harus dibuat yakin dan
percaya bahwa proses yang ia tempuh akan menghasilkan keadilan yang pasti dan kepastian
yang adil. Prosesnya cepat dan efisien, sehingga tidak membebani atau yang hanya dapat
dijangkau oleh mereka yang mampu. Misalnya, jika sesuatu persoalan dapat diselesaikan
dalam waktu hanya 1 hari, mengapa mesti dtunggu sampai 1 minggu, 1 bulan, atau bahkan 1
tahun. Proses peradilan berjalan independen, sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, tidak diintervensi untuk kepentingan politik atau ekonomi oleh pihak manapun
secara tidak adil. Kecuali untuk hal-hal yang wajib dirahasiakan, maka keseluruhan proses
menuju keadilan itu haruslah terbuka sehingga dapat dikontrol oleh masyarakat dan para
pihak yang berperkara. Untuk mewujudkan keenam hal tersebut dalam praktik, ada beberapa
faktor menentukan yang perlu mendapat perhatian, yaitu: